Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI PENCELUPAN 2

PENCELUPAN KAIN POLIAKRILAT DENGAN ZAT WARNA BASA


(VARIASI KONSENTRASI RETARDER ANIONIK) DAN ZAT WARNA
DISPERSI (VARIASI KONSENTRASI ZAT PENDISPERSI)

NAMA/NPM : RIDA NADHIRA DANIATI (16020108)


TYAS ADITYA DEWI (16020122)
M. RIDHO BASKORO (16020126)
WULAN HANDAYANI (16020127)
GROUP : 3K4
KELOMPOK : 4 (EMPAT)
DOSEN : IKHWANUL MUSLIM,S.ST.,M.T.
ASISTEN : HJ. HANNY H.K.,S.Teks.
ANNA S.

POLITEKNIK STTTBANDUNG
2018
PENCELUPAN KAIN POLIAKRILAT DENGAN ZAT WARNA BASA
(VARIASI RETARDER ANIONIK) DAN ZAT WARNA DISPERSI
(VARIASI ZAT PENDISPERSI)

I. MAKSUD DAN TUJUAN


1.1 Maksud
Maksud dari praktikum ini adalah untuk mengetahui prinsip-prinsip dasar
proses pencelupan poliakrilat dengan zat warna basa serta mengetahui hasil
celupan poliakrilat dengan zat warna basa (variasi retarder anionic) dan zat warna
disperse (variasi zat pendispersi).

1.2 Tujuan
1. Mengetahui zat warna dan zat pembantu yang digunakan
2. Mampu menghitung kebutuhan zat warna dan zat pembantu sesuai dengan
resep
3. Menentukan skema dan kondisi proses
4. Mampu melakukan dan mengontrol proses pencelupan
5. Mampu mengevaluasi hasil proses pencelupan dari variasi yang berbeda

II. DASAR TEORI


2.1 Serat Poliakrilat
Serat Poliakrilat adalah serat sintetik yang terbuat dari molekul
akrilonitril dengan susunan paling sedikit 85% sebagai komponen yang utama
dan sisanya 15% adalah kromonomer lain yang bervariasi seperti metakrilat,
metil metakrilat dan vinil asetat. Serat akrilat pertama kali diproduksi secara
komersial di Amerika Serikat dan Eropa dengan nama Orlon oleh Du Pont pada
tahun 1950, Acrilan oleh Chemtrand Corp (Monsato) pada tahun 1952, Zaefran
oleh Dow Badische pada tahun 1958. Serat akrilat tersebut terus berkembang dan
diikuti oleh jepang pada tahun 70-an dengan nama dagang Chasmilon oleh Asahi
dan Kanebo, Vonel, Finel, dan Silpalon oleh Mitsubishi, Beslon oleh Toho
Rayon CO, Toraylon oleh Toray dan Exlan oleh Toyobo.
Serat Akrilat dibuat dari unsure utama akrilonitril paling sedikit 85%,
yang dibentuk melalui reaksi polimerisasi adisi dengan reaksi sebagai berikut
CH2=CHCN + CH2=CHCN + CH2=CHCN CH2-CH-CH2-CH-CH2-CH

CN CN CN

Akrilonitril Akrilat

Reaksi Pembuatan Poliakrilat


Serat tersebut sangat kuat, sangat hidrofob dan sukar dicelup. Oleh
karena itu kemudian dimodifikasi berupa kopolimer dengan monomer lain yang
mengandung gugus yang bersifat anionic seperti karboksil atau sulfonat sehingga
serat poliakrilat yang sekarang ini dapat dicelup dengan zat warna basa yang
dalam larutan celup bersifat kationik.
Serat-serat poakrilat selalu mengandung kopolimer yang sangat berguna
dalam mekanisme pencelupannya. Sebagai contoh serat acrilan 1656
mengandung kopolimer bersifat basa yang mempunyai afinitas terhadap zat
warna asam; sedangkan Courtelle dan serat-serat poliakrilat yang lain
mengandung kopolimer dengan gugusan negatif sehingga serat poliakrilat
tersebut mempunyai afinitas yang besar terhadap zat warna basa atau zat warna
kation meskipun serat-serat tersebut bersifat hidrofob.
Proses pembuatan serat-serat poliakrilat secara terperinci belum
diterangkan, tetapi secara umum adalah sebagai berikut: 40 bagian berat
amonium persulfat sebagai katalisator dan 80 bagian natrium bisulfit sebagai
pengaktif dilarutkan dengan 94 bagian air suling pada suhu 400C, dan kemudian
setelah 2 jam, 16 bagian campuran akrilonitril 90 persen dan 10 persen monomer
etilenat ditambahkan perlahan-lahan sambil diaduk. Polimer poliakrilonitril yang
dimodifikasi dengan monomer lain, mengendap dengan berat sekitar 60.000.
polimer yang diendapkan disaring, dicuci, dikeringkan, dan dilarutkan kembali
dalam pelarut untuk pemintalan yang sesuai misalnya dimetil formamida
(konsentrasi larutan 10-20 persen).
Larutan tersebut kemudian dipanaskan dan disemprotkan melalui sel
pemintalan yang dipanaskan. Medium penguap yang dipanaskan seperti udara,
nitrogen, atau uap dialirkan berlawanan dengan arah perjalanan filamen, untuk
menguapkan pelarut. Filamen dalam keadaan panas ditarik sampai beberapa kali
panjang semula dengan cara melewatkannya melalui jarum yang dipanaskan
udara panas, atau air panas. Suhu penarikan dapat divariasi dari 1000C sampai
2500C bergantung pada lamanya kontak dalam pemanasan.
Sifat-sifat dari poliakrilat adalah :
1. Mekanik
Kekuatan kering serat 5 gram per denier dan kekuatan basahnya 4,8 gram per
denier. Dari perbandingan yang tinggi antara kekuatan basah dan kering
terlihat bahwa serat bersifat tahan air, sama dengan vinyon dan saran. Mulur
saat putus keringh 17 persen, basah 16 persen.

2. Ketahanan kimia
Pada umunya poliakrilik mempunyai ketahanan yang baik terhadap asam-
asam mineral dan pelarut-pelarut, minyak-minyak, lemak-lemak, dan garam-
garam netral.

3. Pengaruh panas
Poliakrilik tahan terhadap pengrusakan panas meskipun dalam waktu yang
lama sampai 1500C.

Morfologi serat poliakrilat :


2.2 Zat Warna Basa
Zat warna basa adalah zat warna yang mempunyai muatan positif atau
sebagai kation pada bagian yang berwarna, maka zat warna tersebut disebut juga
disebut juga zat warna kation. Pada tahun 1856, W.H. Perkin mereaksikan
kondensasi senyawa anilin yang belum dimurnikan untuk membuat senyawa
kwinin tetapi didalamnya terdapat pula senayawa berwarna yang dapat mencelup
serat sutera atau wol secara langsung.
 Kimiawi zat warna basa.
Zat warna basa merupakan garam, basa zat warna basa pada umumnya
mempunyai :
HO R (C6H4) NH2
Contoh Zat Warna Basa NH2
NH2

N N N N NH2
H2N

Zat warna basa diperdagangkan dapat membentuk garam dengan asam hidro–
klorida atau oksalat sebagai asamnya, dan mungkin pula berbentuk garam seng
klorida.

 Sifat zat warna basa


Sifat utama zat warna basa adalah mempunyai kecerahan dan intensitas
warna yang tinggi. Zat warna basa segera larut dalam alkohol tetapi pada
umumnya tidak larut dalam air sehingga sering kali terbentuk gumpalan.
Demikian pula pada zat warna basa misalnya Anramine akan mengurai
dengan pendidihan sehingga pemakaiannya hanya pada temperatur 60 –
65oC. Dan pada umumnya pada pendidihan yang lama akan terjadi
penguraian sebagian yang menghasilkan penurunan intensitas warna. Bila
kedalam larutan zat warna basa ditambahkan alkali kuat maka akan terbentuk
basa zat warna basa yang tidak berwarna. Tetapi dengan penambhan suatu
asam akan terbentuk lagi bentuk garamnya yang berwarna. Basa tersebut
akan larut dalam eter.
Zat warna basa memiliki ketahanan sinar yang jelek dan ketahanan
cuci yang kurang. Asam tanin akan memberikan senyawa yang tidak larut
dalam air dengan zat warna basa terutama bila tidak ada asam mineral. Sifat
tersebut berguna dalam pencelupan serat – serat selulosa. Dengan istilah back
tanning tetapi kerja iring tersebut berguna akan menyuramkan kilap zat
warna basa.
Beberapa senyawa reduktor akan mengubah zat warna basa menjadi
basanya yang tidak berwarna. Basa tersebut teroksidasi menjadi bentuk
semula. Misal pada zat warna pararosaniline, tetapi zat warna basa yang
mempunyai ikatan azo proses reduksi tersebut akan membongkar ikatan
azonya sehingga tidak mungkin kembali kebentuk semula dengan proses
oksidasi.

H2N H2N

+ - H
C= = NH2 Cl C= NH2
O
H2N H2N

 Kelarutan zat warna tergantung pH


Bila kedalam larutan zat warna basa ditambahkan alkali kuat maka
akan terbentuk zat warna basa yang tidak berwarna, tetapi dengan
penambahan suatu asam maka terbentuk lagi garamnya yang berwarna. Oleh
karena itu kelarutan zat warna basa sangat bergantung pada pH larutan celup

 Afinitas zat warna basa


Serat – serat selulosa tidak mempunyai afinitas terhadap zat warna
basa. Apabila beberapa zat warna basa dapat mencelup serat – serat tersebut
maka ketahanan cucinya akan rendah sekali. Tetapi serat – serat protein
afinitas terhadap zat warna basa adalah besar karena terbentuk ikatan garam
yang dapat digambar sebagai berikut :
W – COO - + ( Kation – Zat warna ) +
W – COO ( Kation – Zat
warna )
Zat warna tersebut akan terserap pada tempat – tempat yang bermuatan
negatif sehingga apabila tempat tersebut telah terisi maka penyerapan zat
warna akan terhenti.

 Mekanisme Pencelupan
Jumlah zat warna basa yang dapat diikat oleh serat dibatasi oleh
benyaknya gugus anionik di dalan serat. Sebelum zat warna menempati
berikatan secara ionik dengan serat, maka zat warna harus berpenetrasi
kedalam serat. Struktur serat yang rapat dan adanya ikatan antara rantai-rantai
akrilat sangat kuat, maka diperlukan kenaikan suhu agar terjadi gerakan
kinetic dari rantai-rantai polimer yang cukup besar untuk mengatasi kekuatan
ikatan tersebut, sehingga terbentuk pori-pori serat yang cukup besar untuk
dimasuki zat warna. Pembentukan pori-pori serat berlangsung pada saat suhu
transisi gelas, yaitu sekitar suhu 80°C. pada suhu ini laju penyerapan zat
warna langsung meningkat pesat, sehingga berpotensi menimbulkan belang.
Zat warna masuk kedalam serat dan membentuk ikatan elektrovalen dengan
ruangan-ruangan anion pada rantai polimer. Karena ikatan yang terjadi antara
serat dan zat warna adalah ikatan ionik maka migrasi zat warna dalam serat
agak sukar, terutama ketika melakukan pencelupan warna muda. Oleh karena
itu pencelupan warna muda relative akan lebih sukar rata dibandingkan
pencelupan warna tua, dimana pada pencelupan warna tua masalah sukarnya
migrasi zat warna akan agak tertutup oleh adanya penurunan laju penyerapan
zat warna.
Mekanisme pencelupan serat akrilat dengan zat warna basa adalah
reaksi pertukaran ion antara kation dan zat warna dengan ruang-ruang anion
pada serat. Reaksinya sebagai berikut;
FSO3- H+ + Ds+ FSO3- Ds+ + H+

 Zat Pembantu
Zat pembantu (auxiliaries) adalah zat tambahan selain zat warna yang
digunakan pada proses pencelupan agar menghasilkan celupan yang rata dan
sesuai target, warna yang diinginkan. Zat pembantu ini meliputi zat pengatur
pH, pengontrol sifat dispersi zat warna dalam larutan, menghambat laju
pencelupan (retarder) serta pengontrol kesadahan dan ion logam larutan
celup.
- Zat pengatur pH
Pencelupan poliakrilat dengan zat warna basa umumnya berlangsung
dalam suasana asam pH 4-5,5. Kondisi pH ini dimaksudkan agar zat
warna basa larut dalam larutan celup. Untuk mendapatkan pH larutan
celup tersebut perlu ditambahkan asam asetat (CH3COOH 30%) kurang
lebih 0,5 ml/L. agar pH larutan celup stabil dapat digunakan sistim buffer
pH seperti campuran asam asetat dan sodium asetat.
- Zat Perata
Disebabkan zat warna basa berikatan ionik dengan serat poliakrilat maka
migrasi zat warna dalam serat relative sukar sehingga untuk mendapatkan
kerataan pencelupan, laju penyerapan zat warna harus diperlambat dengan
cara menabahkan retarder. Pada pencelupan poliakrilat terdapat beberapa
zat yang dapat berfungsi sebagai retarder yaitu: zat pendispersi nonionic,
perata kationik, perata anionik bekerja sebagai retarder dan zat
penggelembung serat yang bekerja sebagai leveler. Zat perata yang dijual
dapat berupa zat tunggal, tetapi kebanyakan berupa campuran agar daya
perataannya lebih baik, contoh campuran pendispersi nonionic+perata
kationik+zat penggelembung serat.
Meskipun zat perata dapat memperbaiki kerataan hasil pencelupan, perlu
juga diperhatikan konsentrasi pemakaiannya dapat menurunkan
kemampuan penyerapan zat warna basa pada serat sehingga warnanya
akan lebih muda.

2.3 Zat Warna Dispersi


Zat warna dispersi pada mulanya banyak dipergunakan untuk
mencelupserat asetat yang merupakan serat hidrofob. Dengan dikembangkannya
serat buatan yang bersifat hidrofob, seperti serat poliakrilat, poliamida/Nylon,
dan polyester, maka penggunaan zat warna disperse makin meningkat. Pada
waktu ini zat warna disperse, terutama dipergunakan pada pencelupan serat
polyester. Beberapa nama dagang zat warna disperse adalah :
- Foron (Sandoz).
- Dispersol (I.C.I).
- Palanil (BASF).
- Sumikaron (Sumitomo-Jepang).
- Terasil (Ciba-Geigy).

Zat warna dispersi adalah hasil sintesa senyawa yang bersifat hidrofob
sehingga kelarutannya dalam air kecil sekali. Oleh karena itu zat warna ini dalam
pemakaiannya harus didispersikan dalam larutan. Pada pemakaiannya
memerlukan zat pengemban (carrier) atau adanya suhu yang tinggi. Zat warna
disperse digunakan dalam bentuk bubuk (powder dan micro powder) dan dalam
bentuk cairan. Sifat tahan cucinya baik tetapi tahan sinarnya jelek. Ukuran
molekulnya berbeda-beda dan perbedaan tersebut sangat erat hubungannya
dengan sifat kerataan dalam pencelupan dan sifat sublimasinya. Berdasarkan
sturktur kimianya, zat warna disperse dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu :
1. Kromogen golongan Azo
Zat warna golongan azo umumnya menghsilkan warna kuning, oranye,
merah, dan beberapa warna ungu, biru, hitam

Gambar 1. Zat Warna Dispersi Golongan Azo


Sumber : Ismingsih Gitopatmojo, Pengantar Kimia Zat Warna, ITT, Bandung, 1978.

2. Kromogen golongan Antrakuinon


Zat Warna golongan antrakuinon umumnya menghasilkan warna pink,
merah, ungu, dan biru. Kelebihan zat warna antrakuinon adalah warnya
sangat cerah, tahan sinar sangat baik, mudah rata, sedangkan kekurangannya
adalah perlu banyak zat warna untuk memperoleh warna tua (color build up
jelek), tahan luntur terhadap pencucian kurang baik, harganya mahal.

Gambar 2. Zat Warna Dispersi Golongan Antraquinon


3. Kromogen golongan Thiopene
Zat warna ini mulai dikembangkan pada tahun 1970 untuk mensubtitusi zat
warna golongan antrakuinon, zat warna ini memiliki kelebihan dibanding zat
warna antrakuinon dalam hal color build up, warna biru yang brilian dan
tahan luntur warna terhadap pencucian lebih baik. Warna yang dihasilkan
adlah warna biru dan biru kehijauan.

Gambar 3. Zat Warna Dispersi Golongan Thiopne

Berdasarkan ukuran molekul dan sifat sublimasinya, zat warna disperse


digolongkan menjadi 4 golongan, yaitu :
1. Tipe A, zat warna disperse yang mempunyai sifat kerataan pencelupan sangat
baik karena ukuran molekulnya paling kecil, akan tetapi mudah bersublimasi
baik karena ukuran molekulnya paling kecil, akan tetapi mudah bersublimasi
pada suhu 130oC, biasanya digunakan untuk mencelup selulosa asetat dan
poliakrilat,
2. Tipe B (tipe E), zat warna disperse dengan ukuran molekul sedang, sifat
keratin pencelupan baik dan menyublim pada suhu 190oC, biasanya digunakan
untuk pencelupan polyester metoda carrier atau pencapan alih panas (transfer
printing).
3. Tipe C (tipe SE), zat warna disperse yang mempunyai sifat kerataan
pencelupan cukup baik, menyublim pada suhu 200oC, biasanya digunakan
untuk pencelupan cara carrier, HT/HP dan thermosol.
4. Tipe D (tipe S), zat warna disperse yang mempunyai sifat kerataan pencelupan
kurang baik, menyublin pada suhu 210oC, biasanya digunakan untuk
pencelupan polyester metoda HT/HP dan thermosol.
Dalam penggunaannya, pemilahan golongan zat warna tersebut harus tepat karena
sangat menentukan sifat-sifat hasil pencelupannya.
2.3.1 Sifat-sifat Zat Warna Dispersi
Sifat-sifat umum zat warna, baik sifat kimia maupun sifat fisika
merupakan factor penting dan erat hubungannya dengan penggunaanya
dalam proses pencelupan. Sifat-sifat umum zat warna disperse untuk
pencelupan serat polyester (tipe B, C, dan D) adalah sebagai berikut :
1. Mempunyai titik leleh sekitar 150oC dan kekristalinan yang tinggi.
2. Apabila digerus sampai halus dan didispersikan dengan zat pendispersi
dapat menghasilkan disperse yang stabil dalam larutan pencelupan
dengan ukuran partikel 0,5 – 2,0 µ.
3. Mempunyai berat molekul yang relative rendah.
4. Mempunyai tingkat kejenuhan 30 – 200 mg/g dalam serat.
5. Relatif tidak mengalami perubahan kimia selama proses pencelupan
berlangsung.
6. Pada dasarnya bersifat nonion walaupun mengandung gugus NH2,
NHR, dan -OH yang bersifat agak polar.
7. Kelarutan dalam air kecil sekali (kurang dari 30 mg/kg zat warna).
8. Ketahan luntur warna hasil pencelupan terhadap keringat dan pencucian
sangat baik tetapi ketahanan luntur warna terhadap sinarnya jelek.

2.3.2 Zat Pembantu


Zat pembantu (auxiliaries) adalah zat tambahan selain zat warna yang
digunakan pada proses pencelupan agar menghasilkan celupan yang
penyerapan zat warnanya maksimum, warnanya rata dan sesuai target
warna yang diingkan, serat tahan luntur warnanya baik. Zat pelunak air, zat
anti crease-mark, serta zat perata pencelupan (leveler).

2.3.3 Zat Pengatur pH


Pencelupan polyester dengan zat warna disperse umumnya
berlangsung dalam suasana asam pH 4.0 – 5.5. kondisi pH ini dimaksudkan
agar tidak terjadi hidrolisis pada serat polyester dan sebagoan besar zat
warna disperi akibat pH alkali. Untuk mendapatkan pH larutan celup
tersebut perlu ditambahkan asam asetat (CH3COOH 30%) kurang lebih 0,5
ml/L.
2.3.4 Zat Pendispersi
Zat warna disperse bersifat hidrofob dan kelarutannya di dalam air
sangat kecil sekali. Oleh karena itu partikel zat warna disperse yang tidak
larut tersebut harus didispersikan secara homogen di dalam larutan. Untuk
menjamin kestabilan pendispersian dan mencegah agregasi zat warna pada
suhu tinggi perlu dibantu dengan zat pendisperi. Zat ini berupa suatu
senyawa surfaktan anipnik atau senyawa polielektrolit anionic (turunan
lignosulfonate) yang tahan suhu tinggi dan bekerja dengan cara bagian
hidrofob dari zat pendispersi menarik partikel zat warna dan bagian hidrofil
yang bermuatan negative mengarah ke larutan dan menjaga jarak antar
partikel zat warna agar tidak bergaregrasi sehingga partikel zat warna tetap
terdispersi secara homogen di dalam larutan.

Zat pendispersi berfungsi sebagai koloid pelindung terhadap partikel


zat warna yang terlepas dari molekul zat warna. Selain itu dengan adanya
zat pendispersi ini akan mengurangi resiko terjadinya koagulasi zat warna
yang akan menyebabkan molekul zat warna menjadi lebih besar sehingga
sukar masuk kedalam serat (berdifusi) hanya menempel pada permukaan
kain saja.
Adanya zat pendispersi menyebabakan tegangan antarmuka antara zat
warna dan cairan turun.Akibatnya sudut kontak antara partikel-partikel zat
warna mengecil, sehingga zat warna mudah dipisahkan dari molekulnya,
dan kemudian terdispersi oleh zat pendispersi.
Zat pendispersi mempunyai sifat khas, yaitu mempunyai
kecenderungan untuk berpusat pada antarmuka dan mempunyai
kemampuan menurunkan atau menaikan tegangan permukaan.
Sifat-sifat zat pendispersi dapat digolongkan menjadi :
A. sifat-sifat umum
 Zat pendispersi sebagai larutan koloid
Larutan zat pendispersi merupakan larutan koloid.Molekul-
molekulnya terdiri dari gugus hidrofil dan hidrofob. Bagian yang
hidrofil menghadap ke air, sedangkan yang hidrofob menghadap ke
zat warna.Pada konsentrasi tinggi partikel koloid ini saling
menggumpal, gumpalan ini disebut misel dan ada dalam
kesetimbangan bolak balik dengan sekitarnya (pelarut atau dispersi
larutan).
 Adsorpsi
Karena sifatnya yang khas, maka zat pendispersi biasanya
teradsorpsi pada permukaan atau antarmuka. Apabila larutan
mempunyai tegangan permukaan lebih kecil dari pelarut murni,
maka zat terlarut akan terkonsentrasi pada permukaan dan terjadi
adsorpso positif. Sebaliknya adsorpsi negatif menunjukan bahwa
molekul-molekul zat terlarut lebih banyak terdapat dalam rongga
larutan dari pada di permukaan.

B. Sifat-sifat khusus
 Pembasahan
Bila setetes cairan diteteskan pada permukaan zat padat, maka
cairan tersebut dapat menutupi permukaan zat padat.Gejala ini
disebut pembasahan.
1. Daya Busa
Busa adalah dispersi gas dalam cairan dan zat pendispersi
memperkecil tegangan antarmuka, sehingga busa akan stabil.
Jadi dapat disimpulkan bahwa zat pendispersi mempunyai
daya busa
2. Daya Emulsi
Emulsi adalah suspensi partikel cairan dalam fasa cairan lain
yang tidak saling melarutkan. Sama halnya dengan
pembusaan, maka zat pendispersi akan menurunkan tegangan
antar muka, sehingga terjadi emulsi yang stabil.
III. METODOLOGI PERCOBAAN
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat:
- Gelas kimia
- Gelas ukur 100 mL
- Pipet volume 10 mL dan 1 mL
- Filler / Bola hisap
- Tabung pencelupan
- Mesin Pencelupan HT - Dyeing
- Batang pengaduk
- Neraca analitik

3.1.2 Bahan:
 Pencelupan dengan zat warna basa
- Kain poliakrilat
- Zat warna basa (Basacryl Red)
- Natrium asetat
- Retarder anionik
- Asam asetat 30%
- Teepol
- Na2CO3

 Pencelupan dengan zat warna disperse


- Kain poliakrilat
- Zat warna dispersi
- Zat pendispersi
- Asam asetat 30%
- Teepol
- Na2CO3
3.2 Resep
3.2.1 Resep Pencelupan Serat Poliakrilat dengan Zat Warna Basa

Bahan Variasi 1 Variasi 2 Variasi 3

Zat Warna Dispersi (%owf) 1 %OWF

Retarder anionik (ml/L) 0 ml/L 1 ml/L 4 ml/L

Asam asetat 30% (ml/L) pH 4

Natrium Asetat (ml/L) 1 g/L

Suhu (°C) 105°C

Waktu (menit) 30 menit

Vlot 1: 20

3.2.2 Resep Pencelupan Serat Poliakrilat dengan Zat Warna Dispersi

Bahan Variasi 1 Variasi 2 Variasi 3

Zat Warna Dispersi (%owf) 2 %OWF

Zat pendispersi (ml/L) 0 ml/L 1 ml/L 5 ml/L

Asam asetat 30% (ml/L) 2 ml/L (pH 5)

Suhu (°C) 110°C

Waktu (menit) 30 menit

Vlot 1: 20

3.2.3 Resep Pencucian Serat Poliakrilat dengan Zat Warna Basa


- Sabun netral : 1 ml/L
- Na2CO3 : 1 ml/L
- Suhu : 90°C
- Waktu : 10 menit
- Vlot : 1:30
3.2.4 Resep Pencucian Serat Poliakrilat dengan Zat Warna Basa
- Sabun netral : 1 ml/L
- Na2CO3 : 1 ml/L
- Suhu : 90°C
- Waktu : 10 menit
- Vlot : 1:20

3.3 Fungsi Zat


Bahan Fungsi
Zat warna basa Mewarnai serat poliester secara permanen dan merata
Zat warna disperse Mewarnai serat poliester secara permanen dan merata,
dengan ikatan hidrogen hidrofobik.
Asam asetat 30% Pengatur pH larutan, pemberi suasana asam agar tidak
terjadi kerusakan serat selama proses pencelupan.
Retarder anionik menghambat masuknya zat warna agar hasil celup
menjadi rata.
Natrium asetat Berfungsi sebagai buffer
Zat pendispersi Mendispersikan zat warna dispersi agar terdispersi
monomolekuler didalam larutan celup.
Sabun netral Zat pada proses pencucian untuk menghilangkan zat
warna yang tidak terfiksasi dipermukaan serat

3.4 Skema proses


3.4.1 Skema Pencelupan Serat Poliakrilat dengan Zat Warna Basa

105oC

70oC
3.4.2 Skema Pencelupan Serat Poliakrilat dengan Zat Warna Dispersi

110oC

80oC

15’

3.5 Diagram Alir

Persiapan alat dan bahan

Perhitungan resep

Persiapan larutan celup

Proses pencelupan
(Metode Exhaust, 105°C dan 110 °C, 30 menit)

Pembilasan dan pencucian

Pengeringan

Ketuaan warna
Evaluasi
Kerataan warna
3.6 Langkah Kerja
3.6.1 Persiapan Larutan Celup
a. Pembuatan larutan induk zat warna
Timbang 1 gram zat warna dan pastakan dengan 10 mL air kemudian
tambahkan air hingga 100 mL, aduk hingga zat warna terdispersi
merata.
b. Persiapan larutan celup
Siapkan air sesuai resep, tambahkan asam asetat hingga pH 5,
kemudian tambahkan zat pembantu lainnya dan aduk merata, pipet zat
warna sesuai kebutuhan resep dan masukkan ke tabung pencelupan,
kemudian masukkan kain.

3.6.2 Prosedur Kerja


1. Siapkan alat dan bahan yang diperlukan.
2. Pilihlah zat warna dispersi yang sesuai untuk metode exhaust pada
pencelupan kain nylon/poliamida.
3. Buatlah rencana proses pencelupannya meliputi, penyusunan diagram
alir proses, pemilihan skema proses, pemilihan zat pembantu dan
penyusunan resep pencelupan.
4. Hitunglah kebutuhan bahan, zat warna, air, zat pembantu pencelupan
sesuai dengan resep yang dibuat.
5. Lakukan proses pencelupan sesuai skema proses yang dipilih.
6. Evaluasi dan analisa hasil pencelupannya.

IV. PERHITUNGAN
4.1 Perhitungan Pencelupan Serat Poliakrilat dengan Zat Warna Basa
Kain 1
- Berat bahan = 8,18 gram
- Vlot = BB x 20 = 8,18 gram x 20 = 163,6 mL
1 100
- Zat warna = 100 𝑥 8,18 𝑥 = 8,18 mL
1
1
- Na asetat = 𝑥 163,6 = 0,1636 gram
1000
0
- Retarder anionik = 1000 𝑥 163,6 = 0 ml

- Kebutuhan larutan = 163,6 mL – 8,18 mL – 0 mL= 155,42 mL


Kain 2

- Berat bahan = 7,6 gram


- Vlot = BB x 20 = 7,6 gram x 20 = 152mL
1 100
- - Zat warna = 100 𝑥 7,6𝑥 = 7,6 mL
1
1
- Na asetat = 1000 𝑥 152 = 0,152 gram
1
- Retarder anionik = 1000 𝑥 152 = 0,152 ml

- Kebutuhan larutan = 152 mL – 7,6 mL – 0,152 mL= 144,248 mL

Kain 3
- Berat bahan = 7,77 gram
- Vlot = BB x 20 = 7,77 gram x 20 = 155,4 mL
1 100
- Zat warna = 100 𝑥 7,77 𝑥 = 7,77 mL
1
1
- Na asetat = 1000 𝑥 155,4= 0,1554gram
4
- Retarder anionik = 1000 𝑥 155,4 = 0,6216ml

- Kebutuhan larutan = 155,4 mL – 7,77 mL – 0,6216 mL= 147,0084 mL

4.2 Perhitungan Pencelupan Serat Poliakrilat dengan Zat Warna Dispersi


Kain 1
- Berat bahan = 6,31 gram
- Vlot = BB x 20 = 6,31 gram x 20 = 126,2 mL
2 100
- Zat warna = 100 𝑥 6,31 𝑥 = 12,62 mL
1
0
- Zat pendispersi = 1000 𝑥 126,2 = 0 ml

- Kebutuhan larutan = 126,2 mL – 12,62 mL – 0 mL= 113,58 mL

Kain 2
- Berat bahan = 6,69 gram
- Vlot = BB x 20 = 6,69 gram x 20 = 133,8 mL
2 100
- Zat warna = 100 𝑥 6,69 𝑥 = 13,38 mL
1
1
- Zat pendispersi = 1000 𝑥 133,8 = 0,1338 ml

- Kebutuhan larutan = 133,8 mL – 13,38 mL – 0,1338 mL= 120,2862 mL


Kain 3
- Berat bahan = 6,35 gram
- Vlot = BB x 20 = 6,35 gram x 20 = 127mL
2 100
- Zat warna = 100 𝑥 6,35 𝑥 = 12,7 mL
1
5
- Zat pendispersi = 1000 𝑥 127 = 0,635 ml

- Kebutuhan larutan = 127 mL – 12,7 mL – 0,635 mL = 113,665 mL

4.3 Perhitungan Pencucian Serat Poliakrilat dengan Zat Warna Basa


Kain 1
- Berat bahan = 8,18 gram
- Vlot = BB x 30 = 8,18 gram x 30 = 245,4 mL
1
- Teepol = 100 𝑥 245,4 = 0,2454 mL
1
- Na2CO3 = 1000 𝑥 245,4 = 0,2454 gram

- Kebutuhan larutan = 245,4 mL – 0,2454 mL = 2454,1546 mL

Kain 2
- Berat bahan = 7,6 gram
- Vlot = BB x 30 = 7,6 gram x 30 = 228 mL
1
- Teepol = 100 𝑥 228 = 0,228 mL
1
- Na2CO3 = 1000 𝑥 228 = 0,228 gram

- Kebutuhan larutan = 228mL – 0,228 mL = 227,772 mL

Kain 3
- Berat bahan = 7,77 gram
- Vlot = BB x 30 = 7,77 gram x 30 = 233,1 mL
1
- Teepol = 100 𝑥 233,1 = 0,2331 mL
1
- Na2CO3 = 1000 𝑥 233,1= 0,2331 gram

- Kebutuhan larutan = 233,1 mL – 0,2331 mL = 232,8669 mL


4.4 Perhitungan Pencucian Serat Poliakrilat dengan Zat Warna Dispersi
Kain 1
1
- Teepol = 100 𝑥 126,2 = 0, 1262 mL
1
- Na2CO3 = 1000 𝑥 126,2 = 0, 1262 gram

- Kebutuhan larutan = 126,2 mL – 0, 1262 mL = 126,0738 mL

Kain 2
1
- Teepol = 100 𝑥 133,8 = 0, 1338 mL
1
- Na2CO3 = 𝑥 133,8 = 0, 1338 gram
1000

- Kebutuhan larutan = 133,8 mL – 0, 1338 mL = 133,6662 mL

Kain 3
1
- Teepol = 100 𝑥 127 = 0,127 mL
1
- Na2CO3 = 1000 𝑥 127= 0,127 gram

- Kebutuhan larutan = 127 mL – 0,127 mL = 126,873 mL

V. DATA PENGAMATAN
Berdasarkan hasil pengamatan secara visual dengan menggunakan tabel ranking,
didapatkan ketuaan warna dan kerataan dengan hasil:
5.1 Hasil Pencelupan Kain Poliakrilat dengan Zat Warna Basa
5.1.1 Kerataan Warna

Pengamat Kain
I II III
1 6 8 7
2 6 9 7
3 7 7 8
4 5 8 6
x 6 8 7
5.1.2 Ketuaan Warna

Pengamat Kain
I II III
1 7 8 6
2 7 9 6
3 8 7 8
4 6 8 5
Σ 7 8 6

5.2 Hasil Pencelupan Kain Poliakrilat dengan Zat Warna Dispersi


5.2.1 Kerataan Warna

Pengamat Kain
I II III
1 7 8 6
2 8 9 7
3 8 8 8
4 7 9 7
Σ 7,5 8,5 7

5.2.2 Ketuaan Warna

Pengamat Kain
I II III
1 8 9 7
2 8 9 6
3 8 9 8
4 8 8 8
Σ 8 8,75 7,25

VI. DISKUSI
6.1 Diskusi Pencelupan Kain Poliakrilat dengan Zat Warna Basa
Pada praktikum kali ini, dilakukan pencelupan kain poliakrilat dengan zat
warna basa. Variasi yang digunakan pada praktikum ini yaitu variasi konsentrasi
perata anionik (0,1,4g/L). Perata anionik sendiri berfungsi untuk meratakan difusi
zat warna di dalam kain sehingga mendapatkan kerataan warna hasil celup yang
baik.
Pada umumnya sifat zat warna basa adalah tidak larut dalam air, oleh
sebab itu sebelum dilakuka pencelupan zat warna harus dilarutkan terlebih
dahulu dengan penambahan asam asetat agar pH larutan celup menjadi asam dan
akan membentuk garam berarna pada zat warna basa.
Akrilat dapat dicelup dengan zat warna basa karena struktur serat pada
poliakrilat terdapat muatan negative, sedangkan zat warna basa bermuatan positif
sehingga zat warna dan serat dapat berikatan secara ionik, dan menyebabkan
sukar terjadi migrasi antara zat warna ke serat, makadariitu laju penyerapan zat
warna diperlambat dengan menambahkan retarder anionik.

Ketuaan Warna
9
8
7
6
Nilai Kain

5
4
3
2
1
0
0 ml/L 0.5 ml/L 4 ml/L
Retarder Anionik

Pada hasil yang didapatkan, kain 1 yang tidak menggunakan perata


anionok sama sekali memiliki ketuaan warna yang lebih baik. Hal ini dapat
disebabkan karena zat warna akan berikatan ionic tanpa adanya muatan negative
dari retarder, sehingga ikatan ionic menjadi sempurna dimana zat warna yang
masuk keserat akan lebih banyak dari dua kain lainya. Akan tetapi karena
penyerapan yang terlalu cepat akan menyebabkan kerataan warna menjadi kurang
bagus.
Kerataan Warna
9
8
7
6
Nilai Kain
5
4
3
2
1
0
0 ml/L 0.5 ml/L 4 ml/L
Retarder Anionik

Untuk kerataan warna yang paling bagus adalah kain tiga dengan
penambahan perata anionik 4 ml/L hal ini disebabkan karena semakin banyak
ditambahkan perata anionik maka laju penyerapan akan berlangsung lambat dan
menyebabkan zat warna tersebar merata pada kain, namun ketuaan warnanya
akan menurun karena disebabkan banyaknya muatan negative dalam larutan
menyebabkan sebagian zat warna berikatan dengan larutan dan tidak masuk
kedalam serat.

Meskipun retarder dapat memperbaiki kerataan warna hasil pencelupan,


namun apabila pemakaian secara berlebih akan menyebabkan penurunan ketuaan
warana yang signifikan dan pencelupan pun tidak optimal, makadari itu perlu
diperhatikan pemakaian zat secukupnya agar hasil pencelupan pun menjadi lebih
optimal.

 Perbandingan kain 1(retarder anionic 0 ml/L) dan kain 2 (retarder anionic 0,5
ml/L)
Untuk kerataan warna kain 1 yang tidak menggunakan retarder
anionic hasil kertaannya kurang optimal dibandingkan kain 2 yang
menggunakan retarder anionic sebanyak 0,5 ml/L. Hal ini disebabkan retarder
anionic sendiri berperan untuk memperlambat laju penyerapan sehingga zat
warna tersebar merata, sehingga kain yang dihasilkan kain 2 pun lebih rata
dibandingkan kain 1.
Untuk ketuaan warna kain 1 yang tidak menggunakan retarder
anionic hasil kertaannya kurang optimal dibandingkan kain 2 yang
menggunakan retarder anionic sebanyak 0,5 ml/L.

 Perbandingan kain 1(retarder anionic 0 ml/L) dan kain 3 (retarder anionic 4


ml/L)
Untuk kerataan warna kain 1 yang tidak menggunakan retarder
anionic hasil kertaannya kurang optimal dibandingkan kain 3 yang
menggunakan retarder anionic sebanyak 4 ml/L. Hal ini disebabkan retarder
anionic sendiri berperan untuk memperlambat laju penyerapan sehingga zat
warna tersebar merata, sehingga kain yang dihasilkan kain 3 pun lebih rata
dibandingkan kain 1.
Untuk ketuaan warna kain 1 yang tidak menggunakan retarder
anionic hasil kertaannya lebih optimal dibandingkan kain 3 yang
menggunakan retarder anionic sebanyak 4 ml/L. Hal ini disebabkan karena
pada kain 3 banyaknya muatan negative dalam larutan menyebabkan
sebagian zat warna berikatan dengan larutan dan tidak masuk kedalam serat,
sehingga ketuaan warnanya kurang optimal jika dibandingkan dengan kain .

 Perbandingan kain 3(retarder anionic 4 ml/L) dan kain 2 (retarder anionic 0,5
ml/L)
Untuk kerataan warna kain 2 yang menggunakan retarder anionic
sebanyak 0,5 hasil kertaannya lebih optimal dibandingkan kain 3 yang
menggunakan retarder anionic sebanyak 4 ml/L. Hal ini disebabkan pada kain
2 penggunaan retardernya paling optimal sehinga kerataannya pun lebih baik
dibanding kain 3.
Untuk ketuaan warna kain 2 yang menggunakan retarder anionic
sebanyak 0,5 hasil kertaannya lebih optimal dibandingkan kain 3 yang
menggunakan retarder anionic sebanyak 4 ml/L. Hal ini disebabkan pada kain
2 penggunaan retardernya paling optimal sehinga ketuaan warnanya pun
lebih baik disbanding kain 3.
6.2 Diskusi Pencelupan Kain Poliakrilat dengan Zat Warna Dispersi
Pada praktikum kali ini, dilakukan proses pencelupan kain
nylon/poliamida dengan zat warna dispersi. Variasi yang digunakan yaitu zat
pendispersi (0 ml/l, 1 ml/l, 5 ml/l). Zat pendispersi berperan penting dalam proses
pencelupan ini, yaitu berfungsi untuk mendispersikan zat warna dispersi agar
terdispersi monomolekuler didalam larutan celup dan untuk menjaga agar
partikel zat warna tetap stabil dan tidak mengendap (mencegah penggabungan
kembali partikel zat warna dispersi teraglomerasi menjadi partikel yang lebih
besar).
Suhu transisi gelas kedua (tg) poliakrilat berkisar antara 65 – 85⁰C. Mulai
suhu tersebut ikatan hidrogen antar rantai polimer poliakrilat mulai putus
sehingga serat mulai mengembang. Dalam proses pencelupan mulai suhu transisi
gelas (tg) tersebut akan terjadi peningkatan kecepatan penyerapan zat warna yang
besar, sehingga mulai suhu tersebut kenaikan suhu pecelupan perlu dikontrol
agar hasil celupnya tidak belang. Untuk membantu agar hasil celupnya tidak
belang/rata bisa digunakan zat pendispersi karena zat pendispersi berfungsi untuk
mendispersikan zat warna dan mendistribusikannya secara merata didalam
larutan . Selain itu, zat warna dispersi sendiri bersifat hidrofob, mempunyai berat
molekul yang kecil dan tidak mengandung gugus pelarut. Maka dari itu, pada
proses pencelupannya memerlukan zat pendispersi.
Berdasarkan pengamatan secara visual, dapat di analisa penggunaan zat
pendispersi yang paling optimal yaitu pada kain 2 dengan konsentrasi zat
pendispersi 1 ml/l. Hal ini karena pada kondisi optimal zat pendispersi dapat
bekerja dengan baik sesuai fungsinya yaitu mendispersikan zat warna agar
terdispersi monomolekur didalam larutan celup dan untuk menjaga agar partikel
zat warna tetap stabil dan tidak mengendap (mencegah penggabungan kembali
partikel zat warna dispersi teraglomerasi menjadi partikel yang lebih besar),
dimana zat warna ukuran molekulnya menjadi kecil dan akan tetap stabil yang
akan membuat zat warna larut didalam larutan celup dan zat warna akan mudah
masuk ke dalam serat sehingga akan menghasilkan warna yang tua. Selain itu,
pada kondisi optimal zat pendispersi pun dapat mendispersikan zat warna
sehingga tersebar secara merata sehingga dapat menghasilkan kerataan kain yang
baik.
Dapat dilihat untuk penggunaan zat pendispersi melebihi titik optimum,
akan menurunkan nilai ketuaan dan kerataan kain hasil pencelupan seperti pada
kain 3 dengan konsentrasi pendispersi 5 ml/l. Hal ini dapat disebabkan karena
penambahan zat pendispersi yang berlebih akan membuat konsentrasi larutan
celup menjadi jenuh dan zat pendispersi akan membentuk agregat sehingga dapat
memblokir atau menghalangi zat warna untuk masuk kedalam serat.

Kerataan Warna
9
8
7
6
Nilai Kain

5
4
3
2
1
0
0 ml/L 1 ml/L 5 ml/L
Zat Pendispersi

Ketuaan Kain
10
9
8
7
Nilai Kain

6
5
4
3
2
1
0
0 ml/L 1 ml/L 5 ml/L
Zat Pendispersi

Untuk kain 1 yang tidak menggunakan zat pendispersi hasil


pencelupannya kain berwarna muda dan tidak rata. Hasil ini karena zat warna
dispersi sendiri tidak mengandung gugus pelarut sehingga tidak larut didalam
larutan celup. Zat warna yang tidak larut akan sulit untuk masuk ke dalam serat
dan hanya akan menempel dipermukaan saja (tidak berikatan dengan serat)
sehingga ketika dicuci warnanya pun akan hilang yang menyebabkan warna kain
hasil pencelupannya muda. Sedangkan hasil yang tidak rata dapat disebabkan
oleh zat warna yang tidak terdispersi secara monomolekuler sehingga ukuran
molekul zat warnanya masih agak besar yang menyebabkan tidak tersebar secara
merata hanya dibeberapa bagian saja. Selain itu zat warna akan menjadi tidak
stabil yang akan membuat zat warna dispersi teraglomerasi menjadi partikel yang
lebih besar sehingga zat warna yang masuk tidak tersebar secara merata.
 Perbandingan kain 1 (zat pendispersi 0 ml/L) dan kain 2 (Zat pendisersi 1
ml/L)
Untuk kerataan warna kain 1 yang tidak menggunakan zat
pendispersi hasil kerataannya kurang optimal dibandingkan kain 2 yang
menggunakan zat pendispersi sebanyak 1 ml/L. Hal ini disebabkan karena zat
warna yang tidak terdispersi secara monomolekuler sehingga ukuran molekul
zat warnanya masih agak besar yang menyebabkan tidak tersebar secara
merata hanya dibeberapa bagian saja. Selain itu zat warna akan menjadi tidak
stabil yang akan membuat zat warna dispersi teraglomerasi menjadi partikel
yang lebih besar sehingga zat warna yang masuk tidak tersebar secara merata.
Oleh karena itu kain 2 yang penggunaan zat pendispersinya optimal hasil
kerataannya lebih optimal dibandingkan kain 1.

Untuk ketuaan warna kain 1 yang tidak menggunakan zat pendispersi


hasil ketuaannya kurang optimal dibandingkan kain 2 yang menggunakan zat
pendispersi sebanyak 1 ml/L. hal ini disebabkan karena zat warna dispersi
sendiri tidak mengandung gugus pelarut sehingga tidak larut didalam larutan
celup. Zat warna yang tidak larut akan sulit untuk masuk ke dalam serat dan
hanya akan menempel dipermukaan saja (tidak berikatan dengan serat)
sehingga ketika dicuci warnanya pun akan hilang yang menyebabkan warna
kain hasil pencelupannya muda. Oleh karena itu kain 2 yang penggunaan zat
pendispersinya optimal hasil ketuannya lebih optimal dibandingkan kain 1.
 Perbandingan kain 1 (zat pendispersi 0 ml/L) dan kain 3 (Zat pendisersi 5
ml/L)
Untuk kerataan dan ketuaan warna kain 1 yang tidak menggunakan zat
pendispersi hasil ketuaan dan kerataannya lebih optimal dibandingkan kain 3
yang menggunakan zat pendispersi sebanyak 5 ml/L. Hal ini disebabkan
karena penggunaan zat pendispersinya sudah melebihi titik optimum dan
penambahan zat pendispersi yang berlebih akan membuat konsentrasi larutan
celup menjadi jenuh dan zat pendispersi akan membentuk agregat sehingga
dapat memblokir atau menghalangi zat warna untuk masuk kedalam serat
oleh karena itu kain 1 yang tidak menggunakan zat pendispersi hasilnya lebih
optimal dibanding kain 3 yang menggunakan zat pendispersi sebanyak 5
ml/L.

 Perbandingan kain 3 (zat pendispersi 1 ml/L) dan kain 2 (Zat pendisersi 1


ml/L)
Untuk kerataan dan ketuaan warna kain 3 yang menggunakan zat
pendispersi sebanyak 5 ml/L hasil ketuaan dan kerataannya kurang optimal
dibandingkan kain 2 yang menggunakan zat pendispersi sebanyak 5 ml/L.
Hal ini disebabkan karena penggunaan zat pendispersi paling optimum adalah
1 ml/L (seperti kain 2), sehingga pada kain 3 penggunaan zat pendispersinya
sudah melebihi titik optimum dan penambahan zat pendispersi yang berlebih
akan membuat konsentrasi larutan celup menjadi jenuh dan zat pendispersi
akan membentuk agregat sehingga dapat memblokir atau menghalangi zat
warna untuk masuk kedalam serat oleh karena itu kain 3 yang menggunakan
zat pendispersinya sebanyak 5 ml/L hasilnyakurang optimal dibanding kain 2
yang menggunakan zat pendispersi sebanyak 1 ml/L.
VII. KESIMPULAN
7.1 Kesimpulan Pencelupan Kain Poliakrilat dengan Zat Warna Basa
Pada praktikum pencelupan kain poliakrilat dengan zat warna basa variasi
retarader anionik, dapat disimpulkan bahwa :
 Semakin banyak penggunaan retarder anionik maka kerataan warna kain hasil
celupanya akan semakin meningkat
 Semakin banyak penggunaan retarder anionic maka ketuaan warna kain hasil
celupanya akan semakin baik
 Penggunaan retarder yang berlebih menyebabkan hasil celup yang kurang
optimal

7.2 Kesimpulan Pencelupan Kain Poliakrilat dengan Zat Warna Dispersi


 Penggunaan zat pendispersi yang optimal dapat mrnghasilkan kain hasil
celup dengan ketuaan warna dan kerataan warna yang baik karena zat
pendispersi dapat bekerja sesuai fungsinya.
 Penggunaan zat pendispersi yang berlebih akan menurunkan ketuaan warna
han kerataan warna kain hasil celup karena terbentuknya agregat
 Apabila tidak menggunakan zat pendispersi, maka ketuaan warna dan
kerataan warna kain hasil celup kurang baik, karena tidak adanya zat yang
membantu untuk mendispersikan zat warna.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ir. Rasjid Djufri, M. Sc; G.A. Kasoenarno, Bk. Teks; Astini Salihima, S. Teks; Arifin
Lubis, S.Teks, “Teknologi pengelantangan, Pencelupan dan Pencapan“, Institut
Teknologi Tekstil, 1976, Bandung.
2. Soeprijono S.Teks, Poerwanti S.Teks, Widayat S.Teks, Jumaeri S.Teks “ Serat- Serat
Tekstil “,Institut Teknologi Tekstil, 1973, Bandung.
3. Ichwan M, dkk., 2017. Bahan Ajar Praktikum Pencelupan 2. Sekolah Tinggi Teknologi
Tekstil: Bandung.
4. Al-ghifari, Rasyid. 2017. Pencelupan Polikrilat dengan Zat Warna Dispersi. Diambil 26
November 2018 dari, https://www.scribd.com/document/363291937/Pencelupan-
Poliamida-Dengan-Zat-Warna-Dispersi
5. Sagaraa. 2012. Pencelupan Poliakrilat dengan Zat Warna Basa. Diambil, 26 November
2018, dari, http://sagaara301.blogspot.com/2012/01/pencelupan-serat-poliakrilat-dengan-
zat.html
6.

Anda mungkin juga menyukai