Anda di halaman 1dari 10

Anarkisme Ilmu Pengetahuan Menurut Paul Karl Feyerabend

Makalah ini disusun untuk memenui tugas Matakuliah


Filsafat Ilmu Topik-topik Epistemologi
Diampu oleh: Dr. Sumedi, M.Ag

Disusun oleh:
Rifai Kusuma Nurudin
(1220411189)
PAI Mandiri B

KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA

1
2012

A. Pendahuluan

Sering orang memandang beberapa aliran dalam filsafat adalah sebuah rekayasa
pikiran bawah sadar manusia. Artinya, filsafat adalah hasil akal pikiran yang masih
diragukan kevaliditasnya. Padahal apabila kita telisik lebih dalam, memahami filsafat tidak
semudah menemukan jarum dalam jerami. Diperlukan pemikiran-pemikiran jernih agar
makna tersirat dari filsafat itu dapat dikaji sehingga ditemukanlah teori baru. Dari teori baru
itulah sesesorang telah dapat dikatakan berfilsafat.

Berbicara mengenai filsafat, berikut salah satu cabang bahasan dari filsafat yakni
Anarkisme. Istilah anarkisme lebih banyak dikenal orang sebagai tindak kekerasan. Padahal
anarkisme sebenarnya hanyalah sebuah teori politik. Dalam sejarahnya, para anarkis dalam
berbagai gerakannya kerap kali menggunakan kekerasan sebagai metode yang cukup ampuh
dalam memperjuangkan ide-idenya. Hal inilah yang menimbulkan persepsi baru dalam
istilah anarkisme. Berawal dari anarkisme inilah, banyak tokoh yang membahas tentang
anarkisme. Salah satunya adalah Paul Karl Feyerabend. Ia adalah tokoh yang tergolong
muda dalam menyumbangkan teorinya mengenai anarkisme. Dan untuk mengetahuinya
berikut penulis paparkan melalui makalah yang berjudul “Anarkisme menurut Paul Karl
Feyerabend”. Sehingga agar tidak melesat jauh dalam pembahasannya, penulis sudutkan
pembahasan mengenai anarkisme tersebut dalam sebuah rumusan masalah.

B. Pembahasan

1. Biografi Paul Karl Feyerabend.

Paul Karl Feyerabend lahir pada tahun 1924 di Wina, Austria tahun 1945. Ia
belajar seni suara teater dan sejarah teater di institute for Production of Theater, the
Methodological Reform the German Theater di Weimar. Sepanjang hidupnya ia
menyukai drama dan kesenian. Ia belajar Astronomi, Matematika, Sejarah, dan Filsafat.
Menurut pengakuannya, ketika ia mengingat masa itu, ia menggambarkan dirinya
sebagai seorang rasionalis. Maksudnya, ia percaya akan keutamaan dan keunggulan
ilmu pengetahuan yang memiliki hukum-hukum universal yang berlaku dalam segala
tindakan yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Keyakinan rasionalitasnya
pada masa itu tampak dari kiprahnya dalam Himpunan Penyelamatan Fisika Teoritis (A
Club for Salvation of Theoretical Phsysics).1 Keanggotaannya dalam kelompok tersebut
tentu melibatkan dirinya dengan eksperimen-eksperimen ilmu alam dan sejarah
perkembangan ilmu fisika itu sendiri. Dari sinilah ia melihat hubungan yang
sesungguhnya antara eksperimen dengan teori yang ternyata relasi itu tidak sesederhana
apa yang dibayangkan dan dijelaskan dalam buku-buku pelajaran selama ini.

Terjadinya perubahan pemikiran dalam Paul tersebut setidaknya disebabkan oleh


beberapa factor. Pertama, karena adanya perkembangan baru dalam ilmu fisika,
terutama fisika kuantum. Ia melihat bahwa fisika kuantum telah menolak beberapa
patokan dasar fisika yang ketika itu dianggap modern (Newtonian) yang di atasnya
prinsip-prinsip positivism ditegakkan. Yang kedua, sambutan para fisikawan/ filsuf
terhadap teori mekanika kuantum yang dianggap sebagai dukungan bagi perkembangan
ilmu pengetahuan. Gagasan Popper, Thomas S Khun, dan terutama Imre Lakatos sangat
mempengaruhi pemikiran filsafatnya.2

Pada permulaan tahun 50-an, ia mengikuti seminar-seminar filsafat dari Karl


Raimund Popper di London. Waktu itu ia masih tetap berpegang teguh pada keyakinan
rasionalitasnya, bahkan ia berpendapat bahwa perkenalannya dengan Popper semakin
memperteguh keyakinannya itu. Ia mendapat gelar Ph.D dalam bidang fisika dari Wina
University dan kemudian mengajar di California University. Ia telah menyatakan bahwa
dirinya seorang “anarkis” yang menentang penyelidikan terhadap aturan-aturan
pergantian teori dan pembangunan kembali pemikiran rasional dari kemajuan ilmu
pengetahuan. Sikap Feyerabend tentang “apa saja boleh” dan bahwa sasaran dari
kreativitas dalam ilmu pengetahuan itu adalah sebagai bentuk pengembangbiakan teori-
teori.3

1 Prasetya TW, “Anarkisme Pengetahuan dalam Paul Karl Feyerabend”, dalam Tim Redaksi Driyarkara
(Penyunting). Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu, (Jakakrta: Gramedia, 1993), hlm. 48.
2 Akhyar Yusuf Lubis, Paul K Feyerabend:Penggagas Anti Metode, (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 101-102
3 John Losee, A Historical Introduction To The Philosophy Of Science, Fourth Edition, (New York: Oxford
University Press, 2011), hlm. 177

3
Pada tahun 1953, ia menjadi pengajar di Bristol. Tahun-tahun berikutnya
mengajar estetika, sejarah ilmu pengetahuan dan filsafat di Austria, Jerman, Inggris,
Selandia Baru, dan Amerika Serikat. Pada tahun-tahun itu pula ia mulai mengalami
pertobatan pemikiran. Pengaruh perkenalan dengan Imre lakatos membuat ia mengalami
pertobatan tersebut, Laktos meniupkan pemikiran-pemikiran anarkis terhadapnya.4
Sehingga suatu ketika Feyerabend menyebutkan bahwa Lakatos dianggap sebagai
sahabat anarkisnya. Lagi pula seperti yang diakuinya bahwa Lakatoslah yang
mendorongnya untuk menuliskan gagasan-gagasannya. Sebagaimana yang pernah
dikatakan oleh Lakatos padanya, “Paul, he said,’you have such strange ideas, why
don’t you write them down?’”5

Tahun 1958 ia menjadi guru besar universitas California di Barkeley, tempat ia


mengajar sampai akhir hayatnya. Puncak pemikiran anarkisnya tertuang dalam Against
Method yang terbit pada tahun 1970. Suatu karangan panjang yang pada tahun 1975
diolah lagi menjadi sebuah buku dengan judul yang sama. Terbitnya buku ini ternyata
mampu menyedot dan menyulut antusiasme publik dengan adanya berbagai kontroversi,
diskusi dan kritik yang cukup beragam corak dan pemaknaannya dari para tokoh filsafat
dan kaum ilmuwan secara luas. Maka sebagai jawaban atas kritik terhadap
pemikirannya itu, ia pun kemudian menerbitkan lagi beberapa buku yang memuat
penjelasan serta argumentasi atau perluasan gagasan yang sudah diulas dalam buku
yang dikritik sebelumnya. Namun, munculnya tanggapan dari berbagai pihak itulah
seolah-olah justru semakin memperkokoh pemikiran anarkisnya.6

Feyerabend merupakan salah satu filsuf yang sangat provokatif pada abad ke-20.
Ia giat melakukan perlawanan terhadap setiap gagasan ilmu yang memiliki metodologi
tersendiri untuk membatasinya dengan yang bukan ilmu dan ilmu palsu. Walaupun dari
dulu hingga sekarang banyak usaha-usahanya yang disia-siakan, tetapi usaha itu bias
dijadikan sebagai dasar persiapan yang masih layak dan berharga bagi bentuk-bentuk
perlawanan lain.7
4 Paul K Feyerabend, Against Methode: Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge, (London: New Left
Books, 1975), hlm. 5
5 Ibid., hlm. vii
6 Prasetya TW, “Anarkisme Pengetahuan ....., hlm. 49.
7 Yuri Balashov dan Alex Rosenberg (eds), Philosophy of Science: Contemporary Readings, (London:
Routledge, 2002), hlm. 141.
Dalam analisi Don Cupitt sebagai seorang filsuf sains dari California,
Feyerabend berargumen bahwa apa yang ia sebut dengan “teori pengetahuan
anarkistik” merupakan pemaknaan ulang terhadap pengetahuan santifik. Filsuf
manapun berhak menetapkan dan menggambarkan apa saja yang diperbolehkan
sebagai metode saintifik, baik yang termasuk kategori sains asli ataupun yang
bukan sains sekalipun. Sebab beberapa usaha untuk menjalankan aturan-aturan
yang ada sebelumnya hanya mengundang pertentangan seperti yang nampak jelas
pada kasus konflik agama dan juga berlaku pada kasus sains (menurut Feyerabend).
Sudah banyak contoh sejarah yang mengesampingkan hal-hal semacam itu sebagai
intuisi tandingan teori-teori saintifik, seperti transmutasi spesies, relativitas umum
dan teori kuantum.8

2. Anarkisme Ilmu Pengetahuan Paul Karl Feyerabend.

a. Pengertian Anarkisme

Secara etimologi, anarkisme berasal dari bahasa Yunani yakni archos artinya
tanpa pemerintahan. Ia merupakan sebuah aliran dalam filsaafat social yang
menghendaki dihapuskannya negara atau pemerintahan secara kontrol politik dalam
masyarakat. Aliran ini didasarkan pada ajaran bahwa masyarakat yang ideal itu
dapat mengatur urusannya sendiri tanpa mempergunakan kekuasaan yang
berlawanan dengan paham sosialisme dan komunisme. Tokoh-tokohnya yakni
Gerrard Winstanley (1609-1660), William Goldwin (1756-1836), Mikhail Bakunin
(1814-1876) dan Peter Kropotkin (1842-1921).9

Dalam bahasa Yunani istilah anarchos atau anarchia berarti tidak memiliki
pemerintahan atau keadaan tanpa penguasa. Dalam konotasi positif, anarkisme
adalah ideologi sosial yang menolak pemerintahan yang otoriter. Aliran ini
berpandangan bahwa individu-individu harus mengatur diri mereka sendiri dengan

8 Don Cupitt, Afier God: Masa Depan Agama, terj. Abdul Qodir Shaleh, (Yogyakarta: IRCiSoD. 2001), hlm.
204-205.
9 Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1996), hlm. 9-10.

5
cara yang disenangi demi pemenuhan kebutuhan dan ideal-ideal mereka. Dalam
pengertian ini anarkisme tidak bias disamakan dengan Nihilisme, tapi lebih serupa
dengan leibertarianisme politik dan antinomianisme. Sedangkan dalam konotasi
negative, anarkisme adalah kepercayaan yang menyangkal untuk menghormati
hukum atau peraturan apapun dan secara aktif melibatkan diri dalam promosi
kekacauan melalui perusakan masyarakat. Aliran ini mengajarkan penggunaan
terorisme individual sebagai sebuah alat untuk meningkatkan terjadinya
disorganisasi sosial dan politik.10

Dalam bidang ilmu pengetahuan, anarkisme diartikan sebagai anarchy


epistemological (kesewenang-wenangan epistimologis) yang digunakan dan
dipopulerkan oleh Paul Karl Feyerabend. Menurutnya, tidak ada ukuran-ukuran
yang tetap untuk memisahkan atau membedakan antara sampah dengan teori yang
dapat diamati.11 Menurut analisa Feyerabend sendiri, term anarkisme itu tidak lain
adalah anarkisme epistemologis yang dipertentangkan dengan anarkisme politis
atau religious. Dikatakannya juga apabila anarkisme politis anti terhadap
kemapanan (kekuasaan, Negara, institusi-institusi dan ideology-ideologi yang
menopangnya), maka anarkisme epistemology justru tidak selalu memiliki loyalitas
ataupun perlawanan yang jelas terhadap semua dan struktur elit tersebut.12

Seorang anarkisme epistemology menurut Feyerabend ibarat seorang dadais


seperti yang dijelaskan oleh Richter dlam bukunya Dada: art and anti-art.
Feyerabend mengutip pandangan Richter sebagai berikut: ‘Dada’, not only had no
programme, it was against all programmes. This doesn’t exclude the skillful
defence of programmes to show the chimerical character of any defence, however
‘rational’.13

Maksud Feyerabend adalah bahwa dalam epistemology terdapat bentuk


anarkisme yang berupaya mempertahankan sekaligus menentang kemapanan. Ia
bukan hanya tidak memiliki program, tetapi anti-programm. Ia pembela status quo,

10 Ibid., hlm.13
11 Ali Mudhofir, Kamus Istilah Filsafat, (Yogyakarta: Liberty, 1992), hlm.9
12 Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. 48-49
13 Paul K Feyerabend, Against Methode....., hlm. 23
tetapi juga anti-status quo. Hal itu ditempuh untuk memberikan kebebasan bagi
perkembangan metode-metode alternatif. Anarkisme Feyerabend yang demikian itu
terkadang diartikan orang sebagai kesewenang-wenangan epistemologi, karena
tidak adanya ukuran atau aturan yang tetap dan pasti untuk menentukan antara yang
ilmiah dan yang non-ilmiah.

Anarkisme epistemology merupakan anarkisme teoritis. Menurut hemat


Feyerabend anarkisme teoritis itu lebih menusiawi daripada alternative hukum. Dari
perspektif ini, ilmu pengetahuan secara hakiki merupakan usaha yang anarkistik
mutlak. Feyerabend memberikan argumentasi historis, bahwa sejarah ilmu
pengetahuan tidak hanya berisi fakta-fakta dan kesimpulan-kesimpulan yang ditarik
dari fakta-fakta tersebut. Ia juga berisi ide-ide interpretasi terhadap fakta-fakta,
masalah-masalah yang timbul dari kesalahan interpretasi, interpretasi yang
bertentangan, dan sebagainya. Feyerabend melihaht bahwa para ilmuwan hanya
meninjau fakta ilmu pengetahuan dari dimensi ide belaka, sehingga tidak heran
andaikata sejarah dan ide-ide ilmu pengetahuan yang berkembang itu kemudian
menjadi pelik, rancu dan penuh kesalahan seperti pemikiran dari para penemunya.14

Situasi semacam itulah yang dilukiskan Feyerabend sebagai sakit


epistemologis, dan obat paling mujarab untuk mengembalikan eksistensinya pada
koridor semula adalah dengan prinsip anarkisme. Dengan demikian anarkisme
dapat membantu kita untuk mencapai kemajuan dengan memilih salah satu
pemikiran yang kita minati secara lebih rasional, jelas dan bebas. Pungkasan ide
anarkisme Feyerabend yang secara esensial perlu kita gali maknanya dalam realitas
keseharian kita adalah pernyataan berikut ini: “and my thesis is that anarchism
helps to achieve progress in any one of the senses one cares to choose”.15

b. Anarkisme sebagai kritik atas ilmu pengetahuan.

Secara garis besar, seluruh pemikiran individualism ekstrem Feyerabend

14 Prasetya TW, “Anarkisme ....., hlm. 54.


15 Paul K Feyerabend, Against Methode....., hlm. 18

7
tentang anarkisme di atas sebenarnya adalah suatu kritik terhadap perjalanan dan
perkembangan ilmu pengetahuan yang telah didominasi oleh sains positivistic. Atas
nama kebebasan individu, Feyerabend mengkritik ilmu dari dua sisi yang kaitan
antar keduanya tidak bias dipisahkan satu dengan yang lainnya.

Kritik pertama disebutnya sebagai anti-metode (against method) yang


berusaha mendekonstruksi format metode ilmu pengetahuan yang telah dibuat dan
dipahami oleh para kaum positivis dengan melakukan penyingkapan dan
pembongkaran terhadap asumsi-asumsi beserta kesalahan dari teori-teori baku yang
selama ini dikembangkannya. Dan kritik yang kedua dinamakannya dengan anti-
ilmu pengetahuan (against Science) yang secara lebih mendalam lagi mencoba
mengoreksi tentang praktek ilmiah, fungsi dan kedudukan ilmu pengetahuan dalam
kehidupan masyarakat yang dianggap memiliki standar universal yang melampaui
batas-batas partikularitas dan relativitasnya.16

Kaitannya dengan anti-ilmu pengetahuan (against science). Bukan berarti


Feyerabend anti terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri, melainkan anti terhadap
kekuasaan ilmu pengetahuan yang seringkali mengaburkan maksud dan tujuan
utamanya. Dengan sikap ini, feyerabend ingin melawan ilmu pengetahuan yang
oleh para ilmuan dianggap lebih unggul daripada bidang-bidang atau bentuk-bentuk
pengetahuan, seperti sihir, magis, mitos, dan lain sebagainya.

Ditegaskannya, ilmu pengetahuan menjadi pemikiran tunggal-mutlak karena


adanya propaganda dari para ilmuwan dan institusi terkait yang diberi wewenang
untuk selalu mempengaruhi kesadaran kolektif masyarakat tentang hakikat dan ilmu
pengetahuan itu sendiri. Sehingga ilmu pengetahuan yang dianggap paling benar itu
telah menguasai system kebenaran dunia ilmiah, dan pada gilirannya menjadi
semacam ideology yang menindas kebudayaan alternative. Semboyan extra
ecclesiam nulla salus (diluar gereja tidak ada keselamatan) yang lebih dari satu
abad lalu ada dalam tradisi gereja, diadopsi oleh para ilmuwan dengan mengatakan
extra scientiam nulla salus (diluar ilmu pengetahuan tidak ada kebenaran).17

16 Prasetya TW, “Anarkisme ....., hlm. 55


17 Ibid., hlm. 58
Dari semua bentuk pengingkaran tersebut, Feyerabend sejatinya ingin
menyatakan bahwa ilmu pengetahuan hanya merupakan salah satu gagasan terbuka
dan plural dari sekian banyak ideology yang ada dalam masyarakat. Dengan begitu,
Feyerabend ingin mengatakan bahwa ilmu pengetahuan itu bukanlah ideology yang
berisi omong kosong belaka. Maka tidak wajar mendewa-dewakan ilmu
pengetahuan sebagai satu-satunya pengetahuan yang paling unggul dan bahkan
paling menentukan kehidupan masyarakat. Karena masalahnya terletak pada
muatan ideologis dari komunitas para ilmuwan dan pihak-pihak yang selalu
berusaha menciderai kemurnian citra ilmu pengetahuan dengan kepentingan-
kepentingan subyektif-individual yang menyebabkan proses idealisasi ilmu
pengetahuan yang sebenarnya mengalami stagnasi. Mungkin inilah situasi yang
dikatakan oleh Richard Rorty bahwa epistemologi is dead, atau dalam konstruksi
filsafat Feyerabend disebut sebagai anti-ilmu pengetahuan (Against Scince) itu.

C. Kesimpulan

Feyerabend mengembangkan metode anarkis (anything goes). Metode anarkis


mempersoalkan metodologi ilmu pengetahuan secara mendasar ingin menghidupkan
kembali ilmu pengetahuan sebagai ekspresi kebebasan manusia. “Anything goes” adalah
teorinya yang menjelaskan bahwa ilmu tidak mesti dibangun di atas metologi yg kaku, tetapi
harus ada ruang bagi inisiatif ilmuwan. Selain kebenaran, kebebasan ilmiah harus
merupakan norma ilmu pengetahuan. Selain itu, Feyerabed juga berpendapat “jika ilmu
pengetahuan mau berkembang optimal, maka biarkanlah ilmuwan berpikir bebas bahkan
bebas dari ‘paradigma ilmiah’ yang telah menjadi bahasa komunitas ilmiah.

Keberatan dan problem yang dihadapi oleh Feyerabend berkaitan dengan kebebasan
ilmiah dan tanggungjawab etis atau sosial. Untuk ilmu sosial, hukum alam yang absolut
tidak pernah menjadi premis mayor, dari dedusi ilmiah, ilmu-ilmu sosial berurusan dengan
kebebasan manusia, sejarah, dan tradisinya. Namun gagasan-gagasan yang dilontarkan oleh
Feyerabend ini kurang mendapatkan perhatian dari para ilmuwan di zamannya. Mereka
terlalu dihegemoni oleh pengaruh neo-positivisme dan rasionalisme kritis Popper. Namun,

9
pemikiran Feyerabend justru mendapat tempat di dalam pasca neo-positivisme. Atau dengan
kata lain disebut dengan postmodernisme.

D. Daftar Pustaka

Bagus, Loren, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996.

Cupitt, Don, Afier God: Masa Depan Agama, terj. Abdul Qodir Shaleh, Yogyakarta:
IRCiSoD. 2001.

Feyerabend, Paul K, Against Methode: Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge,


London: New Left Books, 1975.

Losee, John, A Historical Introduction To The Philosophy Of Science, Fourth Edition, New
York: Oxford University Press, 2011.

Lubis, Akhyar Yusuf, Paul K Feyerabend:Penggagas Anti Metode, Jakarta: Teraju, 2003.

Mudhofir, Ali, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, (Yogyakarta: Gajah
Mada University Press,1996.
___________, Kamus Istilah Filsafat, Yogyakarta: Liberty, 1992.

Prasetya TW, “Anarkisme Pengetahuan dalam Paul Karl Feyerabend”, dalam Tim Redaksi
Driyarkara (Penyunting). Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu, Jakakrta:
Gramedia, 1993.

Yuri Balashov dan Alex Rosenberg (eds), Philosophy of Science: Contemporary Readings,
London: Routledge, 2002.

Anda mungkin juga menyukai