Anda di halaman 1dari 15

Definisi Stakeholder

Dalam melakukan praktik CSR tidak bisa terlepas kaitannya dengan


istilah stakeholders atau pemangku kepentingan, karena irisannya besar antara mempengaruhi
dan dipengaruhi terkait dengan terpenuhinya kebutuhan masing-masing. Secara sederhana
definisi stakeholders adalah kelompok-kelompok yang mempengaruhi dan/atau dipengaruhi
oleh organisasi tersebut sebagai dampak dari aktivitas-aktivitasnya (Tanari, 2009).
Jika dilakukan pemetaan, stakeholders dalam entitas perusahaan terbagi ke dalam 7
(tujuh) jenis, diantaranya: pelanggan, masyarakat, karyawan, pemegang saham, lingkungan,
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pemerintah. Setiap stakeholders memiliki hasrat
dan kebutuhan masing-masing. Di antara hasrat stakeholders adalah sebagai berikut:
a. Pelanggan
 Berhak atas produk berkualitas
 Berhak mendapatkan harga yang layak
b. Masyarakat
 Berhak mendapatkan perlindungan dari kejahatan bisnis
 Mendapatkan dampak hubungan yang baik dari keberadaan perusahaan
c. Pekerja
 Mendapatkan jasminan keamanan dalam bekerja
 Mendapatkan jaminan kesalamatan
 Mendapatkan perlakuan yang adil dan tidak ada dikriminasi
d. Pemegang Saham
 Berhak mendapatkan harga saham yang layak dan keuntungan saham
e. Lingkungan
 Mendapat jaminan terhadap perlindungan alam
 Mendapatkan hak rehalibitasi
f. Pemerintah
 Mendapatkan laporan atas pemenuhan persyaratan hukum
g. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
 Menjalankan fungsi control baik terhadap regulasi maupun komitmen perusahaan
Dalam konteks penerapan CSR, stakeholders wajib di rangkul dan dilibatkan baik dalam
tahap perencanaan, implementasi dan evaluasi. Jika pun stakeholders tidak dilibatkan dalam
proses perencanaan, setidaknya mendapatkan kontribusi positif dari program yang
dilaksanakan. Andai terdapat satu stakeholders tidak dilibatkan atau mendapatkan manfaat dari
perusahaan, maka akan berpotensi menjadi masalah bagi keberlanjutan perusahaan.
Kelangsungan hidup perusahaan bergantung pada dukungan stakeholders dan dukungan
tersebut harus dicari sehingga aktivitas perusahaan adalah untuk mencari dukungan tersebut.
Makin powerful stakeholders,makin besar usaha perusahaan untuk beradaptasi. Pengungkapan
sosial dianggap sebagai bagian dari dialog antara perusahaan dengan stakehoders-nya (Chariri
dan Ghazali, 2007).

Jenis-jenis Stakeholder
Kasali dalam Wibisono (2007, hal. 90) membagi stakeholders menjadi sebagai berikut:
1. Stakeholders Internal dan stakeholders eksternal.
Stakeholders internal adalah stakeholders yang berada di dalam lingkungan organisasi.
Misalnya karyawan, manajer dan pemegang saham (shareholder).
Sedangkanstakeholders eksternal adalah stakeholders yang berada di luar lingkungan
organisasi, seperti penyalur atau pemasok, konsumen atau pelanggan, masyarakat, pemerintah,
pers, kelompok social responsible investor, licensing partner dan lain-lain.
2. Stakeholders primer, sekunder dan marjinal.
Tidak semua elemen dalam stakeholders perlu diperhatikan. Perusahaan perlu menyusun
skala prioritas. Stakeholders yang paling penting disebut stakeholders primer,
stakeholders yang kurang penting disebut stakeholders sekunder dan yang biasa diabaikan
disebut stakeholders marjinal. Urutan prioritas ini berbeda bagi setiap perusahaan meskipun
produk atau jasanya sama. Urutan ini juga bisa berubah dari waktu ke waktu.
3. Stakeholders tradisional dan stakeholders masa depan.
Karyawan dan konsumen dapat disebut sebagai stakeholders tradisional, karena saat ini
sudah berhubungan dengan organisasi. Sedangkan stakeholders masa depan
adalah stakeholders pada masa yang akan datang diperkirakan akan memberikan pengaruhnya
pada organisasi seperti mahasiswa, peneliti dan konsumen potensial.
4. Proponents, opponents, dan uncommitted.
Diantara stakeholders ada kelompok yang memihak organisasi (proponents), menentang
organisasi (opponents) dan ada yang tidak peduli atau abai (uncommitted). Organisasi perlu
mengenal stakeholders yang berbeda-beda ini agar dapat melihat permasalahan, menyusun
rencana dan strategi untuk melakukan tindakan yang proposional.
5. Silent majority dan vokal minority.
Dilihat dari aktivitas stakeholders dalam melakukan komplain atau mendukung
perusahaan, tentu ada yang menyatakan pertentangan atau dukungannya secara vokal(aktif)
namun ada pula yang menyatakan secara silent (pasif).
Menurut Hill (1996, hal 129), Stakeholders dalam pelayanan sosial meliputi negara,
sektor pivat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan masyarakat, dalam kasus program
CSR keseluruhan entitas tersebut terlibat secara bersama-sama. Sementara mereka memiliki
kepentingan berbeda-beda yang satu dengan yang lain bisa saling bersebrangan dan sangat
mungkin merugikan pihak yang lain.

Teori Stakeholder
Individu, kelompok, maupun komunitas dan masyarakat dapat dikatakan sebagai
stakeholder jika memiliki karakteristik seperti yang diungkapkan oleh Budimanta dkk.(2008
dalam Rizki, 2010) yaitu mempunyai kekuasaan, legitimasi, dan kepentingan terhadap
perusahaan. Gray, Kouhy, dan Adams (1994, p.53) dalam Chariri dan Ghazali (2007:409)
mengatakan bahwa kelangsungan hidup perusahaan tergantung pada dukungan stakeholder dan
dukungan tersebut harus dicari sehingga aktivitas perusahaan adalah untuk mencari dukungan
tersebut. Makin powerful stakeholder, makin besar usaha perusahaan untuk beradaptasi. Hal
inilah yang mendasari perbedaan cara perusahaan dalam bersikap terhadap satu stakeholder
dan stakeholder lainnya.
Ullman (1985) mengungkapkan,“ketika stakeholder mengendalikan sumber ekonomi
yang penting bagi perusahaan, maka perusahaan akan bereaksi dengan cara-cara yang
memuaskan keinginan stakeholder”. Tidak berhenti di situ, perusahaan juga kemudian lebih
memprioritaskan satu stakeholder tertentu dibanding yang lain.
Ditegaskan lebih lanjut oleh Ullman (1985) bahwa organisasi akan memilih stakeholder
yang dianggap penting, dan mengambil tindakan yang dapat menghasilkan hubungan harmonis
antara perusahaan dengan stakeholder-nya.
Atas dasar argumen di atas, stakeholder theory umumnya berkaitan dengan cara-cara
yang digunakan perusahaan untuk me-manage stakeholder-nya (Gray et al 1997. dalam Chariri
2007:410). Cara-cara yang dilakukan perusahaan untuk me-manage stakeholder-nya
tergantung pada strategi yang diadopsi perusahaan (Ullman, 1985) baik strategi aktif maupun
pasif. Salah satunya melalui penyusunan laporan keuangan. Penyusunan laporan keuangan
terbukti mampu meningkatkankan kepercayaan para pemangku kepentingan terhadap
manajemen. Kepercayaan ini yang seterusnya menjadi modal awal bagi manajemen untuk
melakukan akses permodalan dan sebagainya.
Teori di atas menegaskan bahwa pelaporan keuangan merupakan salah satu cara
untuk mengelola kepercayaan para pemangku kepentingan, dimana keberadaan stakeholder
akan sangat mempengaruhi pola pikir dan persepsi manajemen terhadap urgensi praktik
akuntansi perusahaan.
Stakeholder adalah semua pihak, internal maupun eksternal, yang dapat mempengaruhi
atau dipengaruhi oleh perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dengan demikian, stakeholder merupakan pihak internal maupun eksternal, seperti :
pemerintah, perusahaan pesaing, masyarakat sekitar, lingkungan
internasional, lembaga diluar perusahaan (LSM dan sejenisnya),
lembaga pemerhati lingkungan, para pekerja perusahaan, kaum minoritas dan lain sebagainya
yang keberadaannya sangat mempengaruhi dan dipengaruhi perusahaan.
Hal pertama mengenai teori stakeholder adalah bahwa
stakeholder adalah sistem yang secara eksplisit berbasis pada
pandangan tentang suatu organisasi dan lingkungannya, mengakui
sifat saling mempengaruhi antara keduanya yang kompleks dan dinamis. Hal ini berlaku untuk
kedua varian teori stakeholder, varian pertama berhubungan langsung dengan model
akuntabilitas.
Stakeholder dan organisasi saling mempengaruhi, hal ini dapat dilihat dari hubungan
sosial keduanya yang berbentuk responsibilitas dan akuntabilitas. Oleh karena itu organisasi
memiliki akuntabilitas terhadap stakeholdernya. Sifat dari akuntabilitas itu ditentukan dengan
hubungan antara stakeholder dan organisasi.
Varian dari kedua teori stakeholder berhubungan dengan pandangan Trekers (1983)
dalam Achmad (2007) mengenai emprical accountability. Teori stakeholder mungkin
digunakan dengan ketat dalam suatu organisasi arah terpusat (centeredway organization).
Robert (1992) menyatakan bahwa pengungkapan sosial perusahaan merupakan sarana yang
sukses bagi perusahaan untuk menegosiasikan hubungan dengan stakeholdernya.
Berdasarkan asumsi stakeholder theory, maka perusahaan tidak dapat melepaskan diri
dari lingkungan sosial. Perusahaan perlu menjaga legitimasi stakeholder serta
mendudukkannya dalam kerangka kebijakan dan pengambilan keputusan, sehingga dapat
mendukung pencapaian tujuan perusahaan, yaitu stabilitas usaha dan jaminan going concern
(Adam, dalam Nor Hadi. 2011: 94-95).

Hubungan stakeholder dengan perusahaan


Sifat dari hubungan perusahaan dengan stakeholders mengalami perubahan dinamis
seiring berjalanya waktu. Beberapa pakar mengamati terjadinya pergeseran bentuk dari yang
semula tidak aktif (inactive), menjadi reaktif (reactive), kemudian berubah lagi menjadi
proaktif (proactive), dan akhirnya menjadi interaktif (interactive).
 Hubungan tidak aktif (inactive); perusahaan meyakini bahwa mereka dapat
membuat keputusan secara sepihak tanpa mempertimbangakan dampaknya
terhadap pihak lain.
 Hubungan yang reaktif (reactive); perusahaan cenderung memepertahankan diri
(defensive), dan hanya bertindak ketika dipaksa melakukanya.
 Hubungan yang proaktif (proactive); perusahaan cenderung berusaha untuk
mengantisipasi kepentingan-kepentingan para stakeholders. Biasanya perusahaan
memiliki departemen khusus yang berfungsi untuk mengidentifikasi isu-isu yang
menjadi perhatian para pemangku kepentinagan utama. Namun, perhatian mereka
dan para stakeholders dipandang sebagai suatu permasalahan yang perlu dikelola,
bukan dipandang sebagai suatu sumber keunggulan kompetitif.
 Hubungan yang interaktif (interactive); perusahaan menggunakan pendekatan
bahwa perusahaan harus memiliki hubungan berkelanjutan yang saling
menghormati, terbuka, dan saling dipercaya dengan para pemangku
kepentinganya. Dengan demikian, perusahaan menganggap bahwa suatu
hubungan yang positif dengan para pemangku kepentingan adalah sumber nilai
dan keunggulan kompetitif bagi perusahaan.
Hubungan perusahaan dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) diharapkan
bersifat interaktif (interactive). Dengan demikian, diharapkan interaksi ini dapat membantu
perusahaan mempelajari ekspektasi masyarakat, memperoleh keahlian dari luar perusahaan,
mengembangkan solusi kreatif, dan memenangkan dukunga pemangku kepentingan untuk
menerapkan berbagai solusi tersebut. Menurut Tunggal (2009:63) perlu respon terhadap
pemangku kepentingan pada era sekarang ini dipertajam dengan meningakatkannya globalisasi
perusahaan dan dengan munculnya teknologi-teknologi yang mampu memfasilitasi
komunikasi cepat pada pada skala dunia. Suatu perusahaan dapat membuat sebuah pemetaan
mengenai tipe pamangku kepentinagan yang sedang dihadapi dengan menempatkan dimensi
potensi dan dimensi kerja sama untuk menentukan strategi untuk mengahadapi para pemangku
kepentingan tersebut.

Peranan Kreditor
Kelompok penyedia modal bagi perusahaan. Pada kelompok ini pihak-pihak yang terkait
adalah merupakan penyandang dana utama bagi perusahaan baik pada awal pendiriannya
maupun untuk kepentingan keberlangsungan perusahaan. Misalnya Bank, kreditur.
Perusahaan yang mempunyai leverage tinggi mempunyai kewajiban lebih untuk
memenuhi kebutuhan informasi kreditur jangka panjang. Dengan semakin tinggi leverage,
yang mana akan menambahbeban untuk program corporate social responsibility menjadi
terbatas atau semakin tinggi leverage, maka semakin rendah program CSR.

Definisi Corporate Social Responsibility (CSR)


Definisi CSR (Corporate Social Responsibility) adalah suatu tindakan atau konsep yang
dilakukan oleh perusahaan (sesuai kemampuan perusahaan tersebut) sebagai bentuk
tanggungjawab mereka terhadap sosial/lingkungan sekitar di mana perusahaan itu berada.
Contoh bentuk tanggungjawab itu bermacam-macam, mulai dari melakukan kegiatan
yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan lingkungan, pemberian
beasiswa untuk anak tidak mampu, pemberian dana untuk pemeliharaan fasilitas umum,
sumbangan untuk desa/fasilitas masyarakat yang bersifat sosial dan berguna untuk masyarakat
banyak, khususnya masyarakat yang berada di sekitar perusahaan tersebut berada.

Ruang lingkup CSR


Pada dasarnya CSR bukanlah entitas departemen atau divisi yang sifatnya parsial atau
hanya berfungsi dalam pendongkrakan citra sebagai bagian dari jurus jitu marketing
perusahaan, sehingga nilai perusahaan di mata stakeholders lain khususnya masyarakat
menjadi positif.
Pada hakikatnya CSR adalah nilai atau jiwa yang melandasi aktivitas perusahaan secara
umum, dikarenakan CSR menjadi pijakan kompeherensif dalam aspek ekonomi sosial,
kesejahteraan dan lingkungan. Tidak etis jika nilai CSR hanya diimplementasikan untuk
memberdayakan masyarakat setempat, disisi lain kesejahteraan karyawan yang ada didalamnya
tidak terjamin atau perusahaan tidak disiplin dalam membayar pajak, suburnya praktik korupsi
dan kolusi atau mempekerjakan anak.
Dalam aspek lingkungan misalnya, terdapat perusahaan-perusahaan yang kontribusi
dalam pencemaran terhadap alam, melakukan pemborosan energy dan bermasalah dalam
limbah. Bagaimanapun semua aspek dalam perusahaan, baik ekonomi, sosial, kesejahteraan
dan lingkungan tidak bisa lepas dari koridor tanggung jawab sosial perusahaan. Oleh karena
itu dalam CSR tercangkup didalamnya empat landasan pokok yang antara satu dengan yang
lainnya saling berkaitan (Tanari, 2009) di antaranya:
a. Landasan pokok CSR dalam aktivitas ekonomi, meliputi:
 Kinerja keuangan berjalan baik
 Investasi modal berjalan baik
 Kepatuhan dalam pembayaran pajak
 Tidak terdapat praktik suap/korupsi
 Tidak ada konflik kepentingan
 Tidak dalam keadaan mendukung rezim yang korup
 Menghargai hak atas kemampuan intelektual/paten
 Tidak melakukan sumbangan politis/lobi
b. Landasan pokok CSR dalam isu lingkungan hidup, meliputi:
 Tidak melakukan pencemaran
 Tidak berkontribusi dalam perubahan iklim
 Tidak berkontribusi atas limbah
 Tidak melakukan pemborosan air
 Tidak melakukan praktik pemborosan energy
 Tidak melakukan penyerobotan lahan
 Tidak berkontribusi dalam kebisingan
 Menjaga keanekaragaman hayati
c. Landasan pokok CSR dalam isu sosial, meliputi:
 Menjamin kesehatan karyawan atau masyarakat yang terkena dampak
 Tidak memperkerjakan anak
 Memberikan dampak positif terhadap masyarakat
 Melakukan proteksi konsumen
 Menjunjung keberanekaragaman
 Menjaga privasi
 Melakukan praktik derma sesuai dengan kebutuhan
 Bertanggung jawab dalam proses outsourching dan off-shoring
 Akses untuk memperoleh barang-barang tertentu dengan harga wajar
d. Landasan pokok CSR dalam isu kesejahteraan
 Memberikan kompensasi terhadap karyawan
 Memanfaatkan subsidi dan kemudahan yang diberikan pemerintah
 Menjaga kesehatan karyawan
 Menjaga keamanan kondisi tempat kerja
 Menjaga keselamatan dan kesehatan kerja
 Menjaga keseimbangan kerja/hidup
Landasan di atas memberikan sebuah gambaran bahwa CSR bukanlah hal yang parsial,
melainkan suatu urusan yang kompeherensif. Tidak tepat jika perusahaan hanya focus pada
aspek kesejahteraan karyawan dan ketidakseimbangan antara aspek lainnya. Oleh karena itu
poin-poin di atas bisa dijadikan sebagai indikator sejauh mana keseriusan perusahaan dalam
menerapkan CSR. Selain aspek di atas, kesungguhan perusahaan dalam menerapkan CSR bisa
juga diukur dengan menggunakan indikator Piramida CSR. Tujuannya adalah untuk
mengetahui berada pada tipe apa perusahaan dalam menerapkan CSR, apakah hanya fokus
pada tanggung jawab secara ekonomi lalu menegasikan kebutuhan masyarakat local, baru pada
tataran mematuhi aturan hukum, atau memang sudah berada dalam tingkat tertinggi yaitu
tanggung jawab etis, mempraktikan CSR secara kompeherensif.

Tujuan CSR
Dalam bisnis apa pun, yang diharapkan adalah keberlanjutan dan kestabilan usaha,
karena keberlanjutan akan mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya bagi perusahaan.
Setidaknya terdapat tiga alasan penting mengapa kalangan dunia usaha harus merespon CSR
agar sejalan dengan jaminan keberlanjutan operasional perusahaan, sebagaimana dikemukakan
Wibisono (2007).
Pertama, perusahaan adalah bagian dari masyarakat dan oleh karenanya wajar bila
perusahaan memperhatikan kepentingan masyarakat. Kegiatan sosial ini berfungsi sebagai
kompensasi atau upaya timbal balik atas penguasaan sumber daya alam atau sumber ekonomi
oleh perusahaan yang kadang bersifat ekspansif dan eksploratif, disamping sebagai kompensasi
sosial karena timbul ketidaknyamanan (discomfort) pada masyarakat.
Kedua, kalangan bisnis dan masyarakat sebaiknya memiliki hubungan yang bersifat
simbiosis mutualisme untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Wajar bila perusahaan
dituntut untuk memberikan kontribusi positif kepada masyarakat, sehingga bisa tercipta
harmonisasi hubungan bahkan pengdongkrakan citra dan performa perusahaan.
Ketiga, kegiatan CSR merupakan salah satu cara untuk meredam atau bahkan
menghindarkan konflik sosial. Potensi konflik itu berasal akibat dari dampak operasional
perusahaan atau akibat kesenjangan struktural dan ekonomis yang timbul antara masyarakat
dengan komponen perusahaan.

Implementasi CSR
Dalam menjalankan aktivitas CSR tidak ada standar atau praktik-praktik tertentu yang
dianggap terbaik. Setiap perusahaan memiliki karakteristik dan situasi yang unik yang
berpengaruh terhadap bagaimana mereka memandang tanggung jawab sosial. Dan setiap
perusahaan memiliki kondisi yang beragam dalam hal kesadaran akan berbagai isu berkaitan
dengan CSR serta seberapa banyak hal yang telah dilakukan dalam mengimplementasikan
pendekatan CSR.
lmplementasi CSR yang dilakukan oleh masing-masing perusahaan sangat bergantung
kepada misi, budaya, lingkungan dan profit risiko, serta kondisi operasional masing-masing
perusahaan. Banyak perusahaan yang telah melibatkan diri dalam aktivitas aktivitas yang
berkaitan dengan pelanggan, karyawan, komunitas, dan lingkungan sekitar, yang merupakan
titik awal yang sangat baik menuju pendekatan CSR yang lebih luas. Pelaksanaan CSR dapat
dilaksanakan menurut prioritas yang didasarkan pada ketersediaan sumber daya yang dimiliki
oleh perusahaan. Aktivitas CSR perlu diitegrasikan dengan pengambilan keputusan inti,
strategi, aktivitas, dan proses manajemen perusahaan.
Meskipun tidak terdapat standar atau praktik-praktik tertentu yang dianggap terbaik
dalam pelaksanaan aktivitas CSR, namun kerangka kerja (framework) yang luas dalam
pengimplementasian lingkungan. Kerangka kerja yang disodorkan oleh industri Kanada dapat
dijadikan panduan. Kerangka kerja ini mengikuti model “plan, do, check, dan improve” dan
bersifat fleksibel, artinya dapat disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi oleh masing-masing
perusahaan.

Kepentingan stakeholders dalam pelaksanaan CSR


Mulyadi dalam tulisan yang berjudul Pengelolaan Program Corporate Social
Responbility: Pendekatan, Keberpihakan dan keberlanjutannya (2003:5) membagi
stakeholders berdasarkan kepentingannya.

Perusahaan Pemerintah Daerah LSM Masyarakat

Keamanan Fasilitas Mendukung Mengontrol Penerima program


Produksi pembangunan daerah yang diberdayakan

Kewajiban kontrak Menjadi mitra kerja


perusahaan

Sumber: Mulyadi (2003:5)


Dalam konteks hubungan kemitraan antara pemerintah dan perusahaan, pemerintah
daerah mengharapkan agar program-program CSR bisa membantu menyelesaikan
permasalahan sosial, seperti masalah pengangguran, kemiskinan, masalah pendidikan,
kesehatan, perumahan. Selain itu menyelesaikan masalah lingkungan yang dihadapi
pemerintah daerah. Hal ini menunjukan bahwa perusahaan dituntut untuk membantu
pemerintah daerah untuk mendukung program pembangunan regional yang
diimplementasikannya. Pemerintah yang menjadi penanggungjawab utama dalam
mensejahterakan masyarakat dan melestarikan lingkungan tidak akan menanggung bebean
tersebut jika dilakukan sendiri, melainkan membutuhkan partisipasi, salah satunya yang paling
potensial adalah dari perusahaan, agar akselerasi pembangunan dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat bisa tercapai.
Setiap perusahaan memiliki cara pandang yang berbeda terhadap CSR, dan cara pandang
inilah yang bisa dijadikan indikator kesungguhan perusahaan tersebut dalam melaksanakan
CSR atau hanya sekedar membuat pencitraan di masyarakat. Setidaknya terdapat tiga kategori
paradigma perusahaan dalam menerapkan program CSR menurut Wibisono (2007;73),
diantaranya:
Pertama, Sekedar basa basi dan keterpaksaan, artinya CSR dipraktekkan lebih karena
faktor eksternal, baik karena mengendalikan aspek sosial (social driven) maupun
mengendalikan aspek lingkungan (environmental driven). Artinya pemenuhan tanggungjawab
sosial lebih karena keterpaksaan akibat tuntutan daripada kesukarelaan. Berikutnya adalah
mengendalikan reputasi (reputation driven), yaitu motivasi pelaksanaan CSR untuk
mendongkrak citra perusahaan. Banyak korporasi yang sengaja berupaya mendongkrak citra
dengan memanfaatkan peristiwa bencana alam seperti memberi bantuan uang, sembako, medis
dan sebagainya, yang kemudian perusahaan berlomba menginformasikan kontribusinya
melalui media massa. Tujuannya adalah untuk mengangkat reputasi.
Kedua, Sebagai upaya untuk memenuhi kewajiban (compliance). CSR
diimplementasikan karena memang ada regulasi, hukum dan aturan yang memaksanya.
Misalnya karena ada kendali dalam aspek pasar (market driven). Kesadaran tentang pentingnya
mengimpelementasikan CSR ini menjadi tren seiring dengan maraknya kepedulian masyarakat
global terhadap produk-produk yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan memperhatikan
kaidah-kaidah sosial. Selain market driven, driven yang sanggup memaksa perusahaan untuk
mempraktekkan CSR adalah adanya penghargaan-penghargaan (reward) yang diberikan oleh
segenap institusi atau lembaga. Misalnya CSR Award baik yang regional maupun global,
Padma (Pandu Daya masyarakat) yang digelar oleh Depsos, dan Proper (Program Perangkat
Kinerja Perusahaan) yang dihelat oleh Kementrian Lingkungan Hidup.
Ketiga, Bukan sekedar kewajiban (compliance), tapi lebih dari sekedar kewajiban
(beyond compliance) atau (compliance plus). Diimplementasikan karena memang ada
dorongan yang tulus dari dalam (internal driven). Perusahaan telah menyadari bahwa
tanggungjawabnya bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi untuk menciptakan profit demi
kelangsungan bisnisnya, melainkan juga tanggungjawab sosial dan lingkungan. Dasar
pemikirannya menggantungkan semata-mata pada kesehatan finansial tidak akan menjamin
perusahaan bisa tumbuh secara berkelanjutan.
Hal terpenting dari cara pandang perusahaan sehingga melaksanakan CSR adalah upaya
untuk memenuhi kewajiban (compliance). Kewajiban bisa bersumber dari aturan pelaksanaan
tanggungjawab sosial perusahaan, baik yang ditetapkan melalui Undang-undang, peraturan
pemerintah, peraturan mentri, hingga peraturan daerah, ataupun peraturan yang dibuat
berdasarkan kesepakatan antar perusahaan maupun lembaga yang melakukan standarisasi
produk. Kepatuhan terhadap hukum menjadi penting karena dimensi dibuatnya aturan
bertujuan agar perusahaan tidak memberikan kontribusi positif bagi pembangunan.
Implementasi CSR pada umumnya dipengaruhi beberapa faktor (Wibisono, 2007).
Pertama, terkait dengan komitmen pemimpinnya. Perusahaan yang pimpinannya tidak tanggap
dengan masalah sosial, jangan harap mempedulikan masalah sosial. Kedua, menyangkut
ukuran dan kematangan perusahaan. Ketiga, regulasi dan sistem perpajalan yang diatur
pemerintah. Semakin kondusif regulasi atau semakin besar insentif pajak yang diberikan, akan
lebih berpotensi memberi semangat kepada perusahaan untuk berkontribusi kepada
masyarakat.

Stakeholder Utama CSR: Pemerintah dan Perusahaan


Menurut Utama (2010), bahwa tanggung sosial jawab perusahaan tidak hanya terhadap
pemiliknya atau pemegang saham saja tetapi juga terhadap para stakeholders yang terkait
dan/atau terkena dampak dari keberadaan perusahaan. Dalam menetapkan dan menjalankan
strategi bisnisnya, perusahaan yang menjalankan CSR akan memperhatikan dampaknya
terhadap kondisi sosial dan lingkungan, dan berupaya agar memberikan dampak positif.
Utama (2010) menyatakan bahwa pemerintah beserta segenap jajarannya perlu
memahami konteks CSR, karena ada keterpaduan dengan program pemerintah. Bukan tidak
mungkin bila pemahaman terhadap konsep ini tidak sejajar, maka kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah tidak akan pernah sejalan dengan kebijakan dunia usaha.
Perlunya pemerintah duduk bersama dengan pelaku usaha, untuk mengkomunikasikan
apa yang dibutuhkan masyarakat secara bersama, memberikan gambaran rencana kerja
pemerintah yang terkait dengan kepentingan publik. Dengan demikian ada komunikasi dua
arah, sehingga kemungkinan adanya kerjasama antara pemerintah dengan perusahaan menjadi
terbuka semakin lebar, sehingga tidak terjadi overlapping program antara pemerintah dan
perusahaan.

Keterkaitan CSR Dengan Good Corporate Governance


Good Corporate Governance (GCG). Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa etika
bisnis memiliki maksud dan tujuan sebagai tuntutan agar dapat membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk dan mana yang yang boleh serta tidak boleh di lakukan dalam berperilaku
pada dunia usaha.
Pada saat menjalankan bisnisnya, maka suatu perusahaan bukan hanya memiliki
kewajiban serta tanggung jawab yang bersifat legal serta ekonomis melainkan suatu perusahaan
memiliki kewajiban yang juga memiliki sifat yang etis.
Etika bisis lah yang menjadi tuntunan untuk berperilaku di dalam dunia usaha agar dapat
menjadikan seseorang atau suatu perusahaan bisa membedakan mana yang buruk dan mana
yang baik serta mana yang tidak boleh di lakukan dan boleh untuk di lakukan.
Akibat persaingan yang sangat ketat demi memperebutkan pasar agar dapat mendapatkan
keuntungan yang paling optimal maka hal ini tentu akan rentan dalam terjadinya pelanggaran
etika seperti pelanggaran asas – asas etika umum atau kaidah – kaidah dasar moral yang di
antaranya sebagai berikut:
 Asas kewajiban untuk dapat berbuat baik
 Asas kewajiban untuk tidak berbuat sesuatu yang bisa menimbulkan madharat
 Asas untuk saling menghormati otonomi manusia
 Asas untuk berperilaku adil
Berdasarkan hal – hal tersebut itulah maka di perlukan suatu tata kelola perusahaan yang
baik atau yang biasa kita sebut Good Corporate Governance atau disingkat dengan GCG supaya
perilaku para pelaku bisnis dapat memiliki arahan yang bisa untuk di rujuk.
Sebagai suatu entitas bisnis yang memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat serta
lingkungannya maka suatu perusahaan memang sudah seharusnya mempunyai tindakan yang
baik sebagai good citizen yang dimana hal ini merupakan tuntutan dari etika bisnis yang baik.
Di dalam beberapa tahun terakhir ini, Good Corporate Governance atau GCG sudah
menjadi istilah dan juga gerakan yang begitu sering di perbincangkan. Institusi global seperti
IMF, World, Bank, APEC, ADB dan OECD pun juga turut menjadi pemantik untuk meyalakan
api dalam implementasi Good Corporate Governance atau GCG yang konsisten di dalam dunia
usaha.
Dorongan terhadap besarnya permasalahan Good Corporate Governance atau GCG ini
di ketahui bahwa hal ini di latar belakangi oleh beragam permasalahan yang diantaranya seperti
bermulanya krisis finansial yang terjadi di berbagai wilayah, mulai dari krisis Meksiko yang
terjadi Tahun 1995 dan krisis Thailand yang terjadi pada Tahun 1997 yang kemudian di
lanjutkan dengan menjelma menjadi krisis finansial Asia termasuk di Indonesia. Banyak pihak
yang beranggapan bahwa lemahnya Good Corporate Governance atau GCG menjadi penyebab
terjadinya krisis finansial ini.
Selain hal itu, dorongan – dorongan ternyata juga datang akibat dari perkembangan pada
industry pasar modal yang telah membuka peluang terjadinya berbagai bentuk overstate,
disclosure yang dapat merugikan para stakeholders, ketidak jujuran dalam finansial serta
berbagai penyebab lainnya.
Latar belakang yang lainnya adalah akibat perkembangan korporasi yang terkait dengan
kegiatan para hostile predator, juga meningkatkan tuntutan check and balances pada tingkat
dewan. Pasar audit yang semakin berkembang, standar akuntansi yang semakin kompleks juga
turut menjadi dorongan yang kuat dari Good Corporate Governance atau GCG. Maka dari itu
kondisi – kondisi seperti itulah yang pada akhirnya menjadi penyebab isu Good Corporate
Governance atau GCG yang kuat, yang awalnya hanya merupakan isu marginal sehingga naik
kelas menjadi isu sentral.
Namun sampai saat ini pun belum ada kesepakatan mengenai definisi Good Corporate
Governance atau GCG. Tapi intinya Good Corporate Governance atau GCG adalah suatu
sistem serta seperangkat peraturan yang mengatur suatu hubungan berbagai pihak
berkepentingan.
Dalam arti sempit hubungan antara para pemegang saham serta dewan komisaris serta
dewan direksi guna tercapainya suatu tujuan korporasi. Dalam arti yang luas Good Corporate
Governance atau GCG yaitu untuk mengatur hubungan seluruh kepentingan stakeholders
supaya bisa di penuhi secara proporsional.
Good Corporate Governance atau GCG dimaksud agar dapat mengatur hubungan –
hubungan tersebut serta mencegah terjadinya kesalahan – kesalahan yang fatal dalam strategi
korporasi. Good Corporate Governance atau GCG juga dimaksudkan agar dapat memastikan
bahwa kesalahan – kesalahan yang terjadi bisa di perbaiki dengan cepat.
Dalam tataran yang praktis, Indonesia telah mempunyai pedoman Good Corporate
Governance atau GCG yang di susun oleh komite nasional kebijakan Corporate Governance.
Saat ini, perusahaan – perusahaan yang telah menerapkan Good Corporate Governance atau
GCG telah merasakan besarnya manfaat yang bisa di ambil setelah menjalankan konsep
tersebut secara konsisten. Selain kinerja yang terus membaik, harga saham serta citra
perusahaan pun turut meningkat. Bahkan kredibilitas perusahaannya terut naik hingga
melewati batas – batas negara, baik itu di mata para investor, mitra maupun kreditor serta para
stakeholders lainnya.

Prinsip GCG
Adapun lima prinsip dari Good Corporate Governance atau GCG yang menjadi pedoman
para pelaku bisnis, yaitu:
 Keterbukaan Informasi (Transparency)
Secara singkat, hal ini dapat di artikan sebagai keterbukaan informasi. Agar dapat
mewujudkan prinsip ini maka perusahaan akan di tuntut untuk selalu menyediakan informasi
yang cukup, akurat, tepat waktu kepada segenap stakeholdersnya
 Akuntabilitas (Accountability)
Yang di maksud dalam hal ini yaitu adanya kejelasan fungsi, struktur, sistem serta
pertanggung jawaban dari elemen – elemen perusahaan. Apabila prinsip ini di terapkan dengan
efektif maka akan terdapat kejelasan mengenai fungsi, hak, kewajiban serta wewenan dan
tanggung jawab antara para pemegang saham, dewan komisaris dan juga dewan direksi
 Pertanggung jawaban (Responsibility)
Bentuk dari pertanggung jawaban suatu perusahaan yaitu kepatuhan perusahaan pada
peraturan – peraturan yang berlaku di antaranya seperti masalahan perpajakan, hubungan
industrial, kesehatan serta keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara
lingkungan bisnis yang kondusif bersama masyarakat dan yang lain sebagainya. Sehingga
dengan menerapkan prinsip ini maka di harapkan bisa menyadarkan suatu perusahaan dalam
kegiatan operasionalnya. Suatu perusahaan tentunya juga memiliki tanggung jawab selain
kepada shareholder juga kepada para stakeholdersnya
 Kemandirian (Indepandency)
Di dalam prinsip ini, intinya agar perusahaan di kelola dengan professional tanpa ada
benturan kepentingan serta tanpa adanya tekanan maupun intervensi dari pihak lain yang tidak
sesuai dengan peraturan yang berlaku
 Kesetaraan dan Kewajaran (Fairness)
Prinsip ini menuntun adanya suatu perilaku yang adil saat memenuhi hak – hak
stakeholder sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Di harapkan dengan adanya
fairness maka bisa menjadi factor pendorong yang bisa memonitor serta memberikan jaminan
perlakukan yang adil di antara beragamnya kepentingan pada perusahaan.
Setelah kita mengetahui prinsip – prinsip Good Corporate Governance atau GCG maka
tentunya tidak akan sulit untuk mendapatkan benang merah antara keterkaitan Good Corporate
Governance atau GCG dengan Corporate Social Responsibility (CSR).
Prinsip responsibility merupakan prinsip yang memiliki kekerabatan paling dekat dengan
CSR. Di dalam prinsip – prinsip yang telah di sebutkan diatas maka dapat kita lihat bahwa
adanya penekanan yang signifikan terhadap staeholders perusahaan.
Berdasarkan prinsip itulah maka di harapkan suatu perusahaan bisa menyadari bahwa
dalam kegiatan operasionalnya seringkali memberikan hasil pada dampak eksternal yang harus
di tanggung oleh para stakeholders. Sehingga menjadi suatu hal yang wajar apabila perusahaan
juga memperhatikan kepentingan serta nilai tambah bagi para stakeholdersnya.
Jadi dapat disimpulkan, penerapan Corporate Social Responsibility (CSR) adalah salah
satu bentuk dari implementasi konsep Good Corporate Governance atau GCG. Sebagai entitas
bisnis yang memiliki tanggung jawab kepada para masyarakat serta lingkungan maka sudah
seharusnya bahwa perusahaan dapat bertindak sebagai good citizen yang dimana hal ini
merupakan tuntutan dari etika bisnis yang baik.

Contoh CSR Perusahaan


CSR (Corporate Sosial Responbility) adalah sebuah program yang sangat bermanfaat
untuk masyarakat umum ataupun untuk perusahaan itu sendiri. Dimana dengan adanya
program CSR ini akan membantu permasalahan atau kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat
sekitar. Sedangkan untuk perusahaan, program CSR ini akan memberikan image perusahaan
yang baik dimata konsumen dan masyarakat.
Saat ini ada banyak perusahaan besar yang memberikan perhatiannya terhadap
lingkungan hidup dan melakukan program CSR (Corporate Sosial Responbility), seperti
perusahaan-perusahaan dibawah ini :
1. Danone (Air Mineral Aqua)
Danone melakukan program CSR yang dikenal dengan WASH (Water, Acces,
Sanitation, Hygiene Program) yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
lingkungan dan berkontribusi secara aktif serta berkelanjutan untuk memberikan solusi atas
suatu permasalahan yang berhubungan dengan penyediaan air bersih di Indonesia. Program ini
lebih dikenal dengan “1 Liter Aqua untuk 10 Liter Air Bersih”
2. PT Sinde Budi Sentosa (Larutan Cap Badak)
PT Sinde Budi Sentosa melakukan program CSR dengan cara melestarikan habitat Badak
Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon. Program ini berkerjasama dengan Sinde dan WWF
Indonesia. Yang mana Sinde mendonasikan dana dari hasil penjualannya tersebut untuk
program pelestarian Badak Jawa di Ujung Kulon.
3. PT Pertamina
Pertamina berkomitmen dalam pelaksanaan program CSR-nya dengan membantu
pemerintah Indonesia dalam memperbaiki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Nusantara
melalui pelaksanaan program-program yang dapat membantu tercapainya target pembangunan
dan membangun hubungan yang harmonis serta kondusif dengan semua pihak stakeholder
untuk mendukung tercapainya tujuan perusahaan terutama dalam membangun reputasi
perusahaan.
4. Otsuka
 Kesehatan Masyarakat (Sehat Bersama Otsuka)
PT. Program Otsuka Indonesia CSR secara konsisten memprioritaskan pentingnya masalah
kesehatan di masing-masing program CSR-nya. Komitmen ini diwujudkan dalam
program "Sehat Bersama Otsuka" di mana pemberian bantuan dalam bentuk produk kesehatan
seperti suplemen gizi dan cairan infus.
 Lingkungan Masyarakat (Go Green dengan Otsuka)
PT. Program Otsuka Indonesia CSR di bidang lingkungan atau "Go
Green" dengan Otsuka, meningkatkan komitmen manajemen dalam rangka tanggung jawab
perusahaan terhadap lingkungan dan konservasi alam.
 Pendidikan Masyarakat (Pintar bersama-sama dengan Otsuka)
Sebagai komitmen perusahaan untuk berkontribusi dalam
memperbaiki kesejahteraan masyarakat melalui pendidikan dan meningkatkan akses
pendidikan di negara tersebut. Program "Cerdas Bersama Otsuka" juga menjadi salah satu
isu yang paling penting dalam PT. Program Otsuka Indonesia CSR.
 Bencana Alam (Bangkit Bersama dengan Otsuka)
PT. Program Otsuka Indonesia CSR juga fokus dalam keprihatinan terhadap masyarakat yang
terkena dampakbencana alam. Melalui program "Bangkit Bersama Otsuka",
bantuan diberikan kepada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

http://keuanganlsm.com
https://sahabatnesia.com/
https://www.otsuka.co.id/id/social
https://www.e-akuntansi.com/2015/08/teori-stakeholder.html
https://zahiraccounting.com/id/blog/csr-dan-good-corporate-governance/
http://www.rahmatullah.net/2012/01/stakeholders-dalam-csr.html
http://fekool.blogspot.com/2016/05/corporate-governance-corporate-social.html
https://zufasupriyadi.wordpress.com/2014/05/25/hubungan-stakeholder-dengan-
organisasi-perusahaan/

Anda mungkin juga menyukai