Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit kanker sudah menjadi penyebab kematian kedua setelah
penyakit jantung. Kasusnya terus meningkat setiap'tahunnya. Menurut
World health Organization (WHO) tahun 2030 nanti secara global penderita
kanker meningkat sebesar 300% dan di Indonesia diperkirakan penyakit
kanker meningkat sebanyak tujuh kali lipat' Setiap tahun tidak kurang dari
15.000 kasus kanker serviks terjadi di lndonnesia. Sementara kanker
payudara merupakan penyakit dengan kasus terbanyak kedua setetah kanker
serviks. Tahun 2004 sebanyak 5.207 kasus (Profil Kesehatan lndonesia th
200s) Penyakit terminal tidak hanya terbatas pada penyakit kanker tapi juga
penyakit terminal lainnya seperti gagal ginjal, HIV aids, lansia, parkinson
dan sebagainya. Dengan semakin meningkatnya kasus - kasus penyakit
terminal tersebut diperlukan palliative care yang dapat memperbaiki kualitas
hidup penderitanya dan agar mereka bisa menjalani kematian dengan damai
( Depkes, 2007).
Perawatan Paliatif adalah pendekatan yang meningkatkan kualitas hidup
pasien dan keluarga dalam menghadapi masalah yang terkait dengan
penyakit yang mengancam jiwa, melalui pencegahan dan penderitaan
melalui identifikasi awal, pengkajian secara menyeluruh dan pengobatan
nyeri serta masalah fisik, psikososial, dan spiritual (WHO, 2002). Perawatan
palitif dilakukan oleh tim multidisiplin yang melibatkan banyak tenaga
kesehatan untuk tujuan yang sama (Aitken, 2009).
Pelayanan paliatif yang diberikan oleh perawat akan memiliki kualitas
yang baik apabila asuhan keperawatan yang diberikan dapat memenuhi
kebutuhan pasien. Pelayanan tersebut dapat dicapai dengan memperhatikan
pendidikan dan pelatihan yang dimiliki oleh perawat. Pendidikan dan
pelatihan tersebut merupakan faktor yang mempengaruhi persepsi (Efendi
dan Makhfudli, 2009).

1
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah keperawatan di Dunia?
2. Bagaimana sejarah Perkembangan keperawatan di Indonesia?
3. Bagaimana sejarah keperawatan paliatif di Dunia?
4. Bagaimana sejarah Perkembangan keperawatan paliatif di Indonesia?
5. Bagaimana prinsip keperawatan paliatif?
6. Bagaimana tujuan keperawatan paliatif ?
7. Bagaimana standar praktik keperawatan paliatif?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui sejarah keperawatan di Dunia
2. Untuk mengetahui sejarah perkembangan keperawatan di Indonesia
3. Untuk mengetahui sejarah keperawatan paliatif di Dunia
4. Untuk mengetahui sejarah perkembangan keperawatan paliatif di
Indonesia
5. Untuk mengetahui prinsip keperawatan paliatif
6. Untuk mengetahui tujuan keperawatan paliatif
7. Untuk mengetahui standar praktik keperawatan paliatif
8. Untuk mengetahui perawatan hospice

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Sejarah Keperawatan Di Dunia


Sejarah keperawatan dimulai dari zaman dahulu dimana manusia hidup
dalam zaman primitif. Pada saat tersebut perawatan yang dilakukan hanya
berdasarkan naluri instintif yaitu hanya berdasarkan naluri seseorang, juga
dapat disebut sebagai “mother instinc”hal ini berdasarkan suatu fakta bahwa
seorang ibu adalah bertugas melindungi, merawat dan menyusui
bayinya.Sedangkan seorang laki-laki bertugas mencari makanan, berperang,
berburu, dan sebagainya.Pada saat tersebut belum ada batas antara
pengobatan dan perawatan.
Berikut ini beberapa contoh pengobatan dan perawatan yang dilakukan
oleh orang-orang primitif, yaitu :
a. Merawat dan membalut luka walaupun hanya menggunakan daun-daunan
yang di temukan di alam sekitarnya.
b. Telah mengenal cara penurunan suhu badan dengan memberikan minum
yang banyak dan melakukan kompres. Hal tersebut ternyata sampai saat
ini masih dilakukan, tentunya telah melalui metode ilmiah.
c. Membuka abses (pembengkakan) yang terjadi dengan menempelkan
batu-batu yang masih panas. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar
pembuluh darah menjadi konstriksi sehingga perdarahan berhenti atau
berkurang.
d. Sudah melakukan pengobatan dan perawatan dengan tumbuh-tumbuhan
yang ada di alam untuk mengobati suatu penyakit.
Hal tersebut dilakukan karena dalam keadaan memaksa dan mereka
sangat membutuhkan pertolongan segera.Tindakan tersebut masih banyak
yang dipertahankan sampai karena telah dibuktikan dengan metode ilmiah.
Pengaruh kepercayaan seperti animisme juga mempengaruhi perawatan
dan pengobatan.Dalam kepercayaan tersebut mereka percaya bahwa alam
gaib dapat mempengaruhi kehidupan manusia.Kepercayaan tersebut meyakini
bahwa arwah-arwah tersebut terdapat pada jasad yang sudah mati atau yang

3
masih hidup dan juga pada benda-benda di alam.Mereka menghubungkan
keadaan sakitnya seseorang disebabkan karena adanya roh halus yang
merasuki mereka.Untuk menghubungkan dengan roh yang mengganggu
seseorang maka diperlukan seorang dukun.Tugasnya adalah mencari atau
mengetahui roh manakah yang mengganggu dan setelah itu mengeluarkan
dari tubuh orang tersebut.
Dalam melakukan pengobatan dukun memperhatikan ajaran alam dan
transmigrasi.Dalam ajaran alam mereka percaya bahwa dalam hal ini alam
sebenarnya telah menyediakan berbagai obat-obatan yang diperoleh dari alam
sekitarnya.Hal ini terbukti, banyak disekitar kita tumbuh-tumbuhan yang
memang cukup efektif untuk pengobatan dan kecil risikonya. Adapun ajaran
transmigrasi mengajarkan bahwa adanya kekuatan dengan menghubungkan
fenomena yang terjadi dengan kejadian di sekitarnya. Seperti untuk
membantu proses persalinan mereka akan membuka pintu lebar-lebar agar
bayinya mudah keluar.
Mereka percaya bahwa sakitnya seseorang karena dewa yang mereka
percayai sedang marah.Untuk meminta atau memuja kesembuhan mereka
mendirikan kuli yang biasanya dipimpin oleh priest physician.
Kepercayaan terhadap adanya kekuatan gaib juga dapat kita ketahui dari
sejarah berapa negara seperti : mesir, yahudi, india, yunani. Mesir merupakan
negara yang telah puncak kebudayaan yang tinggi dengan adanya piramid-
piramid, telah mengenal hieroglip dan membuat mumi. Mereka juga percaya
adanya dewa isis. Mereka beranggapan bahwa dewa isis sangat tertarik
dengan orang sakit dan memberikan pertolongan untuk kesembuhan pada si
sakit. Pada waktu itu juga di mesir telah mengenal spalk (bidai) dan alat
pembalut.
Bangsa yahudi juga telah mengenal tentang perlunya kebersihan secara
umum dan kebersihan diri bagi semua orang. Pada zaman tersebut juga telah
mengenal undang-undang kesehatan, berisi antara lain :
a. Pemeriksaan dan pemilihan bahan makanan.
b. Mengadakan cara pembuangan kotoran manusia.
c. Adanya pelarangan daging babi.

4
d. Pemberitahuan kepada yang berwajib bila ada penyakit berbahaya.
Bangsa lainnya adalah india dimana mereka telah lama mengenal dan
mendirikan rumah sakit. Perawatan di india cukup maju karena telah
dikerjakan oleh tabib-tabib yang telah terlatih dan mendapatkan pendidikan.
Syarat bagi tabib atau perawat pada saat itu adalah :
a. Suci badan dan pikiran.
b. Sabar.
c. Dapat memelihara dan merawat.
Sayangnya peradaban tersebut akhirnya mengalami kemunduran karena
adanya intervensi dari bangsa lain. Pada zaman tersebut ketabiban telah maju,
hal ini dibuktikan dengan adanya buku sankrit vedas.
Di yunani mengenal banyak dewa dan salah satunya yang terkenal
sampai sekarang adalah dewa Aesculapius yang terkenal sebagai dewa
pengobatan. Di yunani inilah banyak lahir tokoh-tokoh yang terkenal sampai
sekarang seperti : hipocrates, plato dan aristoteles.
Perkembangan keperawatan mengalami kemajuan sejak adanya
perkembangan agama.Hal ini dapat dikatakan sebagai tonggak dari adanya
peradaban manusia. Pada agama kristen tersebut mereka rela mengenalkan
kasih sayang terhadap sesama manusia, yang mendorong pengikutnya untuk
melakukan perawatan. Hal ini dapat kita ketahui adanya diakones yang salah
satu tugasnya adalah mengunjungi orang-orang sakit.Dan hal ini sangat
penting dalam perkembangan keperawatan.
Periode yang penting lagi adalah pada masa constantin yang agung, dia
menganjurkan untuk mendirikan tempat khusus untuk pelarian, orang
terlantar, orang yang sakit dan perawatannya. Tempat untuk mereka
dinamakan xenodochein dan dalam bahasa latin dikenal dengan hospes.
Kemajuan lain yang diperhatikannya adalah adanya rumah sakit di roma
yaitu rumah sakit monastik hospital. Pada bangunan yang didirikan tersebut
terdapat bangsal yang digunakan untuk merawat orang sakit dan bangunan
untuk orang yang memerlukan pertolongan seperti orang cacat dan yatim
piatu.

5
Di belahan dunia lain tepatnya di asia barat daya juga lahir dan
berkembangnya agama islam. Pengaruh dari perkembangan agama islam
tidak disangkal membawa dampak terhadap perkembangan keperawatan.
Pada saat tidak berapa lama agama islam telah tersebar ke seluruh pelosok
dunia dan pada saat itu sangat berkuasa dari spanyol, afrika utara sampai asia
barat. Seiring berkembangnya agama islam maka berkembang juga ilmu
pengetahuan seperti ilmu pasti, ilmu kimia, hygiene, obat-obatan. Selain ilmu
tadi keperawatan juga mengalami perkembangan pesat. Hal ini tentunya tidak
lepas dari ajaran agama islam itu sendiri yang mendukung pentingnya
kebersihan untuk kesempurnaan ibadah.
Perkembangan selanjutnya adalah adanya perang salib.Perang ini
dianggap positif untuk dunia keperawatan karena pada saat ini banyak korban
akibat terjadinya perang.Korban berjatuhan, kelaparan dan penyakit yang
menyertai sehingga diperlukan banyak tenaga sukarela yang dibutuhkan
untuk membantu merawat.Selain itu juga mulai mengenal pekerjaan P3K dan
berkembangnya keperawatan dalam kemiliteran dengan disiplin yang
tinggi.Selain itu juga keperawatan mulai dikenal dalam bidang sosial
kemasyarakatan.
Pada zaman pertengahan yang tidak kalah pentingnya adalah
berkembangnya rumah sakit-rumah sakit diantaranya : hotel dieu di lion yang
cukup lengkap dan besar. Pada awalnya hanya dikerjakan oleh wanita-wanita
yang berkelakuan kurang baik, kemudian mereka sadar dan mengabdikan diri
untuk membantu dan merawat orang sakit.Selanjutnya perawatan dilakukan
oleh orang-orang yang terdidik yang telah mendapatkan pendidikan
perawatan dengan peraturan yang ketat. Kedua adalah hotel dieu di paris.
Pada rumah sakit ini pekerjaan perawatan dilakukan oleh orde agama atau
orde augustinair.Setelah terjadinya revolusi perancis orde agama dibubarkan
dan diganti dengan Genevieve bouquetyang dasar kerjanya adalah kesosialan.
Ketiga adalah rumah sakit St, Bartholomeus di London.Perawatan dikerjakan
oleh orde agama dari orde Augustynain sebelum digantikan oleh perawat
umum.Selain itu di London juga ada rumah sakit St. Thomas, dimana
Florence Nightingale memulai karirnya untuk keperawatan.

6
Pengaruh zaman renaissance membawa perubahan peradaban manusia
secara umum, dan di segala lapangan pekerjaan.Pada masa ini perawatan
masih dikerjakan berdasarkan kesosialan.Reformasi membawa perubahan
yang besar di inggris pada masa itu monastery dan rumah sakit-rumah sakit
dihapuskan.Demikian juga perawatan tidak lagi dikerjakan oleh orde agama
tetapi oleh orang-orang suruhan sehingga kondisinya sangat
buruk.Perkembangan keperawatan mengalami kemunduran karena ada
anggapan bahwa keperawatan dianggap sebagai pekerjaan pelayan biasa yang
mendapat bayaran dan dikerjakan oleh bekas orang sakit dan orang-orang
yang rendah budinya.Pada masa itu dikenal sebagai zaman gelap dalam
keperawatan.
Pada abad ke 18 dan 19 ilmu pengetahuan berkembang pesat tetapi pada
masa itu ilmu keperawatan dan kedokteran mengalami masa kemunduran
sebelum akhirnya banyak penemuan yang mendukung perkembangan ilmu
kedokteran.Dalam perkembangan keperawatan pun mengalami kemajuan
yang sangat besar yang dipelopori oleh tokohnya yaitu Florence Nightingale.

2.1.1 Pelopor Sejarah Keperawatan di Dunia


Florence Nightingale (lahir di Florence, Italia, 12 Mei 1820 –
Meninggal di London, Inggris, 13 Agustus 1910 pada umur 90 tahun)
adalah pelopor perawat modern, penulis dan ahli statistik. Ia dikenal
dengan nama Bidadari Berlampu (The Lady With The Lamp) atas
jasanya yang tanpa kenal takut mengumpulkan korban perang pada
perang krimea, di semenanjung Krimea, Rusia.
Florence Nightingale menghidupkan kembali konsep penjagaan
kebersihan rumah sakit dan kiat-kiat juru rawat. Ia memberikan
penekanan kepada pemerhatian teliti terhadap keperluan pasien dan
penyusunan laporan mendetil menggunakan statistik sebagai
argumentasi perubahan ke arah yang lebih baik pada bidang
keperawatan di hadapan pemerintahan Inggris.
Pada tahun 1860 Florence menulis buku Catatan tentang
Keperawatan (Notes on Nursing) buku setebal 136 halaman ini

7
menjadi buku acuan pada kurikulum di sekolah Florence dan sekolah
keeperawatan lainnya. Buku ini juga menjadi populer di kalangan
orang awam dan terjual jutaan eksemplar di seluruh dunia.

2.2 Sejarah Keperawatan di Indonesia


Sejarah perkembangan keperawatan pada zaman dahulu di Indonesia
tidak banyak yang diketahui.Perkembangan keperawatan di Indonesia banyak
dipengaruhi oleh zaman penjajahan belanda dan jepang.
Pada masa pemerintahan belanda, perawat berasal dari penduduk pribumi
yang disebut velpleger dengan dibantu zieken oppaser sebagai penjaga orang
sakit. Mereka bekerja di rumah sakt Binnen Hospital di jakarta untuk
memelihara staf dan tentara belanda.
Cornelis De Houtman memimpin penjajahan di indonesia. Pada tahun
1602 didirikanlah VOC dengan tujuan mementingkan dagang dari pada
kesehatan.Mereka memang datang ke Indonesia dengan tujuan untuk
menjajah dari pada memperbaiki kesehatan.Oleh karena itu pada masa
tersebut terjadi penurunan tingkat kesehatan yang disebabkan karena
pengaliran sungai yang lambat dan adanya sarang nyamuk di rawa-rawa. Pada
masa itu pemerintahan belanda mempunyai beberapa inisiatif untuk
memecahkan masalah tersebut, diantaranya adalah :
a. Memperbaiki pengaliran air.
b. Memindahkan rumah yang lokasinya lebih rendah dari tepi laut.
c. Dan menganjurkan agar membuat rumah di atas ketinggian.
Pada periode berikutnya dilakukan perubahan oleh belanda antara lain :
a. Memperhatikan kesehatan lingkungan.
b. Rumah sakit binnen hospital didirikan tapi diperuntukkan terutama untuk
pelaut dan tentara.
c. Rumah sakit buiten hospital, pada rumah sakit ini kondisi lebih sehat.

8
2.3 Sejarah Perkembangan Keperawatan Paliatif
Pada 14 juli 2005, dokter Cicely Saunders meninggal dunia di Inggris
dalam usia 87 tahun. Kematiannya di kenang dan dikomentari dalam media
massa diseluruh dunia, karena sudah lama ia mempunyai nama internasional.
Cicely Saunders untuk seterusnya akan diingat sebagai pencetus hospice
movement atau gerakan hospitium modern. Pada 1967 ia mendirikan St.
Christopher’s Hospice di Sydnham, London, dan selama 18 tahun menjadi
direktur medisnya. Melalui ceramah dan tulisannya, ia menyebarkan gagasan
hospitium ini juga ke luar negeri.
Namun, konsep “hospitium” terutama mengalami sukses, karena di
banyak tempat ternyata sangat dibutuhkan. Kinik hospice atau “hospitium”
dimengerti sebagai tempat yang menampung pasien terminal yang tidak
mungkin sembuh lagi. Kebanyakan adalah pasien kanker, tapi ada juga pasien
multiple sclerosis atau penyakit kronis lainnya. Tidak ada gunanya mereka
lebih lama dirawat di rumah sakit, sebab tidak tersedia terapi lagi yang dapat
mengobati mereka. Dan rumah sakit pada hakikattnya mempunyai tujuan
demikian. Hospitium melihat kemungkinan untuk membuat sesuatu lagi jika
pasien kehilangan harapan akan sembuh. Walaupun tidak ada cure
(pengobatan) lagi yang dapat menolong, mereka tetap harus diberikan care
(perawatan atau asuhan) sebaik-baiknya. Karena itu, dalam hospitium tidak
digunakan alat-alat canggih yang memperpanjang kehidupan secara artifisial,
seperti respirator. Tidak diusahakan lagi terapi terbaru seperti obat terbaru (
yang biasanya sangat mahal). Seluruh usahanya terarah pada tujuan supaya
pasien terminal tetap dalam keadaan nyaman dan dapat meninggal dunia
dengan baik dan tenang. Tindakan medis dibatasi pada menghilangkan nyeri.
Dengan perawatan menurut sistem hospitium ini Cicely Saunders
sekaligus meletakkan dasar untuk asuhan paliatif ( palliative care ). Berkat
usahanya, kedokteran paliatif menjadi suatu spesialisasi medis yang untuk
pertama kali berkembang di Inggris. Sekarang hampir semua rumah sakit di
sana memiliki suatu bagian paliatif. Unsur yang paling penting dalam
kedokteran paliatif adalah penatalaksanaan nyeri ( pain control ). Hal itu juga

9
harus di tangani secara profesional, sama seperti bagian-bagian kedokteran
lainnya. Tidak boleh terjadi pasien terminal menderita nyeri berlebihan.
Dari semula, Cicely Saunders mengerti bahwa perawatan dalam
hospitium bukan merupakan suatu urusan medis saja. Asuhan paliatif harus
holistik. Selain aspek medis, aspek-aspek psikologis dan spiritual tidak kalah
penting bagi pasien yang sudah sampai akhir kehidupannya. Karena itu,
hospitium sering dikunjungi oleh rohaniwan dari agama pasiuen
bersangkutan. Di samping iti hospitium didukung juga oleh banyak relawan
yang menyediakan waktu untuk mengobrol dengan pasien yang merasa
kesepian atau membantu dengan seribu satu cara lain lagi.
Menurut konsepsi Cicely Saunders dan rekan-rekannya, dalam hospitium
para pasien terminal harus merasa seperti di rumah sendiri. Keluarga boleh
menengok setiap saat dan kegemaran pasien sedapat mungkin dilayani. Jika
pasien ingin melihat anjing kesayangannya, misalnya, hal itu pasti diizinkan.
Karena suasana ini, hospitium kadan-kadang disebut Almost Home House.
Lama-kelamaan dr. Saunders mengerti bahwa cita-cita ini dapat dipenuhi
dengan lebih sempurna lagi jika pasien benar-benar bisa meninggal di tengah
keluarga dirumahnya sendiri. Karena itu, gerakan hospitium semakin mulai
memperhatikan pasien yang ingin meninggal di rumah. Dengan demikian,
hospitium kini terutama berfungsi sebagai pusat pelayanan bagi tenaga
profesional ( dokter dan perawat) serta relawan yang mendukung dan
membantu perawatan pasien terminal di rumah masing-masing.
Hospitium sebenarnya sudah mempunyai tradisi panjang yang berasal
dari abad pertengahan dan dipahami khusus dalam konteks keagamaan. Pada
abad pertengahan, di Eropa, hospitium ( dari bahasa latin hospes = tamu)
adalah tempat menampung peziarah atau orang sakit. ( Karena asa-usul ini
dalam bahasa indonesia kita sebaiknya mempertahankan kata aslinya,
hospitium.) Dalam agama Kristen ada kepercayaan bahwa orang yang
menerima orang asing atau sakit berarti menerima Yesus Kristus sendiri(
bandingkan Mateus 25). Dalam zaman modern, biarawati Katolik sisters of
Charity mendirikan Our Ladys Hospice for the Dying di Dublin, Irlandia,
pada 1879. Birawati yang sama mendirikan lagi Saint Joseph’s Hospice di

10
East End, London pada 1905. Dokter Cicely Saunders yang menjadi anggota
setia gereja Anglikan selama 7 tahun bekerja di Saint Joseph’s Hospice itu.
Dan pengalamannya yang pertama dengan kondisi pasien terminal yang
sudah mendekati ajalnya berasal dari sana. Hospitium yang di kelola oleh
sisters of charity itu mempunyai tujuan karitatif. Mereka terutama merawat
pasien terminal dari keluarga kurang mampu, yang tidak mendapat tempat di
rumah sakit. Dokter Cicely Saunders mengerti bahwa kebanyakan pasien
terminal membutuhkan perawatan khusus itu, karena pelayanan di rumah
sakit tidak cocok untuk mereka.
Ia mengerti juga bahwa perawatan pada akhir kehidupan itu harus
dijalankan dengan profesionalisme khusus. Karena itu, Saunders, yang
memulai kariernya sebagai perawat, kemudian merasa perlu menempuh lagi
studi kedokteran. Pada usia 34 tahun ia masuk fakultas kedokteran dan dari
permulaan studinya memperhatikan secara khusus perawatan pasien terminal.
Dengan demikian, ia bisa menjadi ahli kedokteran paliatif, meskpun
spesialisasi resmi ini pada waktu itu belum ada.
Jasa besar dr. Saunders itu berulang kali diakui dengan penghargaan yang
diperolehnya dari dalam dan luar negeri. Ratu inggris mengangkat dia dalam
order of merit yang sangat bergengsi di sana, sehingga seterusnya ia berhak
memakai gelar Dame. Seorang kolumnis harian the guardian menulis tentang
dia: she has changed the face of death for millions of peopple (ia telah
mengubah wajah kematian untuk jutaan orang). Tidak ada data-data lengkap
tentang program hospitium di seluruh dunia. Sebuah survei dari 1995
menunjukkan bahwa sekurang-kurangnya di 31 negara ada hospitium.
Indonesia tidak disebut pada daftar itu, sedangakan negara tetangga seperti
malaysia dan singapura ada. Namun, di Indonesia kadang-kadang juga kita
dengar tentang rumah sakit yang menyediakan pelayanan hospitium bagi
pasien terminal yang dirawat di rumah. Kita berharap saja agar upaya ini akan
ditingkatkan terus. Sebab, asuhan paliatif harus menjadi sebagian dari setiap
sistem pelayanan kesehatan yang bermutu. Dan hospitium sudah terbukti
merupakan salah satu sarana terbaik untuk mewujudkan tujuan itu.

11
2.4 Perkembangan Keperawatan Paliatif di Indonesia
Perkembangan paliatif di indonesia masih belum merata. Rumah sakit
yang mampu memberikan pelayanan perawatan paliatif di indonesia masih
terbatas di 5 ibu kota provinsi yaitu Jakarta, Yogyajakarta, Surabaya,
Denpasar dan Makassar. Sedangkan pasien membutuhkan pelayanan
perawatan paliatif yang bermutu, komprehensif dan holistik. Sehingga
Departemen Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan kebijakan tentang
perawatan paliatif agar dapat memberikan arah bagi sarana pelayanan
kesehatan untuk menyelenggarakan perawatan paliatif (SK Menteri Indonesia
Nomor 812/ Menkes/ SK/VII/2007).
Pada tahun 2011, 29.063.194 orang di dunia meninggal karena penyakit
yang membutuhkan perawatan paliatif dan 6% dari jumlah tersebut
merupakan anak-anak. Setiap tahunnya diperkirakan 6-3 anak dari 100.000
anak di bawah usia 15 tahun membutuhkan perawatan paliatif pada akhir
kehidupannya. Penyebab kematian pada anak dengan kebutuhan perawatan
paliatif adalah kelainan kongenital 25,06%, kondisi kongenital adalah
14,64%, penyakit KEP 14,12%, meningitis 12,62%, HIV-AIDS 10,23%, dan
penyakit kardiovaskuler 6,18%. Wilayah Asia Tenggara merupakan wilayah
tertinggi ke 2 dengan anak yang memebutuhkan perawatan paliatif (24%),
termasuk indonesia (WHO, 2014).

2.4.1 Contoh Rumah Singgah Yayasan Kanker Indonesia


Wawancara dilakukan dengan salah seorang staf Yayasan Kanker
Indonesia, Ibu Putu Sandat, 51 thaun , asal Tabanan, Pendidikan S1
Peternakan. Beliau sudah bekerja selama 20 tahun di YKI cabang Bali.
Rumah singgah ini mulai didirikan pada tahun 2013 dan bernaung di
bawah YKI. Bali dan diketuai oleh Ibu Nyonya Ayu Pastika. YKI
cabang Bali memiliki lima orang wakil ketua yaitu Prof. Dr. dr.
Suardana, SpTHT(K), dr. Cok Gede Darmayudha, SpPD(HOM), dr.
Mustika Ningsih, dr. Ine Susanti dan dra. Ni Made Suastini. Staff yang
bekerja di YKI Bali sebanyak 5 orang yang terdiri dari 1 bidan, 3 orang
staf dan 1 tenaga bersih-bersih. Biaya administrasi yang dikenakan

12
sebesar sepulur ribu rupiah untuk satu hari. YKI Bali memiliki empat
kamar tidur, dimana setiap kamarnya berisi 2 tempat tidur untuk pasien
dan penunggunya. Kamar mandi dan dapur berada di luar kamar. Tidak
ada syarat khusus bagi pasien yang ingin memanfaatkan rumah singgah
ini, namun diutamakan pasien yang tidak memiliki domisili ataupun
keluarga di daerah; masih bisa beraktivitas, diutamakan bagi pasien
kanker yang sedang menjalani terapi kemoterapi. Denpasar.
Kebanyakan dari pasien selama ini yang menggunakan rumah singgah
berasal dari daerah Lombok dan Flores. Sebagian besar pasien
perempuan yang mengalami kanker payudara, kanker leher rahim dan
ada yang mengalami kanker mulut

2.5 Prinsip Keperawatan Paliatif


1. Akses keperawatan
Standar penerapan prinsip ini melakukan pengkajian komunitas (terutama
pada perkulasi yang kurang melayani), memberi layanan yang sensitif
terhadap komunitas yang beragam budaya, melakukan pelatihan
difersitas untuk staf, dan memberi perawatan bagi pasien yang kurang
mampu membayar biaya pengobatan.
2. Pasien / keluarga sebagai unit keperawatan
Standar penerapan prinsip ini meliputi mendorong pasien/ keluarga untuk
berpartisipasi dalam menyusun rencana perawatan, menghargai nilai dan
keyakinan pasien / keluarga, dan mengajarkan pemberi perawatan primer
mengenai cara memberi perawatan
3. Tim antar disiplin hospice
Standar penarapan prinsip ini meliputi identifikasi dan pemeliharan tim
profesional dan suka relawan antar disiplin, koordinasi tim hospice oleh
profesional kesehatan yang berkualifikasi, pengawasan dan dukungan
untuk sukarelawan, pemberian perawatan yang tepat dan berkualitas, dan
pemeliharan rasa percaya yang tepat serta batasan profesional dan
hubungan dengan pasien dan keluarga.
4. Rencana perawatan oleh tim antar disiplin

13
Standar penerapan prinsip ini meliputi rencana perawatan komprehensif
tertulis yang disusun untuk masing-masing pasien/keluarga oleh dokter
penanggung jawab, dokter hospice, dan tim antar disiplin.
5. Lingkup layanan hospice
Standar penerapan prinsip ini meliputi adanya direktur medis hospice
yang cerdas, termasuk dokter yang menanggungjawab, layanan
keperawatan terdaftar (registered nursing, RN) yang berdasar pada
pengkajian perawatan, layanan asisten keperawatan yang berdasar pada
pengkajian dan pengawasan keperawatan terdaftar, layanan kerja sosial
yang berdasar pada pengkajian pekerja sosial, layanan konseling, layanan
asuhan spritual, layanan sukarela, konseling nutrisi, layanan radiologi,
dan layanan kehilangan.
6. Koordinasi dan kontinuitas keperawatan
Standar penerapan prinsip ini adalah mengkaji kebutuhan pasien/keluarga
dan mengkoordinasikan kontinuitas perawatan, serta memastikan bahwa
perawatan tersebut tersedia 24 sehari, 7 hari seminggu.
7. Utilisasi Review
Standar penerapan prinsip ini berfokus pada pemantauan teratur dan
evaluasi layanan.
8. Catatan layanan hospice
Standar penerapan prinsip ini berfokus pada mempertahankan catatan
yang komplit dan akurat.
9. Badan pengatur
Standar penerapan prinsip ini meliputi badan pengatur yang menetapkan
misi dan isu program lain, memastikan perencanaan dan penatalaksanaan
yang efektif, memastikan kepatuhan terhadap sarat hukum dan
pengaturan, serta mengkaji kinerja organisasi itu sendiri.
10. Manejemen dan administrasi
Standar penerapan prinsip ini meliputi administrator bertanggung jawab
melakukan tindakan operasional harian, memastikan bahwa kebijakan
personal bersifat komprehensif, memeriksa data finansial, melibatkan

14
klien dan keluarga dalam berbagai aktivitas hospice, dan
menggambarkan program secara objektif kepada masyarakat.
11. Pengkajian dan perbaikan kualitas
Standarpenerapan prinsipa ini berfokus pada pengkajian dan perbaikan
seluruh aspek program tersebut.

2.6 Tujuan Keperawatan Paliatif


Tujuan keperawatan paliatif menurut Charles Kemp, 2009:
1. Mengurangi penderitaan sehingga dapat meningkatkan penyembuhan.
2. Mencegah atau peredaan penderitaan menuntut tingkat kompetensi
yang tinggi. Dalam penatalaksanan nyeri dan gejala lain, penting bahwa
obat atau terapi diberikan sebelum masalah terjadi dan bukan sebagai
respon terhadap masalah tersebut.
3. Membantu menemukan atau membantu mengaktualisasikan, nilai,
keindahan, kekuatan atau apapun yang disebut sebagai potensi positif
individu. (Dan menurut Margaret, 2013 )Tujuan akhir dari perawatan
hospice adalah mencegah dan mengurangi penderitaan serta
memberikan bantuan untuk memperoleh kualitas kehidupan terbaik
bagi pasien dan keluarga mereka tanpa memperhatikan stadium
penyakit atau kebutuhan terapi lainnya. Perawatan paliatif merupakan
gabungan dari sebuah filosofi perawatan dan pengorganisasian, sistem
yang sangat terstrutur dalam memberikan pelayanan. Perawatan paliatif
memperluas model pengobatan penyakit tradisional ke dalam tujuan
dalam peningkatan kualitas hidup pasien dan keluarga, mengoptimalkan
fungsi, membantu membuat keputusan, dan menyiapkan kesempatan
pengembangan pribadi. Dengan demikian, perawatan paliatif dapat
diberikan bersamaan dengan perawatan yang memperpanjang/
mempertahnkan kehidupan atau sebagai fokus perawatan.

15
2.7 Standar Praktik Keperawatan Paliatif dan Kinerja Profesional.
Standar praktik keperawatan hospice dan kinerja profesional dijelaskan
secara terperinci dalam standar praktik keperawatan hospice dan kinerja
profesional ( Hospice Nurses Associatiation HNA, 1995). HNA sekarang
telah berganti menjadi Hospice and Palliative Nurses Association (HPNA).
2.1.1 Standar HNA/HPNA diringkas sebagai berikut:
1. Pengkajian: perawat hospice Mengumpulkan data keluarga dan
pasien
2. Diagnosis: Perawat hospice menganalisis data pengkajian
dalammenetapkan hasil.
3. Identifikasi hasil: Perawat hospice mengidentifikasi hasil yang
diharapkan bagi tiap klien dan keluarga.
4. Perencanaan: Perawat hospice menyusun rencana asuhan
keperawatan yang menentukan intervensi untuk mencapai hasil yang
diharapkan.
5. Implementasi: perawat hospice melaksanakan intervensi yang ter-
identifikasi dalam rencana asuhan keperawatan.
6. Evaluasi: perawat hospice mengevaluasi kemajuan keluarga dan
pasien dalam mencapai hasil.
2.1.2 Standar kinerja profesional adalah sebagai berikut:
1. Kualitas perawatan: perawat hospice mengevaluasi kualitas dan
efektivitas praktik keperawatan secara sistematis.
2. Penilaian kinerja: perawat hospice mengevaluasi praktik
keperawatannya sendiri yang berhubungan dengan standar praktik
profesional serta standar dan peraturan yang relevan.
3. Pendidikan: perawat hospice mendapat dan terus mengikuti
pengetahuan terbaru dalam raktik keperawatan hospice.
4. Kolegialitas: perawat hospice berperan dalam perkembangan
profesional rekan sejawat, kolega, dan profesional lainnya.
5. Etik: keputusan dan tindakan perawat hospice atas nama pasien dan
keluarga ditetapkan dengan cara yang etis.

16
6. Kolaborasi: perawat hospice berkolaborasi dengan pasien dan
keluarga, anggota tim antardisiplin yang lain, dan pemberi perawatan
kesehatan lain dalam memberi perawatan pasien dan keluarga.
7. Penelitian: perawat hospice menggunakan hasil temuan riset dalam
praktik.
8. Sumber pemanfaatan: perawat hospice mempertimbangkan faktor-
faktor yang berhubungan dengan keamanan, efektivitas, dan biaya
saat merencanakan dan memberi asuhan pada pasien dan keluarga.

2.8 Perawatan Hospice


Perawatan hospis atau Hospice care adalah perawatan pasien terminal
(stadium akhir) dimana pengobatan terhadap penyakitnya tidak diperlukan
lagi. Perawatan ini bertujuan meringankan penderitaan dan rasa tidak nyaman
dari pasien, berlandaskan pada aspek bio-psiko-spiritual. Perawatan Hospis
adalah model perawatan paliatif bagi pasien yang diperkirakan akan
meninggal dalam waktu kurang dari 6 bulan. Bila hospis dilakukan di rumah
sakit dengan model layanannya sesuai prinsip paliatif disebut Hospital-based
Hospice. Hospis dapat dilakukan di suatu bangunan tersendiri, dengan
memberikan suasana rumah dan prinsip paliatif (Yennurajalingam and Bruera,
2016). Perawatan paliatif dan hospis memberi manfaat bukan hanya bagi
pasien dan keluarga tetapi juga bagi rumah sakit dan sistem kesehatan secara
keseluruhan.
Rumah sakit adalah institusi tempat pasien yang tidak dapat ditangani
di layanan kesehatan primer bisa mendapatkan tindakan yang diperlukan dan
mencapai kesembuhan atau diharapkan memiliki harapan hidup yang baik.
Rumah sakit memiliki jumlah kapasitas tempat tidur terbatas, jika pasien
stadium terminal masih dirawat di rumah sakit, sementara pasien yang
memerlukan tindakan di rumah sakit tidak akan mendapat tempat atau harus
mengantri lama. Tempat tidur rumah sakit menjadi tidak efektif, angka
kematian di rumah sakit tinggi dan pendapatan rumah sakit lebih rendah
karena kehilangan kesempatan melakukan tindakan kuratif bagi pasien yang
memerlukan (Lilley et al., 2016). Pasien yang dirujuk oleh layanan kesehatan

17
primer seyogianya dikembalikan bila pasien menuju ke stadium terminal. Bila
sistem rujukan ini berjalan, efektivitas dapat tercapai. Tenaga profesional di
rumah sakit dapat secara efisien menggunakan tenaganya bagi pasien yang
memerlukan tindakan di rumah sakit, dan tenaga layanan primer memberikan
layanan paliatif di rumah. Biaya perawatan baik yang dikeluarkan pemerintah
maupun asuransi swasta dapat lebih efisien. Waktu, tenaga, dan keuangan
keluarga juga dapat diringankan dengan adanya hospis (Witjaksono, 2013).
Ruland dan Moore mengusulkan tentang “Peacefull End Of Life” dimana
diterapkan tentang 5 prinsip yaitu:
1. Bebas dari rasa nyeri
2. Mengalami kenyamanan
3. Merasa tetap terhormat dan sejahtera
4. Merasa tetap damai meskipun dalam keadaan sakit dan
5. Tetap merasa dekat kepada orang lain dan mereka yang peduli (Ruland
and Moore, 1998).
Kelima hal tersebut dapat diterapkan dalam perawatan hospis
khususnya bagi mereka yang mendekati akhir kehidupan (EOLC: End Of
Life Care) seperti dengan mendirikan program hospice care. Prinsip
tentang hospice care yaitu memberikan perawatan suportif kepada
orangorang ditahap akhir penyakit terminal dan fokus pada kenyamanan
dan kualitas hidup, bukan pada penyembuhan. Di Indonesia
penatalaksanaan hospice care masih belum terfokus, karena masih banyak
dikaitkan bahwa antara palliative care, hospice care dan homecare adalah
sama dan masih belum adanya rumah sakit di Indonesia yang
menyediakan program perawatan hospice care yang dilakukan di Rumah
Sakit (Ngakili and Mulyanto, 2016).
Studi yang dilakukan di RSUP Fatmawati Jakarta mengatakan
bahwa Hospice care penting dilaksanakan karena hospice care dapat
memberikan pelayanan terpadu untuk pasien kanker stadium terminal
sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dan dapat
memberikan pengertian kepada keluarga pasien untuk menerima proses
dari kehidupan pasien”, maka keberadaan hospice care untuk pasien

18
kanker stadium terminal sangat dibutuhkan (Ngakili and Mulyanto, 2016).
Seperti halnya dengan perawatan paliatif, perawatan hospis juga tidak
hanya dilakukan di rumah sakit. Perawatan hospis dan home care
diberikan oleh tim multi disiplin kesehatan dimana seorang perawat
menjadi koordinatornya.
Rumah adalah tempat yang paling banyak dipilih oleh pasien bila
mereka mengetahui bahwa penyakitnya tidak dapat disembuhkan.
Perawatan di rumah bagi pasien stadium terminal ini disebut Hospice
Homecare. Hospice home care merupakan pelayanan/perawatan pasien
kanker terminal (stadium akhir) yang dilakukan di rumah pasien setelah
dirawat di rumah sakit dan kembali kerumah. . Namun demikian,
perawatan stadium terminal tidak dapat dilakukan di rumah pasien bila
gejala fisik berat dan memerlukan pengawasan medis atau paramedis
(fase tidak stabil dan perburukan) untuk mencapai kenyamanan di akhir
kehidupan (fase menjelang ajal) (Ruland and Moore, 1998). Adapun
tujuan utama dari pelayanan hospice home care pada pasien, diantaranya:
1. Meringankan pasien dari penderitaannya, baik fisik (misalnya rasa
nyeri, mual, muntah, dll), maupun psikis (sedih, marah, khawatir,
dll) yang berhubungan dengan penyakitnya.
2. Memberikan dukungan moril, spiritual maupun pelatihan praktis
dalam hal perawatan pasien bagi keluarga pasien dan perawat.
3. Memberikan dukungan moril bagi keluarga pasien selama masa duka
cita.
Perawatan di hospis atau home care bertujuan untuk
mempertahankan konsep paripurna dan individualistik meliputi
perawatan fisiologis, psikologis, sosial, kultural, dan spiritual. Jenis
pelayanan ini diharapkan dapat mempertahankan pola hidup klien
sebelumnya sehingga dapat mempertahankan kondisi kualitas hidup
klien sesuai dengan harapannya. Pengukuran kualitas hidup diukur
berdasarkan kepuasan klien terhadap domain kehidupan meliputi
fisik, fungsional, sosial, spiritual, psikologis, dan ekonomi
(Witjaksono, 2013).

19
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan
Keperawatan hospice (paliatif) adalah pemberian dukungan dan
perawatan bagi individu yang berada pada stadium akhir penyakit yang
tidak dapat disembuhkan sehingga mereka dapat hidup sebaik dan
senyaman mungkin. Hospice menganggap menjelang ajal sebagai bagian
dari proses normal kehidupan dan berfokus untuk mempertahankan
kualitas sisa hidup. Hospice menyokong kehidupan dan tidak
mempercepat atau memperlambat kematian. Hospice hadir dengan
harapan dan keyakinan bahwa melaluiperawatan yang tepat dan
peningkan suatu komunitas peduli yang peka terhadap kebutuhan mereka,
pasien dan keluarganya dapat bebas mencapai tingkat persiapan mental
serta spiritual yang memuaskan mereka.
Jadi Filosofi hospice dapat disimpulkan menjadi suatu dedikasi
terhadap kenyamanan, martabat, otonomi, kualitas kehidupan dan
pemberdayaan klien dan keluarga.

3.2 Saran
Disarankan kepada perawat untuk dapat memahami dan
mengaplikasikan materi ini terutama dalam pelaksanaan asuhan
keperawatan Paliatif pada pasien. Terminal. Berdasarkan tujuan dan
prinsip yang didapat, dengan demikian dapat memberikan jalan keluar
yang terbaik bagi pasien. Dengan sendirinya sebagai perawat .

20
DAFTAR PUSTAKA

Arisudana. 2013.Makalah Sejarah Keperawatan di Dunia dan Indonesia Peran,


Fungsi, dan Tugas Perawat (Online),

Bertens. K. 2009. Perspektif Etika Baru. Yogyakarta. Kanisius

Campbell, Margaret L. 2013. Nurse to Nurse. Jakarta: Selemba Medika

Kemp, Charles. 2009. Klien Sakit Terminal. Jakarta: EGC

Mamuk. 2015. Tokoh Keperawatan Dunia (Online),

Ni Ketut Putri Ariani. 2018. Rumah Singgah dalam Perawatan Paliatif (Pdf),

Simamora, Roymond H. 2009. Buku ajar dalam Keperawatan. Jakarta. EGC

21

Anda mungkin juga menyukai