Anda di halaman 1dari 4

Bertumbuh dengan Keuangan yang Sehat

2019: Growing in Healthy Financial - Keep Simple and Flexible


* Bortiandy Tobing (bortiandy@gmail.com) *

Memasuki era industry 4.0, berbagai perubahan terasa sangat cepat dan telah menciptakan
berbagai kondisi ketidakpastian ekonomi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
khususnya dalam bidang informatika, telah memberikan solusi atas berbagai kerumitan sistem, dan
mampu memperkecil waktu, jarak, proses produksi dan lainnya, dan menjadikan biaya
produksi/operasional yang rendah serta menciptakan bisnis model yang efektif dan efisien.
Secara umum seluruh pelaku usaha, memahami akan perubahan yang telah terjadi beserta
dampak dari perubahan tersebut. Di setiap akhir tahun, para pelaku usaha khususnya perusahaan
besar secara konsisten membuat perencanaan bisnis (business plan) agar perusahaan dapat memiliki
kondisi keuangan yang sehat (healthy financial) dan mampu menghadapi perubahan yang terjadi.
Namun pada kenyataannya, rencana dan target tersebut hanya formalitas semata, dan perusahaan
tetap harus berjuang agar mampu bertahan dalam arus perubahan. “Most people don’t plan to fail,
they fail to plan - John J Beckley”, adalah ungkapan yang tepat atas berbagai permasalahan yang
menimpa para pelaku usaha. Sesungguhnya tidak ada yang salah dengan rencana yang telah disusun
dan teori yang digunakan, sebab seluruh teori telah teruji oleh waktu dan berbagai kondisi. Pola
pikir/paradigma lama dari para pengambil keputusanlah yang menghambat organisasi untuk menjadi
simple dan flexible yang pada akhirnya tidak dapat beradaptasi pada perubahan.

HEALTHY FINANCIAL
Healthy financial atau keuangan yang sehat, bukanlah istilah yang asing bagi seluruh pelaku usaha,
bahkan bagi masyarakat umum. Dalam dunia usaha, keuangan yang sehat dapat dilihat dari
beberapa indikator, antara lain:
1. Rasio Likuiditas (Liquidity Ratios)
Rasio likuiditas (uang tunai dan aset yang mudah dikonversikan) merupakan indikator utama
sehatnya kondisi keuangan perusahaan, yang memberikan pemahaman akan kemampuan
perusahaan untuk memenuhi komitmen atau kewajiban keuangan dalam jangka pendek.
Rasio yang semakin rendah memberikan indikasi akan kesulitan perusahaan dalam memenuhi
kewajiban keuangan (pembayaran), yang secara umum akan berdampak:
a) Kehilangan peluang/lost opportunities, merupakan resiko yang harus diterima pelaku usaha
akibat rendahnya rasio likuiditas. Peluang untuk mengirimkan karyawan pelatihan, penundaan
pembelian harga material yang murah/diskon, dan lain sebagainya. Dan jika perusahaan
melakukan inkonsistensi dalam pembayaran kewajiban, maka kepercayaan vendor kepada
perusahaan akan hilang dan akan berdampak pada semakin terbatasnya vendor.
b) Harga penawaran yang lebih tinggi. Salah satu indiktor rasio likuiditas yang rendah adalah
jangka waktu pembayaran (term of payment) yang lebih panjang melebihi batas kewajaran
umum dan berdampak pada harga penawaran dari vendor lebih tinggi. Sadar atau tidak, selisih
harga yang lebih tinggi akan menyebabkan naiknya biaya produksi (COGM).
Besaran rasio likuiditas yang baik, sangat bervariasi, bergantung pada jenis usaha serta lingkungan
(industri dengan resiko usang yang tinggi, contoh: fashion dan perishable akan berbeda dengan
industri yang memiliki aset bernilai tinggi dan tidak mudah rusak, contoh: logam dan otomotif).
Terlalu tinggi rasio likuiditas juga berarti bahwa perusahaan kurang mengoptimalkan keuangan
yang dimiliki, yang dapat digunakan untuk inovasi, pengembangan usaha, promosi (diskon, iklan,
dll) maupun upaya-upaya lain yang dapat meningkatkan produktivitas dan omset perusahaan.
2. Rasio Efisiensi (Efficiency Ratios)/Kinerja Operasional

2019: Growing in Healthy Financial - Bortiandy 1


Rasio efisiensi merupakan indikator dari efektivitas pelaku usaha dalam mengelola belanja
operasional (bahan baku dan bahan pendukung lainnya) terhadap produk yang dihasilkan serta
produk yang terjual. Secara umum rasio efisiensi dapat dibagi 2 (dua), yaitu:
a) Rasio pemakaian bahan dan produk jadi
Rasio pemakaian bahan dan produk jadi adalah perhitungan jumlah (dalam satuan unit atau
nilai uang) penggunaan bahan baku, bahan penolong maupun spare part untuk setiap produk
jadi yang dihasilkan. Jika rasio jumlah unit pemakaian material untuk setiap unit produk jadi di
bawah standar, maka kinerja operasional tidak efisien (buruk), dan jika rasio pemakaian
material dalam nilai uang untuk setiap unit produk jadi di atas standar, maka kinerja
operasional buruk. Kedua parameter perhitungan ini akan berdampak langsung terhadap biaya
pokok produksi (COGM)
b) Rasio persediaan terhadap penjualan
Rasio persediaan adalah perbandingan antara nilai penjualan dengan nilai persediaan (material
ataupun produk jadi) yang ada, atau yang dikenal dengan Inventory Turnover (ITO). Semakin
besar nilai persediaan, maka semakin besar pula uang perusahaan yang tertahan dan
berdampak pada keterbatasan uang tunai yang dapat digunakan perusahaan. Selain nilai
persediaan, biaya pengelolaan persediaan sangat berpengaruh terhadap biaya pokok produksi.
Just in time (JIT), Vendor Managed Inventory (VMI) dan Konsinyasi adalah beberapa metoda
yang lazim digunakan untuk mengendalikan persediaan.
3. Rasio profit
Rasio profit dalah kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba melalui seluruh sumber daya
yang dimiliki. Rasio profit digunakan bukan hanya sebagai indikator besarnya laba yang diperoleh
perusahaan, tetapi juga sebagai indikator perbandingan dengan kompetitor. Selain itu, rasio profit
juga menunjukkan kemampuan pelaku usaha dalam mengelola berbagai sumber daya yang
dimiliki/asset (ROA = Return on assets), serta mengukur bagaimana pelaku usaha memberikan
imbalan dari setiap rupiah/dollar yang telah diinvestasikan (ROE = Return on equity).
4. Rasio leverage (Leverage Ratio)
Rasio leverage menggambarkan hubungan antara utang jangka panjang yang diberikan kreditur
terhadap jumlah modal sendiri yang diinvestasikkan pemilik perusahaan. Pinjaman jangka panjang
yang digunakan secara efektif, akan membantu perusahaan dari kegagalan dan sebaliknya
penggunaan yang tidak efektif akan menyebabkan kebangkrutan. Perhitungan yang sering
digunakan dalam hal ini adalah Debt to Equity Ratio (DER) dan Debt to Asset Ratio (DAR).

KEEP SIMPLE AND FLEXIBLE


Perubahan terjadi sangat pesat pada era industry 4.0, telah menimbulkan pergeseran yang sangat
signifikan bagi seluruh sektor industri yang memiliki ciri Simple, Hare, Individual, Fast, Tangible/SHIFT
- (Waspadai Gelombang SHIFT!!, Bortiandy Tobing, 2017). Perubahan yang pesat ini, memaksa
seluruh pelaku usaha untuk menciptakan model bisnis yang sederhana/simple dan fleksibel sehingga
dapat beradaptasi dengan perubahan dan mampu bertahan dengan keuangan yang sehat.
Model bisnis yang sederhana dan fleksibel hanya akan dapat tercipta apabila seluruh pengambil
keputusan melakukan perubahan paradigma terhadap faktor fundamental bisnis, yaitu:
A. Fokus pada Selling Price
Selling Price atau harga jual produk, bukanlah istilah yang
asing bagi seluruh pelaku usaha dan merupakan
pendekatan yang digunakan dalam Lean Management,
yang telah merubah paradigma dalam menentukan harga
jual produk seperti Gambar 1.
Dari Gambar 1, terlihat adanya perubahan paradigma
Gambar 1. Konsep Selling Price dalam menentukan harga jual produk. Untuk dapat
memperoleh biaya produksi (cost) yang standar, pelaku
usaha tidak lagi dapat berfokus pada metoda eliminasi pemborosan (eight/8 wastes elimination),
tetapi harus merubah paradigma (fokus) pada pada elemen biaya produksi (fixed cost dan variable

2019: Growing in Healthy Financial - Bortiandy 2


cost). Saat ini, berbagai bisnis baru hadir dengan resource yang minim namun memiliki harga jual
yang kompetitif. Hal ini membuktikan bahwa pelaku usaha harus mampu meminimalisasi fixed
cost dan mengkonversikannya menjadi variable cost, sehingga memudahkan perbandingan
dengan kompetitor serta melakukan tindakan perbaikan yang lebih cepat.
Akhir paradigma maksimalisasi kapasitas/jumlah produksi
Seiring dengan strategi pengalihan fixed cost menjadi variable cost, maka paradigma peningkatan
kapasitas atau jumlah produksi dengan tujuan untuk memperkecil beban biaya tetap (fixed cost)
per unit produk jadi sudah tidak dapat diandalkan lagi.
Jika perusahaan meningkatkan jumlah produksi dengan asumsi pasar yang masih terbuka,
bukankah kompetitor akan melakukan hal yang sama juga? Perusahaan hanya akan dapat
meningkatkan jumlah produksi karena harga jual yang lebih kompetitif/murah atau saat
momentum penetrasi pasar. Itu prinsip yang utama.
B. Sharing economy berbasis Rantai Nilai (Value Chain)
Sejak teknologi informasi bertumbuh dan berkembang, keterbukaan sudah menjadi keniscayaan.
Batas-batas wilayah dan domisili hanya sebagai identitas dan tidak dapat mencegah perpindahan
barang, jasa dan informasi sehingga ekslusifitas dalam dunia usaha sudah tidak relevan lagi.
Keberhasilan Go-Jek, Grab, Bukalapak, Airbnb, Snapgoods dan berbagai perusahaan yang memiliki
resources yang sedikit telah membuktikan sharing economy menjadikan perusahaan simple dan
flexible dan mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Seluruh model bisnis harus
dibangun berdasarkan prinsip kepentingan bersama untuk mengoptimalkan rantai nilai (value
chain) melalui kluster industri dan konsep simbiosis mutualisme lainnya.
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berdampingan dengan pabrik garam atau industri lain
yang membutuhkan uap panas (steam) dalam proses produksinya tentu akan menguntungkan
pihak-pihak terkait, dalam konteks nasional, tentu akan menghasilkan garam dengan harga yang
sangat terjangkau. Demikian juga pabrik gula, berdampingan dengan industri minuman (beverage)
yang membutuhkan gula cair, maupun industri lain yang dapat memanfaatkan excess power dari
pembangkit listrik yang terpasang. Hal yang sama juga telah terjadi dalam bisnis logistik/kargo,
yang menjadikan biaya pengiriman khususnya dalam belanja online saat ini menjadi terjangkau.
Konsep Toll Manufacturing ataupun makelon merupakan strategi sharing economy yang sudah
lazim digunakan dalam mengoptimalkan utilitas mesin dan peralatan yang dimiliki, sehingga tidak
perlu membebankan biaya investasi untuk setiap unit produk yang dihasilkan.
C. Financial Structure Model
Model Struktur Keuangan bukanlah
sesuatu hal yang baru bagi pelaku
usaha, namun walau sangat penting,
hal ini sering tidak mendapat perhatian
yang baik. Struktur keuangan
merupakan indikator yang mampu
menggambarkan kondisi keuangan
perusahaan. Jenis-jenis kategori serta
proporsinya masing-masing, sangat
tergantung pada jenis atau bidang
usaha yang dijalankan dan tidak dapat
disamakan antara jenis industri yang
berbeda. Namun sebaiknya setiap
Gambar 2. Model Struktur Keuangan Perusahaan pelaku usaha memiliki sedikitnya 4
(empat) kategori yang harus
dikendalikan (selain belanja operasional), yaitu:
1) Tax atau pajak: yang harus dibayarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
2) Deviden: adalah laba yang harus dibagikan kepada seluruh shareholder dengan menggunakan
tingkat suku bunga perbankan sebagai persentase minimum

2019: Growing in Healthy Financial - Bortiandy 3


3) Cadangan Resiko: adalah dana tunai yang dimiliki perusahaan untuk mengantisipasi berbagai
kemungkinan resiko yang terjadi yang menyebabkan perusahaan tidak dapat beroperasi dalam
jangka waktu tertentu. Apabila selama dalam 1 (satu) tahun operasional tidak terjadi resiko
atau bahaya, maka dana tunai ini akan menjadi sumber pendanaan untuk pemberian bonus
ataupun reward bagi seluruh karyawan.
4) Laba ditahan: selain untuk pengembangan bisnis, laba yang ditahan juga merupakan dana tunai
yang dapat digunakan untuk mengantisipasi ketidakpastian bisnis, seperti realisasi penjualan
(revenue) yang tidak memenuhi target.
Dengan memiliki model struktur keuangan berikut dengan standar nilai masing-masing kategori,
maka setiap pelaku usaha akan memiliki keuangan yang sehat.

Jika seluruh pengambil keputusan tidak merubah paradigma berfikir, maka seluruh rencana bisnis
dan rencana aksi organisasi hanya sekedar formalitas yang disebabkan oleh resistensi akan
perubahan, maka layaknya KODAK, NOKIA, HANJIN, Jamu Nyonya Meneer, Yahoo dan perusahaan
lain, kegagalan dan bahkan bangkrut hanya menunggu waktu saja.

Desember 2018,
Bortiandy Tobing

https://www.scribd.com/document/396566027/2019-Bertumbuh-Dengan-Keuangan-Yang-Sehat
Baca juga:
 Pembaharuan dalam Pergeseran dan Kesetimbangan Ekonomi, Bortiandy Tobing, 2017, www.scribd.com
 Upah Naik, Daya Beli Turun?, Bortiandy Tobing, 2017, www.scribd.com
 Waspadai Gelombang SHIFT!!, Bortiandy Tobing, 2017, www.scribd.com
 Daya Beli Menurun? Changed or Eliminated!!, Bortiandy Tobing, 2016, www.scribd.com
 Aplikasi Online - Peluang dan Tantangan, Bortiandy Tobing, 2016, www.supplychainindonesia.com
 2016: Tahun Pemulihan dan Pembaharuan Bisnis, Bortiandy Tobing, 2016, www.supplychainindonesia.com
 2015 Tahun Evolusi Bisnis Nasional_Fake Growth, Bortiandy Tobing, 2015, www.supplychainindonesia.com

2019: Growing in Healthy Financial - Bortiandy 4

Anda mungkin juga menyukai