PANCASILA
PENGANTAR
buku berjudul Pancasila ini disusun dengan maksud untuk memahami kembali Pancasila
beserta implementasinya yang bersamaan dengan terbitnya Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 36 tahun 2010, tertanggal 22 Juni 2010, tentang Pedoman Fasilitasi
Penyelenggaraan Pendidikan Politik. Dalam konsiderans Peraturan Menteri tersebut
ditegaskan bahwa di dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah perlu dikembangkan
kehidupan demokrasi, untuk itu perlu diselenggarakan pendidikan politik bagi masyarakat.
Dijelaskan dalam Peraturan Menteri tersebut, bahwa lingkup fasilitasi penyelenggaraan
pendidikan politik diantaranya adalah penyediaan “materi pendidikan politik,” yang terdiri
atas materi wajib yaitu: Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun
1945, dan materi pilihan sebanyak 15 pokok bahasan.
Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Kehidupan Bernegara (LPPKB) yang selama ini
kegiatannya mengkaji tentang kehidupan berbangsa dan bernegara terutama implementasi
Pancasila di masyarakat, kiranya dapat berpartisipasi dalam menyiapkan bahan yang
diperlukan bagi penyelenggaraan pendidikan politik seperti dimaksud dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 36 tahun 2010 di atas. Sesuai dengan lingkup kerja LPPKB,
bahan yang tepat untuk disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri adalah materi wajib
Pancasila dan UUD 1945.
Buku ini terdiri atas sembilan bab. Bab I Pendahuluan mengupas mengenai pengertian
Pancasila sesuai dengan pemikiran awal dan perkembangan selanjutnya. Bab II mengupas
mengenai makna Pancasila ditinjau dari hakikatnya, sejarah perkembangan perumusannya
dan konsep, prinsip serta nilai yang terdapat dalam Pancasila. Bab III membicarakan
Pancasila sebagai dasar negara yang mengupas fungsi dan bagaimana implementasinya
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bab IV mengupas Pancasila sebagai ideologi
nasional bangsa Indonesia, memberikan uraian mengenai makna dan hakikat ideologi, serta
peran ideologi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bab V mengupas
Pancasila sebagai pandangan hidup, memberikan uraian bagaimana Pancasila berfungsi
sebagai panduan dan acuan bagi manusia Indonesia dalam berfikir, bersikap dan bertingkah
laku sehari-hari. Bab VI menegaskan Pancasila sebagai perekat dan pemersatu bangsa
Indonesia yang mampu mengikat bangsa Indonesia yang pluralistik menjadi satu bangsa
yang bersatu. Bab VII menguraikan Pancasila sebagai Filsafat yang berusaha memberikan
gambaran mengenai kebenaran yang terkandung dalam Pancasila. Bab VIII menguraikan
mengenai wawasan pokok tiap-tiap sila dalam Pancasila agar pemahaman terhadap
Pancasila makin mendalam, lengkap dan komprehensif dan Bab IX Penutup sebagai
rangkuman dari seluruh bahasan.
BAB I
PENDAHULUAN
Sesuai dengan penggagas awal, Ir Soekarno, Pancasila diusulkan sebagai dasar negara dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sila-sila yang terkandung dalam Pancasila
terumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan serta untuk mewujudkan Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Para founding fathers menghendaki Pancasila dijadikan dasar pengelolaan kehidupan
bermasyarakat, ber-bangsa dan bernegara untuk mewujudkan masyarakat yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Pancasila secara sistematik disampaikan pertama kali oleh Ir. Soekarno di depan Sidang
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 1
Juni 1945. Oleh Bung Karno dinyatakan bahwa Pancasila merupakan philosofische
grondslag, suatu pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, merupakan landasan
atau dasar bagi negara merdeka yang akan didirikan. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa
Pancasila di samping berfungsi sebagai landasan bagi kokoh-tegaknya negara-bangsa, juga
berfungsi sebagai bintang pemandu atau Leitstar, sebagai ideologi nasional, sebagai
pandangan hidup bangsa, sebagai perekat atau pemersatu bangsa dan sebagai wawasan
pokok bangsa Indonesia dalam mencapai cita-cita nasional.
Begitu penting kedudukan Pancasila bagi bangsa Indonesia dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, sehingga gagasan dasar yang berisi konsep, prinsip dan nilai yang
terkandung dalam Pancasila harus berisi kebenaran yang tidak disangsikan. Dengan
demikian rakyat rela untuk menerima, meyakini dan menerapkan dalam kehidupan yang
nyata; untuk selanjutnya dijaga kokoh dan kuatnya gagasan dasar tersebut agar mampu
mengantisipasi perkembangan zaman.
Untuk menjaga, memelihara, memperkokoh dan mensosialisasikan Pancasila maka para
penyelenggara negara dan seluruh warganegara wajib memahami, meyakini dan
melaksanakan kebenaran nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
BAB II
MAKNA PANCASILA
1. Kebangsaan Indonesia,
2. Internasionalisme atau perike-manusiaan,
3. Mufakat atau demokrasi,
4. Kesejahteraan sosial, dan
5. Ketuhanan yang berkebudayaan.
Bung Karno selanjutnya mengatakan, bila dari para anggota BPUPKI ada yang berkeberatan
dengan jumlah yang lima dapat diperas menjadi tiga, disebutnya Trisila, yakni socio-
nationalisme, socio-demokratie, dan ke-Tuhan-an. Bila tiga prinsip ini dinilai masih terlalu
banyak dapat diperas menjadi Ekasila yakni Gotong Royong.
Pada bulan Juni 1945 terjadi sidang Chuo Sangi-In (Dewan Penasehat Pusat) yang dihadiri
oleh 38 anggota BPUPKI membentuk Panitia Kecil terdiri atas sembilan orang yakni Moh.
Hatta, Muh. Yamin, Soebardjo, Maramis, Kiai Abd. Kahar Moezakir, Abikoesno
Tjokrosoejoso, K.H.Wahid Hasyim, Haji Agoes Salim, diketuai Ir. Soekarno untuk
merumuskan Pembukaan UUD. Dalam Pembukaan tersebut dirumuskan usulan dasar
negara yang merupakan perkembangan dari pidato yang disampaikan oleh Ir. Soekarno
pada tanggal 1 Juni 1945. Rumusan yang disusun oleh Panitia Sembilan ini biasa disebut
Piagam Jakarta, atau Jakarta Charter. Adapun rumusan dasar negara adalah sebagai
berikut:
Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalan-kan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan ini telah disepakati dalam Sidang BPUPKI kedua yang berlangsung antara tanggal
10 – 17 Juli 1945. Namun dalam Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
pada tanggal 18 Agustus 1945 rumusan tersebut mengalami perubahan atas dasar
pertimbangan, bahwa penduduk Indonesia bagian timur sebagian besar beragama Kristen-
Katholiek, sehingga rumusan Jakarta Charter dinilai diskriminatif. Rumusan dasar negara
yang disepakati akhirnya berubah menjadi sebagai berikut:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa,
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3. Persatuan Indonesia,
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-
perwakilan, dan dengan mewujudkan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.
Namun pada waktu UUD tersebut disebar luaskan melalui Berita Republik Indonesia Tahun
II No. 7 tanggal 15 Februasi 1946, terjadi perubahan rumusan sila keempat, yang
semula ”permusyawaratan-perwakilan” berubah menjadi ”permusyawaratan/ perwakilan.”
Rumusan dasar negara ini yang kemudian ditetapkan oleh berbagai Ketetapan MPRS dan
MPR RI sebagai PANCASILA. Salah satu di antaranya ditetapkan dalam Ketetapan MPRS
No. XX/MPRS/ 1966.
Rumusan Pancasila dasar negara juga tercantum dalam Mukaddimah Konstitusi Republik
Indonesia Serikat dan dalam Undang-Undang Dasar Sementara Negara Republik Indonesia
dengan rumusan sebagai berikut:
1. Ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
2. Peri-kemanusiaan,
3. Kebangsaan,
4. Kerakyatan, dan
5. Keadilan sosial.
Dari rumusan tersebut di atas, nampak bahwa rumusan Pancasila mengalami
perkembangan dan sejak terjadinya dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959, rumusan resmi
Pancasila adalah seperti yang tertera dalam Pembukaan UUD 1945.
C. Hakikat Pancasila
Dalam rangka memahami dan mendalami hakikat Pancasila, kita perlu faham mengenai
konsep dan prinsip yang terkandung dalam Pancasila. Setiap faham filsafat pasti berisi
konsep, prinsip dan nilai untuk dijadikan landasan dalam memberikan makna terhadap
fenomena alam dan fenomena kehidupan serta sebagai acuan apabila faham filsafat tersebut
ingin diterapkan dalam kehidupan yang nyata. Demikian pula halnya dengan Pancasila.
Konsep adalah gagasan umum, hasil konstruksi nalar dari olah fikir manusia dan
generalisasi secara teoritik, merupakan faham universal. Konsep berfungsi sebagai dalil,
suatu gagasan yang memberikan makna terhadap fenomena atau hal ihwal sehingga
ditemukan hakikatnya. Konsep dipergunakan untuk memberikan arti terhadap segala
fenomena, sekaligus sebagai acuan kritik untuk memberikan makna terhadap fenomena
yang dihadapi.
Bagi rakyat yang menempati kepulauan Nusantara, sejak zaman purba, sebelum masuknya
agama-agama, telah memiliki suatu belief system tentang makna kehidupan manusia dan
hubungannya dengan alam semesta. Bila Aristoteles memandang kehidupan manusia adalah
dalam kaitannya dengan masyarakat, bahwa manusia adalah makhluk yang bermasyarakat
(zoon politicon), rakyat yang menempati bumi Nusantara ini, khususnya orang Jawa,
memandang bahwa kehidupan manusia adalah menyatu dengan alam semesta. Orang Jawa
menyebutnya sebagai ”manunggaling kawulo Gusti.” Hubungan antara manusia sebagai
individu dengan alam semesta tertata dan terikat dalam keselarasan dan keserasian atau
harmoni. Masing-masing unsur memiliki peran dan fungsinya, dan masing-masing makhluk
saling melayani sehingga terjadi keteraturan dan ketertiban. Yang ingin diwujudkan adalah
ketenteraman dan kedamaian dunia. Orang Jawa menyebutnya sebagai ”memayu hayuning
bawono.” Berikut disampaikan beberapa konsep yang terdapat dalam Pancasila.
1. Konsep yang terdapat dalam Pancasila
a. Konsep Religiositas
Konsep religiositas mengakui eksistensi agama dan kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa. Leluhur bangsa Indonesia sejak dahulu kala telah mengakui
kekuatan di luar manusia atau kekuatan ghaib yang berpengaruh terhadap
kehidupan manusia, inilah sesungguhnya konsep religiositas, suatu konsep dasar
yang terdapat dalam setiap agama maupun keyakinan dan kepercayaan yang dianut
oleh manusia. Pancasila mengandung konsep religiositas, maka manusia Indonesia
beriman dan bertakwa terhadap kekuatan gaib tersebut. Pancasila menyebutnya
sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa, yang merupakan hakikat dari segala agama dan
kepercayaan yang berkembang di Indonesia.
b. Konsep Humanitas
Sejak berkembang renaissance faham humanisme suatu faham yang menjunjung tinggi
harkat dan martabat manusia sebagai pribadi yang memiliki cirinya masing-masing
secara tersendiri, atau yang biasa disebut sebagai jatidiri. Sebagai turunan
dari anggapan tersebut manusia memiliki kebebasan dalam berfikir, mengemukakan
pendapat, serta menentukan pilihan hidupnya. Gerakan humanisme ini yang
melahirkan gagasan individualisme, liberalisme dan pluralisme. Gerakan
humanisme ini berkembang dengan pesat-nya setelah berakhirnya perang dunia
kedua. Hal ini sangat mungkin dipicu oleh rasa penyesalan ummat manusia yang
bersikap dan bertindak dehumanis sepanjang zaman. Manusia diperlakukan sekedar
sebagai alat pemuas kepentingan-kepentingan tertentu. Bangsa-bangsa di dunia
kemudian bersepakat melindungi kebebasan individu tersebut dalam suatu konvensi
yang disebut ”Universal Declaration of Human Rights,” yang dise-tujui oleh
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 10 Desember 1948.
Faham humanisme yang berisi konsep humanitas menyentuh pula pemikiran para
founding fathers, sehingga oleh Bung Karno diangkat menjadi salah satu prinsip
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan diusulkan untuk dijadikan salah
satu prinsip yang menjadi dasar negara. Bung Karno menamakannya sebagai prinsip
perikemanusiaan atau inter-nasionalisme. Konsep humanitas memiliki makna
sebagai berikut:
1) Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa didudukkan sesuai
dengan kodrat, harkat dan martabatnya. Manusia dikaruniai oleh Tuhan
berbagai disposisi atau kemampuan dasar untuk mendukung misi yang
diembannya. Disposisi tersebut adalah kemampuan untuk berfikir,
merasakan, berkemauan dan berkarya. Sebagai akibat dari kemampuan
tersebut manusia mengalami perkembangan dan kemajuan dalam hidupnya.
Dengan kemampuannya tersebut manusia meng-hasilkan karya-karya, baik
yang bersifat nampak (tangible) maupun yang tidak nampak (intangible),
terakumulasi dalam kehidupannya, dipelihara dan dijadikan panduan dan
acuan bagi hidupnya sehingga berkembanglah budaya dan peradaban.
Disebabkan oleh pengalaman sejarah hidup berbeda yang dialami oleh
masing-masing komunitas atau kelompok masyarakat, maka setiap kelompok
masyarakat memiliki budaya dan peradabannya sendiri-sendiri. Demikian
pula halnya dengan bangsa Indonesia. Sebagai manusia atau suatu
komunitas wajib menghormati kodrat, harkat dan martabat manusia yang
manifestasinya berupa keaneka ragaman adat budaya lokal dan daerah.
4) Tata hubungan manusia dengan manusia yang lain dikemas dalam tata
hubungan yang dilandasi oleh rasa kasih sayang. Bahwa eksistensi
manusia di dunia adalah untuk dapat memberikan pelayanan pada pihak
lain; orang Jawa menyebutnya sebagai ”leladi sesamining dumadi.”
Manusia sebagai makhluk yang mengemban amanah untuk menjaga kelestarian
ciptaan Tuhan memegang suatu prinsip ”memayu hayuning bawono.” Hal ini
akan terselenggara dengan baik apabila dilandasi oleh sikap ”sepi ing
pamrih, rame ing gawe; jer basuki mowo beyo;” bahwa dalam mengusahakan
tewujudnya kehidupan yang sejahtera, terciptanya keharmonisan segala
ciptaan Tuhan, manusia harus menyisihkan kepentingan pribadi dan
golongan, serta rela berkorban demi terwujudnya kondisi yang diharapkan
tersebut. Hal ini dapat terselenggara bila didasari oleh rasa cinta dan
kasih sayang dengan sesama.
c. Konsep Nasionalitas
Abad ke XX merupakan abad kebangkitan wawasan kebangsaan bagi negara-negara di
wilayah Asia, tidak terkecuali bagi masyarakat yang mendiami wilayah yang pada waktu itu
dikuasai oleh pemerintah Belanda, yang bernama Nederlands Oost Indie atau Hindia
Belanda. Sejak tahun 1908 para pemuda telah gandrung dengan wawasan kebangsaan
dengan mendirikan organisasi Boedhi Oetomo. Organisasi ini yang kemudian memicu
lahirnya berbagai organisasi kepemudaan yang berasal dari berbagai daerah Hindia Belanda.
Organisasi kepemudaan ini yang mendek-larasikan ”Sumpah Pemuda” yang sangat
monumental, yang mengkristal menjadi dorong-an kuat bagi lahirnya negara-bangsa
Indonesia.
Pada tanggal 1 Juni 1945 Bung Karno mengusulkan bahwa salah satu prinsip dasar negara
adalah ”kebangsaan.” suatu prinsip bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan untuk
kepentingan seseorang, golongan, tetapi suatu dasar ”semua buat semua.” Faham
kebangsaan ini bukan merupakan faham kebangsaan yang sempit atau chauvinisme. Konsep
nasionalitas memiliki makna sebagai berikut:
1) Rakyat Indonesia dalam hidup ber-masyarakat dan bernegara terikat dalam suatu
komunitas yang namanya bangsa Indonesia. Mereka mengaku dengan ikhlas dan
bangga sebagai warga bangsa Indonesia, cinta serta rela berkorban demi negara-
bangsanya.
d. Konsep Sovereinitas
Bila sila pertama, kedua dan ketiga Pancasila memberikan makna tata hubungan manusia
dengan sekitarnya, maka sila keempat ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan,” memberikan gambaran bagaimana
selayaknya tata cara hubungan antara unsur-unsur yang terlibat dalam kehidupan bersama,
untuk selanjutnya bagaimana menentukan kebijakan dan langkah dalam menghadapi
permasalahan hidup.
Berbagai pihak memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud ”kerakyatan” adalah
demokrasi sebagaimana disebut oleh berbagai negara. Kerakyatan adalah demokrasi yang
diterapkan di Indonesia yang memiliki ciri sesuai dengan latar belakang budaya bangsa
Indonesia sendiri. Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang berprinsip bahwa
rakyat adalah sumber kekuasaan dalam menyeleng-garakan pemerintahan. Dengan
demikian demokrasi adalah ”government of the people, by the people and for the people”,
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Walaupun demikian pelaksanaan
demokrasi bagi tiap-tiap negara berbeda-beda berdasarkan budaya dan sejarah bangsanya.
Perbedaan landasan penyelenggaraan demo-krasi antara negara-negara Barat dengan
demokrasi di Indonesia adalah negara-negara Barat berorientasi pada kepentingan pribadi
dan melindungi hak asasi individu. Sedangkan demokrasi di Indonesia berdasarkan Kerak-
yatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan..
Dengan demikian demokrasi yang bersendi pada liberalisme yang individualistik tidak
sesuai dengan demokrasi yang selayaknya diterapkan di Indonesia. Demokrasi di Indonesia
tidak semata-mata untuk membela dan mengakomodasi hak pribadi, tetapi juga harus
mengakomodasi kepentingan bangsa.
Bersendi pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, demokrasi
yang diterapkan di Indonesia hendaknya memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1) Segala keputusan demokratis tidak dibenarkan mengarah pada timbulnya perpecahan
bangsa.
2) Dalam mengambil keputusan hendaknya selalu berpegang pada adagium bahwa
kepentingan negara-bangsa ditempatkan di atas kepentingan pribadi dan golongan.
3) Hak-hak pribadi tetap dihormati, tetapi selalu ditempatkan dalam kerangka
terwujudnya keselarasan hidup serta kelestarian ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
4) Keputusan demokratis bukan semata-mata mengakomodasi aspirasi dan keinginan
rakyat atau warganegara tetapi harus mengarah pada terwujudnya keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
5) Praktek demokrasi yang diselenggarakan di negara lain dapat diterapkan di
Indonesia dengan tetap berpegang pada ketentuan di atas. Pengambilan keputusan
dengan cara voting dibenarkan sejauh musyawarah untuk mencapai mufakat tidak
dapat mencapai hasil.
6) Kaum minoritas dilindungi dan mendapat perlakuan dengan sepantasnya.
7) Demokrasi yang diterapkan di Indonesia tidak semata-mata mengacu pada proses,
tetapi harus bermuara kepada tujuan yang telah menjadi kesepakatan bangsa.
e. Konsep Sosialitas
Konsep sosialitas memberikan gambaran mengenai tujuan yang ingin diwujudkan dalam
kehidupan bersama, hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pada hakikatnya
tujuan tersebut adalah kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Bung Karno dalam berbagai kesempatan selalu mengutip pendapat Juarez yang mengatakan
bahwa demokrasi parlementer atau demokrasi politik tidak cukup, demokrasi politik harus
disertai dengan demokrasi ekonomi. Dikata-kannya:
Dalam demokrasi parlementer tiap-tiap orang dapat menjadi raja. Tiap orang dapat memilih,
tiap orang dapat dipilih. Tiap-tiap orang dapat memupuk kekua-saan untuk menjatuhkan
menterinya, tetapi di bidang ekonomi tidak demikian. Si kaum buruh yang pada hari ini di
dalam parlemen adalah raja, besok pagi di dalam pabriknya ia dapat dilempar ke luar dari
pabriknya, menjadi orang yang tiada kerja.
Selanjutnya dikemukakan bahwa yang ingin diwujudkan dengan berdirinya negara Republik
Indonesia ini adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini bermakna suatu
masyarakat yang adil dan makmur, berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan,
tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan, tidak ada exploitation de l’ homme par l’
homme. Sehingga akan terwujud masyarakat yang berbahagia, cukup sandang, cukup
pangan, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja.
Persoalan yang timbul adalah bagaimana untuk dapat merealisasikan gagasan ini.
Pemerintahan Inggris bercita-cita untuk me-wujudkan affluent society, masyarakat yang
serba kecukupan, masyarakat yang serba melimpah ruah dengan keperluan hidup,
diterapkan pendekatan security welfare state. Setiap warga negara harus ikut dalam program
asuransi, yang akan menjamin kelangsungan hidupnya. Amerika Serikat menerapkan yang
disebut positive welfare state, yakni dengan cara memotong pengasilan orang kaya untuk
dapat disebarkan kepada yang kurang beruntung. Bagaimana bangsa Indonesia
mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Dengan telah tersedianya landasan penyelenggaraan demokrasi ekonomi ini, tinggal
bagaimana rakyat Indonesia men-jabarkan lebih lanjut dalam menyusun peraturan
perundang-undangan.
4) Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing;
5) Saling menghargai terhadap keyakinan agama dan kepercayaan yang dianut oleh
pihak lain;
7) Bebas beribadat sesuai dengan keyakinan agama yang dipeluknya, tanpa mengganggu
kebebasan ber-ibadat bagi pemeluk keyakinan lain;
Nilai adalah penentuan penghargaan atau pertimbangan tentang “baik atau tidak baik”
terhadap sesuatu, kemudian dijadikan dasar, alasan atau motivasi untuk “melakukan atau
tidak melakukan” sesuatu. Sedangkan nilai (kema-nusiaan) adalah kualitas ketentuan yang
bermakna bagi kehidupan manusia perorangan, maupun kehidupan masyarakat, bangsa dan
antar bangsa.
Nilai adalah hal ihwal yang bermakna bagi kehidupan manusia yang didambakannya serta
berusaha mewujudkannya atau meng-hindarinya untuk menciptakan kepuasan dirinya.
Nilai adalah juga suatu tuntunan yang dijadikan arah untuk menentukan sikap dan perilaku
dalam kehidupan bersama manusia atau dalam kehidupan masyarakat.
Tata nilai akan diterima menjadi nilai nasional suatu bangsa, apabila memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
a. Diterima dan diakui sebagai milik oleh seluruh bangsa itu.
b. Berupa kristalisasi dari seluruh nilai yang ada, baik nilai individu, nilai
sosial budaya maupun nilai daerah dan nilai-nilai lainnya.
a. Mempunyai kekuatan membimbing bangsa secara nasional ke arah perkembangan
kemajuan dan modernisasi, yang mampu mendorong semangat bekerja keras dan
berkerjasama dengan bangsa-bangsa lain.
c. Menyentuh unsur-unsur yang paling dalam dari bangsa itu, yakni unsur-unsur yang
dicita-citakan, meliputi kehidupan dunia dan akhirat, keserasian kepen-tingan
individu dan kepentingan sosial serta kepentingan jasmani dan rohani.
d. Berpangkal pada keyakinan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang hidupnya di
dunia ini ditakdirkan sebagai suatu bangsa. Oleh karena itu, disamping
mempunyai hak untuk memenuhi kebutuhan individunya, juga mempunyai kewajiban
untuk mengabdi kepada bangsa dan tanah airnya.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan nilai dasar yang bersifat abstrak
dan universal, Oleh karena itu nilai-nilai Pancasila tersebut harus dijabarkan secara jelas,
agar dapat dengan mudah dipahami, dihayati dan diamalkan oleh setiap warganegara
Indonesia.
Nilai-nilai Pancasila adalah ukuran “benar atau salah”, “baik atau tidak baik” bagi
warganegara Indonesia secara nasional. Dengan lain perkataan, nilai-nilai Pancasila
merupakan tolok ukur, penyaring dan penimbang bagi semua nilai yang ada pada bangsa
Indonesia dan juga terhadap nilai bangsa asing. Secara nasional, nilai-nilai Pancasila
mempunyai kedudukan dan kebenaran vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Nilai yang merupakan ukuran tingkah laku yang bersifat nasional itu mutlak diperlukan
karena langsung menyangkut pada kemantapan perkembangan bangsa Indonesia secara
nasional maupun internasional.
Sejalan dengan hal-hal yang telah dikemukakan tersebut maka Pancasila sebagai pandangan
hidup adalah kristalisasi nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri yang diyakini
kebenarannya dan yang menimbulkan tekad pada bangsa Indonesia untuk mewujudkannya
dalam kehidupan sehari-hari. Mewujudkan nilai-nilai Pancasila di dalam kehidupan sehari-
hari dapat ditempuh antara lain berusaha membina kehidupan sesuai dengan petunjuk
Pancasila yaitu dengan mengembangkan keselaras-an, keserasian dan keseimbangan dalam
hidup manusia sebagai pribadi maupun sebagai makhluk sosial, baik dalam hubungan
manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan alam llingkungannya, hubungan
manusia dengan masyarakat, bangsa dan negara maupun dalam mengejar kemajuan lahiriah
dan kebahagiaan rohaniah.
Sebagai kristalisasi nilai-nilai milik bangsa Indonesia sendiri, maka Pancasila adalah jiwa
dan kepribadian seluruh rakyat Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia dan dasar
negara NKRI. Bersamaan dengan itu Pancasila sekaligus menjadi tujuan hidup bangsa
Indonesia.
Sebagai kristalisasi nilai-nilai, Pancasila bukan lahir secara mendadak pada tahun 1945,
melainkan setelah melalui suatu proses yang panjang, dimatangkan oleh sejarah perjuangan
bangsa kita sendiri, diilhami oleh gagasan besar dunia dengan melihat pengalaman bangsa-
bangsa lain, namun tetap berakar pada gagasan besar dan kepribadian bangsa kita sendiri.
Nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila adalah nilai yang menjadi tujuan bangsa Indonesia
yang ingin diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-
nilai tersebut antara lain adalah :
1. Keimanan
Keimanan adalah suatu sikap yang menggambarkan keyakinan akan adanya keku-atan
transendental yang disebut Tuhan Yang Maha Esa. Dengan keimanan manusia yakin bahwa
Tuhan menciptakan dan mengatur alam semesta. Apapun yang terjadi di dunia adalah atas
kehendak-Nya, dan manusia wajib untuk menerima dengan keikhlasan.
2. Kesetaraan
Kesetaraan adalah suatu sikap yang mampu menempatkan kedudukan manusia tanpa mem-
bedakan jender, suku, ras, golongan, aga-ma, adat dan budaya dan lain-lain. Setiap orang
diperlakukan sama di hadapan hukum dan memperoleh kesempatan yang sama dalam
segenap bidang kehidupan sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya.
3. Persatuan dan Kesatuan
Persatuan dan kesatuan adalah keadaan yang menggambarkan masyarakat majemuk bangsa
Indonesia yang terdiri atas beranekaragamnya komponen namun mampu membentuk suatu
kesatuan yang utuh. Setiap komponen dihormati dan menjadi bagian integral dalam satu
sistem kesatuan negara-bangsa Indonesia.
4. Mufakat
Mufakat adalah suatu sikap terbuka untuk menghasilkan kesepakatan bersama secara
musyawarah. Keputusan sebagai hasil mufakat secara musyawarah harus dipegang teguh
dan wajib dipatuhi dalam kehidupan bersama.
5. Kesejahteraan
Kesejahteraan adalah kondisi yang meng-gambarkan terpenuhinya tuntutan kebutuhan
manusia, baik kebutuhan lahiriah maupun batiniah sehingga terwujud rasa puas diri,
tenteram, damai dan bahagia. Kondisi ini hanya akan dapat dicapai dengan kerja keras, jujur
dan bertanggungjawab.
Dengan memahami konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila, yang tentu
masih akan berkembang sesuai dengan dinamika kehidupan bangsa Indonesia, per-
masalahan berikutnya adalah bagaimana konsep, prinsip dan nilai tersebut dapat
diimplementasikan secara nyata pada berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
BAB III
Pada waktu ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Dr.
K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, membuka sidang pada tanggal 29 Mei 1945,
mengemukakan bahwa yang perlu difikirkan oleh para anggota sidang adalah mengenai
dasar Indonesia merdeka. Bung Karno memberikan arti dasar negara yang dimaksud oleh
Ketua adalah dasarnya Indonesia Merdeka, yang dalam bahasa Belanda disebut
philosofische grondslag, yaitu dasar filsafat, yang oleh Bung Karno pada pidatonya tanggal 1
Juni 1945 disebut Pancasila. Hal ini disampaikan oleh Bung Karno dalam mengawali
pidatonya sebagai berikut:
Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai
mengeluarkan pen-dapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari
Paduka tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pula pendapat saya. Saya akan
menetapi permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka tuan
Ketua yang mulia? Paduka tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritsu Zyumbi
Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya
kemukakan di dalam pidato saya ini.
. . . Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah, dalam
bahasa Belanda: “Philosofische grondslag” dari pada Indonesia Merdeka. Philosofische
grondslag itulah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang
sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia yang kekal dan abadi.
Saudara-saudara “Dasar-dasar Negara” telah saya usulkan. Lima bilangannya [sic.
Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau perikemanusiaan, Mufakat atau demokrasi,
Kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan yang berkebudayaan, yang berke-adaban]. Inikah
Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban,
sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun
Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai panca indera. Apa lagi yang
lima bilangannya? (Seorang yang hadir: “Pandawa lima.”) Pendawa-pun lima orangnya.
Sekarang banyaknya prinsip” kebangsaan, interna-sionalisme, mufakat, kesejahteraan dan
ke-Tuhanan” lima pula bilangannya.
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman
kita ahli bahasa, namanya ialah Panca Sila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima
dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.
Dari pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 tersebut jelas dapat kita simpulkan bahwa
Pancasila yang diusulkan oleh Bung Karno tersebut dimaksudkan sebagai dasarnya
Indonesia Merdeka.
Agar pemahaman kita mengenai Pancasila sebagai dasar negara lebih mantap perlu
difahami : (a) makna Pancasila sebagai dasar negara, (b) Pancasila tepat sebagai dasar
negara NKRI, (c) peran dan fungsi Pancasila sebagai dasar negara (d) implementasi
Pancasila sebagai dasar negara.
A. Makna Pancasila sebagai Dasar Negara
Pancasila sebagai dasar negara sekaligus sebagai sumber dari segala sumber tertib hukum,
baru menjadi kesepakatan bangsa sejak tahun 1966 de-ngan ditetapkannya TAP MPRS
No.XX/MPRS/1966, di antaranya menetapkan:
Sumber dari tertib hukum sesuatu negara atau yang biasa dinyatakan sebagai “sumber dari
segala sumber hukum” adalah pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-
cita moral yang meliputi suasana kejiwaan dan watak dari Rakyat negara yang bersangkutan.
Sumber dari tertib hukum Republik Indonesia adalah pandangan hidup, kesadaran dan cita-
cita hukum serta cita-cita moral yang meliputi suasana kejiwaan serta watak dari bangsa
Indonesia, ialah cita-cita mengenai kemerdekaan individu, kemerdekaan bangsa,
perikemanusiaan, keadilan sosial, perdamaian nasional dan mondial, cita-cita politik
mengenai sifat bentuk dan tujuan Negara, cita-cita moral mengenai kehidupan
kemasyarakatan dan keagamaan sebagai pengejawantahan daripada Budi Nurani Manusia.
Pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral luhur yang meliputi
suasana kejiwaan serta watak dari bangsa Indonesia itu pada 18 Agustus 1945 telah
dimurnikan dan dipadatkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan atas nama Rakyat
Indonesia, menjadi Dasar Negara Republik Indonesia, yakni Pancasila: Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyaratan/perwakilan, dan Keadilan Sosial.
[sic. Rumusan sila ke lima berbeda dengan rumusan yang terdapat dalam Pembukaan UUD
1945].
Dari Ketetapan MPRS tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Pancasila sebagai dasar negara adalah fondasi bagi pembentukan negara-bangsa.
2. Pancasila sebagai dasar negara merupakan cita negara (staatsidee) dan cita hukum
(rechtsidee) yang berkembang menjadi staatsfundamentalnorm bersifat konstitutif dan
regulatif, sehingga harus menjiwai dan menjadi acuan statik bagi segala peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Pancasila sebagai dasar negara adalah asas dari hukum positif yang berlaku di NKRI,
dengan kata lain merupakan sumber dari segala sumber hukum, sebagaimana ditegaskan
dalam UU No. 10 tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dengan demi-kian segala peraturan perundang-undangan yang berlaku di NKRI harus
berdasar pada Pancasila yang bersifat final dan mengikat.
4. Pancasila sebagai dasar negara menjiwai UUD 1945 dalam mengatur penyelenggara-an
negara serta menata kehidupan warga-negara dalam bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Kita melihat dalam dunia ini bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka, dan banyak di
antara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas suatu “Weltanschauung”. Hitler
mendirikan Jermania di atas “national-sozialistische Weltanschauung,” filsafat nasional-
sosialisme telah menjadi dasar Negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin
mendirikan Negara Sovyet di atas satu “Weltanschauung”, “ yaitu Marxistische. Historisch-
Materialistische Weltanschauung. Nippon mendirikan Negara Dai Nippon di atas Tennoo
Koodoo Seishin.” Di atas “Tennoo Koodoo Sheisin” inilah Negara Dai Nippon didirikan.
Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara Arabia di atas satu “Weltanschauung,” bahkan di
atas dasar agama, yaitu Islam. Demikian itulah yang dimin-ta oleh Paduka tuan Ketua yang
mulia. Apakah “Weltanschauung” kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang
merdeka?
Bangsa Indonesia sejak tanggal 18 Agustus 1945 telah menetapkan Pancasila sebagai
“Weltan-schauung,” atau dasar negara bagi negara-bangsanya. Hal ini terbukti bahwa sejak
saat itu sila-sila yang terkandung dalam Pancasila selalu tercantum dalam Pembukaan atau
Mukadimah UUD yang berlaku di Negara Republik Indonesia.
Sementara itu Pancasila juga tepat sebagai dasar negara NKRI dengan alasan sebagai
berikut:
1. Pancasila digali dari adat dan budaya bangsa Indonesia, menjadi common denominator
atau de grootste gemene deeler dan de kleinste gemene veelvoud dari adat dan budaya
bangsa Indonesia. Prinsip dan nilai Pancasila telah diterapkan dalam kehidupan keseharian
tanpa disadarinya.
2. Pancasila memiliki potensi menampung kondisi dan sifat pluralistik bangsa. Bagi bangsa
Indonesia yang demikian majemuk hanya Pancasila yang mampu mengikat unsur-unsur
bangsa menjadi Negara Kesatuan.
3. Pancasila menjamin kebebasan warga-negara untuk beribadah menurut agama dan keya-
kinannya.
a) Pegawai negeri merupakan unsur aparatur negara yang bertugas secara adil dan merata,
menjaga persatuan dan kesatuan negara, serta dengan penuh kesetiaan kepada Pancasila
dan UUD 1945.
b) Termasuk pegawai negeri adalah pegawai negeri sipil dan militer dan semua pejabat
negara.
d) Pasal 23 menetapkan bahwa pegawai negeri diberhentikan tidak dengan hormat karena
melanggar sumpah/janji karena tidak setia kepada Pancasila, UUD 1945, negara dan
pemerintah, dan atau melakukan penye-lewengan terhadap ideologi negara Pancasila, UUD
1945 atau terlibat dalam kegiatan yang menentang negara dan pemerintah.
Bahwa masih banyak peraturan perundang-undangan yang menyimpang dari Pancasila dan
UUD 1945. Oleh karena itu Lembaga legislatif harus secepat mungkin merevisi atau
mencabut peraturan perundang-undangan tersebut.
Merujuk pada berbagai UU tersebut di atas, bagi pegawai negeri, Pancasila adalah segalanya,
karena sangat menentukan sikap dan perilakunya dalam menjalankan tugasnya sebagai
aparatur negara. Bagi pegawai negeri yang tidak taat dan setia serta tidak mengamalkan
Pancasila dapat dipecat tidak dengan hormat. Namun penegakan hukum terhadap UU No.
43 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004 ini masih sangat lemah, masih terdapat begitu
banyak penyimpangan, namun tetap dibiarkan saja tanpa sanksi apapun. Negara Indonesia
sebagai negara hukum tidak selayaknya membiarkan kondisi demikian. Perlu usaha nyata
untuk men-sosialisasikan UU dimaksud, Melaksanakan law enforcement, serta penindakan
terhadap pelang-garnya. Dari ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut di atas,
senang maupun tidak senang, setiap penyelenggara negara dan pemerintahan wajib
berpegang teguh dan taat pada Pancasila dalam hidup berbangsa dan bernegara. Dengan
demikian ketentuan-ketentuan hukum dalam peraturan perundang-undangan tersebut
dapat diselenggarakan dengan semestinya.
Di samping itu setiap warganegara memiliki kewajiban untuk taat kepada segala peraturan
perundang-undangan yang berlaku, sehingga wajib pula untuk berpegang teguh pada
Pancasila sebagai landasan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Setiap warganegara wajib memahami hak dan kewajibannya selaku warganegara, serta
memahami hal-hal yang selayaknya dikerjakan dan hal-hal yang selayaknya dihindari sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
D. Implementasi Pancasila sebagai Dasar Negara
Dalam rangka upaya implementasi Pancasila pada berbagai peraturan perundang-undangan
perlu ditentukan nilai dasar yakni nilai yang dijadikan tujuan umum yang hendak
diwujudkan dengan segala peraturan perundang-undangan yang diberlakukan di Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Nilai dasar tersebut antara lain adalah: keadilan,
kesejahteraan, keamanan dan kebaha-giaan yang dapat dirasakan oleh seluruh rakyat
Indonesia.
Nilai dasar ini perlu dijabarkan lebih lanjut menjadi nilai instrumental, agar dapat
dilaksanakan sesuai dengan pola pikir Pancasila. Di samping itu faham nasionalisme juga
mewarnai segala peraturan perundang-undangan, agar cita-cita bangsa sebagaimana yang
dimaksud dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dapat terwujud.
Nilai instrumental yang telah menjelujuri segala peraturan perundang-undangan tersebut
harus memperhatikan situasi dan kondisi, sehingga segala peraturan perundang-undangan
dapat diterapkan secara kontekstual dan aktual. Demikianlah wujud implementasi Pancasila
sebagai dasar negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
1. Sesuai dengan permintaan ketua BPUPKI maka penggagas awal, Ir. Soekarno,
mengemukakan gagasannya yang kemudian bernama Pancasila memang dirancang sebagai
dasar Negara Republik Indonesia.
2. Pancasila digali dari adat budaya bangsa, yang berkembang pada suku-suku yang tersebar
di seluruh nusantara, merupakan watak bersama (common denominator) adat budaya
bangsa, yang diakui memiliki kebenaran dan diyakini dapat mempersatukan bangsa
Indonesia yang pluralistik serta mampu mengantar rakyat Indonesia mencapai keadilan,
kesejahteraan dan kebahagiaan.
3. Pancasila sebagai dasar negara telah menjadi kesepakatan bangsa, dan selalu tercantum
dalam Pembukaan atau Mukadimah Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku di Negara
Republik Indonesia.
4. Pancasila sebagai dasar negara bersifat konstitutif dan regulatif bagi kehidupan berbangsa
dan bernegara, sehingga segala peraturan perundang-undangan dan penye-lenggaraan
kehidupan berbangsa dan bernegara harus merupakan transformasi nilai-nilai Pancasila.
BAB IV
PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI
anusia dalam mengemban tugas hidupnya selalu dibebani oleh suatu obsesi yakni untuk
mencapai kebahagiaan dalam hidupnya, meskipun makna kebahagiaan dapat saja berbeda
antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Dalam rangka menggapai kebahagiaan
tersebut manusia berpegang pada suatu pandangan hidup yang dijadikan acuan dalam
mengejar kebahagiaan tersebut. Pandangan hidup berisi gagasan dasar yang tumbuh
berkembang dan mengkristal dalam masyarakat di mana manusia tersebut hidup.
Pandangan hidup tersebut berisi gagasan dasar yang diyakini, mengandung kebenaran, dan
apabila dilaksanakan secara konsisten akan mengarah pada terwujudnya cita-cita hidupnya.
Tanpa pandangan hidup ini manusia tidak memiliki pegangan dalam membawa diri dan
dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi. Tanpa pandangan hidup manusia akan
terombang-ambing dalam perjalanan hidupnya, tidak memiliki tujuan yang jelas dan pasti,
serta tidak memiliki cara yang tangguh dalam mengatasi permasalahan dimaksud.
Pandangan hidup yang berisi gagasan dasar secara sistematik berkembang menjadi ideologi.
Demikian pula halnya dengan kehidupan berma-syarakat, berbangsa dan bernegara
memerlukan ideologi yang dijadikan panduan dalam menyelenggarakan kehidupan
berpemerintahan dan bernegara. Pada akhir abad XX timbul pendapat bahwa ideologi telah
mati, namun realitas menunjukkan bahwa memasuki abad XXI setiap negara masih
memiliki ideologinya masing-masing, bahkan timbul ideologi transnasional yang
perkembangannya menembus antar bangsa. Agar ideologi ini dapat didudukkan secara tepat
dalam hidup berbangsa dan bernegara, sehingga dapat dimanfaatkan guna mengantisipasi
perkembangan berbagai ideologi, maka dipandang perlu memahami makna ideologi secara
tepat dan benar, serta bagaimana ideologi ini diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
A. Pengertian Ideologi
Ideologi berasal dari kata Yunani idein yang berarti melihat dan logia yang berarti kata atau
ajaran, sehingga ideologi adalah ilmu tentang melihat ke depan atau cita-cita, gagasan atau
buah pikiran. A. Destult de Tracy (+ 1836) berpendapat bahwa ideologi merupakan bagian
dari filsafat, karena filsafat mendasari semua ilmu seperti pendidikan, etika dan politik.
Dr. Alfian berpendapat bahwa ideologi adalah pandangan hidup atau filsafat yang berintikan
serangkaian nilai (norma) atau sistem nilai dasar yang bersifat menyeluruh dan mendalam
yang dimiliki dan dipegang oleh suatu masyarakat atau bangsa sebagai wawasan atau
pandangan hidup mereka. Nilai dasar tersebut biasanya bersumber dari budaya dan
pengalaman sejarah masyarakat atau bangsa, berakar dan hidup dalam realita kehidupan
mereka, terutama pada waktu mereka berkonsensus untuk menjadikannya ideologi.
Prof. Padmo Wahjono, SH, berpendapat bahwa ideologi diberi makna sebagai pandangan
hidup bangsa, falsafah hidup bangsa, berupa seperangkat tata nilai yang dicita-citakan yang
direalisir di dalam kehidupan berkelompok. Ideologi ini akan memberi-kan stabilitas arah
dalam hidup berkelompok dan sekaligus memberikan dinamika gerak menuju ke tujuan
yang dicita-citakan.
Prof. Dr. Soerjanto Poespowardojo memberikan arti ideologi sebagai keseluruhan
pandangan cita-cita, nilai dan keyakinan yang ingin mereka wujudkan dalam kenyataan
hidup yang konkrit.
M. Syafaat Habib berpendapat bahwa ideologi adalah suatu kepercayaan politik sebagai hasil
kemauan bersama, sehingga membentuk keyakinan yang kokoh dalam komunitas politik.
Ideologi ini dalam perjalanan sejarah bangsa akan dijadikan landasan tidak bergerak yang
tangguh, dan sekaligus menjadi cita-cita yang harus diwujudkan dalam kehidupan nyata
masa kini dan masa selanjutnya.
Dari berbagai pendapat tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ideologi adalah:
Suatu ideologi akan mantap apabila mengandung konsep yang diakui kebenarannya,
mempunyai prinsip yang disepakati bersama, mengandung nilai dasar, membudayanya
nilai-nilai yang terkandung dalam idiologi tersebut yang selanjutnya di-implementasikan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam membudayakan dan
mengimplementasikan ideologi berpegang pada sistem kepercayaan yang dianut oleh
masyarakat yang bersangkutan secara dinamis.
Dengan kata lain ideologi adalah: “Gagasan, cita-cita yang mengandung konsep, prinsip, dan
nilai dasar yang membentuk sistem nilai yang utuh, bulat dan mendasar yang merupakan
pencerminan dari pandangan hidup dan fIlsafaT hidup suatu bangsa, berbentuk
kepercayaan politik yang kokoh sebagai hasil kemauan ber-sama dan menjadi landasan yang
tangguh dan arah yang jelas dalam mencapai tujuan bersama.” Disamping itu dapat juga
dikatakan bahwa Ideologi adalah ajaran, doktrin, teori atau ilmu yang diyakini
kebenarannya dan disusun secara sistematis serta diberi petunjuk pelaksanaannya guna
menanggapi dan menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat dalam berbangsa dan
bernegara.
B. Pancasila sebagai Ideologi (Nasional Bangsa Indonesia)
Ketetapan MPR RI No. XVIII/MPR/1998, di antaranya menentukan bahwa: “Pancasila
sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam
kehidupan bernegara.” Dalam Catatan Risalah/Penjelasan yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Ketetapan ini disebutkan: “Bahwa dasar negara yang dimaksud dalam
Ketetapan ini di dalamnya mengandung makna ideologi nasional sebagai cita-cita dan
tujuan negara.” Dengan demikian tidak perlu diragukan lagi bahwa Pancasila telah
ditetapkan oleh bangsa Indonesia sebagai ideologi nasional bagi bangsa Indonesia, yang
bermakna bahwa Pancasila bukan ideologi bagi suku atau golongan tertentu dari bangsa
Indonesia, tetapi merupakan ideologi seluruh bangsa Indonesia.
Hal tersebut ditegaskan pula dalam TAP MPR RI No. V/MPR/2000, tentang Pemantapan
Persatuan dan Kesatuan Nasional. Pada Arah Kebijaksanaan disebutkan: “Menjadikan
Pancasila sebagai ideologi negara yang terbuka dengan membuka wacana dan dialog terbuka
di dalam masyarakat sehingga dapat menjawab tantangan sesuai visi Indonesia masa depan.”
Timbul pertanyaan: “Apakah Pancasila memenuhi syarat sebagai idiologi?”
Di atas telah dikemukakan bahwa ideologi harus mengandung gagasan dasar, nilai dasar,
konsep dan prinsip yang membentuk suatu sistem nilai yang utuh, bulat dan mendasar.
Konsep-konsep yang terdapat dalam Pancasila sebagaimana tersebut dalam bab terdahulu
tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi merupakan suatu rangkaian yang merupakan suatu
kesatuan sistemik dan integral. Kehilangan salah satu konsep akan menghilangkan
eksistensi Pancasila. Dengan kata lain bahwa Pancasila memenuhi syarat bagi suatu ideologi.
Sementara itu, konsep yang terdapat dalam Pancasila merupakan kenyataan hidup dalam
masyarakat Indonesia dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas sampai Rote, sehingga
merupakan ideologi bagi bangsa Indonesia.
C. Pancasila Ideologi Terbuka
Sejak masa pemerintahan Presiden Soeharto, Pancasila dinyatakan sebagai ideologi terbuka.
Menurut Dr. Alvian, suatu ideologi terbuka memiliki tiga dimensi, yakni (1) dimensi realitas,
yakni bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung dalam ideologi tersebut secara riil berakar
dan hidup dalam masyarakat, (2) dimensi idealisme yaitu bahwa ideologi tersebut
memberikan harapan tentang masa depan yang lebih baik, dan (3) dimensi fleksibilitas atau
dimensi pengembangan, yaitu bahwa ideologi tersebut memiliki keluwesan yang
memungkinkan pengembangan pemikiran.
Dikemukakan pula bahwa Pancasila tidak diragukan memiliki tiga dimensi tersebut:
Pertama bahwa nilai yang terkandung dalam Pancasila memang senyatanya, secara riil,
terdapat dalam kehidupan di berbagai pelosok tanah air, sehingga nilai-nilai tersebut
bersumber dari budaya dan peng-alaman sejarah bangsa;
Kedua bahwa nilai yang terkandung dalam Pancasila memberikan harapan tentang masa
depan yang lebih baik, meng-gambarkan cita-cita yang ingin dicapai dalam kehidupan
bersama;
Ketiga bahwa Pancasila memiliki keluwesan yang memungkinkan dan bahkan mendorong
pengembangan pemikiran-pemikiran baru yang relevan tentang dirinya, tanpa
menghilangkan atau mengingkari hakikat atau jatidiri yang terkandung dalam nilai-nilainya.
G. Kesimpulan
Dari uraian dan ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Pancasila telah memenuhi syarat sebagai ideologi karena telah mengandung konsep,
prinsip dan nilai yang membentuk sistem nilai yang utuh, bulat dan mendasar yang
merupakan pencer-minan dari pandangan hidup, filsafat hidup dan cita-cita bangsa
Indonesia.
2. Upaya implementasi Pancasila dapat dilakukan melalui penjabaran nilai dasar ke dalam
nilai instrumental dan nilai praksis. Untuk melak-sanakan hal tersebut perlu ditempuh tiga
tahapan yaitu pemahaman (artikulasi), interna-lisasi dan aplikasi.
BAB V
PANCASILA SEBAGAI PANDANGAN HIDUP
A. Makna pandangan hidup
etiap bangsa yang ingin berdiri kokoh dan mengetahui dengan jelas ke arah mana tujuan
yang ingin dicapainya sangat memerlukan pandangan hidup. Dengan pandangan hidup
inilah suatu bangsa akan memandang persoalan yang dihadapinya dan menentukan arah
serta cara memecahkannya dengan tepat.
Dengan pandangan hidup yang jelas, suatu bangsa akan memiliki pegangan dan pedoman
guna memecahkan masalah politik, ekonomi, sosial budaya, hukum dan pertahanan
keamanan yang timbul dalam gerak masyarakat yang makin maju. Dengan berpedoman
pada pandangan hidup itu pula suatu bangsa akan membangun dirinya.
Dalam pandangan hidup ini terkandung konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-
citakan oleh suatu bangsa serta dasar pemikiran terdalam dan gagasan mengenai wujud
kehidupan yang dianggap baik. Pada akhirnya, pandangan hidup suatu bangsa adalah
kristalisasi dan institusionalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki dan diyakini kebenarannya
serta menimbulkan tekad pada bangsa itu untuk mewujudkannya. Tanpa memiliki
pandangan hidup, suatu bangsa akan merasa terombang-ambing dalam menghadapi
persoalan besar yang timbul, baik persoalan di dalam masyarakatnya sendiri maupun
persoalan besar umat manusia dalam pergaulan antar bangsa di dunia. Karena itulah
pandangan hidup suatu bangsa merupakan masalah yang sangat asasi bagi kekokohan dan
kelestarian suatu bangsa. Pandangan hidup berkaitan dengan sistem nilai, tentang baik dan
buruk, tentang adil dan zalim, jujur dan bohong dan sebagainya. Dengan demikian,
membahas Pancasila sebagai pandangan hidup berarti memasuki domein etika dan masalah
moral yang menjadi kepedulian manusia sepanjang masa. Pancasila sebagai pandangan
hidup membahas tentang hal ihwal yang selayaknya dikerjakan oleh manusia Indonesia dan
yang selayaknya dihindari.
Agar dalam mengupas Pancasila sebagai pandangan hidup dapat dilakukan secara pro-
porsional, dan dalam memperluas pandangan yang telah dikemukakan di depan, maka ada
baiknya difahami terlebih dahulu makna (a) nilai; (b) norma, (c) etika dan moral, sebagai
berikut :
1. Nilai adalah kualitas yang melekat pada suatu hal ihwal atau subyek tertentu yang
berakibat dipilih atau tidaknya hal ihwal atau subyek tersebut dalam kehidupan masyarakat.
Peme-rintahan yang adil selalu menjadi dambaan rakyat. Lukisan yang indah selalu diburu
oleh para kolektor lukisan. Orang yang jujur selalu dihargai oleh masyarakatnya, dan
sebagainya. Apabila nilai idaman dapat terwujud, maka akan menimbulkan rasa puas diri
pada masyarakat, yang bemuara pada rasa tenteram, nyaman, sejahtera dan bahagia.
Nilai adalah kualitas, ketentuan yang bermakna bagi kehidupan manusia, masyarakat,
bangsa dan antar bangsa. Kehadiran nilai dalam kehidupan manusia dapat menimbulkan
aksi atau reaksi, sehingga manusia akan menerima atau menolak kehadirannya.
Konsekuensinya nilai menjadi tujuan hidupnya, yang ingin diwujudkan atau ditolak dalam
kenyataan. Misal keadilan dan kejujuran, merupakan nilai yang selalu menjadi kepedulian
dan dambaan manusia untuk dapat diwujudkan dalam kenyataan. Sebaliknya kezaliman dan
kebohongan merupakan nilai yang selalu ditolak dalam kehidupan.
Di depan telah diuraikan makna konsep, prinsip dan nilai yang terdapat dalam Pancasila,
yang menjadi tujuan hidup bangsa Indonesia, dan ingin diwujudkan dalam kehidupan
berma-syarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai yang terkandung dalam Pancasila di
antaranya damai, iman, taqwa, adil, setara, selaras, serasi, adab, rukun, bebas, mufakat,
bijaksana, sejahtera dan sebagainya.
2. Norma adalah nilai yang dipergunakan sebagai ukuran untuk menentukan atau menilai
suatu tingkah laku manusia. Norma berasal dari bahasa Latin yang artinya siku-siku, suatu
alat untuk mengukur apakah suatu obyek tegak lurus atau miring. Demikian pula halnya
dengan norma kehidupan, dipergunakan manusia sebagai pegangan atau ukuran dalam
bersikap dan bertindak; apakah sikap dan tingkah lakunya menyimpang atau tidak
menyimpang dari nilai yang telah ditetapkan. Dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara dikenal berbagai norma, seperti norma agama, norma adat, norma moral, norma
hukum dan sebagainya. Perkembangan nilai menjadi norma sangat tergantung dari
pandangan masyarakat masing-masing serta tantangan zaman. Masing-masing mendukung
nilai sesuai dengan bidangnya. Dari berbagai norma tersebut hanya norma hukum yang
memiliki hak untuk memaksa, norma yang lain implementasinya bersendi pada kesadaran
masyarakat yang bersangkutan.
3. Etika adalah ilmu tentang kesusilaan, cabang dari filsafat yang membahas mengenai nilai
dan norma yang meliputi hal ihwal yang selayaknya dikerjakan dan yang selayaknya
dihindari. Etika adalah seperangkat nilai, prinsip dan norma moral yang menjadi pegangan
hidup dan dasar penilaian baik-buruknya perilaku atau benar-salahnya tindakan manusia,
baik secara individual maupun sosial dalam suatu masyarakat. Dengan demikian etika yang
membahas mengenai nilai, prinsip dan norma merupakan bentuk praktek dari filsafat
teoretik, yang selanjutnya dipergunakan sebagai acuan bagi manusia dalam bersikap dan
bertingkah laku.
B. Etika Kehidupan Berbangsa
Etika kehidupan berbangsa diatur dalam Ketetapan MPR RI Nomor: VI/MPR/2001
merupakan rumusan yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat universal,
dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar
dalam berfikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa.
Rumusan tentang Etika kehidupan berbangsa ini disusun dengan maksud untuk membantu
mem-berikan penyadaran tentang arti penting tegaknya etika dan moral dalam kehidupan
berbangsa.
Etika kehidupan berbangsa dirumuskan dengan tujuan menjadi acuan dasar untuk
meningkatkan kualitas manusia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia serta
berkepribadian Indonesia dalam kehidupan berbangsa.
Bagi bangsa Indonesia nilai, norma dan etika yang dipergunakan sebagai pegangan dalam
bersikap dan tingkah laku adalah konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila
seperti yang telah dkemukakan di depan. Agar konsep, prinsip dan nilai Pancasila ini dapat
diimplementasikan secara tepat dan benar oleh setiap manusia Indonesia perlu adanya
pedoman tingkah laku bersendi Pancasila.
Pancasila lahir berdasarkan pengalaman sejarah hidup bangsa Indonesia, sehingga Pancasila
yang dirumuskan pada tahun 1945 merupakan kristalisasi nilai-nilai yang tumbuh dan
berkembang bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia. Maka
Pancasila merupakan budaya bangsa Indonesia yang memiliki ciri khas, yakni
mencerminkan nilai-nilai yang digali dari bangsa Indonesia sendiri.
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa sebenarnya merupakan perwujudan dari nilai-
nilai budaya milik bangsa Indonesia sendiri yang diyakini kebaikan dan kebenarannya.
Pancasila digali dari budaya bangsa yang sudah ada, tumbuh dan berkembang berabad-abad
lamanya. Oleh karena itu Pancasila adalah khas milik bangsa Indonesia sejak keberadaannya
sebagai sebuah bangsa. Pancasila merangkum nilai-nilai yang terkandung dalam adat
istiadat, kebudayaan dan agama-agama yang ada di Indonesia. Dengan demikian Pancasila
sebagai pandangan hidup mencerminkan jiwa dan kepri-badian bangsa Indonesia.
Sebagai pandangan hidup, Pancasila juga berperan sebagai pedoman dan penuntun sikap
dan perilaku setiap warganegara dalam kehidupan berma-syarakat, berbangsa dan
bernegara. Dengan demikian ia menjadi suatu ukuran atau kriteria yang diterima dan
berlaku untuk semua pihak.
Pancasila sebagai pandangan hidup memiliki fungsi menjadi pegangan atau acuan bagi
manusia Indonesia dalam bertingkah laku, baik dalam berhubungan dengan sesama
manusia, dengan Tuhan yang menciptakannya maupun dengan ling-kungannya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pancasila sebagai pandangan hidup mempunyai
peran dan fungsi sebagai berikut:
1. Membuat bangsa kita berdiri kokoh dan memiliki daya tahan terhadap segala ancaman,
tantangan, hambatan dan gangguan.
2. Menunjukkan arah tujuan yang akan dicapai sesuai dengan cita-cita bangsa.
3. Menjadi pegangan dan pedoman untuk meme-cahkan berbagai masalah dan tantangan di
bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan kea-manan nasional.
4. Mendorong timbulnya semangat dan kemam-puan untuk membangun diri bangsa
Indonesia.
5. Menunjukkan gagasan-gagasan mengenai wujud kehidupan yang dicita-citakan.
6. Memberikan kemampuan untuk menyaring segala gagasan dan pengaruh kebudayaan
asing yang menyusup melalui ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
BAB VI
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab bermakna bahwa manusia didudukkan sesuai dengan
kodrat, harkat dan martabatnya. Dalam rangka mengimplementasikan fikir, rasa dan
karsanya, serta dalam mengemban amanah yang dibebankan oleh Tuhan, manusia memiliki
kebebasan yang bertanggung jawab. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dalam
kesetaraan. Pancasila mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi
setiap manusia tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis
kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya. Oleh karena itu sila Kemanusiaan
yang adil dan beradab juga menjadi perekat dan pemersatu bangsa Indonesia.
3. Setiap warganegara Indonesia terikat dalam satu komunitas yang bernama bangsa
Indonesia. Setiap warganegara didudukkan sama di hadapan hukum. Setiap warganegara
merasa bahwa dirinya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bangsanya, merasa
ikut memiliki, mencintainya, untuk selanjutnya rela berkorban, baik harta benda maupun
jiwa raganya demi negara bangsanya. Pancasila memberikan arahan terhadap warganegara
merasa satu kesatuan sebagai bangsa, serta mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar
Binneka Tunggal Ika.
5. Untuk mewujudkan Keadilan Sosial dilakukan dengan cara kerja keras, disiplin
profesional, jujur, bertanggung jawab dan mengembangkan perbuatan luhur yang
mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan serta sikap adil
terhadap sesama. Suka memberikan pertolongan dan melakukan kegiatan dalam rangka
mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial. Akhirnya seluruh warga bangsa
dapat menikmati keadilan yang menjadi cita-cita bersama. Cita-cita dan tujuan seluruh
rakyat Indonesia adalah terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan
untuk kepentingan perorangan atau golongan. Setiap warganegara memiliki hak yang sama
dalam memperoleh pelayanan pendidikan, kesehatan dan pelayanan umum dari pemerintah,
termasuk pelayanan hukum yang adil.
Sila-sila Pancasila nampak dengan nyata memiliki potensi sebagai pengikat kemajemukan
bangsa, karena Pancasila tidak membeda-bedakan segala unsur bangsa yang ada, tetapi
didudukkan setara, dan diperlakukan sama dihadapan hukum. Implementasi Pancasila
sebagai pemersatu segala unsur bangsa ini diterapkan dengan prinsip “Bhinneka Tunggal
Ika.”
Para founding fathers, pada tahun 1945, telah mempermasalahkan bentuk negara yang akan
didirikan, apakah konfederasi, federasi atau kesatuan, dan akhirnya dipilih bentuk negara
kesatuan. Disadari pula bahwa negara yang akan didirikan memiliki keanekaragaman unsur
negara-bangsa yang luar biasa, sehingga memerlukan pengikat untuk dapat terciptanya
negara kesatuan tersebut. Pengikat kemajemukan unsur negara-bangsa tersebut tiada lain
adalah Pancasila yang berkedudukan sebagai pengikat budaya bangsa, perekat dan
pemersatu bangsa. Bung Karno menyatakan hanya Pancasila yang mampu mengikat bangsa
Indonesia menjadi satu negara-bangsa yang kokoh dan kuat.
B. Penemuan dan Landasan Hukum Bhinneka Tunggal Ika
Sesanti atau semboyan Bhinneka Tunggal Ika diungkapkan pertama kali oleh mPu Tantular,
pujangga agung kerajaan Majapahit yang hidup pada masa pemerintahan Raja Hayam
Wuruk, di abad ke empatbelas (1350-1389). Sesanti tersebut terdapat dalam karyanya
kakawin Sutasoma yang berbunyi “Bhinna ika tunggal ika, tan hana dharma mangrwa,“ yang
artinya “berbeda-beda itu, satu itu, tak ada pengabdian yang mendua.” Semboyan yang
kemudian dijadikan prinsip dalam kehidupan dan pemerintahan kerajaan Majapahit itu
untuk mengantisipasi adanya keaneka-ragaman agama yang dipeluk oleh rakyat Majapahit
pada waktu itu. Meskipun mereka berbeda agama tetapi mereka tetap satu dalam
pengabdian.
Pada tahun 1951, atau sekitar 600 tahun setelah pertama kali semboyan Bhinneka Tunggal
Ika diungkapkan oleh mPu Tantular, pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai
semboyan resmi Negara Republik Indonesia dengan Peraturan Pemerintah No.66 tahun
1951. Peraturan Pemerintah tersebut menentukan bahwa sejak 17 Agustus 1950, Bhinneka
Tunggal Ika ditetapkan sebagai semboyan yang terdapat dalam Lambang Negara Republik
Indonesia, “Garuda Pancasila.” Kata “bhinna ika,” kemudian dirangkai menjadi satu kata
“bhinneka”.
Pada perubahan UUD 1945 yang kedua, Bhinneka Tunggal Ika dikukuhkan sebagai
semboyan resmi terdapat dalam Lambang Negara, dan tercantum dalam pasal 36A UUD
1945, yang berbunyi : “Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika”.
Semboyan tersebut terungkap di abad ke XVIII, dalam lambang negara Amerika Serikat,
yang berbunyi “e pluribus unum,” sekitar empat abad setelah mPu Tantular mengemukakan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Sesanti Bhinneka Tunggal Ika tersebut berasal dari pupuh
139, bait 5, kekawin Sutasoma yang lengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Jawa Kuna Alih bahasa Indonesia
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang
berbeda.
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah
bisa dikenali?
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa
adalah tunggal
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa. Terpecah belahlah itu, tetapi satu jualah
itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
Sesanti yang merupakan karya mPu Tantular, yang diharapkan dijadikan acuan bagi rakyat
Majapahit dalam berdharma, oleh bangsa Indonesia, setelah memproklamasikan
kemerdekaannya, dijadikan semboyan, acuan dan pegangan bangsa dalam hidup berbangsa
dan bernegara. Seperti halnya Pancasila, istilah atau kata Bhinneka Tunggal Ika juga tidak
tertera dalam UUD 1945 (asli), namun esensinya terdapat didalamnya. Untuk dapat
dijadikan acuan secara tepat dalam hidup berbangsa dan bernegara, makna Bhinneka
Tunggal Ika perlu difahami secara benar untuk selanjutnya ditentukan bagaimana cara
untuk mengimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bhinneka Tunggal Ika tidak dapat dipisahkan dari Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia, dan
Dasar Negara Pancasila. Hal ini sesuai dengan komponen yang terdapat dalam Lambang
Negara Indonesia. Menurut pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 1951 disebutkan
bahwa: Lambang Negara terdiri atas tiga bagian, yaitu:
Bhinneka Tunggal Ika berisi konsep pluralistik dan multikulturalistik dalam kehidupan yang
terikat dalam suatu kesatuan. Pluralistik bukan pluralisme, suatu faham yang membiarkan
ke-anekaragaman seperti apa adanya. Membiarkan setiap entitas yang menunjukkan ke-
berbedaan tanpa peduli adanya common denominator pada keaneka-ragaman tersebut.
Dengan faham pluralisme tidak perlu adanya konsep yang mensubstitusi keanekaragaman.
Demikian pula halnya dengan faham multikulturalisme. Masyarakat yang menganut faham
pluralisme dan multi-kulturalisme, ibarat onggokan material bangunan yang dibiarkan
teronggok sendiri-sendiri, sehingga tidak akan membentuk suatu bangunan yang namanya
rumah.
Pluralisme berasal dari kata plural yang berarti banyak, adalah suatu faham yang mengakui
bahwa terdapat berbagai faham atau entitas yang tidak tergantung yang satu dari yang lain.
Masing-masing faham atau entitas berdiri sendiri tidak terikat satu sama lain, sehingga tidak
perlu adanya substansi pengganti yang mensubstitusi faham-faham atau berbagai entitas
tersebut. Salah satu contoh di Indonesia terdapat ratusan suku bangsa. Menurut faham
pluralisme setiap suku bangsa dibiarkan berdiri sendiri lepas yang satu dari yang lain, tidak
perlu adanya substansi lain, yang namanya bangsa, yang mereduksi eksistensi suku-suku
bangsa tersebut.
Pluralistik adalah sifat atau kualitas yang menggambarkan keanekaragaman; suatu penga-
kuan bahwa alam semesta tercipta dalam keaneka ragaman. Sebagai contoh bangsa
Indonesia mengakui bahwa Negara-bangsa Indonesia bersifat pluralistik, beraneka ragam
ditinjau dari suku-bangsanya, adat budayanya, bahasa ibunya, agama yang dipeluknya, dan
sebagainya. Hal ini merupakan suatu kenyataan atau keniscayaan dalam kehidupan bangsa
Indonesia. Keaneka ragaman ini harus didudukkan secara proporsional dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, harus dinilai sebagai asset bangsa, bukan sebagai faktor
penghalang kemajuan. Perlu kita cermati bahwa pluralistik ini merupakan sunnatullah.
Prinsip pluralistik dan multikulturalistik adalah asas yang mengakui adanya kemajemukan
bangsa dilihat dari segi agama, keyakinan, suku bangsa, adat budaya, keadaan daerah, dan
ras. Kemajemukan tersebut dihormati dan dihargai serta didudukkan dalam suatu prinsip
yang dapat mengikat keanekaragaman tersebut dalam kesatuan yang kokoh. Kemajemukan
bukan dikembangkan dan didorong menjadi faktor pemecah bangsa, tetapi merupakan
kekuatan yang dimiliki oleh masing-masing komponen bangsa, untuk selanjutnya diikat
secara sinerjik menjadi kekuatan pemersatu bangsa yang luar biasa guna dimanfaatkan
dalam menghadapi segala tantangan dan persoalan bangsa.
2. Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat sektarian dan eksklusif; hal ini bermakna bahwa
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dibenarkan merasa dirinya yang paling
benar, paling hebat, dan tidak mengakui harkat dan martabat pihak lain. Pandangan
sektarian dan eksklusif ini akan memicu terbentuknya “keakuan” yang berlebihan dengan
tidak atau kurang memperhitungkan pihak lain, memupuk kecurigaan, kecemburuan, dan
persaingan yang tidak sehat. Bhinneka Tunggal Ika bersifat inklusif yang bermakna
pengakuan keaneka-ragaman sebagai suatu kenyataan dalam hidup berbangsa dan
bernegara agar mengarah tumbuh kembangnya sikap kebersamaan, toleransi, kerjasama,
saling mempercayai dan memperhatikan pihak lain.
3. Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat formalistis tetapi dilandasi oleh sikap saling
mempercayai, saling menghormati, saling mencintai dalam hidup rukun dan damai. Hanya
dengan cara demikian maka keanekaragaman dapat dirangkai dalam persatuan kebangsaan.
4. Bhinneka Tunggal Ika bersifat konvergen tidak divergen, yang bermakna perbedaan yang
terjadi dalam keanekaragaman tidak untuk dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu, dalam
bentuk kesepakatan bersama. Hal ini akan terwujud apabila dilandasi oleh sikap toleran,
non sektarian, inklusif, akomodatif, gotong royong dalam hidup rukun dan damai.
Prinsip pluralistik dan multikultural Bhinneka Tunggal Ika mengandung nilai antara lain :
(1) toleransi, (2) inklusif, (3) damai dan keber-samaan, (4) setara. Nilai-nilai tersebut tidak
menghendaki sifat yang tertutup atau eksklusif sehingga memungkinkan mengakomodasi
keanekaragaman budaya bangsa dan menghadapi arus globalisasi. Sifat terbuka yang terarah
merupakan syarat bagi berkembangnya masyarakat modern. Sehingga keterbukaan dan
berdiri sama tinggi serta duduk sama rendah, memungkinkan terbentuknya masyarakat
yang pluralistik secara ko-eksistensi, saling hormat menghormati, tidak merasa dirinya yang
paling benar dan tidak memaksakan kehendak yang menjadi keyakinannya kepada pihak
lain. Dalam kehidupan bernegara segala peraturan perundang-undangan khususnya
peraturan daerah harus mampu mengakomodasi masyarakat yang pluralistik dan
multikutural, dengan tetap berpegang teguh pada dasar negara Pancasila dan UUD 1945.
Suatu peraturan perundang-undangan, utamanya peraturan daerah yang memberi peluang
terjadinya perpecahan bangsa, atau yang semata-mata untuk mengakomodasi kepentingan
suku bangsa, atau agama tertentu harus dihindari. Suatu contoh persyaratan untuk jabatan
daerah harus dari putra daerah, menggambarkan sempitnya kesadaran nasional yang
semata-mata untuk memenuhi aspirasi kedaerahan, yang akan mengundang terjadinya
perpecahan. Hal ini tidak mencerminkan penerapan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Dengan
menerapkan nilai-nilai tersebut secara konsisten akan terwujud masyarakat yang damai,
aman, tertib, teratur, sehingga kesejahteraan dan keadilan akan terwujud.
Bangsa Indonesia kini hidup dalam zaman globalisasi yang mencanangkan perdagangan
bebas antar negara, bahkan diembus-embuskan negara tanpa batas. Perdagangan dapat
keluar dan masuk ke mana saja sesuai dengan cita-cita penganjur perdagangan bebas yaitu
negara-negara dengan falsafah kapitalistik. Dalam hubungan ini bangsa Indonesia telah
merasakan kekejaman dari negara yang menganut faham kapitalisme. Globalisasi harus
dipandang dan disikapi penuh kewaspadaan agar supaya bangsa Indonesia tidak terpecah
hanya karena terpengaruh kepentingan materi dan mengenyampingkan nilai-nilai spiritual
bangsa Indonesia.
Di bidang politik globalisasi menganjurkan pelaksanaan hak-hak asasi manusia (HAM) yang
dilaksanakan kebablasan (melampaui batas) sehingga tidak menimbulkan rasa hormat
kepada hak-hak asasi manusia tanpa mengingat budaya bangsa tetapi justru HAM
dilaksanakan sebagai hak menurut tafsirannya sendiri. Multipartai politik dianjurkan
sebagai perwujudan demokrasi yang dalam prakteknya tidak membentuk suatu sistem
politik untuk kesejahteraan rakyat, melainkan untuk kepentingan individu atau golongannya
sendiri.
Akibatnya mereka menjadi elite politik yang terpisah dari kehidupan masyarakat dan tidak
berorientasi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Demokrasi dianggap berhasil asal
secara prosedural sudah dipenuhi. Demokrasi dianggap berjalan sukses apabila pimpinan
negara dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Demokrasi prosedural
tidak peduli atas kesejahteraan rakyat. Demokrasi seperti itu berlawanan dengan demokrasi
Indonesia seperti yang tertera dalam sila keempat Pancasila, yaitu kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. Musyawarah mufakat
dinaungi oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/ Perwakilan mulai
ditinggalkan.
Dengan teknologi yang semakin canggih penetrasi kebudayaan asing seakan-akan tidak
terbendung, namun kalau rasa kebangsaan Indonesia, semangat patriotisme, semangat
kepribadian bangsa tetap kuat, maka pengaruh budaya asing tersebut dapat disaring mana
yang merugikan dan mana yang menguntungkan bagi peningkatan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pe-ngaruh-pengaruh seperti inilah yang harus
diwaspadai dan ditangkal melalui persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh/kuat.
Di samping kekuatan dan ancaman globalisasi maka setiap peluang yang ada harus
ditangkap dan dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia untuk kesejahteraan bangsa. Ancaman
dan gangguan dari segi ekonomi telah mulai terasa dengan memberi kesempatan
beroperasinya pasar bebas (free market) yang menghendaki peranan negara sesedikit
mungkin, yang tidak akan pernah cocok dengan semangat sila kelima yaitu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam mekanisme ekonomi pasar terjadi persaingan yang
saling mematikan sehingga yang tidak mampu bersaing akan terlempar dari pasar,
sedangkan bagi ekonomi Pancasila persaingan harus saling menghidupi, apabila mekanisme
pasar di biarkan tumbuh mengatur perekonomian bangsa Indonesia. Usaha kecil dan besar
tetap hidup guna memenuhi kebutuhan masyarakat, yang kuat justru mengayomi dan
menghidupi yang lemah. Oleh karena itu dalam kehidupan bangsa Indonesia tidak
dikehendaki adanya monopoli, oligopoly, kartel, dan trust. Inilah faktor-faktor yang
mempengaruhi implementasi Pancasila sebagai pemersatu bangsa.
Pancasila sebagai pemersatu bangsa harus tetap dilaksanakan di segala aspek kehidupan
bangsa terus menerus agar supaya dapat membentengi bangsa Indonesia dari berbagai
pengaruh globalisasi.
G. Kesimpulan
Para founding fathers dengan arif bijaksana mengakomodasi kemajemukan bangsa dengan
suatu rumusan yang tertera dalam Penjelasan UUD 1945 sebagai berikut:
Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat
Indonesia seluruhnya.
Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah di
seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju
ke arah kemajuan adab, budaya, persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari
kebudayaan asing yang dapat mem-perkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa
sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
Rumusan yang terdapat dalam Penjelasan UUD 1945 adalah sebagai prinsip dalam
mengakomodasi keanekaragaman budaya bangsa dan dalam mengantisipasi timbulnya
perpecahan bangsa dan mengantisipasi globalisasi yang mengusung nilai-nilai yang
bertentangan dengan nilai budaya bangsa Indonesia. Semoga dengan berpegang teguh pada
konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika,
Negara Kesatuan Republik Indonesia makin kokoh dan makin berkibar sepanjang masa.
BAB VII
ntuk memahami Pancasila sebagai suatu “Filsafat”, harus dipahami terlebih dahulu garis
besar makna filsafat dalam kehidupan manusia termasuk dalam kehidupan ber-bangsa dan
bernegara. Sedangkan dalam hal “Pancasila dimaknai sebagai suatu Filsafat”, dimaksud-kan
bahwa Pancasila dipahami dari suatu hasil pe-renungan yang mendalam mengenai
kehidupan berbangsa dan bernegara dan merupakan sistem pemikiran tersendiri atau
sebagai suatu sistem filsafat.
1. Makna Filsafat
Ditinjau dari segi asal katanya atau etimologinya, kata filsafat berasal dari kata bahasa Arab
dan Persia falsafah atau dari kata bahasa Inggris philosophy, yang diturunkan dari kata
bahasa Yunani philosophia. Philosophia terdiri dari kata philien yang berarti “mencintai”
dan kata sophos yang berarti “kebijaksanaan”; atau philia yang berarti “cinta” dan sophia
yang berarti “kearifan” atau “pandai”. Philien sophos yang kemudian menjadi kata filsafat
dalam bahasa Indonesia, dapat dimaknai sebagai suatu “usaha untuk mencari keutamaan
mental atau akal budi, kehendak dan perasaan”, lalu dalam perkem-bangannya menjadi
philia sophia yang bermakna cinta kearifan atau cinta keutamaan dan kebenaran.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Kedua, 1995, kata “filsafat” diartikan
sebagai “pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada,
sebab, akal dan hukumnya”; atau “teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan”;
atau “ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi”; atau “falsafah”.
Sementara itu dalam KBBI juga, kata “falsafah” diartikan sebagai “anggapan, gagasan dan
sikap batin yang paling dasar yang dimiliki orang atau masyarakat” atau “pandangan hidup”;
sedangkan kata “berfalsafah” diartikan sebagai “memikirkan dalam-dalam (tentang sesuatu)”
atau “mengung-kapkan pemikiran-pemikiran yang dalam yang dijadikan pandangan hidup”.
Selanjutnya untuk lebih memahami masalahnya, kata “filsafat” dapat dikatakan sebagai
suatu studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis yang
dijelaskan secara mendasar dalam konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan nilai-nilai yang
esensial.
Filsafat tidak didalami dengan melakukan berbagai macam eksperimen dan percobaan,
tetapi dilakukan dengan mengutarakan masalahnya secara jelas dan tepat, melalui cara
dialogik-dialektik-eklektik dalam mencari jawaban atau solusi tentang sesuatu, dan
memberikan argumentasi serta alasan yang tepat. Akhir dari setiap proses tersebut
dimasukkan ke dalam sebuah proses berikutnya dengan selalu berusaha untuk terus
menerus mendalami permasalahannya secara logis dengan menggunakan logika.
Hal itu membuat filsafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi tertentu berciri eksak di sisi
lainnya tetap secara khas filsafati, yaitu spekulasi, keraguan, rasa penasaran, ketertarikan
dan kuriositas serta selalu mempertanyakan. Selanjutnya filsafat juga bisa diartikan sebagai
perjalanan pemikiran menuju sesuatu makna tentang sesuatu yang paling dalam, sesuatu
yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain, dengan sikap skeptis yang selalu
meragukan, mempertanyakan dan mempersoalkan segala macam fenomena yang ada.
Ditinjau dari segi terminologinya, makna filsafat dapat dikelompokkan menjadi (1) Filsafat
sebagai produk; dan (2) Filsafat sebagai proses.
Filsafat sebagai produk merupakan jenis pengetahuan, ilmu, konsep pemikiran dari hasil
usaha perenungan dan pemikiran para filsuf, ahli filsafat atau orang yang berfilsafat.
Sedangkan filsafat sebagai produk biasanya disebut sebagai suatu aliran filsafat atau sistem
filsafat tertentu, misalnya Idealisme, Materialisme, Liberalisme, Individualisme, Sosialisme,
Komunisme, Panca-sila, dan lain sebagainya. Termasuk dalam kelompok ini adalah
problema yang dihadapi manusia sebagai hasil usaha para pemikir terdahulu dalam mencari
kebenaran dengan lebih banyak menggunakan akal penalaran yang logis.
Filsafat sebagai suatu proses adalah proses kegiatan manusia dalam usahanya mencari
pemecahan masalah hidup dengan menggunakan metode dan cara tertentu sesuai dengan
permasalahannya. Dalam hal ini filsafat meru-pakan suatu sistem ilmu pengetahuan, yang
harus dibangun terus menerus secara mentradisi.
Dalam tradisi membangun filsafat biasanya berkembang sesuai dengan latar belakang buda-
ya, bahasa, bahkan agama tempat tradisi filsafat itu dibangun. Oleh karenanya orang lalu
mengadakan klasifikasi filsafat didasarkan tempat tradisi filsafat tersebut dibangun. Maka
dikenal adanya Filsafat Barat, Filsafat Timur, Filsafat Timur Tengah, Filsafat Cina, Filsafat
India, Filsafat Budha, Filsafat Hindu, Filasafat Islam, Filsafat Kristen dan lain sebagainya.
Dengan demikian, kiranya Pancasila dapat dikatakan sebagai Filsafat Indonesia, karena
digali, dibangun dan dikembangkan dalam tradisi Indonesia, diawali sejak pemikiran
persiapan kemerdekaan bangsa hingga saat ini.
Khusus mengenai membangun tradisi kefilsafatan Indonesia, Pancasila, dewasa ini dapat
dikatakan masih tersebar di beberapa perguruan tinggi dan lembaga-lembaga
kemasyarakatan yang masing-masing belum menyatu dalam suatu dialog menuju soliditas
tradisi filsafati. Dapat dikemukakan di sini sebagai suatu misal antara lain adalah
Laboratorium Pancasila di Universitas Negeri Malang, Pusat Studi Pancasila Universitas
Gajah Mada di Yogyakarta. Di samping itu tentunya di Perguruan-perguruan tinggi yang
memberikan pembelajaran filsafat seperti antara lain Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di
Jakarta dan tentunya Universitas/Perguruan Tinggi/Pendidikan Tinggi keagamaan yang
berada di seluruh Indonesia. Sedangkan usaha konsolidasi di antara mereka nampaknya
sementara ini dipelopori oleh beberapa perguruan tinggi untuk mengadakan Kongres
Pancasila.
Dapatkah Pancasila dibangun dan berkembang sebagai suatu Tradisi Filsafat Indonesia,
sementara dewasa ini menyebut Pancasila saja orang enggan, utamanya dalam orasi atau
pidato para pimpinan pemerintahan dan negara termasuk para politisinya.
Dalam membangun Pancasila sebagai Filsafat, Pancasila jelas merupakan filsafat dalam arti
produk. Selanjutnya perlu dipahami bahwa sebagai filsafat, hasil perenungan atau hasil
berfilsafat, maka Pancasila dapat dimasukkan dalam kategori genetivus subyektivus. Dalam
hal ini, Pancasila bermakna sebagai subyek yang memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana
orang sebaiknya harus bersikap, berbuat dan bertindak dalam berbagai aspek kehidupan. Di
sini Pancasila berfungsi sebagai subyek yang memberikan pedoman dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, yang secara definitif sudah ditetapkan sebagai dasar negara pada
tanggal 18 Agustus 1945 saat disahkannya UUD 1945. Oleh karenanya bagi bangsa Indonesia,
Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup, ideologi bangsa, dikatakan sebagai
produk yang sudah final, dalam arti tidak dapat diubah.
Di lain pihak, Pancasila sebagai suatu fenomena kehidupan, oleh para pemikir filsafat,
kiranya dapat juga ditempatkan dalam kategori genitivus obyektivus. Dalam hal ini,
Pancasila dijadikan obyek yang dibahas, dikaji, ditelaah, diteliti dan digali untuk dicari
hakikat kebenarannya yang terdalam. Pada sisi ini di satu pihak dapat menghasilkan
penguatan kebenarannya, namun di sisi lain dapat pula melemahkannya. Kesemuanya itu
sangat ditentukan oleh faktor yang berada di luar Pancasila itu sendiri, yaitu faktor
pemikirnya, dan khususnya faktor tekad, komitmen dan semangat pendukungnya dalam
memahami, menghayati dan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Menempatkan Pancasila dalam kategori genetivus obyektivus ini
sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan, karena Pancasila dalam perkembangannya
dinyatakan juga sebagai ideologi terbuka.
Dari segi kesisteman, sesuatu dikatakan sebagai suatu ”sistem” apabila, ”sesuatu” itu
merupakan suatu kesatuan dari bagian-bagiannya, atau apabila bagian-bagian dari ”sesuatu”
tersebut merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Setiap bagian mempunyai fungsi
masing-masing secara tersendiri yang saling mendukung, saling bergantung dan saling
berhubungan satu terhadap yang lain untuk mencapai tujuan bersama atau tujuan
dari ”sistem” tersebut. Apabila Pancasila dapat memenuhi ketentuan tersebut, tentunya
Pancasila dapat dikatakan sebagai suatu sistem (filsafat).
Berdasarkan tinjauan dari segi kesisteman, dapat dikatakan bahwa Pancasila terdiri atas
lima sila, yang masing-masing silanya sebagai bagian yang tidak terpisahkan satu dengan
yang lain secara bulat dan utuh. Pada hakikatnya setiap sila merupakan suatu prinsip, asas
dan mempunyai fungsi masing-masing, yang secara keseluruhan mewujudkan suatu
kesatuan yang sistematis tidak terpisahkan satu dengan yang lain. Susunan kesatuan sila-sila
dari Pancasila tersebut bersifat organis, hierarkhis berbentuk piramidal yang solid, yang
masing-masing silanya mengandung pemahaman makna dari setiap sila lainnya, yang
masing-masing saling mengisi dan saling menguatkan dalam mengaktualisasikan dirinya
secara kuat terintegrasi. Dengan demikian Pancasila sebagai dasar negara dapat dikatakan
juga sebagai suatu sistem filsafat yang merupakan dasar filsafat negara dan peradaban
bangsa.
Selanjutnya dapat dikemukakan bahwa Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada
hakikatnya mengandung suatu konsep, prinsip dan nilai, yang dijadikan sumber dari segala
sumber hukum.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sila-sila dari Pancasila pada hakikatnya bukan saja
merupakan kesatuan yang bersifat formal logis, namun sekaligus juga merupakan kesatuan
dasar ontologis, dasar epis-temologis, dan dasar aksiologis.
Setelah memahami Pancasila sebagai Filsafat, kiranya kini Pancasila perlu dikaji untuk
mengung-kapkan, memahami dan meyakini kebenaran Filsafat Pancasila dari segi
penelaahan dasar filsafat. Penelaahan dasar filsafat dimaksudkan di sini adalah menelaah
Pancasila dari segi filsafat ontologi, epistemologi dan dari segi aksiologi.
Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai bagian dari ilmu metafisika yang
mendalami masalah esensi segala sesuatu atau kehidupan. Concise Oxford Dictionary (COD)
mwemberikan makna ontologi: department of metaphysics concerned with things or beings.
Jelasnya ontologi mempelajari kenyataan yang ada secara kritis membahas keberadaan
sesuatu yang bersifat konkret. Dalam membahas Filsafat Pancasila secara ontologis, ternyata
dari kelahirannya pada tanggal 1 Juni 1945, yang dapat dikatakan sebagai awal
keberadaannya, Pancasila merupakan wujud manifestasi usaha perjuangan manusia
Indonesia untuk mengem-balikan kemanusiaannya, kehidupan-nya dan kebebasannya
sesuai dengan kodrat, harkat dan martabatnya sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dari kelahirannya dapat dipahami bahwa keberadaan Pancasila berpusat pada manusia.
Dari konsep dan prinsip yang terkandung di dalam Pancasila, jelaslah bahwa manusia yang
menjadi pusat keberadaanya itu mengaku dirinya dengan segala kodrat, harkatnya dan
martabatnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. yang berusaha
mengembangkan kehidupan dan kemanusiaannya secara adil dan beradab, dalam suasana
persatuan bangsanya secara rukun bergotongroyong mewujudkan kesejahteraan secara adil
dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selanjutnya dalam menelaah Pancasila dari segi epistemologi, dapat dikatakan bahwa
epistemologi secara mudahnya dapat dipahami sebagai teori tentang metode atau dasar dari
pengetahuan. Menurut COD epistemologi diberi makna theory of the method or grounds of
knowledge. Jelasnya epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki sumber, proses,
syarat terjadinya, serta makna dan nilai ilmu pengetahuan. Pancasila sebagai sistem filsafat
pada hakikatnya juga merupakan suatu sistem pengetahuan, yang dapat dijadikan pedoman
bangsa Indonesia untuk memahami realitas alam semesta, masyarakat, bangsa dan
negaranya guna mendapatkan makna hidup dan kehidupannya. Di samping itu, Pancasila
juga dapat dijadikan pegangan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hidup
dan kehidupannya. Dengan demikian Pancasila dapat dikatakan menjadi sistem cita-cita dan
keyakinan, sehingga sekaligus menjadi ideologi yang mengandung logos, pathos, dan ethos.
Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan dikatakan mengandung logos, sebab dalam
wujud dirinya merupakan logos (bahasa Yunani) yang bermakna sebagai kata, wacana,
ucapan, diskursus, yang sebagai pengetahuan mempunyai dasar alasan dan penalaran yang
logis serta dapat diterima.
Di samping mengandung logos, Pancasila dikatakan juga mengandung pathos (bahasa
Yunani) yang bermakna sebagai perasaan, emosi, pengalaman yang menyentuh hati atau
menyedihkan (bahasa Jawa trenyuh). Memang Pancasila saat dilahirkannya diucapkan
dengan penuh perasaan dan kegairahan yang dalam oleh penggalinya, karena sebenarnyalah
Pancasila merupakan soliditas perasaan, pemikiran dan kehendak hati yang terdalam dari
penggalinya untuk membawa bangsanya terlepas bebas dari penjajahan, kebodohan,
ketertinggalan dan kemiskinan. Bukan saja saat dilahirkan me-ngandung pathos dalam diri
yang mengucapkan, tetapi juga menimbulkan pathos bagi pendengarnya, sehingga saat itu,
saat diucapkan untuk ditawarkan sebagai dasar negara, mendapat sambutan tepuk tangan
yang sangat menggairahkan dan serta merta diterima sebagai suatu solusi dari
permasalahan yang ada saat itu. Penggalinya benar-benar mampu dan kompeten
memanfaatkan pathos, dalam arti teknik komunikasi dalam retorika, berhasil mengung-
kapkan pathos dirinya dan menggugah pen-dengarnya.
Selanjutnya Pancasila sebagai suatu pengetahuan dikatakan mengandung ethos (bahasa
Yunani) yang semula bermakna sebagai habitat kuda, kebiasaan, adat-istiadat, dan moral,
yang dalam perkembangan kemudian maknanya mengacu pada semangat yang memotivasi
ide-ide dan adat-istiadat. Ethos umum masyarakat menguasai dan menentukan perilaku
para politisinya. The general ethos of the people they have to govern determines the behavior
of politicians (T.S Eliot dalam The idea of a Christian society,1940). Bukankah Pancasila
sejak diucapkan dan dilahirkan telah menunjukkan ethosnya yang terkandung di dalamnya
dan mampu memicu dan memacu semangat para founding fathers untuk mendirikan negara
berdasarkan Pancasila dan mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negara yang telah
diproklamasikan.
Penelaahan Pancasila dari segi aksiologi, yang bermakna menelaah Pancasila dari segi teori
nilai (bahasa Yunani; Axion berarti nilai dan logos berarti ilmu atau teori). Dapat dikatakan
bahwa terhadap Pancasila dipertanyakan tentang nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan konsep asli Indonesia, yang
diturunkan dari konsep ketuhanan secara universal, dijadikan dasar kehidupan berbangsa
dan bernegara. Dalam sila ini pemahamannya bukan agama yang dijadikan dasar kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” dirumuskan dalam konteks
membangun kehi-dupan negara bangsa Indonesia yang berarti membangun kehidupan
politik, karena suatu negara bangsa adalah makhluk politik, makhluk dalam ranah politik.
Oleh karena itu Sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa sebenarnyalah merupakan suatu prinsip
politik, bukan suatu prinsip teologis. Dengan demikian implikasi dari Sila tersebut ialah
bahwa negara bangsa Indonesia mengakui dan melindungi kemajemukan agama di
Indonesia; Negara tidak menilai “isi” dari suatu agama. Penganut agama apa pun wajib
bersatu untuk membangun negara bangsa. Hal ini sangat jelas dari ajakan Ir. Soekarno
dalam pidato “Lahirnya Pancasila”. Dalam Ketuhanan Yang Maha Esa dimungkinkan secara
kondusif setiap umat beragama bebas memeluk agamanya masing-masing dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dalam sila ini terkandung konsep religiositas. Kata religiositas
diturunkan dari bahasa Latin antara lain mengandung arti relasi. Relasi yang dimaksud
dalam sila ini adalah hubungan antara manusia dengan Tuhan, antara manusia dengan
sesamanya, antara manusia dengan alam, dan antara manusia dengan dirinya sendiri. Relasi
tersebut harus dijiwai dengan semangat kemanusiaan yang adil dan beradab, dalam suasana
kehidupan yang bersatu saling menerima dan dialog dengan sesamanya dalam rangka
mencapai kesejahteraan bersama secara berkeadilan.
Dengan jelas dan tegas Bung Karno menjelaskan prinsip ketuhanan sebagai berikut :
Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang
Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut
petunjuk Isa Almasih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Mohamad s.a.w., orang
Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita
semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya
dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-
Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara
Indonesia satu negara yang bertuhan.”
Selanjutnya galilah nilai-nilai yang terkandung di dalam sila-sila lainnya, yang sebenarnya
nilai-nilai tersebut semuanya menyatu menjiwai bangsa Indonesia mengembangkan dirinya
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemudian kiranya perlulah juga ditinjau fungsi
dan peran Pancasila sebagai Filsafat Indonesia.
B. Fungsi dan Peran Pancasila sebagai Filsafat
Fungsi dan peran filsafat dalam kehidupan manusia bisa dirunut dari asal filsafat itu sendiri.
Filsafat lahir dalam kehidupan karena manusia dalam kehidupannya penuh keheranan,
kesangsian dan kesadaran akan keterbatasannya dalam memahami keberadaan segala
sesuatu yang ada. Dalam usaha manusia untuk mencari jawaban terhadap hal-hal tersebut
nampaknya dengan (ilmu) pengetahuan yang dimiliki manusia sejak dahulu sampai kapan
pun tidak pernah akan dapat memperoleh jawaban yang memuaskan, maka manusia selalu
berusaha mencari kebenaran dari adanya segala sesuatu. Dalam berusaha mencari
kebenaran tersebut maka manusia berfilsafat, selalu mempertanyakan atau mencari jawaban
atas keheranan, kesangsian dan kesadaran akan keterbatasannya yang ada pada dirinya.
Setiap saat mendapat jawaban atas berbagai hal yang dipertanyakan, saat itulah manusia
dikatakan mampu mendobrak keluar dari persoalan yang dipertanyakan. Manusia yang
berkepanjangan terlena dalam kehidupan alam mistik yang penuh hal-hal serba rahasia
didobrak manusia yang berfilsafat dengan usaha pemikiran yang mempertanyakan segala
yang ada dengan cara yang penuh rasional. Sekaligus dalam keadaan tersebut manusia
terbebas dari kehidupan yang mistis, tradisional dan kebodohan. Dengan berfilsafat manusia
membebaskan diri dari cara berpikir yang mistik, mitis (bersifat mitos) dan membimbing
manusia untuk berpikir secara rasional dan mencintai kebijaksanaan. Membebaskan
manusia dari cara berpikir yang picik dan dangkal serta membimbing untuk berpikir lebih
luas dan mendalam.
Secara singkat dan dalam garis besarnya dapat kiranya dipahami bahwa filsafat dalam
kehidupan manusia berfungsi sebagai berfikir yang mendalam untuk mencari kebenaran
yang hakiki tentang segala sesuatu yang ada dan yang dihadapi manusia. Sedangkan
perannya sebagai pendobrak, pembebas dari persoalan kehidupan yang dialami saat tertentu
dan pembimbing untuk berpikir lebih luas dan mendalam yang penuh kebijaksanaan.
2. Fungsi dan Peran Filsafat Pancasila
Untuk memahami fungsi dan peran Pancasila sebagai filsafat, perlu dikemukakan terlebih
dahulu bahwa setiap menyebutkan Pancasila, maka yang dimaksudkan adalah Pancasila
sebagai filsafat, kecuali diberikan penjelasan lain. Sedangkan fungsi dan peran yang secara
teoritik timbul setelah diketahui adanya status, maka dapat dibayangkan dalam memahami
fungsi dan peran Pancasila selalu mengacu pada bidang dan atau situasi tertentu, tempat
atau kedudukan status Pancasila diwacanakan atau didis-kursuskan.
Sebelum Pancasila diwacanakan dalam rapat-rapat di BPUPKI pada 29 Mei – 1 Juni 1945,
secara hipotetik kesejarahan, diyakini butir-butir yang menjadi faktor pembentuk Pancasila
telah berkembang meluas di berbagai suku bangsa di seluruh pelosok nusantara. Faktor
pembentuk Pancasila tersebut dikenal sebagai kebiasaan, adat-istiadat dan hukum adat suku
bangsa setempat, yang dijadikan pegangan hidup masyarakatnya masing-masing. Kebiasaan,
adat-istiadat dan hukum adat suku bangsa atau masyarakat setempat tersebut dihayati,
diamalkan dan dijaga penegakannya secara konsisten, yang akhirnya tanpa disadari secara
formal solid membulat menjadi pandangan hidupnya atau menjadi falsafah hidup masya-
rakatnya.
C. Van Vollenhoven secara hipotetis mem-bagi lingkungan hukum adat Indonesia menjadi
19 lingkungan sebagai berikut: (1) Aceh; (2) Tanah Gayo, Alas, dan Batak; (3) Daerah
Minangkabau; (4) Sumatera Selatan: (5) Daerah Melayu; (6) Bangka dan Belitung; (7)
Kalimantan; (8) Minahasa; (9) Gorontalo; (10) Daerah/Tanah Toraja; (11) Sulawesi Selatan;
(12) Kepulauan Ternate; (13) Maluku-Ambon; (14) Irian; (15) Kepulauan Timor; (16) Bali
dan Lombok; (17) Bagian Tengah Jawa dan Jawa Timur termasuk Madura; (18) Daerah
Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta; dan (19) Jawa Barat.
Menurut para ahli hukum adat, meskipun kebiasaan dan adat-istiadat hidup dalam berbagai
lingkungan hukum adat, pada umumnya hukum adat Indonesia mempunyai kesamaan corak,
yaitu bercorak: religius magis, komunal kemasyarakatan, demokrasi, kontan (dilaksanakan
saat itu juga) dan konkrit. Pada umumnya hukum adat Indonesia meliputi Hukum
Perorangan; Hukum Kekeluargaan; Hukum Perkawinan; Hukum Harta Perkawinan;
Hukum Adat Waris; Hukum Hutang Piutang; Hukum Tanah; dan Hukum Perjanjian dan
lain-lain.
Dari kebiasaan, adat-istiadat, hukum adat dan pandangan hidup masyarakat suku-bangsa
yang tersebar di seluruh tanah air tersebut diangkatlah butir-butir yang mempunyai
kesamaan watak untuk dijadikan faktor pembentuk pandangan hidup bangsa. Jelasnya
hukum adat dan pandangan hidup yang mempunyai kesamaan watak dijadikan ”common
denominator” dan faktor pembentuk pandangan hidup bangsa dalam makna falsafah bangsa
yang kemudian ditetapkan dengan sebutan Pancasila.
Pancasila sebagai falsafah atau pandangan hidup yang oleh founding fathers ditetapkan
menjadi dasar negara, fondasi berdirinya negara bangsa Indonesia yang dinamakan Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diprokla-masikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Oleh
penggalinya dijelaskan saat itu dengan penuh pathos (penuh perasaan) serta diliputi ethos
(semangat) yang solid sebagai berikut: ”Philosofische grondslag dari pada Indonesia
Merdeka. Philosofische grondslag itulah pundamen, filsafat, pikiran-yang-sedalam-dalam-
nya, jiwa, hasrat-yang-sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia
Merdeka yang kekal dan abadi.”
Dalam kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, jelaslah fungsi Pancasila
sebagai dasar filosofi, sebagai fundamen, sebagai filsafat, sebagai pikiran yang sedalam-
dalamnya, seba-gai jiwa dan sebagai hasrat dalam mendirikan Indonesia Merdeka yang
kekal dan abadi.
Dari deskripsi secara singkat tersebut, kiranya dapat dipahami bahwa Pancasila sebagai
Filsafat berfungsi sebagai pendobrak dari kehidupan tradisional yang terkekang secara nyata,
baik fisik maupun non fisik, sebagai pembebas dari pemikiran dan kehidupan terjajah, dan
sekaligus Pancasila menjadi pembimbing kehidupan manusia Indonesia. Dengan landasan
pendekatan Filsafat Pancasila, selayaknya bangsa Indonesia harus selalu mempertanyakan
dan memahami keberadaannya. Kehidupan yang dialaminya telah mampu mendobrak dan
membebaskan diri dari persoalan bangsa dan negara atau tetap terkungkung oleh kekangan
persoalan yang dihadapinya. Dengan Filsafat Pancasila, bangsa Indonesia harus mampu
mengembangkan dirinya menuju kehidupan bernegara yang dipenuhi oleh kecerdasan
kehidupan bangsa, sehingga tidak ada seorang pun yang tertinggal dalam penjara kehidupan
yang diliputi kebodohan dan kemiskinan.
C. Implementasi Pancasila sebagai Filsafat
E. Kesimpulan
1. Filsafat sebagai suatu proses yaitu proses kegiatan manusia dalam usahanya mencari
pemecahan masalah hidup dengan meng-gunakan metode dan cara tertentu sesuai dengan
permasalahannya. Dalam hal ini filsafat merupakan suatu sistem ilmu pengetahuan, yang
harus dibangun terus menerus secara mentradisi.
2. Filsafat dalam kehidupan manusia berfungsi untuk mencari kebenaran hakiki tentang
segala sesuatu yang ada dan yang dihadapi manusia. Sedangkan perannya dapat
disimpulkan sebagai pendobrak, pembebas dari persoalan kehidupan yang dialami dan
pembimbing untuk berpikir lebih luas dan mendalam yang penuh kebijaksanaan.
3. Dengan berfilsafat manusia membebaskan diri dari cara berpikir yang mistik, mitis dan
membimbing manusia untuk berpikir secara rasional efektif dan efisien serta mencintai
kebijaksanaan. Membebaskan manusia dari cara berpikir yang picik dan dangkal dan
membimbing untuk berpikir lebih luas dan mendalam.
4. Untuk memahami Pancasila sebagai suatu “Filsafat”, perlu dipahami makna filsafat dalam
kehidupan manusia khususnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
5. Pancasila dapat dikatakan sebagai Filsafat Indonesia, karena digali, dibangun dan
dikembangkan dalam tradisi Indonesia, diawali sejak pemikiran persiapan kemerdekaan
bangsa hingga saat ini.
6. “Pancasila dimaknai sebagai suatu Filsafat”, dimaksudkan bahwa Pancasila dipahami
sebagai hasil perenungan yang mendalam mengenai kehidupan bangsa dan negara dan
merupakan sistem pemikiran tersendiri atau sebagai suatu Sistem Filsafat.
7. Filsafat Pancasila dapat dikatakan suatu Sistem Filsafat, dalam arti Pancasila ditinjau dari
segi kesisteman, merupakan satu kesatuan sistem, yang secara nalar dapat dibenarkan dan
diterima.
8. Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya mengandung suatu konsep,
prinsip dan nilai, yang dijadikan sumber dari segala penjabaran norma, baik norma hukum,
norma moral, norma kebangsaan, norma kenegaraan dan norma lainnya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara Indonesia.
9. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sila-sila dari Pancasila pada hakikatnya bukan
saja merupakan kesatuan yang bersifat formal logis, namun sekaligus juga merupakan
kesatuan dasar ontologis, dasar epistemologis, dan dasar aksiologis.
BAB VIII
WAWASAN POKOK TIAP-TIAP SILA
DALAM PANCASILA
A. Pendahuluan
etelah memahami Makna Pancasila dan Pancasila sebagai : Dasar Negara; Ideologi;
Pandangan Hidup; Pemersatu Bangsa; dan sebagai Falsafah dalam bab-bab sebelumnya,
maka dalam bab ini akan diuraikan Wawasan Pokok tiap-tiap Sila dalam Pancasila. Uraian
bab ini dimaksudkan agar pemahaman terhadap Pancasila makin mendalam, lengkap dan
komprehensif. Dengan makin mendalam, lengkap dan koprehensif pemahaman terhadap
Pancasila akan lebih mampu menghadapi berbagai paham dan pemahaman lain yang
bertentangan dan bahkan mungkin merupakan predator terhadap Pancasila. Dengan
mantapnya pemahaman dan keteguhan berpegang pada Pancasila, bukan berarti Pancasila
menjadi ideologi tertutup, namun justru sebaliknya, menjadi ideologi yang terbuka, yang
mampu menyerap unsur-unsur positif yang berkembang untuk dijadikan faktor penguat dan
penangkal ideologi predator terhadap Pancasila dalam situasi yang terbuka dewasa ini.
Untuk itu perlu pemahaman makna wawasan pokok terlebih dahulu.
Kata “Wawasan” berasal dari “Wawas” (bahasa Jawa) berarti melihat atau memandang.
Dengan penambahan akhiran “an”, secara harfiah berarti penglihatan, tinjauan atau
pandangan. Wawas atau mewawas diartikan pula meneliti, meninjau, memandang,
mengamati atau refleksi. Wawasan adalah hasil mewawas atau memandang, yang berarti
sebagai pandangan. Pandangan tersebut biasanya mengandung harapan, cita-cita, memuat
makna yang akan diwujudkan dan arahan pada sikap dan perbuatan untuk mencapai cita-
citanya, baik bersifat individual atau pun bersifat sosial atau bersama. Oleh A. Teeuw, dalam
Kamus Indonesia – Belanda, wawasan diterjemahkan dengan kata “begrip, inzicht, concept,
conceptie, idée”. Selanjutnya dalam Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila,
wawasan diartikan sebagai “pandangan atau paham tentang sesuatu, kemudian diberi arti
‘perangkat pikiran dasar’ suatu ajaran yang berguna sebagai petunjuk pelaksanaan ajaran
tersebut. Maka wawasan diartikan juga sebagai doktrin asasi”.
Berdasarkan atas pemahaman tentang arti wawasan tersebut, maka wawasan pokok tiap-
tiap sila dalam Pancasila dimaksudkan sebagai pandangan pokok, konsepsi dasar, perangkat
pikiran dasar suatu ajaran yang dijadikan doktrin asasi dan petunjuk pelaksanaan dari tiap-
tiap sila dalam Pancasila.
Pemahaman wawasan pokok masing-masing sila dalam Pancasila harus dipahami
berdasarkan pada kenyataan sejarah dan intensi dasar dari para founding fathers
dirumuskannya Pancasila sebagai ‘dasar negara’. Pancasila sebagai dasar Negara pada
hakekatnya merupakan satu kesatuan bulat dan utuh yang masing-masing silanya saling
menjiwai dan melingkupi sehingga merupakan satu kesatuan yang bersinergi. Selanjutnya
perlu dipahami pula, bahwa Pancasila diterima menjadi dasar negara oleh para Bapak
Bangsa Pendiri Negara, karena Pancasila mempertemukan pendapat tentang paham dasar
negara yang betentangan, yaitu antara paham negara berdasar agama dan paham negara
berdasar nasionalisme. Dengan demikian Pancasila merupakan kesepa-katan luhur, menjadi
platform bersama atau menjadi ‘common denominator’, sehingga semua pendapat dapat
terwadahi bersenergi membangun negara bangsa. Sebagai dasar negara, Pancasila menjadi
sumber hukum bagi setiap ketentuan, tindakan dan perbuatan penyelenggaraan negara.
Oleh karena itu Pancasila juga menjadi arahan dan tuntunan dalam penyelenggaraan negara.
Dalam hal ini Pancasila berfungsi sebagai ‘ideologi negara’. Sebagai ideologi, Pancasila dapat
juga berfungsi sebagai ‘acuan kritik ideologi’ apa pun. Selanjutnya dalam dinamika
kehidupan berbangsa dan bernegara, atau dalam kiprah kehidupan politik berbangsa dan
bernegara, Pancasila menjadi ‘etika politik’ bangsa Indonesia yang tidak boleh ditawar lagi.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila, perumusannya harus dipahami dalam
konteks Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana dikehendaki para Bapak Bangsa dalam
rangka membangun kehidupan berma-syarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian
‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ merupakan prinsip politik bernegara. Sila pertama ini
merupakan salah satu faktor pembentuk Pancasila yang inheren dalam empat sila lainnya
dan sebaliknya. bukan suatu prinsip teologis, meskipun bernuansa teologis. Sebagai prinsip
politik, Negara mengakui dan melindungi kemajemukan agama di Indonesia. Negara tidak
akan menilai isi dan ajaran dari suatu agama apa pun. Penganut agama apa pun wajib
bersatu untuk membangun bangsa dan Negara.
‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ dikatakan bernuan-sa teologis, dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, sebab dalam kaitannya kehidupan berketuhanan, sila Ketuhanan Yang Maha Esa
dapat dikatakan sebagai “common denominator” atau pijakan yang sama dari berbagai
deno-minasi agama. Dalam Ketuhanan Yang Maha Esa ini, Bung Karno mengatakan:
Bukan saja bangsa Indone¬sia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indone¬sia hendaknya
bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih,
yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad S.A.W., orang Buddha men-
jalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya
ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat
menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan
secara kebu-dayaan, yakni dengan tiada “ego-isme agama”. Dan hendaknya Negara
Indonesia satu Negara yang ber-Tuhan!
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Is¬lam, maupun Kristen, dengan cara yang
berkeadaban. Apakah cara yang berkea-daban itu? lalah hormat-menghormati satu sama
lain
Nabi Muhammad S.A.W telah memberi bukti yang cukup tentang verdraag- zaamheid,
tentang menghormati agama-agama lain, Nabi Isa pun telah menunjukkan
verdraagzaamheid itu. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini— sesuai
dengan itu—menyatakan: bahwa prinsip kelima (baca: pertama) dari Negara kita, ialah
Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan
yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau Saudara-
saudara menyetujui bahwa Negara Indo-nesia Merdeka berasaskan Ketuhanan Yang Maha
Esa!
Di sinilah, dalam pangkuan asas yang kelima (baca: pertama) inilah, Saudara-saudara,
segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-
baiknya. Dan Negara kita akan ber-Tuhan pula!” (Bung Karno dalam Lahirnya Pancasila).
Aktualisasi Ketuhanan yang Maha Esa dijiwai oleh empat sila lainnya, dalam hal orang
menganut suatu agama dan atau kepercayaan maka mereka saling menghormati sesuai
harkat dan martabat manusia, tidak saling memaksakan agamanya, tetapi menjaga per-
satuan dan kesatuan untuk terselenggaranya rasa kea-dilan demi kesejahteraan bersama.
Demikianlah wawasan pokok dari sila pertama. Wawasan lain terhadap sila pertama di luar
wawasan pokok yang diuraikan tersebut dapat dikatakan tidak sesuai dengan Pancasila.
Misalnya mewawas Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila tidak dikaitkan dengan
motif peru-musannya dalam rangka sebagai dasar Negara Republik Indonesia, namun
dikaitkan hanya dengan salah satu agama atau kepercayaan, sehingga agama dan
kepercayaan yang lain dinegasikan dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Demikian juga
apabila memandang Ketuhanan Yang Maha Esa berdiri sendiri terlepas dari empat sila
lainnya, dan bahkan Ketuhanan Yang Maha Esa dipandang sebagai agama dan dijadikan
agama negara, itu sama sekali bukan sila Pancasila.
Sila pertama ini merupakan motif dasar setiap sikap, tingkah laku dan perbuatan orang
seorang, lembaga masyarakat, dan lembaga Negara serta menjiwai pelak-sanaan empat sila
lainnya dalam kehidupan berma-syarakat, berbangsa dan bernegara.
Aktualisasi dari sila Persatuan Indonesia ini dijiwai dan menjiwai empat sila lainnya dalam
Pancasila. Dalam perjuangan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa selalu dijiwai oleh
semangat ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, disemangati oleh rasa kemanusiaan yang adil dan
beradab, penuh kesadaran kebersamaan dan jauh dari pemaksaan pendapat atau kehendak
demi terwujudnya kesejahteraan bersama.
Sila ketiga ini merupakan kunci dasar/induk (master key) dari setiap sikap, tingkah laku dan
perbuatan orang seorang, lembaga masyarakat, dan lembaga negara serta menjiwai dan
dijiwai pelaksanaan empat sila lainnya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
C. Kesimpulan
Dengan uraian singkat tentang wawasan pokok tiap-tiap sila dalam Pancasila ini diharapkan
pemahaman terhadap Pancasila makin berkembang.
https://lppkb.wordpress.com/2011/12/28/buku-pancasila/