Anda di halaman 1dari 81

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Hipertensi merupakan manifestasi gangguan keseimbangan hemodinamik

sistem kardiovaskular, yang patofisiologinya adalah multi faktor, sehingga tidak

bisa diterangkan hanya dengan satu mekanisme tunggal. Menurut kaplan

hipertensi banyak menyangkut faktor genetik, lingkungan dan pusat-pusat regulasi

hemodinamik. Kalau disederhanakan sebetulnya hipertensi adalah interaksi

cardiac output (CO) dan total peripheral resistence (TPR).

Sebagaimana diketahui hipertensi adalah penyebab kematian nomor satu di

dunia, disusul merokok lalu dislipidemia, sebab terlibat dalam proses terjadinya

mortalitas dan morbiditas dari kejadian penyakit kardiovaskular (PKV). Jadi

hipertensi bukanlah suatu penanda resiko (risk marker) tapi memang betul-betul

suatu faktor resiko yang independen.1

Masalahnya adalah berapa mmHg tekanan darah itu disebut normal,

sehingga bila tekanan darah diatas kesepakatan normal tersebut, maka akan

dikatakan sebagai kejadian hipertensi ( tekanan darah tinggi ). Ada lebih dari

sepuluh guideline yang telah disosialisasikan di seluruh dunia, tiap negara akan

mempunyai guideline sendiri – sendiri sesuai bukti klinis atau berdasarkan suatu

analisis kesimpulan studi meta analisis. Maka hendaknya sebagai klinisi harus

menggunakan guedeline yang ada yang sudah ada bukti epidemiologis klinis secar

kuat.

1
Diabetes millitus merupakan penyakit menahun yang akn disandang seumur

hidup. Pengelolaan penyakit ini memerlukan peran serta dokter, perawat ahli gizi,

dan tenaga kesehatan lain. Pasien dan keluarga kjuga mempunyai peran yang

penting, sehingga perlu mendapatkan edukasi untuk memberikan pemahaman

mengenai perjalanan penyakit, pencegahan, penyulit dan penatalaksanaan Dm.

Pemahaman yang baik akan sangat membantu meningkatkan keikutsertaan

keluarga dalam upaya penatalaksaan Dm guna mencapai hasil yang lebih baik.

Keberadaan organisasi profesi seperti PERKENI dan IDAI, dan yang menjadi

sangat dibutuhkan. Ganisasi profesidapat meningkatkan kemampuan tenaga

profesi kesehatan dalam penatalaksanaan DM dan perkumpulan yang lain dapat

membantu meningkatkan pengetahuan penyandang DM tentang penyakit dan

meningkatkan peran aktif mereka untuk ikut serta dalam pengelolaan dan

pengendalian DM.

Sehingaa saat ini diperlukan standar pelayanan untuk penanganan

hiperglikemi terutama bagi penyandang DM guna mendapatkan hasil pengelolaan

yang tepat guna dan berhasil guna, serta dapat menekan angkan kejadian penyulit

DM. Penyempurnaan dan revisi standar pelayanan harus selalu dilakukan secara

berkala dan disesuaikan dengan kemajuan ilmu mutakhir yang berbasis bukti,

sehingga dapat diperoleh manfaat yang sebesar besarnya bagi penyandang DM.

Neuropati diabetika adalah suatu gangguan pada syaraf perifer, otonom dan
syaraf cranial yang ada hubunganya dengan diabetes melitus. Keadaan ini
disebabkan oleh kerusakan mikrovaskuler yang disebabkan oleh diabetes yang
meliputi pembuluh darah yang kecil-kecil yang memperdarahi syaraf(vasa

2
nervorum). Gangguan neuropati ini termasuk manifestasi somatic dan atau
otonom dari system saraf perifer.

Salah satu komplikasi kronis paling sering ditemukan pada diabetes


mellitus. Resiko yang dihadapi pasien diabetes melitus dengan neuropati diabetik
antara lain ialah infeksi berulang, ulkus yang tidak sembuh-sembuh dan amputasi
jari/kaki.

Ulkus diabetikum merupakan salah satu gejala klinik dan perjalanan


penyakit DM dengan neuropati perifer. Ulkus diabetikum adalah salah satu
komplikasi diabetes melitus berupa kematian jaringan akibat kekurangan aliran
darah, biasanya di bagian ujung kaki. Ulkus diabetikum termasuk luka kronik,
yaitu luka yang berlangsung lama atau sering timbul kembali (rekuren) dimana
terjadi gangguan pada proses penyembuhan yang biasanya disebabkan oleh
masalah multifaktorial dari penderita

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hipertensi

2.1.1 Definisi Hipertensi

Semua definisi hipertensi adalah angka kesepakatan berdasarkan

bukti klinis (evidence based) atau berdasarkan konsensus atau berdasarkan

epodemiologi studi meta analisis. Sebab bila tekanan darah lebih tinggi

dari angka normal yang disepakati, maka resiko morbiditas dan mortalitas

kejadian kardiovaskuler akan men ingkat. Yang paling penting ialah

tekanan darah harus persistens diatas atau sama dengan 140/90 mmHg.

2.1.2 Epidemiologi Hipertensi

Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang paling umum

ditemukan dalam praktik kedokteran primer. menurut NHLBI (National

Heart, Lung, and Blood Institute), 1 dari 3 pasien menderita hipertensi.

hipertensi juga merupakan faktor risiko infark miokard, stroke, gagal

ginjal akut, dan juga kematian.

Menurut WHO dan the International Society of Hypertension

(ISH), saat ini terdapat 600 juta penderita hipertensi diseluruh dunia, dan 3

juta di antaranya meninggal setiap tahunnya. Tujuh dari setiap 10

penderita tersebut tidak mendapatkan pengobatan secara adekuat.

4
Riset Kesehatan Dasar/RISKESDAS tahun 2013 menunjukkan

bahwa prevalensi hipertensi di Indonesia adalah sebesar 26,5%.2 pada

grafik 1, terlihat prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran

(menggunakan kriteria hipertensi JNC VII) cenderung turun dari 31,7

persen pada tahun 2007 menjadi 25,8 persen tahun 2013. Dalam laporan

RISKESDAS 2013, diasumsikan bahwa penurunan diperkirakan terjadi

karena (i) perbedaan alat ukur yang digunakan tahun 2007 tidak

diproduksi lagi pada tahun 2013, (ii) kesadaran masyarakat akan kesehatan

yang makin membaik pada tahun 2013. Asumsi (ii) terlihat pada grafik 2

bahwa prevalensi hipertensi berdasarkan diagnosis atau gejala meningkat.

Hal ini menunjukkan bertambahnya masyarakat yang sudah

memeriksakan diri ke tenaga kesehatan. Prevalensi hipertensi lebih tinggi

di kelompok lanjut usia. Komplikasi hipertensi dapat mengenai berbagai

organ target, seperti jantung, (penyakit jantung iskemik, hipertropi

ventrikel kiri, gagal jantung) otak , (stroke), ginjal (gagal ginjal), mata

(retinopati), juga arteri perifer (klaudikasio intermiten). Kerusakan organ-

organ tersebut bergantung pada tingginya tekanan darah pasien dan berapa

lama tekanan darah tinggi tersebut tidak terkontrol dan tidak diobati.

2.1.3 Klasifikasi Hipertensi

Tabel. 1 klasifikasi hipertensi menurut WHO-ISH, ESH-ESC, JNC 71

Klasifikasi Tekanan darah sistol dan diastol

tekanan darah WHO-ISH ESH-ESC JNC-7

5
Optimal <120/80 mmHg <120/<80

mmHg

Normal <130/85 mmHg 120-129/80-84 <120/<80 mmHg

mmHg

Tinggi-normal 130-139/85-89 130-139/85-89

mmHg mmHg

Hipertensi kelas 1 140-159/90-99 140-159/90-99

(ringan) mmHg mmHg

Cabang 140-149/90-94

perbatasan mmHg

Hipertensi kelas 2 160-179/100-109 160-179/100-

(sedang) mmHg 109 mmHg

Hipertensi kelas 3 ≥180/≥110 ≥180/≥110

(berat) mmHg mmHg

Hipertensi sistolik >140/<90 mmHg >180/<90

terisolasi mmHg

Cabang 140-149/<90

perbatasan mmHg

Pre-hipertensi 120-139/80-89

mmHg

Tahap 1 140-159/90-99

mmHg

Tahap 2 >160/>100 mmHg

6
2.1.4 Etiologi Hipertensi

Hipertensi disebut primer bila penyebabnya tidak diketahui (90%),

bila ditemukan penyebabnya disebut sekunder (10%).

Penyebabnya antara lain :

 Penyakit : penyakit ginjal kronik, sindrom cushing, koarktasi aorta,

obstructive sleep apnoe, penyakit paratiroid, feokromositoma,

aldosteronism primer, penykit renovaskular, penyakit tiroid.

 Obat-obatan:

Prednison, fludrokortison, triamsinolon

- Amfetamin/Anorektin : phendimetrazine, phentermine, sibutramine

- Antivaskular endotheline growth factor agents

- Estrogen : biasanya kontrasepsi oral

- Calcineurine inhibitors : siklosporin, tacrolimus

- Decongestan : phenylpropanolamine & analog

- Erythropoiesis stimulating agents : erythropoietine, darbepoietin

- NSAIDs, COX-2 inhibitors, venlafaxine, bupropion, bromokriptin,

buspirone, carbamazepine, clozapine, ketamin, metoklopamid.

 Makanan : sodium, etanol, licorice

 Obat jalanan yang mengandung bahan-bahan sebagai berikut :

cocaine. Cocaine withdrawal, ephedra alkaloids (e.g, ma-huang),

“herbal ecstasy”, phenylopropanolamine analogs, nicotine withdrawal,

7
anabolic steroids, narcotic withdrawal, methylphenidate,

phencyclidine, ketamin, ergot-containing herbal products.

2.1.5 Patogenesis Hipertensi

Penyebab-penyebab hipertensi ternyata sangat banyak. Tidak bisa

diterangkan hanya dengan satu faktor penyebab. Memang betul pada

akhirnya semua berhubungan dengannatrium (Na) di ginjal yang membuat

tekanan darah meningkat. Ada empat faktor yang mendominasi terjadinya

hipertensi :

a. Peran Volume Intravaskular

Tekanan darah tinggi adalah hasil interaksi antara cardiac output

(CO) atau curah jantung (CJ) dan TPR (total peripheral resistance,

tahanan total perifer) yang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Volume

intravaskular merupakan determinan utama untuk kestabilan tekanan

darah dari waktu ke waktu. Tergantung keadaan TPR apakah dalam

posisi vasodilatasi atau vasokontriksi. Bila asupan NaCl meningkat,

maka ginjal akan merespons agar ekskresi garam keluar bersama urine

ini juga akan meningkat. Tetapi bila upaya mengeksresi NaCl ini

melebihi ambang kemampuan ginjal, maka ginjal akan meretensi H2O

sehingga volume intravaskular meningkat. Pada gilirannya CO atau CJ

juga akan meningkat. Akibatnya terjadi ekspansi volume intravaskular,

sehingga tekanan darah akan meningkat. Seiring dengan perjalanan

waktu TPR juga akan meningkat, lalu secara berangsur CO atau CJ

8
akan turun menjadi normal lagi akibat autoregulasi. Bila TPR

vasodilatasi tekanan darah akan menurun, sebaliknya bila TPR

vasokontriksi tekanan darah akan meningkat.

b. Peran Kendali Saraf Autonom

Persarafan autonom ada dua macam, yang pertama ialah sistem

saraf simpatis, yang mana saraf ini yang akan menstimulasi saraf

viseral (termasuk ginjal) melalui neurotrasmiter : katekolamin,

epinefrin, maupun dopamin. Sedangkan saraf parasimpatis adalah yang

mengham,bat stimulasi saraf simpatis. Regulasi simpatis dan para

simpatis berlangsung independent tidak dipengaruhi oleh kesadaran

otak, akan tetapi terjadi secara automatis mengikuti siklus sirkadian.

Ada beberapa reseptor adrenergik yang berada di jantung, ginjal, otak

serta dinding vaskular pembuluh darah ialah reseptor α1, α2, β1 dan

β2. Belakangan ditemukan reseptor β3 diaorta yang ternyata kalau

dihambat dengan beta bloker β1 selectif yang baru (nebivolol) makan

akan memicu terjadinya vasodilatasi melalui peningkatan nitrit oksida

(NO). Karena pengaruh – pengaruh lingkungan misalnyua genetik,

stres kejiwaan, rokok dan sebagainya, akan terjadi aktivasi sistem saraf

simpatif berupa kenaikan katekolamin, nor epineprin (NE) dan

sebagainya.

Selanjutnya neurotransmiter ini akan meningkatkan denyut

jantung (heart Rate) lalu diikuti kenaikan CO atau Cl, sehingga

tekanan darah akan meningkat dan akhirnya akan mengalami agregasi

9
platelet. Peningkatan neurotransmiter NE ini mempunyai efek negatif

terhadap jantung, sebab di jantung ada reseptor α1, α2, β1 yang akan

memicu terjadinya kerusakan miokardium, hipertrifi dan aritmia

dengan akibat progresivitas dari hipertensi aterosklerosis. Karena pada

dinding pembuluh darag juga ada reseptor α1, maka bisa NE

meningkat hal tersebut akan memicu vasokonstriksi ( melalui reseptor

α1) sehingga hipertensi aterosklerosis juga makin progresif.

Pada ginjal NE juga berefek negatif, sebab di ginjal ada

reseptor β1 dan α1 yang akan memicu terjasinya vasokontriksi

pembulih darah dengan akibat hipertensi aterosklerosis juga makin

progresif. Selanjutnya bila NE kadarnya tidak pernah normal maka

sindroma hipertensi aterosklerosis menuju kerusakan organ

target/target organ damage (TOD).

c. Peran Sistem Renin Angiotensin Aldosteron (RAA)

Bila tekanan darah menurun maka hal ini akan memicu fefleks

baroreseptor. Berikutnya secara fisiologis sistem RAA akan dipicu

mengikuti kaskade seperti yang tampak pada gambar dibawah ini yang

mana pada akhirnya renin akan disekresi, lalu angiotensin 1 (A1),

angiotensin II (AII), dan seterusnya sampai tekanan darah meningkat

kembali, begitulah secara fisiologis autoregulasi tekanan darah terjadi

melalui aktifitas dari sistem RAA.

Adapun proses pembentukan renin dimulai dari pembentukan

angiotensinogen yang dibuat di hati. Selanjutnya angiotensinogen akan

10
dirubah menjadi angiotensin I oleh renin yang dihasilkan oleh makula

densa apparat juta glomerolus ginjal. Lalu angiotensin I akan dirubah

menjadi angiotensin II oleh enzim ACE (angiotensin converting

enzyme), akhirnya angipotensin II ini akan bekerja pada reseptor –

reseptor yang terbait dengan tugas proses fisiologisnya ialah direseptor

AT1, AT2, AT3, AT4. Faktor resiko yang tidak dikelola akan memicu

sistem RAA, tekanan darag makin meningkat, hipertensi

ateriosklerosis makin progresif. Ternyata yang berperan utama untuk

memicu progresifitas ialah angiotensin II, bukti uji klinismya sangat

kuat. Setiap intervensi klinik pada tahap – tahap ateriosklerosis

kardiovaskular kontinum ini terbukti selalu bisa menghambat

progresifitas dan menurunkan resiko kejadian kardiovaskular. Dengan

memahami kaskade sistem RAA ini maka titik tangkap berbagai obat

anti hipertensi bisa dengan mudah dipahami.

d. Peran Dinding Vaskular Pembuluh Darah

Hipertensi adalah the disease cardiovascular continuum ,

penyakit yang berlanjut terus menerus sepanjang umur. Paradigma

yang baru tentang hipertensi dimulai dengan disfungsi endotel, lalu

berlanjut menjadi disfungsi vaskular, vaskular biologi berubah, lalu

berakhir dengan TOD. Mungkin hipertensi ini lebih cocok menjadi

bagian dari salah satu gejala sebuah sindroma penyakit yang akan kita

sebut sebagai “ the atherosclerostik syndrome” atau “ the hypertension

syndrome”, sebab pada hipertensi sering disertai gejala – gejala lain

11
berupa resistensi insulin, obesitas, mikroalbuminuria, gangguan

koagulasio, gangguan toleransi glukosa, kerusakan membran transport,

disfungsi endotel, dislipidemia, pembesaran ventrikel kiri, gangguan

simpatis parasimpatis, aterosklerosis ini akan berjalan progresif dan

berakhir dengan kejadian kardiovaskuler. Bonitte et al berpendapat

bahwa disfungsi endotel merupakan sindroma klinis yang bisa

langsung berhubungan dengan dan dapat memprediksi peningkatan

resiko kejadian kardiobaskular.

Progresuvitas sindrom aterosklerotik ini dimulai dengan faktor

yang tidak dikelola, akibatnya hemodinamika tekanan darah makin

berubah, hipertensi makin meningkat serta vaskular biologi berubah,

dinding pembuluh darah makin menebal dan pasti berakhir dengan

kejadian kardiovaskular. 1

Dikenal ada faktor resiko tradisional dan non tradisional yang

bila bergabung dengan faktor faktor lokal atau yang lain serta faktor

genetik maka vaskuler biologi akan berubah menjadi makin tebal

karena mengalami kerusakan berupa lesi vaskular dan remodelling,

antara lain akibat : inflamasi, vasokontriksi, trombosis, ruptur plak /

erosi. Dikenal pula faktor resiko baru selain angiotensin II, ialah Ox-

LDL, ROS ( redical oxygen species), homosistein, CRP serta masih

ada lagi yang lain. Kesimpulannya faktor resiko yang banyak ini harus

dikelola agar aterosklerosis tidak pregresif, sehingga resiko kejadian

kardiovaskular bisa dicegah / diturunkan.

12
Faktor resiko yang paling dominan memegang peranan untuk

progresivitas ternyata tetap dipegang oleh angiotensin II. Bukti bukti

klinis sudah mencapai tingkat evidence A, bahwa bila peran

angiotensin II dihambat oleh ACE- inhibitor (ACE-I) atau angiotensin

receproe bloker (ARB), resiko kejadian kardiovaskular dapat dicegah /

diturunkan secara meyakinkan. WHO 2003 menetapkan bahwa faktor

resiko yang paling banyak menyebabkan premature deatg ialah

hipertensi (7,1 juta kematian). Hipertensi sudah diakui sebagai

penyebab utama aterosklerosis, sedangkan aterosklerosis sendiri

adalah penyebab tiga per empat semua kematian penyakit kardio

vaskular (PKV). Penanda adanya disfungsi enditel dapat dilihat

diretina mata dan dapat juga dilihat di ginjal (glomerulus), yaitu

bilamina ditemukan mikroalbuminuria pada pemeriksaan urin.

Kesimpulannya hipertensi adalah hanya salah satu gejala dari

sebuah sindroma yang akan lebih sesuai bila disebut sebagai sindroma

hipertensi aterosklerotik (bukan merupakan penyakit tersendiri),

kemudian akan memicu pengerasan pembuluh darah sampai terjadi

kerusakan target organ terkait. Awalnya memang hanya berupa faktor

resiko. Tetapi bila faktor faktor resiko ini tidak diobati maka akan

memicu gangguan hemodinamik dan gangguan vaskular biologis.

13
2.1.6 Gejala Klinis Hipertensi

Gejala klinisnya yaitu :

1. Keluhan Sakit kepala ( umumnya pagi hari dan terlokalisir pada regio

oksipital), keluhan tidak spesifik lainnya mungkin terkait seperti

dizziness, palpitasi, mudah lelah, impotasi.

2. Gangguan penglihatan, nyeri dada (angina), gejala transient ischemic

attack (TIA), keluhan gagal jantung dan gangguan fungsi ginjal.

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang Hipertensi

Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari :

1. Tes darah rutin

2. Glukosa darah (sebaiknya puasa)

3. Kolesterol total serum, kolesterol LDL dan kolesterol HDL serum

4. Trigliserida serum (puasa)

5. Asam urat serum/Kreatinin serum

6. Kalium serum

7. Hemoglobin

8. Hematokrit

9. Urinalisis (uji carik celup serta sedimen urin)

10. Elektrocardiogram

Beberapa pedoman penanganan hipertensi menganjurkan tes lain

seperti: elektrocardiogram, USG karotis (dan femoral), C-reactive protein,

14
mikroalbuminuria atau perbandingan albumin dan kreatinin urin,

proteinuria kuantitatif (jika uji carik positif), funduskofi (hipertensi berat).

Evaluasi pasien hipertensi juga diperlukan untuk menentukan

adanya penyakit penyerta sistemik, yaitu : aterosklerosis (melalui

pemeriksaan profil lemak), diabetes ( terutama pemeriksaan gula darah),

fungsi ginjal (dengan pemeriksaan proteinuria, kreatinin serum, serta

memperkirakan laju filtrasi glomerulus).

2.1.8 Diagnosis Banding Hipertensi

Diagnosis Banding untuk hipertensi yaitu :

1. Hipertensi Stage 1

2. Hipertensi Stage II

3. Krisis Hipertensi

4. Hipertensi Sekunder Karena Penyakit Renal seperti hipertensi pada

penyakit renovaskuler, renoparenkimal (pada penyakit ginjal kronik).

Hipertensi sekunder karena penyakit Endokrin seperti hipertensi pada

penyakit tiroid, hipertensi pada penyakit diabetes millitus.

2.1.9 Diagnosis Hipertensi

Pada umumnya penderita hipertensi tidak mempunyai keluhan.

Hioertensi adalah the silent killer. Penderita mempunyai keluhan setelah

terkena komplikasi.

1. Anamnesis hipertensi

a. lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah.

b. Indikasi adanya hipertensi sekunder :

15
- keluarga dengan riwayat penyakit ginjal ( ginjal polikistik)

- adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuria,

pemakaian obat-obat analgesik.

- episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi

(feokromositoma)

- Episode lemah otot dan tetani ( aldosteronisme)

c. faktor-faktor resiko :

- Riwayat hipertensi dan kardiovaskular pada penderita dan

keluarga

- Riwayat hiperlipidemia

- Riwayat Diabetes Melitus

- Kebiasaan merokok

- pola makan

- Kegemukan

d. gejala kerusakan organ

- Otak dan Mata : sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan,

transient ischemic attacks, defisit sensoris atau motoris

- jantung : palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki, tidur

dengan bantal tinggi ( lebih dari 2 bantal)

- ginjal : haus, poliuria, nokturia, hematuria, hipertensi dengan

disertai kulit pucat anemis

- arteri perifer : ekstremitas dingin, klaudikasio intermiten

16
e. Pengobatan hipertensi sebelumnya

f. faktor keluarga

2. Pemeriksaan fisik hipertensi

a. Pengukuran Tekanan Darah yang teratur

b. Pemeriksaan kerusakan organ target

- jantung : pemeriksaan fisik, foto polos dada,

elektrokardiografi, ekokardiografi.

- Pembuluh darah : pulse pressure, ultrasonografi (USG) karotis,

fungsi endotel.

- Otak : CT scan, MRI

- Mata : funduskopi retina

- Fungsi ginjal : pemeriksaan fungsi ginjal.

3. Pemeriksaan penunjang

- Foto polod thorak, untuk melihat pembesaran jantung, kondisi

arteri intra thorak dan sirkulasi pulmonar.

- Elektrokardiografi untuk mendeteksi adanya iskemik,

gangguan konduksi, aritmia, serta hipertropi ventrikel kiri.

- Ekokardiografi.

- Ultrasonografi karotis dan fungsi endotel.

- Ct- Scan Kepala.

- Funduskopi retina

- Fungsi ginjal

17
2.1.10 Penatalaksanaan Hipertensi

Tujuan pengobatan penderita hipertensi adalah menurunkan

morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskuler dan ginjal. Pengobatan

hipertensi terdiri dari pengobatan nonfarmakologis dan farmakologis.

Pengobatan nonfarmakologi harus dilaksanakan oleh semua penderita

hipertensi dengan tujuan menurunkan tekanan darah dan mengendalikan

faktor – faktor resiko serta penyakit lainnya.

1. Pengobatan nonfarmakokogis / modifikasi Gaya Hidup

JNC 7 merekomendasikan : menurunkan berat badan berlebih

atau kegemukan, pembatasan asupan garam kurang atau sama dengan

100 MEQ/L/hari (2,4 gram natrium atau 6 gram natrium clorida),

meningkatkan konsumsi buah dan sayur, menurunkan konsumsi

alkohol tidak lebih dari 2 kali minum / hari, meningkaykan aktifitas

fisik paling tidak berjalan 30 menit / hari selama 5 hari/ minggu serta

menghentikan merokok, akan mengurangi risiko kejadian

kardiovaskuler.

Dalam pengelolaan stres, yang terpenting adalah bagaimana

cara mengelola stres tersebut. Banyak hal yangdapat dilakukan untuk

mengelola stres antara lain yaitu dengan dapat melakukan pengaturan

pola makan dan pergaulan. Selain itu juga dilakukan terapi dengan

konseling kepada petugas medis yang berkompeten. Sehingga

diharapkan nantinya penderita hipertensi, mampu mengenali stres

18
yang terjadi pada dirinya untuk nantinya segera dapat melakukan

pengelolaan terhadap stres tersebut.

2. Pengobatan farmakologis

Jenis jenis obat antihipertensi yang dipakai untuk terapi

farmakologis antara lain yaitu :

a. Deuretika, terutama golongan thiazide (thiaz) atau Aldosteron

Antagonist (Aldo Ant).

b. Beta Bloker (BB)

c. Calcium Channal Bloker atau calcium antagonist (CCB).

d. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACE-I)

e. Angiotensin II Reseptor Bloker atau AT 1 receptor

antagonist/blocker (ARB).

f. Direct renin inhibitor (DRI)

19
Algoritma penatalaksanaan hipertensi berdasarkan JNC VII 1

Perubahan gaya hidup

Belum mencapai tekanan darah target yaitu : ( <140/90 mmHg) atau


(<130/80 mmHg untuk pasien dengan diabetes dan gagal ginjal kronik

Pilihan obat awal

Tanpa indikasi yang Dengan indikasi yang


berarti berarti

Hipertensi stadium I Hipertensi stadium II Obat – obat untuk


indikasi yang berarti
( tekanan darah sistolik ( tekanan darah sistolik ≥ silahkan lihat tabel
140 – 159 atau tekanan 160 atau tekanan darah dibawah ini (tabel 2 ).
darah diastolik 90 – 99 diastolik ≥ 100 mmHg ). Mohon diperiksa
mmHg) deuretik tiazid Kombinasi dua obat kembali apa benar
diberikan untuk sebagian dipakai untuk sebagian sesuai dengan tabel 2.
besar kasus penggunaan besar kasus ( biasanya Obat hipertensi lainnya
ACE-I, ARB, BB, CCB, diuretic tipe tiazid dan yaitu diuretic, ACE-I,
dapat dipertimbangkan ACE-I, ARB, BB, atau ARB,BB,CCB, bila
atau diberikan dalam CCB perlu.
bentuk kombinasi.

Pilihan obat awal

Optimalisasikan dosis atau berikan obat tambahan hingga tekanan darah target
tercapai, pertimbangkan konsultasi dengan dokter spesialis hipertensi.

20
Bila hipertensi disertai penyulit adanya TOD atau tergolong high and very risk

group hypertension maka pengobatannya :

Tabel 2

Rekomendasi pengobatan hipertensi yang sesuai dengan indikasi yang

memaksa (compelling indication) 1,4

Menurut WHO – ISH 2003, ESH – ESC 2007/2009, JNC 2003

INDIKASI WHO-ISH 2003 ESC 2007/2009 JNC 7 2003

Pasien usia lanjut Diuretik , Diuretik, CA Diuretik thiazid /

dengan\ hipertensi DPHCCB dikombinasi

sistolik dengan salah satu

dari kelas obat

berikut (ACEIs,

ARBs, BBs, Cas)

Pasca infark ACEI, BB BB, ACEI, BB, ACEI, Anti-

miocardium ARB aldosterone

Disfungsi ventrikel ACEI ACEI ACEI, BB,

kiri Diuretik

Gagal jantung Diuretik, bb, Diuretik, BB, Diuretik Thiazide,

kongestif spironolakton ACEI, ARB, BB, ACEI, ARB,

Anti- anti-aldosterone

aldosterone agents

Pasca stroke ACEI + Obat Diuretik thiazide,

21
diuretik,diuretik antihipertensi ACEI

apapun

Penyakit ginjal ACEI, ARB ACEI, ARB ACEI, ARB

Hipertrofi ventrikel ARB ACEI, CA, ACEI, diuretik,

kiri ARB ARB

Penyakit arteri Tidak Tersedia CA Kelas obat

perifer manapun dapat

dipakai untuk

sebagian besar

pasien

Aterosklerosis Tidak Tersedia CA, ACEI Tidak tersedia

asimtomatik

Takiaritmia/fibrilasi Tidak Tersedia BB BB

ESRD/proteinuria Tidak Tersedia ACEI,ARB, Tidak tersedia

loopdiuretik

Mikoalbuminuria Tidak Tersedia ACEI, ARB Tidak tersedia

Angin pektoris Tidak Tersedia BB, CA BB, CA

Diabetes Tidak Tersedia ACEI, ARB Diuretik thiazide,

BB, ACEI, ARB,

CA

22
Tekanan darah yang harus dicapai pada hipertensi yaitu :

Tabel 3

Target Tekanan Darah Yang Harus Dicapai Dari Beberapa Guideline

Guideline Hipertensi Tanpa Hipertensi Dengan Hipertensi Dengan

Komplikasi Diabetes Millitus CKD

USA (JNC VII <140 / 90 mmHg <130/80 mmHg <130/80 mmHg

2003)

Eropa (ESH 2007) <140/90 mmHg <130/80 mmHg <130/80 mmHg

atau lebih rendah

China (CSH 2005) <140/90 mmHg <130/80 mmHg <130/80 mmHg

(TDS ≤ 150

mmHg untuk usia

tua )

WHO-ISH 2003 TDS < 140 mmHg <130/80 mmHg <130/80 mmHg

BHS IV 2004 <140/85 mmHg <130/80 mmHg <130/80 mmHg

23
Tabel 4
Penggunaan obat antihipertensi sesuai dengan kelas, dosis, indikasi dan
kontraindikasinya
Kelas obat Contoh Dosi dan Indikasi lain Kontraindikasi
frekuensi perhari
Deuretik Hidrokloratiaz 6,25 – 50 mg (1-2 DM,
id ) Dislipidemia,
Klortalidon 25 – 50 mg (1) Gout,
hipokalemi.

Furosemid 40 – 80 mg ( 2-3) GJK akibat DM,


disfungsi Dislipidemia,
sistolik. Gout,
Gagal ginjal hipokalemi.
25 – 100 mg (1-2) Hiperurisemia
Spironolakton
ACE- inhibitor Kaptopril 25 – 200 mg (2) Pasca infark GGA, stenosis
lisinopril 10 – 40 mg (1) miokard, arteri ginjal
Ramipril 2,5 – 20 mg (1-2) sindrom bilateral,
koroner, GJK, kehamilan,
dengan fraksi hiperkalemi.
ejeksi rendah,
nefropati
Agonis Losartan 25 – 100 mg (1-2) GJK dengan Gagal ginjal,
Angiotensin II 80 – 320 mg (1) fraksi ejeksi stenosis arteri
Valsartan 2 – 32 mg (1-2) rendah, ginjal bilateral,
Kandesartan nefropati, batuk kehamilan,
yang hiperkalemi.
disebabkan oleh
ACE-I
Inhibitor renin Aliskiren 150 – 300 mg (1) Nefropati Kehamilan
antagonis diabetik
kalsium 30 – 60 mg ( 1)
dihidropirin Nevedipin
(kerja lama )
Nondihidro Verapamil 120 – 360mg (1- Pasca infark Blok jantung
Piridin (kerja lama ) 2) miokard, derajat 2 atau
takikardi ke 3
supraventrikular

Diltiazem 180 – 240 mg (1) angina


(kerja lama)
Beta bloker Atenolol 25 – 100mg (1) Angina, GJK Asma, PPOK,
akibat disfungsi Blok jantung
Propanolol 40 – 160 mg (2) sistolik, sinus je 2 atau 3.
takikardi

24
2.1.11 Komplikasi Hipertensi

Hipertensi merupakan faktor resiko untuk terjadinya segala

bentuk manifestasi klinik dari arteriosklerosis. Hipertensi dapat

meningkatkan resiko untuk terjdinya kejadian kardiovaskular dan

kerusakan organ target, baik langsung maupun tidak langsung. Mortalitas

meningkat dua kali pada setiap kenaikan takanan darah sebesar 20/10

mmHg. Pada keadaan dengan tekanan darah high-normal (130-139/85-89

mmHg) didapatkan kejadian kardiovaskular 2,5 pada wanita dan 1,6 kali

pada pria bila dibandingkan dengan tekanan darah normal. Sedang untuk

resiko terjadinya penyakit ginjal, meningkatnya tekanan darah sistolik

lebih erat kaitannya dengan insidens penyakit ginjal tahap akhir bila

dibandingkan dengan tekanan darah diastolik, terutama pada usia > 50

tahun. Tekanan darah yang meningkat dapat menyebabkan kerusakan pada

pembuluh darah dan parenkim ginjal.

Berbagai kerusakan organ target tersebut antara lain :

1. Pada jantung : hipertrifi ventrikel kiri, angina atau infark miokard dan

gagal jantung kongestif.

2. Penyakit ginjal kronis dan penyakit ginjal tahap akhir.

3. Retinopati1

4. Pada otak : stroke atau transient ischemic attack

5. Penyakit arteri perifer.

25
2.1.12 Pencegahan Hipertensi

Sebagimana diketahui pre hipertensi bukanlah suatu penyakit, juga

bukan suatu hipertensi, tidak diindikasikan untuk diobati dengan obat

farmasi, bukan target pengobatan hipertensi, tetapi populasi pre hipertensi

adalah kelompok yang beresiko tinggi untuk menuju kejadian penyakit


1
kardiovaskular. Cara pencegahannya adalah :1 rekomendasi gaya hidup

yang harus ditaati menurut CHEP 2011 : untuk menurunkan asupan garam

sampai dibawah 1500 mg/hari. Diet yang sehat ialah bilaman dalam

makanan sehari-hari kaya akan buah-buahan dan sayuran, rendah lemak,

makanan yang kaya serat, protein yang berasal dari tanaman dan olahraga

yang teratur, tidak mengkonsumsi alkohol, mempertahankna berat badan

pada kisaran BMI 18,5 – 24,9 kg/m2, mengusahakan lingkar perut pada

kisaran laki-laki <102 (asia <90 cm), wanita <88 cm (asia <80). 1

2.1.13 Prognosis Hipertensi

Hipertensi adalah the disease cardiovasvular continuum yang akan

berlangsung seumur hidup sampai pasien meninggal akibat kerusakan

target organ (TOD. Berawal dari tekanan darah 115/75 mmHg, setiap

kenaikan sistolik/diastolik 20/10 mmHg resiko morbiditas dan mortalitas

penyakit kardiovaskular akan meningkat dua kali lipat. Hipertensi yang

tidak diobati meningkatkan : 35% semua kematian kardiovaskular, 50%

kematian stroke, 25% kematian PJK, 50% penyakit jantung kongestif,

25% semua kematian prematur (mati muda), serta menjadi penyebab

26
tersering untuk terjadinya penyakit ginjal kronis dan penyebab gagal ginjal

terminal.

Pada banyak uji klinis, pemberian obat anti hipertensi akan diikuti

penurunan insiden stroke 35% -40% ; infark miokard 20%-25%; dan lebih

dari 50% gagal jantung. Diperkirakan penderita hipertensi stadium 1

(TDS, 140-159 mmHg dan/atau TTD, 90-99 mmHg) dengan faktor resiko

kardiovaskular tambahan, bila berhasil mencapaii penurunan TDS sebesar

12 mmHg yang dapat bertahan selama 10 tahun, maka akan mencegah satu

kematian dari setiap 11 penderita yang telah diobati. Namun belum ada

studi terhadap hasil terapi pada penderita pre hipertensi (120-139/80-89

mmHg), meskipun diketahui bahwa studi TROPHY pemberian terapi pada

pre hipertensi dapat menurunkan terjadinya hipertensi sesungguhnya,

walaupun obat telah dihentikan selama satu tahun.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilmu Penyakit Dalam jilid III. Ed. VI. 2014. Jakatra : internapublishing :

2255 – 2299.

2. WHO-ISH Hypertension Guideline Committee. Guidelines of the

management of hypertension. J Hypertension. 2003;21(11): 1983-92.

3. Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and

Treatment of High Blood Pressure (JNC). The Seventh Report of the

JNC (JNC-7). JAMA. 2003;289(19):2560-72.

4. Badan penelitian dan pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan

RI tahun 2013. riset kesehatan dasar (RISKESDAS) 2013. Diakses di:

http://www.litbang.depkes.go.id/sites/download/rkd2013/Laporan_Riske

sdas2013.PDF

5. Kamal Yudisianil, Soekamto SA, Suseno LS. Ed. Sudoyo AW. Penyusun

: Nasution SA, Salim simon, Hidayat Rudy, Kurniawan. Indonesia

doctor’s compendium. Yayasan penerbit ikatan dokter indonesia (YP

IDI). Jakarta. 2015.hal :51-56.

6. Syarif Amir, Hamzah Arie, Rowi AS,dkk. Ed.Zainuddin AA, Faqih DM,

Trisna DV, Dkk. Panduan Praktik Klinis Bagian dokter di Fasilitas

Pelayanan Kesehatan Primer. Ed. Revisi 2014. Jakarta : Yayasan

Penerbitan IDI.halm 236 – 141

7. Prasetyorini HT. Jurnal Stres Pada Penyakit Terhadap Kejadian

Komplikasi Hipertensi Pada Pasien Hipertensi. Kediri :RS. Baptis.2012.

28
2.2 Diabetes Melitus Tipe 2

2.2.1 Definisi

Diabetes melitus tipe 2 merupakan suatu kelompok penyakit

metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan

sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik

pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi

atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung

dan pembuluh darah.

2.2.2 Klasifikasi 2

1. DM tipe 1 ( destruksi sel β, umumnya diikuti defisiensi insulint

absolut)

 Immune-mediated

 Idiopatik

2. DM tipe 2 (bervariasi mulai dari yang : predominan resistensi insulin

dengan defisiensi nsulin relatif-dominan defek sekresi insulin disertai

resistensi insulin).

3. Tipe lain :

 Defek genetik pada fungsi sel β

 Defek genetik pada kerja insulin

 Penyakit eksokrin pankreas

 Endokrinopati

 Akibat obat atau zat kimia tertentu misalnya vacor, petamidine,

nicotinic acid, glukokortikoid, hormon tiroid, diazoxide, agonis

29
adrenergik, thiazid, phenytoin, interferon, protease inhibitors,

clozapine.

 Infeksi

 Bentuk tidak lazim dari immune mediated DM

 Sinrom genetik lain, yang kadang terkait dengan DM

4. DM gestasional.

2.2.3 Etiologi

Penyebab dari Diabetes Melitus tipe 2 yaitu dikarenakan oleh

adanya kelainan sekresi insulin yang progresif dan adanya resistensi

insulin.

2.2.4 Patogenesis

Pada DM tipe II (DM yang tidak tergantung insulin (NIDDM),

sebelumnya disebut dengan DM tipe dewasa) hingga saat ini merupakan

diabetes yang paling seringterjadi. Pada tipe ini, disposisi genetik juga

berperan penting. Namun terdapat defisiensi insulin relatif; pasien tidak

mutlak bergantung pada suplai insulin dariluar. Pelepasan insulin dapat

normal atau bahkan meningkat, tetapi organ targetmemiliki sensitifitas

yang berkurang terhadap insulin.Sebagian besar pasien DM tipe II

memiliki berat badan berlebih. Obesitas terjadi karena disposisi genetik,

asupan makanan yang terlalu banyak, dan aktifitas fisik yang terlalu

sedikit.Ketidakseimbangan antara suplai dan pengeluaran energi

meningkatkan konsentrasiasam lemak di dalam darah. Hal ini selanjutnya

akan menurunkan penggunaanglukosa di otot dan jaringan lemak.

30
Akibatnya, terjadi resistensi insulin yangmemaksa untuk meningkatan

pelepasan insulin. Akibat regulasi menurun padareseptor, resistensi insulin

semakin meningkat. Obesitas merupakan pemicu yangpenting, namun

bukan merupakan penyebab tunggal diabetes tipe II. Penyebab yanglebih

penting adalah adanya disposisi genetik yang menurunkan sensitifitas

insulin.Sering kali, pelepasan insulin selalu tidak pernah normal. Beberapa

gen telah diidentifikasi sebagai gen yang menigkatkan terjadinya obesitas

dan DM tipe II.Diantara beberapa faktor, kelainan genetik pada protein

yang memisahkan rangkaian dimitokondria membatasi penggunaan

substrat. Jika terdapat disposisi genetik yangkuat, diabetes tipe II dapat

terjadi pada usia muda.Penurunan sensitifitas insulin terutama

mempengaruhi efek insulin pada metabolisme glukosa, sedangkan

pengaruhnya pada metabolisme lemak dan protein dapatdipertahankan

dengan baik. Jadi, diabetes tipe II cenderung menyebabkanhiperglikemia

berat tanpa disertai gangguan metabolisme lemak.

2.2.5 Gejala Klinis

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang

diabetes.Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan

klasikDM seperti di bawah ini:1,2

 Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia,

danpenurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

31
 Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal,mata kabur,

dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita. 1,2

2.2.6 Pemeriksaan Fisik

1. Penilaian berat badan

2. Mata : penurunan visus, lensa mata buram

3. Extermitas : Uji sensibilitas kulit dengan mikrofilamen.

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium sangat diperlukan dalam mendiagnosis

dan memantau keberhasilan terapi penyakit diabetes Melitus tipe 2 ini,

berikut pemeriksaan laboratorium yang digunakan dalam mendiagnosis,

memantau keberhasilan terapi maupun evaluasi komplikasi yang

ditimbulkan dari diabetes melitus tipe 2 :

 Kadar Glukosa darah puasa, 2 jam post prandial dan sewaktu di

periksa untuk mendiagnosis pasien yang sebelumnya memiliki gejala

klinis diabetes melitus tipe 2 yang khas.

 HbA1C, diperiksa untuk menentukan terapi DM tipe 2 dan melihat

keberhasilan terapi.

 Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan

trigliserida), diperiksa untuk mengetahui kemungkinan sindrom

metabolik lain seperti dislipdemia yang merupakan komorbid pada

pasien pasien DM tipe 2

32
 Kreatinin serum di periksan untuk mengetahui fungsi ginjal, dimana

dapat terjadi komplikasi mikrovaskular pada pasien DM tipe 2 yaitu

nefropati.

 Keton, sedimen, dan protein dalam urin

 Elektrokardiogram

 Foto sinar-x dada.

2.2.8 Diagnosa Banding

Diagnosa banding dari diabetes melitus tipe 2 meliputi :1

 Diabetes Mellitus Tipe 2

 Diabetes Mellitus Tipe 1

 Diabetes Mellitus Insipidus

 Diabetes Tipe Lainnya

 Diabetes Gestasional

2.2.9 Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa

darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya

glukosuria.Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah

yangdianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan

bahandarah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood),

vena,ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan

angka-angkakriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh

WHO.Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat

33
dilakukandengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler

denganglukometer.

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang

diabetes.Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan

klasikDM seperti di bawah ini:

 Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia,

danpenurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

 Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal,mata kabur,

dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara :

1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosaplasma

sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkandiagnosis DM

2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL denganadanya

keluhan klasik.

3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO denganbeban 75 g

glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding denganpemeriksaan

glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan inimemiliki keterbatasan

tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukanberulang-ulang dan dalam

praktek sangat jarang dilakukankarena membutuhkan persiapan

khusus.Apabilahasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau

DM,bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkanke

34
dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atauglukosa darah

puasa terganggu (GDPT).

Keterangan:

1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan

TTGOdidapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 –199

mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).

2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaanglukosa

plasma puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6– 6,9 mmol/L)

dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140mg/dL.

Tabel 3. Kriteria diagnosis DM

1. Gejalaklasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11.2 mmol/L)

Glukosaplasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu

hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir

Atau

2. Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7.0

mmol/L) Puasadiartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya

8 jam

Atau

3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L)

TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa

yang setaradengan 75 g glukosaanhidrus yang dilarutkan kedalam air.

35
*Pemeriksaan HbA1c (≥6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah

satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah

terstandarisasi dengan baik.

Ada perbedaan antara uji diagnostik diabetes melitus dengan

pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik diabetes melitus dilakukan pada

mereka yang menunjukkan gejala atau tanda diabetes melitus, sedangkan

pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasikan mereka yang

tidak bergejala, yang mempunyai resiko diabetes melitus. Serangkaian uji

diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan

penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitif.

Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan

Diabetes melitus, toleransi glukosa terganggu (TGT) maupun glukosa

darah puasa terganggu (GDPT), sehingga dapat ditangani lebih dini secara

tepat. Pasien dengan TGT danGDPT juga disebut sebagai intoleransi

glukosa, merupakan tahapan sementaramenuju diabetes melitus. Kedua

keadaan tersebut merupakan faktor risiko untukterjadinya diabetes melitus

dan penyakit kardiovaskular di kemudian hari.

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar

glukosadarah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat

diikuti dengan testoleransi glukosa oral (TTGO) standar.

Tabel 4. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai standar

penyaring dan diagnosis diabetes melitus

36
Diabetes Meilitus

Kadar glukosadarahsewaktu(mg/dL) ≥ 200

Kadar glukosadarahpuasa(mg/dL) ≥ 126

Kadar glukosa darah 2 jam post ≥ 200

prandial(mg/dL)

Diperlukan anamnesis yang cermat serta pemeriksaan yang baik

untukmenentukan diagnosis diabetes melitus, toleransi glukosa terganggu

dan glukosa darah puasa terganggu. Berikut adalah langkah-langkah

penegakkan diagnosis diabetes melitus, TGT, dan GDPT.

2.2.10 Penatalaksaan

Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan danlatihan

jasmani selama beberapa waktu (2-4minggu). Apabilakadar glukosa darah

belum mencapai sasaran, dilakukanintervensi farmakologis dengan obat

hipoglikemik oral (OHO) danatau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu,

OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi,

sesuai indikasi.Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat,

misalnyaketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengancepat,

dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.

37
1. Terapi Nutrisi Medis

Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian

daripenatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan

TNMadalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim

(dokter,ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien

dankeluarganya).Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat

TNM sesuaidengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi.

Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampirsama

dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitumakanan yang

seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori danzat gizi masing-

masing individu. Pada penyandang diabetes perluditekankan

pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwalmakan, jenis, dan

jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat

penurun glukosa darah atau insulin.

A. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :

1. Karbohidrat

2. Lemak

3. Protein

4. Natrium

5. Serat

6. Pemanis alternatif

38
B. Kebutuhan kalori

Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang

dibutuhkan penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan

memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30

kalori/kgBB ideal,ditambah atau dikurangi bergantung pada

beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat

badan, dll.

Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca

yangdimodifikasi adalah sbb:

 Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.

 Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di

bawah 150 cm, rumus dimodifikasi menjadi :

 Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.

 BB Normal : BB ideal ± 10 %

 Kurus : < BBI - 10 %

 Gemuk : > BBI + 10 %

Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh

(IMT).

Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus :

IMT = BB(kg)/ TB(m2)

39
Klasifikasi IMT

 BB Kurang < 18,5

 BB Normal 18,5-22,9

 BB Lebih ≥ 23,0

Keterangan:

 Dengan risiko 23,0-24,9

 Obesitas I 25,0-29,9

 ObesII > 30

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :

1. Jenis Kelamin

Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria.

Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria

sebesar 30 kal/ kg BB.

2. Umur

Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori

dikurangi 5% untuk dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10%

untuk dekade antara 60 dan 69 tahun dan dikurangi 20%, di atas

usia 70 tahun.

3. Aktivitas Fisik atau Pekerjaan

Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas

aktivitas fisik. Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal

40
diberikan pada kedaaan istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas

ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan aktivitas

sangat berat.

4. Berat Badan

Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% tergantung

kepada tingkat kegemukan.Bila kurus ditambah sekitar 20-30%

sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB. Untuk tujuan

penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling sedikit

1000-1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200-1600 kkal perhari

untuk pria.

Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi

tersebut di atasdibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%),

siang (30%), dansore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10-

15%) di antaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh

mungkin perubahandilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk

penyandang diabetes yangmengidap penyakit lain, pola pengaturan

makan disesuaikan denganpenyakit penyertanya.

C. Latihan jasmani

Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali

seminggu) selama kurang lebih 30 menit,sifatnya sesuai CRIPE

(Continuous, Rhithmical, Interval, Progressive training).

Sedapatmungkin mencapai zona sasaran 75-85 % denyut nadi

maksimal (220/umur), disesuaikandengan kemampuan dan kondisi

41
penyakit penyerta. Sebagai contoh olahraga ringan adalahberjalan

kaki biasa selama 30 menit, olahraga sedang adalah berjalan

selama 20 menit danolahraga berat misalnya joging.

D. Terapi farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan

pengaturanmakan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat).Terapi

farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.

1. Obat hipoglikemik oral

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5golongan:

a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue):sulfonilurea dan

glinid.

b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformindan

tiazolidindion.

c. Penghambat glukoneogenesis (metformin)

d. Penghambat absorpsi glukosa: penghambatglukosidase alfa.

e. DPP-IV inhibitor.

2. Pemicu Sekresi Insulin

a. Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama

meningkatkansekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan

merupakanpilihan utama untuk pasien dengan berat badan

normaldan kurang. Namun masih boleh diberikan kepada

pasiendengan berat badan lebih.Untuk menghindari

42
hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti

orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta

penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan

sulfonilurea kerja panjang.

b. Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama

dengansulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatansekresi

insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2macam obat

yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) danNateglinid (derivat

fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengancepat setelah pemberian

secara oral dan diekskresisecara cepat melalui hati. Obat ini

dapat mengatasihiperglikemia post prandial.

3. Peningkat sensitivitas terhadap insulin

1. Tiazolidindion

Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome

Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-g),

suatureseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini

mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan

meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga

meningkatkan ambilan glukosa diperifer.Tiazolidindion

dikontra indikasikan pada pasien dengangagal jantung kelas I-

IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga

43
pada gangguan faal hati.Pada pasien yang menggunakan tiazoli

dindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.

4. Penghambat glukoneogenesis

1. Metformin

Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi

glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki

ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang

diabetes gemuk. Metformin dikontra indikasikan pada pasien

dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL)

dan hati, serta pasien pasien dengan kecenderungan hipoksemia

(misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal

jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual.

Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat

atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa

pemberian metformin secara titrasi pada awal penggunaanakan

memudahkan dokter untuk memantau efek samping obat

tersebut.

2. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose )

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa

diusus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan

kadarglukosa darah sesudah makan. Acarbose

tidakmenimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping

yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.

44
5. DPP-IV inhibitor

Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu

hormonpeptida yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus.

Peptidaini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang

masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang

kuat pelepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi

glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim

dipeptidylpeptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-

amide yang tidak aktif. Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2,

sehingga upayayang ditujukan untuk meningkatkan GLP-1 bentuk

aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe 2.

Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian

obat yang menghambat kinerja enzim DPP-4(penghambat DPP-4),

atau memberikan hormon asli atau analognya (analog

incretin=GLP-1 agonis). Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4

inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1

tetapdalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif danmampu

merangsang pelepasan insulin sertamenghambat pelepasan glukagon.

6. Obat Suntikan

1. Insulin

Insulin diperlukan pada keadaan :

• Penurunan berat badan yang cepat

• Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

45
• Ketoasidosis diabetik

• Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik

• Hiperglikemia dengan asidosis laktat

• Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal

• Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)

• Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang

tidak terkendali dengan perencanaan makan

• Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

• Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Jenis dan lama kerja insulin

Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:

• Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)

• Insulin kerja pendek (short acting insulin)

• Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)

• Insulin kerja panjang (long acting insulin). 5

Sediaan Insulin Onset Of Peak Action Effective

Action (Puncakkerja) Duration

(Awalkerja) of Action

(Lama kerja)

Insulin prandial (meal-

rolated)

46
Insulin short-acting 30 – 60 30 – 90 menit 3 – 5 jam

Regular (Actrapid", menit

Humulin" R) 30 – 90 menit 3 – 5 jam

Insulin analog rapid-acting 6 – 15 30 – 90 menit 3 – 5 jam

Insulin lispro (Humalog") menit 30 – 90 menit 3 – 5 jam

Insulin glulicino (Apidra") 6 – 15

Insulin aspart (NovoRapid") menit

6 – 15

menit

Insulin Intermediate-acting

NPH (Insulaterd", Humulin" 2 – 4 jam 4 – 10 jam 10 – 16 jam

N) Lenle" 3 – 4 jam 4 – 12 jam 12 – 18 jam

Insulin long-acting

Insulin glargine (Lantus") 2 – 4 jam No peak

Ultralento" 6 – 10 jam 8 – 10 jam

Insulin detemir (Levenir") 2 – 4 jam No peak

Insulin campuran

(short- dan intermediate-

acting)

30 – 60 Dual 10 – 16 jam

70% NPH / 30 % regular menit

47
(Mixtard"; Humulin" 30/70)

Dual 15 – 18 jam

70% insulin aspart 10 – 20

protamina/30% menit

Insulin aspart (NovoMix"30) 1 – 2 jam 16 – 18 jam

75% insulin Espre 5 – 15

protamine/25% insulin lepro menit

injection (Humalog" Mip 25 )

Keterangan :

*Belum tersedia di Indonesia

Nama dalam tanda kurung adalah nama dagang

Efek samping terapi insulin

• Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.

• Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap

insulinyang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi

insulin.

1. Agonis GLP-1

Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan

pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1dapat

bekerja sebagai perangsang penglepasan insulinyang tidak

menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatanberat badan yang

biasanya terjadi pada pengobatan denganinsulin ataupun

sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkinmenurunkan berat

48
badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat pelepasan

glukagon yang diketahuiberperan pada proses glukoneogenesis.

Pada percobaanbinatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan

sel betapankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian

obatini antara lain rasa sebah dan muntah.

2. Terapi Kombinasi

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulaidengan

dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secarabertahap sesuai

dengan respons kadar glukosa darah.Bersamaan dengan pengaturan

diet dan kegiatanjasmani, bila diperlukan dapat dilakukan

pemberian OHOtunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi

dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combination

dalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat

darikelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda.

Bilasasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat

puladiberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang

berbedaatau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien

yangdisertai dengan alasan klinis di mana insulin tidak

memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tigaOHO

dapat menjadi pilihan. Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang

banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal

(insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan

pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi

49
tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah

yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal

insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam

22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai

kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara

seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak

terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi

insulin.

2.2.11. Komplikasi

1. Komplikasi Metabolik Akut

Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan yang

relatif akut darikonsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang

paling serius pada diabetes adalah:

A. Ketoasidosis Diabetik (DKA).

Merupakan komplikasi metabolik yang paling serius pada DM .

Hal ini terjadi karena kadar insulin sangat menurun,dan pasien akan

mengalami hal berikut:

 Hiperglikemia

 Hiperketonemia

 Asidosis metabolik

50
Hiperglikemia dan glukosuria berat, penurunan lipogenesis,

peningkatan lipolisis dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas

disertai pembentukan benda keton (asetoasetat, hidroksibutirat, dan

aseton). Peningkatan keton dalam plasma mengakibatkan ketosis.

Peningkatan produksi keton meningkatkan beban ion hidrogendan

asidosis metabolik. Glukosuria dan ketonuria yang jelas juga dapat

mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan

kehilangan elektrolit. Pasien dapat menjadi hipotensi dan mengalami

syok.

Akhirnya, akibat penurunan penggunaan oksigen otak, pasien

akan mengalami koma dan meninggal. Koma dan kematian akibat

DKA saat ini jarang terjadi, karena pasien maupun tenaga kesehatan

telah menyadari potensi bahaya komplikasi ini dan pengobatan DKA

dapat dilakukan sedini mungkin.

B. Hiperglikemia, Hiperosmolar, Koma Nonketotik (HHNK)

Komplikasi metabolik akut lain dari diabetes yang sering

terjadi pada penderitadiabetes tipe 2 yang lebih tua. Bukan karena

defisiensi insulin absolut, namun relatif,hiperglikemia muncul tanpa

ketosis. Ciri-ciri HHNK adalah sebagai berikut:5

Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum > 600 mg/dl.

 Dehidrasi berat

 Uremia

51
Pasien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan

ini tidak segeraditangani. Angka mortalitas dapat tinggi hingga 50%.

Perbedaan utama antara HHNKdan DKA adalah pada HHNK tidak

terdapat ketosis.

C. Hipoglikemia (reaksi insulin, syok insulin)

Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang

disebabkan penurunanglukosa darah. Gejala ini dapat ringan berupa

gelisah sampai berat berupa koma dengankejang. Penyebab tersering

hipoglikemia adalah obat-obatan hipoglikemik oralgolongan

sulfonilurea, khususnya glibenklamid. Hasil penelitian di RSCM 1990-

1991yang dilakukan Karsono dkk, memperllihatkan kekerapan episode

hipoglikemia sebanyak 15,5 kasus pertahun, dengan wanita lebih besar

daripada pria, dan sebesar65% berlatar belakang DM. meskipun

hipoglikemia sering pula terjadi pada pengobatandengan insulin, tetapi

biasanya ringan. Kejadian ini sering timbul karena pasien

tidakmemperlihatkan atau belum mengetahui pengaruh beberapa

perubahan pada tubuhnya.

Penyebab Hipoglikemia

1. Makan kurang dari aturan yang ditentukan

2. Berat badan turun

3. Sesudah olah raga

4. Sesudah melahirkan

5. Sembuh dari sakit

52
6. Makan obat yang mempunyai sifat serupa

Tanda hipoglikemia mulai timbul bila glukosa darah < 50

mg/dl, meskipunreaksi hipoglikemia bisa didapatkan pada kadar

glukosa darah yang lebih tinggi.Tanda klinis dari hipoglikemia sangat

bervariasi dan berbeda pada setiap orang.

Tanda-tanda Hipoglikemia

1. Stadium parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah turun.

2. Stadium gangguan otak ringan: lemah, lesu, sulit bicara,

kesulitanmenghitung sederhana.

3. Stadium simpatik: keringat dingin pada muka terutama di

hidung,bibir atau tangan, berdebar-debar.

4. Stadium gangguan otak berat: koma dengan atau tanpa

kejang.Keempat stadium hipoglikemia ini dapat ditemukan pada

pemakaian obat oralataupun suntikan. Ada beberapa catatan

perbedaan antara keduanya:

a. Obat oral memberikan tanda hipoglikemia lebih berat.

b. Obat oral tidak dapat dipastikan waktu serangannya,

sedangkan insulin bisadiperkirakan pada puncak kerjanya,

misalnya:

 Insulin reguler : 2-4 jam setelah suntikan

 Insulin NPH : 8-10 jam setelah suntikan

 P.Z.I : 18 jam setelah suntikan.

53
2.2.12 Pencegahan

Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan pada diabetes ada 3

tahap yaitu :

Pencegahan primer: Semua aktifitas ditujukan untuk mencegah

timbulnyahiperglikemia pada individu yang berisiko untuk jadi diabetes

atau pada populasiumum.

Pencegahan sekunder: Menemukan pengidap DM sedini mungkin,

misalnya dengantes penyaringan terutama pada populasi resiko tinggi.

Dengan demikian pasiendiabetes yang sebelumnya tidak terdiagnosis

dapat terjaring, hingga dengan demikiandapat dilakukan upaya untuk

mencegah komplikasi atau kalaupun sudah adakomplikasi masih reversible

(cegah kompilkasi).

Pencegahan tersier: Semua upaya untuk mencegah kecacatan akibat

komplikasi yangsudah ada. Usaha ini meliputi:

- Mencegah progresi dari pada komplikasi itu supaya tidak menjadi

kegagalanorgan (jangan sampai timbul chronic kidney disease)

- Mencegah kecacatan tubuh

2.2.13 Prognosis

Prognosis pada penderita diabetes tipe 2 bervariasi. Namun pada

pasien diatasprognosisnya dapat baik apabila pasien bisa memodifikasi

54
(meminimalkan) risikotimbulnya komplikasi dengan baik.Serangan

jantung, stroke, dan kerusakan saraf dapat terjadi. Beberapa orang dengan

diabetes mellitus tipe 2 menjadi tergantung pada hemodialisa akibat

kompilkasi gagal ginjal.Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk

meminimalkan risiko komplikasi :

 Makan makanan yang sehat / gizi seimbang (rendah lemak, rendah

gula),perbanyak konsumsi serat (buncis 150gr/hari, pepaya,

kedondong, salak, tomat, semangka, dianjurkan pisang ambon namun

dalam jumlah terbatas)

 Gunakan minyak tak jenuh / PUFA (minyak jagung)

 Hindari konsumsi alkohol dan olahraga yang berlebihan

 Pertahankan berat badan ideal

 Kontrol ketat kadar gula darah, HbA1c, tekanan darah, profil lipid

 Konsumsi aspirin untuk cegah ateroskelrosis (pada orang dalam

kategori prediabetes).

55
DAFTAR PUSTAKA

1. Suyono, Slamet. Ed.setiati siti, alwi idrus, sudoyo AW,dkk Ed VI..

Diabetes Melitus di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III,

Ed.IV. 2014. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam

FakultasKedokteran Universitas Indonesia.hal : 2315 – 2322.

2. Kamal Yudisianil, Soekamto SA, Suseno LS. Ed. Sudoyo AW. Penyusun :

Nasution SA, Salim simon, Hidayat Rudy, Kurniawan. Indonesia doctor’s

compendium. Yayasan penerbit ikatan dokter indonesia (YP IDI). Jakarta.

2015.hal : 11- 19.

3. Price, Sylvia Aderson. Pankreas: Metabolisme glukosa dan diabetes

mellitus. Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses/ Sylvia Anderson

price, Lorraine Mc Carty Wilson; alih bahasa, Brahm U.

Pendit[et.al.]editor bahasa Indonesia. Jakarta;2005; hal.1259.

4. Syarif Amir, Hamzah Arie, Rowi AS,dkk. Ed.Zainuddin AA, Faqih DM,

Trisna DV, Dkk. Panduan Praktik Klinis Bagian dokter di Fasilitas

Pelayanan Kesehatan Primer. Ed. Revisi 2014. Jakarta : Yayasan

Penerbitan IDI.hal: 530-537.

5. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe

2 di Indonesia. 2015. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi

Indonesia. Jakarta. 2015.

56
NEUROPATI DIABETIK

2.3 Neuropati Diabetik

2.3.1 Definisi
Neuropati diabetika adalah suatu gangguan pada syaraf perifer, otonom
dan syaraf cranial yang ada hubunganya dengan diabetes melitus. Keadaan ini
disebabkan oleh kerusakan mikrovaskuler yang disebabkan oleh diabetes yang
meliputi pembuluh darah yang kecil-kecil yang memperdarahi syaraf(vasa
nervorum). Gangguan neuropati ini termasuk manifestasi somatic dan atau
otonom dari system saraf perifer.

Salah satu komplikasi kronis paling sering ditemukan pada diabetes


mellitus. Resiko yang dihadapi pasien diabetes melitus dengan neuropati diabetik
antara lain ialah infeksi berulang, ulkus yang tidak sembuh-sembuh dan amputasi
jari/kaki.

2.3.2 Patogenesis
Patogenesis neuropati diabetik belum seluruhnya diketahui dengan jelas.
Namun demikian dianggap bahwa hiperglikemia persisten merupakan faktor
primer & banyak hipotesis dan pada saat ini dianggap suatu proses yang
multifaktorial. Berikut ini beberapa teori yang banyak diterima yaitu:

1. Faktor Metabolik
Proses terjadinya neuropati diabetik berawal dari hiperglikemia yang
berkepanjangan. Hiperglikemia persisten menyebabkan aktivasi jalur
poliol meningkat, yaitu terjadi aktivasi enzim aldose-reduktase, yang
merubah glukosa menjadi sorbitol, yang kemudian dimetabolisme oleh
sorbitol dehidrogenase menjadi fruktosa. Akumulasi sorbitol dan fruktosa
dalam sel saraf merusak sel saraf akibatnya menyebabkan keadaan
hipertonik intraseluler sehingga mengakibatkan edema saraf.

57
2. Kelainan Vaskuler
Hiperglikemia juga mempunyai hubungan dengan kerusakan
mikrovaskular. Mekanisme kelainan mikrovaskuler tersebut dapat melalui
penebalan membrana basalis; trombosis pada arteriol intraneura;
peningkatan agregasi trombosit dan berkurangnya deformitas eritrosit;
berkurangnya aliran darah saraf dan peningkatan resistensi vaskular; stasis
aksonal, pembengkakan dan demielinisasi pada saraf akibat iskemia akut.

3. Mekanisme Imun
Mekanisme patogeniknya ditemukan adanya antineural antibodies pada
serum sebagian penyandang DM. Autoantibodi yang beredar ini secara
langsung dapat merusak struktur saraf motorik dan sensorik yang bisa
dideteksi dengan imunoflorensens indirek dan juga adanya penumpukan
antibodi dan komplemen pada berbagai komponen saraf suralis.
4. Peran Nerve Growth Factor (NGF)
NGF diperlukan untuk mempercepat dan mempertahankan pertumbuhan
saraf. Pada penyandang diabetes, kadar NGF serum cenderung turun dan
berhubungan dengan derajat neuropati. NGF juga berperan dalam regulasi
gen Substance P dan Calcitonin-Gen-Regulated peptide (CGRP). Peptide
ini mempunyai efek terhadap vasodilatasi, motilisasi intestinal dan
nosiseptif, yang kesemuanya itu mengalami gangguan pada neuropati
diabetik.

2.3.3 Klasifikasi
Klasifikasi neuropati diabetik berdasarkan gambaran klinik tebagi atas 2,
yaitu :

• STADIUM I : NEUROPATI FUNGSIONAL / SUBKLINIS, yaitu gejala


timbul sebagai akibat perubahan biokimiawi. Pada fase ini belum ada
kelainan patologik sehingga masih reversibel.

58
• STADIUM II : NEUROPATI STRUKTURAL / KLINIS, yaitu gejala
timbul sebagai akibat kerusakan struktural serabut saraf. Pada fase ini
masih ada komponen yang reversibel.
• Kematian neuron atau tingkat lanjut, yaitu terjadi penurunan kepadatan
serabut saraf akibat kematian neuron. Pada fase ini ireversibel. Kerusakan
serabut saraf pada umumnya dimulai dari distal menuju ke proksimal,
sedangkan proses perbaikan mulai dari proksimal ke distal. Oleh karena
itu lesi distal paling banyak ditemukan, seperti polineuropati simetris
distal.
Klasiifikasi berdasarkan anatomis :

a. Difusse Neuropathy

1. distal symmetric sensorimotor olyneuropathy (terbanyak)

2. autonomic neuropathy

a. sudomotor neuropathy

b. cardiovascular autonomic neuropathy

c. gastrointestinal neuropathy

d. genitourinary neuropathy

3. symmetric proximal lower limb motor neuropathy (amyotrophy)

b. Focal Neuropathy

- cranial neuropathy

- radiculopathy / plexopathy

- entrapment neuropathy

- asymmetric lower limb motor neuropathy

59
2.3.4 Gejala klinis
Neuropati diabetika bisa timbul dalam berbagai bentuk gejala
sensorik, motorik dan otonom, harus dibuat daftar terstruktur untuk
anamnesa.

a. Gejala sensorik bisa merupakan gejala negatif atau positif, difus atau
lokal. Gejala sensorik yang negatif adalah rasa tebal, tak merasa, gangguan
berupa sarung tangan/kaus kaki (glove and stocking), seperti berjalan
diatas tongkat jangkungan dan kehilangan keseimbangan terutama bila
mata ditutup dan luka luka yang tidak merasa sakit. Gejala sensorik positif
adalah rasa seperti terbakar, nyeri yang menusuk, rasa seperti kesetrum,
rasa kencang dan hipersensitif terhadap rasa halus.
b. Gejala motorik dapat menyebabkan kelemahan yang distal, proksimal
atau fokal. Gejala motorik distal termasuk gangguan koordinasi halus dari
otot-otot tangan, tak dapat membuka kaleng atau memutar kunci,
memuku-mukul kaki dan lecetnya jari-jari kaki. Gejala gangguan
proksimal adalah gangguan menaiki tangga, kesukaran bangun dari posisi
duduk atau berbaring, jatuh karena lemasnya lutut dan kesukaran
mengangkat lengan di atas pundak.
c. Gejala otonom dapat berupa gangguan sudo motorik (kulit kerinh,
keringat yang kurang, keringat berlebihan pada area tertentu), gangguan
pupil (gangguan pada saat gelap, sensitif terhadap cahaya yang terang),
gangguan kardiovaskuler (kepala tertasa enteng pada posisi tertentu,
pingsan), gastrointestinal (diare nokturnal, konstipasi, memuntahkan
makanan yang telah dimakan), gangguan miksio (urgensi, inkontinensia,
menetes) dan gangguan seksual (impotensi dalam ereksi dan gangguan
ejakulasi pada pria) dan tidak bisa mencapai klimaks seksual pada wanita).

60
2.3.5 Diagnosis
Ditemukan tanda dan gejala klinik diabetes disertai pemeriksaan
darah ditemukan glukosa puasa  126 mg/dl, 2 jam pp  200 mg/dl,
glycosylated hemoglobin (hba1c) mengalami peningkatan. Ditemukan
tanda dan gejala klinik neuropati disertai pemeriksan EMNG menunjang
suatu neuropati.

Pada evaluasi tahunan, perlu dilakukan pengkajian terhadap:

1. Reflex motorik
2. Fungsi serabut saraf besar dengan tes kuantifikasi sensasi kulit seperti tes
rasa getar (biotesiometer), dan rasa tekan (estesiometer filament mono
semmes- Weintein)
3. Fungsi serabut saraf kecil dengan tes sensasi tubuh
4. Untuk mengetahui dengan lebih awal adanya gangguan hantar saraf dapat
dikerjakan elektromiografi

2.3.6 Pemeriksaan Fisik

1) Reflek motorik
2) Fungsi serabut saraf besar degan tes kuantifikasi sensasi kulit : tes rasa
getar (biotesiometer) & rasa tekan (estesiometer dengan filament mono
Semmers-Weinstein)
3) Fungsi serabut saraf kecil dgn tes sensasi suhu
4) Elektromiografi
5) Uji komponen parasimpatis:
a. Tes respons denyut jantung  maneuver valsava
b. Variasi denyut jantung (interval RR) selama napas dalam
6) Uji komponen simpatis diabetic autonomic neuropatic (DAN) dilakukan
dengan :
a. Respon tekanan darah terhadap berdiri (penurunan sistolik)
b. Respon tekanan darah terhadap genggaman (peningkatan diastolic

61
Skor diabetic neurophaty examination (DNE)

Hasil
No Jenis pemeriksaan Keterangan
pemeriksaan

Kekuatan otot quadriceps


1 Kekuatan 0-5
femoris (ekstensi sendi lutut)

Kekuatan otot tibialis


2 Kekuatan 0-5
anterior (dorsofleksi kaki)

3 Refleks tendo achiles Kekuatan 0-5

Sensitivitas jari telunjuk


4. N/↓/-
tangan(thdp tusukan jarum)

Sensitivitas ibu jari kaki


5 N/↓/-
(thdp sentuhan raba)

Sensitivitas ibu jari kaki


6 (persepsi getar dengan N/↓/-
garpu tala)

Sensitivitas jari kaki(thdp


7 N/↓/-
tusukan jarum)

Sensibilitas ibu jari (thdp


8 N/↓/-
posisi sendi)

62
2.3.7 Pemeriksaan Penunjang:

1) Pemeriksaan laboratorium: Harus diperiksa laboratorium dan


menyingkirkan kausa-kausa lain dari neuropati. Semua haril-hasil harus
normal kecuali gula darah dan HbA1c pada diabetes yang tidak terkontrol
dengan baik atau yang belum diketahui (undiagnosed diabetes). Eritrosit,
leukosit, & diff, Elektrolit, gula darah puasa dan HbA1c walaupun belum
ada korelasi yang langsung antara beratnya peninggian HbA1c dengan
beratnya neuropati diabetika, vitamin B-12 dan kadar asam folat, thyroid-
stimulating hormone dan tiroksin, LED.
2) Pemeriksaan imaging: MRI servikal, torakal atau lumbal untuk
menyingkirkan kausa secunder dari neuropati, CT mielogram adalah suatu
pemeriksaan alternatif untuk menyingkirkan kompresi dan keadaan
patologis lain.
3) Pemeriksaan elektrofisiologi: EMG (elektromiograf) dan kecepatan daya
hantar saraf (KHS/NCV).

2.3.8 Penatalaksanaan
Strategi pengelolaan pasien DM dengan keluhan neuropati diabetic dibagi
menjadi 3 bagian:

1. Diagnosis sedini mungkin


2. Kendali glikemik dan perawatan kaki
3. Pengendalian keluhan neuropati/ nyeri neuropati diabetic setelah strategi
kedua dikerjakan

Terapi Medikamentosa:

Untuk mencegah timbulnya atau berlanjutnya komplikasi kronik DM


termasuk neuropati, saat ini sedang diteliti penggunaan obat-obatan yang berperan
pada proses timbulnya komplikasi kronik diabetes, yaitu:

63
1) Golongan aldose reductase inhibitor, yang berfungsi menghambat
penimbunan sorbitol dan fruktosa
2) Penghambat ACE
3) Neurotropin: Nerve growth factor, Brain derived neurotrophic factor
4) Alpha lipoic acid, suatu antioksidan kuat yang dapat membersihkan
radikal hidroksil, superoksida dan peroksil serta membentuk glutation
5) Penghambat protein kinase C
6) Gangliosides, merupakan komponen utama membrane sel
7) Gamma linoleic acid (GLA), suatu precursor membrane fosfolipid
8) Aminoguanidin, berfungsi menghambat pembentukan AGEs
9) Human intravenous immunoglobulin, memperbaiki gangguan neurologic
maupun non neurologic akibat penyakit autoimun.

Pedoman pengelolaan Neuropati Diabetik dengan nyeri, yang dianjurkan adalah:

1) NSAID (ibuprofen 600mg 4x/hari, sulindac 200 mg 2x/hari)


2) Antidepresan trisiklik (amitriptilin 50-150 mg malam hari, imipramin 100
mg/hari, nortriptilin 50-150 mg malam hari, paroxetine 40 mg/hari)
3) Antikonvulsan (gabapentin 900 mg 3x/hari, karbamazepin 200 mg 4x/hari)
4) Antiaritmia (mexilletin 150-450 mg/hari)
5) Topikal: capsaicin 0,075 % 4x/ hari, fluephenazine 1 mg 3x/hari, trans
cutaneus electrical nerve stimulation.

Edukasi

1) Perbaikan total sangat jarang sehingga edukasi tentang pengelolaan rasa


nyeri sangat penting
2) Pemeriksaan kaki setiap kontrol dan evaluasi teratur thdp kemungkinan
Neuropati Diabetik pd pasien DM.

64
ULKUS DIABETIKUM

2.4 Ulkus Diabetikum

2.4.1 Definisi
Ulkus adalah hilangnya jaringan kulit epidermis dan sebagiandari
dermis, Ulkus juga dapat didefinisikan sebagai luka terbuka pada
permukaan kulit atau selaput lendir yang disertai kematian jaringan yang
luas dan invasif kuman. Adanya kuman tersebut menyebabkan ulkus
berbau.

Ulkus diabetikum merupakan salah satu gejala klinik dan perjalanan


penyakit DM dengan neuropati perifer. Ulkus diabetikum adalah salah satu
komplikasi diabetes melitus berupa kematian jaringan akibat kekurangan aliran
darah, biasanya di bagian ujung kaki. Ulkus diabetikum termasuk luka kronik,
yaitu luka yang berlangsung lama atau sering timbul kembali (rekuren) dimana
terjadi gangguan pada proses penyembuhan yang biasanya disebabkan oleh
masalah multifaktorial dari penderita

65
Gambar . Ulkus diabetikum dorsum pedis

2.4.2 Patogenesis

Ulkus diabetikum dapat terjadi melalui 3 faktor, yaitu:


1. Sistem saraf
Neuropati diabetikum melibatkan baik saraf perifer maupun sistem saraf
pusat. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa neuropati perifer pada pasien
DM disebabkan karena abnormalitas metabolisme intrinsik sel schwan yang
melibatkan lebih dari satu enzim. Pada keadaan normal, rangsang nyeri yang
diterima kaki cepat mendapat respon dengan cara merubah posisi kaki untuk
mencegah terjadinya kerusakan yang lebih besar.

Pada penderita DM, adanya neuropati diabetikum akan menyebabkan


seorang penderita DM kurang atau tidak merasakan adanya trauma, baik
mekanis, kemis maupun termis. Keadaan ini memudahkan terjanya lesi atau
ulserasi yang kemudian masuknya mikroorganisme menyebabkan infeksi
terjadilah selulitis atau gangren. Perubahan yang terjadi yang mudah
ditunjukkan pada pemeriksaan rutin adalah penurunan sensasi (rasa raba,
panas, dingin, nyeri), nyeri radikuler, hilangnya refleks tendon, anhidrosis,
pembentukan callus pada daerah tekanan, perubahan bentuk kaki karena atrofi
otot, perubahan tulang dan sendi.

66
2. Sistem vaskular
Iskemia merupakan penyebab berkembangnya gangren pada pasien DM.
Dua kategori kelainan vaskuler yaitu:

a. Makroangiopati
Makroangiopati yang berupa oklusi pembuluh darah ukuran sedang
maupun besar menyebabkan iskemia dan gangren.

Proses makroangiopathy menyebabkan sumbatan pembuluh darah


secara akut emboli akan memberikan gejala klinik 5P, yaitu: Pain (nyeri),
Paleness (kepucatan), Paresthesia (kesemutan), Pulselessness (denyut
nadi hilang), Paralisis (lumpuh),kadang ditambah P ke 6 yaitu Prostration
(kelesuan).

b. Mikroangiopati
Mikroangiopati berupa penebalan membrana basalis arteri kecil,
arteriola, kapiler dan venula. Kondisi ini merupakan akibat hiperglikemia
menyebabkan reaksi enzimatik dan non enzimatik glukosa ke dalam
membrana basalis. Penebalan membrana basalis menyebabkan
penyempitan lumen pembuluh darah.

3. Sistem imun
Status hiperglikemi dapat menggangguberbagai fungsi netrofil dan
monosit (makrofag) meliputi proses kemotaksis, perlekatan (adherence),
fagositosis dan proses-bunuh mikroorganisme intraseluler. Semua proses ini
terutama penting untuk membatasi invasi bakteri piogenik dan bakteri lainnya.
Empat tahapan tersebut diawali dengan kemotaksis kemudian fagositosis, dan
mulailah proses intraseluler untuk membunuh kuman tersebut oleh radikal
bebas oksigen dan hidrogen peroksida.

67
2.4.3 Patogenesis

Ulkus diabetikum merupakan suatu ulkus yang dicetuskan oleh adanya


hiperglikemi. Tak satupun faktor yang bisa berdiri sendiri menyebabkan
terjadinya ulkus. Kondisi ini merupakan akumulasi efek hiperglikemi dengan
akibatnya terhadap saraf, vaskuler, imunologis, protein jaringan, traums serta
mikroorganisme saling berinteraksi menimbulkan ulserasi dan infeksi kaki.

Ulkus diabetikum terdiri dari kavitas sentral biasanya lebih besar


dibanding pintu masuknya, dikelilingi kalus keras dan tebal. Awalnya proses
pembentukan ulkus berhubungan dengan hiperglikemi yang berefek terhadap
saraf perifer, kolagen, keratin dan suplai vaskuler. Dengan adanya tekanan
mekanik terbentuk keratin keras pada daerah kaki yang mengalami beban terbesar.
Neuropati sensoris perifer memungkinkan terjadinya trauma berulang
mengakibatkan terjadinya kerusakan jaringan di bawah area kalus. Selanjutnya
terbentuk kavitas yang membesar dan akhirnya ruptur sampai permukaan kulit
menimbulkan ulkus. Adanya iskemia dan penyembuhan luka abnormal
menghalangi resolusi.

Mikroorganisme yang masuk mengadakan kolonisasi di daerah ini.


Drainase yang inadekuat menimbulkan closed space infection. Akhirnya sebagai
konsekuensi sistem imun yang abnormal, bakteria sulit dibersihkan dan infeksi
menyebar ke jaringan sekitarnya.

2.4.5 Klasifikasi

Menurut berat ringannya lesi, ulkus diabetikum dibagi dalam enam derajat
menurut Wagner, yaitu :

Derajat 0 : resiko tinggi, tak ada ulkus, pembentukan kalus.

Derajat 1 : ulkus superfisial terbatas pada kulit, klinis tidak ada infeksi.

68
Derajat 2 : ulkus dalam, sering dengan selulitis, tidak ada abses atau infeksi
tulang.

Derajat 3 : ulkus dalam yang melibatkan tulang atau pembentukan

abses.

Derajat 4 : gangren lokal (ibu jari atau tumit).

Derajat 5 : gangren seluruh kaki.

Gambar perkembangan ulkus

A. Pembentukan plak keratin keras sebagai kalus


B. Kerusakan jaringan jauh di dalam kalus
C. Ruptur permukaan kavitas, terbentuk kalus
D. Blokade ulkus oleh keratin, bakteri terperangkap, infeksi
berkembang
2.4.6 Faktor Resiko

Penderita yang beresiko tinggi terkena ulkus DM adalah :

 Penderita DM lama
 Kadar gula darah tinggi
 Umur
 Perokok
 Hipertensi
 Kegemukan

69
 Hiperkolesterolemia
 Kurang gerak

2.4.7 Penilaian ulkus diabetikum

Melakukan penilaian ulkus diabetikum merupakan hal yang sangat penting


karena berkaitan dengan keputusan dalam penatalaksanaan.Penilaian ulkus
dimulai dengan anamnesis kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.

A. Anamnesis
Informasi penting adalah pasien telah mengidap DM sejak lama, oleh
karena itu perlu ditanyakan durasi menderita DM. Keluhan neuropati berupa
kesemutan, rasa panas di telapak kaki, kram dan seluruh tubuh sakit terutama
malam hari. Gejala neuropati menyebabkan hilang atau menurunnya rasa yeri
pada kaki, sehingga apabila penderita mendapat trauma akan sedikit atau tidak
merasakan nyeri sehingga mengakibatkan luka pada kaki. Selain itu juga
ditanyakan aktivitas harian, sepatu yang digunakan, pembentukan kalus,
deformitas kaki, nyeri tungkai saat beraktivitas, penyakit komorbid, kebiasaan
merokok dan minum alkohol, obat-obat yang sedang dikonsumsi, riwayat
menderita ulkus atau amputasi sebelumnya.

B. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik diarahkan untuk mendapatkan deskripsi karakter ulkus,
menentukan ada tidaknya infeksi, menentukan hal yang melatarbelakangi
terjadinya ulkus (neuropati, obstruksi vaskuler perifer, trauma atau deformitas),
klasifikasi ulkus dan melakukan pemeriksaan neuromuskular untuk menentukan
ada tidaknya deformitas.

Inspeksi : tampak kesan kulit kaki yang kering dan pecah-pecah akibat
berkurangnya produksi keringat. Hal ini disebabkan karena denervasi struktur
kulit. Tampak pula hilangnya rambut kaki atau jari kaki, penebalan kuku, kalus

70
pada daerah yang mengalami penekanan seperti pada tumit, plantar aspek kaput
metatarsal. Pada daerah yang mengalami penekanan tersebut merupakan lokasi
ulkus diabetikum karena trauma yang berulang tanpa atau sedikit dirasakan
pasien. Tergantung dari derajatnya saat kita temukan, ulkus yang terlihat mungkin
hanya suatu ulkus superfisial yang hanya terbatas pada kulit dengan dibatasi kalus
yang secara klinis tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi. Pada derajat 3 tampak
pus yang keluar dari ulkus. Gangren tampak sebagai daerah kehitaman yang
terbatas pada jari atau melibatkan seluruh kaki.

Palpasi : kulit yang kering serta pecah-pecah mudah dibedakan dengan kulit yang
sehat. Oklusi arteri akan menyebabkan perabaan dingin serta hilangnya pulsasi
pada arteri yang terlibat. Kalus di sekeliling ulkus akan teraba sebagai daerah
yang tebal dan keras. Deskripsi ulkus harus jelas karena sangat mempengaruhi
prognosis serta tindakan yang akan dilakukan. Apabila pus tidak tampak maka
penekanan pada daerah sekitar ulkus sangat penting untuk mengetahui ada
tidaknya pus. Pintu masuk harus dibuka lebar untuk melihat luasnya kavitas serta
jaringan bawah kulit, otot, tendo serta tulang yang terlibat.

Gambar 7. Kaki diabetes

Resiko pembentukan ulkus sangat tinggi pada penderita neuropati


sehingga apabila belum tampak adanya ulkus namun sudah ada neuropati sensorik
maka proses pembentukan ulkus dapat dicegah. Cara termudah dan murah adalah
dengan pemakaian nilon monofilamen 10 gauge. Tes positif apabila pasien tidak

71
mampu merasakan sentuhan monofilamen ketika ditekankan pada kaki walau
monofilamennya sampai bengkok.

Gambar 8. Pemeriksaan sensorik

Disamping gejala serta tanda adanya kelainan vaskuler, perlu diperiksa


dengan tes vaskuler noninvasif yang meliputi pengukuran oksigen transkutaneus,
ankle-brachial index (ABI), dan absolute toe systolic pressure. ABI didapat
dengan cara membagi tekanan sistolik betis dengan tekanan sistolik lengan.
Apabila didapat angka yang abnormal perlu dicurigai adanya iskemia. Arteriografi
perlu dilakukan untuk memastikan terjadinya oklusi arteri.

Pemeriksaan radiologis akan dapat mengetahui apakah didapat gas


subkutan, benda asing serta adanya osteomielitis.

Pemeriksaan darah rutin menunjukkan angka leukosit yang meningkat bila


sudah terjadi infeksi. Gula darah puasa dan 2 jam pp harus diperiksa untuk

72
mengetahui kadar gula dalam darah. Albumin diperiksa untuk mengetahui status
nutrisi pasien.

2.4.8 Penatalaksanaan

1. Debridemen dan pembersihan luka

Debridemen adalah suatu proses usaha menghilangkan jaringan nekrotik


atau jaringan non vital dan jaringan yang sangat terkontaminasi dari bed luka
dengan mempertahankan secara maksimal struktur anatomi yang penting seperti
saraf, pembuluh darah, tendo dan tulang.

Merupakan tahap yang penting dalam proses penyembuhan luka. Buang


jaringan mati, jaringan hiperkeratosis dan membuat drainase yang baik, dan jika
diperlukan lakukan secara berulang. Perlu disadari bahwa setelah tindakan ini
luka menjadi lebih besar dan berdarah. Harus diketahui bahwa tidak ada obat
topikal yang dapat menggantikan debridement yang baik dengan teknik yang
benar dan proses penyembuhan luka selalu dimulai dari jaringan yang bersih.

Setelah luka dibersihkan dari jaringan nekrotik, eksudat dan waste


metabolic diharapkan akan memperbaiki dan mempermudah proses penyembuhan
luka. Timbunan jaringan nekrotik biasanya terjadi akibat buruknya suplai darah
pada luka atau dari peningkatan tekanan interstitiel.

Gambar Debridemen dan pembersihan luka pada ulkus diabetikum

73
Jika jaringan nekrotik tidak dihilangkan akan berakibat tidak hanya
menghalangi penyembuhan luka, tetapi juga dapat terjadi kehilangan protein,
osteomielitis, infeksi sistemik dan kemungkinan terjadi sepsis, amputasi tungkai
atau kematian. Setelah debridemen membuang jaringan nekrotik akan terjadi
perbaikan sirkulasi dan terpenuhi pengangkutan oksigen yang adekuat ke luka.

2. Mengistirahatkan

Yang dimaksud adalah kita mencegah trauma pada daerah ulkus dan
memindahkan tekanan ke tempat yang lain, jika perlu dengan mengistirahatkan
penderita di tempat tidur. Perlu diingat bahwa latihan gerakan kaki sebagai
perangsang pompa otot harus tetap dilakukan untuk mempertahankan aliran balik
darah, jika perlu tungkai ditinggikan.

3. Pembalutan

Banyak teknik dan macam jenis pembalut yang digunakan saat ini, tapi
yang terpenting pembalut ideal mempunyai karakteristik sebagai berikut:

 Menjaga dan melindungi kelembaban jaringan


 Merangsang penyembuhan luka
 Melindungi dari suhu luar
 Melindungi dari trauma mekanis
 Tidak memerlukan penggantian sering
 Aman digunakan, tidak toksik, tidak mensensitisasi dan hipoalergik
 Bebas dari zat yang mengotori
 Tidak melekat di luka
 Mudah dibuka tanpa nyeri dan merusak luka
 Mempunyai daya serap terhadap eksudat
 Mudah untuk melakukan monitor luka
 Memudahkan pertukaran udara
 Tidak tembus mikroorganisme
 Nyaman untuk pasien

74
 Mudah penggunaannya
 Biaya yang terjangkau

4. Kontrol infeksi

Pada penanganan infeksi, debridement merupakan langkah awal yang


sangat bermanfaat untuk mengurangi lama pemberian antibiotika dan mengurangi
angka amputasi. Kultur sebaiknya dilakukan setelah atau sewaktu dilakukan
debridement. Kultur yang didapat dari usapan luar luka, sudah dibuktikan
mempunyai korelasi yang buruk dengan kuman patogen yang sebenarnya.

Pada ulkus dangkal dapat diberikan antibiotika topikal atau oral pada
pasien rawat jalan dan atau harus dievaluasi apakah ada perbaikan atau memberat
yang memerlukan tindakan pembersihan luka atau mengubah antibiotika dan cara
pemberiannya.

5. Perbaikan vaskularisasi

Pasien DM kronis harus dipikirkan adanya gangguan aliran darah ke


tungkai sampai dibuktikan tidak ada kelainan. Pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan vaskuler non invasif menjadi dasar untuk dilakukan pemeriksaan
lanjutan jika diperlukan.

Fontaine membagi derajat penyakit pembuluh darah perifer (Perifer


Vascular Disease / PVD) menjadi:

Derajat 1 : PVD asimptomatik atau gejala tidak khas (kesemutan,


geringgingan)
Derajat 2 : Intermittent claudication (rasa sakit yang timbul baik siang
atau
malam hari, biasanya pada telapak kaki setelah berjalan
beberapa saat dan segera hilang bila istirahat disertai

75
perasaan terbakar, kebas dan dingin), a > 200 m, dan b < 200
m

Derajat 3 : Ischemia rest pain (nyeri saat istirahat)


Derajat 4 :ulkus ataugangren akibat kerusakan jaringan karena anoksia
Akan tetapi pembagian menurut Fontaine ini sering tidak dapat diterapkan
pada kaki diabetes karena gejala klinis yang sering tidak ada disebabkan oleh
gangguan neuropati perifer.

6. Amputasi

Banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum mengambil keputusan


melakukan amputasi. Pada dasarnya amputasi dibagi menjadi amputasi minor,
yaitu amputasi sendi midtarsal atau di bawahnya dan amputasi mayor, yaitu
amputasi di atas midtarsal.

Indikasi untuk dilakukan amputasi :

 Febris terus menerus


 Regulasi diabetes melitus sulit dicapai (kadar glukosa darah lebih dari 300
mg%)
 Osteomyelitis pada gambaran radiologi
 Selulitis cenderung ke atas
 Infeksi pada gangren yang menyebabkan keadaan umum semakin
memburuk
 Faal ginjal semakin menurun.
Perlu diperhatikan apakah perfusi di daerah amputasi sudah baik, kontrol
gula darah dan nutrisi baik, kontrol infeksi sehingga kemungkinan reamputasi
(amputasi di atasnya karena luka tidak sembuh) menjadi berkurang.

Pasien yang sudah dilakukan amputasi kemungkinan untuk dilakukan


amputasi baru pada tungkai yang sama ataupun pada tungkai sebelahnya lebih
tinggi dibandingkan pasien yang tidak dilakukan amputasi. Hal ini disebabkan

76
kemungkinan timbulnya ulkus pada pasien pasca amputasi lebih tinggi
dibandingkan pasien tanpa amputasi.

7. Flap dan rekonstruksi

Flap adalah pemindahan kulit dan atau jaringan di bawahnya untuk


menutup defek dengan menyertakan pedikel untuk vaskularisasi. Free flap adalah
pemindahan flap dengan teknik bedah mikro.Sebelum melakukan tindakan flap
ataupun rekonstruksi harus dipastikan bahwa perfusi ke arah tungkainya baik.
Tindakan flap atau flap bebas lebih ditekankan untuk menutup defek yang luas
dan terutama di daerah yang tertekan sehingga memerlukan bantalan yang cukup
tebal. Sedangkan tindakan rekonstruksi diharapkan untuk mencegah terbentuknya
ulkus pada tungkai yang sudah mengalami perubahan bentuk seperti pada kaki
charcott ataupun melakukan artrodesis sendi yang tidak stabil atau terinfeksi.

Tindakan yang sering dilakukan seperti:

Arthroplasti
Sesamoid reduksi atau ektomi
Kondilektomi
Metatarsal osteotomi
Reseksi sendi metatarsofalangeal atau
Fusi sendi interfalangeal
Pada prinsipnya tindakan ini bertujuan untuk memperbaiki dan menstabilkan
sendi sehingga beban tubuh dapat diterima oleh bagian yang luas pada telapak
kaki.

2.4.9 Rehabilitasi
Pada dasarnya penderita kaki diabetes harus dapat merawat sendiri dan
dapat mencegah timbulnya ulkus dengan cara yang baik. Dengan pengetahuan
yang baik angka timbulnya ulkus dapat ditekan sampai setengahnya. Hal ini akan
menekan biaya pengobatan yang cukup besar, di samping fungsi sosial pasien
juga menjadi baik. Diperlukan kerjasama multidisipliner dan waktu konsultasi

77
yang cukup untuk mendapatkan hasil yang baik dari segi pengetahuan pasien
dalam perawatan kaki.

2.4.10 Prognosis
Pada orang diabetes dengan neuropati bahkan jika hasil manajemen yang
sukses dalam penyembuhan dari ulkus kaki, tingkat kekambuhan 66% dan tingkat
amputasi naik ke 12%

78
BAB III

KESIMPULAN

Semua definisi hipertensi adalah angka kesepakatan berdasarkan bukti

klinis (evidence based) atau berdasarkan konsensus atau berdasarkan

epodemiologi studi meta analisis. Sebab bila tekanan darah lebih tinggi dari angka

normal yang disepakati, maka resiko morbiditas dan mortalitas kejadian

kardiovaskuler akan men ingkat. Yang paling penting ialah tekanan darah harus

persistens diatas atau sama dengan 140/90 mmHg. Hipertensi secara garisbesar

dibagi menjadi 2 yaitu Hipertensi disebut primer bila penyebabnya tidak diketahui

(90%), bila ditemukan penyebabnya disebut sekunder (10%). Ada 4 patogenesis

yang mendasari hipertensi 1. Peran volume intravaskular 2. Peran kendali saraf

autonom 3. Peran sistem renin angiotensin aldosteron (RAA) 4. Peran dinding

vaskular pembuluh darah. Biasanya gejalanya bersifat asimtomatis kecuali

hipertensi yang sudah mengenai organ. Pengobatan dalam hipertensi dibagi

menjadi dua yaitu pengobatan non farmakologis dan terapi farmakologis, terapi

non farmakologis seperti konsumsi Natrium seperti garam yang harus di turunkan,

memperbanyak makan buah dan sayur, makan makanan yang rendah kolesterol

dan merutinkan jalan sehat 5 x / minggu selama 30 menit. Kemudian terapi

farmakologis ada beberapa macam obat yaitu Deuretika, terutama golongan

thiazide (thiaz), aldosteron antagonist (Aldo Ant), Beta Bloker (BB), calcium

channal bloker atau calcium antagonist (CCB), angiotensin converting enzyme

inhibitor (ACE-I), angiotensin II reseptor bloker atau AT 1 receptor

antagonist/blocker (ARB).

79
Diabetes melitus tipe 2 merupakan suatu kelompok penyakit metabolik

dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,

kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes

berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan

beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah.

Diabetes millitus dibagi menjadi 4 bagian yaitu diabetes millitus tipe 1, diabetes

millitus tipe 2, diabetes tipe lain dan diabetes millitus gestasional. Pengobatan dari

diabetes millitus dibagi menjadi dua bagian besar yaitu terapi nutrisi dan terapi

farmakologi. Terapi farmakologi seperti obat oral hipoglikemi, obat pemicu

sekresi insulin, dll.

80
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoya AW, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi V Jilid III hal.
961-1070.InternaPublishing 2009.
2. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). Konsensus
Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2011.
PERKENI. 2011.
3. Kamal Yudisianil, Soekamto SA, Suseno LS. Ed. Sudoyo AW. Penyusun :

Nasution SA, Salim simon, Hidayat Rudy, Kurniawan. Indonesia doctor’s

compendium. Yayasan penerbit ikatan dokter indonesia (YP IDI). Jakarta.

2015.hal : 11- 19.

4. Price, Sylvia Aderson. Pankreas: Metabolisme glukosa dan diabetes

mellitus. Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses/ Sylvia Anderson

price, Lorraine Mc Carty Wilson; alih bahasa, Brahm U.

Pendit[et.al.]editor bahasa Indonesia. Jakarta;2005; hal.1259.

81

Anda mungkin juga menyukai