Anda di halaman 1dari 8

QAWAID FIQIYAH

FAKTOR FAKTOR YANG MENDORONG PENYUSUN


QAWAID FIQIYAH

Disusun oleh:
Maulia Permata Rizki Pohan (0205173278)
Ryanda Setiawan (0205173254)
Ahmad Mirza (0205173279)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM


JURUSAN HUKUM PIDANA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA


UTARA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada masa Nabi Muhammad masih hidup, ketika umat Islam menemui suatu persoalan,
maka mereka akan langsung mengembalikannya kepada Rasulullah atau dengan kata lain bahwa
Rasulullah yang akan memberikan jawaban terhadap persoalan tersebut, terkadang dengan
menggunakan Al-Qur’an yang turun berkenaan dengan masalah tersebut (sebagai jawaban),
terkadang juga dengan sunnah Beliau baik secara qauli (perkataan), fi’li (perbuatan), dan taqriri
(ketetapan). Adakalanya Rasul menunda masalah tersebut atau menunggu hingga turunnya
wahyu. Dan pada hakikatnya, jawaban Rasul tidak terlepas dari petunjuk Ilahi.
Namun, pasca Rasulullah wafat, muncullah persoalan-persoalan baru yang harus
dipecahkan sendiri dengan menggunakan berbagai metode seperti yang dilakukan oleh para
sahabat di waktu itu. Tidak jarang juga kita jumpai berbagai persoalan baru yang muncul pada
era ini yang berbeda dengan zaman Rasul atau zaman sahabat di waktu itu dan tentu saja
membutuhkan penyelesaian. Dari situlah penulis akan memaparkan mengenai berbagai faktor
penyebab munculnya permasalahan-permasalahan fiqh baru serta asas dan cara penyelesaiannya
yang akan penulis jelaskan dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa sajakah faktor-faktor yang menyebabkan munculnya masailul fiqhiyah?
2. Apa sajakah asas dan cara penyelesaian masailul fiqhiyah?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan munculnya masailul fiqhiyah
2. Untuk mengetahui asas dan cara penyelesaian masailul fiqhiyah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Faktor-faktor yang Menyebabkan Munculnya Masailul Fiqhiyah


Masail dalam bahasa arab merupakan jamak taksir dari kata masalah yang artinya perkara
(persoalan)[1]. Sedangkan fiqh berarti pemahaman yang mendalam tentang hukum-hukum
Islam, yang secara terminologi berarti mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah
yang diperoleh melalui dalil-dalinya yang terperinci[2].
Jadi, Masailul Fiqhiyah adalah masalah yang terkait dengan fiqh. Masalah fiqh yang
dimaksud di sini adalah persoalan-persoalan yang muncul pada konteks kekinian sebagai refleksi
kompleksitas problematika pada suatu kondisi dan waktu, dan persoalan tersebut belum pernah
terjadi pada waktu yang lalu karena adanya perbedaan situasi yang melingkupinya[3].
Berikut ini adalah beberapa faktor-faktor penyebab munculnya masailul fiqhiyah:
1. Ulama berbeda-beda di dalam memahami makna-makna lafadz dalam bahasa arab yang sifatnya
mujmal/musytarak, dikeragui umum atau khusus dan dikeragui mana yang hakiki atau maknawi.
2. Perbedaan cara meriwayatkan suatu hadis. Hal ini disebabkan karena:
a. Perbedaan rujukan atau sumber
b. Perbedaan menetapkan kaidah-kaidah ushul
c. Perbedaan dalam menanggapi adanya pertentangan antara dalil atau cara mentarjihnya.
Di dalam sumber lain disebutkan bahwa, faktor-faktor penyebab munculnya masailul
fiqhiyah adalah sebagai berikut:
1. Kondisi geografis
Setiap daerah di belahan bumi ini pasti memiliki kondisi geografis yang berbeda.
Perbedaan kondisi inilah yang akan memunculkan masalah yang berbeda-beda pula, terutama
fiqh. Contohnya, pada kondisi daerah yang abnormal, persoalan yang muncul dari keadaan dan
letak geografis itu antara lain[4]:
a. Hukum bertayamum pada daerah yang kekeringan (tandus) yang kesulitan air.
b. Hukum atau teknik pelaksanaan sholat dan puasa pada geografis yang abnormal dalam hal
penentuan waktu.
2. Struktur dan pola budaya masyarakat
Keberadaan suatu kebudayaan tidak bisa dipisahkan dari masyarakat dan dengan demikian
kehadiran syari’at dalam hal ini hukum Islam (fiqh) tidak serta merta menggantikan posisi
kebudayaan yang telah melekat pada masyarakat. Di dalam masyarakat yang sangat kental
dengan nilai-nilai budayanya sangat sulit ditetapkan nilai-nilai agama terutama sudut fiqhnya.
Apabila terjadi pembenturan antara keduanya, maka akan timbul persoalan baru yang kemudian
disebut “masailul fiqhiyah”. Berapa contoh dalam masalah ini antara lain[5]:

1. Muhammad Yunus, Kamus Arab-Indonesia.b-Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara, Penerjemah dan


Penafsir al-Qur’an), hal: 161.
2 . Nasrun Harun, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal: 2-3.
3 Hasbi As-Shiddeqy, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1957). hal: 22.
4 . Ahmad Sudirman Abbas, Dasar-Dasar Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: CV Bayu Kencana, 2003).
a. Upacara sesajen untuk keselamatan dan berkah
b. Upacara dangdutan yang dipaksakan demi kehormatan sampai-sampai menghutang untuk
resepsi pernikahan.
c. Budaya tukar cincin sebelum khitbah (lamaran) yang dianggap telah sah bergaul bebas.
3. Perkembangan teknologi
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern selalu aktif menuju sasaran tepat dan
berdampak positif sekaligus negatif.
4. Perkembangan ekonomi dan politik
a. Jual beli valuta asing dan saham
b. Zakat sebagai ibadah dan kaitannya dengan ekonomi keuangan wajib dikeluarkan apabila telah
mencapai nisab.
c. Makelar merupakan perantara antara penjual dan pembeli agar memudahkan traksaksi jual beli
d. Pemimpin wanita, hakim wanita, dan keberadaan partai-partai politik, serta yang terkait dengan
itu adalah dampak dari perkembangan ekonomi.
5. Perkembangan ekonomi
Persoalan-persoalan yang muncul antara lain:
a. Pencangkokan dan penggantian jaringan atau organ tubuh
b. Perencanaan keturunan dengan berbagai teknik
Sedangkan untuk faktor penyebab masalah fiqh, di antaranya adalah:
1. Perbedaan Qiraat, yaitu: perbedaan tentang arti dari kata disetiap ayat yang berbeda.
2. Adam al-Ittila ala al-Hadist: adanya hadits yang belum ditelaah oleh sebagian sahabat karena
secara real pengetahuan mereka dalam hal ini tidak sama. Dan keadaan seperti ini merupakan
sesuatu yang wajar, sebab tidak selamanya para sahabat pada waktu itu yang sama dapat
menyertai Rasulullah, di samping itu dari sisi tingkat kecerdasannya pun berbeda-beda pula.
3. Adanya Syak atau keraguan dalam menetapkan hadis: setiap ada hadis atau riwayat yang datang,
tidak langsung dapat diamalkan begitu saja sebelum dipersaksikan di depan para sahabat lain
agar menjaga otentisitasnya dapat dipertanggung jawabkan bahwa hadis tersebut benar-benar
berasal dari Rasulullah Saw.
4. Perbedaan dalam memahami nash dan perbedaan penafsirannya.
5. Adanya lafadz musytarak : yaitu lafadz yang mmiliki dua makna atau lebih.
6. Ta’arud al-adillah: adanya dalil-dalil yang secara lahiriyah kontradiktif.
Sesungguhnya dalil-dalil yang dijadikan landasan para ulama dalam menyelesaikan suatu kasus
bersumber dari al-Qur’an dan Hadis, hanya saja karena sudut pandang mereka berebeda sampai
dengan perbedaan latar belakang mereka masing-masing, maka berbeda pula hasil
istimbatnya[6].
Itulah beberapa dari faktor-faktor yang menyebabkan munculnya masailul fiqhiyah dan
juga faktor penyebab masalah fiqh terjadi.

5 . Abdurohman Kasdi, Masail Fiqhiyyah: Kajian Fiqh atas Masalah-masalah Kontemporer, (Kudus: Nora Media
Enterprise, 2011).
6 .http://dokumen.tips/documents/makalah-faktor-munculnya-masail-fiqhiyahdoc.html (diakses pada tanggal 23
September 2016 pukul 12.17 WIB)
B. Asas dan Cara Penyelesaian Masailul Fiqhiyah
Asas berarti dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat)[7].
Dalam langkah-langkah penyelesaian masailul fiqhiyah, terdapat dasar-dasar penyelesaian
masalah dalam bentuk beberapa kaidah penting[8], yaitu:

1. Kaidah pertama : Menghindari sifat taqlid dan fanatisme


Upaya menghindarkan diri dari fanatisme mazhab tertentu dan taqlid buta terhadap pendapat
ulama klasik seperti pendapat Umar bin al-Khattab, Zaid bin Tsabit atau pendapat ualama
modern, kecuali ia adalah seorang yang bodoh dan telah melakukan kesalahan. Pelakunya
disebut muqallid yang dilawankan dengn muttabi’. Yaitu muttabi’ dengan kriteria sebagai
berikut :
a. Menetapkan suatu pendapat yang dianutnya dengan dalil-dalil yang kuat, diakui dan tidak
mengundang kontroversi.
b. Memiliki kemampuan untuk mentarjih beberapa pendapat yang secara lahiriyah terjadi
perbedaan melalui perbandingan dalil-dalil yang digunakan masing-masing.
c. Diharapkan memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan berijtihad terhadap hukum
persoalan tertentu yang tidak didapati jawabannya pada ulama terdahulu.

2. Kaidah kedua : Prinsip mempermudah dan menghindarkan kesulitan


Kaidah ini patut diperlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan nash qath’i atau kaidah
syari’at yang bersifat pasti. Dengan dua pertimbangan sebagai berkut:
a. Bahwa keberadaan syari’at didasarkan kepada prinsip mempermudah dan menghindarkan
kesulitan manusia seperti sakit, dalam perjalanan, lupa, tidak tahu dan tidak sempurna akal.
Taklif Allah atas hambanya disesuaikan dengan kadar kemampuan yang dimiliki.
b. Memahami situasi dan kondisi suatu zaman yang dialami pada saat munculnya persoalan.
Adapun kriteria maslahat sebagaimana yang biasa dikenal adalah menrealisasikan lima
kepentingan pokok dan disebut dengan darurat khomsa, yaitu memelihara agama, memelihara
jiwa, memelihara akal, memelihara harta, memelihara keturunan.

3. Kaidah ketiga : Berdialog dengan masyarakat melalui bahasa kondisi masanya dan melalui
pendekatan persuasif aktif serta komunikatif
Ketentuan hukum yang akan diputuskan harus disesuaikan masyarakat yang diinginkannya
dan menggunakan bahasa layak sebagaimana bahasa masyarakat dimana persoalan itu muncul.
Bahasa masyarakat yang ideal :
a. Bahasa yang dapat dipahami sebagai bahasa sehari-hari dan mampu menjangkau pemahaman
umum.
b. Menghindarkan istilah-istilah rumit yang mengundang pengertian kontroversi.

7 . Ebta Setiawan, Kamus Besar Bahasa Indonesia offline, versi. 1. 1, (Pusat Bahasa, 2010).
8 .Dr. Yusuf Qardhawi, Hadyu al-Islam fatawa al-Muasshirah, juz 1, 1996. cet VI, hal: 10-26
c. Ketetapan hukum bersifat ilmiah karena didasarkan pertimbangan hikmah, illat, filisofis dan
Islami.

4. Kaidah keempat : Bersifat moderat terhadap kelompok tekstualis (literalis) dan kelompok
kontekstualis
Dalam merespon persoalan baru yang muncul, ulama bersandar kepada al-nash sesuai bunyi
literal ayat tanpa menginterpretasi lebih lanjut diluar teks itu. Dipihak lain, kelompok
kontekstualis lebih berani menginterprestasikan produk hukum al-nash dengan melihat kondisi
zaman dan lingkungan. Sementara kelompok ini dinilai terlalu berani bahkan dianggap
melampaui kewenangan ulama salaf yang tidak diragukan kehandalannya dalam masalah ini.
Menurut mereka perbedaan masa, masyarakat, geografis, pemerintahan dan perkembangan
teknologi moderen patut dipertimbangkan serta layak mendapat perhatian.

5. Kaidah kelima : Ketentuan hukum bersifat jelas tidak mengandung interpretasi


Bahasa hukum relatif tegas dan membutuhkan beberapa butir alternatif keterangan dan
diperlukan pengecualian-pengecualian pada bagian tersebut. Pengecualian ini merupakan
langkah elastis guna menjangkau kemungkinan lain diluar jangkauan ketentuan yang ada.
Misalnya ketentuan hukum potong tangan terhadap pencuri sebuah barang yang telah mencapai
nisab. Umar bin Khatthab pernah tidak memberlakukan hukum ”hadd” atau potong tangan
terhadap pencuri barang tuannya, karena sang tuan pelit, dan tidak membayar upah si pelayan,
maka ia mencuri barang sang tuan demi kebutuhan mendesak yaitu kelaparan[9].
Hal tersebut di atas adalah asas-asas dan langkah-langkah dalam penyelesaian masalah-
masalah fiqh atau masailul fiqhiyah yang perlu dipahami.

9 . https://syakhsiyah.wordpress.com/masail-fiqhiyah/ (diakses pada tanggal 23 September 2016 pukul 12.27 WIB)


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Masailul Fiqhiyah adalah masalah yang terkait dengan fiqh. Masalah fiqh yang dimaksud
di sini adalah persoalan-persoalan yang muncul pada konteks kekinian sebagai refleksi
kompleksitas problematika pada suatu kondisi dan waktu, dan persoalan tersebut belum pernah
terjadi pada waktu yang lalu karena adanya perbedaan situasi yang melingkupinya.
Masailul fiqhiyah muncul karena beberapa faktor, yaitu : (1) Ulama berbeda-beda di
dalam memahami makna-makna lafadz dalam bahasa arab yang sifatnya mujmal/musytarak,
dikeragui umum atau khusus dan dikeragui mana yang hakiki atau maknawi, (2) Perbedaan cara
meriwayatkan suatu hadis. Dalam sumber lain dijelaskan bahwa faktor munculnya masailul
fiqhiyah adalah sebagai berikut: Kondisi geografis, Struktur dan pola budaya masyarakat,
Perkembangan teknologi, Perkembangan ekonomi dan politik, dan Perkembangan ekonomi.
Asas dan cara penyelesaian masailul fiqhiyah, yaitu: Kaidah pertama, Menghindari sifat
taqlid dan fanatisme; Kaidah kedua, Prinsip mempermudah dan menghindarkan kesulitan;
Kaidah ketiga, Berdialog dengan masyarakat melalui bahasa kondisi masanya dan melalui
pendekatan persuasif aktif serta komunikatif; Kaidah keempat, Bersifat moderat terhadap
kelompok tekstualis (literalis) dan kelompok kontekstualis; Kaidah kelima, Ketentuan hukum
bersifat jelas tidak mengandung interpretasi.

B. Saran
Bagi para pembaca yang budiman, pada masa ini banyak sekali masalah yang
bermunculan yang sudah barang tentu berbeda dengan masalah pada zaman Rasulullah dahulu
akibat faktor-faktor tertentu. Oleh karena itu, dalam menyelesaikannya pun juga berbeda. Dalam
hal ini, mempelajari dan mempelajari masailul fiqhiyah menjadi sangat urgen untuk dapat
memperoleh pengetahuan bagaimana sikap yang benar dalam menyelesaikan suatu persoalan
fiqhiyah yang sesuai dengan syariat.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurohman Kasdi, Masail Fiqhiyyah Kajian Fiqh atas Masalah-masalah Kontemporer, Kudus: Nora
Media Enterprise, 2011.

Ahmad Sudirman Abbas, Dasar-Dasar Masail Fiqhiyyah, Jakarta: CV Bayu Kencana, 2003.

Dr. Yusuf Qardhawi, Hadyu al-Islam fatawa al-Muasshirah, juz 1, 1996. cet VI.

Ebta Setiawan, Kamus Besar Bahasa Indonesia offline, versi. 1. 1, Pusat Bahasa, 2010.

Hasbi As-Shiddeqy, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1957.

Muhammad Yunus, Kamus Arab-Indonesia.b-Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara, Penerjemah dan


Penafsir al-Qur’an.

Nasrun Harun, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

http://dokumen.tips/documents/makalah-faktor-munculnya-masail-fiqhiyahdoc.html (diakses pada tanggal


23 September 2016 pukul 12.17 WIB).

https://syakhsiyah.wordpress.com/masail-fiqhiyah/ (diakses pada tanggal 23 September 2016 pukul 12.27


WIB).

Anda mungkin juga menyukai