Makalah 16
Makalah 16
Karakteristik Spesifik,
Permasalahan dan Potensi
Pengembangan
KAWASAN KOTA TEPI
LAUT/PANTAI (COASTAL CITY)
DI INDONESIA
ABSTRAK
Pengembangan kawasan kota tepi air di Indonesia merupakan salah satu kawasan yang potensial
untuk dikembangkan. Dibandingkan dengan kawasan kota tepi sungai atau danau, kawasan kota
pantai/tepi laut mempunyai lebih banyak potensi untuk dikembangkan, terutama berkaitkan
dengan aspek fungsi dan aksesibilitas.
Pengembangan kawasan kota tepi pantai dapat diarahkan pada pengembangan fungsi pariwisata,
perekonomian, budaya, pendidikan, industri, pergudangan dan hankam.
Akan tetapi dalam pengembangannya, perlu mengidentifikasi secara spesifik karakteristik fisik
lingkungan beserta kegiatan yang sedang dan akan dikembangkan di kawasan tersebut. Kawasan
ini pada dasarnya berakar pada faktor-faktor geografi dan sejarah nusantara yang telah berabad-
abad, bahkan perkembangan beberapa kota di antaranya diawali oleh keberadaan permukiman
ini. Pada perkembangan selanjutnya kawasan tepi air ini menjadi tempat yang menarik untuk
Permukiman dan berbagai kegiatan lain karena berbagai alasan. Akan tetapi, pengembangan
kawasan ini sering mengabaikan keberadaan masyarakat setempat sehingga pada akhirnya harus
menanggung beban akibat perubahan pemanfaatan lahan.
Demikian pula dengan sejumlah permasalahan yang telah dan diperkirakan akan timbul berkaitan
dengan pengembangan ini.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai 3 (tiga) aspek, yaitu karakteristik
spesifik, permasalahan dan potensi pengembangan kawasan kota pantai/tepi air di Indonesia,
ditinjau dari 7 (tujuh) parameter, yaitu (1) fisik lingkungan; (2) flora dan fauna; (3) social, ekonomi
dan budaya; (4) perumahan dan Permukiman; (5) sarana dan prasarana; (6) otoritas kawasan dan
(7) status legalitas.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dibandingkan dengan kawasan kota tepi sungai atau danau, kawasan kota pantai/tepi laut
mempunyai lebih banyak potensi untuk dikembangkan, terutama berkaitkan dengan aspek fungsi
dan aksesibilitas.
Kota pantai/tepi laut sebagai salah satu bentuk kota tepi air pada dasarnya berakar pada faktor-
faktor geografi dan sejarah nusantara yang selama berabad-abad telah menjadi bagian dari jalur
perdagangan internasional. Pada perkembangan selanjutnya kawasan ini menjadi tempat yang
menarik untuk permukiman. Gejala tersebut dapat terjadi karena berbagai alasan, antara lain :
- merupakan kawasan alternatif permukiman kota bagi kaum urbanis miskin.
- merupakan peluang bagi kemudahan transportasi.
- menjadi pintu gerbang alami untuk perdagangan antar tempat yang terpisahkan oleh laut.
Kondisi tersebut menyebabkan tingginya laju pertumbuhan perkotaan, dimana kawasan kota
pantai cenderung tumbuh lebih cepat, baik secara demografis maupun ekonomis daripada kota-
kota di wilayah lain. Namun karena pesatnya perkembangan transportasi darat dan pusat-pusat
kegiatan baru di luar kawasan tepi air, maka kawasan kota tepi air mulai kehilangan
keunggulannya. Sebagian besar pemanfaatan ruang kawasannya hanya digunakan untuk kegiatan
pelabuhan, pergudangan dan perikanan.
Dengan adanya berbagai kepentingan yang berbeda, pengembangan kota tepi air dapat
mengakibatkan terjadinya konflik/friksi, antara lain :
- kepentingan antar institusi pemerintah, baik pusat, daerah maupun pengelola pelabuhan;
- antara kepentingan komersial dan sosial;
- antara kepentingan publik dan individu;
Tulisan ini merupakan suatu hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis selama 1995-2000.
Tujuan tulisan ini adalah memberikan gambaran karakteristik spesifik, permasalahan dan
potensi pengembangan kawasan kota pantai/tepi air di Indonesia.
Sasaran tulisan ini adalah :
a. sebagai BAGIAN dari penyusunan pedoman teknis penataan kawasan kota pantai di Indonesia,
yang merupakan pelengkap peraturan perundang-undangan tentang penataan kota tepi air;
b. sebagai BAGIAN dari bahan penyusunan peraturan daerah dan rencana detail/rinci tata ruang
kota pantai di seluruh Indonesia.
Kerangka pola pikir penyusunan konsep pengembangan kota pantai di Indonesia dapat
digambarkan sebagai berikut :
PE R E N CANAAN PE MAN FAATAN
Karakteristik
Permasalahan Potensi
Spesifik Kriteria Pelaku
PENGENDALIAN
Gambar 1.
Kerangka Pola Pikir Pengembangan Kawasan Kota Pantai
RENCANA
Penyusunan Penyusunan
VISI Pengkajian TATA RUANG Penyusunan
Program Tahapan
Lingkup Materi Kajian Konsep
dan Konsep Program
Pengem- Pelaksana-
Struktur Pendanaan
Rencana bangan an
Lingkup materi kajian Tata
dan Ruang
konsep yang diusulkan adalah :
MISI Pola
a. Mencakup 3 aspek, yaitu karakteristik spesifik, permasalahan dan potensi pengembangan
PAKET
b. Mencakup 7 (tujuh) parameter, yaitu kondisi fisik lingkungan; flora dan fauna; ekonomi, sosial
PROGRAM
dan budaya; perumahan dan permukiman; sarana dan prasarana; legalitas serta pengelolaan
kawasan (otoritas);
Pendekatan Strategi Persyaratan Implemen-
c. Bersifat umum untuk skala nasional (generalisasi) tasi Fisik
TINJAUAN PUSTAKA
Hak guna air : hak untuk memperoleh dan menggunakan air untuk
keperluan tertentu.
Prasarana lingkungan : kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan
lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana
mestinya.
Sarana lingkungan : fasilitas penunjang yang berfungsi untuk penyelenggaraan
dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya.
Kawasan pantai berhutan bakau : kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan
bakau (mangrove) yang berfungsi memberi perlindungan
kepada perikehidupan pantai dan lautan.
Reklamasi : merupakan kegiatan merubah areal laut menjadi daratan.
Abrasi : proses erosi yang diikuti longsoran (runtuhan) pada material
yang masif seperti tebing pantai/sungai.
Daerah pantai : kawasan yang meliputi daerah sempadan pantai.
Garis pantai : tepi tanah daerah pantai yang berbatasan dengan air laut.
Intrusi air laut : penyusupan air asin/laut ke dalam aquifer/lapisan pembawa
air, yang semula mengandung air tanah tawar, yang
disebabkan oleh debit pengambilan telah melebihi
kecepatan pengisian kembali pada sistem aquifernya yang
berasal dari resapan air hujan.
Long shore line : garis yang sejajar dengan garis pantai
Cross shore line : garis yang tegak lurus terhadap garis pantai.
Struktur Peraturan Perundangan-undangan (Family Tree) tentang Penataan Kawasan Kota Tepi Air
menurut Pedoman Penataan Ruang Kawasan Perkotaan Tepi Air di Indonesia, 1998 dapat
digambarkan sebagai berikut :
UU 24/92 UU 11/74 UU
PENATAAN PENGAIRAN UU 23/97 UU 5/92 HANKAM
RUANG LINGKUNGAN CAGAR
UU HIDUP UU 4/92 ALAM
PERMUKIMAN
PP 20/90
RPP KENDALI
PP 51/93 PENCEMARAN
KAWASAN
Peraturan PERKOTAAN
PP 22/82 PP 27/91 AMDAL SUNGAI
PENGATURAN
Pemerintah AIR PP 35/91 RAWA
SUNGAI
RAPERMEN
PENETAPAN
KAWASAN
PERKOTAAN
Karakteristik Spesifik, Permasalahan Dan Potensi Pengembangan
RAPERMEN
PENYUSUNAN PERMEN PU
Kawasan Kota Tepi PEDOMAN
Laut/Pantai (Coastal RAPEMEN PEDOMAN
City) Di Indonesia
RAPERMEN halaman - 11
RENCANA & 63/PRT/93&GSS PERMEN PU PERMENRAPEMEN
PU PERMEN
PEMENFAATAN
RAPEMEN
PENINJAUAN PEDOMAN PENATAAN BANGUNAN
BENTUK STANDARPU
UMUM RUANG &RUANG
TENTANG LINGKUNGAN DAERAH 64/93 45/PRT/90
TEKNIS STANDAR
PEMBANGUNAN
KEMBALI PENGEMBANGAN RAPEMEN SPESIFIKASI
PENGENDALIAN
KAWASAN PERMUKIMAN DI
PERKOTAAN PERKOTAAN MANFAAT
ATAS REKLAMASI KENDALI
PERUMAHAN DIAIRATAS
TEKNIS PERUMAHAN DI
PERKOTAAN
TEPI AIR ATAS AIR SUNGAI ATAS AIR
MUTU AIR AIR LIMBAH
Proceeding - Studi Dampak Timbal Balik Antar Pembangunan Kota dan Perumahan di Indonesia dan Lingkungan Global
Peraturan
Menteri
Gambar 2.
(Sumber : Pedoman Penataan Ruang Kawasan Perkotaan Tepi Air di Indonesia, Direktorat
Bina Tata Perkotaan dan Perdesaan, Ditjen Cipta Karya, Dep. PU, September 1998)
Hasil penelitian di Jakarta Utara, Watampone, Ujung Pandang, Gresik, Lamongan, Tuban dan
Balikpapan serta studi data sekunder beberapa lokasi/kawasan sejenis menunjukkan bahwa :
a. Batasan kawasan kota pantai tidak hanya mencakup bagian kota di darat dan ber-hadapan
dengan laut saja, tetapi juga mencakup bagian yang berada di atas air. Bahkan
perkembangan beberapa kota diawali oleh keberadaan permukiman di atas air ini.
b. Orientasi kegiatan kota pantai berbasis darat dan laut, seperti perdagangan, pelabuhan dan
transportasi, perikanan, serta permukiman.
c. Kedudukan kawasan kota pantai merupakan bagian tak terpisahkan (integral) dari beberapa
kawasan lain di kota induknya, seperti kawasan komersial (perdagangan); kawasan budaya,
pendidikan dan lingkungan hidup; kawasan peninggalan bersejarah; kawasan wisata (rekreasi);
kawasan pelabuhan dan transportasi serta kawasan pertahanan keamanan. Secara skematik
dapat dilihat pada gambar 3.
E E E E E
B
E E
E E
C
D
Orientasi kegiatan ke darat
Keterangan :
A. Laut
B. Daratan
C. Kawasan Kota Pantai
D. Kota Induk
E. Kawasan-kawasan lain di Kota Pantai (Perdagangan, Pendidikan, dll)
Gambar 3.
Kedudukan Kawasan Kota Pantai terhadap kota induk dan kawasan lain di sekitar
Hasil penelitian di berbagai lokasi kota pantai di Indonesia menunjukkan fungsi kawasan kota
pantai adalah sebagai :
a. Secara topografi, merupakan pertemuan antara darat dan air, dataran landai, serta sering
terjadi erosi, abrasi dan sedimentasi yang bisa menyebabkan pendangkalan badan perairan.
Topografi tanah dapat dibedakan atas 3 (tiga) kategori, yaitu :
- daerah perbukitan dengan kemiringan dataran 20 - 60 % (di darat);
- daerah relatif datar/kemiringan 0 - 20 % (di darat, termasuk daerah pasang surut);
- daerah rawa atau di atas air.
b. Secara hidrologi merupakan daerah pasang surut, mempunyai air tanah tinggi, terdapat
tekanan air laut terhadap air tanah, serta merupakan daerah retensi sehingga run-off air
rendah.
c. Secara geologi, sebagian besar mempunyai struktur batuan lepas, tanah lunak, serta rawan
bencana tsunami.
d. Secara penggunaan lahan memiliki hubungan intensif antara air dan elemen kota.
e. Secara klimatologi memiliki dinamika iklim, cuaca, angin, suhu & kelembaban tinggi.
f. Pergeseran fungsi badan perairan laut sebagai akibat kegiatan di sekitarnya menimbulkan
beberapa permasalahan lingkungan, seperti pencemaran.
b. Terdapat binatang yang spesifik seperti bangau, ikan jenis tertentu, dsb.
- Perkembangan yang dimulai oleh kedatangan sekelompok etnis tertentu di suatu lokasi di
pantai, yang kemudian menetap dan berkembang secara turun-temurun membentuk
suatu klan/komunitas tertentu serta cenderung bersifat sangat homogen, tertutup dan
mengembangkan tradisi dan nilai-nilai tertentu, yang pada akhirnya merupakan karakter
dan ciri khas permukiman tersebut.
- Perkembangan sebagai daerah alternatif permukiman, karena peningkatan arus
urbanisasi, yang berakibat menjadi kawasan liar dan kumuh perkotaan.
b. Tahapan perkembangan kawasan perumahan/permukiman di kota pantai adalah :
- Tahap awal ditandai oleh dominasi pelayanan kawasan perairan sebagai sumber air
untuk keperluan hidup masyarakat. Kota masih berupa suatu kelompok permukiman di
pantai dan di atas air.
- Ketika kota membutuhkan komunikasi dengan lokasi lainnya (kepentingan per-dagangan)
maka kawasan perairan merupakan prasarana transportasi, dan dapat diduga
perkembangan fisik kota yang cenderung memanjang di pantai (linier).
- Perkembangan selanjutnya ditandai dengan semakin kompleksnya kegiatan fungsional,
sehingga intensitas kegiatan di sekitar perairan makin tinggi. Jaringan jalan raya
menawarkan lebih banyak kesempatan mengembangkan kegiatan. Walaupun begitu,
jenis fungsi perairan tidak berarti mengalami penurunan, bahkan mengalami peningkatan
(makin beragam).
c. Kawasan permukiman di atas air cenderung rapat (kepadatan bangunan tinggi dan jarak
antar bangunan rapat) dan kumuh (tidak teratur, kotor, dll). Dominasi kawasan
perumahan/permukiman nelayan, yang umumnya kumuh dan belum tertata.
d. Pola perumahan dipengaruhi oleh keadaan topografi, dibedakan atas 3 (tiga), yaitu :
- daerah perbukitan cenderung mengikuti kontur tanah;
- daerah relatif datar cenderung memiliki pola relatif teratur, yaitu pola Grid atau Linear
dengan tata letak bangunan berada di kiri-kanan jalan atau linear sejajar dengan
(mengikuti) garis tepi pantai;
- daerah atas air pada umumnya cenderung memiliki pola cluster, yang tidak teratur dan
organik. Pada daerah-daerah yang telah ditata umumnya menggunakan pola grid atau
linear sejajar garis badan perairan.
e. Orientasi bangunan semula umumnya menghadap perairan sesuai orientasi kegiatan
berbasis perairan. Perkembangan selanjutnya orientasi kegiatan ke darat semakin
meningkat (bahkan lebih dominan), maka orientasi bangunan cenderung menghadap ke
arah darat dan lebih mempertimbangkan aspek fungsional dan aksesibilitas.
f. Secara arsitektural, bangunan pada permukiman di kota pantai dibedakan atas :
a. Mempunyai aksesibilitas yang sangat tinggi sebab dapat dicapai dari darat dan dari air,
sehingga peran dermaga/pelabuhan menjadi titik pertumbuhan.
b. Sistem dan pola jaringan jalan di darat umumnya sudah terpola, memadai serta dapat
melayani fungsi-fungsi yang ada. Hanya beberapa konstruksi jalan perlu disesuaikan
dengan standar dan tingkat pelayanan yang harus disediakan. Jalan setapak dan beberapa
jalan lingkungan umumnya berpola organik mengikuti pola perumahan. Sistem jaringan jalan
di daerah pasang surut dan bertanah lunak umumnya menggunakan konstruksi batu
(dengan perkerasan atau makadam) atau konstruksi kayu, sedangkan jaringan jalan di atas
air sepenuhnya menggunakan konstruksi kayu. Pola jaringan jalan umumnya tidak teratur/
organik mengikuti perkembangan bangunan dan tidak bisa dilalui oleh kendaraan roda 4.
c. Sistem drainase memerlukan penanganan relatif lebih rumit, karena merupakan daerah
retensi yang sering tergenang air/banjir dan menjadi muara daerah hulunya;
d. Pembuangan air limbah memerlukan penanganan khusus, karena muka air tanah yang
tinggi serta menjadi muara daerah hulunya. Masyarakat cenderung membuang air limbah
langsung ke badan air, baik dari kakus individu maupun MCK;
e. Kebutuhan air bersih biasanya belum tercukupi karena pada umumnya belum terjangkau
jaringan air bersih/minum kota (PAM/PDAM) dan kondisi air tanah yang dijadikan sumber air
bersih kebanyakan payau, sehingga perlu penjernihan air.
f. Umumnnya sampah dibuang/ditimbun di pinggir laut atau dibuang langsung ke laut sehingga
sering menimbulkan bau serta menjadi sarang lalat dan nyamuk.
g. Sistem penanggulangan bahaya kebakaran (sarana, prasarana, tata cara dan pedoman),
khususnya di atas air memerlukan penanganan serius.
a. Secara otorisasi pengelolaan, kawasan merupakan 'public domain' yang dapat dimanfaatkan
oleh segala lapisan masyarakat.
b. Secara otorisasi kegiatan, dapat berfungsi sebagai kawasan khusus dengan alasan
keamanan, seperti kawasan Hankam, Pelabuhan, Kawasan Berikat, dsb.
Status legalitas beberapa kawasan di kota pantai umumnya tidak jelas, terutama area yang
direklamasi secara swadaya oleh masyarakat. Pengakuan legal umumnya tidak ada, tetapi
pelarangan atau pengaturan juga tidak ada. Contoh kasus Pantai Cilincing, Jakarta Utara.
Permasalahan utama kawasan kota pantai dapat dibagi atas 7 (tujuh) kategori :
a. Adanya abrasi dan akresi menyebabkan pengikisan dan sedimentasi sehingga garis pantai
sering berubah, yang mengganggu aktivitas yang sedang maupun akan berlangsung.
Sedimentasi mengakibatkan pendangkalan sehingga transportasi air terganggu.
b. Muka air tanah tinggi dan merupakan fungsi retensi menyebabkan sering terjadi genangan
banjir, run-off rendah, lingkungan korosif, serta tingginya intrusi air laut ke air tanah. Arus
pasang surut menimbulkan masalah pendaratan kapal.
c. Secara geologis, kawasan tersebut rawan bencana tsunami serta muka tanah turun.
d. Tata guna lahan dan pembangunan fisik yang tidak sesuai karakteristik area pantai akibat
adanya kompetisi lokasi yang berhadapan dengan air. Hal ini mengakibatkan konflik
kepentingan antara kawasan konservasi dan komersial.
e. Dilihat dari kondisi klimatologinya, kawasan tersebut mempunyai dinamika iklim, cuaca,
angin, dan suhu, serta mempunyai kelembaban tinggi.
f. Pergeseran fungsi tepi laut/pantai mengakibatkan timbulnya :
- Gejala erosi tanah yang terus meningkat sehingga terjadi pedangkalan perairan.
- Jumlah air permukaan menuju badan air naik, sehingga timbul banjir.
- Pertentangan kepentingan.
- Meningkatnya pencemaran air berakibat pada penurunan hasil perikanan.
- Potensi perairan sebagai objek wisata sukar dimanfaatkan karena kecenderung-an
menurunnya estetika lingkungan.
- Terjadi kecenderungan kenaikan muka air laut sebagai bagian dari pemanasan global
(global warming) dan dampak pembangunan pada kawasan tepi laut/pantai secara tidak
berwawasan lingkungan.
- Potensi perairan sebagai sumber air bersih penduduk menjadi tidak ekonomis lagi karena
membutuhkan biaya tinggi untuk proses penjernihannya.
Permasalahan flora dan fauna adalah terancamnya keberadaan flora dan fauna spesifik akibat
meningkatnya aktivitas perkotaan yang tidak berwawasan lingkungan.
b. Untuk kawasan yang mempunyai nilai budaya dan peninggalan sejarah, sering terjadi
konflik/friksi kepentingan antara kepentingan konservasi dan pengembangan kawasan.
c. Mayoritas penduduk golongan ekonomi lemah dengan latar belakang pendidikan relatif
terbatas dan pengetahuan akan lingkungan sehat, serasi, teratur dan berkelanjutan
cenderung masih kurang dan terjadi kebiasaan 'tidak sadar lingkungan' dan cenderung
kurang memperhatikan bahaya dan resiko.
a. Sebagian besar perumahan nelayan dan perumahan di atas air belum memenuhi standar
persyaratan kesehatan, kenyamanan, keamanan, ketertiban, keindahan dan berwawasan
lingkungan.
a. Drainase kawasan sulit menggunakan sistem gravitasi, karena merupakan kawasan datar.
Penanganan drainase tersebut dipengaruhi oleh kondisi hinterland kawasan, curah hujan,
tingkat run-off, dan pasang-surut air laut. Upaya yang diperlukan antara lain memperlancar
aliran air melalui pompanisasi, sistem polder, pengurugan dsb.
b. Pembuangan air limbah kawasan kota pantai bermuara di laut, mengakibatkan badan air
terkontaminasi. Pengaturan perlu mempertimbangkan pengendalian pencemaran air (PP
No. 20/1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, Permen 45/PRT/1990 tentang
Pengendalian Mutu Air Pada Sumber-Sumber Air).
c. Penyediaan air bersih dengan memanfaatkan sumber air setempat biasanya payau dan
mempunyai salinitas tinggi, tidak layak dikonsumsi. Perlu upaya penyediaan air bersih yang
tidak mengganggu keseimbangan sumber air baik kualitas maupun kuantitasnya (PP No.
22/1982 tentang Tata Pengaturan Air, Permen PU No 49/PRT/1990 tentang Tata Cara dan
Persyaratan Ijin Penggunaan Air dan atau Sumber Air).
Pada kawasan di atas air yang telah terlayani jaringan air bersih/minum kota pada umumnya
mempunyai permasalahan pada sering terjadinya kerusakan jaringan perpipaan sebagai
akibat perilaku hempasan ombak dan korosi.
d. Terbatasnya ruang bagi lokasi TPA dalam penanganan sampah akan berakibat terbatasnya
ruang pembuangan alamiah, yang akan menyebabkan polusi air tanah.
e. Transportasi air di kawasan ini relatif lebih padat dari kawasan lain.
f. Prasarana jalan lingkungan, terutama di atas air perlu mendapat perhatian serius.
- Pola dan jaringan jalan yang tidak teratur (organik);
- Persyaratan konstruksi jalan yang relatif tidak memenuhi syarat;
- Penerangan jalan, terutama di malam hari nyaris tidak ada sama sekali;
g. Prasarana (peralatan dan mekanisme) penanggulangan bahaya, baik kebakaran maupun
bencana alam tidak ada sama sekali.
h. Keberadaaan perumahan kebanyakan menghalangi 'publik dominan', lalu lintas air, serta
rawan terhadap tsunami.
i. Keberadaan pasar terapung yang muncul pada badan air menimbulkan permasalahan
terganggunya lalu lintas air dan pencemaran lingkungan.
b. Otorisasi kegiatan khusus mempunyai potensi terjadinya konflik pemanfaatan ruang dengan
kawasan sekitarnya.
a. Meskipun eksitensi fisik diakui, namun pengakuan dan dukungan secara hukum masih
terkesan ragu-ragu, yang mungkin disebabkan oleh beberapa faktor:
Potensi Pengembangan
a. Merupakan dataran subur dan sebagian besar memiliki sumber daya mineral.
b. Muka air tanah tinggi sehingga memiliki cukup banyak ketersediaan air.
c. Keunggulan lokasi kawasan yang mempunyai akses langsung ke air mengakibatkan
percepatan pengembangan kawasan. Hal ini menjadikan kota pantai sering menjadi pusat
pertumbuhan bagi wilayah yang lebih luas (hinterland).
d. Tiga hal pokok yang harus diperhatikan dalam meninjau pemanfaatan badan perairan
terhadap perkembangan kota, yaitu :
- Sifat fisik kawasan perairan menentukan adanya kesempatan untuk pengembangan
kegiatan fungsional tertentu yang mempengaruhi jenis kegiatan kota.
- Beberapa kegiatan kota muncul sebagai akibat potensi perairan yang dapat
dimanfaatkan dan di pihak lain beberapa fungsi kota dapat menimbulkan jenis
pemanfaatan kawasan perairan dan pantai.
- Perkembangan kota sebagai implikasi berlangsungnya fungsi kota dan fungsi perairan,
mempunyai beberapa permasalahan. Permasalahan tersebut dapat menimbulkan jenis
pemanfaatan kawasan perairan.
Hal itu memperlihatkan bahwa fungsi badan perairan dengan fungsi kota dapat saling
berpengaruh, fungsi badan perairan dapat menjadi sebab maupun akibat perkembangan
kota. Dengan mempertimbangkan watak fisik badan perairan, maka dapat ditentukan fungsi
perairannya. Fungsi badan perairan dapat dibedakan antara kepentingan sosial masyarakat
sebagai pemenuhan kebutuhan air bersih dan kegiatan domestik lainnya, sedang fungsi lain
adalah untuk kepentingan ekonomi dalam skala luas sebagai sarana angkutan regional dan
pelabuhan ekspor/impor.
a. Jenis vegetasi spesifik seperti tanaman bakau dapat berfungsi untuk mencegah abrasi,
serta menjadi pemandangan alami.
b. Memiliki potensi budaya seperti budaya masyarakat nelayan yang unik atau campuran dari
berbagai jenis budaya-lokal dan asing yang memberi watak/karakter, sehingga dapat
dikembangkan sebagai potensi wisata.
c. Peninggalan sejarah seperti Museum Bahari, dapat dijadikan obyek wisata potensial,
dengan mempertimbangkan pelestarian cagar budaya (UU No. 5/1992 tentang Benda Cagar
Budaya).
a. Merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah penyediaan perumahan sebagai akibat
kekurangan/kesulitan lahan baru (semakin mahal, dan terbatas).
b. Adanya perumahan di pinggiran air dan/atau di atas air merupakan potensi wisata yang
perlu dikembangkan, seperti permukiman yang terdapat di Brunei Darussalam.
a. Sebagai tempat bertemunya darat dengan air, kawasan perkotaan pantai dapat diakses
dari daratan maupun dari perairan, dan oleh karenanya sangat potensial, bila dipandang dari
sudut transportasi dengan adanya pelabuhan atau dermaga.
b. Keberadaan pasar terapung sebagai penunjang ekonomi kota dan potensi wisata.
a. Pengakuan terhadap lokasi tersebut akan mempermudah usaha penataan dan perbaikan
lingkungan serta menjadikannya bagian integral rencana pengembangan tata ruang kota.
Konsep dasar rencana pengembangan kawasan kota pantai bertitik tolak dari pendekatan dan
strategi pengembangan kawasan.
a. Pendekatan
Beberapa pendekatan perencanaan dalam pengembangan kawasan kota pantai, antara lain:
1) Pendekatan Komprehensif, merupakan pendekatan perencanaan yang didasarkan pada
rencana makro suatu kota pantai, sehingga rencana pengembangan permukimannya harus
merupakan turunan dari rencana makro kota induknya.
2) Pendekatan Front-Edge, merupakan pendekatan perencanaan yang memanfaatkan
keberadaan air sebagai bagian depan dari bangunan, orientasi kegiatan penduduk, pintu
gerbang kota, dsb.
3) Pendekatan Partisipatorik, merupakan pendekatan perencanaan yang melibatkan/
mengikutsertakan semua pelaku pembangunan (pemerintah, swasta dan masyarakat
setempat) dalam proses perencanaan kawasan permukiman di kota pantai.
4) Pendekatan Tekno-Ekonomis, merupakan pendekatan perencanaan yang didasarkan
pada pertimbangan inovasi teknologi, tetapi masih dalam kelayakan ekonomi.
5) Pendekatan Kultural dan Kearifan Masyarakat, merupakan pendekatan perencanaan
yang mempertimbangkan sosial-budaya komunitas masyarakat di kawasan tersebut serta
dengan mengembangkan potensi kearifan masyarakat setempat dalam mengelola
lingkungan alam dan lingkungan buatan.
b. Strategi Pengembangan
Beberapa strategi pengembangan yang dapat diterapkan antara lain :
1) Pengembangan secara mengelompok (clustered), yaitu pengembangan kawasan pantai
yang diarahkan ke pedalaman. Melalui strategi ini diharapkan permasalahan yang mungkin
dapat timbul karena penggunaan tanah/lahan sekitar pantai secara ekstensif sepanjang
pantai atau gangguan terhadap kelestarian lingkungan hidup dapat dibatasi dan dilokalisasi
ke arah pedamanan.
2) Pengembangan secara reklamasi, yaitu pengembangan kawasan pantai yang ditujukan
untuk mendapatkan lahan pengembangan baru melalui pengurukan atau pengeringan.
Strategi ini dipilih antara lain karena semakin langkanya ketersediaan lahan perkotaan untuk
mengakomodir pemenuhan kebutuhan fungsi perkotaan seperti transportasi, drainase,
permukiman, fasilitas umum dan lain-lain.
3) Pengembangan secara revitalisasi, yaitu pengembangan kawasan pantai melalui cara
pemugaran, konservasi (pelestarian) lingkungan maupun penataan lingkungan. Pemilihan
strategi ini didasarkan pada kondisi kawasan dimana terdapat area yang kumuh (slum area)
atau pada kawasan yang berpotensi untuk pengembangan ekonomi, sosial atau budaya.
Struktur Pengembangan
Struktur peruntukkan kawasan kota pantai dapat diarahkan pada 7 (tujuh) pengembangan, yaitu :
a. Memanfaatkan potensi alam pantai untuk kegiatan penelitian, budaya dan konservasi;
b. Menekankan pada kebersihan badan air dan suplai air bersih yang tidak hanya untuk
kepentingan kesehatan saja tetapi juga untuk menarik investor;
c. Diarahkan untuk menyadarkan dan mendidik masyarakat tentang kekayaan alam tepi pantai
yang perlu dilestarikan dan diteliti.
d. Keberadaan budaya masyarakat harus dilestarikan dan dipadukan dengan pengelolaan
lingkungan didukung kesadaran melindungi/mempertahankan keutuhan fisik badan air untuk
dinikmati dan dijadikan sebagai wahana pendidikan (keberadaan keragaman biota laut, profil
pantai, dasar laut, mangrove, dll).
e. Perlu ditunjang oleh program-program pemanfaatan ruang kawasan, seperti penyediaan
sarana untuk upacara ritual keagaman, sarana pusat-pusat penelitian yang berhubungan
dengan spesifikasi kawasan tersebut, dll.
f. Perlu upaya pengaturan/pengendalian fungsi dan kemanfaatan air/badan air.
a. Memanfaatkan kondisi fisik pantai untuk kegiatan rekreasi (indoor atau outdoor);
b. Pembangunan diarahkan di sepanjang badan air dengan tetap mempertahankan keber-
adaan ruang terbuka;
c. Perbedaan budaya dan geografi diarahkan untuk menunjang kegiatan pariwisata, terutama
pariwisata perairan;
d. Kekhasan arsitektur lokal dapat dimanfaatkan secara komersial guna menarik pengunjung.
e. Pemanfaatan kondisi fisik pantai untuk kegiatan rekreasi/wisata pantai.
f. Program pemanfaatan kawasan yang dapat diterapkan untuk kawasan permukiman baru
antara lain : penataan bangunan dengan memberi ruang untuk public access ke badan air,
pengaturan pengambilan air tanah, reklamasi, pengaturan batas sempadan dari badan air,
program penghijauan sempadan, dll.
PENUTUP
Kesimpulan
a. Batasan kawasan kota pantai tidak hanya mencakup bagian kota di darat dan ber-hadapan
dengan laut saja, tetapi juga mencakup bagian yang berada di atas air.
b. Orientasi kegiatan kota pantai berbasis darat dan laut, seperti perdagangan, pelabuhan dan
transportasi, perikanan, serta permukiman.
c. Kedudukan kawasan kota pantai merupakan bagian tak terpisahkan (integral) dari beberapa
kawasan lain di kota induknya.
d. Kawasan pantai di Indonesia dapat diarahkan pada 7 (tujuh) jenis pengembangan, yaitu :
1. Kawasan komersial (perdagangan);
2. Kawasan budaya, pendidikan dan lingkungan hidup;
3. Kawasan peninggalan bersejarah;
4. Kawasan permukiman;
5. Kawasan wisata (rekreasi);
6. Kawasan pelabuhan dan transportasi;
7. Kawasan pertahanan keamanan
1. Perlu disusun pedoman umum penataan ruang kawasan kota pantai dan pedoman teknis
penataan ruang untuk masing-masing tipe pemanfaatan kawasan kota pantai, seperti pedoman
teknis penataan kawasan permukiman di kota tepi pantai; pedoman teknis penataan kawasan
rekreasi di kota tepi pantai; dan lain-lain.
2. Untuk dapat digunakan sebagai dasar pengembangan kawasan, maka konsep yang diusulkan
ini perlu disesuaikan dengan kondisi spesifik setempat.
3. Pengembangan kawasan kota tepi air pada umumnya dan tepi laut/pantai pada khususnya
perlu mengantisipasi dampak timbal balik antara pembangunan fisik dan kerusakan bentang
alam.
1. Laporan Akhir, Pedoman Penataan Ruang Kawasan Perkotaan Tepi Air di Indosesia,
Direktorat Bina Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Direktorat Jenderal Cipta Karya, 1998.
5. Laporan Akhir, Model Perbaikan Lingkungan Permukiman di Kota Tepi Air dengan
Mengembangkan Kearifan Masyarakat dan Nilai-nilai Tradisional, Puslitbang Permukiman,
2000.
Riwayat Penulis :
*) Iwan Suprijanto, MT.Ars, MM
NIP. 110 054 965
E-mail : iwan_suprijanto@plasa.com
Lahir di Malang, 30 September 1971; Alumni FT.Arsitektur Universitas Brawijaya (1995) dan
Pascasarjana FT.Arsitektur UGM (1997); Anggota organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia (ICMI); Bekerja pada Pusat Litbang Teknologi Permukiman sejak 1998 sebagai staf
bidang Pengembangan, tahun 2000 sebagai staf Bidang Pelayanan Penelitian, tahun 2001
sebagai staf Bidang Pelayanan IPTEK; Aktif terlibat pada kegiatan penelitian, baik sebagai
koordinator maupun anggota; Aktif menjadi pembicara/penyaji pada beberapa Seminar nasional
maupun internasional, seperti di ITS, CARDO-ITS, UI, UGM, ATA-YKPN, Universitas Brawijaya,
Dep. PU, BPPT, dll; Menggagas dan mengembangkan Sistem Informasi Arsitektur Tradisional
Indonesia (SIATI) dan Sistem Informasi Bangunan Kolonial di Indonesia (SIBKI) berbasis web;
Konsultan perencana dan perancangan di Jawa Timur (1995-sekarang); Dosen luar biasa pada
perguruan tinggi swasta di Malang dan Surabaya (1997-2000).