TERHADAP IKAN
BAB I
1. Suhu
1.1. pengertian suhu
Suhu adalah ukuran energi gerakan molekul. Di samudera, suhu bervariasi
secara horizontal sesuai garis lintang dan juga secara vertikal sesuai dengan
kedalaman. Suhu merupakan salah satu faktor yang penting dalam mengatur proses
kehidupan dan penyebaran organisme. Proses kehidupan yang vital yang secara
kolektif disebut metabolisme, hanya berfungsi didalam kisaran suhu yang relative
sempit biasanya antara 0-40°C, meskipun demikian bebarapa beberapa ganggang
hijau biru mampu mentolerir suhu sampai 85°C. Selain itu, suhu juga sangat penting
bagi kehidupan organisme di perairan, karena suhu mempengaruhi baik aktivitas
maupun perkembangbiakan dari organisme tersebut. Oleh karena itu, tidak heran jika
banyak dijumpai bermacam-macam jenis ikan yang terdapat di berbagai tempat di
dunia yang mempunyai toleransi tertentu terhadap suhu. Ada yang mempunyai
toleransi yang besar terhadap perubahan suhu, disebut bersifat euryterm. Sebaliknya
ada pula yang toleransinya kecil, disebut bersifat stenoterm. Sebagai contoh ikan di
daerah sub-tropis dan kutub mampu mentolerir suhu yang rendah, sedangkan ikan di
daerah tropis menyukai suhu yang hangat. Suhu optimum dibutuhkan oleh ikan untuk
pertumbuhannya. Ikan yang berada pada suhu yang cocok, memiliki selera makan
yang lebih baik.
Beberapa ahli mengemukakan tentang suhu :
Nontji (1987), menyatakan suhu merupakan parameter oseanografi yang mempunyai
pengaruh sangat dominan terhadap kehidupan ikan khususnya dan sumber daya
hayati laut pada umumnya.
Hela dan Laevastu (1970), hampir semua populasi ikan yang hidup di laut mempunyai
suhu optimum untuk kehidupannya, maka dengan mengetahui suhu optimum dari
suatu spesies ikan, kita dapat menduga keberadaan kelompok ikan, yang kemudian
dapat digunakan untuk tujuan perikanan.
Nybakken (1988), sebagian besar biota laut bersifat poikilometrik (suhu tubuh
dipengaruhi lingkungan) sehingga suhu merupakan salah satu faktor yang sangat
penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme.
Sesuai apa yg dikatakan Nybakken pada tahun 1988 bahwa Sebagian besar
organisme laut bersifat poikilotermik (suhu tubuh sangat dipengaruhi suhu massa air
sekitarnya), oleh karenanya pola penyebaran organisme laut sangat mengikuti
perbedaan suhu laut secara geografik. Berdasarkan penyebaran suhu permukaan laut
dan penyebaran organisme secara keseluruhan maka dapat dibedakan menjadi 4
zona biogeografik utama yaitu:
kutub,
tropic,
beriklim sedang panas dan
beriklim sedang dingin.
Terdapat pula zona peralihan antara daerah-daerah ini, tetapi tidak mutlak karena
pembatasannya dapat agak berubah sesuai dengan musim. Organisme perairan
seperti ikan maupun udang mampu hidup baik pada kisaran suhu 20-30°C.
Perubahan suhu di bawah 20°C atau di atas 30°C menyebabkan ikan mengalami stres
yang biasanya diikuti oleh menurunnya daya cerna (Trubus Edisi 425, 2005).
Oksigen terlarut pada air yang ideal adalah 5-7 ppm. Jika kurang dari itu maka
resiko kematian dari ikan akan semakin tinggi. Namun tidak semuanya seperti itu, ada
juga beberapa ikan yang mampu hidup suhu yang sangat ekstrim. Dari data satelit
NOAA, contoh jenis ikan yang hidup pada suhu optimum 20-30°C adalah jenis ikan
ikan pelagis. Karena keberadaan beberapa ikan pelagis pada suatu perairan sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor oseanografi. Faktor oseanografis yang dominan adalah
suhu perairan. Hal ini dsebabkan karena pada umumnya setiap spesies ikan akan
memilih suhu yang sesuai dengan lingkungannya untuk makan, memijah dan aktivitas
lainnya. Seperti misalnya di daerah barat Sumatera, musim ikan cakalang di Perairan
Siberut puncaknya pada musim timur dimana SPL 24-26°C, Perairan Sipora 25-27°C,
Perairan Pagai Selatan 21-23°C.
2. Salinitas
Salinitas didefinisikan sebagai jumlah berat garam yang terlarut dalam 1 liter
air, biasanya dinyatakan dalam satuan 0/00 (per mil, gram perliter). Di perairan
samudera, salinitas berkisar antara 340/00 – 350/00. Tidak semua organisme laut
dapat hidup di air dengan konsentrasi garam yang berbeda. Secara mendasar, ada 2
kelompok organisme laut, yaitu organisme euryhaline, yang toleran terhadap
perubahan salinitas, dan organisme stenohaline, yang memerlukan konsentrasi garam
yang konstan dan tidak berubah. Kelompok pertama misalnya adalah ikan yang
bermigrasi seperti salmon, eel, lain-lain yang beradaptasi sekaligus terhadap air laut
dan air tawar. Sedangkan kelompok kedua, seperti udang laut yang tidak dapat
bertahan hidup pada perubahan salinitas yang ekstrim. (Reddy, 1993).
Salinitas mempunyai peran penting dan memiliki ikatan erat dengan kehidupan
organisme perairan termasuk ikan, dimana secara fisiologis salinitas berkaitan erat
dengan penyesuaian tekanan osmotik ikan tersebut.
Faktor – faktor yang mempengaruhi salinitas :
1. Penguapan, makin besar tingkat penguapan air laut di suatu wilayah, maka salinitasnya
tinggi dan sebaliknya pada daerah yang rendah tingkat penguapan air lautnya, maka
daerah itu rendah kadar garamnya.
2. Curah hujan, makin besar/banyak curah hujan di suatu wilayah laut maka salinitas air
laut itu akan rendah dan sebaliknya makin sedikit/kecil curah hujan yang turun
salinitas akan tinggi.
3. Banyak sedikitnya sungai yang bermuara di laut tersebut, makin banyak sungai yang
bermuara ke laut tersebut maka salinitas laut tersebut akan rendah, dan sebaliknya
makin sedikit sungai yang bermuara ke laut tersebut maka salinitasnya akan tinggi.
Distribusi salinitas permukaan juga cenderung zonal. Air laut bersalinitas lebih
tinggi terdapat di daerah lintang tengah dimana evaporasi tinggi. Air laut lebih tawar
terdapat di dekat ekuator dimana air hujan mentawarkan air asin di permukaan laut,
sedangkan pada daerah lintang tinggi terdapat es yang mencair akan menawarkan
salinitas air permukaannya.
Di perairan lepas pantai yang dalam, angin dapat pula melakukan pengadukan di
lapisan atas hingga membentuk lapisan homogen kira-kira setebal 50-70 m atau lebih
bergantung intensitas pengadukan. Di perairan dangkal, lapisan homogen ini
berlanjut sampai ke dasar. Di lapisan dengan salinitas homogen, suhu juga biasanya
homogen. Baru di bawahnya terdapat lapisan pegat (discontinuity layer) dengan
gradasi densitas yang tajam yang menghambat percampuran antara lapisan di atas
dan di bawahnya. Di bawah lapisan homogen, sebaran salinitas tidak banyak lagi
ditentukan oleh angin tetapi oleh pola sirkulasi massa air di lapisan massa air di
lapisan dalam. Gerakan massa air ini bisa ditelusuri antara lain dengan mengakji sifat-
sifat sebaran salinitas maksimum dan salinitas minimum dengan metode inti (core
layer method).
Volume air dan konsentrasi dalam fluida internal tubuh ikan dipengaruhi oleh
konsentrasi garam pada lingkungan lautnya. Untuk beradaptasi pada keadaan ini ikan
melakukan proses osmoregulasi, organ yang berperan dalam proses ini adalah insang
dan ginjal. Osmoregulasi memerlukan energi yang jumlahnya tergantung pada
perbedaan konsentrasi garam yang ada antara lingkungan eksternal dan fluida dalam
tubuh ikan. Toleransi dan preferensi salinitas dari organisme laut bervariasi
tergantung tahap kehidupannya, yaitu telur, larva, juvenil, dan dewasa. Salinitas
merupakan faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan reproduksi pada
beberapa ikan dan distribusi berbagai stadia hidup. (Reddy, 1993).
3. Arus
Arus laut adalah gerakan massa air laut dari satu tempat ke tempat lain.
Arus laut dapat terjadi karena :
perbedaan salinitas massa air laut,
tiupan angin,
pasang surut, atau perbedaan permukaan samudera.
Arus karena perbedaan salinitas terjadi di kedalaman laut dan tidak dapat
dilihat gejalanya dari permukaan laut. Di permukaan samudera, arus laut terjadi
terutama karena tiupan angin. Arus yang terjadi di permukaan samudera memiliki
pola-pola tertentu yang tetap. Di tempat-tempat tertentu arus laut terjadi kerana
perbedaan ketinggian permukaan samudera. Di teluk-teluk atau muara sungai, arus
dipengaruhi oleh pasang surut.
BAB II
Penginderaan Jauh (remote sensing) adalah ilmu dan seni untuk memperoleh
informasi tentang suatu objek daerah, atau fenomena melalui analisis data yang
diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau
fenomena yang dikaji. (Lillesand dan Kiefer, 1998).
Lokasi tempat berkumpulnya ikan dapat ditentukan dengan kombinasi antara lain :
lokasi klorofil,
suhu permukaan laut
pola arus laut
cuaca, serta karakter toleransi biologis ikan terhadap suhu air.
Terdapat beda suhu di seantero muka laut. Hal ini disebabkan oleh naiknya lapisan air
laut di sebelah bawah ke atas (upwelling) karena perbedaan suhu. Kenaikan lapisan
air ini juga membawa zat makanan bagi kehidupan di laut. Jadi dengan mendeteksi
upwelling akan dapat pula memberi petunjuk akan adanya ikan. Di samping itu setiap
jenis ikan memiliki zona suhu yang tertentu sebagai habitatnya. Satu alternatif yang
sangat tepat untuk mengatasi masalah tersebut di atas adalah menggunakan
teknologi penginderaan jauh.
2. Mencegah terjadinya destruktif fishing, akibat penggunaan bahan peledak dan bahan
kimia/beracun.
Nelayan dapat mengetahui banyak ikan di daerah rumpon dengan beberapa ciri yang khas
yaitu :
2. Warna air akan telihat lebih gelap dibandingkan dengan warna air disekitarnya karena
banyak ikan yang bergerombol.
4.4. Silvofishery
Pengertian dan Definisi dari Silvofishery atau Wanamina adalah suatu pola
agroforestri yang digunakan dalam pelaksanaan program perhutanan sosial di
kawasan hutan mangrove. Petani dapat memelihara ikan dan udang atau jenis
komersial lainnya untuk menambah penghasilan, di samping itu ada kewajiban untuk
memelihara hutan Mangrove. Jadi prinsip silvofishery adalah perlindungan tanaman
mangrove dengan memberikan hasil dari sektor perikanan. Sistem ini mampu
menambah pendapatan masyarakat dengan tetap memperhatikan kelestarian hutan
mangrove. Silvofishery yang telah dikembangkan selama ini menggunakan jenis
Rhyzophora sp.
Tambak wanamina model jalur merupakan hasil modifikasi dari tambak wanamina
model empang parit. Pada tambak wanamina model ini terjadi penambahan saluran-
saluran di bagian tengah yang berfungsi sebagai empang. Sedangkan tambak model
tanggul, hutan mangrove hanya terdapat di sekeliling tanggul. Tambak jenis ini yang
berkembang di Kelurahan Gresik dan Kariangau Kodya Balikpapan. Berdasarkan 3
pola wanamina dan pola yang berkembang di masyarakat, direkomendasikan pola
wanamina kombinasi empat parit dan tanggul. Pemilihan pola ini didasarkan atas
pertimbangan:
Daftar Pustaka
Anonim, 2009. Teknologi Pengelolaan Kualitas Air Kualitas Air Dan Pengukurannya. Tersedia
online di :http://www.sith.itb.ac.id/d4_akuakultur_kultur_jaringan/bahan-
kuliah/1_Teknologi_Pengelolaan_Kualitas_Air_KUALITAS_AIR_DAN_PENGUKURANNYA.
pdf. Online tanggal 28 Oktober 2010.
Sucipto, Adi. 2008. Pengaruh salinitas dalam proses ormoregulasi ikan.
http://naksara.net/index.php?option=com_content&view=article&id=85:pengaruh
-salinitas- dalam-proses-
Bengen, D. G., 2000. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove.
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB 58 hal.
Brandt Tso, Paul Mather, 2009, Classification Methods For Remotely Sensed Data, Taylor &
Francis Group, LLC
Dahuri, Rokhmin., J. Rais., S.P.Ginting., M.J.Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah
Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu. Cetakan kedua, Penerbit Pradnya Paramita.
Jakarta.
Anonim. 2007. Klasifikasi Alat Penangkapan Ikan Indonesia. Balai Besar Pengembangan Penangkapan Ikan,
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Balai Riset Penangkapan Laut-BRKP, 1996.Musim Penangkpan Ikan Pelagis Besar (ikan Tuna).
http://www.fishyforum.com/fishysalt/fishyronment/96- musim-penangkapan-ikan-pelagis-
besar.html