Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

PROGRAM STUDI TEKNIK TELEKOMUNIKASI

Switch-Mode Power Supply (SMPS)

Disusun Oleh :
Nama : Sahril Sandrian
NIM : 1314030068
Kelas : TT-5B

JURUSAN TEKNIK ELEKTRO


POLITEKNIK NEGERI JAKARTA
2016
A. Pengertian SMPS
Switch-Mode Power Supply (SMPS) adalah jenis Power Supply yang langsung
menyearahkan (rectify) dan menyaring (filter) tegangan Input AC untuk mendapatkan
tegangan DC. Tegangan DC tersebut kemudian di-switch ON dan OFF pada frekuensi
tinggi dengan sirkuit frekuensi tinggi sehingga menghasilkan arus AC yang dapat
melewati Transformator Frekuensi Tinggi.

Pada SMPS ini, power factor correction diletakkan pada bagian output dari
rectifier dengan menggunakan Boost converter. Boost converter bekerja pada kondisi
tidak kontinyu, karena dalam kondisi tidak kontinyu tidak muncul arus balik (IRR)
pada komponen diode dari boost converter, sehinga diode yang lebih murah dapat
digunakan. Selain itu pada kondisi tidak kontinyu mengakibatkan rugi I2R rendah dan
ripple arus yang rendah mengakibatkan rugi inti di inductor rendah.
Boost converter ini dihubungkan seri dengan buck conveter untuk supply beban
24 V/ 60 W. Boost converter sebagai power factor correction (PFC) di desain
menghasilkan tegangan output sebesar 50 V dan arus 3 A. Sedangkan buck converter
di desain menghasilkan tegangan keluran 24 V dengan arus 2,5 A.

B. Diagaram blok SMPS

Gambar 1. Diagram block SMPS


Transformator (trafo)
Pada sistem power supply konvensional yang menggunakan trafo, supaya
tranformator bisa me-transform (memindah) daya dari primer ke sekunder, trafo
harus diberi masukan yang berpulsa. Masukan trafo power supply jenis
konvensional dihubungkan secara langsung dengan tegangan masukan yang
berbentuk AC, karena hanya tegangan AC yang mempunyai denyut/frekuensi
(polaritasnya berganti-ganti dengan periode tertentu). Kekurangan utama jenis
konvensional adalah ukuran dari tranformator yang dipakai. Semakin rendah desain
frekuensinya, semakin besar ukuran trafonya, walaupun dengan daya keluaran yang
sama.
Pada desain trafo konvensional dengan input 220VAC/50Hz dan output 12VA,
ukuran inti trafo sekitar 3 X 6 cm, jika seandainya dibuat trafo dengan input
220VAC/100Hz dengan output sama (12VA), mungkin ukuran inti dari trafonya
menjadi setengah dari ukuran sebelumnya, atau, ukuran inti yang sama tetapi
jumlah gulungan menjadi setengah dari sebelumnya. Kesimpulannya, frekuensi dari
tegangan masukan menentukan ukuran dan desain dari trafo.
Pada sistem smps, pada umumnya bekerja pada frekuensi antara 30 s/d 40
KHz. Sehingga tidak heran jika trafo pada smps menjadi lebih ringkas. Karena
frekuensi kerjanya yang tinggi tersebut, inti dari trafonya tidak lagi menggunakan
plat besi tetapi sudah menggunakan ferit (besi oksida) yang notabene mempunyai
kemampuan magnetisasi dan demagnetisasi lebih cepat daripada besi biasa.

Line Filter
Line filter befungsi sebagai filter tegangan masukan, tujuan utamanya untuk
menghilangkan frekuensi-frekuensi liar dari line/jala-jala listrik (selain frekuensi
tegangan AC masukan) yang dimungkinkan bisa mengganggu kerja dari smps. Line
filter dibentuk dari induktor-induktor dan kapasitor-kapasitor yang dipasang secara
seri terhadap tegangan masukan.

Rectifier
Blok penyearah berfungsi sebagai penyearah tegangan AC menjadi tegangan
DC. Komponen-komponen penyearahan terdiri dari dioda-dioda dan elco. Dioda
berfungsi sebagai penyearah dan elco befungsi sebagai filter untuk menghilangkan
denyut ripple pada tegangan DC yang dihasilkan selain kapasitor-kapasitor yang
dipasang paralel terhadap dioda. Jenis penyearahan pada umumnya menggunakan
metode bridge rectifier, yang mempunyai kelebihan pada tingginya isolasi antara
tegangan DC yang dihasilkan dengan tegangan AC masukan.

Tegangan masukan sekitar 220VAC setelah disearahkan dan melalui elko


berubah menjadi sekitar 1,4 x 220 = 308VDC. Jika elko pada penyearah kering,
tegangan 308VDC tersebut menjadi tidak tercapai sekaligus terdapat ripple. Akibat
terburuknya adalah smps menjadi lebih panas (karena berusaha menstabilkan
output dan terganggu bentuk pulsanya oleh DC ripple). Cara termudah mendeteksi
ini adalah dengan mengukur tegangan 308V-nya atau munculnya suara
mendecit/mengerik pada trafo utama.

Start Up
Di awal sudah disinggung bahwa smps menggunakan frekuensi kerja antara
30 s/d 40 KHz. Karena frekuensi tersebut tidak ditemukan pada tegangan DC, maka
sistem smps harus membuat/menggenerasikan sendiri pulsa/denyut tersebut.
Metode paling sering ditemukan adalah dengan metode self oscilating (osilasi
sendiri). Pada jenis ini, rangkaian smps ibarat sebagai rangkaian osilator frekuensi
daya tinggi. Tidak jarang juga ditemukan smps yang menggunakan IC untuk
membuat pulsa tersebut, misalnya TDA8380, TEA2261, STR-group dll.
Dalam setiap sistem osilator, dibutuhkan tegangan awal/pemicu yang
berfungsi sebagai pemicu awal rangkaian osilator untuk berosilasi. Tegangan
pemicu ini muncul beberapa saat setelah smps mendapat tegangan masukan (AC
in). Besar tegangan pemicu ini tergantung dari jenis rangkaian smps yang
digunakan (contoh, pada STR-F665x osilator akan bekerja jika tegangan pemicu
sudah mencapai 16V). Karena sifatnya hanya sebagai pemicu, tegangan ini tidak
dipakai lagi ketika smps sudah bekerja. Pada umumnya, tegangan pemicu diambil
dari 308V dengan melalui R atau transistor start up.

Switcher
Switcher berfungsi sebagai penswitch utama transformator, pada umumnya
menggunakan transistor atau FET. Karakteristik switcher harus mampu menahan
arus kolektor/drain yang cukup besar untuk menahan tegangan pada lilitan primer
transformator. Arus ini bukan arus konstan melainkan arus sesaat tergantung lebar
pulsa yang menggerakkan. Selain kemampuan arus, transistor/fet switcher harus
mempunyai frekuensi kerja yang cukup untuk diperkerjakan sebagai switcher.
Error Amp/Detector
Rangkaian Error Amp/detector berfungsi sebagai stabiliser tegangan output.
Cara kerjanya adalah membandingkan tegangan output (diambil dari lilitan
sekunder trafo) dengan tegangan referensi yang stabil. Jika tegangan output terlalu
tinggi, rangkaian ini akan mengendalikan/memberitahu rangkaian primer/switching
utama untuk segera menurunkan tegangan. Kunci dari AutoVoltage berada pada
blok ini.
Tegangan sekunder yang dihasilkan dinaikkan dengan cara melebarkan pulsa, dan
sebaliknya untuk menurunkan tegangan output dengan cara menyempitkan pulsa
yang masuk ke switcher (penswitch=TR/FET final).
Jika Error Amp gagal/tidak ada, rangkaian smps akan ‘dipaksa’ untuk
menswitch (mengkonsletkan) lilitan primer dengan lama yang melebihi
kemampuan switcher, akibatnya TR/FET final akan rusak.
Lokasi rangkaian error amp dapat ditemukan di bagian primer (nyetrum/hot)
atau bisa ditemukan di bagian sekunder (non hot area). Pada model-model smps
terdahulu, sering dijumpai pada primer, pada smps yang lebih baru dapat dijumpai
pada bagian sekunder (non hot area) dengan menggunakan optocoupler (mis.
PC817, P721, P621 dll) sebagai lintasan sekaligus isolator rangkaian Error Amp.
Sanken Error (SE090, SE115) merupakan IC error amp yang sering dipakai pada
smps saat ini. SE090, SE110, SE115 dan SE lainnya merupakan buatan
Sanken/Allegro Semiconductor.

Snubber Circuit
Jika diartikan secara harfiah, snubber=mencerca, memang sedikit salah
kaprah, tapi sebenarnya memang tujuannya begitu. Pada sistem smps, trafo diswitch
(diberi tegangan sesaat olah TR/FET final) dengan lama tertentu, kemudian
TR/FET akan melepaskan (meng-off-kan) trafo. Ketika diberi tegangan, inti
transformer menjadi magnet sesaat hingga trafo di-off-kan. Ketika trafo di-off-kan,
trafo akan men-transform energi magnet ke lilitan sekunder hingga trafo di-on-kan
lagi begitu seterusnya.

Tidak seluruh energi/magnet dalam trafo dapat dipindah semuanya (akibat


tidak sempurnanya trafo=efisiensi trafo) mengakibatkan masih adanya magnet yang
‘ngendon’ di dalam inti trafo. Energi magnet yang ngendon tersebut secara
langsung masuk ke TR/FET melalui kaki kolektor/drain dengan tegangan mungkin
lebih tinggi dari kemampuan kerja tr/fet final. Fungsi utama dari snubber circuit
adalah untuk menghilangkan/mengkonsletkan tegangan tersebut (mempercepat
demagnetisasi). Selain itu, snubber juga dipakai untuk menentukan/mengadjust
frekuensi kerja trafo. Karena sifat ‘mencerca’ kerja smps tersebut akhirnya disebut
snubber circuit.
Ciri utama snubber circuit adalah tersusun dari kombinasi C dan R (dalam
beberapa jenis terdapat dioda) yang dipasang secara paralel terhadap lilitan primer
trafo.

Secondary Rectifier
Tegangan pada sekunder transformator bukan dalam bentuk AC, melainkan
DC yang berbentuk pulsa. tegangan yang muncul pada sekunder trafo disearahkan
dan difilter untuk menghasilkan tegangan DC sekunder. Karakteristik
penyearah/dioda harus mempunyai berjenis fast rectifier. Misalnya UF4002 (bukan
1N4002). Fast rectifier dimaksudkan untuk mampu menyearahkan pulsa dengan
frekuensi tinggi. Elko perata cukup menggunakan ukuran beberapa ratus uF, karena
frekuensi tegangan yang keluar dari trafo cukup tinggi (tergantung frekuensi kerja
smps).

Blok Proteksi
Blok proteksi yang penting untuk kesempurnaan smps antara lain : 1. OVP
(over voltage protector) berfungsi untuk mendeteksi tegangan yang berlebihan.
Blok ini akan mengoffkan smps jika terdeteksi tegangan yang lebih. 2. OCP (Over
Current Protection), berfungsi untuk mendeteksi beban lebih, smps akan off jika
terdeteksi pemakaian lebih pada bebannya. 3. OHP (over heat protection), jika
terlalu panas, smps akan shutdown dengan sendirinya.
Hampir semua blok tersebut sudah masuk dalam satu IC smps. misalnya STR-
W575x, STR-F665x dan lain-lain.
C. Cara Kerja SMPS dengan Transistor
Rangkaian smps yang diulas adalah rangkaian smps kepunyaan tv merk
digitec/polytron jadul yang smps bentuk ini diproduksi beberapa pihak sebagai
alternatif pengganti smps yang banyak ditemukan di pasaran (penulis sebut Robot
Terminator). Sedangkan skema smps yang dimaksud sebagai berikut :

Gambar 2. Rangakain SMPS

Cara kerja rangkaian :

1. Tegangan AC220V yang masuk melalui Line Filter yang terdiri dari C1, R2
dan T1. kemudian disearahkan dan difilter oleh rangkaian Main Rectifier yang
terdiri dari D1, D2, D3, D4, C2, C3, C4, C5 dan EC1. Setelah melalui rectifier
ini, tegangan menjadi DC 308V. D1 s/d D4 banyak dijumpai dalam bentuk
Bridge Diode (dioda kotak 4 kaki).
2. Setelah tegangan EC1 cukup, R3 dan R4 berlaku sebagai rangkaian StartUP
circuit yang memberikan tegangan startup/pemicu yang cukup untuk
menswitch Q3 (main switcher). Ketika Q3 mendapatkan tegangan pemicu, Q3
akan menswitch/mengkonsletkan lilitan primer trafo. Menswitch tidak secara
konstan (hanya sesaat) karena rangkaian snubber (R12, C9) akan segera me-
demagnetisasi trafo.
3. Karena trafo dengan segera ter-demagnetisasi, muncul tegangan induksi dari
lilitan sekunder trafo (S1 dan S2). Tegangan dari S2 menswitch Q3 melalui D5,
C8 dan R11. Pada waktu yang bersamaan, tegangan pada S1 disearahkan oleh
D7 dan difilter oleh C6 (menghasilkan tegangan sebut saja VS).
4. Karena Q3 kembali diswitch lagi, magnetisasi dan demagnetisasi berulang lagi
dan seterusnya, disebut rangkaian berosilasi. Komponen-komponen yang
berperan dalam osilasi adalah C8 dan R11. Osilasi yang terjadi mempunyai
bentuk pulsa yang tidak terkendali (semakin menyempit ukuran pulsanya
karena efek magnetisasi dan demagnetisasi = tegangan output semakin
mengecil). Untunglah ada VS (tegangan dari S1 yang telah disearahkan dan
difilter).
5. Tegangan VS tersebut dipakai untuk membuat tegangan referensi dengan
menggunakan ZD1 dan R8, dan dipakai untuk sensor utama tegangan output
sekunder trafo.
6. Tegangan VS dimasukkan dalam rangkaian Error Amp (R5, VR1, R6, R7, R8
dan Q1). Cara kerja Error Amp ini adalah dengan membandingkan VS dengan
VREF (tegangan pada emitor Q1) menggunakan Q1. Jika VB lebih tinggi dari
VE maka Q1 tidak akan menghantar, akibatnya Q2 tidak menghantar
(dorongan/bias basis Q3 dikurangi/diputus), sehingga Q3 kembali ke posisi
menyempitkan pulsa osilasinya. Akhirnya tegangan pada sekunder trafo akan
turun. Sebaliknya, jika VB lebih rendah dari VE, Q1 akan menghantarkan
tegangan dari emitor (VREF) menuju ke kolektor, sehingga Q2 menjadi
terdorong dan ‘menahan’ bias Q3. Karena bias Q3 sedikit tertahan, pulsa akan
melebar dan akhirnya tegangan sekunder akan naik.
7. Untuk menghindari ‘penaikan otomatis’ secara berlebihan yang dilakukan oleh
Error Amp, pada rangkaian tersebut dilengkapi dengan R9 dan D6 yang
berfungsi sebagai Voltage Limiter (atau sering disebut Over Voltage
Protection). Cara kerjanya adalah dengan cara membandingkan output dari
error amp dengan pulsa negatif trafo.
8. Ketika beban meningkat, magnet dalam trafo akan lebih cepat terserap oleh
beban, sehingga output sekunder menjadi turun. Ketika memasuki tahap ini,
rangkaian Error Ampnya akan segera menyesuaikan dan mempertahan output
dari smps, begitu juga sebaliknya.
9. Akhirnya, tegangan sekunder lainnya disearahkan oleh fast rectifier dan dipakai
sebagai output dari sistem smps ini yang terisolasi dari jala-jala listrik.
Tips Perbaikan
Setelah mengetahui cara kerja rangkaian ini, metode perbaikannya secara
umum dapat diterapkan pada smps-smps transistor jenis lainnya. Sedangkan
tipsnya sebagai berikut :
1. Mencoba/mengetes smps sebaiknya menggunakan cara mengetes smps seperti
yang diulas dalam artikel Cara Aman Mengetes Power Supply (SMPS).
2. Lepaskan trafo, kemudian tes semua komponen-komponen yang terdapat pada
bagian primer termasuk dioda-dioda penyearah pada sekunder trafo. Cek juga
apakah ada beban yang konslet. Jika ditemukan beban yang konslet, perbaiki
dulu yang konslet tersebut baru lanjutkan kembali ke bagian smps.
3. Ganti komponen-komponen yang rusak dengan nilai yang sama, untuk
transistor, dapat menggunakan tipe lain dengan catatan sama karakteristiknya.
4. Jika dirasa beres semua, kembalikan trafo kemudian silahkan dicoba smpsnya.

Troubleshooting
 Tidak bisa start : cek resistor startup, cek R10, cek tegangan B+308V, cek
R8 dan C11, cek rangkaian snubber, cek line filter (pada beberapa jenis
merk tv).
 Tegangan tidak bisa terkunci/tidak stabil : cek elko EC1, cek error amp
(lebih-lebih pada VR-nya), cek D7 dan cek semua transistor.
 Transistor final panas berlebihan : cek transistor final, cek snubber, cek
EC1, cek trafo.
 Efek pump out : cek hubungan ground pada sekunder trafo (non hot area)
antara tegangan yang mensuplai audio amplifier dan ground lainnya,
umumnya ada elko, cek elko tersebut. Efek pump out adalah efek yang
ditimbulkan oleh getaran audio/penarikan daya oleh sistem audio, lebih
terasa jika volume dinaikkan.

Beberapa kekurangan dari SMPS jenis ini adalah :


o Smps jenis ini kurang mendukung green mode atau power saving, yaitu
penggunaan arus yang masih lumayan tinggi keadaan standby.
o Sistem proteksi yang kurang, tidak ada OCP (over current protection).
o Regulation speed yang sedikit lambat karena tegangan yang disensor bukan
tegangan output yang dipakai langsung oleh beban.
D. Keuntungan SMPS
Power supply yang melakukan konversi daya melalui komponen-komponen
yang bersifat rendah rugi-daya-nya (low loss components) seperti kapasitor,
induktor, dan transformator dan yang memakai switch-switch yang selalu dalam
kondisi on atau off.

Keuntungan menggunakan power supply switching adalah konversi daya yang


dapat dilakukan dengan kebocoran daya yang minimal, artinya efisiensinya tinggi.
Seperti contoh di atas, efisiensinya mencapai 80%, artinya daya output adalah 80%
dari daya input. Jika inputnya 100 watt, maka outputnya 80 watt. SMPS lainnya
dapat mencapai efisiensi hingga 91%.

E. Penggunaan SMPS
Saat ini, SMPS sudah banyak digunakan dipiranti elektronik karena memiliki
sistem proteksi dan efisiensi yang baik.Contoh penggunaannya adalah digunakan
pada VCD Player, TV dan tape recorder bahkan pada handphone.

F. Kesimpulan
SMPS merupakan sebuah tipe atau jenis power supply yang sudah banyak
digunakan saat ini. Power supply jenis ini memiliki efisiensi sangat besar, hingga
91%. Pada dasarnya, power supply jenis ini emnggunakan komponen utama berupa
transformator switching dan rangkaian PWM serta terdapat rangkaian protektor.

Anda mungkin juga menyukai