Anda di halaman 1dari 78

ASPEK PERILAKU DALAM AKUNTANSI : TEORI PERUSAHAAN DAN

PERILAKU MANAJERIAL

Ida Rosnidah
Dosen Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi
Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon
Email : idarosnidah2010@yahoo.com

Abstract
Accountants in the implementation of the work, must also give an attention to behavioral
aspects of management and the company (organization). By understanding aspects of this
behavior, implementation of work accountants will be more carefull because management
and the people who exist within organizations have different motives and goals so that in
the financial statements are presented earning management that must be detected by
accountants.

Keywords : Behavioral Aspects of Accounting ; The Theory of The Firm : Managerial


Behavior

PENDAHULUAN

Sekitar tahun 1970-an Akuntan mulai memperhatikan utilitas dari output yang
dihasilkannya bagi pengguna laporan Akuntan. Berdasarkan sejarah, Akuntan tidak
melakukan segmentasi pasar untuk informasi yang dihasilkannya, Akuntan lebih menyukai
menggunakan satu set laporan yang menyajikan fakta-fakta ekonomis suatu perusahaan
untuk seluruh pengguna. Motivasi dari manajemen sebagai pelaku dalam penyajian fakta-
fakta ekonomis tersebut tidak dipertimbangkan, dan perilaku yang menjadi penyebabnya
juga diabaikan. Penekanan lebih pada apa yang disajikan, dengan sedikit regard pada oleh
siapa, untuk siapa dan apa tujuan dari laporan tersebut. Hal ini memberi kesan kurangnya
perhatian Akuntan terhadap manusia dan perilakunya sebagai pemasok dan pengguna
informasi.
Di satu pihak disetujui bahwa pengabaian terhadap perilaku tersebut disebabkan
kelangkaan struktur teori namun di pihak lain diusulkan agar Akuntan merespon
lingkungan dimana dia beroperasi dan memperhatikan perilaku yang berhubungan dengan
aktivitasnya.
Artikel ini mencoba mengkaji aspek perilaku dalam akuntansi, khususnya
mengenai teori perusahaan dan perilaku manajerial, karena akuntan sebagai penyedia jasa
harus memperhatikan juga aspek perilaku manajemen yang membuat laporan keuangan

1
sehingga pada saat Akuntan melaksanakan pekerjaannya akan lebih berhati-hati dengan
lebih memahami motif manajemen dalam membuat laporan keuangan.

PEMBAHASAN
Aspek Perilaku Dalam Akuntansi
Akuntan harus waspada pada trend ekonomis yang menekankan pada tanggung
jawab utama alokasi sumber daya yang terbatas. Untuk mencapai tujuan memaksimalkan
laba, perusahaan diasumsikan berperilaku rasional dalam pengambilan keputusan,
contohnya dalam proses mengubah sejumlah faktor produksi yang terbatas menjadi
sejumlah produk yang terbatas dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk
permintaan produk, faktor penawaran dan teknologi produksi di bawah kondisi yang
kompetitif.
Gambar berikut menyajikan proses keputusan dihubungkan dengan teori ekonomi
tradisional dari perusahaan dimana perilaku individu : persepsinya, aspirasi, ketrampilan,
tujuan dan motivasi diabaikan, manusia dianggap mesin yang diperintahkan untuk
memaksimalkan produktivitas.

PRODUCT
DEMAND
INFORMATION
PRODUCT FACTOR
OUTPUT INPUT
DECISIONS
FACTOR
SUPPLY PRODUCTION PRODUCTION
INFORMATION PROCESS OUTPUT

FACTOR
INPUT
DECISIONS
PRODUCTION
TECHNOLOGY
INFORMATION

= Info flows

= Factors of Production
and Final Output

Gambar 1 Process keputusan suatu perusahaan


Sumber : Naylor, Thomas H. : 1965

2
Setelah tahun 1970-an, pendekatan tradisional dalam akuntansi dipertanyakan,
khususnya dalam akuntansi manajerial. Transisi dari peran akuntansi sebagai score
keeping menjadi penyedia informasi untuk pengambilan keputusan dan kontrol diusulkan
perlunya mempelajari implikasi dari perilaku terhadap penyusun dan pemakai informasi.
Komite dari American Accounting Association menegur dirinya sendiri terhadap masalah
ini seperti yang dilaporkan di tahun 1971 .
Dapat dihipotesiskan bahwa proses pengumpulan informasi yang dilakukan
Akuntan tidak terlepas dari perilaku yang akan mempengaruhi perilaku-perilaku yang lain.
Pendeknya, secara alamiah, akuntansi adalah suatu proses perilaku.
Jika Akuntan mengadopsi pandangan tersebut, maka konsepnya mengenai
perusahaan akan berubah. Selama ini teori perilaku organisasi diakui oleh perusahaan
bisnis karena organisasi terdiri dari orang-orang. Sehingga behavioral aspects of
accounting adalah menyajikan konsep ilmu perilaku yang relevan dan temuan-temuan
yang dihubungkan dengan empat aktivitas utama perusahaan yang menjadi perhatian
Akuntan yaitu : planning and budgeting, decision making, control dan financial reporting.

Teori Perilaku Perusahaan


Teori organisasi modern memperhatikan perilaku perusahaan sebagai entitas dari
basis pemahaman aksi dan motif pelaku. Perusahaan bisnis besar maupun kecil, secara
tradisional dipandang dimiliki oleh pemegang saham yang memperhatikan posisi
keuangan, harga dan output. Akuntansi harus mempersiapkan laporan keuangan yang
menggambarkan hasil-hasil dari operasi annual perusahaan untuk distribusi pada
pemegang saham dan publik. Perusahaan memiliki tujuan yang beragam dan proses untuk
mencapai tujuan tersebut membutuhkan pengambilan keputusan dan pemecahan masalah.
Dalam teori perusahaan modern, tujuan organisasi akan dipandang sebagai :
1. Outcome dari proses penawaran pelaku organisasi.
2. Determinan dari sekumpulan pembuatan keputusan perusahaan dan aktivitas
pemecahan masalah.
3. Peranannya dalam sistem internal kontrol.
Motivasi dari pelaku dan tingkat kepuasan kerja mereka akan tergambar dalam pola
tujuan individu yang tumpang tindih dengan tujuan organisasi, dan perluasan dari
pandangan pelaku perusahaan sebagai instrumen dari pencapaian tujuan individu.
Pembuatan keputusan perusahaan, proses pemecahan masalah, struktur organisasi, divisi

3
tenaga kerja, penggunaan standar prosedur operasi dan lain-lain akan digambarkan sebagai
fungsi dari perilaku pemecahan masalah.
Perusahaan dipandang sebagai suatu pencarian keseimbangan, sistem pengambilan
keputusan, komposisi tujuan mungkin sangat bervariasi, tetapi proses penyesuaian merujuk
pada beberapa aturan sederhana. Perusahaan beroperasi pada kapasitas yang terbatas.
Untuk itu sistem organisasional hanya memiliki informasi masa lalu yang terbatas,
sehingga memiliki kapasitas yang terbatas untuk memproses informasi.
Organisasi mencapai stabilitas melalui akumulasi organizational slack.
Organizational slack menyajikan kelebihan sumber daya yang diserap oleh perusahaan
untuk menyeimbangkan fluktuasi dalam lingkungan eksternalnya. Anggota organisasi
diasumsikan memiliki tujuan individu, karenanya manajer diasumsikan memiliki motivasi
untuk mencapai tujuan yang terbentuk dari aspirasi berupa income, status, job security, dan
kebijakan mengontrol sisa sumber daya.

Tujuan-tujuan Perusahaan
Kontras dengan teori manajemen klasik, kerangka perencanaan tradisional atau
analisis keputusan positif, tujuan perusahaan tidak dapat diasumsikan untuk diberikan.
Namun demikian, secara teoritis ini dapat menjadi kasus dari suatu perusahaan yang
kepemilikannya tunggal, maka hanya ada satu tujuan, yaitu tujuan perusahaan merupakan
tujuan dari pemilik perusahaan. Namun dalam perusahaan bisnis yang besar dimana terdiri
dari koalisi-koalisi yang terdiri dari pemegang saham, manajerial, serikat tenaga kerja,
pemasok, pelanggan, dan pemerintah (gambar 2), maka tujuan organisasi merupakan
tujuan dari masing-masing anggota koalisi.

STOCK
ENVIRONMENT HOLDERS FEDERAL

TOP
MANAGEMENT
CUSTOMERS MIDDLE WORKERS
MANAGEMENT

STATE LOCAL
SUPPLIERS

Gambar 2 Hubungan multi tujuan dari perusahaan


Sumber : Schiff, Michael and ArieY. Lewin : 1974
4
Dengan demikian akan terjadi konflik dimana pemegang saham menginginkan laba
dividen sedangkan tujuan top management menginginkan maksimalisasi pendapatannya
(gaji dan bonus), status, dan job security. Karyawan menginginkan kenaikan gaji,
perbaikan kondisi kerja, dan pelanggan memiliki harapan dengan harga, kualitas, dan
servis yang memuaskan. Faktanya tujuan organisasi merupakan kompromi dari keinginan-
keinginan individu yang berbeda-beda dan mencerminkan kekuatan penawaran dan posisi
dari sub koalisi.
Peran dari tujuan organisasi secara normal didasarkan pada : level aspirasi dari G 1
≥ xi dimana G = Goal dan x merupakan pengukuran kinerja dari tujuan.

Model Motivasional dari Perilaku Manajerial


Menurut Willamson (1964) manajer memiliki tujuan individu yang ingin dicapai
bersamaan dengan pencapaian tujuan organisasi, yaitu kesejahteraan / pendapatan, status,
kebijakan mengontrol kelebihan alokasi sumber daya, dan keamanan kerja. Model
motivasi manajerial yang disajikan ini dilihat dari sudut pandang manajer sehingga
manajer memiliki motivasi untuk mencapai kedua tujuan tersebut. Untuk mencapai kedua
tujuan tersebut manajer akan berusaha keras fleksibel dengan lingkungan operasinya
Teori hirarki kebutuhan dari Maslow mengasumsikan bahwa manusia memiliki
suatu motif internal yang mendorongnya untuk bertindak. Teori ini didasarkan pada
asumsi bahwa individu-individu memiliki motivasi untuk memuaskan kebutuhan spesifik
seperti yang terlihat pada Gambar 3.

High

High
Strength of need

Safety (Security)
Belongingness and Love (Affiliation)
Esteem
Self Actualization

Low

Gambar 3 Hirarki kebutuhan Maslow

5
Membandingkan teori Hirarki Kebutuhan Maslow dengan Teori Motivasi dari Perilaku
Manajerial jelas bahwa semakin besar kebijakan manajer dalam mengontrol sisa alokasi
sumber daya, maka semakin besar kesempatannya untuk memuaskan kebutuhan
aktualisasi dirinya. Kebutuhan aktualisasi diri dalam Hirarki Maslow sama dengan status
dalam model Motivasi Manajerial, sedangkan income dan faktor job security diasosiasikan
sama dengan kebutuhan untuk keamanan.
Pengambilan Keputusan Organisasional
Dalam bagian ini akan dibahas peran dan bentuk proses dari tujuan organisasional
dan motivasi yang mendasari partisipasi manajer dan kinerja organisasi. Proses
pengambilan keputusan diambil untuk memperoleh pemecahan masalah yang optimal dan
memuaskan tujuan individu dan tujuan perusahaan yang beragam. Perhatian utama kita
adalah pada perusahaan dalam kondisi yang mantap, yaitu perusahaan tingkat menengah
menuju besar. Organisasi dalam kondisi mantap ini, dipandang sebagai organistatik dan
mempunyai pola perilaku yang stabil. Proses pengambilan keputusan secara alamiah
memperkuat stabilitas perilaku.
Problem keputusan dijumpai oleh perusahaan yang besar yang sangat kompleks
dan memiliki dari satu departemen. Organisasi semacam ini harus mengembangkan
standar prosedur operasi formal atau informal yang diterapkan untuk masalah yang sering
terjadi / rutin, seperti inventory control dan lain-lain. Dalam pembuatan keputusannya
perusahaan harus memperhatikan masalah ketidakpastian. Penghindaran ketidakpastian
dicapai melalui :
1. Penyerapan arus informasi ketidakpastian
2. Kelenturan organisasional
3. Negosiasi dengan lingkungan
4. Pengambilan keputusan jangka pendek
Secara singkat perusahaan memiliki solusi rutin untuk memecahkan masalah dan
pencarian untuk solusi baru. Minimalisasi dari ketidakpastian digarisbawahi dalam model
Motivasi Manajerial. Ini dicapai melalui keempat faktor tersebut di atas.

Teori-Teori Perusahaan : Marginalist, behavioral, managerial


Menurut Fritz Machlup (1967) , aliran marjinal mendominasi teori perusahaan
dengan pelajaran mikro ekonomi, sedangkan dalam jurnal dan monograf dikembangkan
penelitian-penelitian pendekatan alternatif dari teori perusahaan sebagai teori superior
yang menggantikan aliran marjinal.

6
Dalam argumen melawan model maksimalisasi laba, berbagai pendekatan
alternatif terhadap teori perusahaan sangat mirip, hanya program-program positif dari
masing-masing argumen yang membedakannya. Program dari aliran perilaku (behavioral)
menolak asumsi dari analisis aliran marjinal bahwa reaksi ekonomi diatur oleh sasaran
untuk memaksimalkan hasil yang dicapai dan business action dapat disimpulkan dari
postulat bahwa perusahaan berusaha untuk memaksimalkan laba. Observasi akan
dilakukan untuk melihat bagaimana pebisnis bereaksi dan oleh proses apa para pebisnis
mengambil keputusan.
Teori seperti ini didasarkan pada 4 sub teori utama, yaitu : tujuan organisasional,
harapan organisasional, pilihan organisasional, dan kontrol organisasional. Hal ini
diasumsikan bahwa 5 tujuan organisasi, yaitu tujuan produksi, tujuan inventory, tujuan
penjualan, tujuan pangsa pasar, dan tujuan laba menjadi subyek penawaran di antara
anggota koalisi yang beragam yang membentuk tujuan organisasi.
Pendekatan perilaku ini dicirikan sebagai kerja keras untuk ―realism in process‖
yang secara kontras berbeda dengan maksud pendekatan ―realism in motivation‖. ―Realism
in motivation‖ diperlukan karena adanya pemisahan kepemilikan dan kontrol dalam
korporasi modern, dimana management memiliki kekuatan besar dan kebijakan yang luas.
Ada 3 pandangan yang berbeda mengenai independensi dari manajemen
perusahaan, yaitu :
1. Pemilik akan menjalankan bisnis dengan pandangan untuk laba yang maksimal,
sedangkan manajer menjalankan perusahaan dengan banyak tujuan tambahan dan
tujuan tandingan di pikirannya.
2. Pemilik akan sering membiarkan pertimbangan non-laba dalam pembuatan
keputusannya, sedangkan manajer lebih memiliki keinginan keras sebagai pencari
laba.
3. Manajer cenderung menurutkan kata hatinya untuk mencari tujuan lain sepanjang
laba terlihat memuaskan. Manajer sebagai seorang profesional yang terlatih dalam
seni dan ilmu manajemen akan menghasilkan laba lebih baik dari si pemilik.
Konsekuensi dari gambaran ini adalah :
1. Sikap pertama akan berpegang teguh pada asumsi maksimalisasi laba karena hal
tersebut adalah yang paling sederhana dan dapat diaplikasikan dengan informasi
yang tidak terlalu detil untuk jangkauan yang luas.
2. Sikap lainnya akan berpegang pada suatu katalog lengkap yang berisikan tujuan-
tujuan dan indeks dari keefektifan dalam setiap perusahaan.
7
3. Sikap ketiga memilih 2 atau 3 jenis sasaran manajerial terpenting yang dapat
dikurangkan terhadap analisis kuantitatif dan mengkombinasikannya ke dalam
suatu fungsi sasaran yang dapat dikelola.
Ketiga pendekatan ini menggabungkan aliran marjinal dengan aliran manajerial dan
mengintegrasikan tujuan laba dengan tujuan manajerial lain dalam suatu formula
―perilaku maksimalisasi‖.

DUA PULUH SATU KONSEP PERUSAHAAN


Ada dua puluh satu konsep perusahaan yang dipakai dalam literatur bisnis
dan ekonomi, namun Fritz (1967) menyeleksinya menjadi 10, yaitu :
1. Dalam teori ―comptetitive prices and allocation‖, perusahaan adalah suatu reaktor
imajiner terhadap perubahan lingkungan.
2. Dalam teori ―innovation and growth‖, perusahaan adalah suatu reaktor atau
inisiator imajiner.
3. Dalam ―welfare economics‖, perusahaan adalah suatu reaktor imajiner atau
inisiator dengan pengetahuan akurat mengenai peluang-peluangnya.
4. Dalam teori ―oligopoly and monopoly‖, perusahaan adalah reaktor khas dan
inisiator dalam suatu group kecil interaksi.
5. Dalam teori Organisasi (atau birokrasi) perusahaan adalah sistem kerjasama yang
khas dengan koordinasi yang berdasarkan otorisasi.
6. Dalam ―management science‖, perusahaan adalah suatu sistem informasi
fungsional dan sistem pengambilan keputusan untuk operasi-operasi bisnis.
7. Dalam ―operation research and consultation‖, perusahaan adalah suatu klien
aktual atau potensial untuk memperoleh kinerja optimal.
8. Dalam teori akuntansi, perusahaan adalah suatu koleksi dari harta dan kewajiban.
Dalam hal ini harus jelas bagaimana berbedanya konsep ini dengan konsep-konsep
yang lain.
9. Dalam teori ―legal and practice‖ perusahaan adalah person dengan kekuatan
hukum berikut properti, klaim, dan kewajiban-kewajiban.
10. Dalam deskripsi statistik (seperti sensus Manufaktur), perusahaan adalah suatu
organisasi bisnis dibawah suatu manajemen tunggal atau orang mandiri dengan
satu atau lebih pegawai atau dengan tempat bisnis yang tetap.

8
Kasus Manajemen Laba
Manajemen laba telah menghasilkan banyak ketertarikan bagi peneliti akuntansi .
Studi tentang isu tersebut telah menguji mengapa para manajer memanipulasi laba
(earnings), kapan mereka (para manajer) berniat melakukannya, dan arah dari manipulasi
laba (earnings) di bawah kondisi / keadaan yang berbeda-beda ( Xing Lin & Michael
S.H.Shih, 2006).
Beberapa hasil penelitian mempertunjukkan bahwa perilaku manajemen laba
Earning Management )secara keseluruhan bervariasi dari triwulan ke triwulan tetapi
variasi tersebut sangat dapat diramalkan dari aktivitas ekonomi nyata. Dilaporkan
terjadinya manipulasi penurunan laba (earnings) dari para manajer pada masa masa
pertumbuhan ekonomi sedang lemah, dan manipulasi peningkatan laba (earnings) pada
periode pertumbuhan ekonomi yang moderat. Peneliti juga menguji perilaku manajemen
laba perusahaan individu dan menemukan bahwa bagaimana masing-masing perusahaan
mengatur laba di (dalam) suatu periode yang dapat dijelaskan oleh kinerja operasinya.
Hasilnya menyarankan pembuat kebijakan dan pengatur harus lebih waspada terhadap
integritas laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan-perusahaan di dalam kondisi
ekonomi tertentu. Mereka juga memberikan pengertian mengapa para manajer terlibat
dalam manajemen laba, seperti halnya bukti yang diakibatkan oleh standard prosedur yang
digunakan untuk mendeteksi perilaku manajemen laba yang harus ditafsirkan dengan hati-
hati.
Kasus manajemen laba menunjukkan contoh mengapa para Akuntan perlu untuk
mempelajari aspek perilaku.

KESIMPULAN
Akuntan dalam melaksanakan pekerjaannya, harus pula memperhatikan aspek
perilaku dari manajemen dan perusahaan /organisasi. Dengan memahami aspek perilaku
ini, pelaksanaan pekerjaan akuntan akan lebih berhati-hati karena manajemen maupun
orang-orang yang ada dalam organisasi memiliki motif dan tujuan yang berbeda sehingga
dalam laporan keuangan yang disajikan manajemen mungkin terjadi rekayasa atau terjadi
earning management yang harus dapat dideteksi oleh Akuntan.

9
DAFTAR PUSTAKA
Naylor, Thomas A. 1965. The Economic Theory of The Firm : Three Models of Analysis.
Quarterly Review of Economics and Business. Vol V. No. 4. Pp 33-34.

Machlup, Fritz. 1967. The Theories of The Firm..American Economic Review, March.
Pp. 1-33.

Schiff, Michael and Arie Y. Lewin. 1974. Behavioral Aspects of Accounting. New Jersey :
Prentice Hall, Inc.

Xing Lin, Zhi & Michael S.H.Shih. 2006. Variation of Earnings Management Behavior
Across Economic Settings, and New Insights into Why Firms Engage in
Earnings Management . Retrieve from http://www.variation of earning
management, variation%2.0 of%20management%20 behavior,pdf

Williamson, Oliver E. 1964. The Economics of Discretionary Behavior : Managerial


Objectives in A Theory of The Firm. New Jersey : Prentice Hall.

10
MODEL PENGUKURAN KINERJA KEUANGAN DAERAH PADA ERA
OTONOMI DAERAH BERDASARKAN KOMPONEN
LKPJ WALI KOTA CIREBON
(STUDI KASUS PADA LKPJ KOTA CIREBON TAHUN 2007-2010)

Moh. Yudi Mahadianto, SE., MM


Dosen Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi
Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon
Nono Darsono, SE
Alumni Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi
Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon

ABSTRAK
Penelitian ini mengenalisis kinerja keuangan dan pertumbuhan ekonomi daerah
setelah diberlakukannya otonomi daerah di Kota Cirebon. Data yang dianalisis adalah data
keuangan pemerintah Kota Cirebon berupa laporan realisasi anggaran tahun 2007 sampai
dengan tahun 2010, dan data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga
konstan 2000 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Cirebon. Jenis
penelitian ini yaitu berbentuk kualitatif dengan format deskriptif, untuk menggambarkan
fenomena atau karateristik yang telah berlangsung pada saat penelitian ini berlangsung.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pemerintah Kota Cirebon dalam melaksanakan
Otonomi daerah masih mengandalkan peran pemerintah pusat dalam melaksanakan
kegiatan pemerintahannya. Hal ini dibuktikan oleh hasil perhitungan rasio kemandirian
keuangan daerah tahun 2007-2010 hanya berkisar 15,13% samapai 19,71%, rasio
Kemandirian keuangan daerah memiliki pola hubungan yang instruktif, artinya peranan
pemerintah pusat lebih dominan dari pada kemandirian daerah. Rasio efektifitas
Pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun 2007-2010 belum efektif karena hasil
perhitungannya kurang dari 100% yaitu masing-masing sebesar 94,77%, 97,85%, 97,95%,
dan 91,04%. Dan rasio efisiensi Pendapatan Asli Daerah tahun 2007-2010 belum efisien
karena hasil perhitungannya lebih dari 100% yaitu masing-masing sebesar 392,15%,
112,06%, 126,32%,dan 102,37%. Rasio aktifitas kinerja keuangan daerah kota Cirebon
sesudah otonomi daerah tahun 2007-2010 belum optimal, hasil perhitungannya rasio
belanja rutin terhadap total APBD tahun 2007-2010 yaitu masing-masing 50,14%,
54,56%, 58,43%, dan 57,60% sedangkan rasio belanja pembangunan terhadap ADBD
tahun 2007-2010 masing-masing sebesar 49,85%, 45,44%, 41,51%, dan 42,39%. Laju
pertumbuhan ekonomi kota Cirebon sesudah otonomi dari tahun 2007-2010 daerah secara
umum mengalami tingkat pertumbuhan yang positif yaitu sebesar 5,64%, 5,04%, dan
3,82%.
Kata kunci: Kinerja keuangan, pertumbuhan ekonomi, dan otonomi daerah

11
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
a. Latar Belakang Penelitian
Indonesia dilanda krisis ekonomi pada awal tahun 1996 dan mencapai puncaknya
pada tahun 1998. Krisis ekonomi ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu, pertama stok
hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek telah
menciptakan kondisi ketidakstabilan ekonomi, kedua terkait erat dengan masalah
pertama, adalah banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia dengan
kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung
beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri, ketiga semakin tidak jelasnya arah
perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi
persoalan ekonomi, dan keempat perkembangan situasi politik telah makin menghangat
akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya memperbesar dampak krisis ekonomi itu
sendiri.
Hal inilah yang mendorong pemerintah pusat untuk membagi sebagian
wewenang pengelolaan keuangan kepada pemerintah daerah, dengan harapan pemerintah
daerah dapat membiayai kegiatan pembangunan dan pelayanan masyarakat atas dasar
kemampuan keuangan sendiri yaitu dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Untuk mengurangi ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat,
maka dibuatlah Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang diubah dalam Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004 dan mengalami perubahan kedua yaitu menjadi Undang-
undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1999 yang diubah dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dengan
kata lain Pemerintah Republik Indonesia meresmikan diberlakukannya status otonomi
daerah kepada daerah otonom sekaligus mencabut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
tentang pokok-pokok pemerintahan daerah.
.
Otonomi daerah sebagai suatu kebijakan publik dari pemerintah pusat dipandang
belum menjamin tercapainya peningkatan kemampuan pembiayan daerah dan adanya
kehematan dalam pengolahan belanja, bila regulasi yang dikeluarkan tidak secara jelas

12
dan transparan untuk bisa mampu mengatur seluruh aspek pengelolaan keuangan. Dalam
otonomi daerah tugas penyelenggaraan pemerintahan berada ditangan pimpinan daerah,
menurut Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 Pasal 1 ayat 4 yang termasuk pemerintah
daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelengara pemerintah daerah. Pimpinan daerah wajib dan berwenang melakukan
tugasnya atas inisiatif dan kebijakannya sendiri. Akan tetapi pertanggungjawaban
pelaksanaan kinerjanaya yang terdapat dalam laporan pertanggungjawaban pelaksanaan
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang diaudit oleh Badan Pemeriksa
Keungan Republik Indonesia (BPK) hasil opininya banyak yang tidak memuaskan.
Terlihat pada tabel 1.1 pemeriksaan BPK berikut ini:
Tabel 1
Opini BPK pada Kabupaten Kota di Jawa Barat

Entitas Opini Opini Opini Opini Opini Opini

No. Pemerintah Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun

Daerah 2005 2006 2007 2008 2009 2010

21 Kota Bekasi 1 WDP 1 WDP 1 WDP 1 WDP 1 TMP 1 WDP

22 Kota Bogor 1 WDP 1 WDP 1 WDP 1 WDP 1 WDP 1 WDP

23 Kota Cimahi 1 WDP 1 WDP 1 WDP 1 WDP 1 WDP 1 WDP

24 Kota Cirebon 1 WDP 1 WDP 1 TMP 1 WDP 1 WDP 1 WDP

25 Kota Depok 1 WDP 1 WDP 1 WDP 1 WDP 1 WDP 1 WDP

26 Kota 1 WDP 1 WDP 1 WDP 1 WDP 1 WDP 1 WDP


Sukabumi
27 Kota 1 WDP 1 WDP 1 WDP 1 WDP 1 WDP 1 WDP
Tasikmalaya
Sumber: www.bpk.go.id

Untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah, salah


satunya dapat diukur melalui kinerja keuangan daerah. Usaha pemerintah daerah dalam
menggali sumber dana yang berasal dari potensi daerah yang dimiliki serta sumber dana

13
yang ada tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Salah satu
alat untuk menganalisis kinerja keuangan pemerintah daerah yaitu dengan menganalisis
rasio keuangan terhadap Angaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang telah
ditetapkan dan dilaksanakan.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis termotivasi untuk meneliti kinerja keuangan
dan pertumbuhan ekonomi sesudah diberlakukannya otonomi daerah dengan mengambil
judul: “Model Pengukuran Kinerja Keuangan Daerah Pada Era Otonomi Daerah
Berdasarkan Komponen Lkpj Wali Kota Cirebon(Studi Kasus Pada Lkpj Kota
Cirebon Tahun 2007-2010)

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana kinerja keuangan daerah kota Cirebon dilihat dari rasio kemandirian
keuangan daerah, rasio efesiensi dan efektifitas keuangan daerah, dan rasio aktifitas
pada era otonomi daerah?
2. Bagaimana tingkat pertumbuhan ekonomi kota Cirebon sesudah otonomi daerah?

3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk memperoleh:
1. Untuk mengetahui kinerja keuangan daerah kota Cirebon dilihat dari rasio
kemandirian keuangan daerah, rasio efesiensi dan efektifitas keuangan daerah, dan
rasio aktifitas pada era otonomi daerah?
2. Untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi Kota Cirebon sesudah otonomi
daerah.

TINJAUAN TEORI
1. Definisi Keuangan Daerah
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005, tentang pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan daerah, dalam ketentuan umumnya menyebutkan bahwa
yang dimaksud dengan keuangan daerah adalah:

14
Semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah
daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk
kekayaan daerah tersebut, dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APDB).
Menurut Mamesah yang dikutip dari Abdul Halim (2008: 23-25), bahwa keuangan
daerah dapat diartikan:
―Hak dan kewajiban yang dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa
uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum
dimiliki/dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku‖.

2. Kinerja Keuangan Daerah


Kinerja (performance) dapat diartikan sebagai aktivitas terukur dari suatu entitas
selama periode tertentu sebagai bagian dari ukuran keberhasilan pekerjaan. Dalam
penelitian ini, istilah yang penulis maksudkan tentang kinerja keuangan Pemerintah
Daerah adalah tingkat pencapaian dari suatu hasil kerja di bidang keuangan daerah yang
meliputi penerimaan dan belanja daerah dengan menggunakan indikator keuangan yang
ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan.
Menurut Widodo yang dikutip dari Abdul Halim (2008:232), bahwa ‖Dalam
rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien
dan akuntabel, analisis rasio keuangan terhadap pendapatan belanja daerah perlu
dilaksanakan meskipun terdapat perbedaan kaidah pengakuntasiannya dengan laporan
keungan yang dimiliki perusahaan swasta‖.
Adapun beberapa rasio dalam pengukuran kinerja keuangan daerah Menurut
Widodo yang dikutip dari Abdul Halim (2008:231-242), yang dikembangkan berdasarkan
data keuangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
adalah sebagai berikut :
a. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah (Otonomi Fiskal)
Rasio ini menunjukan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri
kegiatan pemerintah, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah
membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah.

15
Kemandirian keuangan daerah ditunjukan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah
dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain, misalnya bantuan
pusat ataupun dari pinjaman.

Pendapatan Asli Daerah (PAD)


Rasio Kemandirian =
Total penerimaan daerah

Menurut Nataluddin yang dikutip dari Halim (2004:188-189), ada empat macam
pola hubungan situasional yang dapat digunakan dalam pelaksanaan otonomi daerah,
antara lain:
1. Pola hubungan instruktif yaitu peranan pemerintah pusat dominan
2. Pola hubungan konsultatif, yaitu campur tangan pemerintah pusat semakin berkurang
3. Pola hubungan partisipatif, yaitu peranan pusat semakin berkurang kemandirian
daerah mendekati mampu melaksanakan otonomi daerah
4. Pola hubungan delegatif, yaitu daerah telah berdiri sendiri.
Pedoman dalam pola hubungan daerah dengan kemampuan daerah dapat
dikemukakan pada tabel berikut:
Tabel 2
Pola Hubungan dan Tingkat Kemampuan Daerah

Kemampuan keuangan Kemandirian (%) Pola hubungan

Rendah sekali 0%-25% Instruktif


Rendah 25%-50% Konsultatif
Sedang 50%-75% Partisipatif
Tinggi 75%-100% Delegatif

Sumber: Abdul Halim (2004:189)

b. Rasio Efektifitas dan Efisiensi Pendapatan Asli Daerah (PAD).


Rasio efektifitas menggambarkan kemampuan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang
direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil
daerah.

16
Realisasi Penerimaan
PAD
Rasio Efektifitas =
Target Penerimaan
PAD yang ditetapkan berdasarkan
potensi Riil daerah

Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan efektif apabila rasio


yang dicapai mencapai minimal sebesar 1 (satu) atau 100 persen. Namun demikian
semakin tinggi rasio efektifitas, menggambarkan kemampuan daerah yang lebih baik.
Guna memperoleh ukuran yang lebih baik, rasio efektifitas tersebut perlu
dipersandingkan dengan rasio efisiensi yang dicapai pemerintah daerah.
Rasio efisiensi adalah rasio yang mengambarkan perbandingkan antara besarnya
anggaran biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi biaya
yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan. Kinerja keuangan pemerintah daerah
dalam melakukan pemungutan pendapatan dikategorikan efisien apabila yang dicapai
kurang dari 1 atau dibawah 100 persen (%). Semakin kecil rasio efisiensi berarti kinerja
pemerintah daerah semakin baik.

Anggaran biaya yang dikeluarkan untuk


memungut PAD
Rasio Efisiensi =
Realisasi biaya yang dikeluarkan untuk
memungut PAD

c. Rasio Aktifitas
Rasio ini menggambarkan bagaimanakah Pemerintah daerah memprioritaskan
alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja pembangunan secara optimal. Semakin
tinggi persentasi dana yang dialokasikan untuk belanja rutin berarti persentase belanja
investasi (belanja pembangunan) yang digunakan untuk menyediakan sarana dan
prasarana ekonomi masyarakat cenderung semakin kecil. Secara sederhana rasio
keserasian itu dapat diformulasikan sebagai berikut:

Total Belanja Rutin


Rasio Belanja Rutin Terhadap APBD =
Total APBD
17
Total BelanjaPembangunan
Rasio Belanja Pembangunan Terhadap APBD =
Total APBD

Belum ada patokan yang pasti berapa besarnya rasio belanja rutin maupun
pembangunan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang ideal,
karena sangat dipengaruhi oleh dinamisasi kegiatan pembangunan dan besarnya
kebutuhan investasi yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan yang ditargetkan.
Namun demikian, sebagai daerah di Negara berkembang peran pemerintah daerah untuk
memacu pelaksanaan pembangunan masih relatif kecil. Oleh karena itu, belanja
pembangunan yang masih relatif kecil perlu ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan
pembangunan di daerah.

3. Pertumbuhan Ekonomi
Menurut Simon Kuznets yang dikutip dari M.L Jhigan (2008:57), mendefinisikan
bahwa pertumbuhan ekonomi adalah sebagai kenaikan jangka panjang dalam
kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang
ekonomi kepada penduduknya.
Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah atau daerah dapat diukur dengan indikator
utama yaitu Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar Harga konstan. Yang
dimaksud dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas harga konstan yaitu
PDRB yang dinilai berdasarkan harga tahun tertentu yang dijadikan sebagai tahun dasar,
baik pada saat menilai jumlah produksi, biaya antara maupun komponen nilai tambah.

sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Sadono Sukirno untuk menentukan
tingkat Pertumbuhan ekonomi daerah yaitu dengan rumus sebagai berikut:

PDRB-riil1 – PDRB-riil0
g= X 100
PDRB-riil0

18
Keterangan : g adalah tingkat petumbuhan ekonomi dan dinyatakan dalam porsentasi (%),
PDRB-riil1 adalah pendapatan nasional untuk tahun dimana tingkat pertumbuhan
ekonominya dihitung dan
PDRB-riil0 adalah pendapatan nasional pada tahun sebelumnya

4. Definisi Otonomi Daerah


Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal
1 ayat 5 yang berbunyi sebagai berikut: Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kewenangan yang dimaksud mencakup dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali
wewenang dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter,
fiskal, agama, serta kewenangan lainnya.

METODE PENELITIAN
1. Objek Penelitian
Penelitian ini dilakukukan terhadap laporan realisasi Anggaran pendapatan dan
belanja daerah (APBD) pemerintah Kota Cirebon.

2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian berbentuk kuantitatif
dengan format deskriptif. yaitu menggambarkan fenomena atau karakteristik data yang
tengah berlangsung pada saat penelitian ini dilakukan atau selama kurun waktu tertentu
untuk menguji dan menjawab pertanyaan mengenai status terakhir dari subjek penelitian.

3.Definisi Operasional Variabel


1. Kinerja Keuangan Daerah
kinerja keuangan Pemerintah Daerah adalah tingkat pencapaian dari suatu hasil
kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan belanja daerah dengan
menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan
perundang-undangan. Untuk mengetahui pengukuran kinerja keuangan daerah dengan

19
menggunakan rasio keuangan yang terbentuk dari unsur pertanggungjawaban kepala
daerah berupa perhitungan Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

2. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah atau daerah dapat diukur dengan indikator
utama yaitu Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar Harga konstan.

3. Metode Pengumpulan Data


Untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan, maka pengumpulan data
dan informasi tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Studi dokumentasi
Yaitu teknik mendapatkan data, mengumpulkan data, dan mempelajari dokumen
yang dikeluarkan oleh Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
(DPPKD) dan Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Cirebon . Data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data sesudah otonomi daerah dari periode tahun buku
2005-2010. Adapun data tersebut meliputi laporan realisasi Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) yang diperoleh dari Dinas Pendapatan dan Pengelolaan
Keuangan Daerah (DPPKD) dan data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas
dasar harga konstan (riil).
2. Studi kepustakaan
Yaitu pengumpulan data atau informasi yang dibutuhkan yang dapat mendukung
penelitian melalui buku-buku, literatur-literatur dan sumber bacaan lain yang
berkaitan dengan penelititan yang dilakukan.

5. Analisis Data
Metode analisis data yang dilakukan mencakup analisis kualitatif yaitu analisis
deskriptif yang didasarkan pada penggambaran yang mendukung analisis tersebut,
analisis ini menekankan pada pemahaman mengenai masalah-masalah dalam kehidupan
sosial berdasarkan kondisi realitas atau natural setting yang holistis, kompleks, dan rinci
yang sifatnya menjelaskan secara uraian atau dalam bentuk kalimat.

20
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Profil Kota Cirebon
Kota Cirebon merupakan Kota yang berada di wilayah timur Jawa Barat dan
terletak pada jalur transportasi Jawa Barat dan Jawa Tengah, secara geografis Kota
Cirebon terletak pada posisi 108.33 derajat Bujur Timur dan 6.41 derajat Lintang Selatan
dengan ketinggian 5 meter dari permukaan laut, beriklim tropis dengan suhu udara
berkisar 24 – 33 derajat celcius dengan curah hujan 2.751 mm/tahun, dengan demikinan
Kota Cirebon merupakan daerah dataran rendah.

2. Hasil Perhitungan
1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Kemandirian keuangan daerah ditunjukan oleh besar kecilnya Pendapatan Asli
Daerah (PAD) dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain,
misalnya bantuan pusat ataupun dari pinjaman. Untuk menghitung rasio kemandirian
keuangan daerah yaitu menggunakan rumus sebagai berikut:

Pendapatan Asli Daerah (PAD)


Rasio Kemandirian =
Total penerimaan daerah

Tabel 3
Data untuk Menghitung Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Kota Cirebon
Tahun 2007-2010
Tahun Pendapatan Asli Bantuan Pemerintah Pusat/Propinsi Pinjaman
Daerah
Dana alokasi Umum Dana Alokasi
Khusus
2007 57.002.328.363,00 304.470.000.000,00 29.207.000.000,00 43.102.537.468,00
2008 65.034.047.790,00 304.669.127.000,00 35.592.000.000,00 18.132.254.694,00
2009 77.318.391.613,28 365.486.549.000,00 33.873.000.000,00 37.698.374.361,00
2010 90.795.674.571,00 392.912.086.000,00 19.634.900.000,00 48.110.857.000,00

Sumber: laporan realisasi APBD Kota Cirebon 2007-2010

21
Hasil perhitungan rasio kemandirian keuangan Daerah Kota Cirebon tahun 2007-
2010, yaitu sebagai berikut:
Tabel 4
Hasil Perhitungan Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Kota Cirebon Tahun
2007-2010
Tahun Pendapatan Asli Daerah Total Penerimaan Daerah Rasio
Kemandirian (%)
2007 57.002.328.363,00 376.779.537.468,00 15,13
2008 65.034.047.790,00 358.393.381.694,00 18,15
2009 77.318.391.613,28 437.057.923.361,00 17,69
2010 90.795.674.571,00 460.657.843.000,00 19,71

Sumber: laporan realisasi APBD Kota Cirebon 2007-2010 yang telah diolah.
Berdasarkan tabel 3 dapat terlihat bahwa perhitungan rasio kemandirian keuangan
daerah Kota Cirebon tahun 2007-2010 yang menggambarkan kemampuan keuangan
daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan
kepada masyarakat masih rendah sekali. Rasio kemandirian keuangan daerah Pemerintah
Kota Cirebon hanya berkisar 15,13% samapai 19,71%, ini berarti rasio Kemandirian
keuangan daerah memiliki pola hubungan yang instruktif, artinya peranan pemerintah
pusat lebih dominan dari pada kemandirian daerah, hal ini disebabkan adanya dominan
dari transfer pemerintah pusat dalam APBD, yaitu masih sangat tingginya penerimaan
dari Dana Alokasi Umum (DAU). Untuk itu Pemerintah daerah harus mengurangi
ketergantungan dari pemerintah pusat dengan menggali lagi sumber daya dari pendapatan
asli daerah.
Dari tabel 4 diatas dapat diketahui rasio kemandirian keuangan daerah selama
empat tahun rata-rata mengalami peningkatan yaitu pada tahun 2007 sebesar 15,13%,
menjadi 18,15% pada tahun 2008, selanjutanya pada tahun 2009 mengalami penuruan
menjadi 17,69% akan tetapi mengalami peningkatan kembali pada tahun 2010 menjadi
19,71%.
Penyebab terjadinya penurunan rasio kemandirian keuangan daerah pada tahun
2009 yaitu oleh faktor Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang belum dipotimalkan seperti

22
dari pendapatan retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan
kekayaan daerah, sedangkan sumber pendapatan dari pihak eksternal seperti bantuan
pemerintah pusat atau propinsi ataupun dari pinjaman semakin tinggi, hal inilah yang
menyebabkan terjadinya penurunan rasio kemandirian keungan daerah.

2. Rasio Efektifitas dan Efisiensi Pendapatan Asli Daerah (PAD).


Rasio efektifitas menggambarkan kemampuan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang
direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil
daerah. Adapun rumus untuk menghitung rasio efektifitas yaitu sebagai berikut:
Realisasi Penerimaan
PAD
Rasio Efektifitas =
Target Penerimaan
PAD yang ditetapkan berdasarkan
potensi Riil daerah

Rasio efisiensi adalah rasio yang mengambarkan perbandingkan antara besarnya


anggaran biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi biaya
yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan. Adapun rumus untuk menghitung rasio
efisiensi yaitu sebagai berikut:
Hasil perhitungan rasio efektifitas Pendapatan Asli Daerah Kota Cirebon tahun
2007-2010, yaitu sebagai berikut:
Tabel 5
Hasil Perhitungan Rasio Efektifitas Pendapatan Asli Daerah Kota Cirebon Tahun
2007-2010
Tahun Realisasi Penerimaan Target Penerimaan Pendapatan Rasio Efektifitas
Pendapatan Asli Daerah Asli Daerah PAD (%)
2007 57.002.328.363,00 60.149.741.350,00 94,77
2008 65.034.047.790,00 66.464.629.401,00 97,85
2009 77.318.391.613,28 78.936.724.916,00 97,95
2010 90.795.674.571,00 99.730.336.762,00 91,04

Sumber: laporan realisasi APBD Kota Cirebon 2007-2010 yang telah diolah.

23
Berdasarkan hasil perhitungan rasio efektifitas yang dapat dilihat pada tabel 5 yaitu
pada tahun 2007 sebesar 94,77%, selanjutnya pada tahun 2008 sebesar 97,85%, dan
mengalami kenaikan kembali pada tahun 2009 menjadi 97,95% dan mengalami
penurunan pada tahun 2010 menjadi 91,04%. Hal ini berarti kemampuan daerah
diketegorikan belum efektif karena belum mencapai 100%.
Faktor penyebab rasio efektifitas diketegorikan belum efektif yaitu target
penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) lebih besar dibandingkan reali penerimaan
Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Hasil perhitungan rasio efisiensi Pendapatan Asli Daerah Kota Cirebon tahun 2007-
2010, yaitu sebagai berikut:
Tabel 6
Hasil Perhitungan Rasio Efisiensi Pendapatan Asli Daerah Kota Cirebon Tahun
2007-2010
Tahun Anggaran Biaya Yang Realisasi biaya yang Rasio
Dikeluarkan Untuk dikeluarkan untuk Efisiensi
Memungut PAD memungut PAD (%)
2007 6.737.775.347,00 1.718.152.741,00 392,15
2008 3.440.845.496,00 3.070.480.522,00 112,06
2009 3.924.674.876,00 3.106.967.270,00 126,32
2010 207.000.000,00 202.208.253,00 102,37

Sumber: laporan realisasi APBD Kota Cirebon 2007-2010 yang telah diolah.

Berdasarkan tabel 6 diatas dapat dilihat hasil perhitungan rasio efisiensi Pendapatan
asli daerah yaitu pada tahun 2007 sebesar 392,15%, pada tahun 2008 sebesar 112,06%,
pada tahun 2009 sebesar 126,32%, dan pada tahun 2010 sebesar 102,37%. Ini artinya
kemampuan daerah dalam melakukan pemungutan pendapatan asli daerah dikategorikan
belum efisien karena rasio efisiensi lebih dari 1 atau diatas 100%, sedangkan yang
dikategorikan efisien apabila yang dicapai kurang dari 1 atau dibawah 100.
Rasio efisiensi Pendapatan Asli Daerah di kategorikan belum efisien dikarenakan
oleh faktor realisasai biaya yang dikeluarkan untuk memungut Pendapatan Asli Daerah
(PAD) lebih kecil dibandingkan anggaran biaya yang dikeluarkan untuk memungut

24
Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga dalam pemungutan sumber pendapatan asli
daerah pemerintah Kota cirebon memiliki kinerja yang kurang baik.

3. Rasio Aktifitas
Rasio ini menggambarkan bagaimanakah Pemerintah daerah memprioritaskan
alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja pembangunan secara optimal. Secara
sederhana rasio keserasian itu dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Total Belanja Rutin
Rasio Belanja Rutin Terhadap APBD =
Total APBD

Total Belanja Pembangunan


Rasio Belanja Pembangunan Terhadap APBD =
Total APBD

Hasil perhitungan rasio belanja rutin terhadap APBD Kota Cirebon Tahun 2007-
2010, yaitu sebagai berikut:

Tabel 7
Hasil Perhitungan Rasio Belanja Rutin Terhadap APBD Kota Cirebon Tahun
2007-2010

Sumber: laporan realisasi APBD Kota Cirebon 2007-2010 yang telah diolah.

Sedangkan hasil perhitungan rasio belanja pembangunan terhadap APBD Kota


Cirebon Tahun 2007-2010, yaitu sebagai berikut:

Rasio Belanja
Tahun Total Belanja Rutin Total APBD Rutin Terhadap
APBD (%)
2007 244.727.059.983,00 488.037.891.613,00 50,14
2008 289.840.813.945,00 531.254.023.372,00 54,56
2009 362.613.619.351,00 620.625.958.024,00 58,43
2010 431.902.133.026,00 749.767.900.000,00 57,60

25
Tabel 8
Hasil Perhitungan Rasio Belanja Pembangunan Terhadap APBD Kota Cirebon
]2007-2010

Rasio Belanja
Pembangunan
Tahun Total Belanja Pembangunan Total APBD
Terhadap APBD
(%)

2007 243.310.831.630,00 488.037.891.613,00 49,85


2008 241.413.209.427,00 531.254.023.372,00 45,44
2009 258.012.338.673,00 620.625.958.024,00 41,57
2010 317.865.766.974,00 749.767.900.000,00 42,39

Sumber: laporan realisasi APBD Kota Cirebon 2007-2010 yang telah diolah.

Dari tabel 7 diatas dapat terlihat bahwa rasio belanja rutin terhadap Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Kota Cirebon dari tahun 2007-2010, yaitu
pada tahun 2007 sebesar 50,14% menjadi 54,56% pada tahun 2008, pada tahun 2009,
pada tahun 2010 menjadi 57,60%. Hal ini berbanding terbalik dengan rasio belanja
pembangunan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang terlihat
pada tabel 8 yaitu pada tahun 2007 sebesar 49,85%, tahun 2008 sebesar 44,45%,
selanjutnya pada tahun 2009 sebasar 47,57% dan pada tahun 2010 sebesar 42,39%.
Dapat diartikan bahwa semakin tinggi persentasi dana yang dialokasikan untuk
belanja rutin berarti persentasi belanja pembangunannya cenderung semakin kecil. Dari
hasil perhitungan diatas menunjukan bahwa pemerintah Kota Cirebon dalam
mengalokasikan dananya pada belanja rutin dan belanja pembangunan belum optimal,
disebabkan oleh faktor dana yang digunakan masih cenderung lebih besar untuk belanja
rutin artinya dana yang digunakan untuk menyediakan sarana dan prasarana ekonomi
masyarakat cenderung semakin kecil. Oleh karena itu, belanja pembangunan yang masih
relatif kecil perlu ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan pembangunan di daerah.

26
4. Perhitungan Pertumbuhan Ekonomi Kota Cirebon
Pertumbuhan ekonomi suatau wilayah dapat diukur dengan indikator utama yaitu
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang dapat digunakan untuk memperoleh
keterangan tentang laju pertumbuhan ekonomi daerah serta dapat digunakan pula untuk
menganalisa perubahan tingkat kemakmuran secara riil atas dasar harga konstan pada
suatau wilayah.
Adapun data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Cirebon dapat
dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 9
Produk Domestik Regional Bruto(PDRB) Kota CirebonAtas Dasar Harga Konstan
2000 Tahun 2005-2010
(Dalam Jutaan Rupiah)
Sumber : Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Cirebon
Untuk menentukan tingkat Pertumbuhan ekonomi suatau daerah yaitu dengan
rumus sebagai berikut:
PDRB-riil1 – PDRB-riil0
g= X 100
PDRB-riil0

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB)


SEKTOR
2007 2008 2009 2010
1. Pertanian 17.782,98 18.546,39 18.895,94 20.433,51
2. Pertambangan

3. Industri 1.629.855,91 1.687.790,08 1.689.245,07 1.524.116,44


4. Listrik, gas, air 95.652,07 104.856,44 114.774,25 128.488,03
bersih
5. Bangunan 214.081,50 233.172,71 251.596,00 276.193,89
6. Perdagangan 1.270.995,58 1.404.098,95 1.532.110,79 1.649.620,53

7. Pengangkutan 625.521,05 600.213,16 623.198,54 724.365,77

8. Kuangan 347.209,31 373.183.94 392.649,74 459.027,81


9. Jasa 353.188,18 389.281,39 431.326,67 464.617,43
Total 4.554.286,59 4.811.141,05 5.053.797,00 5.246.863,32
27
Keterangan : g adalah tingkat petumbuhan ekonomi dan dinyatakan dalam porsentasi
(%),
PDRB-riil1 adalah pendapatan nasional untuk tahun dimana tingkat
pertumbuhan ekonominya dihitung dan
PDRB-riil0 adalah pendapatan nasional pada tahun sebelumnya.
Hasil perhitungan tingkat pertumbuhan ekonomi Kota cirebon tahun 2007-2010
yaitu sebagai berikut:
Tabel 10
Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kota Cirebon Atas Dasar Harga Konstan 2000
Tahun 2007-2010 Dalam (%)

LAJU PERTUMBUHAN EKONOMI (%)


SEKTOR
2008 2009 2010
1. Pertanian 4,29 1,88 8,14
2. Pertambangan - - -
3. Industri 3,55 0,09 -9,78
4. Listrik, Gas, Air Bersih 9,62 9,46 11,95
5. Bangunan 8,92 7,90 9,76
6. Perdagangan 10,47 9,12 7,67
7. Pengangkutan -4,05 3,83 16,91
8. Kuangan 7,48 5,22 16,91
9. Jasa 10,22 10,80 7,72
Total 5,64 5,04 3,82

Sumber : Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Cirebon di olah

28
Dari tabel 10 terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi masing-masing sektor industri
hampir semua masuk pada kategori yang berhasil mencapai pertumbuhan diatas rata-rata
yaitu 3,82%, kecuali pada sektor industri pengolahan yang mengalami penurunan
pertumbuahan bahkan pada tahun 2010 mengalami pertumbuhan negatif yaitu sebesar -
9,78%, hal ini disebabkan oleh berhentinya produksi pada pabrik rokok di Kota cirebon
yang merupakan penyumbang terbesar pada industri pengolahan. Selanjutnya yang
mengalami pertumbuhan negatif tahun 2008 pada industri pengagkutan sebesar -4,05%,
yang disebabkan menurunnya pengangkutan dari sektor angkutan laut, karena masyarakat
lebih memilih angkutan darat.
Pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi pada sektor keuangan, persewaan dan jasa
perusahaan. Pertumbuhan ini didukung oleh sub lembaga keuangan bukan bank seperti
lembaga pembiayaan (leasing), jasa penukaran uang (money changer), dan koperasi
mengalami pertumbuhan sebesar 18,79% pada tahun 2010. Faktor pendorongnya yaitu
semakin banyaknya lembaga yang memberikan kredit dengan uang muka rendah dan
persyaratan yang mudah mendorong meningkatnya pertumbuhan sub sektor ini,
sedanghkan sub sektor bank mengalami pertumbuhan sebesar 17,98% pada tahun 2010.
Sektor yang mengalami pertumbuhan selanjutnya yaitu sektor perdagangan, hotel
dan restoran. Walaupun pertumbuhan sektor perdagangan mengalami perlambatan akan
tetapi sektor ini mampu tumbuh sebesar 7,67% pada tahun 2010. Meningkatnya kegiatan
usaha di sektor perdagangan, hotel dan restoran karena faktor letak Kota Cirebon
merupakan basis kegiatan ekonomi di wilayah III Cirebon. Dengan didukung jumlah
hotel bintang dan non bintang yang cukup banyak ditambah lagi dengan letak yang
strategis Kota Cirebon menjadi pilihan bagi para pelaku ekonomi. begitu pula untuk
kegiatan usaha restoran, Kota Cirebon dengan aneka makanan khas seperti nasi jamlang,
empal gentong dan sea food serta makanan khas lain menjadikan usaha dibidang restoran
dapat berkembang pesat.
Sektor selanjutnya yang pertumbuhannya cukup besar adalah sektor listrik, gas dan
air bersih pertumbuhannya mencapai 11,95% pada tahun 2010. Hal ini dikarenakan
semakin meningkatnya jumlah perumahan dan pusat perbelanjaan di Kota Cirebon, yang
berimbas pada semakin tingginya kebutuhan listrik, gas dan air bersih.

29
Sektor bangunan mengalami pertumbuhan mencapai 9,78% selama tahun 2010.
Sektor bangunan mampu menarik investor untuk menanamkan investasinya di sektor
bangunan baik tempat tinggal berupa perumahan maupun sarana dan prasarana lainnya.
Pada sektor pengangkutan dan komunikasi mengalami pertumbuhan sebesar
16,23%. Hal ini disebabkan pada sub sektor komunikasi yang mengalami pertumbuhan
yang sangat pesat, yang diwarnai oleh semakin beragamnya teknologi informasi.
Ditambah dengan berkembang pesatnya alat telekomunikasi berupa telepon seluler yang
lebih kompetitip dengan berbagai fasilitas didalamnya serta harganya relatif murah.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil Penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada Bab
sebelumnya, maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Tingkat kemandirian keuangan daerah Kota Cirebon sesudah otonomi daerah tahun
2007-2010 memiliki pola hubungan yang instruktif yaitu berkisar 15,13% samapai
19,71%, artinya peranan Pemerintah Pusat lebih dominan dari pada kemandirian
daerah, hal ini disebabkan adanya dominan dari transfer pemerintah pusat dalam
APBD, masih sangat tingginya penerimaan dari Dana Alokasi Umum (DAU).
Tingkat efektifitas Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Cirebon sesudah otonomi
daerah tahun 2007-2010 diketegorikan belum efektif karena belum mencapai 100%
yaitu masing-masing sebesar 94,77%, 97,85%, 97,95%, dan 91,04%. Sedangkan
rasio efisiensi Pendapatan Asli daerah Kota Cirebon dikategorikan belum efisien
karena rasio efisiensi lebih dari 1 atau diatas 100% yaitu masing-masing sebesar
392,15%, 112,06%, 126,32% dan 102,37%, sedangkan yang dikategorikan efisien
apabila yang dicapai kurang dari 1 atau dibawah 100. Rasio aktifitas Kinerja
keuangan Kota Cirebon sesudah otonomi daerah tahun 2007-2010 belum optimal
dalam mengalokasikan dananya belanja pembangunan karena alokasi dana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masih cenderung lebih besar untuk belanja
rutin, yaitu masing-masing sebesar 50,14%, 54,56%, 58,43%, dan 57,60% sedangkan
rasio belanja pembangunannya yaitu 49,85%, 45,44%, 41,57%, dan 42,39. Artinya
pemerintah kota cirebon dalam pengalokasian dana yang digunakan untuk
menyediakan sarana dan prasarana ekonomi masyarakat cenderung semakin kecil.

30
2. Laju Tinggkat Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kota Cirebon sesudah otonomi daerah
tahun 2007-2010 atas dasar harga konstan secara umum mengalami tingkat
pertumbuhan positif yaitu masing-masing sebesar 5,64%, 5,04%, dan 3,82%. Laju
pertumbuhan ini didorong oleh sektor keuangan yang semakin membaik sedangkan
sektor yang mengalami perlambatan pertumbuahan bahkan cenderung mengalami
pertumbuhan negatif pada sektor industri pengolahan hal ini karena salah satu
industri pengolahan terbesar yaitu industri rokok sudah tidak beroperasi lagi.

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik Edisi Revisi
VI. Rineka Cipta. Jakarta.

Bastian Indra. (2006). Akuntansi Publik Suatu Pengantar. Erlangga. Jakarta.


Bungin Burhan. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif. Kencana Prenada Group. Jakarta.
Halim Abdul. (2008). Akuntansi Sektor Publik Akuntansi Keuangan Daerah Edisi
Revisi. Salemba Empat. Jakarta.

. (2004). Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah Edisi Revisi. UPP AMP
YKPN. Yogyakarta.

http://uptbstatistik.wordpress.com
M.L. Jhingan. (2008). Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. PT Rajagrafindo
Persada. Jakarta.

Mahmudi. (2010). Manajemen Keuangan Daerah. Erlangga. Jakarta.


Mardiasmo. (2002). Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Penerbit Andi.
Yogyakarta.

. (2006). Akuntansi Sektor Publik. Penerbit Andi. Yogyakarta.


Purnama Mayang sari. (2011). Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah kabupaten
Kuningan Sesudah otonomi Daerah. Skripsi Fakultas Ekonomi UNSWAGATI.
Cirebon.

Ronal Andreas, sarmiyatiningsih dwi. (2010). Analisis Kinerja Keuangan dan


Pertumbuhan Ekonomi Sebelum dan Sesudah Diberlakukannya Otonomi Daerah
Di Kabupaten Kulon Progo. Jurnal. Fakultas Ekonomi Universitas Janabadra.

Republik Indonesia. Kumpulan Peraturan Keuangan Daerah. Deka Mandiri. Jakarta.

31
. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.
. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 Tentang Pinjaman Daerah.
. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana perimbangan.
. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan
Daerah.
. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2005 tentang Hibah Kepada Daerah.
. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan uang
Negara/Daerah.
Safi’i. (2007). Strategi dan Kebijakan Pembangunan otonomi Daerah Perspektif Teori.
Averroes Press. Jakarta.

Soleh Chabib, Suripto. (2011). Menilai Kinerja Pemerintahan Daerah. Fokusmedia.


Bandung.

Sukirno Sadono. (2008). Makro Ekonomi Teori Pengantar Edisi Ketiga. PT Rajagrafindo
Persada. Jakarta.

32
PERANAN L/C SEBAGAI SARANA PEMBAYARAN DALAM
BISNIS EKSPOR IMPOR

Janiman
Dosen Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi
Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon

ABSTRACT

The purpose of this writing is to explain the function and the role of Letter of
Credit (L/C) in international trading, in where the export-import business transaction
which includes buyer (importer) and seller (exporter) which are at a distance and
separated by the countries’ borders as well as having different interests with one another
can be done well and fluently, if the payment realization can be completed properly
without any obstacles.
Export-import business transaction using L/C payment offers the best payment
guarantee for exporter and gives importer assurance to the goods accepted based on the
contract. With all the advantages which the exporter and importer obtain, it has made L/C
as a payment tool which is certainty guaranteed and acts internationally.

Keywords: Letter of Credit, business and export-import.

I. PENDAHULUAN
Pada era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, kemajuan suatu negara tidak
dapat terlepas dari keberhasilannya dalam melakukan ekspor barang dan jasa yang
dihasilkannya. Melalui kegiatan ekspor itulah suatu negara dapat meningkatkan
cadangan devisa dalam bentuk mata uang asing yang dimilikinya. Dengan devisa
yang besar memungkinkan negara tersebut untuk membeli atau mengimpor barang
atau jasa yang dibutuhkannya. Contoh negara China kini menjadi pengekspor
terbesar di dunia dan mempunyai strategi ekspor impor yang cerdas, di mana
kegiatan impornya diarahkan untuk memacu kegiatan ekspornya.
Bagaimana dengan negara kita? Indonesia merupakan salah satu negara yang
perekonomiannya terintegrasi dengan ekonomi dunia tidak akan terlepas dari era
globalisasi dan perdagangan bebas saat ini. Sebagai konsekuensinya masyarakat
Indonesia telah hidup dan bergerak dalam perekonomian terbuka di mana lalu lintas
ekonomi dengan dunia luar mengandung pengaruh besar terhadap perekonomian kita

33
secara keseluruhan. Kondisi ini memerlukan kebijakan pemerintah kita dalam
menyikapi dan mendorong kegiatan bisnis yang berorientasi ekspor impor.
Kegiatan perdagangan luar negeri yang meliputi ekspor impor barang dan jasa
tersebut dapat berjalan dengan baik dan lancar apabila pembayarannya dapat
direalisasi sesuai yang diharapkan semua pihak. Keinginan pihak yang melakukan
kegiatan ekspor dan impor adalah adanya pembayaran yang terjamin berupa Letter of
Credit (L/C). Dengan adanya jaminan L/C dari bank devisa maka eksportir lebih
mudah mendapatkan garansi pembayaran, sedangkan importir lebih pasti
mendapatkan barang yang dikehendakinya.

II. CARA PEMBAYARAN DALAM BISNIS EKSPOR IMPOR


Cara pembayaran barang ekspor impor perlu dipahami oleh pengusaha yang ingin
berkecimpung dalam bisnis ekspor impor, karena kegiatan ekspor impor melibatkan
pihak eksportir dan importir yang saling berjauhan dan terpisah oleh batas negara,
maka faktor keamanan dan kepastian pembayaran menjadi persoalan yang sangat
penting.
Secara teknis cara pembayaran barang ekspor impor, antara lain yang kerap
digunakan meliputi :
1. Pembayaran di muka (advanced payment)
Pembayaran di muka ini sering dilakukan apabila eksportir meragukan
kredibilitas importir, sebaliknya apabila importir merasa yakin kredibilitas
eksportir, atau karena eksportir dan importir telah memiliki hubungan bisnis yang
lama dan teruji, atau adanya jaminan dari lembaga yang berwenang bahwa
eksportir pasti akan mengirimkan barang yang dijanjikannya. Cara pembayaran
ini sangat menguntungkan pihak eksportir, terutama dari kalangan usaha mikro
dan kecil yang sering mengalami kesulitan permodalan.
Pembayaran di muka ini dapat dilakukan oleh importir secara tunai atau dalam
bentuk cek, banker’s draft, mail payment order, cable payment order, atau
International money order.

34
2. Pembayaran di belakang (open account)
Cara pembayaran ini merupakan kebalikan dari cara pembayaran di muka. Di sini
eksportir dan importir sepakat bahwa penyelesaian transaksi akan diperhitungkan
dalam pembukuan masing-masing sehingga importir baru akan melunasi
pembayarannya di kemudian hari pada tanggal yang telah disepakati.
Pembayaran cara ini biasanya terjadi pada pemasaran ekspor yang melibatkan
kantor cabang atau perwakilan di luar negeri atau dengan mitra dagang yang
telah dipercaya.
3. Pembayaran dengan wesel dan promes
Wesel (draft) atau bill of exchange adalah surat tagihan di mana eksportir
meminta importir untuk membayar tagihannya dengan cara pemindahbukuan
(inkaso) atau mentransfer uang sesuai dengan jadwal waktu yang ditentukan
dalam wesel. Wesel yang diterbitkan oleh eksportir dapat berupa ―wesel atas
unjuk‖ (sight draft) atau ―wesel berjangka‖ (time draft/usance draft).
Ada cara pembayaran lain seperti dengan wesel, yaitu pembayaran dengan cara
menerbitkan promes. Promes (promissory note) adalah surat kesanggupan
membayar yang dibuat oleh importir dan ditujukan kepada eksportir agar
eksportir dapat mengambil pembayaran via bank yang ditunjuk.
4. Pembayaran model konsinyasi (consignment)
Konsinyasi dapat diartikan cara pemasaran di mana pihak pemilik barang
(consignor) menitipkan barangnya kepada pihak komisioner (consignee) untuk
dijual. Dalam kaitan dengan bisnis ekspor impor, pembayaran barang konsinyasi
baru dilakukan apabila importir telah berhasil menjual barang-barang titipan
tersebut. Sistem konsinyasi ini umumnya dilakukan jika eksportir dan importir
merupakan perusahaan afiliasi.
5. Pembayaran dengan kredit berdokumen (letter of credit)
Bagi eksportir, importir dan bank, cara pembayaran dengan L/C merupakan cara
yang paling aman dan kurang mengandung resiko. L/C dianggap sebagai
―jaminan berkondisi‖ yang dikeluarkan oleh bank pembuka atas nama importir
yang ditujukan kepada eksportir. L/C dapat juga dipakai untuk memastikan
pembayaran apabila pihak eksportir telah memenuhi semua syarat yang

35
tercantum di dalamnya. L/C yang dibuka importir setelah menyerahkan segala
jaminan yang ditentukan oleh bank pembuka (opening bank).

III. PENGERTIAN LETTER OF CREDIT (L/C)


Menurut Uniform Custom and Practice for Documentary Credit (UCP) 500 pasal 2,
pengertian L/C sebagai berikut:
Setiap perjanjian, apapun namanya atau maksudnya, di mana suatu bank (issuing
bank) bertindak atas permintaan dan instruksi seorang nasabah (applicant) atau atas
namanya sendiri:
1. Melakukan pembayaran pada pihak ketiga (beneficiary) atau ordernya (orang
yang ditunjuk oleh pihak ketiga) atau mengaksep dan membayar wesel-wesel
yang ditarik oleh beneficiary atau,
2. Memberi kuasa kepada bank lain untuk melakukan pembayaran tersebut untuk
mengaksep dan membayar wesel-wesel tersebut atau,
3. Memberi kuasa kepada bank lain untuk menegosiasi atas penyerahan dokumen
yang ditetapkan, asalkan persyaratan dan kondisi dari L/C yang bersangkutan
sudah dipenuhi.

Dalam arti yang lebih luas (umum), L/C dapat diartikan sebagai perjanjian tertulis
dari issuing bank atas permintaan applicant (importir) kepada beneficiary (eksportir)
untuk membayar dalam jumlah dan jangka waktu yang ditetapkan dengan
persyaratan bahwa dokumen yang diserahkan tersebut telah sesuai dengan syarat-
syarat yang telah ditetapkan. Oleh karena itu L/C mengharuskan penyerahan
dokumen-dokumen oleh eksportir seperti: commercial invoice, packing list, dan bill
of lading (B/L).

IV. MANFAAT DAN FUNGSI L/C


Kenyataan yang dihadapi importir dan eksportir dalam perdagangan internasional
berupa masalah-masalah yang disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1. Pembeli (importir) dan penjual (eksportir) terpisah oleh batas-batas negara.

36
2. Barang-barang yang dikirim dari satu negara ke negara lain melalui berbagai
macam peraturan yang dikeluarkan oleh masing-masing negara yang berbeda.
3. Terdapatnya perbedaan dalam bahasa, mata uang, kebiasaan dalam perdagangan,
dan lain-lain.

Masalah-masalah yang dihadapi penjual (eksportir) seperti ketidakpastian


pembayaran akibat jauhnya jarak antara dua pihak yang bertransaksi dan tidak
terjaminnya secara pasti barang yang dibeli oleh importir sesuai dengan pesanan dan
dikirim penjual (eksportir) tepat pada waktunya, telah mendorong penawaran
dengan documentary of credit sebagai sarana kompromi dagang yang dapat diterima
oleh importir dan eksportir yang kepentingannya saling bertentangan.

Sehubungan dengan permasalahan di atas, cara pembayaran dengan L/C ternyata


memiliki beberapa manfaat bagi importir maupun eksportir, antara lain:
1. Penjual (eksportir) merasa lebih terjamin dalam merealisasikan transaksinya
mengingat pembayaran telah dijamin oleh bonafiditas bank pembuka L/C
sepanjang seluruh syarat L/C dapat dipenuhi.
2. Perputaran arus kas (cash flow) eksportir dapat berlangsung lebih cepat
mengingat yang bersangkutan dapat menerima pembayaran dari bank pembayar
bilaman semua dokumen yang telah sesuai dengan syarat L/C kepada bank
pembayar meskipun importir belum menerima dokumen maupun barang yang di-
cover dalamL/C.
3. Pembeli (importir) dapat menggunakan hak pemilikan atas dokumen-dokumen
berdasarkan L/C untuk memperoleh fasilitas pembiayaan dari bank.
4. Importir merasa terjamin bahwa bank tidak akan melaksanakan pembayaran
kepada eksportir kecuali eksportir telah memenuhi persyaratan-persyaratan
yang telah diminta oleh pembeli seperti yang ditentukan dalam L/C.

37
Dari manfaat yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi L/C
adalah:
1. Sebagai jaminan atas hubungan bayar-membayar dalam suatu transaksi bisnis
ekspor impor.
2. Merupakan jaminan pembayaran dari issuing bank sepanjang seluruh persyaratan
L/C telah dipenuhi.
3. Merupakan instrumen yang didasarkan atas dokumen dan bukan atas barang dan
jasa.
4. Membantu issuing bank memberikan fasilitas pembiayaan kepada importir dan
memonitor penggunaan fasilitas tersebut.

V. JENIS DAN ISI L/C


Jenis-jenis L/C dapat dibedakan berdasarkan sifat sebagai berikut:
1. Berdasarkan kondisi pembatalan;
a. Revocable L/C, adalah L/C yang dapat dirubah atau dibatalkan secara sepihak
tanpa persetujuan pihak-pihak yang terkait dalam L/C.
b. Irrevocable L/C, adalah L/C yang tidak dapat dirubah atau dibatalkan secara
sepihak tanpa persetujuan pihak-pihak yang terkait dalam L/C.
2. Berdasarkan kondisi negosiasi;
a. Resticted L/C, adalah L/C yang menunjuk suatu bank tertentu sebagai pihak
yang diberi kuasa untuk menegosiasi atau melakukan pembayaran.
b. Unresticted L/C, adalah L/C yang tidak menunjuk suatu bank tertentu sebagai
pihak yang diberi kuasa untuk menegosiasi atau melakukan pembayaran.
Dengan kata lain L/C jenis ini dapat dinegosiasi oleh bank devisa mana saja.
3. Berdasarkan kondisi tenor dan jangka waktu pembayaran;
a. At sight L/C, adalah L/C yang mensyaratkan pembayaran segera setelah
dokumen pengapalan diserahkan kepada bank penegosiasi dengan syarat
dokumen telah memenuhi seluruh persyaratan L/C.
b. Usance L/C, adalah L/C yang pembayarannya dilakukan pada suatu jangka
waktu tertentu setelah dokumen-dokumen beserta wesel yang disyaratkan
oleh L/C dipenuhi dan diserahkan kepada bank.

38
c. Red clause L/C, adalah L/C yang mengandung klausa khusus yang
memperkenankan beneficiary menarik sejumlah uang muka sebelum
dokumen pengiriman barang diserahkan kepada paying bank. Jenis L/C ini
secara tidak langsung merupakan pemberian fasilitas kredit kepada
beneficiary.
4. Berdasarkan atas asal pembukaannya;
a. Bankers L/C, adalah L/C yang diterbitkan oleh suatu bank atas permintaan
nasabahnya (applicant).
b. Merchant L/C, adalah L/C yang diterbitkan oleh suatu perusahaan tertentu
(bukan bank).
5. Berdasarkan kondisi tersedianya dana;
a. Sight payment L/C, adalah L/C di mana issuing bank memberikan kuasa
kepada paying bank untuk melakukan pembayaran kepada beneficiary atas
penyerahan dokumen-dokumen yang disyaratkan dalam L/C.
b. Deffered payment L/C, adalah L/C di mana issuing bank memberi otorisasi
kepada paying bank untuk melakukan pembayaran atas dokumen yang
diserahkan oleh beneficiary setelah jangka waktu tertentu sesuai persyaratan
yang tercantum dalam L/C.

Biasanya L/C hanya memuat hal-hal pokok yang diminta pihak pembeli (importir)
atas dasar sales contract yang telah disetujui pihak penjual (eksportir). Adapun isi
L/C, umumnya sebagai berikut:
 Tanggal dan nomor L/C,
 Nama opening dan advising bank,
 Nama pembeli (applicant) dan penjual (beneficiary),
 Nilai uang yang tersedia bagi wesel yang akan ditarik,
 Deskripsi barang, harga satuan dan kondisi barang yang diminta (FOB, C&F,
atau CIF),
 Tanggal pengapalan terakhir, tanggal jatuh tempo dari L/C dan tanggal
penyerahan dokumen terakhir,
 Tempat pemuatan barang dan tujuan pengiriman barang,

39
 Cara pengangkutan barang (partial shipment dan transhipment yang
diperbolehkan atau tidak),
 Bank mana yang berhak menegosiasi wesel ekspor,
 Cara pembayaran (at sight, usance dan lain-lain) dan ke mana nilai wesel
ditagihkan,
 Dokumen-dokumen yang diperlukan, seperti commercial invoice, bill of
lading, weight list/packing list, certificate of origin, surveyor report dan lain-
lain,
 Persyaratan khusus lainnya.

VI. PIHAK-PIHAK YANG TERKAIT DAN MEKANISME TRANSAKSI


DENGAN L/C
Pihak-pihak yang terkait dalam transaksi dengan L/C meliputi:
1. Applicant / bayer / importir,
Pihak pembeli yang atas dasar sales contract dengan penjual (calon eksportir)
menginstruksikan banknya untuk menerbitkan L/C bagi kepentingan eksportir.
2. Issuing bank / openning bank,
Bank yang menerbitkan L/C atas dasar permohonan nasabahnya (applicant) bagi
kepentingan eksportir.
3. Advising bank,
Bank yang meneruskan L/C yang diterbitkan issuing bank kepada eksportir yang
namanya tercantum di dalam L/C.
4. Negotiating bank,
Bank yang mengambil alih wesel ekspor dan dokumen ekspor yang sesuai
dengan L/C, persyaratan oleh eksportir serta penerusan wesel dan dokumen yang
dimaksud kepada issuing bank.
5. Beneficiary / seller / eksportir,
Pihak penjual yang atas dasar sales contract dengan pembeli menerima L/C dan
menyerahkan seluruh dokumen yang disyaratkan kepada issuing bank (bank yang
ditunjuknya).

40
6. Confirming bank,
Bank pihak ketiga yang atas permintaan eksportir/negotiating bank
menambahkan konfirmasinya atas penerbitan L/C oleh issuing bank yang belum
dikenal kredibilitasnya.

Mekanisme transaksi dengan L/C dapat digambarkan sebagai berikut:

(1)
BUYER SELLER
(5) (5)

(2) (10) (4) (6) (7)

(3)
ADVISING/NEGO
(8)
ISSUING BANK TIATING BANK
(9)

Keterangan:
(1) Pembeli (importir) dan penjual (eksportir) sepakat untuk bertransaksi dan
menuangkan kesepakatan tersebut dalam sebuah sales contract yang antara lain
mengatur cara pembayaran melalui L/C.
(2) Importir (applicant) mengajukan aplikasi pembukaan L/C kepada bank.
(3) Issuing bank mengirim L/C kepada bank korespondennya.
(4) Advising bank meng-advis-kan L/C yang telah diotentifikasi kepada eksportir
(beneficiary).
(5) Eksportir melaksanakan pengiriman barang menggunakan perusahaan
pengapalan/transportasi dan melalui prosedur bea cukai.
(6) Eksportir mengajukan permohonan negosiasi kepada negotiating bank dengan
menyerahkan dokumen yang sesuai dengan persyaratan L/C.

41
(7) Apabila seluruh persyaratan telah dipenuhi dan menurut pemeriksaan dokumen
dapat dinegosiasi, maka negotiating bank akan mengambil alih tagihan ekspor dan
melaksanakan pembayaran kepada eksportir.
(8) Negotiating bank mengirim dokumen-dokumen sambil mengajukan claim
reimbursement kepada issuing bank atau paying bank sesuai persyaratan L/C.
(9) Issuing bank / paying bank membayar claim reimbursement negotiating bank.
(10) Issuing bank menyerahkan dokumen kepada importir setelah importir melunasi
seluruh kewajiban kepada issuing bank.

VII. PENYIMPANGAN DOKUMEN


Kewajiban untuk mengadakan pemeriksaan dokumen diperlukan adanya suatu standar
baku yang tidak lain adalah syarat dan kondisi yang ditetapkan dalam L/C yang
bersangkutan. Adanya ketidakcocokan dokumen yang diserahkan dengan syarat dan
kondisi L/C mengakibatkan proses pembayaran menjadi tidak lancar.

Agar secepat mungkin dapat menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, maka dalam
meneruskan L/C pihak bank penerus (advising bank) harus memberikan suatu
peringatan kepada pihak yang berkepentingan untuk meneliti dan mempelajari syarat
dan kondisi L/C secara seksama guna dapat menghindari terjadinya penyimpangan-
penyimpangan yang akan berakibat penundaan atau penolakan pembayaran.

Adapun bentuk penyimpangan yang mungkin timbul dan ditemukan sebagai hasil
pemeriksaan dokumen dapat berupa:
1. Penyimpangan yang bersumber dari dokumen yang belum sempurna antara lain:
 Belum lengkapnya lembar dokumen yang diperoleh,
 Belum sempurnanya dokumen karena belum dicantumkan tanggal, stempel
atau tanda tangan pada dokumen yang bersangkutan,
 Kesalahan ketik,
 Tidak adanya kesesuaian isi dokumen dengan syarat L/C.
2. Penyimpangan terhadap syarat-syarat L/C antara lain:
 Penarikan melampaui nilai L/C (overdrawn),

42
 L/C telah jatuh tempo (expired),
 Pengapalan barang melampaui tanggal pengapalan terakhir yang ditetapkan,
 Salah satu dokumen yang disyaratkan dalam L/C tidak terpenuhi.

VIII. KESIMPULAN
Hubungan perdagangan internasional yang meliputi transaksi bisnis ekspor impor
sangat memerlukan suatu penyelesaian lalu lintas pembayaran antara pihak-pihak yang
mengadakan hubungan perdagangan, di mana mereka masing-masing berada di negara
yang saling berlainan dapat terlaksana dengan baik, apabila realisasi pembayarannya
dapat terselenggara dengan baik pula tanpa hambatan apapun.

Pada umumnya cara terbaik dan terjamin untuk merealisasikan pembayaran transaksi
bisnis ekspor impor adalah cara pembayaran yang tidak langsung dengan melalui
perantara pihak perbankan. Adanya unsur resiko bagi pihak eksportir dan importir
yang kepentingannya saling bertentangan telah terdorong mereka untuk menempuh
cara yang termuat dalam documentary credit. Dengan berbagai keuntungan yang
dinikmati oleh eksportir dan importir telah membawa Letter of Credit sebagai sarana
pembayaran yang terjamin kepastiannya dan berlaku secara internasional.

DAFTAR PUSTAKA

Iswi Hariyani dan R. Serfianto, Panduan Ekspor Impor, Pustaka Yustisia, Yogyakarta,
2010.

Marsuki, Analisis Perekonomian Nasional dan Internasional, edisi 2, Mitra Wacana


Media, Jakarta, 2010.

Ratya Anindita dan Michael R. Reed, Bisnis dan Perdagangan Internasional, Andi,
Yogyakarta, 2008.

Warsidi, Letter of Credit; a guide to the impact of the new rules of UCP 600,
Komexindo press, Surabaya, 2009.

43
TINJAUAN ATAS ANGGARAN DAN REALISASI PENJUALAN TIKET UNTUK
MENILAI KINERJA PT. KAI (PERSERO) STASIUN BESAR TEGAL DAOP IV
SEMARANG

Siti Nur Hadiyati SE., M.Si., Akt


Dosen Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi
Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon
Email: siti_nurhadiyati@yahoo.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penilaian kinerja bila ditinjau dari
anggaran dan realisasi serta implikasinya. Hal ini merupakan salah satu cara dalam
menjalankan fungsi evaluasi terkait efektifitas kegiatan opersional sebuah entitas. Pada
akhirnya diharapkan fungsi manajemen dapat berjalan dengan baik.
Objek penelitian ini adalah PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Stasiun Besar Tegal
DAOP IV Semarang. Kegiatan yang dilakukan selama penelitian yaitu studi pustaka,
observasi, dokumentasi, wawancara, pengumpulan dan analisis data serta pelaporan.
Penilaian kinerja dilakukan dengan menganggap selisih sebagai simpangan antara
program yang dianggarkan dengan realisasi yang diperoleh dengan persamaan 1 yaitu
deviasi = program – realisasi dan persamaan 2 yaitu prosentase pencapaian realisasi =
realisasi / program x 100%. Katergori penilaian terdiri dari pendapatan (dalam rupiah),
volume penumpang, dan kilometer yang ditempuh.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa selama tahun 2010 menunjukkan kinerja
yang efektif berdasarkan kategori pendapatan (dalam rupiah), volume penumpang, dan
kilometer yang ditempuh. Adapun kinerja yang kurang efektif hanya terjadi pada bulan
Oktober untuk kategori pendapatan (dalam rupiah) dan volume penumpang.

Kata Kunci: Penilaian Kinerja, Anggaran.

I. PENDAHULUAN
Persaingan usaha khususnya di bidang transportasi semakin ketat. Perusahaan harus
memiliki strategi agar memiliki daya saing dalam jangka waktu yang panjang.
Fleksibilitas perusahaan dalam memenuhi kebutuhan konsumen akan mampu
membuatnya bertahan dan berkembang menghadapi persaingan global. Manajemen
perusahaan dituntut untuk dapat memenuhi konsumen dengan kebutuhan yang semakin
dinamis. Yakni mampu menghasilkan produk dan jasa yang inovatif dengan terus –
menerus melakukan perbaikan manfaat di dalamnya. Kemampuan perusahaan dalam

44
beradaptasi secara cepat dan tepat terhadap perubahan menjadi kunci keberhasilan
perusahaan sehingga mampu menjadi pemimpin dalam persaingan pasar.
Salah satu upaya yang tepat adalah menyusun perencanaan, pengkoordinasian, dan
pengendalian yang memadai bagi perusahaan tersebut. Perencanaan (planning)
merupakan tindakan yang dibuat berdasarkan fakta dan asumsi mengenai gambaran
kegiatan yang akan dilakukan di masa yang akan datang untuk mencapai tujuan yang
diinginkan (Nafarin, 2007). Penilaian suatu pekerjaan dengan tujuan mengadakan
tindakan perbaikan bila terdapat penyimpangan antara hasil dengan rencana yang disebut
dengan pengendalian. Dengan perencanaan dan pengkoordinasian kegiatan – kegiatan
yang akan dilaksanakan serta pengawasan atas pelaksanaan kegiatan operasional
perusahaan yang baik maka diharapkan tujuan yang diinginkan akan tercapai.
Agar fungsi manajemen dapat berjalan dengan baik dan lancar diperlukan suatu alat
yang disebut anggaran. Anggaran menjadi masalah yang menarik untuk dibahas karena
anggaran mempunyai kelebihan dibanding dengan perencanaan yang lain. Yaitu dapat
dijadikan pedoman sekaligus alat untuk mencapai tujuan perusahaan. Dengan disusunnya
anggaran, maka setiap lini di dalam perusahaan dapat melaksanakan tugas pokok dan
fungsinya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan.
Secara reguler, biasanya per bulan atau per kuartal, hampir semua perusahaan
membandingkan antara perencanaan dengan hasil aktual yang diperoleh. Hal ini
merupakan fungsi evaluasi yang biasanya dilakukan pada akhir periode. Inilah yang
kemudian dapat dikatakan sebagai pengukuran kinerja. Kinerja perusahaan adalah hasil
dari sekelompok perilaku keorganisasian, khususnya tindakan dari tiap individu (Burney
dan Widener, 2007). Menurut Anthony dan Govindarajan (2009), melalui laporan
perkembangan (progress report) yang menyediakan informasi secara resmi, manajemen
dapat melakukan penilaian tentang efektivitas kegiatan operasionalnya.
PT Kereta Api Indonesia (PT. KAI Persero) merupakan salah satu perusahaan yang
bergerak dalam bidang jasa transportasi angkutan darat. Produknya berupa sarana
transportasi kereta api. Sarana ini banyak digunakan dan merupakan salah satu andalan
masyarakat untuk bepergian karena mengutamakan ketepatan waktu, kecepatan, dan
kenyamanan. Sehingga permintaan pasar akan jasa ini sangat tinggi. Untuk dapat
bertahan dalam persaingan penyedia jasa angkutan darat, PT. KAI harus mempunyai alat

45
untuk mencapai tujuannya, yaitu anggaran penjualan. Anggaran penjualan dapat
dijadikan sebagai salah satu alat manajemen untuk memproyeksikan laba optimum yang
ingin dicapai (Hapsari, 2005). Diversifikasi usaha dilakukan oleh PT. KAI dengan
membagi kelas kereta api yaitu Ekonomi, Bisnis, dan Eksekutif untuk memenuhi
permintaan pasar yang tinggi (Gunawan, 2005).
PT. KAI (Persero) Stasiun Besar Tegal DAOP IV Semarang, dalam kegiatan
operasionalnya meliputi penjualan tiket, pengangkutan barang, dan pengaturan jadwal
operasional kereta api. Agar kegiatan penjualan tiket dapat berjalan dengan efektif dan
memenuhi target yang ditetapkan oleh DAOP IV Semarang, maka dibuatlah anggaran
angkutan penumpang yang merupakan estimasi penjualan tiket. Sebagai pusat
pendapatan, maka penilaian kinerja operasional stasiun dilakukan dengan
membandingkan anggaran penjualan tiket dengan realisasi penjualan tiket, baik secara
bulanan, triwulan, semesteran, dan tahunan. Anggaran ini berisikan informasi mengenai
volume penumpang, kilometer penumpang, dan pendapatan volume penumpang
berdasarkan jenis kelas masing – masing kereta api. Adapun dalam prakteknya, PT. KAI
(Persero) menggunakan istilah program untuk anggaran. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kinerja Stasiun Besar Tegal DAOP IV Semarang bila ditinjau dari anggaran
dan realisasi penjualan tiketnya serta implikasinya.

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. ANGGARAN
1. Pengertian Anggaran
Anggaran perusahaan yang sering disebut juga dengan budget ini mempunyai
definisi yang beraneka ragam. Adisaputro dan Asri dalam Hapsari (2005) mendefinisikan
budget merupakan suatu pendekatan yang formal dan sistematis daripada pelaksanaan
tanggungjawab manajemen di dalam perencanaan, koordinasi, dan pengawasan.
Sedangkan Munandar (1998) dan Nafarin (2004) mengemukakan bahwa anggaran ialah
suatu rencana yang disusun secara sistematis, yang meliputi seluruh kegiatan perusahaan,
yang dinyatakan dalam unit (satuan) moneter dan berlaku untuk jangka watu tertentu di
masa yang akan datang. Glenn A Welsch dalam Siregar (2003) mendefenisikan anggaran
sebagai berikut:"Profit planning and control may be broadly as de fined as sistematic and

46
formalized approach for accomplishing the planning, coordinating and control
responsibility of management"
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa anggaran adalah
suatu rencana kegiatan perusahaan yang disusun oleh manajemen secara formal dan
sistematis, yang dinyatakan secara kuantitatif untuk suatu periode tertentu yang akan
datang, guna membantu manajemen dalam menjalankan fungsinya terutama dalam fungsi
perencanaan, koordinasi, dan pengawasan.
2. Fungsi Anggaran
Peranan anggaran pada suatu perusahaan merupakan alat untuk membantu
manajemen dalam pelaksanaan, fungsi perencanaan, koordinasi, pengawasan dan juga
sebagai pedoman kerja dalam menjalankan perusahaan untuk tujuan yang telah
ditetapkan. Siregar (2003) menyebutkan empat fungsi anggaran sebagai berikut:
a. Fungi Perencanaan
Perencanaan merupakan salah satu fungsi manajemen dan fungsi ini merupakan
salah satu fungsi manajemen dan fungsi ini merupakan dasar pelaksanaan fungsi-fungsi
manajemen lainnya. Winardi dalam Siregar (2003) memberikan pengertian mengenai
perencanaan sebagai berikut:
"Perencanaan meliputi tindakan memilih dan menghubungkan fakta-fakta dan membuat
serta menggunakan asumsi-asumsi mengenai masa yang akan datang dalam hal
memvisualisasi serta merumuskan aktifitas-aktifitas yang diusulkan yang dianggap perlu
untuk mencapai basil yang diinginkan"
Dari kutipan di atas disimpulkan bahwa sebelum perusahaan melakukan
operasinya, pimpinan dari perusahaan tersebut harus lebih dahulu merumuskan kegiatan-
kegiatan apa yang akan dilaksanakan di masa datang dan hasil yang akan dicapai dari
kegiatan-kegiatan tersebut, serta bagaimana melaksanakannya. Dengan adanya rencana
tersebut, maka aktifitas akan dapat terlaksana dengan baik.
b. Fungsi Pengawasan
Anggaran merupakan salah satu cara mengadakan pengawasan dalam perusahaan.
Pengawasan itu merupakan usaha - usaha yang ditempuh agar rencana yang telah disusun
sebelurnnya dapat dicapai. Dengan demikian pengawasan adalah mengevaluasi prestasi
kerja dan tindakan perbaikan apabila perlu. Aspek pengawasan yaitu dengan

47
membandingkan antara prestasi dengan yang dianggarkan, apakah dapat ditemukan
efisiensi atau apakah para manajer pelaksana telah bekerja dengan baik dalam mengelola
perusahaan.
Tujuan pengawasan itu bukanlah mencari kesalahan akan tetapi mencegah dan
memperbaiki kesalahan. Sering terjadi fungsi pengawasan itu disalah artikan yaitu
mencari kesalahan orang lain atau sebagai alat menjatuhkan hukuman atas suatu
kesalahan yang dibuat pada hal tujuan pengawasan itu untuk menjamin tercapainya
tujuan-tujuan dan rencana perusahaan.
c. Fungsi Koordinasi
Fungsi koordinasi menuntut adanya keselarasan tindakan bekerja dari setiap
individu atau bagian dalam perusahaan untuk mencapai tujuan. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa untuk menciptakan adanya koordinasi diperlukan perencanaan yang
baik, yang dapat menunjukkan keselarasan rencana antara satu bagian dengan bagian
lainnya. Anggaran yang berfungsi sebagai perencanaan harus dapat menyesuaikan
rencana yang dibuat untuk berbagai bagian dalam perusahaan, sehingga rencana kegiatan
yang satu akan selaras dengan lainnya. Untuk itu anggaran dapat dipakai sebagai alat
koordinasi untuk seluruh bagian yang ada dalam perusahaan, karena semua kegiatan yang
saling berkaitan antara satu bagian dengan bagian lainnya sudah diatur dengan baik.

d. Anggaran Sebagai Pedoman Kerja


Anggaran merupakan suatu rencana kerja yang disusun sistematis dan dinyatakan
dalam unit moneter. Lazimnya penyusunan anggaran berdasarkan pengalaman masa lalu
dan taksir-taksiran pada masa yang akan datang, maka ini dapat menjadi pedoman kerja
bagi setiap bagian dalam perusahaan untuk menjalankan kegiatannya.

B. PENILAIAN KINERJA
Secara umum, kinerja adalah kemampuan kerja yang ditunjukkan dengan hasil
kerja. Kinerja merupakan hal penting yang harus dicapai oleh setiap perusahaan
dimanapun, karena kinerja merupakan cerminan dari kemampuan perusahaan dalam
mengelola dan mengalokasikan sumber dayanya. Pengertian kinerja menurut Balai
Pustaka dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991) adalah sesuatu yang ingin dicapai;

48
prestasi yang diperlihatkan; kemampuan kerja. Sedangkan Atmini (2002) mengemukakan
bahwa kinerja perusahaan dapat diukur dengan menganalisa dan mengevaluasi laporan
keuangan.
Mulyadi (2002) mengemukakan bahwa penilaian kinerja adalah penentuan secara
periodik efektifitas operasional suatu organisasi, bagian organisasi dan karyawannya
berdasarkan sasaran standar dan kriteria yang ditetapkan sebelumnya. Penilaian kinerja
terdiri atas langkah – langkah yang dimulai dari peninjauan dan penilaian kinerja
karyawan, merekam penilaian dan menyediakan umpan balik kepada karyawan. Penilaian
kinerja divisi pusat pendapatan diukur dengan membandingkan antara pendapatan yang
sesungguhnya (realisasi) dengan pendapatan menurut anggaran dan menganggap
selisihnya sebagai penyimpangan atau deviasi (Suheri, 2008).

III. METODOLOGI
Penelitian dilakukan selama lebih kurang 3 bulan pada PT. KAI Stasiun Besar
Tegal DAOP IV Semarang. Kegiatan yang dilakukan selama penelitian yaitu studi
pustaka, observasi, dokumentasi, wawancara, pengumpulan dan analisis data serta
pelaporan. Data yang dikumpulkan yaitu: (1) struktur organisasi, (2) program angkutan
penumpang, (3) realisasi angkutan penumpang selama tahun 2010, dan (4) data
pendukung lainnya.
Teknik analisis data yang digunakan berdasarkan tata cara perusahaan sektor
angkutan penunpang melakukan pengukuran kinerja yang telah dilakukan selama ini
dengan mendasarkan pencapaian pengukuran prestasi kerja dengan menggunakan 3
kriteria yaitu pendapatan penumpang, volume penumpang, dan kilometer penumpang.
Pengukurannya dengan menganggap selisih sebagai simpangan antara program yang
dianggarkan dengan realisasi yang diperoleh dengan persamaan 1 yaitu deviasi = realisasi
- program dan persamaan 2 yaitu prosentase pencapaian realisasi = realisasi / program x
100%. Sedangkan kriteria kinerja yang baik menurut PT. KAI adalah:
1. Kinerja baik / efektif jika prosentase pencapaian realisasi ≥ 75% sampai dengan ≥
100%.
2. Kinerja kurang baik / kurang efektif jika persentase pencapaian realisasi < 75%.

49
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sejarah Singkat dan Struktur Organisasi
PT Kereta Api Indonesia (Persero) dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami
empat fase perubahan yaitu zaman Hindia Belanda, zaman pendudukan Jepang, zaman
Kemerdekaan Republik Indonesia, dan zaman Penyerahan Kedaulatan. Pada tanggal 2
Juni 1974 perusahaan ini bernama Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Berdasarkan
Peraturan Pemerintah RI No. 57 tanggal 30 Oktober 1990, PJKA berubah menjadi
Perusahaan Umum Kereta Api (PERUMKA). Dan berdasarkan Peraturan Pemerintah
RI No. 19/1998, Keputusan Presiden No. 38/1999 tanggal 17 Mei 1999, dan Akta
Notaris Imas Fatimah, SH No. 02 tanggal 1 Juni 1999, PERUMKA berubah menjadi PT
Kereta Api Indonesia (Persero).

Kepala Stasiun

Perbendaharaan Wa. Kepala Stasiun

Tata Usaha
Kasir I Kasir II Loket
Pengatur Perjalanan Kereta Api

Pengawas Peron

Juru Langsir Penjaga Juru Langsir Bag. Pencatat


Palang Pintu Materiil

Gambar 1. Struktur Organisasi PT. KAI (Persero) Stasiun Besar Tegal DAOP IV
Semarang

Stasiun Besar Tegal mulai dibangun pada tahun 1885 sebagai stasiun JSM (Java
Spoorweg Maatschappij). Pada tahun 1897, stasiun Tegal dibeli oleh maskapai
perkeretaapian SCS (Semarang Cheribon Stoomtram Maatschappij) dan stasiun ini
dilengkapi dengan atap besar berbahan kayu yang mengatapi tiga sepur. Pada tahun

50
1918, sebagian dari bangunan direnovasi berdasarkan karya arsitek Henry Maclaine
Pont, tetapi atapnya tidak banyak berubah. Adapun stuktur organisasi Stasiun Besar
Tegal ditunjukkan pada gambar 1.
B. Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja Stasiun Besar Tegal dilakukan setiap bulan atau triwulan sesuai
dengan penjabaran anggaran / program dari Manajer Komersial DAOP IV Semarang.
Data yang diperoleh dari Stasiun Besar Tegal mengenai program dan realisasi angkutan
penumpang terdiri dari 3 bagian yaitu berdasarkan pendapatan (dalam rupiah), volume
penumpang, dan kilometer yang ditempuh.
1. Penilaian Kinerja Berdasarkan Pendapatan (dalam Rupiah)
Berdasarkan data yang diperoleh dan analisis yang dilakukan, menunjukkan
bahwa selama tahun 2010, kinerja Stasiun Besar Tegal dinilai efektif. Pada tabel 1
memperlihatkan selisih / deviasi positif pada bulan Februari, Maret, Mei dan Juni tahun
2010. Hal ini berarti pendapatan yang terealisasi lebih besar daripada pendapatan yang
diprogramkan. Sedangkan pada bulan yang lain memperlihatkan selisih / deviasi negatif
yang berarti pendapatan yang terealisasi lebih kecil daripada pendapatan yang
diprogramkan. Prosentase pencapaian tertinggi sebesar 124% dan terendah 84% kecuali
pada bulan Oktober yang menunjukkan prosentase 68%.
Tabel 1. Data Program (Anggaran) dan Realisasi Angkutan Penumpang Berdasarkan
Pendapatan (dalam Rupiah).
No. Bulan Program (Rp) Realisasi (Rp) Selisih (Rp) Prosentase

1. Januari 1.757.647.000 1.689.238.250 -64.408.750 96%

2. Februari 1.365.516.000 1.648.898.750 283.382.750 121%

3. Maret 1.787.764.000 2.220.196.000 432.432.000 124%

4. April 1.674.856.000 1.566.554.750 -108.301.250 94%

5. Mei 1.789.960.000 1.790.529.500 569.500 100%

6. Juni 2.035.704.000 2.050.689.750 14.985.750 101%

7. Juli 2.312.931.000 2.160.031.000 -152.900.000 93%

51
8. Agustus 2.228.248.000 1.866.030.000 -362.218.000 84%

9. September 2.265.149.000 2.236.028.000 -29.121.000 99%

10. Oktober 2.451.329.000 1.674.944.000 -776.385.000 68%

11. November 2.109.035.000 1.816.992.000 -292.043.000 86%

12. Desember 2.543.844.000 2.287.694.500 -256.149.500 90%

Jumlah 24.321.983.000 23.007.826.500 -1.310.156.500 95%

Sumber: Stasiun Besar Tegal DAOP IV Semarang


2. Penilaian Kinerja Berdasarkan Volume Penumpang
Tabel 2 memperlihatkan selisih / deviasi positif pada bulan Januari, Februari,
Maret, Mei, September, dan Desember tahun 2010. Hal ini berarti volume penumpang
yang terealisasi lebih besar daripada volume penumpang yang diprogramkan.
Sedangkan pada bulan April, Juni, Juli, Agustus, Oktober dan November
memperlihatkan selisih / deviasi negatif yang berarti volume penumpang yang
terealisasi lebih kecil daripada volume penumpang yang diprogramkan. Prosentase
pencapaian tertinggi sebesar 186% dan terendah 79% kecuali pada bulan Oktober yang
menunjukkan prosentase 72% kecuali pada bulan Oktober yaitu sebesar 72%.
Tabel 2. Data Program (Anggaran) dan Realisasi Angkutan Penumpang Berdasarkan
Volume Penumpang.
No. Bulan Program Realisasi Selisih Prosentase
(Orang) (Orang) (Orang)
1. Januari 52.844 53.739 895 102%

2. Februari 41.522 47.092 5.570 113%

3. Maret 54.048 58.435 4.387 108%

4. April 51.060 47.418 -3.642 93%

5. Mei 52.052 55.408 3.356 106%

6. Juni 60.619 57.656 -2.963 95%

52
7. Juli 73.589 58.174 -15.415 79%

8. Agustus 55.144 49.521 -5.623 90%

9. September 64.985 78.794 13.809 115%

10. Oktober 61.841 44.449 -17.392 72%

11. November 52.611 48.983 -3.628 93%

12. Desember 64.865 120.659 55.794 186%

Jumlah 685.180 720.328 35.148 105%

Sumber: Stasiun Besar Tegal DAOP IV Semarang

3. Penilaian Kinerja Berdasarkan Kilometer yang Ditempuh


Berikut disajikan tabel 3 yang memuat data program (anggaran) dan realisasi
angkutan penumpang berdasarkan kilometer yang ditempuh.

No. Bulan Program (Km) Realisasi (Km) Selisih (Km) Prosentase

1. Januari 11.761.158 14.322.835 2.561.677 122%

2. Februari 8.912.313 12.563.293 3.650.980 141%

3. Maret 11.260.754 14.290.920 3.030.166 127%

4. April 11.154.966 13.593.808 2.438.842 122%

5. Mei 11.567.292 15.663.392 4.096.100 135%

6. Juni 13.437.512 16.421.295 2.983.783 122%

7. Juli 16.706.052 16.604.961 -101.091 99%

8. Agustus 12.324.711 16.002.634 3.677.923 130%

9. September 15.158.338 23.454.660 8.296.322 155%

10. Oktober 15.066.009 12.942.797 -2.123.212 86%

53
11. November 11.823.067 14.304.304 2.481.237 121%

12. Desember 15.024.345 15.864.237 839.892 106%

Jumlah 154.196.967 186.029.136 31.832.619 121%

Sumber: Stasiun Besar Tegal DAOP IV Semarang


Berdasarkan data yang diperoleh dan analisis yang dilakukan, menunjukkan bahwa
selama tahun 2010, kinerja Stasiun Besar Tegal dinilai efektif. Pada tabel 3
memperlihatkan selisih / deviasi positif kecuali pada bulan Juli dan Oktober tahun 2010
yang memperlihatkan selisih / deviasi negatif yang berarti kilometer jarak tempuh
terealisasi lebih kecil daripada kilometer jarak tempuh yang diprogramkan. Dan jika
dilihat dari prosentasenya, sepanjang tahun 2010 menunjukkan angka lebih besar dari
75% dengan prosentase tertinggi sebesar 155% dan terendah sebesar 86%.
C. Implikasi Penilaian Kinerja
Hasil penilaian kinerja dari Stasiun Besar Tegal DAOP IV Semarang secara
keseluruhan dikatakan efektif dengan kriteria yang disebutkan sebelumnya. Oleh karena
itu, Stasiun Besar Tegal berhak mendapatkan penghargaan (reward) dari DAOP IV
Semarang sebagai induk operasional dari semua stasiun yang berada di wilayah IV Jawa
Tengah. Penghargaan ini berupa dipenuhinya usulan – usulan yang diajukan oleh
stasiun yang bersangkutan. Usulan – usulan tersebut berupa peningkatan terhadap
pelayanan penumpang, misalnya penambahan area ruang tunggu, penambahan
perlengkapan kebersihan, renovasi bangunan, perbaikan peron, dan penambahan jadwal
pemberangkatan kereta api.
Namun, bila hasil penilaian kinerja yang didapatkan kurang efektif dalam
pencapaian programnya maka DAOP IV Semarang akan memberikan motivasi agar
dapat memberikan pelayanan yang maksimal kepada para pengguna jasa kereta api.
Membuat program promo berhadiah melalui media cetak dan elektronik dan
memperbanyak pemasangan spanduk iklan layanan merupakan salah satu cara yang
ditempuh. Dalam hal ini, tidak ada semacam sanksi karena pada dasarnya Stasiun Tegal
hanya bertugas untuk melaksanakan program yang telah ditetapkan oleh Manajer
Komersial DAOP IV Semarang dan tidak bertanggungjawab secara langsung kepada
Kantor Pusat Bandung.

54
V. SIMPULAN
Hasil penilaian kinerja dengan menggunakan persamaan deviasi dan mendasarkan
pada prosentase pencapaian realisasi program selama tahun 2010 menunjukkan kinerja
yang efektif dari Stasiun Besar Tegal DAOP IV Semarang berdasarkan kategori
pendapatan (dalam rupiah), volume penumpang, dan kilometer yang ditempuh. Adapun
kinerja yang kurang efektif hanya terjadi pada bulan Oktober untuk kategori pendapatan
(dalam rupiah) dan volume penumpang.

VI. PUSTAKA

Anthony, R. N dan Govindarajan, V. 2009. ―Management Control System


(Terjemahan)‖. Edisi 11. Buku 2. Jakarta: Salemba Empat.

Alwi, Hasan. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Atmini, Sari. 2002. Asosiasi Siklus Hidup Perusahaan dengan Incremental Value-
relevance Informasi Laba dan Arus Kas. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia 5.3:
257-276.
Burney, L., and S. K. Widener. 2007. ―Strategic Performance Measurement Systems,
Job-Relevant Information, and Managerial Behavioral Responses—Role Stress
and Performance‖. Behavioral Research in Accounting 19: 43-69.

Gunawan, Didik. 2005. ―Manfaat Anggaran Penjualan Tiket Kereta Api Sebagai Alat
Bantu Manajemen dalam Menunjang Efektifitas Pengendalian Penjualan Pada
PT. KAI DAOP II Bandung‖. Skripsi Tidak Dipublikasikan. Fakultas Ekonomi,
Universitas Widyatama Bandung.

Hapsari, Ika Ayu. 2005. ―Tinjauan Atas Anggaran Kas Pada PT. KAI (Persero)
Bandung‖. Tugas Akhir Tidak Dipublikasikan. Fakultas Ekonomi, Universitas
Widyatama Bandung.

Mulyadi. 2002. Akuntansi Manajemen: Konsep, Manfaat, dan Rekayasa. Edisi Ketiga.
Jakarta: Salemba Empat.

Munandar, M. 1998. Budgetting (Perencanaan Kerja, Pengkoordinasian Kerja, dan


Pengawasan Kerja). Yogyakarta: BPFE.

55
___________. 2007. Budgetting (Perencanaan Kerja, Pengkoordinasian Kerja, dan
Pengawasan Kerja). Edisi Kedua. Cetakan Pertama. Yogyakarta: BPFE.

Nafarin, M. 2004. Penganggaran Perusahaan. Jakarta: Salemba Empat.

_________. 2007. Penganggaran Perusahaan. Edisi Ketiga. Jakarta: Salemba Empat.

Siregar, NB. 2003. ―Penyusunan Anggaran Perusahaan Sebagai Alat Manajemen dalam
Pencapaian Tujuan‖. USU Digital Library.

Suheri, Usman. 2008. ―Evaluasi Penerapan Akuntansi Pertanggungjawaban Sebagai


Dasar Penilaian Kinerja Perusahaan di PT. KAI (Persero) Stasiun Besar Tegal
DAOP IV Semarang‖. Skripsi Tidak Dipublikasikan. Fakultas Ekonomi,
Universitas Pancasakti Tegal.

56
FENOMENA REDENOMINASI DAN KORELASINYA DENGAN INFLASI

Agung Yulianto
Wiwit Apit Sulistyowati
Dosen Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi
Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon
Email :wiwit_apit@yahoo.co.id

ABSTRACT
Simplification program the number of digits in the denomination currency without
reducing its value is considered quite important. This needs to be supported with an
intensive socialization process to avoid any perception of people who think that
redenomination with sanering. Although the implementation of redenomination need
more costs, such us the socialization costs, restructuring charges and the cost of printing
new money. In terms of accounting, redenomination does not have a significant effect,
the company just needs to do the restatement for comparative financial statements and
full disclosure. Redenomination will not have negative effects on the economy, strong
economy and stable political will facilitate the process of redenomination. If businesses
believe that the economy is performing well, redenomination could be in line with
expectations. However, redenomination resulted in increased inflation if businesses
believe that economy slowed or worsened when the policy was implemented. Successful
redenomination could only be done at the time of inflation and inflation expectations
stable and low.

PENDAHULUAN
Redenominasi menjadi salah satu topik hangat yang sedang diperbincangkan
masyarakat Indonesia akhir-akhir ini. Wacana mengenai redenominasi yang dulu pernah
dikemukakan oleh Bank Indonesia (BI) sekarang sudah mendapatkan lampu hijau dari
pemerintah, bahkan payung hukum Rancangan Undang-undang Redenominasi kini telah
masuk dalam program legislasi nasional tahun 2013. Dengan kebijakan redenominasi,
nominal rupiah rencananya akan dipangkas tiga angka nol di belakang atau setara seribu.
Artinya nilai Rp 1.000 akan berubah menjadi Rp 1. Ada tiga alasan Indonesia
menerapkan redenominisasi, yaitu inflasi di Indonesia terkendali (di bawah 10 persen),
utang pemerintah dari persentase Produk Domestik Bruto (PDB) terus turun dan
kondisi perekonomian yang stabil.
Proses menyederhanakan pecahan mata uang (redenominasi) rupiah harus
disertai sosialisasi masif kepada seluruh lapisan masyarakat, agar masyarakat dapat

57
membedakan persepsi mengenai redenominasi dan sanering. Hal ini perlu dilakukan,
karena banyak masyarakat yang salah persepsi dengan menanggapi bahwa redenominasi
sama dengan sanering. Bank Indonesia (BI) dan pemerintah diminta tidak ceroboh
mengabaikan dampak sosial dan psikologis apabila kebijakan itu diberlakukan tanpa
sosialisasi yang memadai. Pemahaman masyarakat Indonesia terhadap masalah-masalah
perekonomian maupun keuangan sangat beragam. Hal ini perlu didukung melalui
koordinasi antara pemerintah, Bank Indonesia (BI) dan seluruh pemangku kepentingan
terkait kebijakan tersebut.
Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral berencana mengeluarkan kebijakan
redenominasi dengan alasan bahwa uang pecahan terbesar Indonesia, Rp100.000,
merupakan yang terbesar kedua di dunia, setelah Vietnam dengan pecahan terbesar
500.000 dong. Jika memperhitungkan Zimbabwe, yang pernah mencetak pecahan 100
miliar dolar, pecahan Rp100.000 menempati urutan ketiga terbesar di dunia. Beberapa
pakar ekonomi juga menyatakan bahwa pada prinsipnya mendukung redenominasi
karena akan meningkatkan efisiensi transaksi dan pembukuan. Sementara beberapa
ekonom lain justru menyatakan bahwa kebijakan proyek redenominasi menutupi
kelemahan nilai tukar rupiah yang menjadi tanggung jawab Bank Indonesia (BI). Seperti
yang terjadi pada kebijakan privatisasi, redenominasi juga dinilai berpotensi moral
hazard. Hal ini mengindikasikan tidak tertutup kemungkinan, proyek ini akan
dimanfaatkan kalangan tertentu untuk mengeruk keuntungan, apalagi saat ini sudah
menjelang Pemilu 2014 (Ma’ruf, 2013).

DEFINISI REDENOMINASI
Menurut Bank Indonesia (BI), redenominasi adalah proses menyederhanakan
penyebutan atau penulisan denominasi (pecahan) rupiah dengan cara menghilangkan
sejumlah angka nol tanpa mengurangi daya beli atau nilai mata uang tersebut.
Redenominasi berbeda dengan sanering, seperti terlihat dalam tabel berikut:
Tabel Perbandingan Redenominasi dengan Sanering
Redenominasi Sanering
Perbedaan Menyederhanakan Pemotongan daya beli
denominasi (pecahan) mata masyarakat melalui
uang menjadi pecahan lebih pemotongan nilai uang. Hal

58
sdikit dengan cara yang sama tidak dilakukan
mengurangi digit (angka nol) pada harga-harga barang,
tanpa mengurangi nilai mata sehingga daya beli masyarakat
uang tersebut menurun
Dampak terhadap Tidak ada kerugian karena Menimbulkan banyak
Masyarakat daya beli tetap sama kerugian daya beli turun dratis
Tujuan Penyederhanaan pecahan Mengurangi jumlah uang yang
uang agar lebih efisien dan beredar akibat lonjakan harga-
nyaman dalam melakukan harga. Dilakukan karena terjadi
transaksi hiperinflasi (inflasi yang
sangat tinggi)
Nilai uang terhadap Tidak berubah karena hanya Berubah menjadi lebih kecil,
barang cara penyebutan dan karena yang dipotong adalah
penulisan pecahan uang saja nilainya.
yang disesuaikan
Kondisi saat ini Kondisi makro ekonomi Dilakukan dalam kondisi
stabil, ekonomi tumbuh dan makroekonomi tidak sehat,
inflasi terkendali inflasi sangat tinggi
(hiperinflasi)
Masa transisi Dipersiapkan secara matang Tidak ada masa transisi,
dan terukur sampai dilakukan secara tiba-tiba
masyarakat siap, agar tidak
menimbulkan gejolak di
masyarakat
Contoh Bila terjadi redenominasi 3 Bila terjadi sanering per seribu
digit (3 angka nol): dengan rupiah: dengan 4,5 hanya dapat
uang sebanyak 4,5 tetap dapat membeli 1/1000 (0.001 liter)
membeli 1 liter bensin,
karena harga 1 liter bensin
juga dinyatakan dalam satuan
pecahan yang sama (baru)

BIAYA REDENOMINASI
Berbagai pihak perbankan berpendapat bahwa implementasi redenominasi
membutuhkan biaya besar. Dengan kebijakan redenominasi, maka perbankan perlu
menyesuaikan sistem teknologi informasi jika kebijakan tersebut benar-benar
diimplementasikan. Alasannya, dalam masa transisi ada dua mata uang yang berlaku,
yakni rupiah lama dan rupiah baru, sehingga perbankan harus mengubah komputerisasi
untuk mengakomodasi hal tersebut. Selain itu, biaya sosialisasi redenominasi
diperkirakan membutuhkan dana yang sangat besar. Biaya lain yang jumlahnya sangat
besar adalah biaya pencetakan uang baru. Jika jumlah uang yang beredar per September

59
2012 mencapai 3.125 triliun rupiah maka biaya penggantian uang baru biasanya sekitar
1,8 persen dari uang beredar. Berarti, biaya yang harus dikeluarkan setidaknya 56 triliun
rupiah. Biaya yang diperlukan tersebut riil dianggarkan dari pajak yang dibayarkan oleh
masyarakat kepada negara.
DAMPAK REDENOMINASI
Redenominasi akan menimbulkan dampak positif dan negatif. Kebijakan tersebut
dapat menimbulkan reaksi masyarakat yang berlebihan. Dari sisi positif, redenominasi
akan menjadikan pecahan mata uang lebih sederhana. Dampak negatifnya, kebijakan
tersebut membutuhkan biaya yang besar, yaitu untuk pengaturan sistem, infrastruktur dan
penyesuaian materi cetak. Nilai biaya yang dipastikan membutuhkan biaya besar yaitu
untuk pencetakan uang kembali. Bank Indonesia (BI) juga mewaspadai dampak sosial
yang akan terjadi setelah kebijakan itu diterapkan, yaitu trauma masyarakat terhadap
kebijakan sanering yang pernah terjadi pada tahun 1966. Adanya kekhawatiran persepsi
masyarakat seperti pada saat Orde Lama, sehingga masyarakat tidak percaya pada rupiah.
Dalam pasar modal, wacana redenominasi tidak akan berdampak besar, karena
redenominasi bukan merupakan isu penting yang memicu kekhawatiran pelaku pasar.
Adapun dari sisi investasi, redenominasi tidak akan memberi imbas negatif terhadap
investasi asing yang masuk ke Indonesia, karena redenominasi tidak mengurangi nilai
mata uang dalam negeri. Hal yang perlu mendapat perhatian adalah ketika penerapan
redenominasi justru perlu dilakukan karena nominal mata uang Indonesia terbilang besar.
Di seluruh negara, hanya Indonesia dan Vietnam yang nominasi mata uangnya besar.
Redenominasi juga tidak akan memberikan pengaruh buruk terhadap sektor industri,
karena pelaku industri akan mudah menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut.

IMPLIKASI REDENOMINASI
Program penyederhanaan jumlah digit pada denominasi mata uang tanpa
mengurangi nilainya dianggap cukup penting. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan
nilai tukar mata uang rupiah. Untuk mencapai kesuksesan program tersebut maka
dibutuhkan strong leadership di tingkat pusat maupun di sektor fiskal dan moneter.
Redenominasi menguntungkan profesi akuntansi, karena pelaporan keuangan menjadi
lebih sederhana. Menurut Sudibyo (2013) dalam era transisi menuju redenominasi, hal

60
yang paling penting dilakukan adalah adanya full disclosure. Pelaporan keuangan suatu
perusahaan juga akan dibuat ganda, yaitu dinyatakan dalam rupiah lama dan dalam
rupiah yang redenominated. Restatement laporan keuangan juga perlu dilakukan ketika
menyajikan laporan keuangan secara komparatif dengan beberapa periode sebelumnya,
karena di saat transisi semua nilai rupiah diredenominasi.

HUBUNGAN REDENOMINASI DENGAN INFLASI


Kebijakan redenominasi menimbulkan tindakan yang tidak optimis di beberapa
pihak, hal ini berkaitan dengan masalah persiapan yang harus matang menjelang
penerapan kebijakan tersebut. Berdasarkan pengalaman pada tahun 1960 masyarakat
Indonesia dapat berasumsi negatif terhadap kebijakan redenominasi. Masalah besar yang
akan muncul yaitu ketika masyarakat berpikir bahwa kebijakan redenominasi akan segera
diterapkan. Sampai saat ini, masalah redenominasi masih dalam tahap konsultasi publik
dengan para ahli dan pelaku pasar, karena hal ini terkait dengan psikologi pasar.
Kebijakan redenominasi juga tidak berimplikasi terhadap pertumbuhan ekonomi
Indonesia, karena pertumbuhan ekonomi suatu negara cenderung didukung oleh kegiatan
ekspor yang berdampak pada neraca perdagangan. Penerapan kebijakan redenominasi
yang dilakukan secara terburu-buru diindikasikan dapat mendorong tingkat inflasi di
Indonesia, karena masyarakat yang merasa belum siap berpikiran bahwa redenominasi
sama halnya dengan peristiwa sanering yang pernah terjadi di Indonesia (Aviliani, 2013).
Pengaruh redenominasi tersebut secara psikologis berimbas pada kalangan ekonomi
menengah ke bawah. Hal ini dapat memicu kenaikan harga-harga barang di pasar secara
serempak, sehingga akan terjadi inflasi. Dampak tersebut hanya terjadi dalam dalam
rentang waktu yang cepat, karena setelah inflasi terjadi, kemudian kondisi akan menjadi
normal.
Inflasi yang terjadi akibat redenominasi akan terlihat pada penurunan daya beli
masyarakat. Dari sisi kalangan pengusaha memandang minor redenominasi dengan
menyatakan bahwa wacana tersebut belum perlu dilakukan. Sedangkan pihak Bank
Indonesia menepis akan terjadinya inflasi dalam waktu dekat, karena Bank Indonesia
telah melakukan kalkulasi terhadap semuar risiko yang muncul, termasuk inflasi.

61
Kebijakan redenominasi juga membutuhkan waktu yang panjang, sehingga potensi dari
risiko yang ada dapat diminimalisir pada masa transisi.

SIMPULAN
Penerapan kebijakan redenominasi bukanlah hal yang sederhana, hal ini perlu
didukung dengan proses sosialisasi yang intensif untuk menghindari terjadinya salah
persepsi masyarakat yang menganggap bahwa redenominasi sama dengan sanering. Ada
tiga alasan Indonesia menerapkan redenominisasi yaitu yang pertama, inflasi di
Indonesia terkendali, yaitu di bawah 10 persen, yang ke dua utang pemerintah dari
persentase Produk Domestik Bruto (PDB) terus turun, dan yang ke tiga kondisi
perekonomian yang stabil. Dari sisi akuntansi, redenominasi tidak memberikan pengaruh
yang signifikan, karena hanya berdampak pada pengurangan tiga digit angka pada
nominal yang ada di laporan keuangan. Perusahaan hanya perlu melakukan restatement
untuk komparasi laporan keuangan dan lebih full disclosure. Redenominasi tidak akan
memberikan efek negatif terhadap perekonomian. Ekonomi yang kuat dan politik yang
stabil akan memudahkan proses redenominasi. Jika pelaku bisnis yakin bahwa ekonomi
berkinerja baik, redenominasi bisa berjalan sesuai dengan harapan. Namun redenominasi
mengakibatkan angka inflasi meningkat jika pelaku bisnis berpersepsi ekonomi melambat
atau memburuk ketika kebijakan itu diterapkan. Sukses redenominasi hanya bisa
dilakukan pada saat inflasi dan ekspektasi inflasi stabil dan rendah.

62
DAFTAR PUSATAKA
Sudibyo, Bambang. 2013. ―Implikasi Redenominasi‖. Akuntan, Januari-Maret 2013.

Aviliani, dkk. 2013. ―Menakar Pil Pahit Sensasi Redenominasi‖. Akuntan, Januari-
Maret 2013.

Warsito, Ito. 2013. ―Redenominasi dalam Perspektif Akuntan‖. Akuntan, Januari-Maret


2013.

Hartono, Jogiyanto. 2005. Pasar Efisien Secara Keputusan. Jakarta : PT Gramedia


Pustaka Utama.

Mishkin, Fredeic S. 2001. The Economics of Money, Banking, and Financial Market.
USA: Person Education.

Nafi, Muchamad dan Anton Aprianto. 2008. ―Berharap Pada Sepuluh Perintah‖.
TEMPO, Edisi 13-19 Oktober 2008.

www.bi.go.id
www.detikfinance.com
www.kompas.com
www.tempointeraktif.com

63
Pengaruh Penerapan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah, Pelaksanaan
Sistem Pengendalian Intern, Dan Pelaksanaan Tindak Lanjut Hasil
Pemeriksaan Laporan Keuangan Tahun Sebelumnya Terhadap
Kualitas Laporan Keuangan.
(Survey pada 28 Dinas Pemerintah Kabupaten Dan Kota Cirebon)

Tika Septiani, SE., M.Ak., Ak.


Dosen Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi
Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan bahwa penerapan sistem akuntansi


keuangan daerah, pelaksanaan sistem pengendalian intern, dan pelaksanaan tindak lanjut
hasil pemeriksaan laporan keuangan tahun sebelumnya mempunyai pengaruh terhadap
kualitas laporan keuangan pada Dinas di lingkungan Pemerintah Kabupaten dan Kota
Cirebon.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey penjelasan (explanatory
survey method) dengan tipe hubungan antara variabel yang diteliti adalah hubungan
kausalitas. Variabel dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif dan analisis jalur.
Data yang terkumpul diperoleh melalui penyebaran kuesioner dengan responden Pejabat
Penatausahaan Keuangan (PPK) dan auditor (Inspektorat). Sedangkan variable
pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan menggunakan data sekunder yang bersumber
dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Audit internal tahun 2010.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dengan tingkat signifikansi 5%, hasil studi
pada seluruh Dinas di lingkungan Pemerintah Kabupaten dan Kota Cirebon menyatakan
bahwa penerapan sistem akuntansi keuangan daerah, pelaksanaan sistem pengendalian
intern, dan pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan laporan keuangan tahun
sebelumnya secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap kualitas laporan
keuangan. Secara parsial penerapan sistem akuntansi keuangan daerah, dan pelaksanaan
sistem pengendalian intern, berpengaruh terhadap kualitas laporan keuangan. Sedangkan
pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan tahun sebelumnya berpengaruh negatif
secara statistik pada alpha 5% tidak signifikan terhadap kualitas laporan keuangan.

Kata kunci: Sistem Akuntansi Keuangan Daerah, Sistem Pengendalian Intern,


Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan, Kualitas Laporan Keuangan

64
1. Pendahuluan
Pengelolaan keuangan daerah yang terdiri kegiatan perencanaan, pelaksanaan,
pelaporan, evaluasi dan pertanggungjawaban memerlukan instrumen yang terintegrasi.
Pada level pelaporan, maka diperlukan laporan keuangan daerah yang lengkap
(bersumber dari SAKD) yang disertai berbagai lampiran.
Dalam konteks pengelolaan keuangan daerah, khususnya dalam kaitannya dengan
penerapan sistem akuntansi keuangan daerah, penerapan dan pemahaman yang memadai
tentang sistem akuntansi keuangan daerah merupakan salah satu aspek penting, penyajian
laporan keuangan daerah disusun sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah dan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 yang telah dirubah dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007.
Pada kenyataannya, berdasarkan survey yang dilakukankan oleh Nurhayati Soleha
(2011) ke sejumlah Pemerintah Daerah dan informasi dari sejumlah konsultan keuangan
daerah, Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD) sebagai pengelola keuangan
Pemerintah Daerah dan khususnya SKPD tidak serta merta dapat menyusun laporan
keuangan baru tersebut, terutama neraca.
Sistem akuntansi memberikan pengetahuan tentang pengolahan informasi
akuntansi sejak data direkam dalam dokumen sampai dengan laporan dihasilkan (Indra
Bastian; 2007). Adapun manfaat penerapan sistem akuntansi keuangan daerah
berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintah (2005:11) adalah bertujuan untuk
meningkatkan akuntabilitas dan keandalan laporan keuangan pemerintah.
Sehubungan dengan pentingnya sistem akuntansi keuangan daerah dalam
membuat laporan keuangan Pemerintah Daerah, maka diharapkan setiap satuan kerja
perangkat daerah di pemerintahan daerah untuk menyelenggarakan SAKD sebagai sistem
akuntansi guna menyampaikan laporan keuangan yang berkualitas sehingga dapat
bermanfaat pagi para pengguna laporan keuangan. Tuasikal (2007) melakukan penelitian
tentang ―Pengaruh pemahan sistem akuntansi keuangan daerah terhadap kinerja SKPD.
Penelitian ini menyimpulkan secara simultan maupun parsial pemahaman mengenai
sistem akuntansi dan pengelolaan keuangan daerah berpengaruh terhadap kinerja SKPD.
Jenis pendapat yang diberikan untuk Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kota
Cirebon dan Kabupaten Cirebon berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK-RI selama

65
7 tahun terakhir, pada tahun anggaran 2005 sampai dengan tahun anggaran 2011 adalah
sebagai berikut:
Tabel 1.1
Opini Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Opini Laporan Keuangan Pemerintah
Tahun
Daerah
Anggaran
Kota Cirebon Kabupaten Cirebon
2005 WDP WDP
2006 WDP WDP
2007 TMP WDP
2008 WDP WDP
2009 WDP WDP
2010 WDP WDP
2011 WDP WDP
Sumber: Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I- 2011

Dari tabel 1.1 diatas dapat dilihat bahwa selama 7 tahun terakhir Opini atas LKPD
Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon selalu mendapat opini wajar dengan pengecualian
(kecuali untuk LKPD Kota Cirebon tahun 2007 mendapat opini TMP atau tidak
memberikan pendapat). Masih diberikannya opini TMP dan 7 tahun berturut-turut opini
atas LKPD kedua Pemerintahan Daerah ini tidak pernah mengalami peningkatan menjadi
Wajar Tanpa Pengecualian, menunjukan efektivitas sistem pengendalian intern (SPI)
Pemerintah Daerah belum optimal. Kelemahan pengendalian intern dalam pengelolaan
keuangan daerah antara lain masih banyaknya kasus pencatatan keuangan tidak/belum
dilakukan atau dilakukan namun tidak akurat, penganggaran/perencanaan tidak memadai,
pelaksanaan kegiatan tidak sepenuhnya melalui mekanisme APBD dan tidak diatur
dengan mekanisme yang memadai, serta belum adanya standard operating procedure
(SOP) yang memadai.
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Perwakilan Provinsi
Jabar masih menemukan masih masalah dalam penyusunan Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah (LKPD) tahun 2011 di delapan kota/kabupaten di Jawa barat

66
termasuk Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota Cirebon. Temuan tersebut terungkap
dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI atas LKPD tahun 2011, diantaranya:
(1) Bendahara pengeluaran dan bendahara pengeluaran pembantu pada pemkab/pemkot
tidak menyampaikan laporan pertanggungjawabannya. Para bendahara tidak menyetorkan
sisa kas pada akhir tahun anggaran secara tepat waktu, (2) Penatausahaan aset tetap
belum tertib, penyajiannya belum didukung daftar rincian, belum ada penomoran atau
kodefikasi. Bahkan ada aset tetap yang tidak diketahui keberadaannya, (3) Pengendalian
atas pengelolaan pendapatan daerah yang belum memadai, (4) Pengelolaan belanja
daerah yang belum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. BPK RI menemukan
realisasi belanja daerah yang belum dipertanggungjawabkan, dan (5) Ketidaklengkapan
dokumen pertanggungjawaban belanja perjalanan dinas, belanja bantuan keuangan,
bantuan sosial, belanja hibah dan bantuan parpol.
Hingga saat ini, menurut BPK, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah belum
memperbaiki sistem pengendalian internal sebagaimana diamanatkan Pasal 58 UU
Perbendaharaan Negara. Belum diperbaikinya sistem pengendalian intern pemerintah
daerah menjadi indikator bahwa Pemerintah Daerah belum menindak lanjuti temuan hasil
pemeriksaan yang telah disampaikan oleh BPK dan inspektorat.
Berdasarkan uraian latar belakang penelitian, maka mendorong peneliti untuk
melakukan penelitian mengenai pengaruh penerapan sistem akuntansi keuangan daerah,
pelaksanaan sistem pengendalian intern, dan pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan
laporan keuangan tahun sebelumnya di lingkungan Dinas Pemerintah Kabupaten dan
Kota Cirebon terhadap kualitas laporan keuangan yang disajikan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui, seberapa besar pengaruh
penerapan sistem akuntansi keuangan daerah, pelaksanaan sistem pengendalian intern,
dan pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan laporan keuangan tahun sebelumnya
baik secara simultan maupun parsial terhadap kualitas laporan keuangan yang dihasilkan
oleh Dinas.

67
2. Kajian Pustaka dan Hipotesis
Pengaruh Penerapan SAKD Terhadap Kualitas Laporan Keuangan
Pengertian sistem akuntansi menurut Bahtiar Arif, dkk (2009:162) adalah suatu
kumpulan dari elemen-elemen seperti formulir, prosedur dan catatan-catatan baik manual
maupun terkomputerisasi dalam rangka penyusunan laporan keuangan.
Sistem akuntansi memberikan prosedur tentang pengolahan informasi akuntansi
sejak data direkam dalam dokumen sampai dengan laporan dihasilkan (Indra Bastian
2007: 4). Adapun manfaat penerapan sistem akuntansi keuangan daerah berdasarkan
Standar Akuntansi Pemerintah (2010:11) adalah bertujuan untuk meningkatkan
akuntabilitas dan keandalan laporan keuangan pemerintah yang merupakan salah satu
karateristik dari laporan keuangan yang berkualitas.
Esensi dari definisi dan tujuan sistem akuntansi keuangan daerah, yang telah
diuraikan diatas menyatakan bahwa penerapan sistem akuntansi keuangan daerah dapat
memberikan jaminan agar informasi terkait tanggungjawab pengelolaan keuangan daerah
dapat disampaikan dengan tepat, efisien, ekonomis dengan laporan keuangan yang
berkualitas.

Pengaruh Pelaksanaan SPI Terhadap Kualitas Laporan Keuangan


COSO mendefinisikan sistem pengendalian intern sebagai suatu proses
yang dijalankan oleh dewan komisaris, manajemen dan personel lain entitas yang
didesain untuk memberikan keyakinan memadai tentang pencapaian tiga golongan tujuan
berikut ini: (1) keandalan pelaporan keuangan, (2) efektivitas dan efisiensi operasi, dan
(3) kepatuhan terhadap hukum yang berlaku.
Dari beberapa definisi sistem pengendalian intern yang telah diuraikan maka,
dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan sistem pengendalian intern dapat
mempengaruhi kualitas laporan kuangan, karena salah satu tujuan dan fungsi dari sistem
pengendalian intern adalah untuk menjamin keandalan laporan keuangan yang
merupakan salah satu komponen laporan keuangan yang berkualitas. Penerapan Sistem
Akuntansi Keuangan Daerah (SAKD) yang baik harus didukung dengan sistem
pengendalian intern yang baik pula. Tanpa adanya pengendalian intern tidak mungkin
dihasilkan laporan keuangan pemerintah daerah yang berkualitas.

68
Pengaruh Pelaksanaan Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Terhadap Kualitas
Laporan Keuangan
Pasal 43 dalam PP 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
menyatakan bahwa pimpinan instansi pemerintah wajib melakukan pemantauan Sistem
Pengendalian Intern. Pemantauan Sistem Pengendalian Intern, salah satunya dilaksanakan
melalui tindak lanjut hasil pemeriksaan dan reviu lainnya. Tindak lanjut hasil
pemeriksaan adalah menindaklanjuti saran dalam hasil pemeriksaan setelah hasil
pemeriksaan diterima. Tujuan dari pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan adalah
agar temuan dan kesalahan yang terjadi pada tahun sebelumnya dapat diperbaiki di tahun
sekarang maupun tahun berikutnya, sehingga di tahun anggaran berikutnya satuan kerja
perangkat daerah (SKPD) dapat menyajikan laporan keuangan yang bebas dari kesalahan
dan berkualitas.

Keterkaitan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah dengan Sistem Pengendalian


Intern
Mardiasmo (2009:35) menyatakan bahwa fungsi utama informasi akuntansi pada
dasarnya adalah pengendalian. Informasi akuntansi merupakan alat pengendalian yang
vital bagi organisasi karena bersifat kuantitatif. Hal senada dikatakan oleh Bahtiar Arif,
dkk (2009:17) mengatakan bahwa akuntansi.
James A. Hall (2008) mengatakan bahwa dalam sistem pengendalian intern
dilakukan verifikasi independen terhadap sistem akuntansi untuk mengidentifikasi
kesalahan dan salah penatsiran. Sedangkan Messier et al., (2006) mengatakan keterkaitan
sistem pengendalian intern dengan sistem akuntansi yaitu pengendalian digunakan untuk
mengecek akurasi, kelengkapan dan otorisasi dalam proses transaksi. Sistem
pengendalian intern untuk pengembangan program baru terhadap sistem akuntansi yang
ada seharusnya termasuk dokumentasi dan pengujian yang memadai sebelum diterapkan.
Entitas harus memiliki pengendalian yang menyakinkan bahwa setiap transaksi yang
terjadi dalam sistem akuntansi diotorisasi dengan baik dan entitas harus mendisain
dokumen dan catatan sehingga seluruh informasi yang relevan terungkap dalam sistem
akuntansi.

69
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat diartikan bahwa sistem
pengendalian intern memiliki hubungan dengan sistem akuntansi keuangan. Aktivitas
pengendalian akan berjalan dengan baik apabila didukung dengan sistem akuntansi yang
memadai. Dengan demikian, penerapan sistem akuntansi keuangan daerah yang memadai
dapat menentukan berjalan tidaknya sistem pengendalian intern.

Keterkaitan Sistem Pengendalian Intern Dengan Pelaksanaan Tindak Lanjut Hasil


Pemeriksaan.
Sistem Pengendalian Intern pemerintah terdiri atas unsur: lingkungan
pengendalian; penilaian risiko; kegiatan pengendalian; informasi dan komunikasi; dan
pemantauan pengendalian intern. Penerapan unsur Sistem Pengendalian Intern
pemerintah dilaksanakan menyatu dan menjadi bagian integral dari kegiatan Instansi
Pemerintah.
Pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan merupakan salah satu implementasi
dari unsur pemantauan pengendalian intern. Pemantauan Sistem Pengendalian Intern
dilaksanakan melalui pemantauan berkelanjutan, evaluasi terpisah, dan tindak lanjut
rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya. Evaluasi terpisah dapat dilakukan oleh aparat
pengawasan intern pemerintah atau pihak eksternal pemerintah. Tindak lanjut
rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya harus segera diselesaikan dan dilaksanakan
sesuai dengan mekanisme penyelesaian rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya yang
ditetapkan.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan tindak lanjut hasil
pemeriksaan berkaitan erat dengan sistem pengendalian intern, karena tindak lanjut hasil
pemeriksaan merupakan salah satu implementasi dari unsur sistem pengendalian intern.
Berdasarkan penjelasan-penjelesan di atas dan sebeleumnya, serta teori yang
mendasari penelitian ini, maka dapat disajikan paradigma penelitian yang tampak pada
Gambar 2.1 berikut.

70
Gambar 2.1
Model penelitian pengaruh penerapan SAKD, pelaksanaan SPI, dan pelaksanaan
tindak lanjut hasil pemeriksaan terhadap kualitas laporan keuangan SKPD
Variabel Independen Variabel Dependen

Penerapan SAKD

Kualitas laporan
Pelaksanaan SPI keuangan Dinas

Pelaksanaan tindak
lanjut hasil
pemeriksaan

Hipotesis
Dari kerangka pemikiran yang telah diuraikan sebelumnya, maka hipotesis yang
dapat diambil adalah semakin baik penerapan SAKD, pelaksanaan SPI, dan pelaksanaan
tindak lanjut hasil pemeriksaan baik secara simultan maupun parsial diduga berpengaruh
terhadap tingkat kualitas laporan keuangan yang dihasilkan.

3. Objek dan Metode Penelitian


Objek Penelitian
Penelitian ini terdiri dan dua variabel yaitu variabel independen (variabel
penyebab) dan variabel dependen (variabel akibat). Variabel independen pada penelitian
ini adalah penerapan sistem akuntansi keuangan daerah (SAKD), pelaksanaan sistem
pengendalian intern (SPI), dan pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan. Sedangkan
kualitas laporan keuangan sebagai variabel dependen. Objek penelitian dilakukan
terhadap dinas yang ada di Pemerintah Kabupaten dan Kota di Cirebon.

71
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi yang menjadi pengamatan dalam penelitian ini adalah seluruh dinas di
lingkungan kabupaten dan Kota Cirebon sebanyak 28 Dinas dan semua anggota populasi
akan diambil, dengan kata lain digunakan teknik sensus.

Uji Validitas Dan Reliabilitas


Nilai indeks validitas setiap butir pertanyaan lebih besar dari 0.279, hasil ini
mengindikasikan bahwa semua butir pertanyaan yang diajukan valid dan layak digunakan
untuk analisis selanjutnya. Sebelum data diolah lebih lanjut dilakukan uji reliabilitas.
Hasil pengujian menunjukkan nilai aronbach’s alpha masing-masing variabel tampak
pada tabel 3.1 berikut:
Tabel 3.1
Hasil Uji Reliabilitas Kuesioner Penelitian
Kuesioner Jumlah Koefisien Keterangan
pertanyaan reliabilitas
Penerapan SAKD 19 0.978 Reliabel
Pelaksanaan SPI 19 0.987 Reliabel
Kualitas Laporan 9 0.973 Reliabel
Keuangan

Metode analisis data yang digunakan adalah analisis jalur (path analysis) dengan
menggunakan alat bantu SPSS versi 20 didapat model penelitan adalah
Y = Pyx1X1 + Pyx2X2 + Pyx3X3 + Pyε

4. Hasil dan Pembahasan


Pada bagian ini akan disajikan hasil penelitian dan pembahasan yang diperoleh
dari penyebaran keusioner kepada responden sebagai sumber data utama. Kuesioner
terdiri dari 47 butir pertanyaan dengan rincian 19 pertanyaan mengenai penerapan Sistem
Akuntansi Keuangan Daerah (SAKD), 19 butir pertanyaan mengenai pelaksanaan Sistem
Pengendalian Intern (SPI), dan 9 butir pertanyaan untuk kualitas laporan keuangan.

72
Jumlah sample pada penelitian ini sebanyak 25 Dinas di lingkungan Pemerintah
Daerah Kota dan Kabupaten Cirebon. Metode yang digunakan untuk mengolah dan
menganalisis data pada penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis jalur sebagai
alat bantu dalam pengambilan keputusan.
Hasil analisis data setelah dilakukan uji validitas dan reliabilitas serta dilakukan MSI
(Method of Succesive Interval) menunjukkan kondisi sebagai berikut :
Y = 0.251X1 + 0.65X2 – 0.033 X3 + 0.308

Rekapitulasi Hasil Uji Ke 4 Hipotesis

Sig Kesimpulan

Uji Hipotesis Value Keterangan


Ho Ha
(α= 5%)

Ho : Semua PyXi= 0 ; i = 0%
1, 2, 3 Ditolak Diterima Signifikan
(+) dan
Ho : PyX1= 0 2.1% Ditolak Diterima Signifikan
(+) dan
Ho : PyX2= 0 0% Ditolak Diterima Signifikan
(-) dan Tidak
Ho : PyX3= 0 69.6% Diterima Ditolak Tignifikan

Berdasarkan dua persamaaan jalur diatas, maka didapat besarnya pengaruh


variabel sebagai berikut:
Dari tabel F untuk tingkat signifikan 0.05 dan derajat bebas (3,46) diperoleh nilai
F tabel 2.807. Karena dari hasil penelitian diperoleh nilai F hitung (34.4502) dan lebih
besar dibandingkan F tabel (2.807), maka pada tingkat kekeliruan 5% diputuskan untuk
menolak Ho sehingga Ha diterima. Jadi berdasarkan hasil pengujian dengan tingkat
kepercayaan 95% disimpulkan bahwa penerapan SAKD, pelaksanaan SPI, dan
pelaksanaan tindak lanjut pemeriksaan secara simultan berpengaruh signifikan terhadap

73
kualitas laporan keuangan pada Dinas di lingkungan Pemda Kota dan Kabupaten
Cirebon.

Berdasarkan hasil pengujian tersebut dapat juga dilihat nilai t-hitung variabel penerapan
SAKD (2.384) lebih besar dari t-tabel (2.013). Karena nilai t hitung lebih besar
dibandingkan t tabel, maka dengan tingkat kekeliruan 5% diputuskan untuk menolak Ho
sehingga Ha diterima. Jadi berdasarkan hasil pengujian statistik dengan tingkat
kepercayaan 95% disimpulkan bahwa penerapan SAKD berpengaruh signifikan terhadap
kualitas laporan keuangan pada Dinas-Dinas di lingkungan Pemda Kota dan Kabupaten
Cirebon dengan arah positif. Arah positif artinya dengan penerapan SAKD yang baik
akan meningkatkan kualitas laporan keuangan pada Dinas-Dinas di lingkungan Pemda
Kota dan Kabupaten Cirebon.
Berdasarkan hasil pengujian tersebut dapat juga dilihat nilai t-hitung variabel
pelaksanaan SPI (6.125) lebih besar dari t-tabel (2.013). Karena nilai t hitung lebih besar
dibandingkan t tabel, maka dengan tingkat kekeliruan 5% diputuskan untuk menolak Ho
sehingga Ha diterima. Jadi berdasarkan hasil pengujian statistik dengan tingkat
kepercayaan 95% disimpulkan bahwa pelaksanaan SPI berpengaruh signifikan terhadap
kualitas laporan keuangan pada Dinas-Dinas di lingkungan Pemda Kota dan Kabupaten
Cirebon dengan arah positif. Arah positif artinya dengan pelaksanaan SPI yang baik akan
meningkatkan kualitas laporan keuangan pada Dinas-Dinas di lingkungan Pemda Kota
dan Kabupaten Cirebon.
Berdasarkan hasil pengujian tersebut dapat juga dilihat nilai t-hitung variabel
pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan tahun sebelumnya (-0.393) lebih kecil dari t-
tabel (2.013). Karena nilai t hitung lebih kecil dibandingkan t tabel, maka dengan tingkat
kekeliruan 5% diputuskan untuk menerima Ho sehingga Ha ditolak. Jadi berdasarkan
hasil pengujian statistik dengan tingkat kepercayaan 95% disimpulkan bahwa
pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan tahun sebelumnya tidak berpengaruh
signifikan terhadap kualitas laporan keuangan pada Dinas-Dinas di lingkungan Pemda
Kota dan Kabupaten Cirebon dengan arah negatif. Arah negatif artinya menurut hasil
perhitungan statistik pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan yang baik tidak dapat

74
meningkatkan kualitas laporan keuangan pada Dinas-Dinas di lingkungan Pemda Kota
dan Kabupaten Cirebon.

5. Kesimpulan
Dari hasil pengolahan data yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, maka
peneliti dapat menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
Penerapan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah, Pelaksanaan Sistem Pengendalian
Intern, dan pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan tahun sebelumnya secara
bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap kualitas laporan keuangan pada
Dinas-Dinas di lingkungan Pemerintah Daerah Kota dan Kabupaten Cirebon.
Penerapan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah berpengaruh signifikan terhadap
kualitas laporan keuangan Dinas-Dinas di lingkungan Pemerintah Daerah Kota
dan Kabupaten Cirebon dengan arah positif. Arah positif artinya penerapan
Sistem Akuntansi Keuangan Daerah yang baik dapat meningkatkan kualitas
laporan keuangan Dinas-Dinas di lingkungan Pemerintah Daerah Kota dan
Kabupaten Cirebon.
Pelaksanaan Sistem Pengendalian Intern berpengaruh signifikan terhadap kualitas
laporan keuangan Dinas-Dinas di lingkungan Pemerintah Daerah Kota dan
Kabupaten Cirebon dengan arah positif. Arah positif artinya pelaksanaan Sistem
Pengendalian Intern yang baik akan meningkatkan kualitas laporan keuangan
Dinas-Dinas di lingkungan Pemerintah Daerah Kota dan Kabupaten Cirebon.
Pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan tahun sebelumnya berpengaruh
negatif, secara statistik dengan tingkat alpha 5% tidak signifikan terhadap kualitas
laporan keuangan Dinas-Dinas di lingkungan Pemerintah Daerah Kota dan
Kabupaten Cirebon. Arah negatif artinya pelaksanaan tindak lanjut hasil
pemeriksaan yang baik tidak dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan
Dinas-Dinas di lingkungan Pemerintah Daerah Kota dan Kabupaten Cirebon.
6. Saran
Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dalam
penelitian ini ada beberapa saran yang dapat dikemukakan, yakni:

75
Disarankan kepada setiap SKPD khususnya Dinas untuk rutin mengirimkan
pejabat dan para staff keuangannya untuk mengikuti berbagai pelatihan mengenai
sistem akuntansi keuangan pemerintahan agar bermanfaat bagi kualitas sumber
daya manusianya dalam bidang akuntansi dan pengelola keuangan.
Disarankan kepada setiap SKPD khususnya kepala Dinas untuk secara intensif
melakukan interaksi dengan pejabat pada tingkatan yang lebih rendah khususnya
pejabat penatausahaan keuangan dan melakukan supervisi periodik agar
bermanfaat bagi lingkungan pengendalian yang lebih baik lagi.
Tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan dan reviu audit lainnya hendaknya
dipertahankan untuk tahun-tahun anggaran berikutnya sehingga tidak ada lagi
peyimpangan yang ditemukan.
Bagi peneliti yang lain, perlu dilakukan penelitian lebih luas terhadap variabel-
variabel lain di luar variabel tentang peneliti uji.

76
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim, 2012, Akuntansi Sektor Puplik: Akuntansi Keuangan Daerah, Salemba
Empat
Bahtiar Arif, Muchlis, dan Iskandar, 2009, Akuntansi Pemerintahan, Akademia
Bastian Indra, 2007, Sistem Akuntansi Sektor Publik, Jakarta: Salemba Empat
Bastian indra, 2007, Audit Sektor Publik, Jakarta: Salemba Empat
BPK-RI, 2004, Himpunan Undang-Undang Bidang Keuangan Negara, Jakarata: P3KN
BPK RI, 2009, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I tahun 2009, Jakarta
Committee of Sponsoring Organization of The Treadway Commisions (COSO). Internal
Control – Integrated Framework, 2011.
Dyah Setyaningrum, 2012, Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Audit.
SNA XV Banjarmasin
Hall, James A., 2008, Accounting Information Systems, fourth Edition, Thomson, South-
Western
Husein Umar, 2003, Metode Riset Akuntansi Terapan, Ghalia Indonesia
Indriantoro, Nur dan Bambang Supomo. 1999. Metodologi Penelitian Bisnis.
Yogyakarta: BPFE
Indriasari, Desi dan Ertambang Nahartyo. 2008. Pengaruh kapasitas sumberdaya
manusia, pemanfaatan teknologi informasi, dan pengendalian intern akuntansi
terhadap nilai informasi pelaporan keuangan pemerintah daerah (studi pada
pemerintah kota palembang dan kabupaten ogan ilir). SNA XI Pontianak
Mardiasmo, 2009, Akuntansi Sektor Publik, Yogyakarta: Andi Yogyakarta
Meda Yulianti, 2010, Peran Audit Internal dan Sistem Pengendalian Intern Hubungannya
Dengan Keandalan Laporan Keuangan. Tesis, tidak dipublikasikan. Program
Pascasarjana Unpad. Bandung.
Muindro Renyowijiyo, 2008, Akuntansi Sektor Publik; organisasi non-laba, mitra
Wacana Media, Jakarta
Nurhayati soleha, 2011, Sistem Akuntansi Keuangan Daerah dan Aktivitas Pengendalian
Hubungannya Dengan Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Daerah. Thesis, tidak
dipublikasikan. Program Pascasarjana Unpad. Bandung.

77
Nurlan Darise, 2008, Akuntansi Keuangan Daerah: Akuntansi Sektor Publik, Indes,
Jakarta
Peraturan Mentri Dalam Negri No.13 tahun 2006 Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah
Peraturan Mentri Dalam Negri No.59 tahun 2007 Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah
Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
Sawyer, B Lawrence. 2005. Audit Internal Sawyer, Terjemahan Adidat Sarman dan
Bambang Pramono. Salemba Empat, Jakarta.
Sekaran, Uma, 2010, Research Method for Business: a Skill Building Approach, New
York: John Wiley & Sons Inc.
Sugiyono, 2009, Metode Penelitian Bisnis, Alfabeta, Bandung.
The IIA. 2009. Code Ethics. Melalui www.theiia.org
Tuasikal, Askam. 2008. Pengaruh Pengawasan, Pemahaman Sistem Akuntansi Keuangan
Dan Pengelolaan Keuangan Terhadap Kinerja Unit Satuan Kerja Pemerintah
Daerah. Dipublikasikan dalam jurnal Finance & Banking Vol: 10 No: 1.
Winidyaningrum, C., dan Rahmawati. 2010. Pengaruh sumberdaya manusia dan
pemanfaatan teknologi informasi terhadap keterandalan dan ketepatwaktuan
pelaporan keuangan pemerintah daerah dengan variabel intervening pengendalian
intern akuntansi. SNA XIII Purwokerto
United States Government Accountability Office (GAO), 2007 revision. Melalui
www.gao.gov
http://www.bpk.go.id

78

Anda mungkin juga menyukai