Anda di halaman 1dari 17

ILMU PRODUKSI DAN PEMULIAAN TERNAK

LANJUT

Produksi Ternak Transgenik Sebagai Upaya Peningkatan Mutu


Genetik Ternak

Oleh:

SIGIT PERDANA
1781321002

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2018
PENDAHULUAN

Berbagai metode untuk produksi temak transgenik telah ditemukan dan


dikemukakan oleh beberapa peneliti antara lain transfer gen dengan mikroinjeksi
pada pronukleus, injeksi pada germinal vesikel, injeksi gen kedalam sitoplama,
melalui sperma, melalui virus (sebagai mediator), dengan particke gun (particle
bombartmen) dan embryonic stem cells: Diantara metode yang telah dikemukakan
diatas ternyata berkembang sesuai dengan kemajuan hasil produksi dan beberapa
kelemahan yang dijumpai pada masing-masing metode. Sebagai contoh produksi
ternak transgenik dengan metode retroviral sebagai mediator gen yang akan
diintegrasikan mulai digantikan dengan metode lain yang tidak mengandung
resiko atau efek samping dari virus/bakteri. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa metode mikroinjeksi DNA pada pronukleus yang sering
dipakai oleh peneliti (Kart, 1989; Bondioli, et. al., 1991; Hill et. al., 1992 ; Gagne
and Sirard, 1995; Kubisch, et. al., 1995; Han, et. Al, 1996; Su, et. al., 1998).
Produksi ternak transgenik diperlukan dibidang peternakan. Sebagai
contoh pada ternak sapi: panjangnya interval generasi, jumlah anak yang
dihasilkan dan lamanya proses integrasi gen menjadi tidak efissien bila dilakukan
secara konvensional. Oleh karena itu kebemasilan produksi sapi trangenik sangat
diharapkan karena memungkinkan untuk terjadinya mutasi gen secara tiba-tiba
(pada satu generasi) dan lebih terarah pada gen yang diinginkan. Performans yang
diharapkan dari sapi transgenik adalah sapi yang mempunyai tingkat kesuburan
tinggi, efisien dalam pemanfaatan pakan, kuantitas dan kualitas produksi yang
lebih tinggi serta lebih resisten terhadap penyakit. Permasalahan pada temak
transgenik adalah rendahnya keturunan (offspring) dari ternak trangenik yang
dihasilkan baik pada hewan penelitian maupun pada ternak mamalia (sekitar 1-
4%) yang nantinya, menjadi prioritas peningkatan produksi ternak dibidang
peternakan.
II. TUJUAN PRODUKSI TERNAK TRANSGENIK
1. Meningkatkan produktivitas ternak
Pada beberapa negara komposisi genetik dari ternak domestik dimanipulasi
untuk kepentingan manusia. Pada tahun-tahun terakhir, perkembangan teknologi
rekombinan DNA menjadi dasar penting untuk mengisolasi single gen,
menganalisa dan memodifikasi struktur nukleotida dan mengcopi gen yang telah
diisolasi dan mentransfer hasil copian pada genome. Saat ini medically human
proteins diproduksi dalam jumlah besar dalam susu domba transgenik. Di bidang
peternakan tranfer gen bertujuan untuk meningkatkan produktivitas ternak seperti
konversi pakan, rataan pertambahan babet badan, mereduksi kandungan lemak,
meningkatkan kualitas daging, susu,wool secara cepat sehingga dapat mengurangi
biaya produksi yang harus ditanggung konsumen (Pursel dan Rexroad, 1993).
Karakter dari produktivitas ternak dikontrol oleh sejumlah gen yang dapat
dipisahkan dari genom.Hasil pemetaan genom dari suatu spesies ternak membantu
dalam pemilihan satu atau beberapa gen yang diinginkan dan menguntungkan
secara ekonomi.

Beberapa gen yang mempunyai patensi untuk pembentukan ternak transgenik

a. Growth Hormon (GH)

GH banyak dilibatkan dalam pembentukan ternak transgenik. Sejumlah


gen GH telah berhasil ditransfer pada temak (Tabel1). Pada babi dan domba
ekspresi gen GH yang ditransfer dapat diamati dari peningkatan GH pada plasma
darah keturunan yang dihasilkan. Konsentrasi GH bervariasi pada ternak
transgenik meskipun mempunyai struktur gen yang sama, tetapi penyisipan gen
pada genom bersifat random. Pada umumnya pada babi dan domba, tidak tumbuh
lebih besar dibandingkan dengan anak-anak yang dilahirkan oleh satu induk.
Beberapa babi menunjukkan pertumbuhan yang lebih cepat, 17% lebih efisien
dalam konversi pakan dan hanya mengandung 1/5 lenak karkas.

Reduksi lemak diobservasi dari beberapa bagian jaringan intramuskular


dibandingkan dengan saudara satu induk yang bukan transgenik kontrol tetapi
kandungan lemaknya lebih rendah. (Nancarrow et. al 1991) Pada domba
transgenik hilangnya lemak tubuh dapat mengakibatkan hiperglisemia dan
glkosuria (Rexroad et. al., 1991). Peningkatan GH mengakibatkan sejumlah
patologis termasuk degeneratif ginjal. Pada babi peningkatan GH mengakibatkan
gastric ulcers dan infertilitas ( Ebert et. al., 1991).

b. Growth Hormon Releasing Factor (GRF).


Domba dan babi transgenik telah diproduksi dengan menggunakan
sekuens promotor MT dan ALB. Hanya 14% domba dan 29% babi yang dapat
mengekspresikan gen MT- human growth hormon releasing factor (hGRF)
(Pursel et.al. 1990).Konsentrasi GRF pada plasma babi transgenik sekitar 130 -
380 pg/ml (MT-hGRF) dan 400 - 800 pg/ml (ALB-hGRF). Konsentrasi ini lebih
tinggi 10 - 500 kali dari temak kontrol seinduk yang bukan transgenik

c. Insulin like Growth Factor I (IGF I)


Empat babi dan 7 sapi transgenik diproduksi dengan memasukkan gen IGF
I (Hill et al.1992), ternyata hanya hanya satu babi yang dapat mengekspresikan
peningkatan level IGF I.

d. Stimulation of muscle development


Sutrave et.al., (1990) melaporkan bahwa tikus mampu mengekpresikan gen
ayam cSK! yang secara phenotip menunjukkan adanya hipertropi pada otot dan
mereduksi lemak tubuh. Gen yang ditransfer kedalam tikus mengandung promotor
Mouse Sarcoma Virus (MSV) LTR yang difusikan untuk mengaktifkan cSKI
cDNA. Produk dari gen yang ditransfer adalah protein yang mengandung 448
asam amino yang berada dalam inti-inti otot. Gen cSKI telah dicobakan dotransfer
pada genome babi (Pursel et. al., 1992). Hasilnya menunjukkan perbedaan
phenotip diantara temak yang diuji antara lain hipertropi otot pada pundak dan
paha.
Produksi wool juga menjadi prioritas pada domba. Cystein merupakan asm amino
yang mempunyai peran panting dalam produksi wool. Namun penambahan
Cystein tidak dapat meningkatkan produksi wool karena degradasi rumen.
Dilaporkan Damak (1996) domba transgenik mengekspresikan IGF I dapat
meningkatkan beral wool. Gen yang ditransfer mengandung promotor keratin
tikus yang terikat pada IGF I cDNA. Su et al., (1998) mengemukakan domba
transgenik hasil induksi gen cDNA IGF I yang dikendalikan oleh promotor
keratin tikus dapat meningkatkan 17% produksi wool dibanding dengan saudara
seinduk yang nontransgenik.
2. Meningkatkan kesehatan ternak
Aplikasi dari teknologi transgenik juga digunakan untuk memperbaiki
kesehatan ternak. Beberapa pendekatan dilakukan untuk meningkatkan resistensi
ternak terhadap suatu penyakit dan pembentukan antibodi. Resistensi penyakit
bisa terjadi secara alami maupun induksi antibodi. Tikus mengandung gen allel
autosom dominan Mx1 yang tahan terhadap virus influenza. Interferon
menstimulasi produksi protein Mx yang menjadi promotor ketahanan terhadap
infeksi virus. Pada sapi transgenik Immunoglobin A (lgA) terdeteksi dalam serum
sekitar 650 μg/ml. Pada domba transgenik IgA dijumpai pada limposit.
3. Bioreaktor untuk produk-produk biomedis
Ternak transgenik memegang peran panting dalam menghasilkan produk-
produk untuk pengobatan penyakit. Ribuan orang mengambil keuntungan dari
produk-produk biomedik yang dihasilkan. Dari ternak transgenik. Contoh : insulin
untuk pengobatan penyakit diabetes dan oksitoksin untuk merangsang kelahiran.
Beberapa produk biomedik yang dapat diproduksi dari temak transgenik antara
lain:

a. Human alpha 1 anti tripsin (haAT)


Weight et. al., (1991) melaporkan tingginya konsentrasi hαAT pada susu
domba transgenik. Konsentrasinya berkisar 1.5 - 37.5 g/l. Domba setelah
berproduksi tidak menunjukkan symtomp. Aktivitas dari hαAT yang telah
dipurifikasi dari susu domba menghasilkan transgenik sama dengan hαAT pada
plasma darah manusia. Bila manusia defisiensi akan hαAT maka akan menderita
emphysema. hαAT dapat diekstraksi dari plasma darah manusia, tetapi karena
kebutuhan untuk pasien cukup besar (200 g per tahun) menjadi tidak mencukupi
dan mahal.
b. Human Lactoferin (hLF)
Krimpenfort et. al. (1991) lelah berhasil memproduksi temak transgenic
dengan komposis promotor αSI casein dan sekuens hLF. Meade et al., (1990)
mentransfer αSI casein 15 kbp dapat diekspresikan pada jaringan spesifik tikus
transgenie. Gen αSI casein dapat juga dideteksi pada jaringan plasenta pada sapi
perah dan hanya menghasilkan hlF pada saat laktasi.
c. Human Protein C
Velander eta.al (1992) mengiduksikan cDNA protein C mammae (hPC)
kedalam WAP untuk memproduksi babi transgenic. Babi ini menghasilkan susu
yang mengandung lebih dari 1 g hPC/liter susu. Aktivitas biologi dari hPC
rekombinan ekuivalen dengan protein C dari plasma manusia. Protein C
mengandung peran dalam regulasi hemostasis. Bila tubuh defisiensi protein C
akan mengalami trombosit (intravaskular blood clots). Protein C berperan dalam
mencegah pembekuan darah. Kebutuhan setiap tahun 96 kg dan menjadi proyek di
Amerika.
d. Tissue Plasminogen Activator (TPA)
Promotor WAr tikus digunakan untuk mengespresikan beberapa hTPA
cDNA pada kambing transgenik. Ebert et al., (1991) mengemukakan bahwa TPA
merupakan agen anti pembekuan darah, digunakan untuk pasien yang mengalami
serangan jantung. Konsentrasinya sangat rendah dijumpai pada susu dan ekspresi
hTPA tidak berpengaruh pada produksi susu dan kesehatan kambing transgenik.
Kambing transgenic telah diproduksi dengan promotor 13 casein yang diikutkan
dalam WAP dan menghasilkan konsentrasi hTPA yang lebih tinggi. Kambing
mengalami agalactic setelah beranak dan ini merupakan hasil ekspresi yang
spesifik.
e. Human Haemoglobin
Haemoglobin merupakan protein biomedik yang tidak dapat disintesa oleh
kelenjar mammae tetapi dapat diproduksi oleh jaringan lain dari temak transgenic
dan berada dalam darah (Swanson et al., 1992 telah memproduksi tiga babi
transgenic yang mengandung gen α dan β globin. Hasil menunjukan 15% dari sel
darah merah mengandung hHG pada hemoglobin babi. Hemoglobin dapat
diekstraksi dari sel-sel darah merah baik dari manusia maupun babi kemudian
dipisahkan dengan kromatografi. Hemoglobin murni dapat dimodifikasi secara
kimia yaitu dengan cara polimerisasi. Produksi hH dari temak transgenik
digunakan ntuk transfusi darah.

III. TEKNIK TRANFER GEN


Dari bebarapa literatur dikemukakan banyak teknik untuk memasukkan
DNA asing kedalam genome. Contoh introduksi DNA secara tradisional :
presipitasi kalsium (Graham, 1973), infeksi dengan virus sebagai mediator
(Muligan et.al, 1979), elektroporasi (Neumann et. al., 1992) dan lipofection
(Fraley et. al., 1980). Keberhasilan pertama kali metode mikroinjeksi pada tikus
tahun 1970 (Gardon et. al., 1990). Metode yang dikemukakan Dish Gardon
(1994) antara lain: menggunakan sperma sebagai media transfer gen, mikoinjeksi
pada pronukleus, dengan menggunakan particle gun (Particle bombardment,
media virus, injeksi pada germinal vesicle, injeksi pada sitoplasma oosit Berbagai
metode diatas akan dibahas dibawah ini satu persatu yaitu :

1. Spermatozoa sebagai pembawa gen.


Spermatozoa merupakan sarana seluler yang spesifik dirancang untuk
mentransfer DNA asing kedalam oosit. Metode sperma sebagai media tranfser gen
ditemukan oleh Brackett di Amerika Serikat. Penemuan ini menarik minat peneliti
dari Italia (Gandolfi et. al., 1989). Mereka mendemonstrasikan sel sperma tikus
yang berasal dari epididimis sebagai vektor untuk membawa gen asing kedalam
oosit. Pengikatan gen oleh sperma secara optimal bila sperma dalam keadaan
motil dan konsentrasi DNA cukup tinggi. Brinster et. al., (1989) melaporkan
penelitian transfer gen dengan sperma sebagai media menghasilkan seekor tikus
transgenik dari 1300 tikus yang dicoba. Di New Zealand, Peternon et. al.,(1990)
mengemukakan waktu yang tepat untuk resorpsi DNA setelah dilakukan
kapasitasi terhadap sperma. Di Canada Gagne et. al 1991) dengan menggunakan
elektroporasi menunjukkan DNA asing dapat stabil didalam sperma dan lebih
menguntungkan karena dapat mengurangi trauma akibat mikro injeksi (Gambar
4). Di Australia, Arkinson et. al., (1991) mendemonstrasikan sperma sapi dapat
mengikat DNA asing meskipun keberhasilannya cukup rendah. Yang sangat
menarik adalah pengikatan antara sperma dan DNA tidak terjadi secara acak.
Dalam beberapa spesies molukel DNA melekat pada satu lokasi dibagian
belakang akrosom kepala spermatozoa. Sepertinya terdapat suatu reseptor pada
bagian belakang akrosom yang berfungsi sebagai media interaksi antara DNA
dengan sel sperma.

Cairan spermatozoa diduga menghambat permiabilitas membran sel


sperma dengan DNA. Berdasarkan pengamatan sperma hasil ejakulasi lebih
permiabel dibanding sperma dari epididimis (Pinkert, 1994) . Didukung oleh
penelitian pada mamalia menunjukkan bahwa spennatozoa yang diejakulasikan
memiliki sifat impermiabel terhadap DNA asing kecuali jika seminal plasma
dihilangkan.
2. Mikroinjeksi pada pronukleus
Kemampuan genetik ternak secara nyata dapat dimanipulasi melalui
pembedahan mikro pada embrio stadium awal (embrio satu sel). Pertama sekali
metode mikroinjeksi dilakukan oleh Gurdon (1963) pada telur amphibi dengan
menginjeksikan sitoplasma kedalam zygot, namun hasilnya tidak berpengaruh
pada perkembangan embrio selanjutnya. Kemudian dicoba lagi dengan cara
menginjeksi mRNA pada oosit amphibi, ternyata mampu mengkode peptida.
Penelitian-penelitian lain mulai menyusul dengan menggunakan hewan
laboratorium terutama embrio mencit dan selanjuynya berkembang pada embrio
mamalia (Pinkert, 1994).
Pada mamalia dialoprkan aleh Sreenan dan Mc Evoy et. al., (1989) dari 11
resipien dilahirkan dua puluh sapi yang tidak menunjukkan integrasi gen. Injeksi
molekul DNA kedalam pronukleus juga sekaligus mempelajari transkripsi dan
kontrol translasi selama perkembangan embrio. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa pada embrio stadium awal mampu mentranskrip gen baru yang
diinjeksikan kedalam pronukleus ( Hill, et. al, 1992).
mikroinjeksi DNA pada pronukleus dapat dilihat pada Gambar 5. DNA
langsung diinjeksikan pada pronukleus jantan dengan kandungan 200 - 500 copi
susunan gen. Kemudahan mikroinjeksi pada beberapa spesies sangat bervariasi :
pada tikus relatif lebih mudah dibanding pada embrio sapi karena oosit
mengandung lemak. Pada embrio sapi mikroinjeksi DNA pada inti sulit dilakukan
bila tidak dilakukan dibawah mikroskop : Differential Interference contrast
mycroscopy (DIG). Zygot harus disentrifugasi pada tube 2 ml mikrosentrifus
selama 8 menit dengan kecepatan 15.000 9 (Kay et. al, 1991; Bremel et. al, 1996).
Selama sentrifugasi granula lemak akan migrasi pada satu sisi embrio satu sel dan
pronukleus menempati pada posisi ditengah embrio. Keberhasilan pemisahan
komponen selular ditandai dengan visualisasi pronukleus (Karl, 1989 ; Wall,
1996). Han et. al (1996) melakukan penelitian dengan konsentrasi DNA 4 /μg/ml
dalam buffer 10 mM trisHCI (pH 8) dan 0,1 mM EDTA.

Visualisasipronukleus dilakukan dengan sentrifugasi dengankecepatan


15.000g (Eppendorf microcentrifuge). Materi DNA langsung diinjeksikan pada
pronukleus dengan selang waktu 21 -25 jam setelah fertilisasi, hasil penelitian
menunujkkan 4.4% (131/2931) embrio yang diinjeksi dapat berkembang menjadi
blastosit Penelitian lain dilakuakan oleh Jura et. al., (1994), materi DNA yang
diinjeksikan bGH-M8 pada 639 zygot. Penampakan pronukleus dilakukan dengan
sentrifugasi 14.000 g selama 5 menit. Hasil penelitian menunjukkan persentase
embrio yang berkembang menjadi blastosit vs kontrol ( 69,6 vs 34,5). .

Krimpenford et. al., 1991 menghasilkan duo sapi transgenik dari 2470
oosit yang dikoleksi. Hanya 1154 yang menunjukan pronukleus dan diinjeksi
dengan DNA. 287 embryo hatching (28%) don 129 embrio ditransfer pada 99
resipien, 19 ekor anak sapi lahir dan hanya 2 ekor sapi yang berhasil (1,55% dari
embryo yang ditransfer). Pinkert (1994) mengemukakan bahwa beberapa faktor
dapat mempengaruhi keberhasilan mekroinjeksi DNA pada pronukleus antara
lain:
1. Integrasi fragmen DNA linier lebih efisien dibandingkan DNA yang super
coil.
2. Buffer untuk mikroinjeksi terutama pH (disarankan 10 mM Tris, pH 7.4
dengan 0.1 0.3 mM EDTA.
3. Mikroinjeksi DNA pada pronukleus jantan lebih efisien dibandingkan
dengan pronukleus betina.
4. Mikroinjeksi DNA pada pronukleus lebih efisien dibandingkan dengan
injeksi pada sitoplasma.
3. Injeksi gen pada germinal vesikel
Visualisasi dari pronukleus pada sapi sangat sulit dan pertu pertakuan
khusus yaitu sentrifugasi. Pada metode ini penampakan germinal vesikel meski
agak sulit menentukan waktunya tapi penelitian di Polandia berhasil dilakukan
oleh Jura et. al. (1990) dengan dimana DNA dilarutkan dalam larutan buffer dan
diinjeksikan pada mature oesit. Gagne et. al., (1991) melaporkan bahwa injeksi
pada germinal vesikel bisa menjadi alternatif bila ditemukan waktu yang tepat
untuk injeksi dan ini spesifik untuk setiap spesies.
4. Injeksi gen pada sitoplama
Beberapa peneliti mengemukakan kemungkinan injeksi DNA kedalam
sitoplasma. Galli et. al., 1991 melakukan metode ini pada sapi, domba dan babi
yaitu injeksi DNA pada stadium berbeda yaitu pada oosit dan zygot, dan hasil
yang diperoleh sangat rendah persentsenya. Injeksi gen pada sitoplasma banyak
dilakukan pada ikan.
5. Particle gun
Metode ini banyak digunakan pada tanaman dengan cara DNA diikat pada
suatu mikropartikel. Metode ini pernah dicobakan pada sapi untuk menguji
viabilitas sperma dan pengaruhnya akibat adanya mikropartikel (Hough dan
Foote, 1990 dalam Gordon 1994). Transfer gen dengan metode ini mempunyai
banyak keuntungan yaitu mudah ditangani dengan satu kali tembakan akan
menghasilkan beberapa sasaran , partikel dapat mencapai sasaran yang lebih
dalam dan dapat digunakan pada berbagai macam jaringan (Potrykus, 1996).
6. Virus sebagai media

Seperti pada mikroinjeksi DNA, integrasi gen pada vieur lebih cepat
karena kemampuannnya mentranskripsi gen. Efektivitas penggunaan virus telah
dicoba pada embrio tikus pada sapi pertama sekali dilakukan oeh Kim et. al.,
(1993) dengan Murine Leukemia Virus (MLV). Infeksi tidak hanya pada
tryphectoderm tapi sampai ICM. Kubisch et. al., (1995) menginduksikan materi
DNA yang mengandung promotor SV40 atao pb ActinLacZ yang dikendalikan
oleh bakteri beta galatosidase. Pada sapi perah induksi gen bGH terbukti dapat
meningkatkan produksi susu sebanyak 18% (Kar1, 1989). Transkripsi jaringan
spesifik mammae dari Mouse Mammary Tumor Virus (MMTV) dapat
menghasilkan susunan Long Terminal Repeat (LTR) pada genom. Gen dengan
struktur c-myc yang berikatan dengan promotor MMTV dan diinduksikan pada
embrio tikus menghasilkan tikus transgenik yang mengalami adenocarcinoma
pada mammae.
IV. DETEKSI TERNAK TRANSGENIK

Integrasi dan ekspresi gen yang ditranfer dapat dilihat deteksi melalui 3 tahapan :
1. Deteksi konstruksi gem dengan Southern blot Analysis
Pada saat ternak lahir, DNA langsung diisolasi dari jaringan atau darah
spesimen. Sulit untuk mendeteksi DNA yang mempunyai berat molekul tinggi.
Isolasi DNA dilakukan dengan retriksi enzim endonuklease dengan elektroforesis
gel agarose untuk memisahkan fragment DNA. DNA ditransfer pada nitroselulosa
atau membran nilon. (Gambar 8). Penyaring dihibridisasi dengan probe yang
dilabel dengan radioaktif. Pelabelan fragment DNA dilakukan dengan dUTP.
Genome DNA dapat dibaca 10 -16 jam setelah ditansfer secara lengkap pada
nitroselulosa.

2. Northtem Blot Analysis

Metode ini digunakan untuk mengetahui konstruksi RNA yang mempunyai


barat molekul lebih basar. Analisa dilakukan dengan cara isolasi RNA dari
j_ringan yang mempunyai ekspresi gen yang paling tinggi.
Untuk mendapatkan RNA dilakukan dengan denaturasi protein oleh
guanidinium isothiocyanat. Elektroforesis RNA dilakukan dengan gel agarose
atau ditreatment dengan Dimethylsulfoxide (DMSO) kemudian ditransfer pada
nitroselulosa atau saringan nilon ,dan selanjutnya sama dengan pengamatan pada
Southern Blot Analysis. Pembanding yang digunakan primer yang mengadung
jumlah, struktur dan rataan dari sintesis RNA S1 nuklease.
3. Tranlation Analysis
Transkripsi dari integrasi gen dapat diuji dengan analisa translasi, biasanya
produk yang dihasilkan RNA adalah protein. Beberapa tes kolorimetri dapat
digunakan untuk mengukur kuantitas protein. Analisa dengan metacle
elektroforesis gel agarose yang diwarnai dengan Commassie blue. Teknik lain
adalah tranfer protein pada nitroselulose atau saringan nilon kemudian dilakukan
Western Blot Analysis. Untuk kepentingan klinik sering dilakukan ELlSA untuk
mengukurekspresi gen (Brem, 1989).
Pada akhirnya seekor ternak dapat dikatakan sebagai ternak transgenik bila
memenuhi kriteria :
1. Integrasi dari gen yang ditransfer ada pada semua sel-sel somatik.
2. Transmisi dari gen yang ditransfer stabil pada semua keturunan
3. Ekspresi dari gen yang ditransfer DNA> mRNA > protein.
4. Aktivitas biologi dari protein hasil ekspresi gen yang ditransfer.
V.KESIMPULAN
Dari uraian bahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Pembentukkan ternak transgenik merupakan salah satu cara mutasi gen
secara tiba-tiba pada satu generasi dan terkonsentrasi pada gen yang
diinginkan.
2. Tujuan pembentukan temak transgenik bisa dikaukan dengan berbagai
metode yaitu meningkatkan produktivitas ternak transgenik, meningkatkan
resistensi penyakit pada ternak dan yang paling popular adalah sebagai
bioreaktor produk-produk biomedis.
3. Metode tranfer gen yang sering digunakan untuk pembentukan ternak
transgenik adalah mikroinjeksi DNA pada pronukleus dan dengan
mediator spematozoa.
4. Analisis terhadap integrasi gen yang ditransfer dapat dilakukan analisa
Southern Blot (untuk DNA), Northern Blot Analysis (untuk RNA) dan
Western Blot Analysis untuk protein yang dihasilkan.
DAFTAR PUSTAKA

Bondioli, KR, M.E. Westhusin dan C.R Looney 1990. Production of identical
bovine offspring by nuclear transfer. Theriogenology. 33 : 165 - 174.

Bondioli,K.R, Biery, KA., Hill, KG., Jones, KB. and De Mayo, F.G., 1991.
Production of Transgenic Cattle by Pronuklear Injection in "Transgenic
Animals. pp. 265 -273.

Bremel, RD. 1996. Potential Role of Transgenesis in Dairy Production and


Related Areas. Theriogenology., 45 : 51 - 56.

Bonster, RL. , E. P. Sandgren, RD. Palmiter. 1989. No simple solution for making
transgenic mice. Cell. 59 : 239 - 241.

Cibelli, J.B.[et.al] 1998. Cloned Calves Product from Nonquisencent Fetal


Fibroblast. Science 28. 1256 -1258.

Ebert, K, M. [et.al]. 1991. Transgenic production of a variant of human tissue type


plasminogen activator in goat milk. Biol. Technology. 9 : 835.

Eyestone, W.H., 1999. Production and Breeding of Transgenic Cattle Using in


Vitro Embryo Production Technology. Theriogenology, 51 : 509 - 517.

Fraley, R, S. Subrami, P. Berg dan D. Papahadjopolous. 1980. Introduction of


liposome encapsulated SV40 DNA into cells. J. Biol. Chem. 255: 431 -
435.

Gagne. M.B., F. Pother dan M.A. Sirard. 1991. Effect of microinjection in in vitro
matured bovine oocytes on in vitro development of embryos. Biol of
reproduction 44 : 76.

Gagne, M. and Sirard M., 1995. Nuclear Injection of Bovine Oocytes after In
Vitro Maturation. J. Report. Fertil. 4 1 : 211 - 212.

Galli.,C D.J. Powel dan RM. Moor. 1991. Stability of DNA injected in oocyte and
embryos of domestic animal. Proc. Abstr. 6: 24.

Gordon I. 1994. Laboratory Production of cattle embryos. Cab International


Walingford.

Goto, K., Iwai, N., Takuma, Y. and Nakanishi, Y., 1992. Co Culture of In Vitro
Fertilized Bovine Embryos with Different Cell Monolayers. J. Anim. Sci.
70: 1449 -1453.
Graham, F.L. dan A. J. van der B.E. 1973. A new technique for the assay of
inefectivity of human adenovirus 5 DNA. Virology. 52 : 456 - 467.

Gurdon, JP., 1963. Pronuclear Transplantation in Amphibia and the Importance of


Stable Nuclear Changes in Promoting Cellular Differentiation. J. Biol.
Rep. 233: 177 -182.

Han, Y.M.[et.al] 1996. Factors affecting in vivo viability of DNA injected Bovine
Blastocysts Produced in vitro. Theriogenology. 46 : 764 - 778.

HiII, K. G.[et.al]. 1992. Production of transgenic cattle by pronuclear injection.


Theriogenology. 37 : 222.

Jura, J. [et.al] 1990. In vitro maturation of bovine oocyte following buffer


microinjection into germinal vesicle or cytoplasm. Theriogenology. 33 :
93.

Jura, J.[et.al] 1994. In vitro and in vivo development of bovine embryos from
zygotes 2 - cell embryos microinjected wilt exogenous DNA.

Karl, M.E., 1989. Gene transfer through embryo microinjection in Animal


Biotechnology. Oxford. pp: 233-249.

Kay, GW. HW. Hawk, RA. Watteman dan RJ. Wall. 1991. Identification of
pronuclei in in vitro fertilized cow embryos. Animal biotechnology. 2 : 45
- 59.

Krimperforf P.[et.al] 1991 Generation of: transgenic dairy cattle using in vitro
embryo production. Biotecnology. 9: 844 - 847.

Kubisch , H.M., MA Larson, H. Funahashi dan RM. Robert, 1995. Pronuclear


Visibility, Development and Transgene Expresion in IVM/IVF Porcine
Embryos. Theriogenology. 44 : 391-396.

Meade H., L. Gates, E. Lacy and N. Lonberg. 1990. Bovine αS1 Casein gene
sequens direct high level expression of active human urokinase in mouse
milk. Bio. Tech. 8 : 443.

Muligan, RC., B.H. Howard dan P. Berg. 1979. Synthesis of rabit α globin in
cultured monkey kidney cells following injection with a SV40 α globin
reconbinant genome. J. Biol. Chem. 277:108-111.

Nancarrow, C.D[et.al]1991. Expression and Physiology of performance regulating


genes in transgenic sheep. J. Reprod. Fertil. 43 : 277.

Niemann, H. and W.A. Kues, 2000. Transgenic Uvestock : Premises and


Promises. J. Anim. Reprod. Sci. 60 : 277 -293.
Palmiter, RD., G. Norstedt, RE. Hammer and K.L. Brinster, 1983
Methallothionein Human GH fusion Gene Stimulate Growth of Mice.
Anim. Sci. 809 -814.

Pinkert, CA, 1994. Transgenic Animal Technology. A Laboratory Handbook.


Academic Press. San Diego. pp : 339 - 354.

Potrykus, I. 1996. Gene transfer to plants: Assesment and Prepectives. Physiol.


Plant. 79: 125-134.

Pursel, V.G., RE, Hammer, D.J. Bold, RD. Palmiter dan RL Brinster. 1990.
Genetic engineering of swine: Integration, expression and germ line
transmission of growtg related genes. J. Reprod. Fertil. 41 : 77.

Pursel, V.G. dan Rexroad, C.E, 1993. Status of recearch with transgenik farm
animal. J. Anim. Sei. 71 : 10 -19.

Pursel V.G.[et.al] 1992. Transfer of cSKI gene into swine to enhance muscle
development. Theriogenology. 37 : 278.

Rexroad, C.E. [et.al] 1991. Transferin and albumin directed expression of growth
related peptides in transgenic sheep. J. Anim. Sci. 69: 2995.

Rexroad C.E. and Harold W., 1994. Production of Transgenic Ruminants. In


Transgenic Animal Technology. Pp : 344 - 345.

Rosenkrans, C.F[et.al] 1993. Development of Bovine Embryos In Vitro as


Affected by Energy Substrates. Biol. Reprod. 49 : 459 462.

Schnieke A.E., A.J. Kind, W.A. Ritchi, 1997. Human Factor Transgenic Sheep
Produced by Tranfer of Nuclei from Tranfected Fetal Fibroblast. Anim.
Sci. 278 : 2130 - 2132.

Sreenan J.M., dan Mc Evoy T.G., 1989 Methodology of gen tmasfer and farm
animal and fish Theriogenology. 41 : 7.

Su. N.Y.[et.al] 1998. Wool production in transgenic sheep: Result from first
generation adult and second generation lamb. Anim. Biotech. 9 :135-147.

Sutrave, P.A., M. Kelly dan S.H. Hughes 1990. SKI can cause selective growth of
sceletal muscle in transgenic mice. Gans and Development ,4: 1462.

Swanson M.E[et.al]. 1992. Production of functional human hemoglobin in


transgenic swine. Bio. Tech. 10 : 557.

Anda mungkin juga menyukai