Anda di halaman 1dari 65

BUKU PANCASILA

PANCASILA
PENGANTAR

buku berjudul Pancasila ini disusun dengan maksud untuk memahami kembali Pancasila
beserta implementasinya yang bersamaan dengan terbitnya Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 36 tahun 2010, tertanggal 22 Juni 2010, tentang Pedoman Fasilitasi
Penyelenggaraan Pendidikan Politik. Dalam konsiderans Peraturan Menteri tersebut
ditegaskan bahwa di dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah perlu dikembangkan
kehidupan demokrasi, untuk itu perlu diselenggarakan pendidikan politik bagi masyarakat.
Dijelaskan dalam Peraturan Menteri tersebut, bahwa lingkup fasilitasi penyelenggaraan
pendidikan politik diantaranya adalah penyediaan “materi pendidikan politik,” yang terdiri
atas materi wajib yaitu: Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun
1945, dan materi pilihan sebanyak 15 pokok bahasan.
Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Kehidupan Bernegara (LPPKB) yang selama ini
kegiatannya mengkaji tentang kehidupan berbangsa dan bernegara terutama implementasi
Pancasila di masyarakat, kiranya dapat berpartisipasi dalam menyiapkan bahan yang
diperlukan bagi penyelenggaraan pendidikan politik seperti dimaksud dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 36 tahun 2010 di atas. Sesuai dengan lingkup kerja LPPKB,
bahan yang tepat untuk disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri adalah materi wajib
Pancasila dan UUD 1945.
Buku ini terdiri atas sembilan bab. Bab I Pendahuluan mengupas mengenai pengertian
Pancasila sesuai dengan pemikiran awal dan perkembangan selanjutnya. Bab II mengupas
mengenai makna Pancasila ditinjau dari hakikatnya, sejarah perkembangan perumusannya
dan konsep, prinsip serta nilai yang terdapat dalam Pancasila. Bab III membicarakan
Pancasila sebagai dasar negara yang mengupas fungsi dan bagaimana implementasinya
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bab IV mengupas Pancasila sebagai ideologi
nasional bangsa Indonesia, memberikan uraian mengenai makna dan hakikat ideologi, serta
peran ideologi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bab V mengupas
Pancasila sebagai pandangan hidup, memberikan uraian bagaimana Pancasila berfungsi
sebagai panduan dan acuan bagi manusia Indonesia dalam berfikir, bersikap dan bertingkah
laku sehari-hari. Bab VI menegaskan Pancasila sebagai perekat dan pemersatu bangsa
Indonesia yang mampu mengikat bangsa Indonesia yang pluralistik menjadi satu bangsa
yang bersatu. Bab VII menguraikan Pancasila sebagai Filsafat yang berusaha memberikan
gambaran mengenai kebenaran yang terkandung dalam Pancasila. Bab VIII menguraikan
mengenai wawasan pokok tiap-tiap sila dalam Pancasila agar pemahaman terhadap
Pancasila makin mendalam, lengkap dan komprehensif dan Bab IX Penutup sebagai
rangkuman dari seluruh bahasan.

BAB I
PENDAHULUAN

Sesuai dengan penggagas awal, Ir Soekarno, Pancasila diusulkan sebagai dasar negara dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sila-sila yang terkandung dalam Pancasila
terumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan serta untuk mewujudkan Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Para founding fathers menghendaki Pancasila dijadikan dasar pengelolaan kehidupan
bermasyarakat, ber-bangsa dan bernegara untuk mewujudkan masyarakat yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Pancasila secara sistematik disampaikan pertama kali oleh Ir. Soekarno di depan Sidang
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 1
Juni 1945. Oleh Bung Karno dinyatakan bahwa Pancasila merupakan philosofische
grondslag, suatu pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, merupakan landasan
atau dasar bagi negara merdeka yang akan didirikan. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa
Pancasila di samping berfungsi sebagai landasan bagi kokoh-tegaknya negara-bangsa, juga
berfungsi sebagai bintang pemandu atau Leitstar, sebagai ideologi nasional, sebagai
pandangan hidup bangsa, sebagai perekat atau pemersatu bangsa dan sebagai wawasan
pokok bangsa Indonesia dalam mencapai cita-cita nasional.
Begitu penting kedudukan Pancasila bagi bangsa Indonesia dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, sehingga gagasan dasar yang berisi konsep, prinsip dan nilai yang
terkandung dalam Pancasila harus berisi kebenaran yang tidak disangsikan. Dengan
demikian rakyat rela untuk menerima, meyakini dan menerapkan dalam kehidupan yang
nyata; untuk selanjutnya dijaga kokoh dan kuatnya gagasan dasar tersebut agar mampu
mengantisipasi perkembangan zaman.
Untuk menjaga, memelihara, memperkokoh dan mensosialisasikan Pancasila maka para
penyelenggara negara dan seluruh warganegara wajib memahami, meyakini dan
melaksanakan kebenaran nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.

BAB II
MAKNA PANCASILA

A. Pancasila adalah Gagasan Dasar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara


Timbul pertanyaan, mengapa Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara, ideologi nasional
dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Benarkah Pancasila mampu meng-akomodasi
pluralistik bangsa serta kondisi negara-bangsa sehingga dapat dimanfaatkan sebagai
landasan bagi penyelenggaraan berbagai kegiatan berbangsa dan bernegara. Perlu dasar
pemikiran yang kuat dan dapat dipertanggung jawabkan sehingga dapat diterima oleh
seluruh warga bangsa.
Dasar dan ideologi suatu negara-bangsa harus memenuhi syarat, yakni disamping kokoh
dan kuat, juga harus sesuai dengan bangunan negara-bangsa di mana dasar dan ideologi
tersebut akan diterapkan. Gagasan dasar yang terkandung dalam dasar dan ideologi negara-
bangsa harus sesuai dengan kondisi negara-bangsa yang didukungnya.
Negara-bangsa Indonesia adalah negara yang besar, wilayahnya cukup luas, seluas daratan
Eropah yang terdiri atas berpuluh negara, membentang dari barat ke timur dari Sabang
sampai Merauke, dari utara ke selatan dari pulau Miangas sampai pulau Rote, meliputi
jutaan kilometer persegi. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang
terdiri lebih dari 17 000 pulau, berpenduduk lebih dari 230 juta orang, terdiri atas beratus
suku bangsa, beraneka adat dan budaya, serta memeluk berbagai agama dan keyakinan.
Oleh karena itu dasar dan ideologi negara-bangsa harus mampu mewadahi kondisi tersebut.
Pancasila dinilai memenuhi syarat sebagai dasar negara dan ideologi nasional bagi negara-
bangsa Indonesia yang pluralistik serta cukup luas dan besar ini. Pancasila mampu
mengakomodasi keanekaragaman yang terdapat dalam kehidupan negara-bangsa Indonesia.
Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung konsep dasar yang
terdapat pada segala agama dan keyakinan yang dipeluk atau dianut oleh rakyat Indonesia.
Demikian juga dengan sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, mengandung konsep
dasar penghormatan terhadap harkat martabat manusia. Manusia didudukkan sesuai
dengan kodrat, harkat dan martabatnya, tidak hanya setara, tetapi juga secara adil dan
beradab. Sila ketiga, persatuan Indonesia, mengandung konsep kesatuan dan keutuhan
bangsa dan wilayah negara dengan berbagai kemajemukan. Sila keempat kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwa-kilan mengandung
konsep dasar menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, yang dalam implementasinya
dilaksanakan dengan bersendi pada hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Sedang sila kelima me-wujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia mengandung konsep dasar bahwa kesejahteraan dinikmati dan dirasakan
secara merata oleh seluruh rakyat di seluruh wilayah Indonesia, tanpa mengabaikan
kesejahteraan perorangan atau golongan.
Dengan demikian Pancasila sebagai dasar negara, ideologi nasional, pandangan hidup
bangsa merupakan common denominator (kesamaan pijakan) bagi kondisi kehidupan
bangsa Indonesia yang pluralistik.
B. Perumusan Pancasila
Pancasila secara sistematik, pertama kali, disampaikan oleh Ir. Soekarno di depan Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdeka-an Indonesia – BPUPKI (Dokuritsu Zumbi
Tyoosakai) pada tanggal 1 Juni 1945, untuk menjawab pertanyaan Ketua Badan mengenai
dasar negara yang akan didirikan. Bung Karno menyatakan bahwa pemikiran mengenai
Pancasila ini telah jauh hari difikirkan. Terdapat lima prinsip yang diusulkan oleh Bung
Karno sebagai dasar negara yang disebut Pancasila, yakni:

1. Kebangsaan Indonesia,
2. Internasionalisme atau perike-manusiaan,
3. Mufakat atau demokrasi,
4. Kesejahteraan sosial, dan
5. Ketuhanan yang berkebudayaan.
Bung Karno selanjutnya mengatakan, bila dari para anggota BPUPKI ada yang berkeberatan
dengan jumlah yang lima dapat diperas menjadi tiga, disebutnya Trisila, yakni socio-
nationalisme, socio-demokratie, dan ke-Tuhan-an. Bila tiga prinsip ini dinilai masih terlalu
banyak dapat diperas menjadi Ekasila yakni Gotong Royong.
Pada bulan Juni 1945 terjadi sidang Chuo Sangi-In (Dewan Penasehat Pusat) yang dihadiri
oleh 38 anggota BPUPKI membentuk Panitia Kecil terdiri atas sembilan orang yakni Moh.
Hatta, Muh. Yamin, Soebardjo, Maramis, Kiai Abd. Kahar Moezakir, Abikoesno
Tjokrosoejoso, K.H.Wahid Hasyim, Haji Agoes Salim, diketuai Ir. Soekarno untuk
merumuskan Pembukaan UUD. Dalam Pembukaan tersebut dirumuskan usulan dasar
negara yang merupakan perkembangan dari pidato yang disampaikan oleh Ir. Soekarno
pada tanggal 1 Juni 1945. Rumusan yang disusun oleh Panitia Sembilan ini biasa disebut
Piagam Jakarta, atau Jakarta Charter. Adapun rumusan dasar negara adalah sebagai
berikut:
Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalan-kan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan ini telah disepakati dalam Sidang BPUPKI kedua yang berlangsung antara tanggal
10 – 17 Juli 1945. Namun dalam Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
pada tanggal 18 Agustus 1945 rumusan tersebut mengalami perubahan atas dasar
pertimbangan, bahwa penduduk Indonesia bagian timur sebagian besar beragama Kristen-
Katholiek, sehingga rumusan Jakarta Charter dinilai diskriminatif. Rumusan dasar negara
yang disepakati akhirnya berubah menjadi sebagai berikut:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa,
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3. Persatuan Indonesia,
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-
perwakilan, dan dengan mewujudkan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.
Namun pada waktu UUD tersebut disebar luaskan melalui Berita Republik Indonesia Tahun
II No. 7 tanggal 15 Februasi 1946, terjadi perubahan rumusan sila keempat, yang
semula ”permusyawaratan-perwakilan” berubah menjadi ”permusyawaratan/ perwakilan.”
Rumusan dasar negara ini yang kemudian ditetapkan oleh berbagai Ketetapan MPRS dan
MPR RI sebagai PANCASILA. Salah satu di antaranya ditetapkan dalam Ketetapan MPRS
No. XX/MPRS/ 1966.
Rumusan Pancasila dasar negara juga tercantum dalam Mukaddimah Konstitusi Republik
Indonesia Serikat dan dalam Undang-Undang Dasar Sementara Negara Republik Indonesia
dengan rumusan sebagai berikut:
1. Ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
2. Peri-kemanusiaan,
3. Kebangsaan,
4. Kerakyatan, dan
5. Keadilan sosial.
Dari rumusan tersebut di atas, nampak bahwa rumusan Pancasila mengalami
perkembangan dan sejak terjadinya dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959, rumusan resmi
Pancasila adalah seperti yang tertera dalam Pembukaan UUD 1945.

C. Hakikat Pancasila
Dalam rangka memahami dan mendalami hakikat Pancasila, kita perlu faham mengenai
konsep dan prinsip yang terkandung dalam Pancasila. Setiap faham filsafat pasti berisi
konsep, prinsip dan nilai untuk dijadikan landasan dalam memberikan makna terhadap
fenomena alam dan fenomena kehidupan serta sebagai acuan apabila faham filsafat tersebut
ingin diterapkan dalam kehidupan yang nyata. Demikian pula halnya dengan Pancasila.
Konsep adalah gagasan umum, hasil konstruksi nalar dari olah fikir manusia dan
generalisasi secara teoritik, merupakan faham universal. Konsep berfungsi sebagai dalil,
suatu gagasan yang memberikan makna terhadap fenomena atau hal ihwal sehingga
ditemukan hakikatnya. Konsep dipergunakan untuk memberikan arti terhadap segala
fenomena, sekaligus sebagai acuan kritik untuk memberikan makna terhadap fenomena
yang dihadapi.
Bagi rakyat yang menempati kepulauan Nusantara, sejak zaman purba, sebelum masuknya
agama-agama, telah memiliki suatu belief system tentang makna kehidupan manusia dan
hubungannya dengan alam semesta. Bila Aristoteles memandang kehidupan manusia adalah
dalam kaitannya dengan masyarakat, bahwa manusia adalah makhluk yang bermasyarakat
(zoon politicon), rakyat yang menempati bumi Nusantara ini, khususnya orang Jawa,
memandang bahwa kehidupan manusia adalah menyatu dengan alam semesta. Orang Jawa
menyebutnya sebagai ”manunggaling kawulo Gusti.” Hubungan antara manusia sebagai
individu dengan alam semesta tertata dan terikat dalam keselarasan dan keserasian atau
harmoni. Masing-masing unsur memiliki peran dan fungsinya, dan masing-masing makhluk
saling melayani sehingga terjadi keteraturan dan ketertiban. Yang ingin diwujudkan adalah
ketenteraman dan kedamaian dunia. Orang Jawa menyebutnya sebagai ”memayu hayuning
bawono.” Berikut disampaikan beberapa konsep yang terdapat dalam Pancasila.
1. Konsep yang terdapat dalam Pancasila
a. Konsep Religiositas
Konsep religiositas mengakui eksistensi agama dan kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa. Leluhur bangsa Indonesia sejak dahulu kala telah mengakui
kekuatan di luar manusia atau kekuatan ghaib yang berpengaruh terhadap
kehidupan manusia, inilah sesungguhnya konsep religiositas, suatu konsep dasar
yang terdapat dalam setiap agama maupun keyakinan dan kepercayaan yang dianut
oleh manusia. Pancasila mengandung konsep religiositas, maka manusia Indonesia
beriman dan bertakwa terhadap kekuatan gaib tersebut. Pancasila menyebutnya
sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa, yang merupakan hakikat dari segala agama dan
kepercayaan yang berkembang di Indonesia.
b. Konsep Humanitas
Sejak berkembang renaissance faham humanisme suatu faham yang menjunjung tinggi
harkat dan martabat manusia sebagai pribadi yang memiliki cirinya masing-masing
secara tersendiri, atau yang biasa disebut sebagai jatidiri. Sebagai turunan
dari anggapan tersebut manusia memiliki kebebasan dalam berfikir, mengemukakan
pendapat, serta menentukan pilihan hidupnya. Gerakan humanisme ini yang
melahirkan gagasan individualisme, liberalisme dan pluralisme. Gerakan
humanisme ini berkembang dengan pesat-nya setelah berakhirnya perang dunia
kedua. Hal ini sangat mungkin dipicu oleh rasa penyesalan ummat manusia yang
bersikap dan bertindak dehumanis sepanjang zaman. Manusia diperlakukan sekedar
sebagai alat pemuas kepentingan-kepentingan tertentu. Bangsa-bangsa di dunia
kemudian bersepakat melindungi kebebasan individu tersebut dalam suatu konvensi
yang disebut ”Universal Declaration of Human Rights,” yang dise-tujui oleh
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 10 Desember 1948.
Faham humanisme yang berisi konsep humanitas menyentuh pula pemikiran para
founding fathers, sehingga oleh Bung Karno diangkat menjadi salah satu prinsip
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan diusulkan untuk dijadikan salah
satu prinsip yang menjadi dasar negara. Bung Karno menamakannya sebagai prinsip
perikemanusiaan atau inter-nasionalisme. Konsep humanitas memiliki makna
sebagai berikut:
1) Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa didudukkan sesuai
dengan kodrat, harkat dan martabatnya. Manusia dikaruniai oleh Tuhan
berbagai disposisi atau kemampuan dasar untuk mendukung misi yang
diembannya. Disposisi tersebut adalah kemampuan untuk berfikir,
merasakan, berkemauan dan berkarya. Sebagai akibat dari kemampuan
tersebut manusia mengalami perkembangan dan kemajuan dalam hidupnya.
Dengan kemampuannya tersebut manusia meng-hasilkan karya-karya, baik
yang bersifat nampak (tangible) maupun yang tidak nampak (intangible),
terakumulasi dalam kehidupannya, dipelihara dan dijadikan panduan dan
acuan bagi hidupnya sehingga berkembanglah budaya dan peradaban.
Disebabkan oleh pengalaman sejarah hidup berbeda yang dialami oleh
masing-masing komunitas atau kelompok masyarakat, maka setiap kelompok
masyarakat memiliki budaya dan peradabannya sendiri-sendiri. Demikian
pula halnya dengan bangsa Indonesia. Sebagai manusia atau suatu
komunitas wajib menghormati kodrat, harkat dan martabat manusia yang
manifestasinya berupa keaneka ragaman adat budaya lokal dan daerah.

2) Dengan kemampuan dasar ”kemauan,” serta didukung oleh kemampuan fikir,


perasaan, karya, manusia selalu berusaha untuk hidup dalam kondisi
yang terbaik bagi dirinya. Manusia selalu didorong oleh ambisinya
tersebut untuk mencari segala sesuatu yang diharapkan akan memberikan
kepuasan hidupnya, baik mengenai hal-hal yang bersifat jasmani maupun
rokhani. Tuhan mengaruniai kebebasan pada manusia dalam menentukan
pilihan hidupnya guna mencari yang terbaik bagi kehidupannya. Namun
kebebasan yang dikaruniakan oleh Tuhan kepada manusia tersebut tidak
cuma-cuma. Kebebasan tersebut harus dipertanggung-jawabkan kepada Tuhan
maupun kepada masyarakat sekitarnya. Kebebasan ini biasa disebut
sebagai hak asasi manusia, merupakan mahkota bagi kehidupan manusia
yang tidak boleh diganggu gugat. Namun dalam mengguna-kan kebebasan
tersebut manusia dibatasi, sekurang-kurangnya oleh kebebasan yang juga
menjadi hak manusia lain. Terdapat cara yang dengan mudah dapat
dipergunakan sebagai acuan dalam menuntut atau melampiaskan kebebasan
manusia, yakni tidak dibenarkan mengganggu dan melanggar kebebasan
pihak lain pada waktu seseorang menuntut dan menggunakan kebebasannya.

3) Meskipun manusia diciptakan dalam kesetaraan, namun realitas


menunjukkan adanya fenomena yang beragam ditinjau dari berbagai segi.
Keaneka ragaman manusia dapat dilihat dari sisi jasmani maupun
mentalnya, sehingga setiap manusia memiliki kepribadian yang beragam
yang membentuk jatidiri manusia sebagai individu. Namun dalam keaneka
ragaman tersebut terdapat hal-hal yang disepakati bersama, menjadi
pengikat kehidupan bersama. Terdapat nilai-nilai dan prinsip-prinsip
sama yang merupakan watak bersama (common denominator) antar berbagai
komunitas. Sifat pluralistik manusia dihormati dan didudukkan dengan
sepatutnya,tetapi harus dibingkai dalam suatu kebersamaan dan kesatuan.

4) Tata hubungan manusia dengan manusia yang lain dikemas dalam tata
hubungan yang dilandasi oleh rasa kasih sayang. Bahwa eksistensi
manusia di dunia adalah untuk dapat memberikan pelayanan pada pihak
lain; orang Jawa menyebutnya sebagai ”leladi sesamining dumadi.”
Manusia sebagai makhluk yang mengemban amanah untuk menjaga kelestarian
ciptaan Tuhan memegang suatu prinsip ”memayu hayuning bawono.” Hal ini
akan terselenggara dengan baik apabila dilandasi oleh sikap ”sepi ing
pamrih, rame ing gawe; jer basuki mowo beyo;” bahwa dalam mengusahakan
tewujudnya kehidupan yang sejahtera, terciptanya keharmonisan segala
ciptaan Tuhan, manusia harus menyisihkan kepentingan pribadi dan
golongan, serta rela berkorban demi terwujudnya kondisi yang diharapkan
tersebut. Hal ini dapat terselenggara bila didasari oleh rasa cinta dan
kasih sayang dengan sesama.

5) Dalam berhubungan dengan sesama diharapkan manusia mampu untuk


mengendalikan diri, tidak merasa dirinya yang paling benar, paling
hebat, paling kuasa, sehingga mengabaikan dan memandang remeh atau
tidak penting pihak lain. Orang Jawa mengatakannya ”ojo dumeh, ojo
adigang, adigung, adiguno.” Secara bebas dapat diartikan jangan
meremehkan pihak lain, jangan bersikap angkuh, merasa dirinya paling
hebat dalam segala hal. Sifat inklusif harus dikembangkan sedang sifat
eksklusif harus dihindari. Sementara itu kejujuran harus dikembangkan
sebagai landasan untuk mengikat hubungan yang serasi, selaras dan
seimbang. Demikian pula sifat mementingkan diri sendiri yang mengantar
timbulnya keserakahan harus dihindari.

c. Konsep Nasionalitas
Abad ke XX merupakan abad kebangkitan wawasan kebangsaan bagi negara-negara di
wilayah Asia, tidak terkecuali bagi masyarakat yang mendiami wilayah yang pada waktu itu
dikuasai oleh pemerintah Belanda, yang bernama Nederlands Oost Indie atau Hindia
Belanda. Sejak tahun 1908 para pemuda telah gandrung dengan wawasan kebangsaan
dengan mendirikan organisasi Boedhi Oetomo. Organisasi ini yang kemudian memicu
lahirnya berbagai organisasi kepemudaan yang berasal dari berbagai daerah Hindia Belanda.
Organisasi kepemudaan ini yang mendek-larasikan ”Sumpah Pemuda” yang sangat
monumental, yang mengkristal menjadi dorong-an kuat bagi lahirnya negara-bangsa
Indonesia.
Pada tanggal 1 Juni 1945 Bung Karno mengusulkan bahwa salah satu prinsip dasar negara
adalah ”kebangsaan.” suatu prinsip bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan untuk
kepentingan seseorang, golongan, tetapi suatu dasar ”semua buat semua.” Faham
kebangsaan ini bukan merupakan faham kebangsaan yang sempit atau chauvinisme. Konsep
nasionalitas memiliki makna sebagai berikut:
1) Rakyat Indonesia dalam hidup ber-masyarakat dan bernegara terikat dalam suatu
komunitas yang namanya bangsa Indonesia. Mereka mengaku dengan ikhlas dan
bangga sebagai warga bangsa Indonesia, cinta serta rela berkorban demi negara-
bangsanya.

2) Tanpa mengurangi hak pribadi, loyalitas warganegara terhadap negara-bangsa-nya,


mengenai hal ihwal yang menyangkut kepentingan umum (kepentingan orang banyak),
diletakkan di atas kepentingan pribadi dan golongan.

3) Dalam mengembangkan wawasan kebang-saan sebagai pengejawantahan konsep


nasionalitas, ciri golongan, baik ditinjau dari segi etnis, suku, agama, maupun
adat budaya, dihormati dan ditempatkan secara proporsional dalam menegakkan
persatuan dan kesatuan bangsa. Wawasan kebang-saan tidak mengeliminasi
keanekaragaman. Kearif-an lokal (local wisdom) dipelihara, dijaga dan
dikembangkan sejalan dengan wawasan kebangsaan. Kebudayaan lama dan asli yang
terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah di seluruh Indonesia diakui
sebagai kebudayaan bangsa.

4) Atribut negara-bangsa seperti bendera merah putih, lagu kebangsaan Indonesia


Raya, lambang negara Garuda Pancasila, bahasa nasional Indonesia dan kepala
negara dihormati dan didudukkan secara proporsional sesuai dengan kesepakatan
bangsa. Memperlakukan atribut negara secara tidak senonoh atau kurang beradab
adalah tindakan yang tidak sesuai dengan esensi wawasan kebangsaan. Menghormati
atribut negara-bangsa tidak bermakna menyembah atau mensakralkan atribut
tersebut. Perlu disadari bahwa warganegara yang mencederai atribut bangsa,
atau melecehkan atribut bangsa sama saja dengan melecehkan diri sendiri sebagai
warganegara-bangsa.
5) Dengan berprinsip pada wawasan kebangsaan, bangsa Indonesia tidak menolak
masuknya kebudayaan asing dengan syarat bahwa kebudayaan dimaksud harus menuju
ke arah kemajuan adab, budaya, kesatuan dan persatuan banga. Bahwa kebudayaan
asing dimaksud harus dapat memperkembangkan dan memperkaya kebudayaan bangsa,
serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.

6) Dalam mengembangkan wawasan kebangsaan perlu dihindari berkembangnya faham


kebangsaan sempit, yang memandang bangsanya sendiri yang paling hebat di dunia
dan memandang rendah bangsa yang lain. Demikian pula dengan wawasan kebangsaan
tidak berkembang menjadi faham ekspansionis yang berusaha untuk menguasai
negara-bangsa lain. Dengan berpegang pada wawasan kebangsaan, bangsa Indonesia
memiliki misi untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamai-an abadi dan keadilan sosial.

d. Konsep Sovereinitas

Bila sila pertama, kedua dan ketiga Pancasila memberikan makna tata hubungan manusia
dengan sekitarnya, maka sila keempat ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan,” memberikan gambaran bagaimana
selayaknya tata cara hubungan antara unsur-unsur yang terlibat dalam kehidupan bersama,
untuk selanjutnya bagaimana menentukan kebijakan dan langkah dalam menghadapi
permasalahan hidup.
Berbagai pihak memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud ”kerakyatan” adalah
demokrasi sebagaimana disebut oleh berbagai negara. Kerakyatan adalah demokrasi yang
diterapkan di Indonesia yang memiliki ciri sesuai dengan latar belakang budaya bangsa
Indonesia sendiri. Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang berprinsip bahwa
rakyat adalah sumber kekuasaan dalam menyeleng-garakan pemerintahan. Dengan
demikian demokrasi adalah ”government of the people, by the people and for the people”,
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Walaupun demikian pelaksanaan
demokrasi bagi tiap-tiap negara berbeda-beda berdasarkan budaya dan sejarah bangsanya.
Perbedaan landasan penyelenggaraan demo-krasi antara negara-negara Barat dengan
demokrasi di Indonesia adalah negara-negara Barat berorientasi pada kepentingan pribadi
dan melindungi hak asasi individu. Sedangkan demokrasi di Indonesia berdasarkan Kerak-
yatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan..
Dengan demikian demokrasi yang bersendi pada liberalisme yang individualistik tidak
sesuai dengan demokrasi yang selayaknya diterapkan di Indonesia. Demokrasi di Indonesia
tidak semata-mata untuk membela dan mengakomodasi hak pribadi, tetapi juga harus
mengakomodasi kepentingan bangsa.
Bersendi pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, demokrasi
yang diterapkan di Indonesia hendaknya memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1) Segala keputusan demokratis tidak dibenarkan mengarah pada timbulnya perpecahan
bangsa.
2) Dalam mengambil keputusan hendaknya selalu berpegang pada adagium bahwa
kepentingan negara-bangsa ditempatkan di atas kepentingan pribadi dan golongan.
3) Hak-hak pribadi tetap dihormati, tetapi selalu ditempatkan dalam kerangka
terwujudnya keselarasan hidup serta kelestarian ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
4) Keputusan demokratis bukan semata-mata mengakomodasi aspirasi dan keinginan
rakyat atau warganegara tetapi harus mengarah pada terwujudnya keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
5) Praktek demokrasi yang diselenggarakan di negara lain dapat diterapkan di
Indonesia dengan tetap berpegang pada ketentuan di atas. Pengambilan keputusan
dengan cara voting dibenarkan sejauh musyawarah untuk mencapai mufakat tidak
dapat mencapai hasil.
6) Kaum minoritas dilindungi dan mendapat perlakuan dengan sepantasnya.
7) Demokrasi yang diterapkan di Indonesia tidak semata-mata mengacu pada proses,
tetapi harus bermuara kepada tujuan yang telah menjadi kesepakatan bangsa.

e. Konsep Sosialitas
Konsep sosialitas memberikan gambaran mengenai tujuan yang ingin diwujudkan dalam
kehidupan bersama, hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pada hakikatnya
tujuan tersebut adalah kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Bung Karno dalam berbagai kesempatan selalu mengutip pendapat Juarez yang mengatakan
bahwa demokrasi parlementer atau demokrasi politik tidak cukup, demokrasi politik harus
disertai dengan demokrasi ekonomi. Dikata-kannya:
Dalam demokrasi parlementer tiap-tiap orang dapat menjadi raja. Tiap orang dapat memilih,
tiap orang dapat dipilih. Tiap-tiap orang dapat memupuk kekua-saan untuk menjatuhkan
menterinya, tetapi di bidang ekonomi tidak demikian. Si kaum buruh yang pada hari ini di
dalam parlemen adalah raja, besok pagi di dalam pabriknya ia dapat dilempar ke luar dari
pabriknya, menjadi orang yang tiada kerja.
Selanjutnya dikemukakan bahwa yang ingin diwujudkan dengan berdirinya negara Republik
Indonesia ini adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini bermakna suatu
masyarakat yang adil dan makmur, berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan,
tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan, tidak ada exploitation de l’ homme par l’
homme. Sehingga akan terwujud masyarakat yang berbahagia, cukup sandang, cukup
pangan, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja.
Persoalan yang timbul adalah bagaimana untuk dapat merealisasikan gagasan ini.
Pemerintahan Inggris bercita-cita untuk me-wujudkan affluent society, masyarakat yang
serba kecukupan, masyarakat yang serba melimpah ruah dengan keperluan hidup,
diterapkan pendekatan security welfare state. Setiap warga negara harus ikut dalam program
asuransi, yang akan menjamin kelangsungan hidupnya. Amerika Serikat menerapkan yang
disebut positive welfare state, yakni dengan cara memotong pengasilan orang kaya untuk
dapat disebarkan kepada yang kurang beruntung. Bagaimana bangsa Indonesia
mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Dengan telah tersedianya landasan penyelenggaraan demokrasi ekonomi ini, tinggal
bagaimana rakyat Indonesia men-jabarkan lebih lanjut dalam menyusun peraturan
perundang-undangan.

2. Prinsip-prinsip yang terdapat dalam Pancasila


Prinsip adalah gagasan dasar, berupa aksioma atau proposisi awal yang memiliki makna
khusus, mengandung kebenaran berupa doktrin dan asumsi yang dijadikan landasan dalam
menen-tukan sikap dan tingkah laku manusia. Prinsip dijadikan acuan dan dijadikan dasar
menentukan pola pikir, pola sikap dan pola tindak sehingga mewarnai tingkah laku
pendukung prinsip dimaksud. Sila-sila Pancasila itulah prinsip-prinsip Pancasila. Berikut
disampaikan prinsip-prinsip Pancasila dan penjabarannya.
a. Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa

Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa berisi ketentuan sebagai berikut:


1) Pengakuan adanya berbagai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;

2) Setiap individu bebas memeluk agama dan kepercayaannya;

3) Tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaan kepada pihak lain;

4) Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing;

5) Saling menghargai terhadap keyakinan agama dan kepercayaan yang dianut oleh
pihak lain;

6) Saling menghormati antar pemeluk agama dan kepercayaan;

7) Bebas beribadat sesuai dengan keyakinan agama yang dipeluknya, tanpa mengganggu
kebebasan ber-ibadat bagi pemeluk keyakinan lain;

8) Dalam melaksanakan peribadatan tidak mengganggu ketenangan dan ketertiban umum.


b. Prinsip Kemanusiaan yang adil dan beradab
Prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab berisi ketentuan sebagai berikut:
1). Menghormati kodrat, harkat dan martabat manusia;

2). Menghormati kebebasan manusia dalam menyampaikan aspirasi dan pendapat;


3). Menghormati sifat pluralistik bangsa dengan cara:

 Mengembangkan sikap inklusif, yang bermakna bahwa dalam berhubungan dengan


pihak lain tidak bersikap menangnya sendiri, bahwa pendapat-nya tidak mesti
yang paling benar dan tidak meremehkan pendapat pihak lain.
 Tidak bersikap sektarian dan eksklu-sif serta terlalu membangga-kan kelompoknya
sendiri tanpa mem-perhitungkan kelompok lain.
 Menghindari sikap formalistik yang hanya menunjukkan perilaku semu, dengan
mengembangkan sikap pluralis-tik, saling mempercayai dan saling menghormati.
 Mengusahakan sikap dan tindakan konvergen (menyatu) bukan divergen (memisah).
 Bersikap toleran, memahami pihak lain serta menghormati dan menghargai
pandangan pihak lain.
 Bersikap akomodatif yang dilandasi oleh sikap kedewasaan serta pengendalian
diri.
 Menghindari sikap ekstremitas dengan mengembangkan sikap moderat, berimbang dan
proporsional.
c. Prinsip Persatuan Indonesia
Prinsip Persatuan Indonesia berisi ketentuan sebagai berikut :
1) Bangga atas kondisi yang terdapat pada negara-bangsa serta prestasi yang
dihasilkan oleh warganegara.
2) Cinta pada negara-bangsanya serta rela berkorban demi bangsa dan tanah airnya.
3) Berkembangnya patriotisme dalam menjaga keutuhan, kebesaran dan kesejahteraan
negara-bangsa serta dalam bela negara.
d. Prinsip Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan berisi ketentuan sebagai berikut:
1) Dalam mengambil keputusan untuk kepen-tingan bersama diutamakan musya-warah
untuk mencapai mufakat. Win win solution dijadikan acuan dalam mencari
kesepakatan bersama. Dengan cara ini tidak ada yang merasa dimenangkan atau
dikalahkan.
2) Dalam mencari kesepakatan bersama tidak semata-mata berdasarkan pada suara
terbanyak, tetapi harus berlandasan pada tujuan yang ingin diwujudkan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Setiap keputusan untuk ke-
pentingan bersama harus mengarah pada terwujudnya rasa keadilan.
3) Tidak menerapkan prinsip tirani minoritas dan dominasi mayoritas. Segala
pemangku kepentingan (stakeholders) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
dilibatkan dalam penetapan kebijakan bersama sesuai dengan peran, kedudukan dan
fungsi masing-masing.
4) Mengacu pada prinsip politiek-economische demokratie bahwa demokrasi harus
mengantar rakyat Indonesia menuju terwujudnya keadilan dan kemakmuran, sociale
rechtvaardigheid (Bung Karno),
e. Prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia berisi ketentuan sebagai berikut:
1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasasi hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara;
3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
4). Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara;
5). Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan.
6). Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan
fasilitas pelayanan umum yang layak.
7). Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan serta wajib mengikuti pendidikan
dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
8). Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang
adil dan layak dalam hubungan kerja.

3. Nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila

Nilai adalah penentuan penghargaan atau pertimbangan tentang “baik atau tidak baik”
terhadap sesuatu, kemudian dijadikan dasar, alasan atau motivasi untuk “melakukan atau
tidak melakukan” sesuatu. Sedangkan nilai (kema-nusiaan) adalah kualitas ketentuan yang
bermakna bagi kehidupan manusia perorangan, maupun kehidupan masyarakat, bangsa dan
antar bangsa.

Nilai adalah hal ihwal yang bermakna bagi kehidupan manusia yang didambakannya serta
berusaha mewujudkannya atau meng-hindarinya untuk menciptakan kepuasan dirinya.
Nilai adalah juga suatu tuntunan yang dijadikan arah untuk menentukan sikap dan perilaku
dalam kehidupan bersama manusia atau dalam kehidupan masyarakat.

Tata nilai akan diterima menjadi nilai nasional suatu bangsa, apabila memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
a. Diterima dan diakui sebagai milik oleh seluruh bangsa itu.
b. Berupa kristalisasi dari seluruh nilai yang ada, baik nilai individu, nilai
sosial budaya maupun nilai daerah dan nilai-nilai lainnya.
a. Mempunyai kekuatan membimbing bangsa secara nasional ke arah perkembangan
kemajuan dan modernisasi, yang mampu mendorong semangat bekerja keras dan
berkerjasama dengan bangsa-bangsa lain.
c. Menyentuh unsur-unsur yang paling dalam dari bangsa itu, yakni unsur-unsur yang
dicita-citakan, meliputi kehidupan dunia dan akhirat, keserasian kepen-tingan
individu dan kepentingan sosial serta kepentingan jasmani dan rohani.
d. Berpangkal pada keyakinan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang hidupnya di
dunia ini ditakdirkan sebagai suatu bangsa. Oleh karena itu, disamping
mempunyai hak untuk memenuhi kebutuhan individunya, juga mempunyai kewajiban
untuk mengabdi kepada bangsa dan tanah airnya.

Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan nilai dasar yang bersifat abstrak
dan universal, Oleh karena itu nilai-nilai Pancasila tersebut harus dijabarkan secara jelas,
agar dapat dengan mudah dipahami, dihayati dan diamalkan oleh setiap warganegara
Indonesia.

Nilai-nilai Pancasila adalah ukuran “benar atau salah”, “baik atau tidak baik” bagi
warganegara Indonesia secara nasional. Dengan lain perkataan, nilai-nilai Pancasila
merupakan tolok ukur, penyaring dan penimbang bagi semua nilai yang ada pada bangsa
Indonesia dan juga terhadap nilai bangsa asing. Secara nasional, nilai-nilai Pancasila
mempunyai kedudukan dan kebenaran vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Nilai yang merupakan ukuran tingkah laku yang bersifat nasional itu mutlak diperlukan
karena langsung menyangkut pada kemantapan perkembangan bangsa Indonesia secara
nasional maupun internasional.

Sejalan dengan hal-hal yang telah dikemukakan tersebut maka Pancasila sebagai pandangan
hidup adalah kristalisasi nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri yang diyakini
kebenarannya dan yang menimbulkan tekad pada bangsa Indonesia untuk mewujudkannya
dalam kehidupan sehari-hari. Mewujudkan nilai-nilai Pancasila di dalam kehidupan sehari-
hari dapat ditempuh antara lain berusaha membina kehidupan sesuai dengan petunjuk
Pancasila yaitu dengan mengembangkan keselaras-an, keserasian dan keseimbangan dalam
hidup manusia sebagai pribadi maupun sebagai makhluk sosial, baik dalam hubungan
manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan alam llingkungannya, hubungan
manusia dengan masyarakat, bangsa dan negara maupun dalam mengejar kemajuan lahiriah
dan kebahagiaan rohaniah.
Sebagai kristalisasi nilai-nilai milik bangsa Indonesia sendiri, maka Pancasila adalah jiwa
dan kepribadian seluruh rakyat Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia dan dasar
negara NKRI. Bersamaan dengan itu Pancasila sekaligus menjadi tujuan hidup bangsa
Indonesia.

Sebagai kristalisasi nilai-nilai, Pancasila bukan lahir secara mendadak pada tahun 1945,
melainkan setelah melalui suatu proses yang panjang, dimatangkan oleh sejarah perjuangan
bangsa kita sendiri, diilhami oleh gagasan besar dunia dengan melihat pengalaman bangsa-
bangsa lain, namun tetap berakar pada gagasan besar dan kepribadian bangsa kita sendiri.

Nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila adalah nilai yang menjadi tujuan bangsa Indonesia
yang ingin diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-
nilai tersebut antara lain adalah :
1. Keimanan
Keimanan adalah suatu sikap yang menggambarkan keyakinan akan adanya keku-atan
transendental yang disebut Tuhan Yang Maha Esa. Dengan keimanan manusia yakin bahwa
Tuhan menciptakan dan mengatur alam semesta. Apapun yang terjadi di dunia adalah atas
kehendak-Nya, dan manusia wajib untuk menerima dengan keikhlasan.
2. Kesetaraan
Kesetaraan adalah suatu sikap yang mampu menempatkan kedudukan manusia tanpa mem-
bedakan jender, suku, ras, golongan, aga-ma, adat dan budaya dan lain-lain. Setiap orang
diperlakukan sama di hadapan hukum dan memperoleh kesempatan yang sama dalam
segenap bidang kehidupan sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya.
3. Persatuan dan Kesatuan
Persatuan dan kesatuan adalah keadaan yang menggambarkan masyarakat majemuk bangsa
Indonesia yang terdiri atas beranekaragamnya komponen namun mampu membentuk suatu
kesatuan yang utuh. Setiap komponen dihormati dan menjadi bagian integral dalam satu
sistem kesatuan negara-bangsa Indonesia.
4. Mufakat
Mufakat adalah suatu sikap terbuka untuk menghasilkan kesepakatan bersama secara
musyawarah. Keputusan sebagai hasil mufakat secara musyawarah harus dipegang teguh
dan wajib dipatuhi dalam kehidupan bersama.
5. Kesejahteraan
Kesejahteraan adalah kondisi yang meng-gambarkan terpenuhinya tuntutan kebutuhan
manusia, baik kebutuhan lahiriah maupun batiniah sehingga terwujud rasa puas diri,
tenteram, damai dan bahagia. Kondisi ini hanya akan dapat dicapai dengan kerja keras, jujur
dan bertanggungjawab.
Dengan memahami konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila, yang tentu
masih akan berkembang sesuai dengan dinamika kehidupan bangsa Indonesia, per-
masalahan berikutnya adalah bagaimana konsep, prinsip dan nilai tersebut dapat
diimplementasikan secara nyata pada berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.

BAB III

PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA

Pada waktu ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Dr.
K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, membuka sidang pada tanggal 29 Mei 1945,
mengemukakan bahwa yang perlu difikirkan oleh para anggota sidang adalah mengenai
dasar Indonesia merdeka. Bung Karno memberikan arti dasar negara yang dimaksud oleh
Ketua adalah dasarnya Indonesia Merdeka, yang dalam bahasa Belanda disebut
philosofische grondslag, yaitu dasar filsafat, yang oleh Bung Karno pada pidatonya tanggal 1
Juni 1945 disebut Pancasila. Hal ini disampaikan oleh Bung Karno dalam mengawali
pidatonya sebagai berikut:
Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai
mengeluarkan pen-dapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari
Paduka tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pula pendapat saya. Saya akan
menetapi permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka tuan
Ketua yang mulia? Paduka tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritsu Zyumbi
Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya
kemukakan di dalam pidato saya ini.
. . . Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah, dalam
bahasa Belanda: “Philosofische grondslag” dari pada Indonesia Merdeka. Philosofische
grondslag itulah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang
sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia yang kekal dan abadi.
Saudara-saudara “Dasar-dasar Negara” telah saya usulkan. Lima bilangannya [sic.
Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau perikemanusiaan, Mufakat atau demokrasi,
Kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan yang berkebudayaan, yang berke-adaban]. Inikah
Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban,
sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun
Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai panca indera. Apa lagi yang
lima bilangannya? (Seorang yang hadir: “Pandawa lima.”) Pendawa-pun lima orangnya.
Sekarang banyaknya prinsip” kebangsaan, interna-sionalisme, mufakat, kesejahteraan dan
ke-Tuhanan” lima pula bilangannya.
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman
kita ahli bahasa, namanya ialah Panca Sila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima
dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.
Dari pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 tersebut jelas dapat kita simpulkan bahwa
Pancasila yang diusulkan oleh Bung Karno tersebut dimaksudkan sebagai dasarnya
Indonesia Merdeka.
Agar pemahaman kita mengenai Pancasila sebagai dasar negara lebih mantap perlu
difahami : (a) makna Pancasila sebagai dasar negara, (b) Pancasila tepat sebagai dasar
negara NKRI, (c) peran dan fungsi Pancasila sebagai dasar negara (d) implementasi
Pancasila sebagai dasar negara.
A. Makna Pancasila sebagai Dasar Negara
Pancasila sebagai dasar negara sekaligus sebagai sumber dari segala sumber tertib hukum,
baru menjadi kesepakatan bangsa sejak tahun 1966 de-ngan ditetapkannya TAP MPRS
No.XX/MPRS/1966, di antaranya menetapkan:
Sumber dari tertib hukum sesuatu negara atau yang biasa dinyatakan sebagai “sumber dari
segala sumber hukum” adalah pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-
cita moral yang meliputi suasana kejiwaan dan watak dari Rakyat negara yang bersangkutan.
Sumber dari tertib hukum Republik Indonesia adalah pandangan hidup, kesadaran dan cita-
cita hukum serta cita-cita moral yang meliputi suasana kejiwaan serta watak dari bangsa
Indonesia, ialah cita-cita mengenai kemerdekaan individu, kemerdekaan bangsa,
perikemanusiaan, keadilan sosial, perdamaian nasional dan mondial, cita-cita politik
mengenai sifat bentuk dan tujuan Negara, cita-cita moral mengenai kehidupan
kemasyarakatan dan keagamaan sebagai pengejawantahan daripada Budi Nurani Manusia.
Pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral luhur yang meliputi
suasana kejiwaan serta watak dari bangsa Indonesia itu pada 18 Agustus 1945 telah
dimurnikan dan dipadatkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan atas nama Rakyat
Indonesia, menjadi Dasar Negara Republik Indonesia, yakni Pancasila: Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyaratan/perwakilan, dan Keadilan Sosial.
[sic. Rumusan sila ke lima berbeda dengan rumusan yang terdapat dalam Pembukaan UUD
1945].
Dari Ketetapan MPRS tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Pancasila sebagai dasar negara adalah fondasi bagi pembentukan negara-bangsa.
2. Pancasila sebagai dasar negara merupakan cita negara (staatsidee) dan cita hukum
(rechtsidee) yang berkembang menjadi staatsfundamentalnorm bersifat konstitutif dan
regulatif, sehingga harus menjiwai dan menjadi acuan statik bagi segala peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Pancasila sebagai dasar negara adalah asas dari hukum positif yang berlaku di NKRI,
dengan kata lain merupakan sumber dari segala sumber hukum, sebagaimana ditegaskan
dalam UU No. 10 tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dengan demi-kian segala peraturan perundang-undangan yang berlaku di NKRI harus
berdasar pada Pancasila yang bersifat final dan mengikat.
4. Pancasila sebagai dasar negara menjiwai UUD 1945 dalam mengatur penyelenggara-an
negara serta menata kehidupan warga-negara dalam bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.

B. Pancasila tepat sebagai Dasar Negara NKRI

Setiap negara-bangsa selalu menetapkan dasar negara bagi negara-bangsanya. Berikut


dikutip pidato Bung Karno di depan Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai, di antaranya sebagai
berikut:

Kita melihat dalam dunia ini bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka, dan banyak di
antara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas suatu “Weltanschauung”. Hitler
mendirikan Jermania di atas “national-sozialistische Weltanschauung,” filsafat nasional-
sosialisme telah menjadi dasar Negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin
mendirikan Negara Sovyet di atas satu “Weltanschauung”, “ yaitu Marxistische. Historisch-
Materialistische Weltanschauung. Nippon mendirikan Negara Dai Nippon di atas Tennoo
Koodoo Seishin.” Di atas “Tennoo Koodoo Sheisin” inilah Negara Dai Nippon didirikan.
Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara Arabia di atas satu “Weltanschauung,” bahkan di
atas dasar agama, yaitu Islam. Demikian itulah yang dimin-ta oleh Paduka tuan Ketua yang
mulia. Apakah “Weltanschauung” kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang
merdeka?

Bangsa Indonesia sejak tanggal 18 Agustus 1945 telah menetapkan Pancasila sebagai
“Weltan-schauung,” atau dasar negara bagi negara-bangsanya. Hal ini terbukti bahwa sejak
saat itu sila-sila yang terkandung dalam Pancasila selalu tercantum dalam Pembukaan atau
Mukadimah UUD yang berlaku di Negara Republik Indonesia.

Sementara itu Pancasila juga tepat sebagai dasar negara NKRI dengan alasan sebagai
berikut:

1. Pancasila digali dari adat dan budaya bangsa Indonesia, menjadi common denominator
atau de grootste gemene deeler dan de kleinste gemene veelvoud dari adat dan budaya
bangsa Indonesia. Prinsip dan nilai Pancasila telah diterapkan dalam kehidupan keseharian
tanpa disadarinya.
2. Pancasila memiliki potensi menampung kondisi dan sifat pluralistik bangsa. Bagi bangsa
Indonesia yang demikian majemuk hanya Pancasila yang mampu mengikat unsur-unsur
bangsa menjadi Negara Kesatuan.

3. Pancasila menjamin kebebasan warga-negara untuk beribadah menurut agama dan keya-
kinannya.

4. potensi menjamin keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

5. Pancasila memberikan landasan bagi bangsa Indonesia dalam mengantisipasi ancaman,


tantangan, hambatan dan gangguan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;

6. Pancasila memberikan jaminan terseleng-garanya demokrasi dan hak asasi manusia


sesuai dengan adat dan budaya bangsa;
7. Pancasila menjamin terwujudnya masyarakat yang adil dan sejahtera.

C. Peran dan Fungsi Pancasila sebagai dasar negara.


Telah dikemukakan di depan bahwa Pancasila sebagai cita negara dan cita hukum memiliki
fungsi konstitutif dan regulatif bagi kehidupan bangsa Indonesia dalam berbangsa dan
bernegara. Hal ini bermakna bahwa segala peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Negara Kesatuan Republik Indonesia harus merupakan derivat atau turunan dari Pancasila.
Sementara itu perilaku warganegara dan lembaga negara harus bersendi pada nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila. Segala peraturan perundang-undangan yang menyi-
mpang dari Pancasila harus diluruskan.

Dengan demikian, anggota legislatif sebagai pembentuk undang-undang harus berpegang


teguh pada sumpah jabatannya, yakni berpegang teguh pada Pancasila dan UUD 1945.
Berikut disampaikan beberapa contoh peraturan perundang-undangan yang merupakan
penjabaran dari peran dan fungsi Pancasila sebagai dasar negara:
1. Ketetapan MPR RI No. XVIII/MPR/1998, Pasal 1 menetapkan:

”Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah


dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indoinesia harus dilaksanakan secara konsisten
dalam kehidupan ber-negara.”

2. UU No. 43 tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, menentukan di antaranya:

a) Pegawai negeri merupakan unsur aparatur negara yang bertugas secara adil dan merata,
menjaga persatuan dan kesatuan negara, serta dengan penuh kesetiaan kepada Pancasila
dan UUD 1945.
b) Termasuk pegawai negeri adalah pegawai negeri sipil dan militer dan semua pejabat
negara.

c) Pasal 28 menetapkan bahwa sebelum seseorang diangkat menjadi pegawai negeri


mengangkat sumpah: ”Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, UUD 1945, negara dan
pemerintah.”

d) Pasal 23 menetapkan bahwa pegawai negeri diberhentikan tidak dengan hormat karena
melanggar sumpah/janji karena tidak setia kepada Pancasila, UUD 1945, negara dan
pemerintah, dan atau melakukan penye-lewengan terhadap ideologi negara Pancasila, UUD
1945 atau terlibat dalam kegiatan yang menentang negara dan pemerintah.

3. UU No. 32 tahun 2004 tentang Peme-rintahan Daerah.

Undang-undang tersebut di antaranya me-nentukan:


a) Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mempunyai kewajiban memegang teguh dan
mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, serta
mempertahankan dan me-melihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal
27).

b) Anggota DPRD mempunyai kewajiban mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD


Negara Republik Indonesia tahun 1945, dan menaati segala peraturan perundang-undangan;
mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional serta keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (pasal 45).

Bahwa masih banyak peraturan perundang-undangan yang menyimpang dari Pancasila dan
UUD 1945. Oleh karena itu Lembaga legislatif harus secepat mungkin merevisi atau
mencabut peraturan perundang-undangan tersebut.

Merujuk pada berbagai UU tersebut di atas, bagi pegawai negeri, Pancasila adalah segalanya,
karena sangat menentukan sikap dan perilakunya dalam menjalankan tugasnya sebagai
aparatur negara. Bagi pegawai negeri yang tidak taat dan setia serta tidak mengamalkan
Pancasila dapat dipecat tidak dengan hormat. Namun penegakan hukum terhadap UU No.
43 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004 ini masih sangat lemah, masih terdapat begitu
banyak penyimpangan, namun tetap dibiarkan saja tanpa sanksi apapun. Negara Indonesia
sebagai negara hukum tidak selayaknya membiarkan kondisi demikian. Perlu usaha nyata
untuk men-sosialisasikan UU dimaksud, Melaksanakan law enforcement, serta penindakan
terhadap pelang-garnya. Dari ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut di atas,
senang maupun tidak senang, setiap penyelenggara negara dan pemerintahan wajib
berpegang teguh dan taat pada Pancasila dalam hidup berbangsa dan bernegara. Dengan
demikian ketentuan-ketentuan hukum dalam peraturan perundang-undangan tersebut
dapat diselenggarakan dengan semestinya.
Di samping itu setiap warganegara memiliki kewajiban untuk taat kepada segala peraturan
perundang-undangan yang berlaku, sehingga wajib pula untuk berpegang teguh pada
Pancasila sebagai landasan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Setiap warganegara wajib memahami hak dan kewajibannya selaku warganegara, serta
memahami hal-hal yang selayaknya dikerjakan dan hal-hal yang selayaknya dihindari sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
D. Implementasi Pancasila sebagai Dasar Negara
Dalam rangka upaya implementasi Pancasila pada berbagai peraturan perundang-undangan
perlu ditentukan nilai dasar yakni nilai yang dijadikan tujuan umum yang hendak
diwujudkan dengan segala peraturan perundang-undangan yang diberlakukan di Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Nilai dasar tersebut antara lain adalah: keadilan,
kesejahteraan, keamanan dan kebaha-giaan yang dapat dirasakan oleh seluruh rakyat
Indonesia.
Nilai dasar ini perlu dijabarkan lebih lanjut menjadi nilai instrumental, agar dapat
dilaksanakan sesuai dengan pola pikir Pancasila. Di samping itu faham nasionalisme juga
mewarnai segala peraturan perundang-undangan, agar cita-cita bangsa sebagaimana yang
dimaksud dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dapat terwujud.
Nilai instrumental yang telah menjelujuri segala peraturan perundang-undangan tersebut
harus memperhatikan situasi dan kondisi, sehingga segala peraturan perundang-undangan
dapat diterapkan secara kontekstual dan aktual. Demikianlah wujud implementasi Pancasila
sebagai dasar negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

E. Implementasi Dasar Negara pada Otonomi Daerah


Dengan diberlakukannya Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
sering terjadi kesalah fahaman dalam memaknai ”pemberian otonomi yang seluas-luasnya”
pada pemerintah daerah. Dengan berdalih memberikan akomodasi terhadap kearifan lokal,
atau local wisdom, daerah memandang memiliki hak untuk berbuat bebas dalam
mengembangkan daerahnya tanpa berpegang teguh pada hukum nasional. Begitu banyak
peraturan daerah (Perda) yang bertentangan dan menyimpang dari dasar negara Pancasila,
serta tidak menghormati keanekaragaman bangsa, bahkan melepaskan diri dari keterikatan
bangsa. Peraturan daerah yang tidak menjabarkan dasar negara Pancasila harus dicabut dan
diubah serta disesuaikan dengan dasar negara Pancasila.
F. Faktor-faktor yang mempengaruhi
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi implementasi dasar negara Pancasila dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, di antaranya adalah:
1. Terdapatnya pihak-pihak yang belum ikhlas dan/atau belum memahami Pancasila sebagai
dasar negara dan ingin menggantinya dengan faham lain. Ternyata masih banyak peraturan
perundang-undangan, utamanya peraturan daerah yang bertentangan dan menyimpang dari
Pancasila, karena menerapkan prinsip atau asas lain.
2. Masih terbatasnya ahli penyusun undang-undang (legal drafter) yang belum memahami
Pancasila sebagai dasar negara di lembaga legislatif, sehingga terjadi penyimpangan dalam
menyusun peraturan perundang-undangan.
3. Kurang difahami atau diabaikannya makna Undang-undang Nomor 10 tahun 2004,
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan oleh para anggota lembaga legislatif,
sehingga terjadi kerancuan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan.
4. Kesalahan dalam memaknai kearifan lokal atau local wisdom di daerah, sehingga dalam
penyusunan peraturan daerah mengarah pada terjadinya eksklusivisme daerah.
G. Kesimpulan:

1. Sesuai dengan permintaan ketua BPUPKI maka penggagas awal, Ir. Soekarno,
mengemukakan gagasannya yang kemudian bernama Pancasila memang dirancang sebagai
dasar Negara Republik Indonesia.

2. Pancasila digali dari adat budaya bangsa, yang berkembang pada suku-suku yang tersebar
di seluruh nusantara, merupakan watak bersama (common denominator) adat budaya
bangsa, yang diakui memiliki kebenaran dan diyakini dapat mempersatukan bangsa
Indonesia yang pluralistik serta mampu mengantar rakyat Indonesia mencapai keadilan,
kesejahteraan dan kebahagiaan.

3. Pancasila sebagai dasar negara telah menjadi kesepakatan bangsa, dan selalu tercantum
dalam Pembukaan atau Mukadimah Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku di Negara
Republik Indonesia.

4. Pancasila sebagai dasar negara bersifat konstitutif dan regulatif bagi kehidupan berbangsa
dan bernegara, sehingga segala peraturan perundang-undangan dan penye-lenggaraan
kehidupan berbangsa dan bernegara harus merupakan transformasi nilai-nilai Pancasila.

5. Pancasila adalah Staatsfundamentalnorm atau pokok kaidah fundamental negara (Prof.


Drs. Notonagoro, SH), yang bermakna bahwa Pancasila menjadi sumber dari segala sumber
hukum bagi sistem hukum di Indonesia.

BAB IV
PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI

anusia dalam mengemban tugas hidupnya selalu dibebani oleh suatu obsesi yakni untuk
mencapai kebahagiaan dalam hidupnya, meskipun makna kebahagiaan dapat saja berbeda
antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Dalam rangka menggapai kebahagiaan
tersebut manusia berpegang pada suatu pandangan hidup yang dijadikan acuan dalam
mengejar kebahagiaan tersebut. Pandangan hidup berisi gagasan dasar yang tumbuh
berkembang dan mengkristal dalam masyarakat di mana manusia tersebut hidup.
Pandangan hidup tersebut berisi gagasan dasar yang diyakini, mengandung kebenaran, dan
apabila dilaksanakan secara konsisten akan mengarah pada terwujudnya cita-cita hidupnya.
Tanpa pandangan hidup ini manusia tidak memiliki pegangan dalam membawa diri dan
dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi. Tanpa pandangan hidup manusia akan
terombang-ambing dalam perjalanan hidupnya, tidak memiliki tujuan yang jelas dan pasti,
serta tidak memiliki cara yang tangguh dalam mengatasi permasalahan dimaksud.
Pandangan hidup yang berisi gagasan dasar secara sistematik berkembang menjadi ideologi.
Demikian pula halnya dengan kehidupan berma-syarakat, berbangsa dan bernegara
memerlukan ideologi yang dijadikan panduan dalam menyelenggarakan kehidupan
berpemerintahan dan bernegara. Pada akhir abad XX timbul pendapat bahwa ideologi telah
mati, namun realitas menunjukkan bahwa memasuki abad XXI setiap negara masih
memiliki ideologinya masing-masing, bahkan timbul ideologi transnasional yang
perkembangannya menembus antar bangsa. Agar ideologi ini dapat didudukkan secara tepat
dalam hidup berbangsa dan bernegara, sehingga dapat dimanfaatkan guna mengantisipasi
perkembangan berbagai ideologi, maka dipandang perlu memahami makna ideologi secara
tepat dan benar, serta bagaimana ideologi ini diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
A. Pengertian Ideologi
Ideologi berasal dari kata Yunani idein yang berarti melihat dan logia yang berarti kata atau
ajaran, sehingga ideologi adalah ilmu tentang melihat ke depan atau cita-cita, gagasan atau
buah pikiran. A. Destult de Tracy (+ 1836) berpendapat bahwa ideologi merupakan bagian
dari filsafat, karena filsafat mendasari semua ilmu seperti pendidikan, etika dan politik.
Dr. Alfian berpendapat bahwa ideologi adalah pandangan hidup atau filsafat yang berintikan
serangkaian nilai (norma) atau sistem nilai dasar yang bersifat menyeluruh dan mendalam
yang dimiliki dan dipegang oleh suatu masyarakat atau bangsa sebagai wawasan atau
pandangan hidup mereka. Nilai dasar tersebut biasanya bersumber dari budaya dan
pengalaman sejarah masyarakat atau bangsa, berakar dan hidup dalam realita kehidupan
mereka, terutama pada waktu mereka berkonsensus untuk menjadikannya ideologi.
Prof. Padmo Wahjono, SH, berpendapat bahwa ideologi diberi makna sebagai pandangan
hidup bangsa, falsafah hidup bangsa, berupa seperangkat tata nilai yang dicita-citakan yang
direalisir di dalam kehidupan berkelompok. Ideologi ini akan memberi-kan stabilitas arah
dalam hidup berkelompok dan sekaligus memberikan dinamika gerak menuju ke tujuan
yang dicita-citakan.
Prof. Dr. Soerjanto Poespowardojo memberikan arti ideologi sebagai keseluruhan
pandangan cita-cita, nilai dan keyakinan yang ingin mereka wujudkan dalam kenyataan
hidup yang konkrit.
M. Syafaat Habib berpendapat bahwa ideologi adalah suatu kepercayaan politik sebagai hasil
kemauan bersama, sehingga membentuk keyakinan yang kokoh dalam komunitas politik.
Ideologi ini dalam perjalanan sejarah bangsa akan dijadikan landasan tidak bergerak yang
tangguh, dan sekaligus menjadi cita-cita yang harus diwujudkan dalam kehidupan nyata
masa kini dan masa selanjutnya.
Dari berbagai pendapat tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ideologi adalah:

Suatu ideologi akan mantap apabila mengandung konsep yang diakui kebenarannya,
mempunyai prinsip yang disepakati bersama, mengandung nilai dasar, membudayanya
nilai-nilai yang terkandung dalam idiologi tersebut yang selanjutnya di-implementasikan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam membudayakan dan
mengimplementasikan ideologi berpegang pada sistem kepercayaan yang dianut oleh
masyarakat yang bersangkutan secara dinamis.
Dengan kata lain ideologi adalah: “Gagasan, cita-cita yang mengandung konsep, prinsip, dan
nilai dasar yang membentuk sistem nilai yang utuh, bulat dan mendasar yang merupakan
pencerminan dari pandangan hidup dan fIlsafaT hidup suatu bangsa, berbentuk
kepercayaan politik yang kokoh sebagai hasil kemauan ber-sama dan menjadi landasan yang
tangguh dan arah yang jelas dalam mencapai tujuan bersama.” Disamping itu dapat juga
dikatakan bahwa Ideologi adalah ajaran, doktrin, teori atau ilmu yang diyakini
kebenarannya dan disusun secara sistematis serta diberi petunjuk pelaksanaannya guna
menanggapi dan menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat dalam berbangsa dan
bernegara.
B. Pancasila sebagai Ideologi (Nasional Bangsa Indonesia)
Ketetapan MPR RI No. XVIII/MPR/1998, di antaranya menentukan bahwa: “Pancasila
sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam
kehidupan bernegara.” Dalam Catatan Risalah/Penjelasan yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Ketetapan ini disebutkan: “Bahwa dasar negara yang dimaksud dalam
Ketetapan ini di dalamnya mengandung makna ideologi nasional sebagai cita-cita dan
tujuan negara.” Dengan demikian tidak perlu diragukan lagi bahwa Pancasila telah
ditetapkan oleh bangsa Indonesia sebagai ideologi nasional bagi bangsa Indonesia, yang
bermakna bahwa Pancasila bukan ideologi bagi suku atau golongan tertentu dari bangsa
Indonesia, tetapi merupakan ideologi seluruh bangsa Indonesia.
Hal tersebut ditegaskan pula dalam TAP MPR RI No. V/MPR/2000, tentang Pemantapan
Persatuan dan Kesatuan Nasional. Pada Arah Kebijaksanaan disebutkan: “Menjadikan
Pancasila sebagai ideologi negara yang terbuka dengan membuka wacana dan dialog terbuka
di dalam masyarakat sehingga dapat menjawab tantangan sesuai visi Indonesia masa depan.”
Timbul pertanyaan: “Apakah Pancasila memenuhi syarat sebagai idiologi?”
Di atas telah dikemukakan bahwa ideologi harus mengandung gagasan dasar, nilai dasar,
konsep dan prinsip yang membentuk suatu sistem nilai yang utuh, bulat dan mendasar.
Konsep-konsep yang terdapat dalam Pancasila sebagaimana tersebut dalam bab terdahulu
tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi merupakan suatu rangkaian yang merupakan suatu
kesatuan sistemik dan integral. Kehilangan salah satu konsep akan menghilangkan
eksistensi Pancasila. Dengan kata lain bahwa Pancasila memenuhi syarat bagi suatu ideologi.
Sementara itu, konsep yang terdapat dalam Pancasila merupakan kenyataan hidup dalam
masyarakat Indonesia dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas sampai Rote, sehingga
merupakan ideologi bagi bangsa Indonesia.
C. Pancasila Ideologi Terbuka

Sejak masa pemerintahan Presiden Soeharto, Pancasila dinyatakan sebagai ideologi terbuka.

Menurut Dr. Alvian, suatu ideologi terbuka memiliki tiga dimensi, yakni (1) dimensi realitas,
yakni bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung dalam ideologi tersebut secara riil berakar
dan hidup dalam masyarakat, (2) dimensi idealisme yaitu bahwa ideologi tersebut
memberikan harapan tentang masa depan yang lebih baik, dan (3) dimensi fleksibilitas atau
dimensi pengembangan, yaitu bahwa ideologi tersebut memiliki keluwesan yang
memungkinkan pengembangan pemikiran.

Dikemukakan pula bahwa Pancasila tidak diragukan memiliki tiga dimensi tersebut:

Pertama bahwa nilai yang terkandung dalam Pancasila memang senyatanya, secara riil,
terdapat dalam kehidupan di berbagai pelosok tanah air, sehingga nilai-nilai tersebut
bersumber dari budaya dan peng-alaman sejarah bangsa;

Kedua bahwa nilai yang terkandung dalam Pancasila memberikan harapan tentang masa
depan yang lebih baik, meng-gambarkan cita-cita yang ingin dicapai dalam kehidupan
bersama;

Ketiga bahwa Pancasila memiliki keluwesan yang memungkinkan dan bahkan mendorong
pengembangan pemikiran-pemikiran baru yang relevan tentang dirinya, tanpa
menghilangkan atau mengingkari hakikat atau jatidiri yang terkandung dalam nilai-nilainya.

Sebagai ideologi terbuka Pancasila diharapkan selalu tetap komunikatif dengan


perkembangan masya-rakatnya yang dinamis dan sekaligus memantapkan keyakinan
masyarakat terhadapnya. Maka ideologi Pancasila harus dibudayakan dan diamalkan,
sehingga akan menjiwai serta memberi arah proses pembangunan dalam berbagai bidang
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Drs. Moerdiono, mantan Menteri Sekretaris Negara mengemukakan, dalam rangka


mengimplementasi-kan Pancasila sebagai ideologi terbuka perlu dibedakan antara (a) nilai
dasar, (b) nilai instrument-tal, dan (c) nilai praksis yang terkandung dalam Pancasila.
Dengan pelaksanaan Pancasila sebagai ideologi terbuka dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, utamanya dalam memecahkan berbagai permasalahan menjadi lebih konsisten,
aktual dan kontekstual, sehingga Pancasila benar-benar ber-manfaat dan bermakna dalam
kehidupan yang nyata.

D. Peran dan Fungsi Pancasila sebagai Ideologi (Nasional Bangsa Indonesia)


Ideologi sebagaimana disampaikan Prof. Padmo Wahyono, SH. berperan memberikan
stabilitas, arah dalam hidup berkelompok dan sekaligus memberikan dinamika gerak
menuju yang dicita-citakan. Ideologi berupa pandangan hidup, falsafah hidup bangsa,
merupakan seperangkat tata nilai yang dicita-citakan, yang diyakini kebenarannya, perlu
direalisasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, untuk menjaga
tetap tegak dan kokohnya negara-bangsa.
Dengan adanya seperangkat tata nilai yang kita sepakati bersama maka rakyat secara tidak
ragu-ragu bahkan merasa mantap menuju cita-cita bersama sesuai dengan kondisi dan
situasi yang dihadapi dalam mengatasi permasalahan bangsa.
Ideologi berfungsi sebagai bintang pemandu arah dalam menggapai cita-cita negara bangsa,
untuk selanjutnya dijabarkan menjadi program kegiatan bidang ideologi, politik, ekonomi,
sosial budaya dan pertahanan keamanan, sehingga dapat dijadikan pegangan dalam
menyusun garis-garis besar haluan negara.
E. Implementasi Pancasila sebagai Ideologi
Dalam rangka mengembangkan dan menerapkan Pancasila sebagai ideologi terbuka, Drs
Moerdiono menggunakan pendekatan kontekstual dan aktual. Untuk keperluan dimaksud
nilai yang terkandung dalam Pancasila dibedakan antara nilai dasar, nilai instrumental dan
nilai praksis. Nilai dasar adalah nilai yang terkandung dalam Pancasila yang bersifat tetap,
tidak berubah dalam menghadapi berbagai situasi dan kondisi; nilai instrumental adalah
nilai-nilai yang merupakan penjabaran dari nilai dasar dalam bentuk peraturan perundang-
undangan yang disesuaikan dengan subtansi yang dihadapi, namun tetap tidak menyimpang
dari nilai dasarnya. Nilai praksis adalah nilai turunan dari nilai dasar dan nilai instrumental
yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi sewaktu dan setempat. Dapat saja nilai praksis
nampaknya menyimpang dari nilai dasar, tetapi apabila diteliti secara cermat tidak akan
terjadi penyimpangan dari esensi nilai dasarnya.
Sebagai contoh nilai dasar sejahtera memiliki makna kesejahteraan bagi seluruh rakyat
Indonesia terjabar dalam nilai instrumental yang tertuang dalam norma instrumental
seperti yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 33 ayat (1), (2) dan (3) dengan rumusan
sebagai berikut:
(1). Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2). Cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara.
(3). Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasi oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Betapa penting arti implementasi nilai dasar Pancasila, karena bila nilai dasar tidak
diimplemen-tasikan dengan sepantasnya, maka apa yang kita cita-citakan tidak kunjung
terwujud, dan orang menjadi ragu akan ketangguhan idiologi nasional Pancasila sehingga
menjadi tidak percaya dan cepat atau lambat akan ditinggalkan. Sesuai dengan prinsip
umum sosialisasi, maka dalam upaya implementasi ideologi Pancasila dapat ditempuh tiga
tahap, yakni:
Pemahaman (artikulasi) yang bermakna bahwa setiap warganegara diharapkan mema-hami
dengan benar konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila melalui
dialog interaktif dengan berbagai pihak, mempelajari sendiri dari dokumen resmi yang tidak
menyesatkan, meng-adakan refleksi diri terhadap peng-alaman pribadi dan mengkaji
pemikiran para ahli sehingga diperoleh keyakinan akan kebenaran ideologi Pancasila.
Internalisasi adalah proses menjadikan ideologi Pancasila sebagai bagian dari hidup setiap
warganegara. Konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila dipergunakan
sebagai acuan dalam penilaian terhadap segala hal ihwal yang dihadapinya.
Aplikasi yang bermakna menerapkan konsep, prinsip dan nilai Pancasila dalam praktek
kehidupan yang nyata, meliputi aspek politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan
keamanan maupun aspek yang lain.
F. Faktor yang mempengaruhi Implementasi Ideo-logi Pancasila
Dalam mengimplementasikan ideologi Pancasila perlu diperhatikan faktor intern maupun
faktor ekstern yang berpengaruh terhadap berkembangnya ideologi Pancasila. Sifat
pluralistik bangsa, ditinjau dari keaneka-ragaman suku, adat budaya dan agama yang
dipeluk masyarakat, sangat mungkin diman-faatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk
memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Sementara itu arus globalisasi bukan
mustahil dimuati oleh ideologi transnasional yang dapat mengganggu per-kembangan dan
kokohnya ideologi nasional.
Faham liberalisme yang mendukung prinsip kebebasan dan kesetaraan menyuburkan
berkem-bangnya sikap materialistik, pragmatik, konsumeristik dan hedonistik sehingga
melumerkan sikap terpuji sebagai pencerminan ideologi nasional Pancasila. Demikian pula
ideologi yang mengusung prinsip-prinsip agama tertentu, kemungkinan menjadikan suatu
ideologi sempit yang tidak akomodatif terhadap kemajemukan bangsa dapat mengundang
terjadinya konflik yang dapat bermuara pada pertumpahan darah. Kita harus bersikap
inklusif, saling menghormati antar umat beragama dan berkeper-cayaan dengan tidak
merasa benar sendiri, merasa bahwa agama dan kepercayaanya yang paling benar dan
menganggap salah agama atau kepercayaan yang lain.
Perlu pula diwaspadai kemungkinan berkem-bangnya komunisme, dalam berbagai dimensi
dan lembaga kehidupan berbangsa dan bernegara. Agar tetap diingat bahwa
komunisme/Marxisme/Leninisme masih dilarang di negara ini, karena TAP MPRS No.
XXV/MPRS/1966 masih tetap berlaku. Dalam Ketetapan MPRS tersebut dinyatakan bahwa
ajaran komunisme/Marxisme/Leninisme dan yang sejenis bertentangan dengan ideologi
nasional Pancasila.

G. Kesimpulan
Dari uraian dan ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Pancasila telah memenuhi syarat sebagai ideologi karena telah mengandung konsep,
prinsip dan nilai yang membentuk sistem nilai yang utuh, bulat dan mendasar yang
merupakan pencer-minan dari pandangan hidup, filsafat hidup dan cita-cita bangsa
Indonesia.
2. Upaya implementasi Pancasila dapat dilakukan melalui penjabaran nilai dasar ke dalam
nilai instrumental dan nilai praksis. Untuk melak-sanakan hal tersebut perlu ditempuh tiga
tahapan yaitu pemahaman (artikulasi), interna-lisasi dan aplikasi.

BAB V
PANCASILA SEBAGAI PANDANGAN HIDUP
A. Makna pandangan hidup
etiap bangsa yang ingin berdiri kokoh dan mengetahui dengan jelas ke arah mana tujuan
yang ingin dicapainya sangat memerlukan pandangan hidup. Dengan pandangan hidup
inilah suatu bangsa akan memandang persoalan yang dihadapinya dan menentukan arah
serta cara memecahkannya dengan tepat.

Dengan pandangan hidup yang jelas, suatu bangsa akan memiliki pegangan dan pedoman
guna memecahkan masalah politik, ekonomi, sosial budaya, hukum dan pertahanan
keamanan yang timbul dalam gerak masyarakat yang makin maju. Dengan berpedoman
pada pandangan hidup itu pula suatu bangsa akan membangun dirinya.
Dalam pandangan hidup ini terkandung konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-
citakan oleh suatu bangsa serta dasar pemikiran terdalam dan gagasan mengenai wujud
kehidupan yang dianggap baik. Pada akhirnya, pandangan hidup suatu bangsa adalah
kristalisasi dan institusionalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki dan diyakini kebenarannya
serta menimbulkan tekad pada bangsa itu untuk mewujudkannya. Tanpa memiliki
pandangan hidup, suatu bangsa akan merasa terombang-ambing dalam menghadapi
persoalan besar yang timbul, baik persoalan di dalam masyarakatnya sendiri maupun
persoalan besar umat manusia dalam pergaulan antar bangsa di dunia. Karena itulah
pandangan hidup suatu bangsa merupakan masalah yang sangat asasi bagi kekokohan dan
kelestarian suatu bangsa. Pandangan hidup berkaitan dengan sistem nilai, tentang baik dan
buruk, tentang adil dan zalim, jujur dan bohong dan sebagainya. Dengan demikian,
membahas Pancasila sebagai pandangan hidup berarti memasuki domein etika dan masalah
moral yang menjadi kepedulian manusia sepanjang masa. Pancasila sebagai pandangan
hidup membahas tentang hal ihwal yang selayaknya dikerjakan oleh manusia Indonesia dan
yang selayaknya dihindari.
Agar dalam mengupas Pancasila sebagai pandangan hidup dapat dilakukan secara pro-
porsional, dan dalam memperluas pandangan yang telah dikemukakan di depan, maka ada
baiknya difahami terlebih dahulu makna (a) nilai; (b) norma, (c) etika dan moral, sebagai
berikut :
1. Nilai adalah kualitas yang melekat pada suatu hal ihwal atau subyek tertentu yang
berakibat dipilih atau tidaknya hal ihwal atau subyek tersebut dalam kehidupan masyarakat.
Peme-rintahan yang adil selalu menjadi dambaan rakyat. Lukisan yang indah selalu diburu
oleh para kolektor lukisan. Orang yang jujur selalu dihargai oleh masyarakatnya, dan
sebagainya. Apabila nilai idaman dapat terwujud, maka akan menimbulkan rasa puas diri
pada masyarakat, yang bemuara pada rasa tenteram, nyaman, sejahtera dan bahagia.
Nilai adalah kualitas, ketentuan yang bermakna bagi kehidupan manusia, masyarakat,
bangsa dan antar bangsa. Kehadiran nilai dalam kehidupan manusia dapat menimbulkan
aksi atau reaksi, sehingga manusia akan menerima atau menolak kehadirannya.
Konsekuensinya nilai menjadi tujuan hidupnya, yang ingin diwujudkan atau ditolak dalam
kenyataan. Misal keadilan dan kejujuran, merupakan nilai yang selalu menjadi kepedulian
dan dambaan manusia untuk dapat diwujudkan dalam kenyataan. Sebaliknya kezaliman dan
kebohongan merupakan nilai yang selalu ditolak dalam kehidupan.
Di depan telah diuraikan makna konsep, prinsip dan nilai yang terdapat dalam Pancasila,
yang menjadi tujuan hidup bangsa Indonesia, dan ingin diwujudkan dalam kehidupan
berma-syarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai yang terkandung dalam Pancasila di
antaranya damai, iman, taqwa, adil, setara, selaras, serasi, adab, rukun, bebas, mufakat,
bijaksana, sejahtera dan sebagainya.

2. Norma adalah nilai yang dipergunakan sebagai ukuran untuk menentukan atau menilai
suatu tingkah laku manusia. Norma berasal dari bahasa Latin yang artinya siku-siku, suatu
alat untuk mengukur apakah suatu obyek tegak lurus atau miring. Demikian pula halnya
dengan norma kehidupan, dipergunakan manusia sebagai pegangan atau ukuran dalam
bersikap dan bertindak; apakah sikap dan tingkah lakunya menyimpang atau tidak
menyimpang dari nilai yang telah ditetapkan. Dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara dikenal berbagai norma, seperti norma agama, norma adat, norma moral, norma
hukum dan sebagainya. Perkembangan nilai menjadi norma sangat tergantung dari
pandangan masyarakat masing-masing serta tantangan zaman. Masing-masing mendukung
nilai sesuai dengan bidangnya. Dari berbagai norma tersebut hanya norma hukum yang
memiliki hak untuk memaksa, norma yang lain implementasinya bersendi pada kesadaran
masyarakat yang bersangkutan.
3. Etika adalah ilmu tentang kesusilaan, cabang dari filsafat yang membahas mengenai nilai
dan norma yang meliputi hal ihwal yang selayaknya dikerjakan dan yang selayaknya
dihindari. Etika adalah seperangkat nilai, prinsip dan norma moral yang menjadi pegangan
hidup dan dasar penilaian baik-buruknya perilaku atau benar-salahnya tindakan manusia,
baik secara individual maupun sosial dalam suatu masyarakat. Dengan demikian etika yang
membahas mengenai nilai, prinsip dan norma merupakan bentuk praktek dari filsafat
teoretik, yang selanjutnya dipergunakan sebagai acuan bagi manusia dalam bersikap dan
bertingkah laku.
B. Etika Kehidupan Berbangsa
Etika kehidupan berbangsa diatur dalam Ketetapan MPR RI Nomor: VI/MPR/2001
merupakan rumusan yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat universal,
dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar
dalam berfikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa.

Rumusan tentang Etika kehidupan berbangsa ini disusun dengan maksud untuk membantu
mem-berikan penyadaran tentang arti penting tegaknya etika dan moral dalam kehidupan
berbangsa.

Etika kehidupan berbangsa dirumuskan dengan tujuan menjadi acuan dasar untuk
meningkatkan kualitas manusia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia serta
berkepribadian Indonesia dalam kehidupan berbangsa.

Pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa mengedepankan kejujuran, amanah,


keteladanan, sportifitas, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab,
menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa.

Etika kehidupan berbangsa meliputi :


1. Etika Sosial dan Budaya bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan
menampilkan sikap jujur, saling peduli, saling memahami, saling menghargai, saling
mencintai dan saling menolong di antara sesama manusia dan warga bangsa serta perlu
menum-buhkembangkan budaya malu dan budaya keteladanan oleh para pemimpin formal
maupun informal.
2. Etika Politik dan Pemerintahan dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang
bersih, efisien dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis bercirikan
keterbukaan, rasa bertangungjawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan,
jujur dalam persaingan serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak
dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa. Etika Politik dan Pemerintahan mengandung
misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap
melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati dan siap mundur dari jabatan
publik apabila terbukti melakukan kesalahan secara moral maupun secara hukum dan rasa
keadilan.
3. Etika Ekonomi dan Bisnis dimaksudkan agar prinsip dan perilaku ekonomi dan bisnis
dapat melahirkan kondisi dan realitas ekonomi yang bercirikan persaingan yang jujur,
berkeadilan, mendorong berkembangnya etos kerja ekonomi, daya tahan ekonomi,
pemberdayaan ekonomi yang berpihak kepada rakyat kecil secara berkesinambungan. Etika
ini untuk mencegah terjadinya praktek monopoli, oligopoli, kebijakan ekonomi yang
mengarah kepada korupsi, kolusi, nepotisme dan diskriminasi.
4. Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadar-
an bahwa tertib sosial, ketenangan dan keteraturan hidup bersama hanya dapat diwujudkan
dengan ketaatan terhadap hukum dan semua peraturan yang berlaku. Etika ini
meniscayakan penegakan hukum secara adil, perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif
terhadap setiap warganegara dihadapan hukum.
5. Etika Keilmuan dimaksudkan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, ilmu
pengetahuan dan teknologi agar warga bangsa mampu menjaga harkat dan martabatnya
yang berpihak kepada kebenaran untuk mencapai kemaslahatan dan kemajuan sesuai
dengan nilai-nilai agama dan budaya. Etika ini diwujudkan secara pribadi ataupun kolektif
dalam karsa, cipta dan karya, yang tercermin dalam perilaku kreatif, inovatif, inventif dan
komunikatif dalam kegiatan membaca, belajar, meneliti, menulis, berkarya serta
menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Etika ini
menegaskan pentingnya budaya kerja keras dengan menghargai dan memanfaatkan waktu,
disiplin dalam berfikir, berbuat dan menepati janji serta mendorong tumbuhnya
kemampuan menghadapi hambatan, rintangan dan tantangan dalam kehidupan, tahan uji
dan pantang menyerah.
6. Etika Lingkungan menegaskan pentingnya kesadaran menghargai dan melestarikan
lingkungan hidup serta penataan tata ruang secara berkelanjutan dan bertanggung jawab.

Bagi bangsa Indonesia nilai, norma dan etika yang dipergunakan sebagai pegangan dalam
bersikap dan tingkah laku adalah konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila
seperti yang telah dkemukakan di depan. Agar konsep, prinsip dan nilai Pancasila ini dapat
diimplementasikan secara tepat dan benar oleh setiap manusia Indonesia perlu adanya
pedoman tingkah laku bersendi Pancasila.
Pancasila lahir berdasarkan pengalaman sejarah hidup bangsa Indonesia, sehingga Pancasila
yang dirumuskan pada tahun 1945 merupakan kristalisasi nilai-nilai yang tumbuh dan
berkembang bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia. Maka
Pancasila merupakan budaya bangsa Indonesia yang memiliki ciri khas, yakni
mencerminkan nilai-nilai yang digali dari bangsa Indonesia sendiri.

Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa sebenarnya merupakan perwujudan dari nilai-
nilai budaya milik bangsa Indonesia sendiri yang diyakini kebaikan dan kebenarannya.
Pancasila digali dari budaya bangsa yang sudah ada, tumbuh dan berkembang berabad-abad
lamanya. Oleh karena itu Pancasila adalah khas milik bangsa Indonesia sejak keberadaannya
sebagai sebuah bangsa. Pancasila merangkum nilai-nilai yang terkandung dalam adat
istiadat, kebudayaan dan agama-agama yang ada di Indonesia. Dengan demikian Pancasila
sebagai pandangan hidup mencerminkan jiwa dan kepri-badian bangsa Indonesia.

C. Peran dan Fungsi Pancasila Sebagai Pan-dangan Hidup


Pancasila dalam pengertian ini sering juga disebut way of life, Weltanschauung,
wereldbeschouwing, wereld en levenbeschou wing, pandangan dunia, pandangan hidup,
pegangan hidup, pedoman hidup. Dalam hal ini Pancasila dipergunakan sebagai pedoman
hidup sehari-hari (Pancasila diamalkan dalam hidup sehari-hari). Dengan kata lain:
Pancasila digunakan sebagai pedoman arah semua kegiatan atau aktivitas hidup dalam
kehidupan di segala bidang. Ini berarti, bahwa semua tingkah laku dan tindak perbuatan
setiap manusia Indonesia harus dijiwai dan merupakan pancaran dari semua sila Pancasila.

Sebagai pandangan hidup, Pancasila juga berperan sebagai pedoman dan penuntun sikap
dan perilaku setiap warganegara dalam kehidupan berma-syarakat, berbangsa dan
bernegara. Dengan demikian ia menjadi suatu ukuran atau kriteria yang diterima dan
berlaku untuk semua pihak.

Pancasila sebagai pandangan hidup memiliki fungsi menjadi pegangan atau acuan bagi
manusia Indonesia dalam bertingkah laku, baik dalam berhubungan dengan sesama
manusia, dengan Tuhan yang menciptakannya maupun dengan ling-kungannya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pancasila sebagai pandangan hidup mempunyai
peran dan fungsi sebagai berikut:
1. Membuat bangsa kita berdiri kokoh dan memiliki daya tahan terhadap segala ancaman,
tantangan, hambatan dan gangguan.
2. Menunjukkan arah tujuan yang akan dicapai sesuai dengan cita-cita bangsa.
3. Menjadi pegangan dan pedoman untuk meme-cahkan berbagai masalah dan tantangan di
bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan kea-manan nasional.
4. Mendorong timbulnya semangat dan kemam-puan untuk membangun diri bangsa
Indonesia.
5. Menunjukkan gagasan-gagasan mengenai wujud kehidupan yang dicita-citakan.
6. Memberikan kemampuan untuk menyaring segala gagasan dan pengaruh kebudayaan
asing yang menyusup melalui ilmu pengetahuan dan teknologi modern.

D. Implementasi Pancasila sebagai Pandangan Hidup


Sebagai pandangan hidup, Pancasila memberi tuntunan kepada manusia Indonesia dalam
bersikap dan bertingkah laku. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dijadikan norma
moral bagi bangsa Indonesia dalam berbuat, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Karena kedudukan nilai-nilai Pancasila disini sebagai norma moral, maka
pelaksanaannya didasarkan pada keyakinan dan kesadaran pemakainya. Pelanggaran
terhadap Pancasila sebagai pandangan hidup, berupa sanksi moral dan sosial. Orang yang
tidak dapat mengendalikan diri, suka memaksakan kehendak kepada orang lain tak akan
dikenakan sanksi hukum. Hendaknya timbul rasa malu bagi mereka yang tidak
melaksanakan nilai-nilai yang dimaksud dalam kehidupan sehari-hari.
Tuntunan Pancasila sebagai pandangan hidup dalam bersikap dan bertingkah laku adalah
sebagai berikut:

1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa


Dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan
ketak-waan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan oleh karenanya manusia Indonesia percaya
dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya
masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Di dalam kehidupan
masyarakat Indonesia dikembangkan sikap hormat-meng-hormati dan bekerjasama antara
pemeluk-pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga
dapat selalu dibina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan berkepercayaan
terhadap Tuhan YME. Sadar bahwa agama dan kepercayaan terhadap Tuhan YME adalah
masalah yang menyangkut hubungan pribadi dengan Tuhan YME yang dipercayai dan
diyakininya, maka dikembangkanlah sikap saling menghormati kebebasan menjalankan
ibadah sesuai agama dan kepercayaannya dan tidak memaksakan suatu agama dan
kepercayaannya itu kepada orang lain.

2. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.


Dengan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, manusia diakui dan diperlakukan sesuai
dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan YME, yang sama derajatnya, yang
sama hak dan kewajiban-kewajiban asa-sinya, tanpa membeda-bedakan suku, ketu-runan,
agama dan kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
Karena itu dikembangkanlah sikap saling mencintai (menghormati) sesama manusia, sikap
tenggang rasa dan “tepa salira”, serta sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
Kemanusiaan yang adil dan beradab berarti menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,
gemar melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan, dan berani membela kebenaran dan
keadilan. Sadar bahwa manusia adalah sederajat, maka bangsa Indonesia merasa dirinya
sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembang-kanlah sikap hormat-
menghormati dan beker-jasama dengan bangsa-bangsa lain.
3. Sila Persatuan Indonesia.
Dengan sila Persatuan Indonesia, manusia Indonesia menempatkan persatuan, kesatuan
serta kepentingan dan keselamat-an bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau
golongan.
Menempatkan kepentingan negara dan bangsa di atas kepentingan pribadi berarti bahwa
manusia Indonesia sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa. Oleh
karena sikap rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa itu dilandasi oleh rasa
cinta kepada Tanah Air dan Bangsanya maka dikembangkanlah rasa kebanggaan berkebang-
saan dan bertanah air Indonesia.
Persatuan dikembangkan atas dasar Bhinneka Tunggal Ika, dengan memajukan pergaulan
demi kesatuan dan persatuan bangsa.
Dalam rangka mencapai perdamaian dunia atas dasar kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial maka hubungan antar bangsa didasarkan pada prinsip saling menghormati
dan bekerjasama.

4. Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusya-


waratan/perwakilan.
Dengan sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawara-
tan/perwakilan, manusia Indonesia sebagai warganegara mempunyai kedudukan, hak dan
kewajiban yang sama. Dalam menggunakan hak-haknya ia menyadari perlunya
memperhatikan dan mengutama-kan kepentingan negara dan kepentingan masyarakat.
Karena mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama maka pada dasarnya tidak
boleh ada suatu kehendak yang dipaksakan kepada pihak lain. Sebelum diambil keputusan
yang menyangkut kepentingan bersama terlebih dahulu diadakan musyawarah. Keputusan
diusahakan secara mufakat. Musyawarah untuk mencapai mufakat ini diliputi oleh semangat
kekeluargaan yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia.
Manusia Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi setiap hasil keputusan musyawarah,
karena itu semua pihak yang bersangkutan harus menerimanya dan melaksanakannya
dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab. Di sini kepentingan bersamalah yang
diutamakan di atas kepentingan pribadi atau golongan. Pembicaraan dalam musyawarah
dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur. Keputusan-
keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan
YME, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan
keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan, demi kepentingan bersama. Dalam
melaksanakan permus-yawaratan, kepercayaan diberikan kepada wakil-wakil yang
dipercayainya.

5. Sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,


Dengan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, manusia Indonesia menyadari
hak dan kewajiban yang sama untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Dalam rangka ini dikembangkanlah perbuatan yang luhur yang mencerminkan
sikap dan perilaku dalam suasana kekeluargaan serta kegotong royongan.
Untuk itu dikembangkan sikap adil terhadap sesama, menghormati hak-hak orang lain dan
menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban. Demikian pula perlu dipupuk sikap suka
memberi pertolongan kepada orang yang memerlukan agar dapat berdiri sendiri. Dengan
sikap yang demikian ia tidak menggunakan hak miliknya untuk usaha-usaha yang bersifat
pemerasan terhadap orang lain, juga tidak untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan
hidup bergaya mewah serta perbuatan-perbuatan lain yang bertentangan dengan atau
merugikan kepentingan umum.
Demikian juga dipupuk sikap suka bekerja keras dan sikap menghargai hasil karya orang
lain yang bermanfaat untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama. Kesemuanya
itu dilaksanakan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan yang merata dan keadilan sosial.

E. Faktor yang mepengaruhi implementasi


Semua agama selalu memiliki kepedulian dengan pengembangan moral, yang harus
diupayakan agar manusia selalu berpegang teguh pada moral yang didambakan dalam
hidupnya. Demikian juga halnya dengan adat budaya masyarakat selalu peduli pula pada
moral, sehingga membahas Pancasila sebagai pandangan hidup dapat saja bersing-gungan
dengan ajaran agama dan/atau adat budaya suatu masyarakat tertentu. Kehidupan modern-
pun mengembangkan nilai dan norma tertentu yang dimanfaatkan sebagai acuan bersikap
dan bertingkah laku manusia.
Di era globalisasi, hubungan antar bangsa demikian erat, maka untuk membangun
masyarakat modern harus membuka diri agar tidak tertinggal oleh kemajuan bangsa-bangsa
lain. Ketika meletakkan dasar-dasar negara modern, kita tidak saja menyerap masuknya
modal, teknologi, ilmu pengetahuan dan keterampilam dari luar, akan tetapi terbawa pula
masuknya nilai-nilai sosial dan politik yang berasal dari kebudayaan lain. Masuknya nilai-
nilai kebudayaan lain ini makin deras mengalir sejalan dengan kebebasan yang dibuka di era
reformasi.
Bagi bangsa Indonesia yang penting adalah agar mampu menyaring nilai-nilai dari luar
tersebut, sehingga nilai-nilai yang baik dan sesuai dengan kepribadian kita sendirilah yang
kita serap, sedangkan nilai-nilai yang tidak sesuai, lebih-lebih yang dapat merusak
kepribadian, harus kita tolak.
Oleh karena itu yang lebih penting adalah bagaimana kita memahami dan mengimple-
mentasikan Pancasila dalam segala segi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Tanpa ini maka Pancasila hanya merupakan rangkaian kata-kata indah yang terlukis dalam
Pembukaan UUD 1945.
F. Kesimpulan
1. Kita merasa sangat bersyukur bahwa pendahulu-pendahulu atau founding fathers kita,
pendiri-pendiri Republik ini dapat menggali dan meru-muskan secara jelas apa
sesungguhnya pan-dangan hidup bangsa kita yang kemudian dinamakan Pancasila.
2. Pancasila itu adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia,
pandangan hidup bangsa Indonesia dan dasar negara NKRI. Disamping itu Pancasila
sekaligus menjadi tujuan hidup bangsa Indonesia.
3. Pancasila bagi kita merupakan pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita moral yang
meliputi kejiwaan dan watak yang sudah berurat berakar di dalam kebudayaan bangsa
Indonesia, yaitu suatu kebudayaan yang mengajarkan bahwa hidup manusia akan mencapai
kebahagiaan jika dapat dikembangkan keselarasan dan keseim-bangan, baik dalam hidup
manusia sebagai pribadi, dalam hubungan manusia dengan masyarakat, dalam hubungan
manusia dengan alam, dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, maupun dalam
mengejar kebaha-giaan lahiriah dan batiniah.
4. Dengan Pancasila sebagai pandangan hidup maka manusia Indonesia dalam bersikap dan
bertingkah laku dituntun oleh kelima sila dari Pancasila. Begitu pula peranan kepemimpinan
dalam memahami, menghayati dan menga-malkan Pancasila menduduki tempat yang
sangat strategis dan menentukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan berne-
gara. Kepemimpinan yang berdasarkan Pancasila ialah kepemimpinan yang memiliki jiwa
Pancasila, yang memiliki wibawa dan mampu untuk membawa-serta dan memimpin
masyarakat lingkungannya dalam kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara berda-
sarkan Pancasila.

BAB VI

PANCASILA SEBAGAI PEMERSATU BANGSA


angsa Indonesia terdiri dari berbagai suku dan kelompok masyarakat yang memiliki
beraneka ragam adat, budaya, bahasa, serta memeluk berbagai agama dan manganut
bermacam keper-cayaan, membentuk kelompok atau strata masyarakat berdasar tingkat
penguasaan ilmu pengetahuan, kepemilikan materi, serta tingkat perkembangan, sehingga
bangsa Indonesia memiliki potensi yang sangat rentan akan perpecahan.
Waktu Belanda menjajah Nusantara, banyak patriot yang melawan untuk mengusir penjajah,
namun Belanda senantiasa dapat dengan mudah mematahkan semua perlawanan dari
kelompok yang bersangkutan. Hal itu disebabkan karena perlawanan mereka berlangsung
secara sporadik, terpisah-pisah, tidak terkoordinasikan menjadi satu kekuatan yang kompak
dan menyatu. Banyak pahlawan bangsa gugur beserta para pengikutnya yang tersebar
hampir di segala penjuru nusantara mulai dari Aceh, Sumatera Barat, Jawa, Bali, Makasar,
Ambon, Ternate dan sebagainya.
Atas pengalaman itu mulailah putera-putera Nusantara sadar bahwa melawan penjajah
secara sendiri-sendiri dan terpisah selalu dapat dipatahkan dan hanya dengan persatuan dan
kesatuan yang kokoh dari seluruh komponen bangsa, penjajah dapat dilawan dan dapat
dikalahkan. Timbullah kesadaran di kalangan pemuda pada waktu itu bahwa untuk
mengikat kelompok masyarakat menjadi suatu bangsa yang memiliki kekuatan yang utuh
dan tangguh diperlukan rasa nasionalisme dan patriotisme guna membangkitkan semangat
generasi muda dalam perjuangan yang bersifat nasional. Mulai tumbuh jiwa patriotisme dan
nasionalisme di kalangan pemuda sehingga semangat untuk merdeka terus mengalir seiring
dengan sikap anti penjajah. Sikap inilah yang mendasari lahirnya Kebangkitan Nasional,
dimulai dengan berdirinya perkumpulan Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908.
Perkumpulan ini memicu para pemuda dari berbagai daerah untuk membentuk organisasi
pemuda meskipun masih bernuansa kedaerahan untuk mendirikan negara bangsa yang
merdeka dan berdaulat.
Organisai pemuda-pemuda ini yang mengantar lahirnya Sumpah Pemuda yang diikrarkan di
Batavia pada tanggal 28 Oktober 1928, sebagai berikut:
Pertama: KAMI PUTERA DAN PUTERI INDO-NESIA MENGAKU BERTUMPAH DARAH
YANG SATU, TANAH INDO-NESIA.
Kedua: KAMI PUTERA DAN PUTERI INDO-NESIA MENGAKU BER-BANGSA YANG SATU,
BANGSA INDONESIA.
Ketiga: KAMI PUTERA DAN PUTERI INDO-NESIA MENJUNJUNG BA-HASA
PERSATUAN, BAHASA INDONE-SIA.
Sumpah pemuda mengandung nilai-nilai luhur yang dijadikan inspirasi perjuangan para
pemuda untuk menempatkan persatuan dan kesatuan di atas segalanya yang dilandasi oleh
jiwa dan semangat patriotisme dan nasionalisme yang tinggi.
Pada waktu itulah secara de facto telah lahir bangsa Indonesia yang terdiri dari persatuan
antara seluruh organisasi dan unsur yang ada di Nusantara.
Bangsa Indonesia kemudian berjuang dengan gigih melalui cara non kooperatif dan
kooperatif, melalui perjuangan di Dewan Hindia Belanda atau Volksraad (Parlemen yang
dibentuk oleh Belanda). Dengan modal kesadaran nasional yang kuat serta sikap mental
sebagai bangsa yang besar dan bersatu, bangsa Indonesia berhasil mencapai
kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 yang diproklamasikan oleh Ir. Soekarno dan
Drs, Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Lahirlah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keberhasilan tersebut berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.
A. Makna Pancasila Sebagai Pemersatu Bangsa
Sesungguhnya bangsa Indonesia sudah terbentuk pada waktu Kongres Pemuda pada tanggal
28 Oktober 1928 yaitu dengan Sumpah Pemuda yang mendeklarasikan “Tumpah darah yang
satu, tanah Indonesia; Bangsa yang satu bangsa Indonesia, Bahasa persatuan bahasa
Indonesia.” Sumpah pemuda ini menjadi komitmen seluruh organisasi dan seluruh
golongan masyarakat untuk direalisasikan dalam kehidupan yang nyata. Bersatunya
organisasi tersebut dilandasi oleh niat untuk bersatu karena adanya persamaan nasib di
bawah penjajahan Belanda serta pengalaman melawan Belanda yang gagal karena bersifat
kedaerahan. Persamaan nasib yang dialami oleh berbagai suku bangsa di Nusantara tersebut
menjadi pendorong tumbuhnya kehendak bersatu. Bersatunya bangsa Indonesia ini seperti
yang dikatakan oleh Ernest Renan bahwa syarat bagi suatu bangsa adalah kehendak untuk
bersatu dan orang-orangnya merasa diri untuk bersatu serta mau bersatu.
Sementara menurut Otto Bauer persamaan nasib menumbuhkan satu persatuan perangai
yang merupakan ciri atau identitas bangsa. Identitas bangsa ini berkembang menjadi jatidiri
bangsa berisi nilai-nilai yang merupakan kristalisasi dan merupakan watak bersama atau
common denominator dari nilai-nilai yang berkembang pada suku-suku bangsa di seluruh
Nusantara. Kristalisasi nilai-nilai ini yang kemudian oleh para founding fathers dirumuskan
menjadi Pancasila. Singkat kata bahwa Pancasila merupakan perekat, pengikat dan
pemersatu bangsa Indonesia, yang penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa memberikan kebebasan kepada setiap warganegara untuk
memeluk agama dan kepercayaan sesuai dengan yang diyakini, serta mendudukkan
warganegara setara di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Manusia Indonesia yang demikian
majemuk ditinjau dari suku, adat budaya, agama yang dipeluknya, tidak dibeda-bedakan di
hadapan Tuhan, bebas menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan secara
bertanggung jawab. Pancasila memberikan arahan bahwa bangsa Indonesia menyatakan
kepercayaan dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian sila
Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi perekat dan pemersatu bangsa Indonesia.

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab bermakna bahwa manusia didudukkan sesuai dengan
kodrat, harkat dan martabatnya. Dalam rangka mengimplementasikan fikir, rasa dan
karsanya, serta dalam mengemban amanah yang dibebankan oleh Tuhan, manusia memiliki
kebebasan yang bertanggung jawab. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dalam
kesetaraan. Pancasila mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi
setiap manusia tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis
kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya. Oleh karena itu sila Kemanusiaan
yang adil dan beradab juga menjadi perekat dan pemersatu bangsa Indonesia.

3. Setiap warganegara Indonesia terikat dalam satu komunitas yang bernama bangsa
Indonesia. Setiap warganegara didudukkan sama di hadapan hukum. Setiap warganegara
merasa bahwa dirinya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bangsanya, merasa
ikut memiliki, mencintainya, untuk selanjutnya rela berkorban, baik harta benda maupun
jiwa raganya demi negara bangsanya. Pancasila memberikan arahan terhadap warganegara
merasa satu kesatuan sebagai bangsa, serta mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar
Binneka Tunggal Ika.

4. Dengan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/


perwakilan bermakna bahwa setiap warganegara diakui memiliki kewenangan yang sama
dalam menentukan kebijakan yang akan menentukan cita-cita dan tujuan bersama, akhirnya
seluruh warga bangsa dapat menikmati keadilan sosial yang menjadi cita-cita dan tujuan
bersama. Perbedaan yang timbul dalam masyarakat Indonesia harus diselesaikan dengan
cara musyawarah untuk mencapai mufakat tanpa mengabaikan kepentingan golongan
minoritas. Justru golongan minoritas harus dijaga dan diayomi oleh kelompok atau
golongan mayoritas. Di sinilah letaknya musyawarah untuk mencapai mufakat menjadi
perekat atau pemersatu bangsa.

5. Untuk mewujudkan Keadilan Sosial dilakukan dengan cara kerja keras, disiplin
profesional, jujur, bertanggung jawab dan mengembangkan perbuatan luhur yang
mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan serta sikap adil
terhadap sesama. Suka memberikan pertolongan dan melakukan kegiatan dalam rangka
mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial. Akhirnya seluruh warga bangsa
dapat menikmati keadilan yang menjadi cita-cita bersama. Cita-cita dan tujuan seluruh
rakyat Indonesia adalah terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan
untuk kepentingan perorangan atau golongan. Setiap warganegara memiliki hak yang sama
dalam memperoleh pelayanan pendidikan, kesehatan dan pelayanan umum dari pemerintah,
termasuk pelayanan hukum yang adil.
Sila-sila Pancasila nampak dengan nyata memiliki potensi sebagai pengikat kemajemukan
bangsa, karena Pancasila tidak membeda-bedakan segala unsur bangsa yang ada, tetapi
didudukkan setara, dan diperlakukan sama dihadapan hukum. Implementasi Pancasila
sebagai pemersatu segala unsur bangsa ini diterapkan dengan prinsip “Bhinneka Tunggal
Ika.”
Para founding fathers, pada tahun 1945, telah mempermasalahkan bentuk negara yang akan
didirikan, apakah konfederasi, federasi atau kesatuan, dan akhirnya dipilih bentuk negara
kesatuan. Disadari pula bahwa negara yang akan didirikan memiliki keanekaragaman unsur
negara-bangsa yang luar biasa, sehingga memerlukan pengikat untuk dapat terciptanya
negara kesatuan tersebut. Pengikat kemajemukan unsur negara-bangsa tersebut tiada lain
adalah Pancasila yang berkedudukan sebagai pengikat budaya bangsa, perekat dan
pemersatu bangsa. Bung Karno menyatakan hanya Pancasila yang mampu mengikat bangsa
Indonesia menjadi satu negara-bangsa yang kokoh dan kuat.
B. Penemuan dan Landasan Hukum Bhinneka Tunggal Ika
Sesanti atau semboyan Bhinneka Tunggal Ika diungkapkan pertama kali oleh mPu Tantular,
pujangga agung kerajaan Majapahit yang hidup pada masa pemerintahan Raja Hayam
Wuruk, di abad ke empatbelas (1350-1389). Sesanti tersebut terdapat dalam karyanya
kakawin Sutasoma yang berbunyi “Bhinna ika tunggal ika, tan hana dharma mangrwa,“ yang
artinya “berbeda-beda itu, satu itu, tak ada pengabdian yang mendua.” Semboyan yang
kemudian dijadikan prinsip dalam kehidupan dan pemerintahan kerajaan Majapahit itu
untuk mengantisipasi adanya keaneka-ragaman agama yang dipeluk oleh rakyat Majapahit
pada waktu itu. Meskipun mereka berbeda agama tetapi mereka tetap satu dalam
pengabdian.
Pada tahun 1951, atau sekitar 600 tahun setelah pertama kali semboyan Bhinneka Tunggal
Ika diungkapkan oleh mPu Tantular, pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai
semboyan resmi Negara Republik Indonesia dengan Peraturan Pemerintah No.66 tahun
1951. Peraturan Pemerintah tersebut menentukan bahwa sejak 17 Agustus 1950, Bhinneka
Tunggal Ika ditetapkan sebagai semboyan yang terdapat dalam Lambang Negara Republik
Indonesia, “Garuda Pancasila.” Kata “bhinna ika,” kemudian dirangkai menjadi satu kata
“bhinneka”.
Pada perubahan UUD 1945 yang kedua, Bhinneka Tunggal Ika dikukuhkan sebagai
semboyan resmi terdapat dalam Lambang Negara, dan tercantum dalam pasal 36A UUD
1945, yang berbunyi : “Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika”.
Semboyan tersebut terungkap di abad ke XVIII, dalam lambang negara Amerika Serikat,
yang berbunyi “e pluribus unum,” sekitar empat abad setelah mPu Tantular mengemukakan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Sesanti Bhinneka Tunggal Ika tersebut berasal dari pupuh
139, bait 5, kekawin Sutasoma yang lengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Jawa Kuna Alih bahasa Indonesia
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang
berbeda.
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah
bisa dikenali?
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa
adalah tunggal
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa. Terpecah belahlah itu, tetapi satu jualah
itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

Sesanti yang merupakan karya mPu Tantular, yang diharapkan dijadikan acuan bagi rakyat
Majapahit dalam berdharma, oleh bangsa Indonesia, setelah memproklamasikan
kemerdekaannya, dijadikan semboyan, acuan dan pegangan bangsa dalam hidup berbangsa
dan bernegara. Seperti halnya Pancasila, istilah atau kata Bhinneka Tunggal Ika juga tidak
tertera dalam UUD 1945 (asli), namun esensinya terdapat didalamnya. Untuk dapat
dijadikan acuan secara tepat dalam hidup berbangsa dan bernegara, makna Bhinneka
Tunggal Ika perlu difahami secara benar untuk selanjutnya ditentukan bagaimana cara
untuk mengimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bhinneka Tunggal Ika tidak dapat dipisahkan dari Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia, dan
Dasar Negara Pancasila. Hal ini sesuai dengan komponen yang terdapat dalam Lambang
Negara Indonesia. Menurut pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 1951 disebutkan
bahwa: Lambang Negara terdiri atas tiga bagian, yaitu:

1. Burung Garuda yang menengok dengan kepalanya lurus ke sebelah kanannya;


2. Perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan
3. Semboyan yang ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda. Di atas pita tertulis
dengan huruf Latin sebuah semboyan dalam bahasa Jawa Kuno yang berbunyi : BHINNEKA
TUNGGAL IKA.

Adapun makna Lambang Negara tersebut adalah sebagaki berikut:


Burung Garuda disamping menggambarkan tenaga pembangunan yang kokoh dan kuat,
juga melam-bangkan tanggal kemerdekaan bangsa Indonesia yang digambarkan oleh bulu-
bulu yang terdapat pada Burung Garuda tersebut. Jumlah bulu sayap sebanyak 17 di tiap
sayapnya melambangkan tanggal 17, jumlah bulu pada ekor sebanyak 8 melambangkan
bulan 8, jumlah bulu dibawah perisai sebanyak 19, sedang jumlah bulu pada leher sebanyak
45. Dengan demikian jumlah bulu-bulu burung garuda tersebut melambangkan tanggal hari
kemerdekaan bangsa Indonesia, yakni 17-8-1945.
Sementara itu perisai yang tergantung di leher garuda menggambarkan Negara Indonesia
yang terletak di garis khatulistiwa, dilambangkan dengan garis hitam horizontal yang
membagi perisai, sedang lima segmen menggambarkan sila-sila Pancasila. Ketuhanan Yang
Maha Esa dilambangkan dengan bintang bersudut lima yang terletak di tengah perisai yang
menggambarkan sinar Ilahi. Rantai yang merupakan rangkaian yang tidak terputus dari
bulatan dan persegi menggambarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, yang sekaligus
melambangkan monodualistik manusia Indonesia. Kebangsaan dilambangkan oleh pohon
beringin, sebagai tempat berlindung; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permu-syawarakatan/perwakilan dilambangkan dengan banteng yang
menggambarkan kekuat-an dan kedaulatan rakyat. Sedang Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia dilambangkan dengan kapas dan padi yang menggambarkan kesejah-
teraan dan kemakmuran.
Dengan gambaran tersebut, maka untuk dapat memahami lebih dalam makna Bhinneka
Tunggal Ika tidak dapat dipisahkan dari pemahaman makna dasar negara Pancasila
sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Dengan Pancasila sebagai pemersatu, bangsa Indonesia mampu menyelesaikan segala
perma-salahan yang dihadapinya guna mewujudkan dan memperkokoh persatuan dan
kesatuan bangsa atas dasar Bhinneka Tunggal Ika. Ciri kebhinnekaan merupakan kondisi
dan sifat bangsa Indonesia yang sudah ada, tumbuh dan berkembang sejak dahulu kala
sebagai bangsa yang majemuk (pluralistik) dan bukan bangsa yang monolitik.
C. Konsep dasar Bhinneka Tunggal Ika
Apabila direnungkan secara mendalam maka di dalam Bhinneka Tunggal Ika tercantum
konsep dasar yang dijadikan acuan bagi bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara.
Dalam rangka memahami konsep dasar dimaksud ada baiknya kita renungkan lambang
negara yang tidak terpisahkan dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Perlu kita mengadakan
refleksi terhadap lambang negara tersebut.

Bhinneka Tunggal Ika berisi konsep pluralistik dan multikulturalistik dalam kehidupan yang
terikat dalam suatu kesatuan. Pluralistik bukan pluralisme, suatu faham yang membiarkan
ke-anekaragaman seperti apa adanya. Membiarkan setiap entitas yang menunjukkan ke-
berbedaan tanpa peduli adanya common denominator pada keaneka-ragaman tersebut.
Dengan faham pluralisme tidak perlu adanya konsep yang mensubstitusi keanekaragaman.
Demikian pula halnya dengan faham multikulturalisme. Masyarakat yang menganut faham
pluralisme dan multi-kulturalisme, ibarat onggokan material bangunan yang dibiarkan
teronggok sendiri-sendiri, sehingga tidak akan membentuk suatu bangunan yang namanya
rumah.

Pluralisme berasal dari kata plural yang berarti banyak, adalah suatu faham yang mengakui
bahwa terdapat berbagai faham atau entitas yang tidak tergantung yang satu dari yang lain.
Masing-masing faham atau entitas berdiri sendiri tidak terikat satu sama lain, sehingga tidak
perlu adanya substansi pengganti yang mensubstitusi faham-faham atau berbagai entitas
tersebut. Salah satu contoh di Indonesia terdapat ratusan suku bangsa. Menurut faham
pluralisme setiap suku bangsa dibiarkan berdiri sendiri lepas yang satu dari yang lain, tidak
perlu adanya substansi lain, yang namanya bangsa, yang mereduksi eksistensi suku-suku
bangsa tersebut.
Pluralistik adalah sifat atau kualitas yang menggambarkan keanekaragaman; suatu penga-
kuan bahwa alam semesta tercipta dalam keaneka ragaman. Sebagai contoh bangsa
Indonesia mengakui bahwa Negara-bangsa Indonesia bersifat pluralistik, beraneka ragam
ditinjau dari suku-bangsanya, adat budayanya, bahasa ibunya, agama yang dipeluknya, dan
sebagainya. Hal ini merupakan suatu kenyataan atau keniscayaan dalam kehidupan bangsa
Indonesia. Keaneka ragaman ini harus didudukkan secara proporsional dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, harus dinilai sebagai asset bangsa, bukan sebagai faktor
penghalang kemajuan. Perlu kita cermati bahwa pluralistik ini merupakan sunnatullah.
Prinsip pluralistik dan multikulturalistik adalah asas yang mengakui adanya kemajemukan
bangsa dilihat dari segi agama, keyakinan, suku bangsa, adat budaya, keadaan daerah, dan
ras. Kemajemukan tersebut dihormati dan dihargai serta didudukkan dalam suatu prinsip
yang dapat mengikat keanekaragaman tersebut dalam kesatuan yang kokoh. Kemajemukan
bukan dikembangkan dan didorong menjadi faktor pemecah bangsa, tetapi merupakan
kekuatan yang dimiliki oleh masing-masing komponen bangsa, untuk selanjutnya diikat
secara sinerjik menjadi kekuatan pemersatu bangsa yang luar biasa guna dimanfaatkan
dalam menghadapi segala tantangan dan persoalan bangsa.

D. Prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika


Untuk dapat mengimplementasikan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara dipandang perlu untuk memahami secara mendalam prinsip-prinsip yang
terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut :
1. Dalam rangka membentuk kesatuan dari keanekaragaman tidak terjadi pembentukan
konsep baru dari keanekaragaman konsep-konsep yang terdapat pada unsur-unsur atau
komponen bangsa. Suatu contoh di negara tercinta ini terdapat aneka ragam agama dan
kepercayaan. Dengan ke-tunggalan Bhinneka Tunggal Ika tidak dimaksudkan untuk
membentuk agama baru. Setiap agama diakui seperti apa adanya, namun dalam kehidupan
beragama di Indonesia dicari common denominator, yakni prinsip-prinsip yang ditemui dari
setiap agama yang memiliki kesamaan, dan common denominator ini yang kita pegang
sebagai ke-tunggalan, untuk kemudian dipergunakan sebagai acuan dalam hidup berbangsa
dan bernegara. Demikian pula halnya dengan adat budaya daerah, tetap diakui eksistensinya
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berwawasan kebangsaan.

2. Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat sektarian dan eksklusif; hal ini bermakna bahwa
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dibenarkan merasa dirinya yang paling
benar, paling hebat, dan tidak mengakui harkat dan martabat pihak lain. Pandangan
sektarian dan eksklusif ini akan memicu terbentuknya “keakuan” yang berlebihan dengan
tidak atau kurang memperhitungkan pihak lain, memupuk kecurigaan, kecemburuan, dan
persaingan yang tidak sehat. Bhinneka Tunggal Ika bersifat inklusif yang bermakna
pengakuan keaneka-ragaman sebagai suatu kenyataan dalam hidup berbangsa dan
bernegara agar mengarah tumbuh kembangnya sikap kebersamaan, toleransi, kerjasama,
saling mempercayai dan memperhatikan pihak lain.

3. Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat formalistis tetapi dilandasi oleh sikap saling
mempercayai, saling menghormati, saling mencintai dalam hidup rukun dan damai. Hanya
dengan cara demikian maka keanekaragaman dapat dirangkai dalam persatuan kebangsaan.
4. Bhinneka Tunggal Ika bersifat konvergen tidak divergen, yang bermakna perbedaan yang
terjadi dalam keanekaragaman tidak untuk dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu, dalam
bentuk kesepakatan bersama. Hal ini akan terwujud apabila dilandasi oleh sikap toleran,
non sektarian, inklusif, akomodatif, gotong royong dalam hidup rukun dan damai.

Prinsip pluralistik dan multikultural Bhinneka Tunggal Ika mengandung nilai antara lain :
(1) toleransi, (2) inklusif, (3) damai dan keber-samaan, (4) setara. Nilai-nilai tersebut tidak
menghendaki sifat yang tertutup atau eksklusif sehingga memungkinkan mengakomodasi
keanekaragaman budaya bangsa dan menghadapi arus globalisasi. Sifat terbuka yang terarah
merupakan syarat bagi berkembangnya masyarakat modern. Sehingga keterbukaan dan
berdiri sama tinggi serta duduk sama rendah, memungkinkan terbentuknya masyarakat
yang pluralistik secara ko-eksistensi, saling hormat menghormati, tidak merasa dirinya yang
paling benar dan tidak memaksakan kehendak yang menjadi keyakinannya kepada pihak
lain. Dalam kehidupan bernegara segala peraturan perundang-undangan khususnya
peraturan daerah harus mampu mengakomodasi masyarakat yang pluralistik dan
multikutural, dengan tetap berpegang teguh pada dasar negara Pancasila dan UUD 1945.
Suatu peraturan perundang-undangan, utamanya peraturan daerah yang memberi peluang
terjadinya perpecahan bangsa, atau yang semata-mata untuk mengakomodasi kepentingan
suku bangsa, atau agama tertentu harus dihindari. Suatu contoh persyaratan untuk jabatan
daerah harus dari putra daerah, menggambarkan sempitnya kesadaran nasional yang
semata-mata untuk memenuhi aspirasi kedaerahan, yang akan mengundang terjadinya
perpecahan. Hal ini tidak mencerminkan penerapan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Dengan
menerapkan nilai-nilai tersebut secara konsisten akan terwujud masyarakat yang damai,
aman, tertib, teratur, sehingga kesejahteraan dan keadilan akan terwujud.

E. Implementasi Bhineka Tunggal Ika


Setelah kita fahami konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika,
maka langkah selanjutnya adalah bagaimana konsep, prinsip dan nilai yang terkandung
dalam Bhinneka Tunggal Ika ini diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
1. Perilaku inklusif.
Di depan telah dikemukakan bahwa salah satu prinsip yang terkandung dalam Bhinneka
Tunggal Ika adalah sikap inklusif. Dalam kehidupan bersama yang menerapkan sem-boyan
Bhinneka Tunggal Ika memandang bahwa seseorang baik sebagai individu atau kelompok
masyarakat merasa dirinya merupakan bagian dari kesatuan masyarakat yang lebih luas.
Betapapun besar dan penting kelompoknya dalam kehidupan bersama tetapi tidak
memandang rendah dan menyepelekan kelom-pok yang lain, masing-masing memiliki peran
yang bermakna dan tidak dapat diabaikan dalam kehidupan bersama.
2. Mengakomodasi sifat pluralistik
Bangsa Indonesia sangat pluralistik ditinjau dari keragaman agama yang dipeluk oleh
masya-rakat, aneka adat budaya yang berkembang di daerah, suku bangsa dengan
bahasanya masing-masing, dan menempati ribuan pulau yang terpisah-pisah. Tanpa
memahami makna pluralistik dan bagaimana cara mewujudkan persatuan dalam
keanekaragaman secara tepat, akan dapat dengan mudah terjadi disintegrasi bangsa. Sifat
toleran, saling menghormati, mendudukkan masing-masing pihak sesuai dengan peran,
harkat dan martabatnya secara tepat, tidak memandang remeh pada pihak lain, apalagi
menghapus eksistensi kelompok dari kehidupan bersama, merupakan syarat bagi lestarinya
negara-bangsa Indonesia. Kerukunan hidup perlu dikembangkan dengan sepatutnya. Suatu
contoh sebelum terjadi reformasi, di Ambon berlaku suatu pola kehidupan bersama yang
disebut pela gandong, suatu pola kehidupan masyarakat yang tidak melandaskan diri pada
agama, tetapi semata-mata pada kehidupan bersama dalam wilayah tertentu. Pemeluk
berbagai agama hidup sangat rukun, bantu membantu dalam kegiatan yang tidak bersifat
ritual keagamaan. Mereka tidak membedakan suku-suku yang berdiam di wilayah tersebut,
dan sebagainya. Sayangnya dengan proses reformasi yang mengusung kebebasan, pola
kehidupan masyarakat yang demikian ideal ini nampak menjadi lemah.
3. Tidak mencari menangnya sendiri
Menghormati pendapat pihak lain, dengan tidak beranggapan bahwa pendapatnya sendiri
yang paling benar, dirinya atau kelompoknya yang paling hebat perlu diatur dalam
menerapkan Bhinneka Tunggal Ika. Dapat menerima dan memberi pendapat merupakan hal
yang harus berkembang dalam kehidupan yang beragam. Perbedaan ini tidak untuk dibesar-
besarkan, tetapi dicari titik temu. Bukan dikembangkan divergensi, tetapi yang harus
diusahakan adalah terwujudnya konvergensi dari berbagai keaneka-ragaman. Untuk itu
perlu dikem-bangkan musyawarah untuk mencapai mufakat.
4. Musyawarah untuk mencapai mufakat
Dalam rangka membentuk kesatuan dalam keanekaragaman diterapkan pendekatan
“musyawarah untuk mencapai mufakat.” Bukan pendapat sendiri yang harus dijadikan
kesepakatan bersama, tetapi common denominator, yakni inti kesamaan yang dipilih
sebagai kesepakatan bersama. Hal ini hanya akan tercapai dengan proses musyawarah untuk
mencapai mufakat. Dengan cara ini segala gagasan yang timbul diakomodasi dalam
kesepakatan bersama. Tidak ada yang menang tidak ada yang kalah.
5. Dilandasi rasa kasih sayang dan rela berkorban
Dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara perlu
dilandasi oleh rasa kasih sayang. Saling mencurigai harus dibuang, saling mempercayai
harus dikembangkan. Hal ini akan berlangsung apabila pelaksanaan Bhinneka Tunggal Ika
diterapkan dengan ungkapan: “leladi sesame-ning dumadi, sepi ing pamrih, rame ing gawe.”
Artinya eksistensi kita di dunia adalah untuk memberikan pelayanan kepada sesama,
bekerja keras tanpa kepentingan pribadi atau golongan.
Bila setiap warganegara memahami makna Bhinneka Tunggal Ika dan mau meng-
implementasikan secara tepat dan benar, maka Negara Kesatuan Republik Indonesia akan
tetap utuh, kokoh dan bersatu selamanya

F. Faktor-faktor yang mempengaruhi

Bangsa Indonesia kini hidup dalam zaman globalisasi yang mencanangkan perdagangan
bebas antar negara, bahkan diembus-embuskan negara tanpa batas. Perdagangan dapat
keluar dan masuk ke mana saja sesuai dengan cita-cita penganjur perdagangan bebas yaitu
negara-negara dengan falsafah kapitalistik. Dalam hubungan ini bangsa Indonesia telah
merasakan kekejaman dari negara yang menganut faham kapitalisme. Globalisasi harus
dipandang dan disikapi penuh kewaspadaan agar supaya bangsa Indonesia tidak terpecah
hanya karena terpengaruh kepentingan materi dan mengenyampingkan nilai-nilai spiritual
bangsa Indonesia.

Di bidang politik globalisasi menganjurkan pelaksanaan hak-hak asasi manusia (HAM) yang
dilaksanakan kebablasan (melampaui batas) sehingga tidak menimbulkan rasa hormat
kepada hak-hak asasi manusia tanpa mengingat budaya bangsa tetapi justru HAM
dilaksanakan sebagai hak menurut tafsirannya sendiri. Multipartai politik dianjurkan
sebagai perwujudan demokrasi yang dalam prakteknya tidak membentuk suatu sistem
politik untuk kesejahteraan rakyat, melainkan untuk kepentingan individu atau golongannya
sendiri.

Akibatnya mereka menjadi elite politik yang terpisah dari kehidupan masyarakat dan tidak
berorientasi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Demokrasi dianggap berhasil asal
secara prosedural sudah dipenuhi. Demokrasi dianggap berjalan sukses apabila pimpinan
negara dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Demokrasi prosedural
tidak peduli atas kesejahteraan rakyat. Demokrasi seperti itu berlawanan dengan demokrasi
Indonesia seperti yang tertera dalam sila keempat Pancasila, yaitu kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. Musyawarah mufakat
dinaungi oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/ Perwakilan mulai
ditinggalkan.

Dengan teknologi yang semakin canggih penetrasi kebudayaan asing seakan-akan tidak
terbendung, namun kalau rasa kebangsaan Indonesia, semangat patriotisme, semangat
kepribadian bangsa tetap kuat, maka pengaruh budaya asing tersebut dapat disaring mana
yang merugikan dan mana yang menguntungkan bagi peningkatan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pe-ngaruh-pengaruh seperti inilah yang harus
diwaspadai dan ditangkal melalui persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh/kuat.
Di samping kekuatan dan ancaman globalisasi maka setiap peluang yang ada harus
ditangkap dan dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia untuk kesejahteraan bangsa. Ancaman
dan gangguan dari segi ekonomi telah mulai terasa dengan memberi kesempatan
beroperasinya pasar bebas (free market) yang menghendaki peranan negara sesedikit
mungkin, yang tidak akan pernah cocok dengan semangat sila kelima yaitu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam mekanisme ekonomi pasar terjadi persaingan yang
saling mematikan sehingga yang tidak mampu bersaing akan terlempar dari pasar,
sedangkan bagi ekonomi Pancasila persaingan harus saling menghidupi, apabila mekanisme
pasar di biarkan tumbuh mengatur perekonomian bangsa Indonesia. Usaha kecil dan besar
tetap hidup guna memenuhi kebutuhan masyarakat, yang kuat justru mengayomi dan
menghidupi yang lemah. Oleh karena itu dalam kehidupan bangsa Indonesia tidak
dikehendaki adanya monopoli, oligopoly, kartel, dan trust. Inilah faktor-faktor yang
mempengaruhi implementasi Pancasila sebagai pemersatu bangsa.

Pancasila sebagai pemersatu bangsa harus tetap dilaksanakan di segala aspek kehidupan
bangsa terus menerus agar supaya dapat membentengi bangsa Indonesia dari berbagai
pengaruh globalisasi.

G. Kesimpulan
Para founding fathers dengan arif bijaksana mengakomodasi kemajemukan bangsa dengan
suatu rumusan yang tertera dalam Penjelasan UUD 1945 sebagai berikut:
Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat
Indonesia seluruhnya.
Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah di
seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju
ke arah kemajuan adab, budaya, persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari
kebudayaan asing yang dapat mem-perkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa
sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
Rumusan yang terdapat dalam Penjelasan UUD 1945 adalah sebagai prinsip dalam
mengakomodasi keanekaragaman budaya bangsa dan dalam mengantisipasi timbulnya
perpecahan bangsa dan mengantisipasi globalisasi yang mengusung nilai-nilai yang
bertentangan dengan nilai budaya bangsa Indonesia. Semoga dengan berpegang teguh pada
konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika,
Negara Kesatuan Republik Indonesia makin kokoh dan makin berkibar sepanjang masa.

BAB VII

PANCASILA SEBAGAI FILSAFAT


A. Makna Pancasila sebagai Filsafat

ntuk memahami Pancasila sebagai suatu “Filsafat”, harus dipahami terlebih dahulu garis
besar makna filsafat dalam kehidupan manusia termasuk dalam kehidupan ber-bangsa dan
bernegara. Sedangkan dalam hal “Pancasila dimaknai sebagai suatu Filsafat”, dimaksud-kan
bahwa Pancasila dipahami dari suatu hasil pe-renungan yang mendalam mengenai
kehidupan berbangsa dan bernegara dan merupakan sistem pemikiran tersendiri atau
sebagai suatu sistem filsafat.

1. Makna Filsafat

Ditinjau dari segi asal katanya atau etimologinya, kata filsafat berasal dari kata bahasa Arab
dan Persia falsafah atau dari kata bahasa Inggris philosophy, yang diturunkan dari kata
bahasa Yunani philosophia. Philosophia terdiri dari kata philien yang berarti “mencintai”
dan kata sophos yang berarti “kebijaksanaan”; atau philia yang berarti “cinta” dan sophia
yang berarti “kearifan” atau “pandai”. Philien sophos yang kemudian menjadi kata filsafat
dalam bahasa Indonesia, dapat dimaknai sebagai suatu “usaha untuk mencari keutamaan
mental atau akal budi, kehendak dan perasaan”, lalu dalam perkem-bangannya menjadi
philia sophia yang bermakna cinta kearifan atau cinta keutamaan dan kebenaran.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Kedua, 1995, kata “filsafat” diartikan
sebagai “pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada,
sebab, akal dan hukumnya”; atau “teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan”;
atau “ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi”; atau “falsafah”.

Sementara itu dalam KBBI juga, kata “falsafah” diartikan sebagai “anggapan, gagasan dan
sikap batin yang paling dasar yang dimiliki orang atau masyarakat” atau “pandangan hidup”;
sedangkan kata “berfalsafah” diartikan sebagai “memikirkan dalam-dalam (tentang sesuatu)”
atau “mengung-kapkan pemikiran-pemikiran yang dalam yang dijadikan pandangan hidup”.
Selanjutnya untuk lebih memahami masalahnya, kata “filsafat” dapat dikatakan sebagai
suatu studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis yang
dijelaskan secara mendasar dalam konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan nilai-nilai yang
esensial.

Filsafat tidak didalami dengan melakukan berbagai macam eksperimen dan percobaan,
tetapi dilakukan dengan mengutarakan masalahnya secara jelas dan tepat, melalui cara
dialogik-dialektik-eklektik dalam mencari jawaban atau solusi tentang sesuatu, dan
memberikan argumentasi serta alasan yang tepat. Akhir dari setiap proses tersebut
dimasukkan ke dalam sebuah proses berikutnya dengan selalu berusaha untuk terus
menerus mendalami permasalahannya secara logis dengan menggunakan logika.
Hal itu membuat filsafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi tertentu berciri eksak di sisi
lainnya tetap secara khas filsafati, yaitu spekulasi, keraguan, rasa penasaran, ketertarikan
dan kuriositas serta selalu mempertanyakan. Selanjutnya filsafat juga bisa diartikan sebagai
perjalanan pemikiran menuju sesuatu makna tentang sesuatu yang paling dalam, sesuatu
yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain, dengan sikap skeptis yang selalu
meragukan, mempertanyakan dan mempersoalkan segala macam fenomena yang ada.

Ditinjau dari segi terminologinya, makna filsafat dapat dikelompokkan menjadi (1) Filsafat
sebagai produk; dan (2) Filsafat sebagai proses.

Filsafat sebagai produk merupakan jenis pengetahuan, ilmu, konsep pemikiran dari hasil
usaha perenungan dan pemikiran para filsuf, ahli filsafat atau orang yang berfilsafat.
Sedangkan filsafat sebagai produk biasanya disebut sebagai suatu aliran filsafat atau sistem
filsafat tertentu, misalnya Idealisme, Materialisme, Liberalisme, Individualisme, Sosialisme,
Komunisme, Panca-sila, dan lain sebagainya. Termasuk dalam kelompok ini adalah
problema yang dihadapi manusia sebagai hasil usaha para pemikir terdahulu dalam mencari
kebenaran dengan lebih banyak menggunakan akal penalaran yang logis.

Filsafat sebagai suatu proses adalah proses kegiatan manusia dalam usahanya mencari
pemecahan masalah hidup dengan menggunakan metode dan cara tertentu sesuai dengan
permasalahannya. Dalam hal ini filsafat meru-pakan suatu sistem ilmu pengetahuan, yang
harus dibangun terus menerus secara mentradisi.

Dalam tradisi membangun filsafat biasanya berkembang sesuai dengan latar belakang buda-
ya, bahasa, bahkan agama tempat tradisi filsafat itu dibangun. Oleh karenanya orang lalu
mengadakan klasifikasi filsafat didasarkan tempat tradisi filsafat tersebut dibangun. Maka
dikenal adanya Filsafat Barat, Filsafat Timur, Filsafat Timur Tengah, Filsafat Cina, Filsafat
India, Filsafat Budha, Filsafat Hindu, Filasafat Islam, Filsafat Kristen dan lain sebagainya.
Dengan demikian, kiranya Pancasila dapat dikatakan sebagai Filsafat Indonesia, karena
digali, dibangun dan dikembangkan dalam tradisi Indonesia, diawali sejak pemikiran
persiapan kemerdekaan bangsa hingga saat ini.

Khusus mengenai membangun tradisi kefilsafatan Indonesia, Pancasila, dewasa ini dapat
dikatakan masih tersebar di beberapa perguruan tinggi dan lembaga-lembaga
kemasyarakatan yang masing-masing belum menyatu dalam suatu dialog menuju soliditas
tradisi filsafati. Dapat dikemukakan di sini sebagai suatu misal antara lain adalah
Laboratorium Pancasila di Universitas Negeri Malang, Pusat Studi Pancasila Universitas
Gajah Mada di Yogyakarta. Di samping itu tentunya di Perguruan-perguruan tinggi yang
memberikan pembelajaran filsafat seperti antara lain Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di
Jakarta dan tentunya Universitas/Perguruan Tinggi/Pendidikan Tinggi keagamaan yang
berada di seluruh Indonesia. Sedangkan usaha konsolidasi di antara mereka nampaknya
sementara ini dipelopori oleh beberapa perguruan tinggi untuk mengadakan Kongres
Pancasila.

2. Makna Filsafat Pancasila

Dapatkah Pancasila dibangun dan berkembang sebagai suatu Tradisi Filsafat Indonesia,
sementara dewasa ini menyebut Pancasila saja orang enggan, utamanya dalam orasi atau
pidato para pimpinan pemerintahan dan negara termasuk para politisinya.

Berdasarkan kenyataan sejarah bangsa Indonesia, Pancasila merupakan hasil perenungan


jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh the founding fathers bangsa Indonesia, yang
dituangkan dalam suatu sistem pemikiran, yang diusulkan dalam sidang BPUPKI pada
tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945 untuk dijadikan dasar negara yang akan didirikan. Sebagai
hasil proses perenungan yang dalam dan panjang, kiranya Pancasila jelas dapat
dikualifikasikan sebagai suatu filsafat yang dikembangkan oleh bangsa Indonesia sendiri
dalam membangun diri, bangsa dan negaranya.

Dalam membangun Pancasila sebagai Filsafat, Pancasila jelas merupakan filsafat dalam arti
produk. Selanjutnya perlu dipahami bahwa sebagai filsafat, hasil perenungan atau hasil
berfilsafat, maka Pancasila dapat dimasukkan dalam kategori genetivus subyektivus. Dalam
hal ini, Pancasila bermakna sebagai subyek yang memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana
orang sebaiknya harus bersikap, berbuat dan bertindak dalam berbagai aspek kehidupan. Di
sini Pancasila berfungsi sebagai subyek yang memberikan pedoman dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, yang secara definitif sudah ditetapkan sebagai dasar negara pada
tanggal 18 Agustus 1945 saat disahkannya UUD 1945. Oleh karenanya bagi bangsa Indonesia,
Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup, ideologi bangsa, dikatakan sebagai
produk yang sudah final, dalam arti tidak dapat diubah.

Di lain pihak, Pancasila sebagai suatu fenomena kehidupan, oleh para pemikir filsafat,
kiranya dapat juga ditempatkan dalam kategori genitivus obyektivus. Dalam hal ini,
Pancasila dijadikan obyek yang dibahas, dikaji, ditelaah, diteliti dan digali untuk dicari
hakikat kebenarannya yang terdalam. Pada sisi ini di satu pihak dapat menghasilkan
penguatan kebenarannya, namun di sisi lain dapat pula melemahkannya. Kesemuanya itu
sangat ditentukan oleh faktor yang berada di luar Pancasila itu sendiri, yaitu faktor
pemikirnya, dan khususnya faktor tekad, komitmen dan semangat pendukungnya dalam
memahami, menghayati dan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Menempatkan Pancasila dalam kategori genetivus obyektivus ini
sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan, karena Pancasila dalam perkembangannya
dinyatakan juga sebagai ideologi terbuka.

Dalam perkembangan membangun Tradisi Filsafat Pancasila, dikatakan bahwa Pancasila


merupakan suatu Sistem Filsafat, dalam arti Pancasila ditinjau dari segi kesisteman,
merupakan satu sistem, yang secara nalar dapat dibenarkan dan diterima.

Dari segi kesisteman, sesuatu dikatakan sebagai suatu ”sistem” apabila, ”sesuatu” itu
merupakan suatu kesatuan dari bagian-bagiannya, atau apabila bagian-bagian dari ”sesuatu”
tersebut merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Setiap bagian mempunyai fungsi
masing-masing secara tersendiri yang saling mendukung, saling bergantung dan saling
berhubungan satu terhadap yang lain untuk mencapai tujuan bersama atau tujuan
dari ”sistem” tersebut. Apabila Pancasila dapat memenuhi ketentuan tersebut, tentunya
Pancasila dapat dikatakan sebagai suatu sistem (filsafat).

Berdasarkan tinjauan dari segi kesisteman, dapat dikatakan bahwa Pancasila terdiri atas
lima sila, yang masing-masing silanya sebagai bagian yang tidak terpisahkan satu dengan
yang lain secara bulat dan utuh. Pada hakikatnya setiap sila merupakan suatu prinsip, asas
dan mempunyai fungsi masing-masing, yang secara keseluruhan mewujudkan suatu
kesatuan yang sistematis tidak terpisahkan satu dengan yang lain. Susunan kesatuan sila-sila
dari Pancasila tersebut bersifat organis, hierarkhis berbentuk piramidal yang solid, yang
masing-masing silanya mengandung pemahaman makna dari setiap sila lainnya, yang
masing-masing saling mengisi dan saling menguatkan dalam mengaktualisasikan dirinya
secara kuat terintegrasi. Dengan demikian Pancasila sebagai dasar negara dapat dikatakan
juga sebagai suatu sistem filsafat yang merupakan dasar filsafat negara dan peradaban
bangsa.

Selanjutnya dapat dikemukakan bahwa Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada
hakikatnya mengandung suatu konsep, prinsip dan nilai, yang dijadikan sumber dari segala
sumber hukum.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sila-sila dari Pancasila pada hakikatnya bukan saja
merupakan kesatuan yang bersifat formal logis, namun sekaligus juga merupakan kesatuan
dasar ontologis, dasar epis-temologis, dan dasar aksiologis.
Setelah memahami Pancasila sebagai Filsafat, kiranya kini Pancasila perlu dikaji untuk
mengung-kapkan, memahami dan meyakini kebenaran Filsafat Pancasila dari segi
penelaahan dasar filsafat. Penelaahan dasar filsafat dimaksudkan di sini adalah menelaah
Pancasila dari segi filsafat ontologi, epistemologi dan dari segi aksiologi.
Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai bagian dari ilmu metafisika yang
mendalami masalah esensi segala sesuatu atau kehidupan. Concise Oxford Dictionary (COD)
mwemberikan makna ontologi: department of metaphysics concerned with things or beings.
Jelasnya ontologi mempelajari kenyataan yang ada secara kritis membahas keberadaan
sesuatu yang bersifat konkret. Dalam membahas Filsafat Pancasila secara ontologis, ternyata
dari kelahirannya pada tanggal 1 Juni 1945, yang dapat dikatakan sebagai awal
keberadaannya, Pancasila merupakan wujud manifestasi usaha perjuangan manusia
Indonesia untuk mengem-balikan kemanusiaannya, kehidupan-nya dan kebebasannya
sesuai dengan kodrat, harkat dan martabatnya sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dari kelahirannya dapat dipahami bahwa keberadaan Pancasila berpusat pada manusia.
Dari konsep dan prinsip yang terkandung di dalam Pancasila, jelaslah bahwa manusia yang
menjadi pusat keberadaanya itu mengaku dirinya dengan segala kodrat, harkatnya dan
martabatnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. yang berusaha
mengembangkan kehidupan dan kemanusiaannya secara adil dan beradab, dalam suasana
persatuan bangsanya secara rukun bergotongroyong mewujudkan kesejahteraan secara adil
dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selanjutnya dalam menelaah Pancasila dari segi epistemologi, dapat dikatakan bahwa
epistemologi secara mudahnya dapat dipahami sebagai teori tentang metode atau dasar dari
pengetahuan. Menurut COD epistemologi diberi makna theory of the method or grounds of
knowledge. Jelasnya epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki sumber, proses,
syarat terjadinya, serta makna dan nilai ilmu pengetahuan. Pancasila sebagai sistem filsafat
pada hakikatnya juga merupakan suatu sistem pengetahuan, yang dapat dijadikan pedoman
bangsa Indonesia untuk memahami realitas alam semesta, masyarakat, bangsa dan
negaranya guna mendapatkan makna hidup dan kehidupannya. Di samping itu, Pancasila
juga dapat dijadikan pegangan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hidup
dan kehidupannya. Dengan demikian Pancasila dapat dikatakan menjadi sistem cita-cita dan
keyakinan, sehingga sekaligus menjadi ideologi yang mengandung logos, pathos, dan ethos.
Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan dikatakan mengandung logos, sebab dalam
wujud dirinya merupakan logos (bahasa Yunani) yang bermakna sebagai kata, wacana,
ucapan, diskursus, yang sebagai pengetahuan mempunyai dasar alasan dan penalaran yang
logis serta dapat diterima.
Di samping mengandung logos, Pancasila dikatakan juga mengandung pathos (bahasa
Yunani) yang bermakna sebagai perasaan, emosi, pengalaman yang menyentuh hati atau
menyedihkan (bahasa Jawa trenyuh). Memang Pancasila saat dilahirkannya diucapkan
dengan penuh perasaan dan kegairahan yang dalam oleh penggalinya, karena sebenarnyalah
Pancasila merupakan soliditas perasaan, pemikiran dan kehendak hati yang terdalam dari
penggalinya untuk membawa bangsanya terlepas bebas dari penjajahan, kebodohan,
ketertinggalan dan kemiskinan. Bukan saja saat dilahirkan me-ngandung pathos dalam diri
yang mengucapkan, tetapi juga menimbulkan pathos bagi pendengarnya, sehingga saat itu,
saat diucapkan untuk ditawarkan sebagai dasar negara, mendapat sambutan tepuk tangan
yang sangat menggairahkan dan serta merta diterima sebagai suatu solusi dari
permasalahan yang ada saat itu. Penggalinya benar-benar mampu dan kompeten
memanfaatkan pathos, dalam arti teknik komunikasi dalam retorika, berhasil mengung-
kapkan pathos dirinya dan menggugah pen-dengarnya.
Selanjutnya Pancasila sebagai suatu pengetahuan dikatakan mengandung ethos (bahasa
Yunani) yang semula bermakna sebagai habitat kuda, kebiasaan, adat-istiadat, dan moral,
yang dalam perkembangan kemudian maknanya mengacu pada semangat yang memotivasi
ide-ide dan adat-istiadat. Ethos umum masyarakat menguasai dan menentukan perilaku
para politisinya. The general ethos of the people they have to govern determines the behavior
of politicians (T.S Eliot dalam The idea of a Christian society,1940). Bukankah Pancasila
sejak diucapkan dan dilahirkan telah menunjukkan ethosnya yang terkandung di dalamnya
dan mampu memicu dan memacu semangat para founding fathers untuk mendirikan negara
berdasarkan Pancasila dan mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negara yang telah
diproklamasikan.
Penelaahan Pancasila dari segi aksiologi, yang bermakna menelaah Pancasila dari segi teori
nilai (bahasa Yunani; Axion berarti nilai dan logos berarti ilmu atau teori). Dapat dikatakan
bahwa terhadap Pancasila dipertanyakan tentang nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan konsep asli Indonesia, yang
diturunkan dari konsep ketuhanan secara universal, dijadikan dasar kehidupan berbangsa
dan bernegara. Dalam sila ini pemahamannya bukan agama yang dijadikan dasar kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” dirumuskan dalam konteks
membangun kehi-dupan negara bangsa Indonesia yang berarti membangun kehidupan
politik, karena suatu negara bangsa adalah makhluk politik, makhluk dalam ranah politik.
Oleh karena itu Sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa sebenarnyalah merupakan suatu prinsip
politik, bukan suatu prinsip teologis. Dengan demikian implikasi dari Sila tersebut ialah
bahwa negara bangsa Indonesia mengakui dan melindungi kemajemukan agama di
Indonesia; Negara tidak menilai “isi” dari suatu agama. Penganut agama apa pun wajib
bersatu untuk membangun negara bangsa. Hal ini sangat jelas dari ajakan Ir. Soekarno
dalam pidato “Lahirnya Pancasila”. Dalam Ketuhanan Yang Maha Esa dimungkinkan secara
kondusif setiap umat beragama bebas memeluk agamanya masing-masing dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dalam sila ini terkandung konsep religiositas. Kata religiositas
diturunkan dari bahasa Latin antara lain mengandung arti relasi. Relasi yang dimaksud
dalam sila ini adalah hubungan antara manusia dengan Tuhan, antara manusia dengan
sesamanya, antara manusia dengan alam, dan antara manusia dengan dirinya sendiri. Relasi
tersebut harus dijiwai dengan semangat kemanusiaan yang adil dan beradab, dalam suasana
kehidupan yang bersatu saling menerima dan dialog dengan sesamanya dalam rangka
mencapai kesejahteraan bersama secara berkeadilan.
Dengan jelas dan tegas Bung Karno menjelaskan prinsip ketuhanan sebagai berikut :
Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang
Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut
petunjuk Isa Almasih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Mohamad s.a.w., orang
Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita
semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya
dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-
Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara
Indonesia satu negara yang bertuhan.”
Selanjutnya galilah nilai-nilai yang terkandung di dalam sila-sila lainnya, yang sebenarnya
nilai-nilai tersebut semuanya menyatu menjiwai bangsa Indonesia mengembangkan dirinya
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemudian kiranya perlulah juga ditinjau fungsi
dan peran Pancasila sebagai Filsafat Indonesia.
B. Fungsi dan Peran Pancasila sebagai Filsafat

1. Fungsi dan Peran Filsafat dalam Kehidu-pan

Fungsi dan peran filsafat dalam kehidupan manusia bisa dirunut dari asal filsafat itu sendiri.
Filsafat lahir dalam kehidupan karena manusia dalam kehidupannya penuh keheranan,
kesangsian dan kesadaran akan keterbatasannya dalam memahami keberadaan segala
sesuatu yang ada. Dalam usaha manusia untuk mencari jawaban terhadap hal-hal tersebut
nampaknya dengan (ilmu) pengetahuan yang dimiliki manusia sejak dahulu sampai kapan
pun tidak pernah akan dapat memperoleh jawaban yang memuaskan, maka manusia selalu
berusaha mencari kebenaran dari adanya segala sesuatu. Dalam berusaha mencari
kebenaran tersebut maka manusia berfilsafat, selalu mempertanyakan atau mencari jawaban
atas keheranan, kesangsian dan kesadaran akan keterbatasannya yang ada pada dirinya.
Setiap saat mendapat jawaban atas berbagai hal yang dipertanyakan, saat itulah manusia
dikatakan mampu mendobrak keluar dari persoalan yang dipertanyakan. Manusia yang
berkepanjangan terlena dalam kehidupan alam mistik yang penuh hal-hal serba rahasia
didobrak manusia yang berfilsafat dengan usaha pemikiran yang mempertanyakan segala
yang ada dengan cara yang penuh rasional. Sekaligus dalam keadaan tersebut manusia
terbebas dari kehidupan yang mistis, tradisional dan kebodohan. Dengan berfilsafat manusia
membebaskan diri dari cara berpikir yang mistik, mitis (bersifat mitos) dan membimbing
manusia untuk berpikir secara rasional dan mencintai kebijaksanaan. Membebaskan
manusia dari cara berpikir yang picik dan dangkal serta membimbing untuk berpikir lebih
luas dan mendalam.
Secara singkat dan dalam garis besarnya dapat kiranya dipahami bahwa filsafat dalam
kehidupan manusia berfungsi sebagai berfikir yang mendalam untuk mencari kebenaran
yang hakiki tentang segala sesuatu yang ada dan yang dihadapi manusia. Sedangkan
perannya sebagai pendobrak, pembebas dari persoalan kehidupan yang dialami saat tertentu
dan pembimbing untuk berpikir lebih luas dan mendalam yang penuh kebijaksanaan.
2. Fungsi dan Peran Filsafat Pancasila

Untuk memahami fungsi dan peran Pancasila sebagai filsafat, perlu dikemukakan terlebih
dahulu bahwa setiap menyebutkan Pancasila, maka yang dimaksudkan adalah Pancasila
sebagai filsafat, kecuali diberikan penjelasan lain. Sedangkan fungsi dan peran yang secara
teoritik timbul setelah diketahui adanya status, maka dapat dibayangkan dalam memahami
fungsi dan peran Pancasila selalu mengacu pada bidang dan atau situasi tertentu, tempat
atau kedudukan status Pancasila diwacanakan atau didis-kursuskan.
Sebelum Pancasila diwacanakan dalam rapat-rapat di BPUPKI pada 29 Mei – 1 Juni 1945,
secara hipotetik kesejarahan, diyakini butir-butir yang menjadi faktor pembentuk Pancasila
telah berkembang meluas di berbagai suku bangsa di seluruh pelosok nusantara. Faktor
pembentuk Pancasila tersebut dikenal sebagai kebiasaan, adat-istiadat dan hukum adat suku
bangsa setempat, yang dijadikan pegangan hidup masyarakatnya masing-masing. Kebiasaan,
adat-istiadat dan hukum adat suku bangsa atau masyarakat setempat tersebut dihayati,
diamalkan dan dijaga penegakannya secara konsisten, yang akhirnya tanpa disadari secara
formal solid membulat menjadi pandangan hidupnya atau menjadi falsafah hidup masya-
rakatnya.
C. Van Vollenhoven secara hipotetis mem-bagi lingkungan hukum adat Indonesia menjadi
19 lingkungan sebagai berikut: (1) Aceh; (2) Tanah Gayo, Alas, dan Batak; (3) Daerah
Minangkabau; (4) Sumatera Selatan: (5) Daerah Melayu; (6) Bangka dan Belitung; (7)
Kalimantan; (8) Minahasa; (9) Gorontalo; (10) Daerah/Tanah Toraja; (11) Sulawesi Selatan;
(12) Kepulauan Ternate; (13) Maluku-Ambon; (14) Irian; (15) Kepulauan Timor; (16) Bali
dan Lombok; (17) Bagian Tengah Jawa dan Jawa Timur termasuk Madura; (18) Daerah
Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta; dan (19) Jawa Barat.
Menurut para ahli hukum adat, meskipun kebiasaan dan adat-istiadat hidup dalam berbagai
lingkungan hukum adat, pada umumnya hukum adat Indonesia mempunyai kesamaan corak,
yaitu bercorak: religius magis, komunal kemasyarakatan, demokrasi, kontan (dilaksanakan
saat itu juga) dan konkrit. Pada umumnya hukum adat Indonesia meliputi Hukum
Perorangan; Hukum Kekeluargaan; Hukum Perkawinan; Hukum Harta Perkawinan;
Hukum Adat Waris; Hukum Hutang Piutang; Hukum Tanah; dan Hukum Perjanjian dan
lain-lain.
Dari kebiasaan, adat-istiadat, hukum adat dan pandangan hidup masyarakat suku-bangsa
yang tersebar di seluruh tanah air tersebut diangkatlah butir-butir yang mempunyai
kesamaan watak untuk dijadikan faktor pembentuk pandangan hidup bangsa. Jelasnya
hukum adat dan pandangan hidup yang mempunyai kesamaan watak dijadikan ”common
denominator” dan faktor pembentuk pandangan hidup bangsa dalam makna falsafah bangsa
yang kemudian ditetapkan dengan sebutan Pancasila.
Pancasila sebagai falsafah atau pandangan hidup yang oleh founding fathers ditetapkan
menjadi dasar negara, fondasi berdirinya negara bangsa Indonesia yang dinamakan Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diprokla-masikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Oleh
penggalinya dijelaskan saat itu dengan penuh pathos (penuh perasaan) serta diliputi ethos
(semangat) yang solid sebagai berikut: ”Philosofische grondslag dari pada Indonesia
Merdeka. Philosofische grondslag itulah pundamen, filsafat, pikiran-yang-sedalam-dalam-
nya, jiwa, hasrat-yang-sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia
Merdeka yang kekal dan abadi.”
Dalam kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, jelaslah fungsi Pancasila
sebagai dasar filosofi, sebagai fundamen, sebagai filsafat, sebagai pikiran yang sedalam-
dalamnya, seba-gai jiwa dan sebagai hasrat dalam mendirikan Indonesia Merdeka yang
kekal dan abadi.
Dari deskripsi secara singkat tersebut, kiranya dapat dipahami bahwa Pancasila sebagai
Filsafat berfungsi sebagai pendobrak dari kehidupan tradisional yang terkekang secara nyata,
baik fisik maupun non fisik, sebagai pembebas dari pemikiran dan kehidupan terjajah, dan
sekaligus Pancasila menjadi pembimbing kehidupan manusia Indonesia. Dengan landasan
pendekatan Filsafat Pancasila, selayaknya bangsa Indonesia harus selalu mempertanyakan
dan memahami keberadaannya. Kehidupan yang dialaminya telah mampu mendobrak dan
membebaskan diri dari persoalan bangsa dan negara atau tetap terkungkung oleh kekangan
persoalan yang dihadapinya. Dengan Filsafat Pancasila, bangsa Indonesia harus mampu
mengembangkan dirinya menuju kehidupan bernegara yang dipenuhi oleh kecerdasan
kehidupan bangsa, sehingga tidak ada seorang pun yang tertinggal dalam penjara kehidupan
yang diliputi kebodohan dan kemiskinan.
C. Implementasi Pancasila sebagai Filsafat

Implementasi Pancasila sebagai Filsafat yang dimaksudkan di sini adalah menjadikan


Filsafat Pancasila untuk mempertanyakan dan menjawab segala sesuatu masalah kehidupan
yang dihadapi bangsa Indonesia dalam kehidupan ber-Negara. Dewasa ini apakah jiwa dan
semangat bangsa Indonesia masih sama seperti saat awal Negara Bangsa Indonesia
didirikan. Saat itu Bangsa Indonesia dibimbing oleh Filasafat Pancasila untuk mendobrak
dan membebaskan diri dari kehidupan keterjajahan, penderitaan dan kebodohan. Bangsa
Indonesia saat itu dengan penuh pathos, logos dan etos mampu meyakinkan dunia
mendirikan negara dan membangun bangsa. ”Nation and Character Building” merupakan
logos yang jelas untuk dijadikan pedoman membangun karakter dan bangsa Indonesia.
Amanat Penderitaan Rakyat dijadikan pathos untuk membangkitkan etos bangsa.
Dengan pemahaman bahwa ”bangsa” merupakan state of becoming bukan state of being,
dapatkah Filsafat Pancasila menjawab segala persoalan kehidupan bangsa yang masih selalu
dalam ”proses menjadi” ini. Dapatkah Pancasila merumuskan logos, pathos dan ethos
bangsa Indonesia dewasa ini untuk membimbing menuju kecerdasan kehidupan bangsa.
Siapakah yang harus merumuskan logos, pathos dan ethos bangsa dewasa ini. Dalam sejarah
kehidupan bangsa, para elit dan pemuka bangsalah yang harus mau dan mampu
memikirkan secara luas dan mendalam merumuskan logos, pathos dan ethos bangsa
berdasarkan Filsafat Pancasila untuk dijadikan dasar segala tindakan menyelesaikan
permasalahan bangsa dan negara.
Dari uraian singkat padat tersebut nampaknya implementasi Filsafat Pancasila dapat
diartikan sebagai penggunaan pemikiran yang luas dan mendalam tentang kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dengan Filsafat Pancasila dimaksudkan guna mempertanyakan
dan menjawab permasa-lahaan bangsa, baik secara umum maupun secara khusus untuk
tiap-tiap bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Jelasnya dengan dasar Filsafat
Pancasila, kita harus mampu merumuskan logos, pathos dan ethos dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Faktor-faktor yang mempengaruhi Filsafat Pancasila dapat dibedakan menjadi faktor


internal dan faktor eksternal.

Faktor internal yang mempengaruhi terbentuknya Filsafat Pancasila dapat disebutkan


antara lain adalah (1) Karakter Bangsa, khususnya karakter para ”founding fathers”; (2)
Budaya berbagai suku bangsa yang tersebar di kepulauan Nusantara; (3) Amanat
Penderitaan Rakyat.

Faktor internal yang mempengaruhi implementasi Filsafat Pancasila dapat disebutkan


antara lain adalah (1) Karakter Bangsa, khususnya karakter para elit bangsa; (2) Ideologi
fundamentalisme, terorisme, separatisme, sektarianisme; (3) Pemahaman makna kehidupan
berbangsa dan wawasan kebangsaan; (4) Kemiskinan, kebodohan, pendidikan, kedangkalan
berpikir, kesehatan, dan kesempatan kerja.

Faktor eksternal yang mempengaruhi terbentuknya Filasafat Pancasila dapat disebutkan


antara lain (1) Filsafat liberalisme, sosialisme dan komunisme; (2) Kebangkitan bangsa-
bangsa Asia; (3) Kemakmuran bangsa penjajah.

Faktor eksternal yang mempengaruhi implementasi Filsafat Pancasila dapat disebutkan


antara lain adalah (1) Globalisasi dalam segala bidang kehidupan; (2) Ideologi transnasional,
fundamen-talisme, radikalisme, terorisme; (3) Individualisme, liberalisme, neo liberalisme,
kapitalisme, neo kapitalisme, egoisme, pragmatisme, hedonisme, budaya instan, teknologi
komunikasi dan dunia maya.
Setelah memahami faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya Filsafat Pancasila dan
implemen-tasinya, kiranya dapat dipikirkan secara mendalam dan meluas atau secara
filsafati, dengan mempertanyakan dan menjawab persoalan-persoalan kehidupan berbangsa
dan bernegara dalam era reformasi khususnya dan dalam proses globalisasi pada umumnya.

E. Kesimpulan
1. Filsafat sebagai suatu proses yaitu proses kegiatan manusia dalam usahanya mencari
pemecahan masalah hidup dengan meng-gunakan metode dan cara tertentu sesuai dengan
permasalahannya. Dalam hal ini filsafat merupakan suatu sistem ilmu pengetahuan, yang
harus dibangun terus menerus secara mentradisi.
2. Filsafat dalam kehidupan manusia berfungsi untuk mencari kebenaran hakiki tentang
segala sesuatu yang ada dan yang dihadapi manusia. Sedangkan perannya dapat
disimpulkan sebagai pendobrak, pembebas dari persoalan kehidupan yang dialami dan
pembimbing untuk berpikir lebih luas dan mendalam yang penuh kebijaksanaan.
3. Dengan berfilsafat manusia membebaskan diri dari cara berpikir yang mistik, mitis dan
membimbing manusia untuk berpikir secara rasional efektif dan efisien serta mencintai
kebijaksanaan. Membebaskan manusia dari cara berpikir yang picik dan dangkal dan
membimbing untuk berpikir lebih luas dan mendalam.
4. Untuk memahami Pancasila sebagai suatu “Filsafat”, perlu dipahami makna filsafat dalam
kehidupan manusia khususnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
5. Pancasila dapat dikatakan sebagai Filsafat Indonesia, karena digali, dibangun dan
dikembangkan dalam tradisi Indonesia, diawali sejak pemikiran persiapan kemerdekaan
bangsa hingga saat ini.
6. “Pancasila dimaknai sebagai suatu Filsafat”, dimaksudkan bahwa Pancasila dipahami
sebagai hasil perenungan yang mendalam mengenai kehidupan bangsa dan negara dan
merupakan sistem pemikiran tersendiri atau sebagai suatu Sistem Filsafat.
7. Filsafat Pancasila dapat dikatakan suatu Sistem Filsafat, dalam arti Pancasila ditinjau dari
segi kesisteman, merupakan satu kesatuan sistem, yang secara nalar dapat dibenarkan dan
diterima.
8. Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya mengandung suatu konsep,
prinsip dan nilai, yang dijadikan sumber dari segala penjabaran norma, baik norma hukum,
norma moral, norma kebangsaan, norma kenegaraan dan norma lainnya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara Indonesia.
9. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sila-sila dari Pancasila pada hakikatnya bukan
saja merupakan kesatuan yang bersifat formal logis, namun sekaligus juga merupakan
kesatuan dasar ontologis, dasar epistemologis, dan dasar aksiologis.

BAB VIII
WAWASAN POKOK TIAP-TIAP SILA
DALAM PANCASILA

A. Pendahuluan

etelah memahami Makna Pancasila dan Pancasila sebagai : Dasar Negara; Ideologi;
Pandangan Hidup; Pemersatu Bangsa; dan sebagai Falsafah dalam bab-bab sebelumnya,
maka dalam bab ini akan diuraikan Wawasan Pokok tiap-tiap Sila dalam Pancasila. Uraian
bab ini dimaksudkan agar pemahaman terhadap Pancasila makin mendalam, lengkap dan
komprehensif. Dengan makin mendalam, lengkap dan koprehensif pemahaman terhadap
Pancasila akan lebih mampu menghadapi berbagai paham dan pemahaman lain yang
bertentangan dan bahkan mungkin merupakan predator terhadap Pancasila. Dengan
mantapnya pemahaman dan keteguhan berpegang pada Pancasila, bukan berarti Pancasila
menjadi ideologi tertutup, namun justru sebaliknya, menjadi ideologi yang terbuka, yang
mampu menyerap unsur-unsur positif yang berkembang untuk dijadikan faktor penguat dan
penangkal ideologi predator terhadap Pancasila dalam situasi yang terbuka dewasa ini.
Untuk itu perlu pemahaman makna wawasan pokok terlebih dahulu.

Kata “Wawasan” berasal dari “Wawas” (bahasa Jawa) berarti melihat atau memandang.
Dengan penambahan akhiran “an”, secara harfiah berarti penglihatan, tinjauan atau
pandangan. Wawas atau mewawas diartikan pula meneliti, meninjau, memandang,
mengamati atau refleksi. Wawasan adalah hasil mewawas atau memandang, yang berarti
sebagai pandangan. Pandangan tersebut biasanya mengandung harapan, cita-cita, memuat
makna yang akan diwujudkan dan arahan pada sikap dan perbuatan untuk mencapai cita-
citanya, baik bersifat individual atau pun bersifat sosial atau bersama. Oleh A. Teeuw, dalam
Kamus Indonesia – Belanda, wawasan diterjemahkan dengan kata “begrip, inzicht, concept,
conceptie, idée”. Selanjutnya dalam Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila,
wawasan diartikan sebagai “pandangan atau paham tentang sesuatu, kemudian diberi arti
‘perangkat pikiran dasar’ suatu ajaran yang berguna sebagai petunjuk pelaksanaan ajaran
tersebut. Maka wawasan diartikan juga sebagai doktrin asasi”.

Berdasarkan atas pemahaman tentang arti wawasan tersebut, maka wawasan pokok tiap-
tiap sila dalam Pancasila dimaksudkan sebagai pandangan pokok, konsepsi dasar, perangkat
pikiran dasar suatu ajaran yang dijadikan doktrin asasi dan petunjuk pelaksanaan dari tiap-
tiap sila dalam Pancasila.
Pemahaman wawasan pokok masing-masing sila dalam Pancasila harus dipahami
berdasarkan pada kenyataan sejarah dan intensi dasar dari para founding fathers
dirumuskannya Pancasila sebagai ‘dasar negara’. Pancasila sebagai dasar Negara pada
hakekatnya merupakan satu kesatuan bulat dan utuh yang masing-masing silanya saling
menjiwai dan melingkupi sehingga merupakan satu kesatuan yang bersinergi. Selanjutnya
perlu dipahami pula, bahwa Pancasila diterima menjadi dasar negara oleh para Bapak
Bangsa Pendiri Negara, karena Pancasila mempertemukan pendapat tentang paham dasar
negara yang betentangan, yaitu antara paham negara berdasar agama dan paham negara
berdasar nasionalisme. Dengan demikian Pancasila merupakan kesepa-katan luhur, menjadi
platform bersama atau menjadi ‘common denominator’, sehingga semua pendapat dapat
terwadahi bersenergi membangun negara bangsa. Sebagai dasar negara, Pancasila menjadi
sumber hukum bagi setiap ketentuan, tindakan dan perbuatan penyelenggaraan negara.
Oleh karena itu Pancasila juga menjadi arahan dan tuntunan dalam penyelenggaraan negara.
Dalam hal ini Pancasila berfungsi sebagai ‘ideologi negara’. Sebagai ideologi, Pancasila dapat
juga berfungsi sebagai ‘acuan kritik ideologi’ apa pun. Selanjutnya dalam dinamika
kehidupan berbangsa dan bernegara, atau dalam kiprah kehidupan politik berbangsa dan
bernegara, Pancasila menjadi ‘etika politik’ bangsa Indonesia yang tidak boleh ditawar lagi.

Berdasarkan hakikat keberadaan Pancasila sebagaimana diuraikan secara padat tersebut di


atas, maka pemahaman wawasan pokok tiap-tiap sila dalam Pancasila secara logis harus
tetap mengacu pada pemahaman hakikat Pancasila yang bulat, utuh sebagai dasar negara,
common denominator, ideologi negara, acuan kritik ideologi dan etika politik berbangsa dan
bernegara. Wawasan pokok tiap-tiap sila dengan sendirinya menjadi cerminan dari hakikat
Pancasila sebagaimana diuraikan di atas. Dalam kerangka berpikir seperti tersebut di ataslah
wawasan pokok tiap-tiap sila dalam Pancasila seharusnya dipahami.

B. Wawasan Pokok tiap-tiap Sila :

1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila, perumusannya harus dipahami dalam
konteks Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana dikehendaki para Bapak Bangsa dalam
rangka membangun kehidupan berma-syarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian
‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ merupakan prinsip politik bernegara. Sila pertama ini
merupakan salah satu faktor pembentuk Pancasila yang inheren dalam empat sila lainnya
dan sebaliknya. bukan suatu prinsip teologis, meskipun bernuansa teologis. Sebagai prinsip
politik, Negara mengakui dan melindungi kemajemukan agama di Indonesia. Negara tidak
akan menilai isi dan ajaran dari suatu agama apa pun. Penganut agama apa pun wajib
bersatu untuk membangun bangsa dan Negara.
‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ dikatakan bernuan-sa teologis, dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, sebab dalam kaitannya kehidupan berketuhanan, sila Ketuhanan Yang Maha Esa
dapat dikatakan sebagai “common denominator” atau pijakan yang sama dari berbagai
deno-minasi agama. Dalam Ketuhanan Yang Maha Esa ini, Bung Karno mengatakan:
Bukan saja bangsa Indone¬sia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indone¬sia hendaknya
bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih,
yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad S.A.W., orang Buddha men-
jalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya
ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat
menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan
secara kebu-dayaan, yakni dengan tiada “ego-isme agama”. Dan hendaknya Negara
Indonesia satu Negara yang ber-Tuhan!

Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Is¬lam, maupun Kristen, dengan cara yang
berkeadaban. Apakah cara yang berkea-daban itu? lalah hormat-menghormati satu sama
lain

Nabi Muhammad S.A.W telah memberi bukti yang cukup tentang verdraag- zaamheid,
tentang menghormati agama-agama lain, Nabi Isa pun telah menunjukkan
verdraagzaamheid itu. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini— sesuai
dengan itu—menyatakan: bahwa prinsip kelima (baca: pertama) dari Negara kita, ialah
Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan
yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau Saudara-
saudara menyetujui bahwa Negara Indo-nesia Merdeka berasaskan Ketuhanan Yang Maha
Esa!

Di sinilah, dalam pangkuan asas yang kelima (baca: pertama) inilah, Saudara-saudara,
segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-
baiknya. Dan Negara kita akan ber-Tuhan pula!” (Bung Karno dalam Lahirnya Pancasila).

Aktualisasi Ketuhanan yang Maha Esa dijiwai oleh empat sila lainnya, dalam hal orang
menganut suatu agama dan atau kepercayaan maka mereka saling menghormati sesuai
harkat dan martabat manusia, tidak saling memaksakan agamanya, tetapi menjaga per-
satuan dan kesatuan untuk terselenggaranya rasa kea-dilan demi kesejahteraan bersama.

Demikianlah wawasan pokok dari sila pertama. Wawasan lain terhadap sila pertama di luar
wawasan pokok yang diuraikan tersebut dapat dikatakan tidak sesuai dengan Pancasila.
Misalnya mewawas Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila tidak dikaitkan dengan
motif peru-musannya dalam rangka sebagai dasar Negara Republik Indonesia, namun
dikaitkan hanya dengan salah satu agama atau kepercayaan, sehingga agama dan
kepercayaan yang lain dinegasikan dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Demikian juga
apabila memandang Ketuhanan Yang Maha Esa berdiri sendiri terlepas dari empat sila
lainnya, dan bahkan Ketuhanan Yang Maha Esa dipandang sebagai agama dan dijadikan
agama negara, itu sama sekali bukan sila Pancasila.

Sila pertama ini merupakan motif dasar setiap sikap, tingkah laku dan perbuatan orang
seorang, lembaga masyarakat, dan lembaga Negara serta menjiwai pelak-sanaan empat sila
lainnya dalam kehidupan berma-syarakat, berbangsa dan bernegara.

2. Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab


Wawasan pokok Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab harus dipahami sebagaimana
pemahaman terhadap sila pertama. Peru-musannya dalam rangka perumusan Pancasila
dasar Negara; sebagai prinsip politik dalam arti kaitan dalam rangka mendirikan negara;
merupakan salah satu faktor pembentuk Pancasila yang inheren dalam empat sila lainnya
dan sebaliknya. Wawasan pokok sila Kemanusiaan yang adil dan beradab meman-dang
negara memperlakukan setiap warga-negaranya atas dasar pengakuan dan penghormatan
harkat dan martabat manusia dan nilai kemanusiaan yang tumbuh dari harkat dan
martabatnya itu. Dengan demikian sila ini mempunyai wawasan menolak setiap bentuk
kekerasan terhadap warganegara baik yang dilakukan oleh negara, kelompok atau individu.
Dewasa ini tindak kekerasan yang sering terjadi dikaitkan dengan identitas, religius atau
etnik. Kekerasan yang sering terjadi adalah kekerasan yang dilakukan terhadap inti harkat
dan martabat manusia sendiri, yaitu kebebasannya. Namun perlu juga dipahami bahwa
dalam Kemanusiaan yang adil dan beradab tidak ada tempat kebebasan yang tanpa batas.
Kebebasannya selalu dilaksanakan secara beradab dan adil, senantiasa memperhitungkan
kepentingan bersama, kepentingan bangsa dan negara. Dalam memperhitungkan
kepentingan bersama, kepentingan bangsa dan negara dengan sendirinya tentu sudah
mencakup kepentingan orang seorang.
Sila kedua ini merupakan batu dasar/penjuru setiap sikap, tingkah laku dan perbuatan
orang seorang, lembaga masyarakat, dan lembaga negara serta menjiwai dan dijiwai
pelaksanaan empat sila lainnya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

3. Sila Persatuan Indonesia


Wawasan pokok sila Persatuan Indonesia me-ngandung faham kebangsaan. Dalam sila ini,
Bangsa Indonesia dipandang bahwa, di satu pihak merupakan berkat dan rahmat Tuhan
Yang Maha Kuasa dan hasil dari sejarah perjuangan para bapak bangsa, di lain pihak juga
diyakini bukan merupakan hasil final, “state of being”, melainkan merupakan hasil yang
berkelanjutan untuk selalu dijadikan lebih, “state of becoming”. Bangsa Indonesia di
samping sudah ada, namun tetap harus diperjuangkan keberadaannya baik di masa kini
maupun di masa mendatang. Keberadaan Bangsa Indonesia me-rupakan suatu tantangan
perjuangan seluruh bangsa Indonesia. Paham ini didasarkan pula atas realitas bangsa
Indonesia yang majemuk, terdiri dari berbagai golongan, suku bangsa, agama, budaya,
bahasa, dan identitas lainnya.
Untuk dapat menjawab tantangan perjuangan tersebut, kesatuan dan persatuan bangsa
sangat relevan untuk diutamakan. Keselamatan bangsa dan negara harus ditegakkan.
Membela bangsa dan negara merupakan suatu kehormatan dan kewajiban bagi warga
negara Indonesia. Oleh karena itu pengorbanan kepentingan pribadi demi kepentingan
bersama diterima sepanjang dalam batasan nilai-nilai empat sila lainnya. Ucapan Presiden
Kennedy beberapa tahun yang lalu sangat relevan untuk diingat, “Don’t ask what your
country can do for you, but ask what you can do for your country.” Untuk itu perlu
diusahakan agar dalam penyelenggaraan perjuangan membangun bangsa dan negara selalu
mengikutsertakan seluruh komponen bangsa, sehingga tak seorang pun tertinggal dari
proses pembangunan. Apabila setiap orang tidak tercecer dari pembangunan bangsa dan
negara, dengan sendirinya diyakini bahwa rasa cinta tanah air, bangsa dan negara dari setiap
warga negara Indonesia semakin mantap tumbuh dan berkembang. Kejayaan bangsa dan
negara tetap terpelihara sepanjang masa.

Aktualisasi dari sila Persatuan Indonesia ini dijiwai dan menjiwai empat sila lainnya dalam
Pancasila. Dalam perjuangan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa selalu dijiwai oleh
semangat ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, disemangati oleh rasa kemanusiaan yang adil dan
beradab, penuh kesadaran kebersamaan dan jauh dari pemaksaan pendapat atau kehendak
demi terwujudnya kesejahteraan bersama.

Sila ketiga ini merupakan kunci dasar/induk (master key) dari setiap sikap, tingkah laku dan
perbuatan orang seorang, lembaga masyarakat, dan lembaga negara serta menjiwai dan
dijiwai pelaksanaan empat sila lainnya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.

4. Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam


permusyawaratan/perwakilan
Wawasan pokok sila ke-empat ini adalah terselenggaranya prinsip demokrasi yang dipilih
bangsa Indonesia yang sesuai dengan budaya bangsa. Dalam prinsip ini tercermin adanya
pengikut sertaan rakyat dalam pengambilan keputusan, pembatasan kekuasaan negara,
keterwakilan pelaku politik dan warganegara. Setiap pengambilan keputusan dalam
penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara dilakukan oleh komponen negara,
keterwakilan pelaku politik dipimpin oleh hikmat kebijakanaan dalam permusyawaratan.
Hikmat kebijaksanaan di sini harus dipahami demi terselenggaranya empat sila lainnya
dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hikmat kebijaksanaan
tidak ada tempat untuk saling menyalahkan, untuk baku menang demi partai, kelompok
atau golongannya. Setiap keputusan yang dida-sarkan atas permusyawaratan didasar-kan
atas semangat kebersamaan demi tercapainya kesepakatan bagi kepentingan bersama,
kepentingan bangsa dan negara. Inilah makna musyawarah untuk mencapai mufakat.
Sila ke-empat ini merupakan semangat dasar dari setiap sikap, tingkah laku dan perbuatan
orang seorang, lembaga masyarakat, dan lembaga negara serta menjiwai dan dijiwai
pelaksanaan empat sila lainnya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

5. Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia


Wawasan pokok sila ini adalah terwujudnya kesejahteraan, pemerataan, persamaan, bagi
seluruh rakyat Indonesia termasuk kebebasan orang seorang untuk menentukan pilihan
kesejahteraan bagi dirinya sendiri. Dalam sila ini wawasan terwujudnya pemerataan untuk
memperoleh kesempatan dalam berbagai aspek kesejahteraan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara diutamakan. Terwujudnya pemerataan untuk memperoleh
kesempatan tersebut didasarkan atas persamaan hak dan kewajiban di antara seluruh rakyat
Indonesia. Tidak ada tempat bagi pengisapan manusia atas manusia, (exploitation de
l’homme par l’homme). Di samping pemerataan dan persamaan kesejahteraan tersebut,
kebebasan untuk menentukan pilihan hidup sesuai dengan hati nuraninya oleh dirinya
sendiri bagi setiap warganegara Indonesia dibuka seluas-luasnya. Semuanya demi
tercapainya kesejahteraan bersama dan terpenuhinya rasa keadilan seluruh rakyat Indonesia.
Sila ke-lima ini merupakan arah utama dari setiap sikap, tingkah laku dan perbuatan orang
seorang, lembaga masyarakat, dan lembaga negara serta menjiwai dan dijiwai pelaksanaan
empat sila lainnya dalam kehidupan bermasyarakat, berbang-sa dan bernegara.

C. Kesimpulan
Dengan uraian singkat tentang wawasan pokok tiap-tiap sila dalam Pancasila ini diharapkan
pemahaman terhadap Pancasila makin berkembang.

https://lppkb.wordpress.com/2011/12/28/buku-pancasila/

Anda mungkin juga menyukai