Anda di halaman 1dari 23

Laporan Praktikum

Laboratorium Teknik Material


Modul C Metal Hardening
Oleh :
Nama

: Surya Eko Sulistiawan

NIM

: 13713054

Kelompok

:2

Anggota (NIM)

: Andrian Anggadha Widatama (13713005)


Antonio Ricardo Salomo Abraham (13713024)
Adhi Setyo Nugroho (13713025)
Aldi Wendo Kohara (13713042)

Tanggal Praktikum

: 27 Oktober 2015

Tanggal Penyerahan Laporan

: 02 November 2015

Nama Asisten (NIM)

: M. Iqbal Yusrian (13711064)

Laboratorium Metalurgi dan Teknik Material


Program Studi Teknik Material
Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara
Institut Teknologi Bandung
2015
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Material logam dan paduan banyak dijumpai dan digunakan pada industry
alat-alat berat, kontruksi, dan industry manufaktur. Para pelaku industri tersebut
memanfaatkan sifat-sifat logam dan paduannya sebagai bagian yang tak
terpisahkan dalam system pengoperasian industry mereka.
Salah satu sifat logam yang umum dimanfaatkan adalah sifat kekuatannya.
Sifat kekuatan logam dapat disejajarkan dengan sifat kekerasan logam. Untuk
membuat produk dari logam dan paduan yang memiliki kekuatan dan kekerasan
tinggi harus diatur kadar unsur-unsur yang terkandung dalam logam tersebut pada
saat proses pencairan dan pembuatan logam. Namun cara ini tidak efisien kare na
membutuhkan biaya yang mahal dan prosesnya memerlukan waktu yang lama.
Insinyur teknik material sering dipanggil untuk mendesain logam dan paduan
yang memiliki kekuatan tinggi; biasanya keuletan dikorbankan ketika paduan
tersebut dinaikkan kekuatannya (Callister,2009). Beberapa cara untuk menaikkan
harga kekerasan logam yang sudah berbentuk solid yaitu dengan quenching dan
precipitation hardening. Kenaikan harga kekerasan logam ini akan mengakibatkan
sifat keuletannya menurun dan menjadi getas. Salah satu cara untuk mengatasi hal
ini yaitu dengan melakukan proses annealing sehingga keuletannya akan naik
kembali.
1.2 Tujuan Praktikum
1. Menentukan harga kekerasan baja karbon setelah diquenching
2. Menentukan harga kekerasan tembaga setelah mengalami proses annealing
3. Menentukan harga kekerasan paduan Al-Cu setelah mengalami proses
precipitation hardening
BAB II
TEORI DASAR
Proses pengerasan logam pada dasarnya adalah dengan menghambat
pergerakan dislokasi sehingga logam tersebut akan semakin sulit untuk dideformasi
plastis Untuk menghambat pergerakan dislokasi ini terdapat beberapa metode
pengerasan, antara lain pengerasan presipitasi,pembentukan fasa martensit pada
baja,
dan proses cold working.
Pengerasan presipitasi adalah proses perlakuan panas yang ditujukan untuk
meningkatkan kekuatan dan kekerasan material dengan pembentukan presipitat yang
tersebar secara seragam di dalam matriks. Pembentukan fasa martensit pada baja
dilakukan dengan memanaskan baja sampai temperatur austenisasinya lalu diquench
kedalam air. Proses cold work merupakan proses deformasi plastis logam dibawah
temperatur rekristalisasinya sehingga menghasilkan fenomena strain hardening.
1. Pengerasan baja karbon
Pengerasan pada baja dilakukan dengan menerapkan proses heat treatment.
Heat treatment merupakan proses pengubahan sifat logam melalui pengubahan
struktur mikro dengan cara pemanasan dan pengaturan laju pendinginan. Pada
proses ini baja dipanaskan terlebih dahulu sampai temperatur austenisasinya dan
dibiarkan tetap pada temperatur tersebut untuk menghomogenkan temperatur di
logam

tersebut

kemudian

setelah itu dengan diatur laju


pendinginannya akan diperoleh
sifat kekerasan yang diinginkan.
Semakin
pendinginannya
kekerasannya

cepat

laju

maka
akan

nilai

semakin

besar. Pada gambar disamping


Gambar 2.1 Diagram fasa Fe-C
terlihat beberapa fasa pada baja, antara lain ferrit, austenite, dan perlit. Ferrit
merupakan fasa dengan kadar kelarutan karbon maksimum 0.022%. Ferrit ini
memiliki struktur Kristal BCC dan bersifat magnetic. Range temperatur ferrit
berbeda-beda tergantung kandungan karbonnya namun range maksimalnya berada
dikisaran 400-9120 C. Austenit merupakan fasa dengan kadar karbon 0-2.14%.
Austenti ini memiliki struktur Kristal FCC, bersifat nonmagnetic dan range
temperatur maksimumnya antara 727-14930 C. Perlit merupakan fasa yang terdiri
dari ferrit dan sementit eutectoid. Kadar karbonnya mulai dari 0-6.7% dan
temperatur maksimumnya 7270 C.
Diagram fasa diatas hanya berlaku dengan asumsi bahwa laju pendinginannya
lambat dan mekanismenya difusi. Untuk laju pendinginan yang cepat pada baja
digunakan diagram CCT(Continuous Cooling Temperatur). Terdapat 3 jenis
diagram CCT pada baja, yaitu untuk baja hipoeutektoid, eutectoid, dan
hiepreutektoid. Pada proses pendinginan cepat ini terdapat istilah fasa martensit
dan bainit. Martensit adalah fasa hasil proses pendinginan baja austenite yang
lajunya sangat cepat (quenching). Fasa ini memiliki nilai kekerasan yang sangat
tinggi namun getas. Sedangkan bainit merupakan fasa hasil transformasi austenite
yang mengandung ferit dan sementit diskontinu. Temperatur pembentukan bainit
ini berada diantara temperatur perlit dan martensit, yaitu antara 215-5400 C.
2. Precipitation hardening paduan Al-Cu
Precipitation hardening merupakan proses perlakuan panas yang ditujukan
untuk meningkatkan kekuatan dan kekerasan material dengan pembentukan
presipitat yang tersebar secara seragam di dalam matriks. Paduan yang mudah
dikeraskan dengan presipitasi adalah paduan yang dapat membentuk super
saturated solid solution, yang ketika diaging akan terbentuk presipitat. Salah satu
contoh paduan yang menggunakan proses ini adalah paduan Al-Cu.
Tahapan proses precipitation hardening ini antara lain solution heat treating
dan precipitation heat treating. Pada tahap solution heat treating, unsur Cu akan
larut dalam paduan yang dipanaskan hingga batas kelarutannya. Setelah dilakukan
Gambar 2.3 Waktu aging

Gambar 2.2 Proses precipitation hardening

holding time maka akan terbentuk larutan padat lewat jenuh (super saturated solid
solution kemudian

paduan tersebut diquenching. Sedangkan pada tahap

Precipitation heat treating, paduan tersebut diaging sehingga akan terbentuk


precipitat yang akan menghambat pergerakan dislokasi. Dengan terhambatnya
pergerakan dislokasi inilah paduan Al-Cu tersebut menjadi lebih keras. Pengaturan
proses aging harus diperhatikan untuk menghindari fenomena overaging.
3. Rekristalisasi
Logam yang telah mengalami proses cold working akan muncul fenomena
strain hardening dan disertai kenaikan kekuatan dan kekerasan. Kenaikan kekuatan
dan kekerasan ini juga dibarengi dengan menurunnya keuletan dan ketangguhan
material. Untuk mengatasi hal ini dilakukan proses annealing, yaitu pemulihan
bentuk butir. Proses annealing ini terdapat 3 tahap yaitu recovery, rekristalisasi,
dan pertumbuhan butir.
Recovery merupakan fase awal dari
proses

annealing

yang

memiliki

karakteristik sebagai berikut :


- Logam dipanaskan sampai temperatur
tertentu

di

bawah

temperatur

rekristalisasinya.
- Terjadi peristiwa difusi atau pergerakan
atom dalam keadaan padat
- Terjadi

penataan

ulang

atau
Gambar 2.4 Tahap-tahap annealing
rekonfigurasi dislokasi
- Terjadi pembebasan lattice strain energy
- Hasil recovery adalah pelunakan logam
Rekristalisasi merupakan fase kedua dari proses annealing yang memiliki
karakteristik sebagai berikut :
- Terjadi ketika proses pemanasan logam telah mencapai temperatur
rekristalisasinya
- Inti butir baru dengan regangan bebas mulai terbentuk
- Inti dari butir baru tersebut terus tumbuh dan berkembang
- Terbentuk butir kristal yang berbentuk bulat (equiaxial) dengan densitas
dislokasi yang dihasilkan rendah
- Restorasi sifat mekanik dari logam
- Kekerasan berkurang, tensile strength berkurang, dan keuletan meningkat
Pertumbuhan butir merupakan fase akhir dari proses annealing yang memiliki
tahapan sebagai berikut :
- Pertumbuhan butir baru akan berlanjut pada temperatur tinggi di atas
temperatur rekristalisasi
- Terjadi migrasi dari batas butir
- Terjadi fenomena grain cannibalism dimana butir kristal yang besar akan
mengekspansi butir kristal yang kecil
- Terjadi proses reduksi area batas butir
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Pengerasan baja karbon
Menyiapkan 2 spesimen yang terdiri dari baja karbon rendah dan tinggi pelat
tembaga

Mengukur kekerasan awal

Memanaskan specimen pada temperatur 9000C selama 30 menit

Melakukan proses quenching ke dalam air

Mengukur kekerasan akhir

3.2 Precipitation hardening paduan Al-Cu


Mengukur kekerasan paduan Al-Cu no.1 dari keempat specimen yang sudah
dipanaskan pada 5500C dan diquench kedalam air sebelumnya
Memanaskan lagi specimen tersebut pada temperatur 2000 C masing-masing
10,30,60 dan 120 menit
Mencelupkan 4 spesimen tersebut kedalam air sesaat setelah dikeluarkan dari
tungku pemanas
Mengukur kekerasan akhir keempat spesmien tersebut

3.3 Rekristalisasi
Memanaskan 6 spesimen tembaga pada T=8000 C, lalu didinginkan di udara dan
dirol dengan dengan reduksi 50% (sudah dilakukan)
Memberi tanda setiap spesimen dengan nomor 1,2,3,4,5, dan 6
Mengukur kekerasan awal specimen nomor 6

Memanaskan kembali specimen no 1 pada T=8000C selama 120 menit


Memanaskan spesimen no.2 sampai 5 pada T=4000C dengan waktu berturut-turut
15,30,45, dan 60 menit
Memanaskan specimen no.6 pada T=1000C selama 90 menit

Setelah selesai pendinginan, keenam spesimen tersebut diuji keras


BAB IV
DATA PENGAMATAN
1.1 Pengerasan baja karbon
Specimen

T (o C)

Waktu (menit)

HRA awal

HRA akhir

Baja karbon rendah

900

30

43.16

63.36

Baja karbon tinggi

900

30

64.33

73.66

1.2 Precipitation hardening paduan Al-Cu


Specimen

T (o C)

Waktu (menit)

HRE awal

HRE akhir

200

10

82.5

76

200

30
93

200

60

101.33

200

120

95.33

HRE vs time
120
100

80
60
40
20
0

50

100

150

1.3 Rekristalisasi
Specimen

T (o C)

Waktu (menit)

HRE awal

HRE akhir

800

120

80

85.66

2
400

15

82

400

30

70
4

400

45

84

400

60

75.66

100

90

78.75
BAB V
ANALISIS DATA
Praktikum metal hardening ini dilakukan dengan menggunakan specimen baja
karbon, paduan Al-Cu, dan tembaga. Data yang diperoleh pada pengujian ini adalah
harga kekerasan specimen yang sudah melalui tahapan proses masing- masing.
Dari data proses pengerasan baja karbon diperoleh harga kekerasan akhir
sebesar 63.36 HRA untuk baja karbon rendah, naik sebesar 46.8% dan 73.66 HRA
untuk baja karbon tinggi, naik sebesar 14.5%. Persen kekerasan baja karbon tinggi
yang lebih rendah daripada baja karbon rendah disebabkan oleh masih adanya
austenite sisa dalam baja karbon tersebut. Pernyataan ini didukung berdasarkan
diagram CCT, dimana baja karbon tinggi memiliki range pembentukan martensit
yang lebih panjang daripada baja karbon rendah sehingga transformasi fasa martensit
belum sepenuhnya selesai (belum mencapai martensite finish).
Kenaikan harga kekerasan kedua specimen ini disebabkan oleh baja yang
dipanaskan sampai temperatur 9000 C telah mengalami perubahan fasa menjadi
austenite dan ketika diquench kedalam air fasa austenit tersebut berubah menjadi
fasa
martensit. Fasa martensit ini keras karena karbon bebas yang terlarut di dalam
austenite tidak sempat berdifusi keluar kisi kristal sehingga tidak terjadi
transformasi
FCC menjadi BCC melainkan terjadi transformasi geser pada kisi kristal menjadi
bentuk struktur BCT yang mengandung karbon sangat jenuh sehingga material
tersebut memiliki tegangan.
Pada proses precipitation hardening paduan Al-Cu, harga kekerasan akhir naik
dari mulai menit ke-10 sampai menit ke-60 lalu turun pada menit ke 120. Kenaikan
harga kekerasan dari menit ke-10 sampai 60 biasa disebut GP zone dan disebabkan
oleh adanya partikel precipitat yang masih koheren dengan solvent atom (Al).
Adanya presipitat ini menyebabkan pergerakan dislokasi akan terhambat dan partikel
precipitat tersebut akan terus membesar seiring dengan lamanya pemanasan. Mulai
menit ke-120, harga kekerasan paduan menurun karena terjadi overaging. Overaging
terjadi karena butir CuAl2 membesar ketika terus dipanasi pada temperatur tinggi.
Walaupun data kekerasan yang diperoleh sesuai dengan literature namun data
kekerasan pada menit ke-10 lebih rendah daripada data kekerasan awal. Hal ini
mungkin disebabkan oleh beberapa hal, antara lain pengukuran kekerasan awal
spesmien hanya dilakukan 1 spesimen dari 4 spesimen yang tersedia dan
ketidakakuratan praktikan dalam uji keras. Pengukuran kekerasan yang hanya
dilakukan pada 1 spesimen sebetulnya kurang akurat meskipun bisa menghemat
waktu pengujian. Walaupun specimen yang diuji materialnya sama namun jika
keempat specimen diuji keras bisa jadi harga kekerasannya berbeda-beda karena tiap
specimen bisa jadi memiliki sejarah perlakuan yang berbeda-beda sebelumnya.
Berdasarkan literature, tembaga memiliki temperature melting sekitar 1085 o C,
yang artinya temperatur rekristalisasinya bernilai 542.5 o C. Tembaga no.6 yang
dipanaskan pada temperatur 100o C selama 90 menit mengalami sedikit penurunan
harga kekerasan. Adanya sedikit penurunan ini disebabkan oleh specimen hanya
mengalami proses recovery dimana

internal stress mulai berkurang dan jumlah

dislokasi berkurang sedikit sehingga harga kekerasannya turun sedikit dan tidak
terlalu berpengaruh.
Pada tembaga no.1 yang dipanaskan pada temperatur 850 0 C selama 120 menit,
harga kekerasannya naik 5.65 HRA. Pemanasan tembaga diatas temperatur
rekristalisasinya ini seharusnya menjadikan nilai kekerasan tembaga turun, namun
pada kasus ini kekerasannya naik. Adanya ketidaksesuaian kasus ini dengan teori
mungkin disebabkan oleh pengukuran kekerasan awal spesmien hanya dilakukan 1
spesimen dari 6 spesimen yang tersedia dan ketidakakuratan praktikan dalam uji
keras.
Pada tembaga no.2-5 yang dipanaskan pada temperatur 400 0 C, harga kekerasan
yang diperoleh berbeda beda sejalan dengan waktu pemanasan yang berbeda pula.
Pada temperatur 4000 C ini terjadi rekristalisasi butir-butir. Pada percobaan ini
kekerasan specimen no.2 dan 4 naik sedangkan specimen no.3 dan 5 turun. Walaupun
harga kekerasannya berbeda-beda namun rentang perbedaan dengan harga kekerasan
awal terpaut cukup dekat dan tidak terlalu signifikan. Adanya perbedaan ini mungkin
disebabkan oleh ketidakakuratan dalam pengambilan data.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Harga kekerasan setelah dipanaskan pada temperatur 9000 C selama 30 menit

pada baja karbon rendah sebesar 63.36 HRA dan baja karbon tinggi 73.66
HRA.
2. Harga kekerasan 4 spesimen tembaga setelah dipanaskan pada temperatur
4000 C selama 15,30,45, dan 60 menit secara berturut-turut sebesar 82,70,84,
dan 75.6 HRE. Sedangkan 1 spesimen yang dipanaskan pada temperatur
8000 C selama 120 menit sebesar 85.65 HRE, dan 1 spesimen yang dipanaskan
pada temperatur 1000 C selama 90 menit sebesar 78.75 HRE.
3. Harga kekerasan 4 spesimen paduan Al-Cu setelah dipanaskan pada
temperatur 2000 C

selama 10,30,60,120

menit berturut-turut sebesar

76,93,101.33, dan 95.33 HRE.


5.2 Saran
Pengujian keras sebaiknya dilakukan pada semua specimen yang akan
diproses sehingga hasilnya bisa lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Groover,M.P. “Fundamental of Modern Manufacturing” 4 th edition. John Wiley &
Sons, Inc. 2010.
2. Callister, William D. “Materials and Science Engineering An Introduction” 6th
edition. John Willey & Sons, Inc. 2003.
3. Kalpakjian,S & Schmid, S. “Manufacturing Engineering and Technology” 6 th
edition. Pearson. 2009.

LAMPIRAN
Tugas Setelah Praktikum 1
Pengerasan baja karbon
1. Mengapa baja dengan karbon lebih tinggi memiliki kekerasan yang lebih tinggi
daripada baja karbon dengan karbon rendah setelah proses quenching ?
2. Apakah pengaruh proses quenching dengan kekuatan dan kekerasan baja ?
3. Jelaskan mekanisme terbentuknya martensit dan mengapa martensit memiliki
kekerasan yang tinggi pada baja ?
4. Kapan terbentuk austenite sisa pada proses quenching dan apa pengaruhnya
terhadap kekerasan ?
5. Jelaskan cara yang dilakukan untuk mengurangi keberadaan austenite sisa ?
Jawab :
1. Karena baja karbon rendah memiliki jumlah atom karbon yang tidak cukup untuk
memicu terbentuknya tetragonalitas pada martensit
2. Pengaruh proses quenching akan mengubah harga kekerasan maupun kekuatan
baja. Semakin cepat laju pendinginan maka kekuatan dan kekerasannya akan naik
dan akan terbentuk fasa martensit.
3. Baja

dipanaskan sampai temperatur austenisasinya dan dibiarkan agar

temperaturnya seragam pada specimen, kemudian specimen diquench kedalam air


sehingga fasa austenit tersebut berubah menjadi fasa martensit. Fasa martensit ini
keras karena karbon bebas yang terlarut di dalam austenite tidak sempat berdifusi
keluar kisi kristal sehingga tidak terjadi transformasi FCC menjadi BCC melainkan
terjadi transformasi geser pada kisi kristal menjadi bentuk struktur BCT yang
mengandung karbon sangat jenuh sehingga material tersebut memiliki kekuatan
yang tinggi.
4. Adanya austenite sisa disebabkan oleh tidak sampainya temperatur specimen ke
martensit finish (Mf). Austenit sisa ini merupakan fasa austenite yang belum
sempat bertransformasi menjadi martensit.
5. dilakukan sub-zero treatment, yaitu menurunkan temperatur media pendingin
sehingga martensit finish (Mf) dapat tercapai
Precipitation Hardening
1. Buat analisis waktu aging terhadap kekerasan !
2. Mengapa presipitasi meningkatkan kekerasan/kekuatan ?
3. Apa yang dimaksud dengan natural aging, artificial aging, dan overaging ?
4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan GP zone ?
Jawab :
1. Semakin tinggi temperatur selama masih di GP zone, kekerasan akan naik.
Sedangkan jika sudah mengalami overaging kekerasan akan turun.
2. Karena adanya presipitat akan menghalangi pergerakan dislokasi sehingga
dibutuhkan gaya yang lebih besar untuk menggerakan dislokasi tersebut sehingga
kekuatannya naik.
3. Natural aging

: Aging yang dilakukan dengan menggunakan temperatur

kamar
Artificial aging

: Aging yang dilakukan diatas temperatur kamar.


Over aging

: Aging yang melewati batas kekuatan dan kekerasan yang

dapat diperoleh , sehingga kekerasan malah turun.


4. Suatu daerah dimana terbentuk cluster partikel precipitat dimana cluster
tersebut
masih koheren dengan atom-atom solvent.
Rekristalisasi
1. Buatlah analisis antara temperatur pemanasan pada T=800’C,400’C, dan 100’C
terhadap kekerasan material ? Adakah hubungannya dengan struktur mikronya ?
Jelaskan.
2. Temperatur rekristalisasi dipakai sebagai batas antar cold working dan hot
working. Jelaskan mengapa pemberian deformasi pada hot working tidak
meningkatkan kekerasan ?
3. Jelaskan pengaruh cold work terhadap temperatur rekristalisasi material ?
4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan cold working dan hot working ! Apa
masingmasing kelebihan dan kekurangannya dan berikan contohnya !
5. Jelaskan pengaruh recovery, recrystallization dan grain growth terhadap sifat
mekanik material !
Jawab :
1. Sudah ada di bab analisis data. Temperatur pemanasan ada hubungannya dengan
struktur mikro. Pada T=800’C terjadi pertumbuhan butir, butir membesar. Pada
T=400’C terjadi rekristalisasi, muncul butir-butir baru yang bebas regangan. Pada
T=100’C terjadi recovery, dimana bentuk butir masih sama namun terjadi proses
pengurangan internal stress.
2. Karena pada hot working dislokasi menjadi sedikit akibat pemanasan diatas
temperature rekristalisasi.
3. Dari gambar disamping terlihat bahwa semakin
tinggi

persen

cold

working,

temperatur

rekristalisasinya turun secara eksponensial.


4. Cold working merupakan proses pengerjaan logam dibawah temperatur
rekristalisasinya. Kelebihan : toleransi dimensi ketat, permukaan benda kerja
halus, dan tidak perlu tungku pemanas. Kelemahan : mengalami strain hardening,
ketahanan korosi turun, perlu proses annealing. Contoh : cold rolling.
Hot

working

merupakan

proses

pengerjaan

logam

diatas

temperatur

rekristalisasinya. Kelebihan : gaya pembentukan kecil, tidak terjadi strain


hardening, tidak perlu annealing. Kekurangan : perlu tungku pemanas, tooling
system mahal, toleransi dimensi rendah, permukaan benda kerja kasar. Contoh :
Hot rolling.
5. Pengaruh recovery, recrystallization dan grain growth terhadap sifat mekanik
material antara lain terjadinya penurunan kekuatan tarik, penurunan kekerasan, dan
peningkatan keuletan.
Tugas Setelah Praktikum 2
1. Jelaskan

proses

annealing

dan

struktur

mikronya
Jawab :
1. Recovery merupakan fase awal dari proses
annealing yang memiliki karakteristik sebagai
berikut :
- Logam
tertentu

dipanaskan
di

sampai
bawah

temperatur
temperatur

rekristalisasinya.
- Terjadi peristiwa difusi atau pergerakan atom
dalam keadaan padat
- Terjadi penataan ulang atau rekonfigurasi dislokasi
- Terjadi pembebasan lattice strain energy
- Hasil recovery adalah pelunakan logam
Rekristalisasi merupakan fase kedua dari proses annealing yang memiliki
karakteristik sebagai berikut :
- Terjadi

ketika

proses

pemanasan

logam

telah

mencapai

temperatur

rekristalisasinya
- Inti butir baru dengan regangan bebas mulai terbentuk
- Inti dari butir baru tersebut terus tumbuh dan berkembang
- Terbentuk butir Kristal yang berbentuk bulat (equiaxial) dengan densitas
dislokasi yang dihasilkan rendah
- Restorasi sifat mekanik dari logam
- Kekerasan berkurang, tensile strength berkurang, dan keuletan meningkat
Grain growth merupakan fase akhir dari proses annealing yang memiliki tahapan
sebagai berikut :
- Pertumbuhan butir baru akan berlanjut pada temperatur tinggi di atas temperatur
rekristalisasi
- Terjadi migrasi dari batas butir
- Terjadi fenomena grain cannibalism dimana butir Kristal yang besar akan
mengekspansi butir Kristal yang kecil
- Terjadi proses reduksi area batas butir

Anda mungkin juga menyukai