Silabi 12
Silabi 12
Jenis-jenis Stakeholder
Kasali dalam Wibisono (2007, hal. 90) membagi stakeholders menjadi sebagai berikut:
1. Stakeholders Internal dan stakeholders eksternal.
Stakeholders internal adalah stakeholders yang berada di dalam lingkungan organisasi.
Misalnya karyawan, manajer dan pemegang saham (shareholder).
Sedangkanstakeholders eksternal adalah stakeholders yang berada di luar lingkungan
organisasi, seperti penyalur atau pemasok, konsumen atau pelanggan, masyarakat, pemerintah,
pers, kelompok social responsible investor, licensing partner dan lain-lain.
2. Stakeholders primer, sekunder dan marjinal.
Tidak semua elemen dalam stakeholders perlu diperhatikan. Perusahaan perlu menyusun
skala prioritas. Stakeholders yang paling penting disebut stakeholders primer,
stakeholders yang kurang penting disebut stakeholders sekunder dan yang biasa diabaikan
disebut stakeholders marjinal. Urutan prioritas ini berbeda bagi setiap perusahaan meskipun
produk atau jasanya sama. Urutan ini juga bisa berubah dari waktu ke waktu.
3. Stakeholders tradisional dan stakeholders masa depan.
Karyawan dan konsumen dapat disebut sebagai stakeholders tradisional, karena saat ini
sudah berhubungan dengan organisasi. Sedangkan stakeholders masa depan
adalah stakeholders pada masa yang akan datang diperkirakan akan memberikan pengaruhnya
pada organisasi seperti mahasiswa, peneliti dan konsumen potensial.
4. Proponents, opponents, dan uncommitted.
Diantara stakeholders ada kelompok yang memihak organisasi (proponents), menentang
organisasi (opponents) dan ada yang tidak peduli atau abai (uncommitted). Organisasi perlu
mengenal stakeholders yang berbeda-beda ini agar dapat melihat permasalahan, menyusun
rencana dan strategi untuk melakukan tindakan yang proposional.
5. Silent majority dan vokal minority.
Dilihat dari aktivitas stakeholders dalam melakukan komplain atau mendukung
perusahaan, tentu ada yang menyatakan pertentangan atau dukungannya secara vokal(aktif)
namun ada pula yang menyatakan secara silent (pasif).
Menurut Hill (1996, hal 129), Stakeholders dalam pelayanan sosial meliputi negara,
sektor pivat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan masyarakat, dalam kasus program
CSR keseluruhan entitas tersebut terlibat secara bersama-sama. Sementara mereka memiliki
kepentingan berbeda-beda yang satu dengan yang lain bisa saling bersebrangan dan sangat
mungkin merugikan pihak yang lain.
Teori Stakeholder
Individu, kelompok, maupun komunitas dan masyarakat dapat dikatakan sebagai
stakeholder jika memiliki karakteristik seperti yang diungkapkan oleh Budimanta dkk.(2008
dalam Rizki, 2010) yaitu mempunyai kekuasaan, legitimasi, dan kepentingan terhadap
perusahaan. Gray, Kouhy, dan Adams (1994, p.53) dalam Chariri dan Ghazali (2007:409)
mengatakan bahwa kelangsungan hidup perusahaan tergantung pada dukungan stakeholder dan
dukungan tersebut harus dicari sehingga aktivitas perusahaan adalah untuk mencari dukungan
tersebut. Makin powerful stakeholder, makin besar usaha perusahaan untuk beradaptasi. Hal
inilah yang mendasari perbedaan cara perusahaan dalam bersikap terhadap satu stakeholder
dan stakeholder lainnya.
Ullman (1985) mengungkapkan,“ketika stakeholder mengendalikan sumber ekonomi
yang penting bagi perusahaan, maka perusahaan akan bereaksi dengan cara-cara yang
memuaskan keinginan stakeholder”. Tidak berhenti di situ, perusahaan juga kemudian lebih
memprioritaskan satu stakeholder tertentu dibanding yang lain.
Ditegaskan lebih lanjut oleh Ullman (1985) bahwa organisasi akan memilih stakeholder
yang dianggap penting, dan mengambil tindakan yang dapat menghasilkan hubungan harmonis
antara perusahaan dengan stakeholder-nya.
Atas dasar argumen di atas, stakeholder theory umumnya berkaitan dengan cara-cara
yang digunakan perusahaan untuk me-manage stakeholder-nya (Gray et al 1997. dalam Chariri
2007:410). Cara-cara yang dilakukan perusahaan untuk me-manage stakeholder-nya
tergantung pada strategi yang diadopsi perusahaan (Ullman, 1985) baik strategi aktif maupun
pasif. Salah satunya melalui penyusunan laporan keuangan. Penyusunan laporan keuangan
terbukti mampu meningkatkankan kepercayaan para pemangku kepentingan terhadap
manajemen. Kepercayaan ini yang seterusnya menjadi modal awal bagi manajemen untuk
melakukan akses permodalan dan sebagainya.
Teori di atas menegaskan bahwa pelaporan keuangan merupakan salah satu cara
untuk mengelola kepercayaan para pemangku kepentingan, dimana keberadaan stakeholder
akan sangat mempengaruhi pola pikir dan persepsi manajemen terhadap urgensi praktik
akuntansi perusahaan.
Stakeholder adalah semua pihak, internal maupun eksternal, yang dapat mempengaruhi
atau dipengaruhi oleh perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dengan demikian, stakeholder merupakan pihak internal maupun eksternal, seperti :
pemerintah, perusahaan pesaing, masyarakat sekitar, lingkungan
internasional, lembaga diluar perusahaan (LSM dan sejenisnya),
lembaga pemerhati lingkungan, para pekerja perusahaan, kaum minoritas dan lain sebagainya
yang keberadaannya sangat mempengaruhi dan dipengaruhi perusahaan.
Hal pertama mengenai teori stakeholder adalah bahwa
stakeholder adalah sistem yang secara eksplisit berbasis pada
pandangan tentang suatu organisasi dan lingkungannya, mengakui
sifat saling mempengaruhi antara keduanya yang kompleks dan dinamis. Hal ini berlaku untuk
kedua varian teori stakeholder, varian pertama berhubungan langsung dengan model
akuntabilitas.
Stakeholder dan organisasi saling mempengaruhi, hal ini dapat dilihat dari hubungan
sosial keduanya yang berbentuk responsibilitas dan akuntabilitas. Oleh karena itu organisasi
memiliki akuntabilitas terhadap stakeholdernya. Sifat dari akuntabilitas itu ditentukan dengan
hubungan antara stakeholder dan organisasi.
Varian dari kedua teori stakeholder berhubungan dengan pandangan Trekers (1983)
dalam Achmad (2007) mengenai emprical accountability. Teori stakeholder mungkin
digunakan dengan ketat dalam suatu organisasi arah terpusat (centeredway organization).
Robert (1992) menyatakan bahwa pengungkapan sosial perusahaan merupakan sarana yang
sukses bagi perusahaan untuk menegosiasikan hubungan dengan stakeholdernya.
Berdasarkan asumsi stakeholder theory, maka perusahaan tidak dapat melepaskan diri
dari lingkungan sosial. Perusahaan perlu menjaga legitimasi stakeholder serta
mendudukkannya dalam kerangka kebijakan dan pengambilan keputusan, sehingga dapat
mendukung pencapaian tujuan perusahaan, yaitu stabilitas usaha dan jaminan going concern
(Adam, dalam Nor Hadi. 2011: 94-95).
Peranan Kreditor
Kelompok penyedia modal bagi perusahaan. Pada kelompok ini pihak-pihak yang terkait
adalah merupakan penyandang dana utama bagi perusahaan baik pada awal pendiriannya
maupun untuk kepentingan keberlangsungan perusahaan. Misalnya Bank, kreditur.
Perusahaan yang mempunyai leverage tinggi mempunyai kewajiban lebih untuk
memenuhi kebutuhan informasi kreditur jangka panjang. Dengan semakin tinggi leverage,
yang mana akan menambahbeban untuk program corporate social responsibility menjadi
terbatas atau semakin tinggi leverage, maka semakin rendah program CSR.
Tujuan CSR
Dalam bisnis apa pun, yang diharapkan adalah keberlanjutan dan kestabilan usaha,
karena keberlanjutan akan mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya bagi perusahaan.
Setidaknya terdapat tiga alasan penting mengapa kalangan dunia usaha harus merespon CSR
agar sejalan dengan jaminan keberlanjutan operasional perusahaan, sebagaimana dikemukakan
Wibisono (2007).
Pertama, perusahaan adalah bagian dari masyarakat dan oleh karenanya wajar bila
perusahaan memperhatikan kepentingan masyarakat. Kegiatan sosial ini berfungsi sebagai
kompensasi atau upaya timbal balik atas penguasaan sumber daya alam atau sumber ekonomi
oleh perusahaan yang kadang bersifat ekspansif dan eksploratif, disamping sebagai kompensasi
sosial karena timbul ketidaknyamanan (discomfort) pada masyarakat.
Kedua, kalangan bisnis dan masyarakat sebaiknya memiliki hubungan yang bersifat
simbiosis mutualisme untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Wajar bila perusahaan
dituntut untuk memberikan kontribusi positif kepada masyarakat, sehingga bisa tercipta
harmonisasi hubungan bahkan pengdongkrakan citra dan performa perusahaan.
Ketiga, kegiatan CSR merupakan salah satu cara untuk meredam atau bahkan
menghindarkan konflik sosial. Potensi konflik itu berasal akibat dari dampak operasional
perusahaan atau akibat kesenjangan struktural dan ekonomis yang timbul antara masyarakat
dengan komponen perusahaan.
Implementasi CSR
Dalam menjalankan aktivitas CSR tidak ada standar atau praktik-praktik tertentu yang
dianggap terbaik. Setiap perusahaan memiliki karakteristik dan situasi yang unik yang
berpengaruh terhadap bagaimana mereka memandang tanggung jawab sosial. Dan setiap
perusahaan memiliki kondisi yang beragam dalam hal kesadaran akan berbagai isu berkaitan
dengan CSR serta seberapa banyak hal yang telah dilakukan dalam mengimplementasikan
pendekatan CSR.
lmplementasi CSR yang dilakukan oleh masing-masing perusahaan sangat bergantung
kepada misi, budaya, lingkungan dan profit risiko, serta kondisi operasional masing-masing
perusahaan. Banyak perusahaan yang telah melibatkan diri dalam aktivitas aktivitas yang
berkaitan dengan pelanggan, karyawan, komunitas, dan lingkungan sekitar, yang merupakan
titik awal yang sangat baik menuju pendekatan CSR yang lebih luas. Pelaksanaan CSR dapat
dilaksanakan menurut prioritas yang didasarkan pada ketersediaan sumber daya yang dimiliki
oleh perusahaan. Aktivitas CSR perlu diitegrasikan dengan pengambilan keputusan inti,
strategi, aktivitas, dan proses manajemen perusahaan.
Meskipun tidak terdapat standar atau praktik-praktik tertentu yang dianggap terbaik
dalam pelaksanaan aktivitas CSR, namun kerangka kerja (framework) yang luas dalam
pengimplementasian lingkungan. Kerangka kerja yang disodorkan oleh industri Kanada dapat
dijadikan panduan. Kerangka kerja ini mengikuti model “plan, do, check, dan improve” dan
bersifat fleksibel, artinya dapat disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi oleh masing-masing
perusahaan.
Prinsip GCG
Adapun lima prinsip dari Good Corporate Governance atau GCG yang menjadi pedoman
para pelaku bisnis, yaitu:
Keterbukaan Informasi (Transparency)
Secara singkat, hal ini dapat di artikan sebagai keterbukaan informasi. Agar dapat
mewujudkan prinsip ini maka perusahaan akan di tuntut untuk selalu menyediakan informasi
yang cukup, akurat, tepat waktu kepada segenap stakeholdersnya
Akuntabilitas (Accountability)
Yang di maksud dalam hal ini yaitu adanya kejelasan fungsi, struktur, sistem serta
pertanggung jawaban dari elemen – elemen perusahaan. Apabila prinsip ini di terapkan dengan
efektif maka akan terdapat kejelasan mengenai fungsi, hak, kewajiban serta wewenan dan
tanggung jawab antara para pemegang saham, dewan komisaris dan juga dewan direksi
Pertanggung jawaban (Responsibility)
Bentuk dari pertanggung jawaban suatu perusahaan yaitu kepatuhan perusahaan pada
peraturan – peraturan yang berlaku di antaranya seperti masalahan perpajakan, hubungan
industrial, kesehatan serta keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara
lingkungan bisnis yang kondusif bersama masyarakat dan yang lain sebagainya. Sehingga
dengan menerapkan prinsip ini maka di harapkan bisa menyadarkan suatu perusahaan dalam
kegiatan operasionalnya. Suatu perusahaan tentunya juga memiliki tanggung jawab selain
kepada shareholder juga kepada para stakeholdersnya
Kemandirian (Indepandency)
Di dalam prinsip ini, intinya agar perusahaan di kelola dengan professional tanpa ada
benturan kepentingan serta tanpa adanya tekanan maupun intervensi dari pihak lain yang tidak
sesuai dengan peraturan yang berlaku
Kesetaraan dan Kewajaran (Fairness)
Prinsip ini menuntun adanya suatu perilaku yang adil saat memenuhi hak – hak
stakeholder sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Di harapkan dengan adanya
fairness maka bisa menjadi factor pendorong yang bisa memonitor serta memberikan jaminan
perlakukan yang adil di antara beragamnya kepentingan pada perusahaan.
Setelah kita mengetahui prinsip – prinsip Good Corporate Governance atau GCG maka
tentunya tidak akan sulit untuk mendapatkan benang merah antara keterkaitan Good Corporate
Governance atau GCG dengan Corporate Social Responsibility (CSR).
Prinsip responsibility merupakan prinsip yang memiliki kekerabatan paling dekat dengan
CSR. Di dalam prinsip – prinsip yang telah di sebutkan diatas maka dapat kita lihat bahwa
adanya penekanan yang signifikan terhadap staeholders perusahaan.
Berdasarkan prinsip itulah maka di harapkan suatu perusahaan bisa menyadari bahwa
dalam kegiatan operasionalnya seringkali memberikan hasil pada dampak eksternal yang harus
di tanggung oleh para stakeholders. Sehingga menjadi suatu hal yang wajar apabila perusahaan
juga memperhatikan kepentingan serta nilai tambah bagi para stakeholdersnya.
Jadi dapat disimpulkan, penerapan Corporate Social Responsibility (CSR) adalah salah
satu bentuk dari implementasi konsep Good Corporate Governance atau GCG. Sebagai entitas
bisnis yang memiliki tanggung jawab kepada para masyarakat serta lingkungan maka sudah
seharusnya bahwa perusahaan dapat bertindak sebagai good citizen yang dimana hal ini
merupakan tuntutan dari etika bisnis yang baik.
http://keuanganlsm.com
https://sahabatnesia.com/
https://www.otsuka.co.id/id/social
https://www.e-akuntansi.com/2015/08/teori-stakeholder.html
https://zahiraccounting.com/id/blog/csr-dan-good-corporate-governance/
http://www.rahmatullah.net/2012/01/stakeholders-dalam-csr.html
http://fekool.blogspot.com/2016/05/corporate-governance-corporate-social.html
https://zufasupriyadi.wordpress.com/2014/05/25/hubungan-stakeholder-dengan-
organisasi-perusahaan/