Anda di halaman 1dari 25

PENGARUH SUHU , SALINITAS ,ARUS, CAHAYA DAN UPWELLING

TERHADAP IKAN

BAB I

PENGARUH SUHU , SALINITAS ,ARUS, CAHAYA DAN


UPWELLING TERHADAP IKAN

1. Suhu
1.1. pengertian suhu
Suhu adalah ukuran energi gerakan molekul. Di samudera, suhu bervariasi
secara horizontal sesuai garis lintang dan juga secara vertikal sesuai dengan
kedalaman. Suhu merupakan salah satu faktor yang penting dalam mengatur proses
kehidupan dan penyebaran organisme. Proses kehidupan yang vital yang secara
kolektif disebut metabolisme, hanya berfungsi didalam kisaran suhu yang relative
sempit biasanya antara 0-40°C, meskipun demikian bebarapa beberapa ganggang
hijau biru mampu mentolerir suhu sampai 85°C. Selain itu, suhu juga sangat penting
bagi kehidupan organisme di perairan, karena suhu mempengaruhi baik aktivitas
maupun perkembangbiakan dari organisme tersebut. Oleh karena itu, tidak heran jika
banyak dijumpai bermacam-macam jenis ikan yang terdapat di berbagai tempat di
dunia yang mempunyai toleransi tertentu terhadap suhu. Ada yang mempunyai
toleransi yang besar terhadap perubahan suhu, disebut bersifat euryterm. Sebaliknya
ada pula yang toleransinya kecil, disebut bersifat stenoterm. Sebagai contoh ikan di
daerah sub-tropis dan kutub mampu mentolerir suhu yang rendah, sedangkan ikan di
daerah tropis menyukai suhu yang hangat. Suhu optimum dibutuhkan oleh ikan untuk
pertumbuhannya. Ikan yang berada pada suhu yang cocok, memiliki selera makan
yang lebih baik.
Beberapa ahli mengemukakan tentang suhu :
 Nontji (1987), menyatakan suhu merupakan parameter oseanografi yang mempunyai
pengaruh sangat dominan terhadap kehidupan ikan khususnya dan sumber daya
hayati laut pada umumnya.
 Hela dan Laevastu (1970), hampir semua populasi ikan yang hidup di laut mempunyai
suhu optimum untuk kehidupannya, maka dengan mengetahui suhu optimum dari
suatu spesies ikan, kita dapat menduga keberadaan kelompok ikan, yang kemudian
dapat digunakan untuk tujuan perikanan.
 Nybakken (1988), sebagian besar biota laut bersifat poikilometrik (suhu tubuh
dipengaruhi lingkungan) sehingga suhu merupakan salah satu faktor yang sangat
penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme.
Sesuai apa yg dikatakan Nybakken pada tahun 1988 bahwa Sebagian besar
organisme laut bersifat poikilotermik (suhu tubuh sangat dipengaruhi suhu massa air
sekitarnya), oleh karenanya pola penyebaran organisme laut sangat mengikuti
perbedaan suhu laut secara geografik. Berdasarkan penyebaran suhu permukaan laut
dan penyebaran organisme secara keseluruhan maka dapat dibedakan menjadi 4
zona biogeografik utama yaitu:
 kutub,
 tropic,
 beriklim sedang panas dan
 beriklim sedang dingin.
Terdapat pula zona peralihan antara daerah-daerah ini, tetapi tidak mutlak karena
pembatasannya dapat agak berubah sesuai dengan musim. Organisme perairan
seperti ikan maupun udang mampu hidup baik pada kisaran suhu 20-30°C.
Perubahan suhu di bawah 20°C atau di atas 30°C menyebabkan ikan mengalami stres
yang biasanya diikuti oleh menurunnya daya cerna (Trubus Edisi 425, 2005).

Oksigen terlarut pada air yang ideal adalah 5-7 ppm. Jika kurang dari itu maka
resiko kematian dari ikan akan semakin tinggi. Namun tidak semuanya seperti itu, ada
juga beberapa ikan yang mampu hidup suhu yang sangat ekstrim. Dari data satelit
NOAA, contoh jenis ikan yang hidup pada suhu optimum 20-30°C adalah jenis ikan
ikan pelagis. Karena keberadaan beberapa ikan pelagis pada suatu perairan sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor oseanografi. Faktor oseanografis yang dominan adalah
suhu perairan. Hal ini dsebabkan karena pada umumnya setiap spesies ikan akan
memilih suhu yang sesuai dengan lingkungannya untuk makan, memijah dan aktivitas
lainnya. Seperti misalnya di daerah barat Sumatera, musim ikan cakalang di Perairan
Siberut puncaknya pada musim timur dimana SPL 24-26°C, Perairan Sipora 25-27°C,
Perairan Pagai Selatan 21-23°C.

1.2. Pengaruh suhu terhadap ikan


Menurut Laevastu dan Hela (1970), pengaruh suhu terhadap ikan adalah dalam
proses metabolisme, seperti pertumbuhan dan pengambilan makanan, aktivitas
tubuh, seperti kecepatan renang, serta dalam rangsangan syaraf. Pengaruh suhu air
pada tingkah laku ikan paling jelas terlihat selama pemijahan. Suhu air laut dapat
mempercepat atau memperlambat mulainya pemijahan pada beberapa jenis ikan.
Suhu air dan arus selama dan setelah pemijahan adalah faktor-faktor yang paling
penting yang menentukan “kekuatan keturunan” dan daya tahan larva pada spesies-
spesies ikan yang paling penting secara komersil. Suhu ekstrim pada daerah
pemijahan (spawning ground) selama musim pemijahan dapat memaksa ikan untuk
memijah di daerah lain daripada di daerah tersebut.

1.3. Dampak suhu terhadap ikan


Suhu berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan, mulai dari telur, benih
sampai ukuran dewasa. Suhu air akan berpengaruh terhadap proses penetasan telur
dan perkembangan telur. Rentang toleransi serta suhu optimum tempat
pemeliharaan ikan berbeda untuk setiap jenis/spesies ikan, hingga stadia
pertumbuhan yang berbeda. Suhu memberikan dampak sebagai berikut terhadap
ikan :
a) Suhu dapat mempengaruhi aktivitas makan ikan peningkatan suhu
b) Peningkatan aktivitas metabolisme ikan
c) Penurunan gas (oksigen) terlarut
d) Efek pada proses reproduksi ikan
e) Suhu ekstrim bisa menyebabkan kematian ikan. (Anonim, 2009. SITH ITB)

2. Salinitas
Salinitas didefinisikan sebagai jumlah berat garam yang terlarut dalam 1 liter
air, biasanya dinyatakan dalam satuan 0/00 (per mil, gram perliter). Di perairan
samudera, salinitas berkisar antara 340/00 – 350/00. Tidak semua organisme laut
dapat hidup di air dengan konsentrasi garam yang berbeda. Secara mendasar, ada 2
kelompok organisme laut, yaitu organisme euryhaline, yang toleran terhadap
perubahan salinitas, dan organisme stenohaline, yang memerlukan konsentrasi garam
yang konstan dan tidak berubah. Kelompok pertama misalnya adalah ikan yang
bermigrasi seperti salmon, eel, lain-lain yang beradaptasi sekaligus terhadap air laut
dan air tawar. Sedangkan kelompok kedua, seperti udang laut yang tidak dapat
bertahan hidup pada perubahan salinitas yang ekstrim. (Reddy, 1993).

Salinitas merupakan salah satu parameter lingkungan yang mempengaruhi


proses biologi dan secara langsung akan mempengaruhi kehidupan organisme antara
lain yaitu mempengaruhi laju pertumbuhan, jumlah makanan yang dikonsumsi, nilai
konversi makanan, dan daya kelangsungan hidup. (Andrianto, 2005).

2.1. Sebaran salinitas di laut


dipengaruhi oleh beberapa faktor menurut (Nontji, 1993) :
 pola sirkulasi air,
 penguapan,
 curah hujan, dan
 aliran air sungai.
Di perairan lepas pantai yang dalam, angin dapat pula melakukan pengadukan
lapisan atas hingga membentuk lapisan homogen sampai kedalaman 50-70 meter
atau lebih tergantung dari intensitas pengadukan.Di lapisan dengan salinitas
homogen suhu juga biasanya homogen, baru di bawahnya terdapat lapisan pegat
dengan degradasi densitas yang besar yang menghambat pencampuran antara
lapisan atas dengan lapisan bawah. (Nontji, 1993).

Salinitas mempunyai peran penting dan memiliki ikatan erat dengan kehidupan
organisme perairan termasuk ikan, dimana secara fisiologis salinitas berkaitan erat
dengan penyesuaian tekanan osmotik ikan tersebut.
Faktor – faktor yang mempengaruhi salinitas :
1. Penguapan, makin besar tingkat penguapan air laut di suatu wilayah, maka salinitasnya
tinggi dan sebaliknya pada daerah yang rendah tingkat penguapan air lautnya, maka
daerah itu rendah kadar garamnya.
2. Curah hujan, makin besar/banyak curah hujan di suatu wilayah laut maka salinitas air
laut itu akan rendah dan sebaliknya makin sedikit/kecil curah hujan yang turun
salinitas akan tinggi.
3. Banyak sedikitnya sungai yang bermuara di laut tersebut, makin banyak sungai yang
bermuara ke laut tersebut maka salinitas laut tersebut akan rendah, dan sebaliknya
makin sedikit sungai yang bermuara ke laut tersebut maka salinitasnya akan tinggi.

Distribusi salinitas permukaan juga cenderung zonal. Air laut bersalinitas lebih
tinggi terdapat di daerah lintang tengah dimana evaporasi tinggi. Air laut lebih tawar
terdapat di dekat ekuator dimana air hujan mentawarkan air asin di permukaan laut,
sedangkan pada daerah lintang tinggi terdapat es yang mencair akan menawarkan
salinitas air permukaannya.
Di perairan lepas pantai yang dalam, angin dapat pula melakukan pengadukan di
lapisan atas hingga membentuk lapisan homogen kira-kira setebal 50-70 m atau lebih
bergantung intensitas pengadukan. Di perairan dangkal, lapisan homogen ini
berlanjut sampai ke dasar. Di lapisan dengan salinitas homogen, suhu juga biasanya
homogen. Baru di bawahnya terdapat lapisan pegat (discontinuity layer) dengan
gradasi densitas yang tajam yang menghambat percampuran antara lapisan di atas
dan di bawahnya. Di bawah lapisan homogen, sebaran salinitas tidak banyak lagi
ditentukan oleh angin tetapi oleh pola sirkulasi massa air di lapisan massa air di
lapisan dalam. Gerakan massa air ini bisa ditelusuri antara lain dengan mengakji sifat-
sifat sebaran salinitas maksimum dan salinitas minimum dengan metode inti (core
layer method).

Volume air dan konsentrasi dalam fluida internal tubuh ikan dipengaruhi oleh
konsentrasi garam pada lingkungan lautnya. Untuk beradaptasi pada keadaan ini ikan
melakukan proses osmoregulasi, organ yang berperan dalam proses ini adalah insang
dan ginjal. Osmoregulasi memerlukan energi yang jumlahnya tergantung pada
perbedaan konsentrasi garam yang ada antara lingkungan eksternal dan fluida dalam
tubuh ikan. Toleransi dan preferensi salinitas dari organisme laut bervariasi
tergantung tahap kehidupannya, yaitu telur, larva, juvenil, dan dewasa. Salinitas
merupakan faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan reproduksi pada
beberapa ikan dan distribusi berbagai stadia hidup. (Reddy, 1993).

3. Arus
Arus laut adalah gerakan massa air laut dari satu tempat ke tempat lain.
Arus laut dapat terjadi karena :
 perbedaan salinitas massa air laut,
 tiupan angin,
 pasang surut, atau perbedaan permukaan samudera.

Arus karena perbedaan salinitas terjadi di kedalaman laut dan tidak dapat
dilihat gejalanya dari permukaan laut. Di permukaan samudera, arus laut terjadi
terutama karena tiupan angin. Arus yang terjadi di permukaan samudera memiliki
pola-pola tertentu yang tetap. Di tempat-tempat tertentu arus laut terjadi kerana
perbedaan ketinggian permukaan samudera. Di teluk-teluk atau muara sungai, arus
dipengaruhi oleh pasang surut.

3.1. Pengaruh arus terhadap keberadaan ikan


Arus sangat mempengaruhi penyebaran ikan, hubungan arus terhadap penyebaran
ikan adalah arus mengalihkan telur-telur dan anak-anak ikan pelagis dan daerah pemijahan
ke daerah pembesaran dan ke tempat mencari makan. Migrasi ikan-ikan dewasa
disebabkan arus, sebagai alat orientasi ikan dan sebagai bentuk rute alami; tingkah laku ikan
dapat disebabkan arus, khususnya arus pasut, arus secara langsung dapat mempengaruhi
distribusi ikan-ikan dewasa dan secara tidak langsung mempengaruhi pengelompokan
makanan. (Lavastu dan Hayes 1981).
Ikan bereaksi secara langsung terhadap perubahan lingkungan yang dipengaruhi oleh
arus dengan mengarahkan dirinya secara langsung pada arus. Arus tampak jelas dalam organ
mechanoreceptor yang terletak garis mendatar pada tubuh ikan. Mechanoreceptor adalah
reseptor yang ada pada organisme yang mampu memberikan informasi perubahan mekanis
dalam lingkungan seperti gerakan, tegangan atau tekanan. Biasanya gerakan ikan selalu
mengarah menuju arus. (Reddy, 1993).
Fishing ground yang paling baik biasanya terletak pada daerah batas antara dua arus
atau di daerah upwelling dan divergensi. Batas arus (konvergensi dan divergensi) dan kondisi
oseanografi dinamis yang lain (seperti eddies), berfungsi tidak hanya sebagai perbatasan
distribusi lingkungan bagi ikan, tetapi juga menyebabkan pengumpulan ikan pada kondisi ini.
Pengumpulan ikan-ikan yang penting secara komersil biasanya berada pada tengah-tengah
arus eddies. Akumulasi plankton, telur ikan juga berada di tengah-tengah antisiklon eddies.
Pengumpulan ini bisa berkaitan dengan pengumpulan ikan dewasa dalam arus eddi (melalui
rantai makanan). (Reddy, 1993).
4. Cahaya
Disebutkan bahwa cahaya merangsang dan menarik ikan (fototaxis positif),
sifat fototaxis ini dapat berubah – ubah tergantung kepada tingkathidup dan
kedewasaan jenis ikan itu sendiri (Brand, 1964).
Ikan tertarik oleh cahaya melalui penglihatan (mata) dan rangsangan melalui
otak (pineal region pada otak). Peristiwa tertariknya ikan pada cahaya disebut
phototaxis. Dengan demikian, ikan yang tertarik oleh cahaya hanyalah ikan-ikan
fhototaxis, yang umumnya adalah ikan-ikan pelagis.
Ada beberapa alasan mengapa ikan tertarik oleh cahaya, antara lain adalah
penyesuaian intensitas cahaya dengan kemampuan mata ikan untuk menerima
cahaya. Dengan demikian, kemampuan ikan untuk tertarik pada suatu sumber cahaya
sangat berbeda-beda. Ada ikan yang sangat senang pada intensitas cahaya yang
rendah, tetapi ada pula ikan yang senang terhadap intensitas cahaya yang tinggi.
Menurut Nikonorov (1975), menyatakan bahwa tingkah laku ikan di bawah
sumber cahaya lampu, adalah tidak normal karena ikan tidak dapat meninggalkan
sumber cahaya lampu, bahkan kadang – kadang terdapat keganjilan, misalnya ada
beberapa tingkah laku ikan yang terlihat mendekati sumber cahaya, kemudian
berenang cepat sekali sambil berputar – putar mengelilingi sumber cahaya, sesudah
itu berlompatan ke atas permukaan.
Menurut Ben Yami, M (1976) bahwa adanya cahaya bulan dalam light fishing
memberikan pengaruh negatif, cahaya bulan membuat ikan menjadi enggan, bahkan
tidak lagi tertarik pada cahaya lampu. Hal ini disebabkan karena penerangan cahaya
lampu berkurang oleh adanya cahaya bulan,
Laevastu dan Hela (1970), menyatakan bahwa dengan diketahui sifat fototaxis,
maka biasanya penangkapan ikan akan lebih efektif di lakukan sebelum tengah
malam, hal ini disebabkan adanya memanjang dan memendekannya sel – sel kerucut
retina mata ikan. Jenis – jenis ikan yang mudah ditarik dan dikumpulkan dengan
cahaya lampu antara lain : Ikan Lemuru (Sardinella longiceps), Ikan Layang
(Decapterus russeli), Ikan Kembung (Rastrelliger, sp), Cumi – cumi (Loligo sp) dan ikan
lainnya.
Subani (1972) menyatakan bahwa pada waktu bulan purnama tingkat
keberhasilan penangkapan ikan dengan menggunakan cahaya lampu biasanya
rendah. Hal ini karena cahaya terbagi rata, padahal penangkapan ikan dengan lampu
diperlukan keadaan gelap guna menarik ikan – ikan ke titik yang terang.
Menurut laevastu dan Hela (1970) menyatakan bahwa ikan – ikan pelagis
hanya berkumpul pada suatu titik cahaya selama 1 – 2 jam setelah itu ikan akan
menyebar menjauhi cahaya. Hal ini disebabkan karena ikan – ikan sudah kenyang
atau juga adanya pemangsa (predator) yang berputar – putar mengililingi cahaya
lampu serta berlompatan ke permukaan perairan.
Menurut Nomura dan Yamazaki (1977), bahwa dengan menggunakan cahaya
lampu sebagai pemikat ikan maka ;
a. Nelayan tidak sulit mencari gerombolan ikan.
b. Hasil tangkapan cenderung lebih pasti jumlahnya, dan meningkat.
c. Menghemat waktu dan lain – lainnya.
Usemahu dan Tomasila (2003) menyatakan agar penangkapan dengan cahaya
lampu dapat memberikan hasil dan daya guna yang maksimal diperlukan syarat –
syarat antara lain sebagai berikut ;
a. Mampu mengumpulkan ikan yang berada pada jarak jauh.
b. Ikan – ikan tersebut hendaklah akan tertangkap (catchable area).
c. Setelah ikan terkumpul, hendaklah ikan –ikan tersebut tetap berada di san pada
suatu jangka waktu tertentu, dan
d. Sekali ikan terkumpul pada sumber cahaya hendaklah ikan – ikan tersebut tidak
melarikan diri ataupun menyebarkan diri (berserakan).

4.1. Pengaruh cahaya


Ikan bersifat fototaktik (responsif terhadap cahaya) baik secara positif maupun
negatif. Banyak ikan yang tertarik pada cahaya buatan pada malam hari, satu fakta yang
digunakan dalam penangkapan ikan. Pengaruh cahaya buatan pada ikan juga dipengaruhi
oleh faktor lingkungan lain dan pada beberapa spesies bervariasi terhadap waktu dalam
sehari. Secara umum, sebagian besar ikan pelagis naik ke permukaan sebelum matahari
terbenam. Setelah matahari terbenam, ikan-ikan ini menyebar pada kolom air, dan tenggelam
ke lapisan lebih dalam setelah matahari terbit. Ikan demersal biasanya menghabiskan waktu
siang hari di dasar selanjutnya naik dan menyebar pada kolom air pada malam hari.
Cahaya mempengaruhi ikan pada waktu memijah dan pada larva. Jumlah cahaya
yang tersedia dapat mempengaruhi waktu kematangan ikan. Jumlah cahaya juga
mempengaruhi daya hidup larva ikan secara tidak langsung, hal ini diduga berkaitan dengan
jumlah produksi organik yang sangat dipengaruhi oleh ketersediaan cahaya. Cahaya juga
mempengaruhi tingkah laku larva. Penangkapan beberapa larva ikan pelagis ditemukan lebih
banyak pada malam hari dibandingkan pada siang hari. (Reddy, 1993).
5. Upwelling
5.1. Pengertian Upwelling
Upwelling adalah penaikan massa air laut dari suatu lapisan dalam ke lapisan
permukaan. Gerakan naik ini membawa serta air yang suhunya lebih dingin, salinitas tinggi,
dan zat-zat hara yang kaya ke permukaan (Nontji, 1993). Menurut Barnes (1988), proses
upwelling ini dapat terjadi dalam tiga bentuk yaitu :
1. Pertama, pada waktu arus dalam (deep current) bertemu dengan rintangan seperti mid-ocean
ridge (suatu sistem ridge bagian tengah lautan) di mana arus tersebut dibelokkan ke atas dan
selanjutnya air mengalir deras ke permukaan.
2. Kedua, ketika dua massa air bergerak berdampingan, misalnya saat massa air yang di utara di
bawah pengaruh gaya coriolis dan massa air di selatan ekuator bergerak ke selatan di bawah
pengaruh gaya coriolis juga, keadaan tersebut akan menimbulkan “ruang kosong” pada
lapisan di bawahnya. Kedalaman di mana massa air itu naik tergantung pada jumlah massa air
permukaan yang bergerak ke sisi ruang kosong tersebut dengan kecepatan arusnya. Hal ini
terjadi karena adanya divergensi pada perairan laut tersebut.
3. Ketiga, upwelling dapat pula disebabkan oleh arus yang menjauhi pantai akibat tiupan angin
darat yang terus-menerus selama beberapa waktu. Arus ini membawa massa air permukaan
pantai ke laut lepas yang mengakibatkan ruang kosong di daerah pantai yang kemudian diisi
dengan massa air di bawahnya.
Meningkatnya produksi perikanan di suatu perairan dapat disebabkan karena
terjadinya proses air naik (upwelling). Karena gerakan air naik ini membawa serta air yang
suhunya lebih dingin, salinitas yang tinggi dan tak kalah pentingnya zat-zat hara yang kaya
seperti fosfat dan nitrat naik ke permukaan. (Nontji, 1993).
5.2. Meningkatnya densitas ikan pelagis pada perairan upwelling disebabkan oleh
ketersediaan makanan yang cukup untuk larva dan ikan kecil dan besar.
Termasuk ikan pelagis pemangsa seperti tuna yang bermigrasi ke dekat lokasi upwelli
ng. Perairan upwelling dicirikan dengan nilai suhu permukaan laut yang rendah di
bawah 28C dan diikuti naiknya kandungan klorofil-a (0.8 - 2.0 mg).
Berdasarkan beberapa penelitian, upwelling di Indonesia terjadi antara lain :
1. di Samudra Hindia selatan
2. Pulau Jawa
3. Nusa Tenggara Barat
4. Sumatra,
5. laut di Kepulauan Maluku,
6. Selat Makasar, perairan Kepulauan Selayar, Laut Banda dan Laut Arafura.
Pergerakan massa air yang disebabkan oleh perubahan iklim musiman (monsoon)
juga berperan dalam penyebaran (migrasi) ikan terutama jenis pelagis. Wilayah yang
di pengaruhi oleh fenomena ini adalah
1. Proses pelepasan material (discharge) yang beragam dari pantai ke
laut merupakan fenomena oseanografi yang berpotensi
dapat menurunkan kualitas air.
2.
Selanjutnya di khawatirkan akan mengganggu kese imbangan ekosistem pesisir sert
a penurunan potensi sumberdaya perikanan laut.

5.3. Tipe upwelling


setidaknya ada 5 tipe Upwelling, yaitu :
1. Coastal upwelling
Merupakan upwelling yang paling umum diketahui, karena membantu aktivitas
manusia dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan. Upwelling ini terjadi karena,
efek coriolis yang membelokan angin kemudian permukaan laut akan terbawa oleh
angin menjauhi pesisir, sehingga air laut dalam yang mengadung nutrien sangat
tinggi, akan menggantikan air permukaan yang terbawa oleh angin. Daerah yang
sering terjadi coastal upwelling adalah pesisir Peru, Chili, Laut Arabia, Barat Daya
Afrika, Timur New Zealand, Selatan Brazil, dan pesisir California
2. Equatorial Upwelling
Serupa dengan coastal upwelling namun, lokasi terjadi berada di daerah
equator.
3. Southern Ocean Upwelling
Upwelling yang disebabkan oleh angin yang berhembus dari barat bertiup ke arah
timur di daerah sekitar Antartica membawa air dalam jumlah yang sangat besar ke
arah utara. Upwelling ini serupa dengan coastal upwelling, namun berbeda dalam
lokasi, karena pada daerah selatan tidak ada benua atau daratan besar antara
Amerika Selatan dan Antartika, sehingga upwelling ini membawa air dari daerah laut
dalam.
4. Tropical Cyclone Upwelling
Upwelling yang disebakan oleh tropical cyclone yang melewati area. Biasanya hanya
terjadi pada cyclone yang memiliki kecepatan 5 mph (8 km/h).
5. Artificial Upwelling
Tipe upwelling, yang disebabkan oleh energi gelombang atau konversi dari energi
suhu laut yang dipompakan ke permukaan. Upwelling jenis ini yang menyebabkan
blooming algae Secara ekologis, efek dari upwelling berbeda-beda, namun ada dua
akibat yang utama :
 Pertama, upwelling membawa air yang dingin dan kaya nutrien dari lapisan dalam,
yang mendukung pertumbuhan seaweed dan blooming phytoplankton. Blooming
phytoplankton tersebut membentuk sumber energi bagi hewan-hewan laut yang
lebih besar termasuk ikan laut, mamalia laut, serta burung laut.
 Akibat kedua dari upwelling adalah pada pergerakan hewan. Kebanyakan ikan laut
dan invertebrata memproduksi larva mikroskopis yang melayang-layang di kolom air.
Larva-larva tersebut melayang bersama air untuk beberapa minggu atau bulan
tergantung spesiesnya. Spesies dewasa yang hidup di dekat pantai, upwelling dapat
memindahkan larvanya jauh dari habitat asli, sehingga mengurangi harapan
hidupnya. Upwelling memang dapat memberikan nutrien pada perairan pantai untuk
produktifitas yang tinggi, namun juga dapat merampas larva ekosistem pantai yang
diperlukan untuk mengisi kembali populasi pantai tersebut.

BAB II

MARINE REMOTE SENSING,BIOLOGI OCEONOGRAFI,


PERAMALAN UPAYA PERIKANAN TANGKAP,
SILVOFISHERY DAN SEARANCHING
1.1. Marine remote sensing
a. Pengertian Penginderaan Jauh (Remote Sensing)
Berikut adalah pengertian Pengindraan jauh menurut beberapa ahli :
Penginderaan jauh (remote sensing), yaitu penggunaan sensor radiasi
elektromagnetik untuk merekam gambar lingkungan bumi yang dapat
diinterpretasikan sehingga menghasilkan informasi yang berguna. (Curran, 1985).

Penginderaan Jauh (remote sensing) adalah ilmu dan seni untuk memperoleh
informasi tentang suatu objek daerah, atau fenomena melalui analisis data yang
diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau
fenomena yang dikaji. (Lillesand dan Kiefer, 1998).

Penginderaan jauh merupakan suatu ilmu, karena terdapat suatu sistimatika


tertentu untuk dapat menganalisis informasi dari permukaan bumi, ilmu ini harus
dikoordinasi dengan beberapa pakar ilmu lain seperti ilmu geologi, tanah, perkotaan
dan lain sebagainya. (Everett Dan Simonett 1976)
b. Aplikasi Dari Remote Sensing
1) Radar Konvensional radar ini kebanyakan terkait dengan kontrol lalu lintas udara,
peringatan dini, dan beberapa berskala besar berhubung dgn Data cuaca. Doppler
radar digunakan untuk peraturan pemantauan batas kecepatan dan yang terhubung
dgn cuaca seperti kecepatan dan arah angin dalam sistem cuaca, Jenis koleksi
termasuk plasmas aktif di ionosfir). Interferometric sintetis kecepatan rana radar
digunakan untuk memproduksi model elevasi digital tepat besar skala daerah (lihat
RADARSAT, TerraSAR-X, Magellan).
2) Laser altimeters dan radar pada satelit telah memberikan berbagai macam data.
Dengan mengukur bulges air yang disebabkan oleh gravitasi, radar pada satelit
memiliki fitur peta seafloor ke resolusi mil atau lebih. Dengan mengukur dan
ketinggian gelombang-panjang gelombang laut, yang altimeters mengukur
kecepatan dan arah angin, dan permukaan laut dan dasar laut.
3) LIDAR Light Deteksi yang lebih dikenal pada contoh dari persenjataan, laser
illuminated kepulangan dari projectiles. LIDAR digunakan untuk mendeteksi dan
mengukur konsentrasi berbagai bahan kimia di udara, sementara udara LIDAR dapat
digunakan untuk mengukur tinggi dan memiliki obyek di lapangan yang lebih akurat
dibandingkan dengan teknologi radar. Vegetasi jarak jauh adalah penerapan prinsip
LIDAR.
4) Radiometers dan photometers adalah instrumen yang paling umum digunakan, dan
mengumpulkan data tercermin emitted radiasi dalam berbagai frekuensi. Yang paling
umum yang terlihat dan sensor inframerah, diikuti oleh microwave, gamma ray dan
jarang, ultraungu. Mereka dapat juga digunakan untuk mendeteksi emisi Spectra
berbagai bahan kimia, menyediakan data kimia konsentrasi dalam suasana.
5) Stereographic atau foto udara yang sering digunakan untuk membuat peta topografi
oleh Citra Analis, Terrain Analis di trafficability raya dan departemen untuk rute
potensial.
6) Simultaneous multi-platform seperti Landsat telah digunakan sejak 70's. Tematik
mappers ini mengambil gambar dalam beberapa wavelengths dari radiasi elektro-
magnetik (multi-hantu) dan biasanya ditemukan pada pengamatan satelit bumi,
misalnya program lansat atau IKONOS satelit. Peta tanah dan penutup lahan dari
pemetaan tematik dapat digunakan pertambangan,mineral, mendeteksi atau
memantau penggunaan tanah, hutan, dan memeriksa kesehatan adat dan tanaman
perkebunan, termasuk seluruh daerah pertanian atau hutan.
7) Di dalam medan peperangan dan berbahaya pengindraan jarak jauh memungkinkan
untuk tindak lanjut dan memantau daerah berisiko dalam jangka panjang, untuk
menentukan faktor desertifikasi, untuk mendukung para pengambil keputusan dalam
menentukan langkah-langkah yang relevan dari pengelolaan lingkungan hidup, dan
untuk menilai dampak – dampaknya.

c. Penerapan Teknologi Inderaja Untuk Penangkapan Ikan


Inderaja dengan menggunakan satelit merupakan sarana yang sangat
bermanfaat dalam mengelola sumberdaya perikanan secara bijaksana, termasuk
kegunaanya untuk mendeteksi zona potensi penangkapan ikan. Untuk perikanan,
bukanlah ikan yang tampak langsung, tetapi adalah fenomena alam yang
memungkinkan adanya ikan di suatu tempat, karena pada tempat itu banyak terdapat
makanan ikan dan mempunyai kondisi lingkungan yang sesuai dengan jenis ikan
tertentu.
Terdapat sejenis plankton yang mengandung klorofil (zat hijau daun).
Plankton ini merupakan makanan ikan-ikan kecil yang pada gilirannya akan menjadi
makanan bagi ikan yang lebih besar. Jadi dengan mendeteksi lokasi klorofil, maka
secara tak langsung akan mendeteksi lokasi yang mungkin banyak ikannya. Cara
mendeteksi klorofil ini, pada dasarnya adalah sangat sederhana. Sensor yang ada
pada satelit diberi filter hijau (band hijau) secara digital, artinya detektor akan
mendeteksi sinar hijau saja. Jadi sensor mendeteksi klorofil yang ada di laut. Tentu
saja sangat perlu dilakukan beberapa sample pengukuran di laut (in-site, pengukuran
di tempat), karena belum tentu sinar hijau yang dicatat oleh sensor satelit berasal dari
klorofil. Setelah melakukan pengukuran di beberapa tempat dengan kapal misalnya,
maka kini dapat dilakukan interpolasi atau ekstrapolasi terhadap data / citra satelit
yang mempunyai liputan yang sangat luas itu; situasi klorofil pada lokasi yang luas
dapat ditentukan dengan cepat. Seterusnya para nelayan akan diberi tahu untuk
menentukan daerah operasi mereka.

d. Pengukuran kondisi atau faktor oseanografi perairan dilakukan dengan cara :


 Suhu
Pengukuran suhu dilakukan setiap jam di lokasi penangkapan ikan. Pengukuran suhu
permukaan laut digunakan untuk verifikasi perhitungan suhu dari satelit NOAA.
Jadwal lintasan satelit NOAA diperoleh dari prediksi orbit dari stasiun NOAA.
 Salinitas
Salinitas diukur pada saat penangkapan di lokasi ZPPI.
 Arus permukaan
Arus permukaan diukur di lokasi penangkapan ikan, baik arah maupun
kecepatannya
 Kedalaman perairan, kondisi laut, cuaca
Ketiga parameter tersebut diukur di lokasi ZPPI pada saat penangkapan ikan
dilakukan. Kedalaman perairan diukur dengan menggunakan fish finder

e. Ada dua jenis penginderaan jarak jauh.


1) Penginderaan Pasif , Sensor mendeteksi radiasi alam yang tercermin emitted atau
objek atau sekitarnya yang diamati. Tercermin dari sinar matahari biasanya
penginderaan ini menggunakan sumber radiasi diukur oleh sensor pasif. Contoh
penginderaan pasif termasuk sensor film fotografi, infra-merah, yang digabungkan
perangkat, dan radiometers. , di sisi lain, energi emits untuk memindai benda dan
daerah mana yang pasif Sensor kemudian mendeteksi dan mengukur radiasi yang
dipantulkan atau backscattered dari target.
2) Penginderaan aktif, Radar adalah contoh penginderaan aktif dari jarak jauh di mana
waktu tunda antara emisi dan kembali diukur, membangun lokasi, ketinggian,
kecepatan dan arah obyek.

2.2. Biologi oseanograffi


a. Pengertian Oseanografi
Dengan kata lain Oceanografi itu ialah Scientific study dan explorasi lautan dan laut-
laut serta semua aspek-aspek dan fenomenanya. Termasuk sedimen,batuan yang membentuk
dasar laut, interaksi antara laut dengan atmosfer, pergerakan air, serta faktor-faktor tenaga
yang menyebabkan adanya gerakan tersebut baik tenaga dari dalam maupun tenaga dari
luar, kehidupan organisma, susunan kimia air laut, serta asal mula terjadinya lautan dan laut-
laut purbakala. Oleh karena itu oceanografi dikatakan sebagai suatu disiplin ilmu mengenai
laut yang terdiri dari beberapa cabang ilmu pengetahuan seperti ilmu geologi, meteorology,
biologi, kimia fisis, geofisika, geokimia, gerakan mekanis dan aspek-aspek teoritis yang harus
menggunakan ilmu pasti.
Cakupan oseanografi yaitu organisme lsut dan dinamika fluida, tektonik lempeng dan
geologi dasar laut, dan aliran berbagai zat kimia dan sifat fisik di dalam samudra dan pada
batas- batasnya, juga mengenai samudra dan memahami proses di dalamnya, seperti proses
biologi, kimia, geologi, meteorology, dan fisika.
Sahala Hutabarat dan Stewart M.Evans (1985: 1), oseanografi dibagi menjadi empat cabang
ilmu, yaitu :
1) Fisika Oseanografi
Fisika oseanografi yaitu ilmu yang mempelajari hubungan antara sifat-sifat fisika yang terjadi
dalam lautan sendiri dan yang terjadi antara lautan dengan atmosfer dan daratan termasuk
kejadian-kejadian seperti terjadinya tenaga pembangkit pasang dan
gelombang,arus,temperatur air laut, iklim dan sistem arus yang terdapat di lautan.
2) Geologi Oseanografi
Yaitu yang mempelajari lantai samudra atau litosfer di bawah laut. Ilmu geologi penting
artinya bagi kita dalam mempelajari asal terbentuknya lautan, termasuk di dalamnya
penelitian tentang lapisan kerak bumi, gunung berapi dan terjadinya gempa bumi. Geologi
oseanografi juga menjelaskan struktur dari bebatuan dan bentuk- bentuk fisik dari lautan
tersebut, misalnya adanya palung laut, lembah laut, lubuk laut, lembah, dll serta memelajari
terjadinya patahan- patahan yang menyebabkan gempa bumi di laut.
3) Kimia Oseanografi
Kimia oseanografi yaitu ilmu yang berhubungan dengan reaksi-reaksi kimia yang terjadi di
dalam dan di dasar laut dan juga menganalisa sifat-sifat dari air laut itu sendiri.Misalnya kadar
garam yang terdapat dalam air laut, zat- zat kimia yang mencemari, dll. Garam-garaman
utama yang terdapat dalam air laut adalah klorida (55%), natrium (31%), sulfat (8%),
magnesium (4%), kalsium (1%), potasium (1%) dan sisanya (kurang dari 1%) teridiri dari
bikarbonat, bromida, asam borak, strontium dan florida. Tiga sumber utama garam-garaman
di laut adalah pelapukan batuan di darat, gas-gas vulkanik dan sirkulasi lubang-lubang
hidrotermal (hydrothermal vents) di laut dalam.
4) Biologi Oseanografi
Biologi oseanografi adalah cabang ilmu oseanografi yang sering dinamakan Biologi Laut yang
mempelajari semua organisme yang hidup di lautan termasuk binatang-binatang yang
berukuran sangat kecil (plankton) sampai yang berukuran besar dan tumbuh-tumbuhan air
laut. Di lautanpun juga terdapat kehidupan seperti di daerah terestial, misalnya fitoplankton,
zooplankton, terumbu karang, nekton, bentos, dan lain- lain.

b. Pembagian ilmu oseanografi biologi


Pada pembagian bidang ilmu oseanografi talah disebutkan bahwa terdapat
cabang ilmu biologi oseanografi. Pada biologi oseanografi, kajian yang dipelajari
adalah kehidupan di laut, baik mempelajari tentang makhluk hidup yang ada di laut
maupun interaksinya dengan lingkunganya. Biologi oseanografi dipelajari karena
beberapa alasan antara lain; laut merupakan penyedia sumber makanan, penyedia
sumber obat, tempat rekreasi dan pariwisata. Biologi kelautan mencakup skala yang
luas, dari mikro seperti plankton dan fitoplankton sampai hewan besar seperti
paus.Dalam penerapannya, antara oseanografi dan biologi khususnya biologi
kelautan mempunyai saling keterkaitan. Seperti contoh suatu ekosistem perairan laut
mempunyai suatu keadaan lingkungan laut yang bisa mempengaruhi jumlah
komunitas mahkluk hidup yang tinggal di laut tersebut. Keadaan laut tersebut bisa
dipelajari dalam oseanografi. Keadaan laut yang dipelajari tidak hanya tentang cuaca
di atas laut, tetapi juga keadaan lautnya, bagaimana kedalaman lautnya, bagaimana
arus air lautnya serta bagaimana kandungan zat kimia yang mungkin terlarut dalam
air laut tersebut.

Faktor-faktor yang ditinjau antara lain :


 Batimetri,
 Keterbukaan perairan,
 pola arus,
 pasang surut,
 masukan dari daratan,
 konsentrasi klorofil-a, dan nutrien esensial.

3.3. Peramalan upaya perikanan tangkap


1. peramalan secara modern dengan menggunakan remote sensing
Mengapa penting :
Untuk keakuratan estimasi fishing ground, yang perlu dilakukan
mengkolaborasikan data acoustic, citra satelit remote sensing dan data oseanograifi
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a) Langkah dasarnya dengan metode remote sensing satelit, secara ex situ kita harus
menemukan perairan yang memiliki klorofil (plankton).
b) Kemudian, menganalisis hubungannya dengan data oseanografi (suhu, salinitas dan
arus) yang juga didapatkan dari satelit dan instrumen oseanografi yaitu argo float.
c) Kemudian hasil analisis data dari dua instrumen tersebut (satelit dan argo float) dibuat
peta estimasi fishing ground yang up to date. Selanjutnya peta estimasi tersebut
direlay ke armada penangkapan. Berbekal peta estimasi tersebut armada segera
menuju lokasi yang telah diestimasi, lalu mengkolaborasikan peta tersebut dengan
data acoustic yang didapatkan dengan echosounder secara in situ (langsung) pada
perairan, kemudian dilakukan pemanfaatan (penangkapan) ikan.
a. Penerapan Teknologi Pengindraan Jauh (remote sensing) Untuk Penangkapan Ikan
Pemanfaatan teknlogi Pengindraan jauh untuk sumberdaya perikanan didasari
oleh suatu kajian mengenai karakteristik permukaan laut dimana dari sekian banyak
karakteristik permukaan laut yang di deteksi oleh satelit pada prinsipnya ada tiga
elemen utama yang digunakan untuk penentuan potensi daerah penangkapan ikan
yaitu: suhu permukaan laut (SPL) dan persebaran klorofil. Terdapat sejenis plankton
yang mengandung klorofil (zat hijau daun). Plankton ini merupakan makanan ikan-
ikan kecil yang pada gilirannya akan menjadi makanan bagi ikan yang lebih besar.
Jadi dengan mendeteksi lokasi klorofil, maka secara tak langsung akan mendeteksi
lokasi yang mungkin banyak ikannya. Cara mendeteksi klorofil ini, pada dasarnya
adalah sangat sederhana.
Sensor yang ada pada satelit diberi filter hijau (band hijau) secara digital,
artinya detektor akan mendeteksi sinar hijau saja. Jadi sensor mendeteksi klorofil yang
ada di laut. Tentu saja sangat perlu dilakukan beberapa sample pengukuran di laut
(in-site, pengukuran di tempat), karena belum tentu sinar hijau yang dicatat oleh
sensor satelit berasal dari klorofil. Setelah melakukan pengukuran di beberapa tempat
dengan kapal misalnya, maka kini dapat dilakukan interpolasi atau ekstrapolasi
terhadap data / citra satelit yang mempunyai liputan yang sangat luas itu; situasi
klorofil pada lokasi yang luas dapat ditentukan dengan cepat. Seterusnya para
nelayan akan diberi tahu untuk menentukan daerah operasi mereka.

Lokasi tempat berkumpulnya ikan dapat ditentukan dengan kombinasi antara lain :
 lokasi klorofil,
 suhu permukaan laut
 pola arus laut
 cuaca, serta karakter toleransi biologis ikan terhadap suhu air.
Terdapat beda suhu di seantero muka laut. Hal ini disebabkan oleh naiknya lapisan air
laut di sebelah bawah ke atas (upwelling) karena perbedaan suhu. Kenaikan lapisan
air ini juga membawa zat makanan bagi kehidupan di laut. Jadi dengan mendeteksi
upwelling akan dapat pula memberi petunjuk akan adanya ikan. Di samping itu setiap
jenis ikan memiliki zona suhu yang tertentu sebagai habitatnya. Satu alternatif yang
sangat tepat untuk mengatasi masalah tersebut di atas adalah menggunakan
teknologi penginderaan jauh.

b. Aplikasi penginderaan jauh ( remote sensing) di bidang perikanan


 Pendeteksian Ikan secara langsung
Untuk keperluan penangkapan ikan dan pendugaan stok ikan, pendeteksian ikan secara
langsung dilakukan dengan 2 cara Menggunakan tranportasi udara Pengamat terbang dan
mencari kumpulan ikan (fish schooling). Pendeteksian yang dilakukan adaah identifikasi jenis,
ukuran dan jumlah dari kumpulan ikan tersebut. Pendeteksian jenis ini menuntut keahlian
pengamat dalam mendeteksi ikan. Menggunakan teknologi akustik (echosounder) Dengan
menggunakan teknologi sonar, ikan dapat dideteksi secara langsung dari atas kapal. Akurasi
dan luas wilayah pendeteksian dapat diatur secara mekanik dan elektronik. Data pendeteksian
dapat disimpan untuk diolah nanti
 Pendeteksian Ikan secara tidak langsung
Penginderaan jauh secara tidak langsung adalah dengan menggunakan kemampuan
mendeteksi habitat yang sesuai untuk tempat berkumpulnya ikan Pendeteksian secara
berkelanjutan membutuhkan data yang berkelanjutan pula. Kemampuan menyimpan dan
mengolah data ini menjadikan Penginderaan GIS (Geographical Information SystemJauh
 Pendeteksian wilayah Aquakultur
Budidaya ikan sangat tergantung dengan lokasi. Citra saletit yang komprehensif dapat
membantu memilih lokasi yang ideal Budidaya ikan dan kerang mutiara di laut juga
memerlukan data perubahan kondisi perairan yang kontinu. Budidaya jenis ini sangat
dipengaruhi kualitas air dan kondisi perairan sebagai contoh; blooming alga terutama jenis
yang beracun (Harmful Alga Blooms HAB).
2. peramalan dengan cara tradisional
Penentuan daerah penangkapan ikan yang umum dilakukan oleh nelayan
sejauh ini masih menggunakan cara-cara tradisional, yang diperoleh secara turun-
temurun. Akibatnya, tidak mampu mengatasi perubahan kondisi oseanografi dan
cuaca yang berkaitan erat dengan perubahan daerah penangkapan ikan yang
berubah secara dinamis. Ekspansi nelayan besar ke daerah penangkapan nelayan
kecil mengakibatkan terjadi persaingan yang kurang sehat bahkan sering terjadi
konflik antara nelayan besar dengan nelayan kecil.

a. Cara nelayan tradisional menentukan daerah penangkapan ikan ( DPI)


 Dengan pengetahuannya mengenai keadaan angin, keadaan bulan dan pasang
surutnya air
 DenganWarna air laut
 Mengadakan baringan dengan cara sederhana, dengan mengambil sebagai patokan
puncak gunung/puncak mercusuar/letak suatu pulau yg kelihatan dari lokasi itu
 Memberi tanda berupa tonggak atau tanda lain yang diberi pemberat sebagai
jangkar
 Dengan perasaan dan penglihatan orang yang berpengalaman dalam penangkapan
ikan

b. Rumpon salah satu alat tradisional menentukan daerah penangkapan ikan


Rumpon merupakan salah satu alat bantu untuk meningkatkan hasil tangkapan dimana
mempunyai kontruksinya menyerupai pepohonan yang di pasang (ditanam) di suatau tempat
di perairan laut yang berfungsi sebagai tempat berlindung, mencarai makan, memijah, dan
berkumpulnya ikan. Sehingga rumpon ini dapat diartikan tempat berkumpulnya ikan di laut,
untuk mengefisienkan oprasi penangkapan bagi para nelayan.
Rumpon merupakan alat bantu penangkapan ikan yang fungsinya sebagai
pembantu untuk menarik perhatian ikan agar berkumpul disuatu tempat yang
selanjutnya diadakan penangkapan. Dengan makin majunya rumpon telah menjadi
salah satu alternatif untuk menciptakan daerah penangkapan buatan dan manfaat
keberadaannya cukup besar. Sebelum mengenal rumpon, nelayan menangkap ikan
dengan cara mengejar ikan atau menangkap kelompok ikan di laut, kini dengan
makin berkembangnya rumpon maka pada saat musim penangkapan, lokasi
penangkapan menjadi pasti di suatu tempat. Dengan telah ditentukan daerah
penangkapan maka tujuan penangkapan oleh nelayan dapat menghemat bahan
bakar, karena mereka tidak lagi mencari dan menangkap kelompok renang ikan
dengan menyisir laut yang luas. Nelayan di beberapa daerah telah banyak yang
menerapkan rumpon ini. Di Utara Pulau Jawa telah lama mengenal rumpon untuk
memikat ikan agar berkumpul di sekitar rumpon, sehingga memudahkan
penangkapan .

c. Fungsi dan Manfaat Rumpon


Direktorat Jenderal Perikanan (1995) melaporkan beberapa keuntungan dalam
penggunaan rumpon yakni : memudahkan pencarian gerombolan ikan, biaya
eksploitasi dapat dikurangi dan dapat dimanfaatkan oleh nelayan kecil. Fungsi
rumpon sebagai alat bantu dalam penangkapan ikan adalah sebagai berikut :
1) Sebagai tempat mengkonsentrasi ikan agar lebih mudah ditemukan gerombolan ikan
dan menangkapanya.
2) Sebagai tempat berlindung bagi ikan dari pemangsanya
3) Sebagai tempat berkumpulnya ikan
4) Sebagai tempat daerah penangkap ikan
5) Sebagai tempat mencari makan bagi ikan.berlindung jenis ikan tertentu dari serangan
ikan predator
6) Sebagai tempat untuk memijah bagi ikan.
7) Banyak ikan-ikan kecil dan plankton yang berkumpul disekitar rumpon dimana ikan
dan plankton tersebut merupaka sumber makanan bagi ikan besar.
8) Ada beberapa jenis ikan seperti tuna dan cakalang yang menjadi rumpon sebagai
tempat untuk bermain sehingga nelayan dapat dengan mudah untuk menangkapnya.

Sedangkan manfaatnya adalah sebagai berikut :


1. Memudahkan nelayan menemukan tempatuntuk mengoperasikan alat tangkapnya.

2. Mencegah terjadinya destruktif fishing, akibat penggunaan bahan peledak dan bahan
kimia/beracun.

3. Meningkatkan produksi dan produktifitas nelayan.

Nelayan dapat mengetahui banyak ikan di daerah rumpon dengan beberapa ciri yang khas
yaitu :

1. Banyaknya buih-buih atau gelembung udara dipermukaan air.

2. Warna air akan telihat lebih gelap dibandingkan dengan warna air disekitarnya karena
banyak ikan yang bergerombol.

3. Adanya burung yang berkeliaran di permukaan laut.

4. Adanya gelondong-gelondong kayu yang hanyut di permukaan laut.

5. Adanya kelompok ikan lumba-lumba di permukaan laut.

4.4. Silvofishery
Pengertian dan Definisi dari Silvofishery atau Wanamina adalah suatu pola
agroforestri yang digunakan dalam pelaksanaan program perhutanan sosial di
kawasan hutan mangrove. Petani dapat memelihara ikan dan udang atau jenis
komersial lainnya untuk menambah penghasilan, di samping itu ada kewajiban untuk
memelihara hutan Mangrove. Jadi prinsip silvofishery adalah perlindungan tanaman
mangrove dengan memberikan hasil dari sektor perikanan. Sistem ini mampu
menambah pendapatan masyarakat dengan tetap memperhatikan kelestarian hutan
mangrove. Silvofishery yang telah dikembangkan selama ini menggunakan jenis
Rhyzophora sp.

Silvofishery Pengelolaan terpadu mangrove-tambak diwujudkan dalam bentuk


sistem budidaya perikanan yang memasukkan pohon mangrove sebagai bagian dari
sistem budidaya yang dikenal dengan sebutan wanamina (silvofishery). Silvofishery
pada dasarnya ialah perlindungan terhadap kawasan mangrove dengan cara
membuat tambak yang berbentuk saluran yang keduanya mampu bersimbiosis
sehingga diperoleh kuntungan ekologis dan ekonomis (mendatangkan penghasilan
tambahan dari hasil pemeliharaan ikan di tambak. Pemanfaatan mangrove untuk
silvofishery saat ini mengalami perkembangan yang pesat, karena system ini telah
terbukti mendatangkan keuntungan bagi pemerintah dan nelayan secara ekonomis.
Fungsi mangrove sebagai nursery ground sering dimanfaatkan untuk kepentingan
pengembangan perikanan (sivofishery). Keuntungan ganda telah diperoleh dari
simbiosis ini. Selain memperoleh hasil perikanan yang lumayan, biaya
pemeliharaannya pun murah, karena tanpa harus memberikan makanan setiap hari.
Hal ini disebabkan karena produksi fitoplankton sebagai energi utama perairan telah
mampu memenuhi sebagai energi utama perairan telah mampu memenuhi
kebutuhan perikanan tersebut. Oleh karena itu keberhasilan silvofishery sangat
ditentukan oleh produktivitas fitoplankton.

a. Model Silvofishery Atau Model Wanamina


Secara umum terdapat tiga model tambak wanamina, yaitu; model empang
parit, komplangan, dan jalur. Selain itu terdapat pula tambak sistem tanggul yang
berkembang di masyarakat. Pada tambak wanamina model empang parit, lahan
untuk hutan mangrove dan empang masih menjadi satu hamparan yang diatur oleh
satu pintu air. Pada tambak wanamina model komplangan, lahan untuk hutan
mangrove dan empang terpisah dalam dua hamparan yang diatur oleh saluran air
dengan dua pintu yang terpisah untuk hutan mangrove dan empang (Bengen, 2003).

Tambak wanamina model jalur merupakan hasil modifikasi dari tambak wanamina
model empang parit. Pada tambak wanamina model ini terjadi penambahan saluran-
saluran di bagian tengah yang berfungsi sebagai empang. Sedangkan tambak model
tanggul, hutan mangrove hanya terdapat di sekeliling tanggul. Tambak jenis ini yang
berkembang di Kelurahan Gresik dan Kariangau Kodya Balikpapan. Berdasarkan 3
pola wanamina dan pola yang berkembang di masyarakat, direkomendasikan pola
wanamina kombinasi empat parit dan tanggul. Pemilihan pola ini didasarkan atas
pertimbangan:

1. Penanaman mangrove di tanggul bertujuan untuk memperkuat tanggul dari


longsor, sehingga biaya perbaikan tanggul dapat ditekan dan untuk produksi
serasah.
2. Penanaman mangrove di tengah bertujuan untuk menjaga keseimbangan
perubahan kualitas air dan meningkatkan kesuburan di areal pertambakan.
Luas permukaan air di dalam tambak budidaya jenis mang-rove yang biasanya
ditanam di tanggul adalah Rhizophora sp. dan Xylocarpus sp. Sedangkan untuk di
tengah/pelataran tambak adalah Rhizophora sp. Jarak tanam mangrove di pelataran
umumnya 1m x 2m pada saat mangrove masih kecil. Setelah tumbuh membesar (4-5
tahun) mangrove harus dijarangkan. Tujuan penjarangan ini untuk memberi ruang
gerak yang lebih luas bagi komoditas budidaya. Selain itu sinar matahari dapat lebih
banyak masuk ke dalam tambak dan menyentuh dasar pelataran, untuk
meningkatkan kesuburan tambak.

b .prinsip dasar silvofishery


Prinsip dasar silvofishery adalah perlindungan tanaman hutan bakau dengan
memberikan hasil lain dari segi perikanan. Hal ini dapat dimengerti karena sebagian
besar masyarakat yang tinggal di sekitar hutan mangrove bermata pencaharian
sebagai pencari ikan. Jadi dengan adanya pengembangan pola sistem silvofishery,
disamping sesuai dari segi ekologis, juga selaras dengan pola hidup masyarakat
sekitarnya.
Sejak tahun 1976 Perum Perhutani selaku pengelola kawasan hutan telah
mengembangkan program yang mengintegrasikan kegiatan budidaya ikan dan
pengelolaan hutan mangrove yang dikenal dengan istilah tambak tumpang sari,
tambak empang parit, hutan tambak atau silvofishery yang semuanya bertujuan
menekan laju degradasi hutan mangrove. Silvofishery adalah suatu bentuk usaha
terpadu antara hutan mangrove dan perikanan budidaya. Pendekatan terpadu
terhadap konservasi dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove memberikan
kesempatan untuk mempertahankan kondisi kawasan hutan tetap baik, disamping itu
budidaya perairan payau dapat menghasilkan keuntungan ekonomi. Faktor penting
lainnya adalah teknologi ini menawarkan alternatif yang praktis untuk tambak tetap
berkelanjutan (sustainable).
Tipe tambak silvofishery terdiri dari tiga tipe yaitu :
 tipe empang parit,
 komplangan dan jalur.
 Pola empang parit,
dimana lahan yang efektif digunakan untuk memelihara ikan ataupun udang, hanya
merupakan saluran keliling atau caren sedangkan bagian tengahnya ditumbuhi
pohon bakau. Pada pola komplangan, tambak pemeliharaan ikan atau udang terpisah
atau berdekatan dari areal tegakan.
Tipe tambak yang terakhir adalah tipe jalur atau model kao-kao. Pada model
Kao-Kao ini mangrove ditanam pada guludan-guludan. Lebar guludan 1-2 m dengan
jarak antara guludan adalah 5-10 m (disesuaikan dengan lebar tambak). Variasi yang
lain adalah mangrove ditanam di sepanjang tepian guludan/kao-kao dengan jarak
tanam 1 meter .(Sofiawan, 2000).
c. Keuntungan model jalur
adalah ruang pemeliharaan ikan cukup lebar, lapukan serasah tanaman dapat
meningkatkan kesuburan tambak, dan intensitas matahari cukup tinggi. Sedangkan
d. kerugiannya
adalah pembersihan serasah tanaman bakau harus sering dilakukan dan panen
harus dilakukan dengan menggiring ikan pada satu sudut tambak. Perbandingan luas
mangrove dan luas tambak adalah 80:20 dengan hasil produksi tambak yang
terbilang kecil dikarenakan lebih mengutamakan keseimbangan ekologi perairan
tersebut.

Daftar Pustaka

Anonim, 2009. Teknologi Pengelolaan Kualitas Air Kualitas Air Dan Pengukurannya. Tersedia
online di :http://www.sith.itb.ac.id/d4_akuakultur_kultur_jaringan/bahan-
kuliah/1_Teknologi_Pengelolaan_Kualitas_Air_KUALITAS_AIR_DAN_PENGUKURANNYA.
pdf. Online tanggal 28 Oktober 2010.
Sucipto, Adi. 2008. Pengaruh salinitas dalam proses ormoregulasi ikan.
http://naksara.net/index.php?option=com_content&view=article&id=85:pengaruh
-salinitas- dalam-proses-
Bengen, D. G., 2000. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove.
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB 58 hal.
Brandt Tso, Paul Mather, 2009, Classification Methods For Remotely Sensed Data, Taylor &
Francis Group, LLC
Dahuri, Rokhmin., J. Rais., S.P.Ginting., M.J.Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah
Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu. Cetakan kedua, Penerbit Pradnya Paramita.
Jakarta.
Anonim. 2007. Klasifikasi Alat Penangkapan Ikan Indonesia. Balai Besar Pengembangan Penangkapan Ikan,
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Balai Riset Penangkapan Laut-BRKP, 1996.Musim Penangkpan Ikan Pelagis Besar (ikan Tuna).
http://www.fishyforum.com/fishysalt/fishyronment/96- musim-penangkapan-ikan-pelagis-
besar.html

Anda mungkin juga menyukai