Anda di halaman 1dari 77

PENYESUAIAN KELUARGA, PENGASUHAN, KEKERASAN DALAM

PENGASUHAN, IKLIM SEKOLAH, DAN AGRESIVITAS PADA


ANAK USIA SEKOLAH DASAR

ISMAYANTI PRATIWI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini menyatakan bahwa tesis yang berjudul Penyesuaian Keluarga,


Pengasuhan, Kekerasan dalam Pengasuhan, Iklim Sekolah, dan Agresivitas pada
Anak Usia Sekolah Dasar adalah benar karya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini melimpahkan hak cipta dari karya tulis kepada Institut Pertanian
Bogor.

Bogor, September 2018

Ismayanti Pratiwi
NIM I251160111
RINGKASAN

ISMAYANTI PRATIWI. Penyesuaian Keluarga, Pengasuhan, Kekerasan dalam


Pengasuhan, Iklim Sekolah dan Agresivitas pada Anak Usia Sekolah Dasar.
Dibimbing oleh DWI HASTUTI dan ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI.

Salah satu karakteristik anak usia sekolah adalah memiliki perkembangan


motorik yang sangat pesat, tetapi memiliki emosi yang belum stabil. Orang tua
memiliki peran untuk membantu meregulasi perasaan anak melalui pengasuhan.
Pengasuhan yang tidak tepat akan memicu permasalahan emosi yang mengarah
pada perilaku yang tidak diinginkan, salah satunya adalah agresivitas. Agresivitas
merupakan perilaku yang ditujukan untuk mengganggu atau mencederai diri sendiri
maupun orang lain. Agresivitas pada periode usia sekolah berpengaruh terhadap
agresivitas pada usia dewasa. Agresivitas akan dibentuk oleh rendahnya kualitas
pengasuhan dan tingginya kekerasan dalam pengasuhan. Keberhasilan keluarga
dalam melakukan penyesuaian dapat meningkatkan kualitas pengasuhan, dan
secara tidak langsung dapat menurunkan perilaku agresivitas. Selain pengasuhan,
iklim sekolah yang kondusif akan menurunkan gresivitas anak.
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh
penyesuaian keluarga, pengasuhan, kekerasan dalm pengasuhan, dan iklim sekolah
terhadap agresivitas. Sementara itu, tujuan khusus penelitian ini adalah 1)
Menganalisis perbedaan penyesuaian keluarga, pengasuhan, kekerasan dalam
pengasuhan, iklim sekolah dan agresivitas anak usia sekolah pada anak laki-laki
dan perempuan. 2) Menganalisis hubungan karakteristik anak dan keluarga,
penyesuaian keluarga, pengasuhan, kekerasan dalam pengasuhan, iklim sekolah,
dengan agresivitas pada anak usia sekolah. 3) Menganalisis pengaruh karakteristik
anak dan keluarga penyesuaian keluarga, pengasuhan, kekerasan dalam pengasuhan,
dan iklim sekolah terhadap agresivitas pada anak usia sekolah.
Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional study dengan metode
survei. Contoh penelitian adalah 99 keluarga yang memiliki anak kelas 4-5 Sekolah
Dasar dengan responden ibu dan anak. Penelitian dilaksanakan pada bulan
September 2017, di Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Penelitian dilakukan
dengan menggunakan self administreted dan wawancara. Penarikan contoh
menggunakan cluster random pada sekolah negeri yang ada di kecamatan Bogor
Barat, untuk memilih dua sekolah. Analisis yang digunakan adalah 1) Statistika
Deskriptif. 2) Independent sample T-test digunakan untuk melihat apakah terdapat
perbedaan variabel menurut jenis kelamin anak. 3) Uji korelasi digunakan untuk
mengetahui hubungan antar variabel. 4) Path analisis (analisis jalur) ntuk
mengetahui pengaruh langsung atau tidak langsung.
Penyesuaian keluarga diukur menggunakan modifikasi kuesioner Parenting
and Family Adjustment Scales (PAFAS; Sanders et al. 2014. Pengasuhan diukur
menggunakan modifikasi kuesioner Parenting and Family Adjustment Scales
(PAFAS; Sanders et al. 2014). Kekerasan dalam pengasuhan diukur menggunakan
modifikasi kuesioner The parent-child conflict tactics scales (CTS-PC) (Straus et al
1998). Iklim sekolah diukur menggunakan The Student Comprehensive School
Climate Inventory V3.0 (Guo et al. 2011). Agresivitas diukur menggunakan
kuesioner The Aggression Questionnaire (Buss danPerry 1992).
Penelitian ini melibatkan 55 orang (55.9 %) anak perempuan dan 44 orang
(44.1 %) laki-laki. Rataan usia anak perempuan 9.51 tahun dan anak laki-laki 9.57
tahun. Usia ibu berada pada rentang 20-51 tahun dengan Rataan 35.75 tahun.
Rataan pendidikan Ibu adalah 8.65 tahun. Aktivitas ibu terdiri dari 63.6 persen tidak
bekerja dan 36.4 persen bekerja. Pendapatan keluarga berada pada rentang Rp 450
000-4 000 000/ bulan, dengan rata- rata Rp 1 280 000/bulan.
Rataan indeks penyesuaian keluarga terkategori sedang (72.29). Tidak
terdapat perbedaan penyesuaian keluarga pada anak laki-laki dan perempuan, tetapi
pada dimensi kerjasama pengasuhan, orang tua anak perempuan lebih baik dari
anak laki-laki. Rataan pengasuhan terkategori rendah (63.86). Tidak terdapat
perbedaan pengasuhan antara anak laki-laki dan perempuan. Kekerasan dalam
pengasuhan masih dilakukan (14.22). Tidak terdapat perbedaan kekerasan dalam
pengasuhan pada anak laki-laki dan perempuan, tetapi pada dimensi pengabaian,
anak laki-laki lebih diabaikan oleh orang tuanya dibandingkan dengan anak
perempuan. Rataan iklim sekolah termasuk dalam kategori sedang (71.92). Tidak
terdapat perbedaan presepsi terhadap iklim sekolah antara laki-laki dan perempuan,
tetapi pada imensi dukungan sosial, anak perempuan memiliki dukungan sosial
lebih tinggi dibandingkan dengan anak laki-laki. Agresivitas sudah mulai nampak
pada anak usia Sekolah Dasar (26.44). Tidak terdapat perbedaan agresivitas pada
anak laki-laki dan perempuan, tetapi pada dimensi agresi fisik, laki-laki memiliki
agresivitas fisik lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan.
Hasil analisis menunjukkan, ibu yang memiliki pendidikan tinggi, memiliki
penyesuaian keluarga dan pengasuhan yang lebih baik, serta menurunkan
agresivitas pada anak. Penyesuaian keluarga yang baik, akan meningkatkan kualitas
pengasuhan dan menurunkan agresivitas pada anak. Pengasuhan yang baik dapat
menurunkan agresivitas pada anak. Sebaliknya, kekerasan dalam pengasuhan dapat
menurunkan presepsi baik anak terhadap lingkungan sekolahnya, sekaligus
menimbulkan agresivitas anak. Presepsi yang baik terhadap lingkungan sekolah,
dapat menurunkan agresivitas pada anak .
Agresivitas anak secara langsung dibentuk oleh kekerasan yang dilakukan
orang tua dalam pengasuhan, rendahnya kualitas pengasuhan. Laki-laki memiliki
peluang agresivitas lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan. Selain itu,
secara tidak langsung agresivitas dibentuk oleh rendahnya kualitas penyesuaian
keluarga dan pendidikan ibu. Selain dibentuk oleh lingkungan keluarga, agresivitas
anak juga dibentuk oleh lingkungan sekolah, hanya saja pengaruhnya lebih kecil
dibandingkan dengan pengasuhan.
Agresivitas pada anak dapat dikurangi dengan menghilangkan kekerasan
dalam stategi pengasuhan, meningkatkan konsistensi dalam pengasuhan,
memberikan dorongan positif untuk menumbuhkan perilaku baik pada anak dan
menjalin hubungan yang baik secara timbal balik antara orang tua dan anak. Selain
itu, agresivitas pada anak juga dapat dilakukan dengan membangun iklim sekolah
yang kondusif. Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan rasa saling
menghormati, menghilangkan kekerasan antarsiswa, dan menerapkan peraturan
dan norma yang berkaitan dengan perilaku terhadap sesama.

Kata kunci: agresivitas, iklim sekolah, kekerasan dalam pengasuhan, pengasuhan,


penyesuaian keluarga.
SUMMARY

ISMAYANTI PRATIWI. Family Adjustment, Parenting, Violence, School


Climate, and Aggressiveness among Elementary School Children. Guided by DWI
HASTUTI and ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI.

One of characteristics of school-age children, they have very rapid motor


development, but have unstable emotions. Parents have a role to help regulate
children's feelings through parenting. Improper parenting will trigger emotional
problems that lead to negatif behavior, one of which is aggressiveness.
Aggressiveness is a behavior that is intended to disturb or injure oneself or others.
Aggressiveness in the school age period affects aggressiveness in adulthood.
Aggressiveness will be formed by the low quality of parenting and the high level of
violence in parenting. The success of the family in making adjustments can improve
the quality of parenting, and indirectly can reduce aggressive behavior. In addition,
a conducive school climate will reduce children's gressiveness.
The general purpose of this study was to analyze influence of family
adjustment, parenting, violence in parenting, and school climate on aggressiveness.
Meanwhile, specific purpose of this study were 1) Analyzing differences of family
adjustment, parenting, violence in parenting, school climate and school-age
aggressiveness between boys and girls. 2) Analyzing relationship of characteristics
of children and families, family adjustment, parenting, violence in parenting, school
climate, with aggressiveness in school-age children. 3) Analyzing the influence of
family adjustment, parenting, violence in parenting, and school climate to
characteristics of children and families aggressiveness in school-age children.
Study design was conducted by cross-sectional, with survey methods.
Sample of research are 99 families with 4-5 elementary school children with mother
and child respondents. The study was conducted in September 2017, in West Bogor
District, Bogor City. The study was conducted using self administreted and
interviews. Sampling using random clusters in public schools in West Bogor sub-
district, to select two schools. Analysis of data used: 1) Descriptive Statistics such
as number, percentage, mean value, standard deviation, and maximum value used
to fulfill variable identification. 2) Independent sample T-test was used to see
differences in variables according to child sex. 3) Correlation test was used to
determine the relationship between variables. 4) Path analysis to find out the direct
or indirect effects between variables.
Family adjustments was measured using Parenting and Family Adjustment
Scales questionnaire modifications (PAFAS; Sanders et al. 2014). Positive
parenting was measured by modifying Parenting and Family Adjustment Scales
questionnaires (PAFAS; Sanders et al. 2014). Violence in parenting was measured
using a questionnaire modification of the parent-child conflict tactics scales (CTS-
PC) (Straus et al 1998). The school climate is measured using The Student
Comprehensive School Climate Inventory V3.0 (Guo et al. 2011). A ggressiveness
was measured using the The Aggression Questionnaire (Buss and Jerry 1992).
This study involved 55 people (55.9%) girls and 44 people (44.1%) men.
The average age of girls is 9.51 years and boys 9.57 years. Mother’s age is in the
range of 20-51 years with an average of 35.75 years. The mother's education level
is 8.65 years. Mother’s activity consisted of 63.6 percent not working and 36.4
percent working. Family income is in the range of IDR 450 000-4 000 000 / month,
with an average of IDR 1 280,000 / month.
The average of family adjustment index is medium category (72.29). There
is no difference in family adjustment between boys and girls, but in the dimensions
of cooperation in parenting, parents of girls are better than boys. The average of
parenting is low categorized (63.86). There is no difference in parenting between
boys and girls. Parenting violence is still carried out (14.22). There is no difference
in violence in parenting between boys and girls, but in the dimension of neglect,
boys are more neglected by their parents than girls.The average school climate is
medium category (71.92). There is no difference in perceptions of the school
climate between boys and girls, but in the intensity of social support, girls have
higher social support than boys. Aggressiveness has begun to appear in elementary
school age children (26.44). There is no difference in aggressiveness between boys
and girls, but in the dimensions of physical aggression, men have higher physical
aggressiveness than women.
The results showed that mothers who had higher education had better family
adjustment and parenting, and reduced aggressiveness in children. Good family
adjustment will improve the quality of parenting and reduce aggressiveness in
children. Good parenting can reduce aggressiveness in children. Conversely,
violence in parenting can reduce children's good perception of their school
environment, while at the same time causing child aggression. A good perception
of the school environment can reduce aggressiveness in children.
Child aggressiveness is directly formed by violence in parenting, and low
quality of parenting. Boys have a higher chance of aggressiveness than girls. In
addition, aggressiveness is indirectly formed by the low quality of family
adjustment and maternal education. In addition to being shaped by the family
environment, children's aggressiveness is also shaped by the school environment,
it's just a smaller influence than parenting.
Aggressiveness in children can be reduced by eliminating violence in
parenting strategies, increasing consistency in parenting, providing positive
encouragement to foster good behavior in children and establishing good mutual
relationships between parents and children. In addition, aggressiveness in children
can be reduced by building a conducive school climate. This can be done by
applying mutual respect, eliminating inter-student violence, and applying rules and
norms related to behavior towards others.

Keywords: aggressiveness, family adjustment, parenting, school climate, violence


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2018
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENYESUAIAN KELUARGA, PENGASUHAN, KEKERASAN DALAM
PENGASUHAN, IKLIM SEKOLAH, DAN AGRESIVITAS PADA
ANAK USIA SEKOLAH DASAR

ISMAYANTI PRATIWI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Herien Puspitawati, M.Sc M.Sc
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas karunia-
Nya sehingga tesis yang berjudul Penyesuaian Keluarga, Pengasuhan, Kekerasan
dalam Pengasuhan, Iklim Sekolah dan Agresivitas Pada Anak Usia Sekolah berhasil
diselesaikan. Tesis ini disusun sebagai syarat kelulusan, guna memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak (IKA)
Institut Pertanian Bogor (IPB).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Dwi Hastuti, MSc selaku dosen
ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Istiqlaliyah Muflikhati, MSi sebagai anggota
komisi pembimbing yang telah membimbing penulis selama penyelesaian tesis.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA
sekalu moderator seminar, dan Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc, M.Sc sebagai
dosen penguji, yang telah memberikan saran kepada penulis. Kepada kepala
sekolah SDN Situ Gede 3 dan 5 atas kesempatan yang diberikan untuk melakukan
penelitian. Kepada ayah, ibu, adik dan keluarga atas segala do’a dan kasih ngnya.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh staf dan pengajar Program
Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak, seluruh mahasiswa IKA 2015/2016,
yang telah memberikan dukungan dalam penyusunan tesis ini.
Akhir kata, semoga penelitian ini dapat memberikan sumbangan dan manfaat bagi
dunia penelitian dan pendidikan.

Bogor, Agustus 2018

Ismayanti Pratiwi
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN xi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 5
Manfaat Penelitian 5
2 TINJAUAN PUSTAKA 5
Teori Sosial Learning 5
Teori Struktural-Fungsional 6
Teori Bronfenbrenner 6
Anak Usia Sekolah 7
Penyesuaian Keluarga 8
Pengasuhan 8
Kekerasan dalam Pengasuhan 10
Iklim Sekolah 12
Agresivitas 12
3 KERANGKA PEMIKIRAN 13
4 METODE 18
Desain, Tempat dan Waktu Penelitian 18
Populasi, Contoh, dan Prosedur Pengambilan Contoh 18
Jenis dan Cara Pengumpulan Data 19
Instrumen dan Pengukuran Variabel 19
Pengolahan dan Analisis Data 20
Definisi Operasional 22
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 23
Karakteristik Contoh 23
Penyesuaian Keluarga 24
Pengasuhan 25
Kekerasan dalam Pengasuhan 27
Iklim Sekolah 28
Agresivitas 31
Hubungan Karakteristik Anak dan Keluarga, Penyesuaian Keluarga,
Pengasuhan, Kekerasan dalam Pengasuhan, dengan Agresivitas Anak 33
Pengaruh Karakteristik Contoh, Penyesuaian Keluarga, Pengasuhan, dan
Iklim Sekolah, terhadap Agresivitas 34
Pembahasan 35
DAFTAR ISI (lanjutan)

6 SIMPULAN DAN SARAN 39


Simpulan 39
Saran 40
DAFTAR PUSTAKA 41
LAMPIRAN 46
RIWAYAT HIDUP 61
DAFTAR TABEL
1. Sebaran contoh berdasarkan kategori penyesuaian keluarga dan
dimensinya 24
2. Rataan indeks penyesuaian keluarga berdasarkan dimensi dan jenis
kelamin 25
3. Sebaran contoh berdasarkan kategori pengasuhan dan dimensinya 25
4. Rataan indeks pengasuhan berdsarkan dimensi dan jenis kelamin 26
5. Sebaran contoh berdasarkan kategori kekerasan dalam pengasuhan dan
dimensinya 27
6. Rataan indeks kekerasan dalam pengasuhan berdasarkan dimensi dan
jenis kelamin 27
7. Sebaran contoh berdasarkan kategori indeks iklim sekolah dan
dimensinya 29
8. Rataan indeks iklim sekolah berdasarkan dimensi dan jenis kelamin 30
9. Sebaran contoh berdasarkan kategori agresivitas dan dimensinya 31
10. Rataan indeks agresivitas berdasarkan dimensi dan jenis kelamin 32
11. Nilai koefisien korelasi pada variabel karakteristik, penyesuaian
keluarga, pengasuhan, kekerasan dalam pengasuhan, iklim sekolah,
dengan agresivitas. 33
12. Ringkasan besar pengaruh pendidikan orang tua, jenis kelamin,
penyesuaian keluarga, pengasuhan, kekerasan dalam pengasuham dan
iklim sekolah terhadap agresivitas dengan menggunakan analisis jalur.
35

DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka teori penelitian 15
2. Kerangka konsep penelitian 17
3. Kerangka penarikan contoh 18
4. Kerangka pengujian jalur 21
5. Kerangka analisis jalur 34

DAFTAR LAMPIRAN
1. Sebaran jawaban contoh pada variabel penyesuaian keluarga 47
2. Sebaran jawaban contoh pada variabel pengasuhan positif 48
3. Sebaran jawaban contoh pada variabel kekerasan dalam pengasuhan
(kekerasan dalam pengasuhan) 50
4. Sebaran jawaban contoh pada variabel iklim sekolah 53
5. Sebaran jawaban contoh pada variabel agresivitas 58
6. Koefisien koralasi 60
1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Usia Sekolah Dasar berada pada rentang usia 6-12 tahun. Pada periode ini
kemampuan koordinasi anak berkembang pesat, sehingga perkembangan motorik
kasar dan halus juga berkembang pesat. Perkembangan emosi yang belum stabil
menjadi hambatan dalam proses pembelajaran pada anak usia sekolah, sehingga
orang tua memiliki peran untuk membantu meregulasi perasaan anak melalui
pengasuhan. Pengasuhan yang tidak tepat akan memicu permasalahan emosi yang
mengarah pada perilaku yang tidak diinginkan, salah satunya adalah agresivitas
(Brooks 2011).
Agresivitas merupakan perilaku yang ditujukan untuk mengganggu atau
mencederai diri sendiri maupun orang lain (Bandura 1978). Buss dan Perry (1992)
mengelompokkan perilaku agresi ke dalam empat bagian, yaitu agresi fisik, agresi
verbal, kemarahan, dan permusuhan. Agresivitas yang tinggi pada masa anak-anak,
membuat seseorang memiliki agresivitas yang tinggi saat dewasa (Huessmann et al.
2003). Agresi pada anak memiliki hubungan dengan perilaku negatif di masa depan
seperti gangguan kecemasan, depresi, masalah akademik dan kenakalan remaja
yang bahkan sampai mengarah pada perilaku kriminal (Tremblay 2010; Webster-
Stratton et al. 2008),
Secara umum agresi pada anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan
anak perempuan. Selain itu, terdapat perbedaan jenis agresi antara laki-laki dan
perempuan. Anak perempuan lebih cenderung melakukan agresi permusuhan,
sementara laki-laki lebih cenderung melakukan agresi fisik (Kawabata dan Crick
2016 dan Hutapea 2010). Individu yang memiliki agresivitas tinggi cenderung
memiliki kehangatan dan kepedulian yang rendah terhadap orang lain, mudah
melampiaskan kemarahan, serta memiliki perasaan cemas dan tingkat depresi yang
tinggi (Fung et al. 2015). Pembentukan perilaku agresif pada anak tidak bisa
dilepaskan dari pembelajaran yang dilakukan anak terhadap model yang ada di
sekitarnya (Bandura 1978).
Pembentukan perilaku anak dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Lingkungan
keluarga merupakan aspek penting dalam pembentukan perilaku anak. Keluarga
merupakan institusi sosial budaya terkecil di masyarakat yang mempunyai peran
sangat besar bagi pembentukan perilaku anak dan dalam mencetak karakter
individu yang terpuji. Tujuan membentuk keluarga adalah untuk menjalankan
ajaran agama dalam bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa demi mencapai
kebahagiaan/kesejahteraan bagi anggota keluarganya dan untuk melestarikan
keturunan (Puspitawati 2012). Fungsi keluarga terdiri dari fungsi ekspresif dan
instrumental. Fungsi keluarga salah satunya direalisasikan dalam pengasuhan.
Pengasuhan didefinisikan sebagai pengalaman, keterampilan, kualitas dan
tanggung jawab yang dilakukan orang tua dalam mendidik dan merawat anak,
sehingga anak dapat menjadi pribadi yang diharapkan oleh keluarga dan
masyarakat dimana dia berada (Hastuti 2015). Brooks (2011) mendefinisikan
pengasuhan sebagai proses membesarkan, memberikan perlindungan, memberikan
perhatian, dan nilai untuk perkembangan anak dari sejak lahir hingga memasuki
usia dewasa.
2

Salah satu konsep pengasuhan dijabarkan oleh Sanders et al. (2014)


pengasuhan dapat diukur menggunakan 2 domain meliputi praktek pengasuhan dan
hubungan orang tua dan anak. Sanders et al. (2014) membagi praktek pengasuhan
menjadi beberapa dimensi, meliputi konsistensi dalam pengasuhan, tindakan
koersif dalam pengasuhan, dan dorongan positif. Sanders et al. (2014) menjelaskan
bahwa pengasuhan yang baik ditunjukkan dengan konsistensi yang baik dalam
pengasuhan, dorongan positif yang diberikan, pengasuhan tanpa koersivitas, dan
hubungan baik yang dibangun antara anak dan pengasuh. Kawabata dan Crick
(2016) menyatakan bahwa pengasuhan orang tua memiliki pengaruh terhadap
agresivitas anak. Yoshito et al. (2011) menyebutkan bahwa pengasuhan yang
positif akan menurunkan tingkat agresivitas anak. Pengasuhan yang salah dapat
menimbulkan perilaku negatif pada anak. Beberapa kesalahan dalam pengasuhan
diantaranya adalah orang tua tidak terlibat dalam pengasuhan, kontrol yang tidak
seimbang dengan kehangatan, mengabaikan emosi anak, dan kekerasana dalam
pengasuhan baik fisik maupun psikis (Hastuti 2015).
Berdasarkan Undang Undang Perlindungan Anak (UUPA) No. 35 tahun 2014,
kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berkaitan dengan timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran,
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum. Anak yang mengalami kekerasan cenderung
beresiko memiliki perilaku kekerasan. Hubungan kekerasan yang dilakukan orang
tua dengan perilaku beresiko pada anak, lebih kuat ditemukan pada anak yang
mengalami riwayat kekerasan secara berulang (Annerback et al. 2012). Lee et al.
(2013) melakukan penelitian agresivitas pada anak usia 5 tahun yang pada usia 3
tahun pernah mengalami kekerasan fisik oleh ayah dan ibunya. Hasil penelitian
menunjukkan anak yang sering menerima kekerasan fisik dari orang tuanya akan
memiliki agresivitas yang tinggi pada usia selanjutnya. Penelitian Morshed et al.
(2015) membuktikan bahwa tingginya penolakan ayah dan kekerasan yang
dilakukan ibu akan meningkatkan agresivitas anak.
Pengasuhan yang dilakukan oleh orang tua salah satunya dipengaruhi oleh
penyesuaian keluarga dalam menjalankan pengasuhan. Penyesuaian keluarga juga
memiliki dampak yang besar terhadap perilaku anak (Sanders et al. 2014).
Penyesuaian merupakan interaksi yang dilakukan seseorang secara terus menerus
dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan dengan lingkungan di sekitarnya
(Calhoun dan Acocella, 2004). Penyesuaian keluarga terdiri atas penyesuaian
emosi orang tua, kerjasama orang tua, dan hubungan keluarga (Sanders et al. 2014).
Sanders et al. 2014 menyatakan bahwa penyesuaian emosi orang tua, kerjasama
orang tua dalam pengasuhan dan hubungan dengan keluarga memiliki pengaruh
terhadap perilaku anak. Kontrol emosi orang tua yang rendah cenderung
meningkatkan agresivitas pada anak melalui proses pengasuhan (Nelson et al.
2013). Dads dan Powell (1991) menyebutkan bahwa kegagalan dalam penyesuaian
pernikahan yang dialami oleh orang tua akan menigkatkan perilaku yang tidak
diinginkan seperti agresivitas, kecemasan, dan tekanan, melalui proses pengasuhan.
Ibu yang memiliki tingkat stres yang tinggi berhubungan dengan tingginya perilaku
agresif anak di masa yang akan datang (Dubois-Comtois et al. 2013). Penyesuaian
keluarga memengaruhi perilaku agresivitas anak melalui kekerasan dalam
pengasuhan. Meinck et al. (2015) menyatakan bahwa kegagalan pasangan dalam
3

melakukan penyesuaian keluarga menjadi salahsatu faktor resiko terjadinya


kekerasan pada anak.
Selain faktor lingkungan keluarga, lingkungan sekolah menjadi bagian
mikrosistem yang juga mempengaruhi perilaku anak. Gambaran kualitas dan
karakter dari lingkungan sekolah disebut dengan iklim sekolah. Iklim sekolah
mengacu pada pola pengalaman masyarakat sekolah. Iklim sekolah mencerminkan
norma-norma, tujuan, nilai-nilai, hubungan interpersonal, proses belajar mengajar,
dan struktur organisasi. Selain itu, iklim pembelajaran juga meliputi harapan dan
dukungan secara sosial dan emosi, serta keamanan fisik (Cohen et al. 2009). Henry
(2011) menyatakan bahwa iklim sekolah merupakan elemen penting untuk
memahami perilaku anak di lingkungan sekolah, dimana iklim sekolah memainkan
peranan penting untuk memprediksi resiko terjadinya perilaku agresi. Iklim sekolah
yang baik berpotensi menurunkan perilaku agresi pada anak dan memiliki
hubungan positif dengan prestasi akademik dan keberhasilan sekolah (Cohen et al.
2009 dan Henry 2011).
Berdasarkan permasalahan yang dihadapi saat ini berkaitan dengan kekerasan
dalam pengasuhan, iklim sekolah yang tidak kondusif dan kaitannya dengan
agresivitas, kajian mengenai pengaruh penyesuaian keluarga, pengasuhan,
kekerasan dalam pengasuhan, iklim sekolah terhadap agresivitas menjadi penting
untuk dilakukan.

Perumusan Masalah

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,


termasuk anak yang masih dalam kandungan (UU No.35 Tahun 2014). Berdasarkan
teori Bronfenbrenner perilaku anak termasuk agresivitas dipengaruhi oleh
lingkungan sekitarnya yang meliputi lingkungan mikrosistem, mesosistem,
eksosistem, makrosistem, dan kronosistem. Lingkungan mikrosistem merupakan
lingkungan yang paling dekat dengan anak dan memiliki pengaruh besar pada diri
anak (Hastuti 2015). Keluarga merupakan salah satu komponen lingkungan
mikrosistem dalam kehidupan anak. Berdasarkan UU No 35 tahun 2014 orang tua
dan keluarga memiliki kewajiban untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan
melindungi anak; menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat
dan minatnya; mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak; memberikan
pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.
Kewajiban orang tua telah tercantum dengan jelas di dalam Undang-Undang,
tetapi pelanggaran terhadap perlindungan anak masih saja ditemui. Data yang
dipublikasikan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI 2016)
menyebutkan bahwa selama Januari-Juli 2016 tercatat 84 kasus kekerasan fisik, 37
kasus kekerasan psikis, dan 120 kasus kekerasan seksual, 63 kasus penelantaran
anak, dan 124 kasus penelantaran ekonomi (tidak dinafkahi), dengan anak sebagai
korban.
Provinsi Jawa Barat adalah provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di
Indonesia. Pada tahun 2017 jumlah penduduknya sebanyak 47.38 juta jiwa, dengan
jumlah anak usia jumlah anak usia sekolah sebanyak 8 625 886 jiwa. Distribusi
penduduk terbesar menurut kabupaten atau kota adalah Bogor (11.79%) (BPS Jabar
2017), dimana Bogor Barat merupakan kecamatan dengan sebaran penduduk
terbesar di kota Bogor (BPS Bogor 2017).
4

Banyak dari kasus kekerasan yang terjadi pada anak terjadi di lingkungan
keluarga. Penelitian Rahmawati (2014) menunjukkan bahwa remaja di Bogor masih
sangat rentan terhadap kekerasan verbal dari kedua orang tua. Kekerasan yang
dilakukan orang tua salah satunya dipengaruhi proses pengasuhan. Kekerasan
dalam pengasuhan menjadi salah satu faktor resiko terjadinya kekerasan terhadap
anak (Meinck et al. 2015). Annerback (2012) menyebutkan bahwa kekerasan yang
diterima anak berhubungan dengan meningkatnya kekerasan. Hubungan antara
riwayat kekerasan yang diterima anak dan perilaku kekerasan yang dilakukan anak
ditemukan lebih kuat pada anak yang mengalami kekerasan secara berulang.
Terjadinya kekerasan dalam pengasuhan salah satunya disebabkan oleh
penyesuaian keluarga. Penyesuaian keluarga memengaruhi perilaku agresivitas
anak melalui kekerasan dalam pengasuhan. Meinck et al.(2015) menyatakan bahwa
kegagalan pasangan dalam melakukan penyesuaian keluarga menjadi salahsatu
faktor resiko terjadinya kekerasan pada anak.
Selain di lingkungan keluarga, kekerasan pada anak seringkali terjadi di
lingkungan sekolah. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI 2016)
menunjukkan pada tahun 2016 tercatat 267 kasus pelanggaran perlindungan anak
di dunia pendidikan. Puspitawati et al. (2013) menemukan bahwa anak di Kota
Bogor masih rentan terhadap kekerasan yang terjadi di sekolah. Padahal, keamanan
di lingkungan sekolah merupakan salah satu prediktor perilaku agresif pada siswa
(Elsaesser et al. 2013).
Anak yang memiliki riwayat menjadi korban kekerasan berpotensi memiliki
perilaku yang beresiko. Vasquez et al. (2010) menyatakan bahwa salah satu faktor
yang melatarbelakangi kenakalan remaja adalah agresivitas. Data KPAI (2016)
menunjukkan selama Januari-Juli 2016 terdapat 62 kasus kekerasan fisik, 23 kasus
kekerasan psikis, dan 86 kasus kekerasan seksual, 41 kasus tawuran dan 93 kasus
bully dengan anak sebagai pelaku. Puspitawati (2009) dalam penelitiannya
menemukan bahwa 40 persen siswa sekolah menengah pernah terlibat dalam
perkelahian, merusak benda milik orang lain (34.5%), memukul orang sampai
terluka (20.4%), memukul orang dengan senjata (12.3%) dan membawa senjata
tajam ke sekolah (13.0%). Kajian kenakalan dan agresivitas pada anak usia sekolah
dasar masih terbatas, namun perlu dilakukan mengingat tingginya agresivitas yang
sampai pada perilaku kenakalan bahkan kriminal pada usia remaja. Kajian ini
menjadi perlu dilakukan sebagai tindakan preventif agresivitas dan kenakalan pada
remaja. Hal ini menarik bagi peneliti untuk mengkaji lebih lanjut mengenai
pengaruh pengasuhan, kekerasan dalam pengasuhan, iklim sekolahdan kaitannya
dengan perilaku agresif pada anak usia sekolah. Oleh karena itu, penelitian ini
dilakukan untuk menjawab pertanyaan berikut:
1. Bagaimana penyesuaian keluarga, pengasuhan, kekerasan dalam pengasuhan,
iklim sekolah dan agresivitas pada anak usia sekolah ?
2. Apakah terdapat perbedaan penyesuaian keluarga, pengasuhan, kekerasan dalam
pengasuhan, iklim sekolah dan agresivitas antara anak laki-laki dan perempuan ?
3. Apakah faktor keluarga (penyesuaian keluarga, pengasuhan, dan kekerasan
dalam pengasuhan) dan iklim sekolah memengaruhi perilaku agresi pada anak
usia sekolah ?
4. Apakah penyesuaian keluarga memiliki pengaruh terhadap pengasuhan, dan
kekerasan dalam pengasuhan ?
5

5. Faktor apa (keluarga atau sekolah) yang paling kuat menjadi pemicu terjadinya
agresivitas pada anak usia sekolah ?

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum
Menganalisis pengaruh penyesuaian keluarga, pengasuhan, kekerasan dalam
pengasuhan, dan iklim sekolah terhadap terhadap agresivitas pada anak usia sekolah.

Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis perbedaan penyesuaian keluarga, pengasuhan, kekerasan dalam
pengasuhan, iklim sekolah dan agresivitas anak usia sekolah pada anak laki-laki
dan perempuan.
2. Menganalisis hubungan karakteristik anak dan keluarga, penyesuaian keluarga,
pengasuhan, kekerasan dalam pengasuhan, iklim sekolah dengan agresivitas
pada anak usia sekolah.
3. Menganalisis pengaruh penyesuaian keluarga, pengasuhan, kekerasan dalam
pengasuhan, dan iklim sekolah terhadap agresivitas pada anak usia sekolah.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memberikan informasi kepada


orang tua tentang pengaruh penyesuaian keluarga, pengasuhan, kekerasan dalam
pengasuhan, iklim sekolah terhadap agresivitas anak usia sekolah. Dengan
demikian penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi orangtua dalam
melakukan pengasuhan yang layak bagi anak. Bagi institusi sekolah hasil penelitian
ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk perbaikan iklim sekolah guna
menurunkan tingkat agresivitas siswa dan mendorong terbentuknya karakter positif
pada siswa. Bagi pemerintah khususnya KPPA hasil penelitian ini diharapkan dapat
dijadikan landasan untuk membuat materi, strategi, dan media dalam penyuluhan
program dan kebijakan yang berkaitan dengan keluarga dan perlindungan anak.
Bagi penelitian selanjutnya, diharapkan penelitian ini dapat berguna untuk
pengembangan ilmu di bidang ilmu keluarga dan perkembangan anak.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Teori Sosial Learning

Menurut teori pembelajaran sosial seseorang tidak dilahirkan dengan


performa agresif, tetapi memperoleh perilaku agresif melalui pembelajaran.
Individu melakukan proses belajar dengan mengamati perilaku orang lain pada
kesehariannya. Anak belajar perilaku agresif dengan mengamati langsung melalui
interaksi kesehariannya (modeling). Pembelajaran dihasilkan dari pengalaman
langsung saat mengamati orang lain dan mengetahui konsekuensinya. Pola perilaku
6

bisa dibentuk melalui akuisisi pembelajaran observasional (Bandura 1978).


Agresivitas berkembang melalui pembelajaran dengan pengamatan (observational
learning), perilaku yang didorong (reinforced performance), dan penentu struktural
(structural determinants) (Bandura 1978).
Pembelajaran dihasilkan dari pengalaman langsung dan pengetahuan
terhadap konsekuensi dari perilaku tersebut. Anak-anak memperoleh perilaku
agresif dari pengamatan terhadap model yang berperilaku agresif, kemudian anak
memunculkan perilaku agresif. Perilau agresif dapat berkembang melampaui dari
apa yang mereka amati. Teori agresi bukan hanya menceritakan bagaimana perilaku
agresif diperoleh, tetapi juga bagaimana perilaku diaktifkan dan disalurkan.
Perilaku agresif diaktifkan oleh dorongan agresif yang dimiliki secara bawaan
dalam diri yang dipicu oleh frustasi, sehingga memunculkan perilaku agresif.
Menurut teori sosial learning perilaku agresif diaktifkan dengan adanya
permusuhan (fisik dan verbal), dan ajakan intensif untuk berperilaku agresif, tetapi
tidak seriap rangsangan ditranggapi dengan perilaku agresif karena masing-masing
individu memiliki pengaturan diri. Perilaku agresif yang sudah aktif dapat
disalurkan karena adanya dorongan seperti pengharapan dan hukuman. Hal tersebut
membuat anak mengidentifikasi perilaku yang diharapkan (moral justice) (Bandura
1978).

Teori Struktural-Fungsional

Pendekatan teori struktural-fungsional merupakan pendekatan teori yang


diterapkan pada institusi keluarga. Kehidupan dalam keluarga merupakan
gambaran kecil kehidupan masyarakat dengan kesamaan prinsip kehidupan sosial
serupa di dalamnya. Pendekatan struktural-fungsional dalam keluarga pertama kali
dikembangkan oleh William F. Ogburn dan Talcot Parsons, pada abad ke-20.
Pendekatan struktural-fungsional mengakui bahwa struktur masyarakat terbentuk
karena adanya keberagaman. Hal ini membuat fungsi dari masing-masing
komponen dalam struktur menjadi beragam sesuai dengan posisinya dalam struktur
tersebut. Namun perbedaan fungsi ditujukan untuk kepentingan kesatuan struktur
tersebut bukan kepentingan masing-masing komponen di dalamnya. Struktur dan
fungsi dipengaruhi oleh budaya, norma dan nilai-nilai yang melandasi sistem
masyarakat (Megawangi 2014).

Teori Bronfenbrenner

Teori ekologi merupakan pandangan sosiokultural tentang perkembangan,


yang terdiri dari lima sistem lingkungan mulai dari interaksi langsung dengan
lingkungan yang terdekat, hingga lingkungan yang luas seperti budaya. Teori
Ekologi menyatakan bahwa anak dan konteks lingkungan saling memengaruhi satu
sama lain di dalam interaksinya sebagai sebuah proses yang mendorong
perkembangan anak. Teori Bronfenbrenner menyajikan model pandangan dari segi
ekologi keluarga dalam memahami proses sosialisasi anak-anak. Model tersebut
menempatkan posisi anak atau keluarga inti pada pusat di dalam model yang secara
langsung dapat berinteraksi dengan lingkungan yang berada di sekitarnya.
Perkembangan yang efektif akan terjadi ketika individu terlibat di dalam sebuah
7

aktivitas yang rutin dan dalam periode waktu yang lama, yang melibatkan interaksi
timbal balik antara individu dan konteks lingkungan. Lima sistem tersebut adalah
mikrosistem, mesosistem, eksosistem, makrosistem, dan kronosistem (Santrock
2012 ; Puspitawati 2012).
Lingkungan mikrosistem merupakan lingkungan yang paling dekat dengan
anak, dimana dilingkungan ini terjadi interaksi langsung antara anak dan agen sosial
yang ada disekitarnya. Lingkungan mikrosistem meliputi lingkungan keluarga,
lingkungan pertemanan, dan lingkungan sekolah. Dalam konteks ini, individu tidak
bersifat pasif tapi juga aktif membentuk lingkungan. Bronfenbrenner menunjukkan
bahwa kebanyakan penelitian tentang dampak sosiokultural berfokus pada
mikrosistem. Lingkungan mesosistem adalah hubungan antar lingkungan
mikrosistem, contohnya adalah hubungan antara lingkungan keluarga dan
lingkungan pertemanan pada anak. Para ahli perkembangan juga menekankan
pentingnya perilaku dengan setting majemuk untuk melihat secara lengkap tentang
perkembangan individu. Lingkungan ekosistem merupakan lingkungan dimana
individu tidak terlibat langsung di dalamnya, tetapi mempengaruhi kehidupan
individu. Misalnya, pekerjaan seorang ibu dapat memengaruhi hubungan dengan
suaminya dan anaknya. Lingkungan makrosistem meliputi kebudayaan dimana
individu itu tinggal. Lingkungan kronosistem meliputi pemolaan peristiwa-
peristiwa yang terjadi di lingkungan individu selama masa kehidupannya (Santrock
2012 ; Puspitawati 2012).

Anak Usia Sekolah

Perkembangan Fisik
Pada usia 5-10 tahun anak laki-laki dan perempuan memiliki pertumbuhan
fisik yang sama. Pada usia 5 tahun anak-anak memiliki tinggi 107cm dan berat 18-
20 Kg dan pada usia 10 tahun anak-anak memiliki tinggi 132 inci dan berat 34-36
Kg. Pada usia sekolah dasar, kemampuan kordinasi anak berkembang pesat. Anak
mulai menguasai keterampilan mengendarai sepeda, berenang, olahraga tim,
menggambar, dan memainkan instrumen musik. Dasar kemapuan motorik kasar
seperti berlari dan melompat, serta kemampuan motorik halus seperti menggunting
dan menggambar harus sudah dimiliki pada saat anak berusia 7 tahun, dan
perkembangannya terus berlanjut seiring dengan pertambahan usia.(Brooks 2011).

Perkembangan Emosi
Kehidupan emosional anak-anak lebih compleks.Anak-anak dapat
mengalami dua atau lebih perasaan tentang suatu peristiwa. Mereka bisa bahagia,
ketika ibu memanggang kue ulang tahun, tapi marah padanya untuk tidak
memberikan izin untuk membuka hadiah awal. Tingkat emosi yang tinggi juga
menjadi hambatan dalam proses pembelajaran pada anak usia sekolah, dan orang
tua memiliki peran untuk membantu anak untuk meregulasi perasaan anak. Seiring
waktu, mereka belajar untuk terintegrasi perasaan mereka (Brooks 2011).
Anak menyembunyikan perasaan mereka dan memberikan empat alasan
umum untuk melakukannya: untuk menghindari konsekuensi, untuk melindungi
perasaan atau harga diri, untuk menjaga hubungan baik dengan lainnya dan tidak
melaukan pelanggaran, dan untuk membuat konvensi. Pada usia sembilan atau
sepuluh tahun anak-anak mulai memiliki aturan, seperti senyum ketika
8

mendapatkan hadiah bahkan ketika tidak menyukainya, dan meminta maaf ketika
berbuat salah (Brooks 2011).
Anak-anak mengekspresikan perasaan mereka yang sebenarnya kepada
orang tua, pengasuh dewasa, dan sahabat. Anak-anak mengungkapkan perasaan
batin mereka ketika mereka sendirian dengan orang yang mereka percayai. ngnya,
sebagian anak-anak (terutama anak laki-laki) ketika usianya bertambah, mereka
mengantisipasi respon kurang positif dari orang lain, bahkan dari orang tua. Dengan
demikian, anak laki-laki yang lebih tua jauh lebih kecil kemungkinannya untuk
mengungkapkan perasaan mereka maka yang perempuan atau anak laki-laki yang
lebih muda (Brooks 2011).

Penyesuaian Keluarga

Penyesuaian merupakan proses dan cara interaksi yang dilakukan seseorang


secara terus menerus dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan dengan
lingkungan di sekitarnya (Calhoun dan Acocella 2004). Penyesuaian dalam
keluarga dapat didefinisikan sebagai proses dan cara yang dilakukan oleh seseorang
untuk melakukan penyesuaian yang terjadi dalam lingkup keluarga, yang terdiri
dari penyesuaian istri/suami terhadap dirinya sendiri, terhadap keluarga besarannya,
juga mencakup kerja sama antara suami dan istri khususnya berkaitan dengan
pengasuhan (Sanders et al. 2014).Penyesuaian orang tua berkaitan dengan perannya
sebagai pengasuh didefinisikan sebagai stress, depresi, dan kecemasan yang
dirasakan oleh orang tua.Hubungan keluarga didefinisikan sebagai tingkat
dukungan dan kebebasa lingkungan keluarga dari konflik.Kerja sama Orang tua
dalam pengasuhan didefinisikan sebagai dukungan yang diterima oleh pasangan
dalam menjalankan peran pengasuhan (Sanders et al. 2014). Hurlock (2002)
penyesuaian diri dalam perkawinan dibagi menjadi empat bagian, meliputi
penyesuaian dengan pasangan, penyesuaian seksual, penyesuaian keuangan, dan
penyesuaian dengan keluarga. Pentingnya penyesuaian dan tanggung jawab sebagai
suami atau istri dalamsebuah perkawinan akan berpengaruh terhadap keberhasilan
dalam hidup berumah tangga.Keberhasilan dalam hidup berumah tangga akan
menghasilkan kepuasan dalam perkawinan, mencegahkekecewaan, dan perasaan-
perasaanbingung, sehingga seseorang mampu untuk menyesuaikan diri dalam
kedudukannyasebagai suami atau istri serta di kehidupandalam bermasyarakat
(Hurlock, 2002). Pada penelitian ini digunakan konsep Sanders et al. (2014).

Pengasuhan

Keluarga merupakan institusi sosial budaya terkecil di masyarakat yang


mempunyai peran sangat besar bagi pembentukan perilaku anak dan dalam
mencetak karakter individu yang terpuji. Tujuan membentuk keluarga adalah untuk
menjalankan ajaran agama dalam bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa demi
mencapai kebahagiaan/ kesejahteraan bagi anggota keluarganya dan untuk
melestarikan keturunan (Puspitawati 2012). Salah satu fungsi keluarga adalah
melakukan pengasuhan. Pengasuhan didefinisikan sebagai pengalaman,
keterampilan, kualitas dan tanggung jawab yang dilakukan orang tua dalam
mendidik dan merawat anak, sehingga anak dapat menjadi pribadi yang diharapkan
9

oleh keluarga dan masyarakat dimana dia berada (Hastuti 2015). Brooks (2011)
mendefinisikan pengasuhan sebagai proses membesarkan, memberikan
perlindungan, memberika perhatian, dan nilai untuk perkembangan anak dari sejak
lahir hingga memasuki usia dewasa. Pengasuhan dapat dikategorikan menjadi
pengasuhan dan kekerasan dalam pengasuhan (Hastuti 2015).
Menurut Sanders et al. (2014) pengasuhan dapat diukur menggunakan 2
domain meliputi praktek pengasuhan dan hubungan orang tua dan anak. Sanders
et al. (2014) membagi praktek pengasuhan menjadi beberapa dimensi, meliputi
konsistensi dalam pengasuhan, tidak adanya tindakan koersif dalam pengasuhan,
dan dorongan positif. Sanders et al. (2014) menjelaskan bahwa pengasuhan
ditunjukkan dengan konsistensi yang baik dalam pengasuhan, dorongan positif
yang diberikan, pengasuhan tanpa koersivitas, dan hubungan baik yang dibangun
antara anak dan pengasuh.
Praktek pengasuhan didefinisikan sebagai pendekatan/gaya pengasuhan
yang diekspresikan dengan strategi yang digunakan orang tua untuk
mempromosikan perilaku yang positif dan prososial pada anak (Sanders et al. 2014).
Sanders et al. (2014) membagi praktek pengasuhan menjadi beberapa dimensi,
meliputi konsistensi dalam pengasuhan, tindakan koersif dalam pengasuhan, dan
dorongan positif.
Berdasarkan situs Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online,
konsistensi dedefinisikan sebagai ketetapan dan kemantapan dalam bertindak.
Dalam konteks praktek pengasuhan konsistensi dalam pengasuhan didefinisikan
sebagai ketetapan atau kemantapan dalam melakukan strategi untuk
mempromosikan perilaku positif.
Tindakan koersif dalam pengasuhan didefinisikan sebagai proses penguatan
yang ditandai dengan pemaksaan yang dilakukan oleh pengasuh, yang tidak sengaja
membuat anak menjadi memperkuat perilaku sulit anak, dan selanjutnya
memunculkan kekerasan dalam pengasuhan yang akan berhenti jika ada salah satu
pihak yang berkuasa (Paterson 1982 dalam Smith et al. 2014). Siklus ini dimulai
saat anak bereaksi marah atau resisten terhadap permintaan pengasuh, hal ini
membuat pengasuh marah dan menunjukkan sikap permusuhan sehingga terjadilah
tindakan koersif dalam pengasuhan (Snyder et al. 1993 dalam Smith et al. 2014).
Anak belajar pola perilaku dalam keluarga kemudian membawanya ke luar
lingkungan keluarga hal tersebut stabil selama masa perkembangan. Keluarga yang
menerapkan pengasuhan yang tidak tepat, salah satunya ditandai dengan perilaku
koersif dalam pengasuhan akan menyebabkan perilaku negatif pada anak (Granic
dan Patterson 2006). Berdasarkan penelitian Smith et al. (2014), koersifitas dalam
pengasuhan menurunkan kepuasan anak, menyebabkan anak memiliki perilaku
oposisi terhadap guru dan tingkat agresif yang tinggi.
Dorongan dalam pengasuhan diartikan sebagai suatu pola perlakuan orang
tua untuk membantu anak, membimbing mereka, sehingga mereka mungkin tidak
merasa berkecil hati ketika mengalami kesulitas. Hal ini penting untuk psikologis
dan perilaku anak (Sharma 1988 dalam Bashir dan Bashir 2016). Sekar dan Mani
(2013) menemukan bahwa terdapat perbedaan dorongan orang tua terhadap anak di
pedesaan dan perkotaan. Orang tua memiliki posisi yang unik untuk mempengaruhi
anak untuk memberikan dorongan, yaitu melalui rutinitas sehari-hari, dan diskusi,
pujian, kehangatan, pengaturan batas, dan stimulasi intelektual (Bashir dan Bashir
2016). Bashir dan Bashir (2016) dalam penelitiannya membuktikan bahwa
10

dorongan orang tua pada anak di pedesaan dan perkotaan berbeda signifikan,
dimana di perkotaan dukungan orang tua terhadap anak lebih tinggi. Hal ini
disebabkan oleh status sosial ekonomi yang rendah, orang tua di pedesaan
mayoritas mengalami buta huruf atau kurang berpendidikan dan sebagian besar
bekerja sebagai buruh di sektor pertanian. Remaja pedesaan baik laki-laki atau
perempuan, merasakan dorongan yang kurang orangtua, yang pada gilirannya
menyebabkan kurang percaya diri. Sebaliknya, remaja perkotaan, baik laki-laki
atau perempuan, merasakan dorongan orangtua yang tinggi, dimana hal tersebut
mengarah anak untuk meningkatkan percaya diri.
Hubungan orang tua-anak didefinisikan sebagai kehangatan yang dirasakan
secara timbal balik, dan kepuasan orang tua terhadap hubungan dengan anak
(Sanders et al. 2014). Boinstein et al. (2011) berpendapat bahwa hubungan orang
tua-anak merupakan bagian dari praktek pengasuhan, tetapi Boinstein et al.
membaginya kedalam hal-hal yang lebih spesifik, meliputi bahasa, sensitifitas,
ekspresi kasih ng, dan kegiatan bermain.
Bahasa merupakan sarana orang tua untuk memberikan instruksi dalam
pengasuhan, dan merupakan unsur penting dalam interaksi, komunikasi, dan
sosialisasi antara orang tua dan anak. Sensitifitas didefinisikan sebagai kualitas
afeksi hubungan emosional antara orang tua dan anak dan berfokus pada
aksesibilitas Ibu kepada anak serta kemampuan untuk membaca dan menanggapi
komunikasi anak. Ekspresi kasih ng merupakan perilaku menyampaikan kasih dan
kelembuutan untuk anak, dimana hal ini dilakukan dengan terang-terangan
mengungkapkan kehangatan dan penerimaan. Hal ini bertujuan untuk menghibur,
mengungkapkan kehangatan dan persetujuan, kasih ng, maupun penegasan.
Kegiatan bermain merupakan situasi sosial-kognitif umum, yang dilakukan secara
interaktif, hal ini ditujukan untuk memberikan pengalaman menyenangkan,
adaptasi dan promosi perilaku positif, dan melatih kemampuan anak (Boinstein et
al. 2011).

Kekerasan dalam Pengasuhan

Berdasarkan UUPA No. 35 tahun 2014, kekerasan adalah setiap perbuatan


terhadap Anak yang berkaitan dengan timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum. Kanbay etal.(2016) kekerasan dan pengabaian secara umum didefinisikan
sebagai perilaku dan ketidakadaan pengasuh/orang yang bertanggungjawab atsa
pengasuhan, kesehatan, dan perlindungan anak yang menyebabkan kerugian fisik,
psikologis, seksual dan sosial dan membahayakan kesehatan dan keamanan anak.
Bagaimana kekerasan atau konflik terjadi dapat dijelaskan oleh teori sosial konflik
(Straus 1998).
Kekerasan dapat berbentuk fisik, emosi, seksual, dan pengabaian.
Pengabaian dibagi kedalam pengabaian fisik dan emosi (Kanbay etal. 2016).
Perbedaan utama antara kekerasan dan peneantaran adalah sifatnya. Penelantaran
bersifat pasif sementara kekerasan bersfat aktif (Kanbay etal. 2016). Kekerasan dan
penelantaran lebih sering terjadi pada keluarga yang memiliki faktor-faktor resiko
seperti usia orang tua yang terlalu muda, harapan orang tua yang terlalu tinggi,
11

kekerasan yang pernah dialami orang tua, sosial ekonomi yang rendah dan
kekerasan dalam rumah tangga (Kanbay etal. 2016).
Jenis kekerasan dan pengabaian menurut Kanbay etal. 2016 meliputi
kekerasan fisik, seksual, emosi, dan eksploitasi ekonomi. Kekerasan fisik
didefinisikan sebagai upaya atau tindakan kekerasan yang disengaja, yang
menyababkan nyeri pada anak dan menimbulkan bahaya pada fungsi
perkembangan anak. Keterlambatan dalam pengobatan, pengobatan yang salah
juga dikategorikan dalam kekerasan fisik. Kekerasan fisik merupakan permaslahan
sosial yang besar di dunia.Hal ini dikarenakan prevalensi kekerasan fisik, dan
hubungan karakteristik dengan perilaku. Kekerasan seksual adalah kekerasan yang
dilakukan oleh seseorang yang usianya lebih tua atau siapapun yang
memungkinkan melakukan penyalahgunaan seksual anak, untuk kepuasan seksual
secara paksa, dengan persuasi, atau siapapun yang memungkinkan melakukan
penyalahgunaan seksual anak (Kanbay etal. 2016). Kekerasan Emosional.
Kekerasan emosial meliputi ucapan atau tindakan yang melukai anak secara emosi,
meliputi perlakuan seperti hukuman, menakit-nakuti, mengancamkan, meremehkan
dan tidak memberikan kasih ng (Kanbay etal. 2016). Eksploitasi Ekonomi.
Eksploitasi ekonomi didefinisikan sebagai mempekerjakan anak, sehingga dapat
melanggar anak serta menghambat perkembangannya atau melibatkan anak dalam
pekerjaan berupah rendah. Individu yang memiliki riwayat kekerasan memiliki
permasalahan dalam pengelolalaan emosinya (Young dan Widom 2014).
Meinck et al. (2015) dalam penelitiannya menemukan faktor resiko dan
faktor proteksi dari kekerasan, yang dikategorikan dalam beberapa level, dari level
pengasuhan sampai faktor masyarakat. Faktor resiko pada level pengasuhan
meliputi konflik keluarga, kekerasan dalam keluarga, distribusi sumberdaya yang
tidak merata dalam rumah tangga, serta disiplin yang tidak konsisten. Pengasuhan
dapat menjadi faktor protektif terhadap kekerasan. Faktor resiko pada level
keluarga meliputi pergantian pengasuh, dan pengalaman anak tinggal dengan orang
tua tiri. Faktor resiko dari kesehatan adalah kecacatan pengasuh, pengasuh yang
sehat menjadi faktor proteksi dari perilaku kekerasan. Faktor resiko pada level
rumah tangga adalah adanya anggota yang merasakan kelaparan dan merasakan
tidak cukup makanan lebih dari tiga hari dalam satu pekan. Adanya minimal satu
anggota keluarga yang bekerja dapat menjadi faktor protektof terhadap perilaku
kekerasan. Faktor resiko pada level masyarakat adalah kekerasan yang terjadi
dalam masyarakat (baik fisik, emosi, dan seksual) dan perilaku bullying di tatanan
masyarakat.
Maguire et al. (2015) melakukan literatur review berkaitan dengan
pengabaian dan kekerasan emosi. Hasilnya menunjukan bahwa kekerasan emosi
pada anak usia sekolan menunjukkan berbagai efek, termasuk eksternalisasi
perilaku, depresi, dan kesulitan dalam mempertahankan hubungan dengan teman
sebayanya, serta memiliki IQ dan prestasi akademi yang rendah. Anak yang
mengalami riwayat kekerasahan memiliki permasalahan kesehatan dan cenderung
melakukan perilaku beresio seperti merokok, konsumsi alkohol, narkoba, perilaku
seksual beresiko, mencuru dan perilaku kekerasan (Annerback 2012). Kekerasan
seksual dapat memberikan dampak negatif baik pada kesehatan fisik maupun
kesehatan emosi. Setelah dieksplorasi, anak-anak yang memiliki perilaku agresi
ternyata memiliki riwayat kekerasan. Selain itu, komponen di lingkungan sekolah
juga memiliki posisi untuk menggali dan membantu anak yang mengalami
12

kekerasan untuk memunculkan perilaku positif dan meningkatkan prestasi


akademik (Maguire 2015).

Iklim Sekolah

Iklim sekolah adalah kualitas dan karakter dari sebuah lingkungan sekolah
yang mengacu pada pola pengalaman seluruh anggota masyarakat sekolah. Iklim
sekolah mencerminkan nilai-nilai, hubungan interpersonal,proses belajar mengajar,
struktur organisasi dan melibatkan dukungan sosial dan emosi serta keamanan fisik
dari lingkungan sekolah (Cohen et al. 2009). Iklim sekolah dijabarkan dalam empat
dimensi yang meliputi pengajaran dan pembelajaran, hubungan internasional,
keamanan, dan struktur lingkungan (Cohen et al. 2009; Thapa et al. 2013). Guo et
al. (2011) menjabarkan sepuluh dimensi untuk menilai iklim sekolah secara lebih
spesifik, meliputi dukungan belajar, pembelajaran sosial emosi, rasa hormat di
sekolah, dukungan sosial, hubungan antar siswa, aturan dan norna, perasaan aman,
kekerasan di sekolah, lingkungan fisik sekolah, dan kerjasama yang dilakukan
sekolah dengan pihak luar.
Iklim sekolah memiliki hubungan positif dengan prestasi akademik,
keberhasilan sekolah, dan pencegahan kekerasan secara efektif (Cohen et al. 2009).
Rasa saling menghargai terhadap perbedaan, dukungan orang dewasa, dan
hubungan antar teman sebaya dapat menurunkan perilaku kekerasan dan agresi
siswa di sekolah (Gage et al. 2014). Henry et al (2011) menyatakan bahwa norma
tentang perilaku, dan iklim sekolah merupakan elemen penting untuk memahami
perilaku anak dan mempresiksi terjadinya perilaku agresi pada anak. Beberapa
faktor dari iklim sekolah yang dapat menurunkan perilaku agresi dan kekerasan
pada anak menurut Elsaesser (2013) antara lain : 1) Hubungan antara guru-murid
dan hubungan antar murid; 2) Norma berkaitan dengan agresi dan kekerasan yang
diberlakukan di sekolah; dan 3) Tanggung jawab sekolah terhadap kekerasan yang
terjadi di kingkungan sekolah.

Agresivitas

Agresif adalah suatu perilaku yang dimaksudkan untuk mengganggu atau


mencederai diri sendiri maupun orang lain (Bandura 1978). Buss dan Perry (1992)
mengelompokkan perilaku agresi ke dalam emat bagian, meliputi agresi fisik,
agresi verbal, kemarahan, dan permusuhan. Agresi fisik adalah bentuk agresi
berupa penyerangan yang dilakukan kepada orang lain atau benda yang melibatkan
fisik. Agresi verbal adalah penyerangan yang dilakukan dengan menggunakan kata-
kata. Kemarahan adalah ekspresi emosi yang menunjukkan ketidaksenangan
terhadap sesuatu. Permusuhan adalah perilaku yang ditunjukkan untuk
menunjukkan pertentangan terhadap orang lain. Menurut teori sosial learning
perilaku agresif diaktifkan dengan adanya permusuhan (fisik dan verbal), dan
ajakan intensif untuk berperilaku agresif, tetapi tidak seriap rangsangan ditranggapi
dengan perilaku agresif karena masing-masing individu memiliki pengaturan diri.
Perilaku agresif yang sudah aktif dapat disalurkan karena adanya dorongan seperti
pengharapan dan hukuman. Hal tersebut membuat anak mengidentifikasi perilaku
yang diharapkan (moral justice) (Bandura 1978).
13

Individu yang memiliki agresivitas tinggi cenderung memiliki kehangatan


dan kepedulian yang rendah terhadap orang lain, mudah melampiaskan kemarahan,
serta memiliki perasaan cemas dan tingkat depresi yang tinggi (Fung et al 2015).
Pada masyarakat modern perilaku agresif dapat diadopsi dari tiga sumber utama.
Pertama, modeling dan gorongan dari keluarga, keluarga yang cenderung
memberikan solusi untuk anak melakukan agresi memicu perilaku agresi yang lebih
tinggi. Kedua, lingkungan budaya dimana anak tinggal, dimana anak banyak
mengalami kontak untuk melakukan interaksi. Ketiga, model simbolik dimana
salah satunya adalah media masa (Bandura 1978).
Berlianti et al. (2016) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi
agresi antara lain jenis kelamin, tempat tinggal, faktor ekonomi, dan hubungan
orang tua dan anak. Kawabata dan Crick (2016); Hutapea (2010); Berlianti (2016)
menyatakan bahwa terdapat perbedaan agresi antara laki-laki dan perempuan. Anak
laki Perbedaan jenis kelamin juga menunjukkan perbedaan jenis Agresivitas. Anak
perempuan memiliki nilai yang lebih tinggi pada agresi relasional, sementara laki-
laki lebih tinggi nilainya pada agresi fisik. Remaja laki-laki memiliki keinginan
lebih besar untuk berbuat kekerasan pada temannya, dibandingkan dengan anak
perempuan. Frekuensi agresi pada anak yang tinggal di daerah kota lebih tinggi
dibandingkan dengan anak yang tinggal di kabupaten. Faktor kemiskinan dan
ketiadaan sumber daya (pendapatan rendah) juga meningkatkan perilaku agresivitas
anak (Berlianti et al. 2016).Agresi juga dipengaruhi hubungan orang tua dan anak
dalam bentuk konflik, kekerasan yang terjadi selama proses pengasuhan (Berlianti
et al. 2016).
Agresi pada anak disebabkan oleh konflik antara anak dengan ayah, dan
agresi yang dilakukan Ibu terhadap anak (Kawabata dan Crick 2016). Stress Orang
tua memiliki pengaruh signifikan terhadap agresi anak (Liu dan Wang 2014; Fung
et al. 2013; Dubois-Cumtois 2013). Hubungan orang tua-anak yang berkualitas
dapat menurunkan tingkat agresi pada anak.Selanjutnya, gaya pengasuhan otoritatif
juga dapat menurunkan perilaku agresi pada anak, sebaliknya gaya pengasuhan
permisif dan otoriter dapat meningkatkan perilaku agresi pada anak (Fung et al.
2013). Morshed et al. (2015) membuktikan bahwa tingginya penolakan ayah dan
agresi (kekerasan) yang dilakukan ibuakan meningkatkan agresivitas anak. Anak-
anak yang memiliki perilaku agresif, setelah dieksplorasi ternyata memiliki riwayat
kekerasan (Maguire et al. 2015).

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Pendekatan teori truktural-fungsional merupakan pendekatan teori yang


diterapkan pada institusi keluarga. Kehidupan dalam keluarga merupakan
gambaran kecil kehidupan masyarakat dengan kesamaan prinsip kehidupan sosial
serupa di dalamnya. Pendekatan struktural-fungsional mengakui bahwa struktur
masyarakat terbentuk karena adanya keberagaman. Hal ini membuat fungsi dari
masing-masing komponen dalam struktur menjadi beragam sesuai dengan
posisinya dalam struktur tersebut. Namun perbedaan fungsi ditujukan untuk
kepentingan kesatuan struktur tersebut bukan kepentingan masing-masing
komponen di dalamnya. Struktur dan fungsi dipengaruhi oleh budaya, norma dan
nilai-nilai yang melandasi sistem masyarakat (Megawangi 2014). Teori ini
14

mendasari bagaimana pengasuhan dan penyesuaian dalam keluarga . Ketika kondisi


ideal pada struktural-fungsional tidak terpenuhi maka konflik akan terjadi.
Kekerasan dalam pengasuhan terjadi karena struktur dan fungsi tidak berjalan
sebagaimana mestinya.
Teori ekologi merupakan pandangan sosiokultural tentang perkembangan,
yang terdiri dari lima sistem lingkungan mulai dari interaksi langsung dengan
lingkungan yang terdekat, hingga lingkungan yang luas seperti budaya. Teori
Ekologi menyatakan bahwa anak dan konteks lingkungan saling memengaruhi satu
sama lain di dalam interaksinya sebagai sebuah proses yang mendorong
perkembangan anak. Perkembangan yang efektif akan terjadi ketika individu
terlibat di dalam sebuah aktivitas yang rutin dan dalam periode waktu yang lama,
yang melibatkan interaksi timbal balik antara individu dan konteks lingkungan.
Lima sistem tersebut adalah mikrosistem, mesosistem, eksosistem, makrosistem,
dan kronosistem.
Lingkungan mikrosistem merupakan lingkungan yang paling dekat dengan
anak, dimana dilingkungan ini terjadi interaksi langsung antara anak dan agen sosial
yang ada disekitarnya. Lingkungan mikrosistem meliputi lingkungan keluarga,
lingkungan pertemanan, dan lingkungan sekolah. Dalam konteks ini, individu tidak
bersifat pasif tapi juga aktif membentuk lingkungan. Bronfenbrenner menunjukkan
bahwa kebanyakan penelitian tentang dampak sosiokultural berfokus pada
mikrosistem. (Bronfenbrenner 1999; Santrock 2012). Lingkungan mikrosistem
sangat memengaruhi perilaku anak termasuk di dalamnya perilaku agresivitas.
Mekanisme terjadinya perilaku agresif dapat dijelaskan melalui teori pembelajaran
sosial.
Menurut teori pembelajaran sosial seseorang tidak dilahirkan dengan
performa agresif, tetapi perilaku agresif diperoleh melalui pembelajaran. Individu
melakukan proses belajar dengan mengamati perilaku orang lain pada
kesehariannya. Anak belajar perilaku agresif dengan mengamati langsung melalui
interaksi kesehariannya (modeling). Pembelajaran dihasilkan dari pengalaman
langsung saat mengamati orang lain dan mengetahui konsekuensinya. Pola perilaku
bisa dibentuk melalui akuisisi pembelajaran observasional (Bandura 1978). Sebuah
teori yang agresi yang lengkap harus menjelaskan bagaimana pola agresi
perkembang, apa yang membangkitkan perilaku agresif pada seseorang, dan apa
yang membuat perilaku agresi menjadi terus menerus dilakukan setelah dimulai.
Agresivitas berkembang melalui pembelajaran dengan pengamatan (observational
learning), perilaku yang didorong (reinforced performance), dan penentu struktur
(structural determinants) (Bandura 1978).
Pembelajaran dihasilkan dari pengalaman langsung dan mengetahui
konsekuensi dari perilaku tersebut. Anak-anak memperoleh perilaku agresif dari
pengamatan terhadap model yang berperilaku agresif, kemudian anak
memunculkan perilaku agresif. Perilau agresif dapat berkembang melampaui dari
apa yang mereka amati. Teori agresi bukan hanya menceritakan bagaimana perilaku
agresif diperolah, tetapi juga bagaimana perilaku diaktifkan dan disalurkan.
Perilaku pandangan lama agresif diaktifkan oleh dorongan agresif yang dimiliki
secara bawaan dalam diri yang dipicu oleh frustasi, sehingga memunculkan
perilaku agresif. Menurut teori sosial learning perilaku agresif diaktifkan dengan
adanya permusuhan (fisik dan verbal), dan ajakan intensif untuk berperilaku
agresif, tetapi tidak seriap rangsangan ditranggapi dengan perilaku agresif karena
15

masing-masing individu memiliki pengaturan diri. Perilaku agresif yang sudah aktif
dapat disalurkan karena adanya dorongan seperti pengharapan dan hukuman. Hal
tersebut membuat anak mengidentifikasi perilaku yang diharapkan (moral justice)
(Bandura 1978).

Teori Struktural Fungsional

Kekerasan dalam
Pengasuhan dan Pengasuhan
Penyesuaian Keluarga

Lingkungan Keluarga
Teori Pembelajaran
Sosial Bandura (Imitasi
Lingkungan dan Modeling)
Mikrosistem Agresivitas
(Teori Ekologi
Bronfrenbener)
Teori Pembelajaran
Sosial Bandura (Imitasi
Lingkungan
dan Modeling)
Sekolah

Gambar 1 Kerangka teori penelitian


Agresif adalah suatu perilaku yang dimaksudkan untuk mengganggu atau
mencederai diri sendiri maupun orang lain (Bandura 1978). Buss dan Perry (1992)
mengelompokkan perilaku agresi ke dalam empat bagian, meliputi fisik, verbal,
kemarahan, dan permusuhan. Menurut teori sosial learning perilaku agresif
diaktifkan dengan adanya permusuhan (fisik dan verbal), dan ajakan intensif untuk
berperilaku agresif, tetapi tidak seriap rangsangan ditanggapi dengan perilaku
agresif karena masing-masing individu memiliki pengaturan diri. Perilaku agresif
yang sudah aktif dapat disalurkan karena adanya dorongan seperti pengharapan dan
hukuman. Hal tersebut membuat anak mengidentifikasi perilaku yang diharapkan
(moral justice) (Bandura 1978).
Pada masyarakat modern perilaku agresif dapat diadopsi dari tiga sumber
utama. Pertama, modeling dan dorongan dari keluarga, keluarga yang cenderung
memberikan solusi untuk anak melakukan agresi memicu perilaku agresi yang lebih
tinggi. Kedua, lingkungan budaya dimana anak tinggal, dimana anak banyak
mengalami kontak untuk melakukan interaksi. Ketiga, model simbolik dimana
salah satunya adalah media masa (Bandura 1978).
Berlianti et al. (2016) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi
agresi antara lain jenis kelamin, tempat tinggal, faktor ekonomi, dan hubungan
orang tua dan anak. Kawabata dan Crick (2016); Hutapea (2010); Berlianti (2016)
16

menyatakan bahwa terdapat perbedaan agresi antara laki-laki dan perempuan. Anak
laki memiliki agresivitas lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan. Selain
itu, perbedaan jenis kelamin juga menunjukkan perbedaan jenis Agresivitas. Anak
perempuan memiliki nilai yang lebih tinggi pada agresi relasional, sementara laki-
laki lebih tinggi nilainya pada agresi fisik. Remaja laki-laki memiliki keinginan
lebih besar untuk berbuat kekerasan pada temannya, dibandingkan dengan anak
perempuan. Frekuensi agresi pada anak yang tinggal di daerah kota lebih tinggi
dibandingkan dengan anak yang tinggal di kabupaten. Faktor kemiskinan dan
ketiadaan sumber daya (pendapatan rendah) juga meningkatkan perilaku agresivitas
anak (Berlianti et al. 2016). Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik
anak dan keluarga memiliki pengaruh terhadap agresivitas.
Agresi juga dipengaruhi hubungan orang tua dan anak dalam bentuk konflik,
kekerasan yang terjadi selama proses pengasuhan (Berlianti et al. 2016).Hubungan
orang tua-anak yang berkualitas dapat menurunkan tingkat agresi pada anak.
Selanjutnya, gaya pengasuhan otoritatif juga dapat menurunkan perilaku agresi
pada anak, sebaliknya gaya pengasuhan permisif dan otoriter dapat meningkatkan
perilaku agresi pada anak (Fung et al. 2013). Yoshito et al. (2011) dalam hasil
penelitiannya menyebutkan bahwa pengasuhan yang positif akan menurunkan
tingkat agresivitas anak, begitupun sebaliknya. Agresi pada anak disebabkan oleh
konflik antara anak dengan ayah, dan agresi yang dilakukan Ibu terhadap anak
(Kawabata dan Crick 2016). Morshed et al. (2015) membuktikan bahwa tingginya
penolakan ayah dan agresi (kekerasan) yang dilakukan ibuakan meningkatkan
agresivitas anak. Anak-anak yang memiliki perilaku agresif, setelah dieksplorasi
ternyata memiliki riwayat kekerasan (Maguire et al. 2015).
Kekerasan dalam pengasuhan dan pengasuhan yang negaif salahsatunya
dipengaruhi oleh rendahnya nilai penyesuaian keluarga. Penyesuaian orang tua
berkaitan dengan perannya sebagai pengasuh didefinisikan sebagai stress, depresi,
dan kecemasan yang dirasakan oleh orang tua (Sanders et al. 2014). Depresi pada
suami atau istri dapat meningkatkan perilaku eksternalisasi pada anak. Selain itu
kegagalan dalam penyesuaian emosi pada suami atau istri akan menurunkan
penyesuaian pernikahan dan penyesuaian keluarga (Gartstein dan Fagot 2003).
Stress Orang tua memiliki pengaruh signifikan terhadap agresi anak (Liu dan Wang
2014; Fung et al. 2013; Cumtois 2013).
Selain faktor di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah juga memiliki
kontribusi terhadap terbentuknya perilaku agresif pada anak. Iklim sekolah
memiliki hubungan positif dengan prestasi akademik, keberhasilan sekolah, dan
pencegahan kekerasan secara efektif (Cohen et al. 2009). Rasa saling menghargai
terhadap perbedaan, dukungan orang dewasa, dan hubungan antar teman sebaya
dapat menurunkan perilaku kekerasan dan agresi siswa di sekolah (Gage et al.
2014). Henry et al (2011) menyatakan bahwa norma tentang perilaku, dan iklim
sekolah merupakan elemen penting untuk memahami perilaku anak dan
mempresiksi terjadinya perilaku agresi pada anak. Beberapa faktor dari iklim
sekolah yang dapat menurunkan perilaku agresi dan kekerasan pada anak menurut
Elsaesser (2013) antara lain : 1) Hubungan antara guru-murid dan hubungan antar
murid; 2) Norma berkaitan dengan agresi dan kekerasan yang diberlakukan di
sekolah; dan 3) Tanggung jawab sekolah terhadap kekerasan yang terjadi di
kingkungan sekolah.Kerangka pemikiran konseptual disajikan pada penelitian ini
disajikan pada Gambar 2.
Pengasuhan
Karakterisrik Keluara Konsistensi
Usia Ayah Non-koersif
Usia Ibu
Dorongan
Pekerjaan Orang tua
Lama Pendidikan Orang tua Hubungan Orangtua-Anak
Pendapatan Keluarga

Penyesuaian Keluarga Agresivitas Anak


Karakterisrik Anak Penyesuaian Ibu Fisik
Hubungan Keluarga Verbal
Jenis Kelamin
Kerjasana Pengasuhan Kemarahan
Permusuhan
Iklim Sekolah
Dukungan Belajar
Dukungan Sosial
Pembelajaran Emosi
Rasa Hormat
Kekerasan dalam Pengasuhan
Aturan dan Norma
Hubungan Antarsiswa
Psikologis
Tidak ada Kekerasan Fisik
Lingkungan Fisik Pengabaian
Perasaan Aman Seksual
Kerjasama Eksternal

Gambar 2 Kerangka konsep penelitian


18

4 METODE

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional study dengan metode


survei. Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2017, di Kecamatan Bogor
Barat, Kota Bogor. Terdiri dari persiapan, pengumpulan data, pengolahan data,
analisis data, dan penulisan laporan.

Populasi, Contoh, dan Prosedur Pengambilan Contoh

Populasi penelitian adalah keluarga yang memiliki anak usia Sekolah Dasar.
Contoh dalam penelitian ini adalah keluarga dengan anak usia kelas 4-5 Sekolah
Dasar. Responden penelitian adalah ibu dan anak. Kota Bogor dipilih secara
purposive. Berdasarkan data BPS Jawa Barat (2017) Kota Bogor merupakan
memiliki sebaran perduduk terbesar di Provinsi Jawa Barat.

Kota Bogor Purposive

Kec Bogor Barat Purposive

SD A SD B Cluster Random

39
74

L=28 P=46 L=20 P=19

Gambar 3 Kerangka penarikan contoh


Kecamatan Bogor Barat dipilih secara purposive. Kecamatan Bogor Barat
merupakan kccamatan dengan sebaran penduduk terbesar di Kota Bogor. Pemilihan
contoh menggunakan pendekatan sekolah menggunakan cluster random sampling.
Kecamatan Bogor Barat memiliki 63 sekolah Dasar, terdiri dari 50 Sekolah Dasar
Negeri dan 13 Sekolah Dasar Swasta. Dua Sekolah Dasar dipilih berdasarkan hasil
cluster random sampling. Seluruh siswa kelas 4-5 menjadi contoh penelitian.
Penelitian ini melibatkan 113 siswa kelas 4-5 Sekolah Dasar beserta ibunya. Hanya
19

99 data diolah lebih lanjut, karena 14 data contoh tidak memenuhi kriteria.
Kerangka penarikan contoh disajikan dalam Gambar 3.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data primer. Data primer yang dikumpulkan


meliputi karateristik demografi (usia anak, usia orang tua, jenis kelamin anak,
pendidikan orang tua dan pendapatan keluarga), penyesuaian keluarga, pengasuhan,
kekerasan dalam pengasuhan, iklim sekolah dan agresivitas. Seluruh data
dikumpulkan dengan cara mengisi kuesioner yang telah telah diuji validitas dan
reliabilitasnya. Prosedur penelitian terdiri dari dua tahap. Tahap pertama, siswa
mengisi kuesioner tentang kekerasan dalam pengasuhan yang diterima anak, iklim
sekolah dan agresivitas anak, dengan menggunakan metode self administreted.
Tahap kedua peneliti mendatangi rumah siswa untuk melakukan wawancara kepada
Ibu dengan menggunakan kuesioner tentang pengasuhan dan penyesuaian keluarga.

Instrumen dan Pengukuran Variabel

Penyesuaian keluarga diukur menggunakan Parenting and Family


Adjustment Scales (PAFAS; Sanders et al. 2014). Kuesioner terdiri dari 12
pertanyaan yang mencakup tiga dimensi meliputi penyesuaian orang tua (5
pertanyaan), hubungan keluarga (4 pertanyaan) dan kerjasama dalam pengasuhan
(3 pertanyaan), dengan rentang jawaban 1=sangat tidak sesuai, 2=tidak sesuai, 3=
sesuai, 4= sangat sesuai. Kuesioner memliki nilai Cronbach alfa sebesar 0.774.
Pengasuhan diukur menggunakan Parenting and Family Adjustment Scales
(PAFAS; Sanders etal. 2014). Kuesioner terdiri dari 18 pertanyaan yang mencakup
empat dimensi yang terdiri dari konsistensi dalam pengasuhan (5 pertanyaan),
pengasuhan nonkoersif (5 pertanyaan), dorongan positif (3 pertanyaan), dan
hubungan orang tua dan anak(5 pertanyaan), dengan rentang jawaban 1 = sangat
tidak sesuai, 2=tidak sesuai, 3= sesuai, 4= sangat sesuai. Kuesioner memliki nilai
Cronbach alfa sebesar 0.748.
Kekerasan dalam pengasuhan diukur menggunakan modifikasi kuesioner
The parent-child conflict tactics scales (CTS-PC) (Straus et al 1998). Kuesioner
yang digunakan terdiri dari 25 pertanyaan yang berkaitan dengan kekerasan yang
terjadi dalam pengasuhan. Kuesioner meliputi 4 dimensi yang terdiri dari agresi
psikologis (5 pertanyaan), kekerasan fisik (13 pertanyaan), pengabaian(5
pertanyaan),dankekerasan seksual(2 pertanyaan), dengan rentang jawaban 1 = tidak
pernah, 2 = kadang-kadang, 3 = sering, 4 = selalu.Kuesioner memliki nilai
Cronbach alfa sebesar 0.856.
Iklim sekolah diukur menggunakan The Student Comprehensive School
Climate Inventory V3.0 (Guo et al. 2011). Kuesioner terdiri dari sepuluh dimensi
yang meliputi dukungan belajar (12 pertanyaan), dukungan sosial (6 pertanyaan),
pembelajaran sosial-emosi (6 pertanyaan), rasa hormat di sekolah (6 pertanyaan),
aturan dan norma (6 pertanyaan), hubungan antar siswa (7 pertanyaan), kekerasan
di sekolah (8 pertanyaan), lingkungan fisik sekolah (4 pertanyaan), perasaan aman
(5 pertanyaan), dan kerjasama eksternal sekolah (3 pertanyaan), dengan rentang
20

jawaban 1= sangat tidak setuju, 2 = tidak setuju, 3 = setuju, 4 = sangat setuju.


Kuesioner memliki nilai Cronbach alfa sebesar 0.936.
Agresivitas diukur menggunakan kuesioner The Aggression Questionnaire
(Buss danPerry 1992). Kuesioner terdiri dari 29 pertanyaan yang meliputi agresi
fisik (9 pertanyaan), agresi verbal (5 pertanyaan), kemarahan (7 pertanyaan), dan
permusuhan (8 pertanyaan), dengan rentang jawaban 1= Tidak pernah sampai
4=selalu. Kuesioner memiliki nilai dengan Cronbach alfa 0.933.

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang terkumpul selanjutnya akan diolah melalui proses editing, coding,
scoring, entry, cleaning, analyzing, dan interpretasi data. Pengolahan data
menggunakan perangkat lunak Microsoft Office Excel dan analisis data dilakukan
dengan menggunakan program Statistical Package for Social Science (SPSS).Data
yang sudah didapatkan dari pengisian kuesioner, diberi penilaian untuk diolah lebih
lanjut. Penilaian variabel adalah sebagai berikut :
1. Kuesioner penyesuaian keluarga terdiri dari 12 pertanyaan dengan rentang
jawaban sangat tidak sesuai sampai sangat sesuai. Jawaban “sangat tidak sesuai”
diberikan nilai 0, “tidak sesuai” diberi nilai 1, “sesuai” diberi nilai 2, dan “sangat
sesuai” diberi nilai 3. Total minimal pada penyesuaian keluarga adalah 0 dan
total maksimal adalah 36.
2. Kuesioner pengasuhan terdiri dari 18 pertanyaan dengan rentang jawaban sangat
tidak sesuai sampai sangat sesuai. Jawaban “sangat tidak sesuai” diberikan nilai
0, “tidak sesuai” diberi nilai 1, “sesuai” diberi nilai 2, dan “sangat sesuai” diberi
nilai 3. Total minimal pada penyesuaian keluarga adalah 0 dan total maksimal
adalah 54.
3. Kuesioner kekerasan dalam pengasuhan terdiri dari 25 pertanyaan dengan
rentang jawaban tidak pernah – selalu. Jawaban “tidak pernah” diberikan nilai 0,
“jarang” diberi nilai 1, “sering” diberi nilai 2, dan “selalu” diberi nilai 3. Total
minimal pada penyesuaian keluarga adalah 0 dan total maksimal adalah 75.
4. Kuesioner iklim sekolah terdiri dari 63 pertanyaan dengan rentang jawaban
sangat tidak sesuai sampai sangat sesuai. Jawaban “sangat tidak sesuai”
diberikan nilai 0, “tidak sesuai” diberi nilai 1, “sesuai” diberi nilai 2, dan “sangat
sesuai” diberi nilai 3. Total minimal pada penyesuaian keluarga adalah 0 dan
total maksimal adalah 189.
5. Kuesioner agresivitas terdiri dari 29 pertanyaan dengan rentang jawaban tidak
pernah – selalu. Jawaban “tidak pernah” diberikan nilai 0, “jarang” diberi nilai
1, “sering” diberi nilai 2, dan “selalu” diberi nilai 3. Total minimal pada
penyesuaian keluarga adalah 0 dan total maksimal adalah 87.
Total perolehan skor yang didapat contoh, dirubah dalam bentuk index untuk
memenuhi ketentuan uji statistik.

X − skor minimum
Y= x 100
skor maksimum − skor minimum
Keterangan:
Y = skor contoh yang sudah di indeks
X = skor yang diperoleh contoh berdasarkan pengukuran
Skor minimum = skor minimum pada variabel
21

Skor maksimum = skor maksimum pada variabel


Analisis data yang digunakan pada setiap variable yang akan disesuaikan
dengan tujuan penelitian ditunjukkan sebagai berikut:
1. Statistika deskriptif digunakan untuk mengetahui jumlah, persentase, nilai
rataan, standar deviasi, dan nilai maksimum digunakan untuk memenuhi
identifikasi variabel.
2. Uji beda independent sampel T-test digunakan untuk melihat apakah terdapat
perbedaan variabel antara anak laki-laki dan perempuan
3. Uji korelasi digunakan untuk mengetahui hubungan antar variabel.
4. Path analysis (Pengujian jalur) digunakan untuk mengetahui pengaruh langsung
dan tidak langsung. Kerangka pengujian jalur disajikan dalam Gambar 1.
X1 P4,1
X4
P5,1
P3,1
PY,4
PY,4
P4,3

X3 P5,3
X5 PY,5
Y
P4,2
P3.2
PY,2
P5,2

X2
PY,6

X6
Gambar 4 Kerangka pengujian jalur
Keterangan :
X1 = Pendidikan Ibu
X2 = Jenis Kelamin
X3 = Penyesuaian Keluarga
X4 = Pendidikan Ibu
X5 = Jenis Kelamin
X6 = Penyesuaian Keluarga
Y = Agresivitas
P3,1 = Koefisien pengaruh pendidikan Ibu terhadap penyesuaia keluarga
P4,1 = Koefisien pengaruh pendidikan Ibu terhadap pengasuhan
P5,1 = Koefisien pengaruh pendidikan Ibu terhadap kekerasan dalam pengasuhan
P3,2 = Koefisien pengaruh jenis kelamin terhadap penyesuaia keluarga
P4,2 = Koefisien pengaruh jenis kelamin terhadap pengasuhan
P5,2 = Koefisien pengaruh jenis kelamin terhadap kekerasan dalam pengasuhan
PY,2 = Koefisien pengaruh jenis kelamin terhadap agresivitas anak
P4,3 = Koefisien pengaruh penyesuaian keluarga terhadap pengasuhan
P5,3 = Koefisien pengaruh penyesuaian keluarga terhadap kekerasan
P5,4 = Koefisien pengaruh pengasuhan terhadap kekerasan
Py,4 = Koefisien pengaruh penyesuaian pengasuhan terhadap agresivitas
Py,5 = Koefisien pengaruh kekerasan terhadap agresivitas anak
Py,6 = Koefisien pengaruh iklim sekolah terhadap agresivitas anak
22

Definisi Operasional

Penyesuaian keluarga adalah proses dan cara yang dilakukan oleh seseorang
untuk melakukan penyesuaian dalam lingkup keluarga, yang terdiri dari
penyesuaian ibu terhadap dirinya sendiri, hubungan dengan keluarga, juga
mencakup kerja sama antara suami dan istri berkaitan dengan pengasuhan.
Penyesuaian Ibu adalah proses dan cara yang dilakukan oleh ibu untuk melakukan
penyesuaian terhadap dirinya dalam menjalankan perannya sebagai pengasuh.
Hubungan keluarga adalah tingkat dukungan keluarga dan kebebasan lingkungan
keluarga dari konflik.
Kerjasama dalam pengasuhan dukungan yang diterima oleh pasangan dalam
menjalankan peran pengasuhan.
Pengasuhan adalah pengalaman, keterampilan, kualitas dan tanggung jawab yang
dilakukan orang tua dalam mendidik dan merawat anak, sehingga anak dapat
menjadi pribadi yang diharapkan oleh keluarga dan masyarakat dimana dia
berada.
Praktek pengasuhan pendekatan/gaya pengasuhan yang diekspresikan dengan
strategi yang digunakan orang tua untuk mempromosikan perilaku yang
positif dan prososial pada anak.
Konsistensi dalam pengasuhan ketetapan atau kemantapan dalam melakukan
strategi untuk mempromosikan perilaku positif.
Pengasuhan nonkoersif proses penguatan tanpa adanya pemaksaan yang
dilakukan oleh pengasuh, sehingga tidak memperkuat perilaku sulit anak,
yang selanjutnya memunculkan kekerasan dalam pengasuhan
Dorongan positif dalam pengasuhan suatu pola perlakuan orang tua untuk
membantu anak, membimbing mereka, sehingga mereka mungkin tidak
merasa berkecil hati ketika mengalami kesulitas.
Hubungan orag tua dan anak adalah interaksi orang tua dan pengasuh yang
mendatangkan kehangatan, dirasakan secara timbal balik, dan kepuasan
orang tua terhadap hubungan dengan anak
Kekerasan dalam pengasuhan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang
berkaitan dengan timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis,
seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum.
Agresi psikologis adalah salah satu bentuk kekerasan yang menimbulkan
kesengsaraan pada psikologis anak. Kekerasan dilakukan dalam verbal yang
ditujukan untuk merendahkan, membuat tidak nyaman, membuat anak
merasa tidak diterima, atau membuat anak merasa bersalah.
Kekerasan Fisik adalah bentuk kekerasan yang dilakukan dengan melibatkan fisik
dan kontak langsung. Kekerasan ini dapat menimbulkan cedera, penderitaan
fisik, sampai kerusakan bagian tubuh.
Pengabaian adalah bentuk kekerasan berupa perbuatan mengabaikan, melalaikan,
dan tidak mempedulikan.
Kekerasan Seksual adalah bentuk kekerasan baik berupa ucapan atau tindakan
yang mengarah pada kegiatan seksual yang tidak diinginkan, terjadi dengan
paksaan, dan tanpa persetujuan.
23

Iklim sekolah adalah presepsi anak tentang kualitas dan karakter dari sebuah
lingkungan sekolah yang mencerminkan nilai-nilai, hubungan
interpersonal,proses belajar mengajar, struktur organisasi dan melibatkan
dukungan sosial dan emosi serta keamanan fisik dari lingkungan sekolah.
Dukungan Belajar adalah respon yang membuat anak merasa diberikan dorongan
untuk belajar, dihargai hasil karyanya, dan diberikan kesempatan untuk
mengembangkan terus pembelajaran.
Dukungan Sosial adalah respon yang diberikan oleh lingkungan sosial sekitar yang
menunjukkan bahwa seseorang dicintai, dihargai, dihormati, dan dilibatkan
dalam lingkungan sosialnya.
Pembelajaran Emosi adalah proses belajar yang ditujukan untuk meningkatkan
kecerdasan emosi. Konten pembelajaran meliputi bagaimana mengenal emosi,
mengontrol emosi, berempati, dan mejalin hubungan yang baik dengan orang
lain.
Rasa Hormat adalah sikap sopan, mengahargai, tanpa merendahkan perbedaan
yang dimiliki orang lain.
Aturan dan Norma adalah ketentuan yang mengatur perilaku, yang disepakati
bersama
Hubungan Antarsiswa adalah interaksi siswa dengan siswa yang mendatangkan
kehangatan, rasa nyaman, dirasakan secara timbal balik, dan kepuasan.
Tidak ada Kekerasan adalah lingkungan sekolah yang bebas dari kekerasan baik
secara fisik maupun verbal.
Lingkungan Fisik adalah sarana dan prasarana yang menunjangkan kegiatan
belajar-mengajar di sekolah.
Perasaan Aman adalah perasaan nyaman, dan bebas dari resiko ancaman
Kerjasama Sekolah adalah upaya membangun hubungan dan keterlibatan pihak
eksternal dengan pihak sekolah, untuk mewujudkan visi bersama.
Agresivitas adalah perilaku yang ditujukan untuk melukai atau menyakiti orang
lain atau benda, yang dikelompokkan menjadi agresi fisik, agresi verbal,
kemarahan, dan permusuhan.
Agresi fisik adalah penyerangan yang dilakukan kepada orang lain atau benda yang
melibatkan fisik.
Agresi verbal adalah penyerangan yang dilakukan dengan menggunakan kata-kata.
Kemarahan adalah ekspresi emosi yang menunjukkan ketidaksenangan terhadap
sesuatu.
Permusuhan adalah perilaku yang ditunjukkan dengan pertentangan terhadap
orang lain.

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Contoh

Penelitian ini melibatkan 99 orang anak yang terdiri dari 55 orang (56 %)
anak perempuan dan 44 orang (44 %) laki-laki. Rataan usia anak perempuan 9.51
tahun dan anak laki-laki 9.57 tahun. Rataan usia keseluruhan adalah 9.54 tahun.
Usia ibu berada pada rentang 20-51 tahun dengan Rataan 35.75 tahun. Hal ini
menunjukan bahwa Rataan ibu berada pada periode usia dewasa madya. Rataan
24

pendidikan Ibu adalah 8.65 tahun atau setara dengan pendidikan kelas delapan
sekolah menengah pertama. Sebaran pendidikan ibu meliputi, 42.4 persen tamat
sekolah dasar, 29.3 persen tamat sekolah menengah pertama, 26.3 persen tamat
sekolah menengah atas, satu persen selesai menempuh jenjang pendidikan diploma
dan satu persen selesai menempuh jenjang pendidikan sarjana. Aktivitas ibu terdiri
dari 63.6 persen tidak bekerja dan 36.4 persen bekerja. Sebaran pekerjaan ibu terdiri
dari 8.1 persen bekerja dengan pekerjaan berbasis rumah (membuka
warung/menjahit), 21.2 persen bekerja paruh waktu, dan 7.1 persen bekerja dalam
waktu penuh. Sementara pendapatan keluarga berada pada rentang Rp 450 000,00-
4 000 000,00/ bulan, dengan Rataan Rp 1 280 000/bulan.

Penyesuaian Keluarga

Tabel 1 menunjukkan bahwa 43.4 persen contoh memiliki penyesuaian


keluarga yang tinggi, 35.4 persen sedang, dan 21.2 persen masih memiliki
penyesuaian keluarga yang rendah. Sebaran contoh berdasarkan kategori setiap
dimensi menunjukkan sebagian besar contoh memiliki kategori penyesuaian ibu
yang rendah (41.4%). Pada dimensi hubungan keluarga lebih dari separuh contoh
termasuk dalam kategori tinggi (61.6%). Sebagian besar contoh memiliki kategori
kerjasama pengasuhan yang tinggi (41.4%). Secara lebih terperinci, capaian
penyesuaian keluarga beserta dimensinya disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Sebaran contoh berdasarkan kategori penyesuaian keluarga dan dimensinya


Dimensi Penyesuaian Kategori Penyesuaian Keluarga Total
Keluarga Rendah Sedang (%) Tinggi (%)
(< 60) (60-80) (>80)
Penyesuaian ibu 41.4 21.2 37.4 100
Hubungan keluarga 17.2 21.2 61.6 100
Kerjasama pengasuhan 28.3 30.3 41.4 100
Penyesuaian Keluarga 21.2 35.4 43.4 100
Penyesuaian keluarga pada anak laki-laki tidak berbeda signifikan dengan
anak perempuan, tetapi pada dimensi kerjasama dalam pengasuhan ditemukan
perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan. Kerjasama pengasuhan pada anak
perempuan lebih baik dibandingkan dengan anak laki-laki. Rataan penyesuaian
keluarga adalah 73.40. Rataan paling rendah terdapat pada dimensi penyesuaian
orang tua, sedangkan paling tinggi terdapat pada dimensi hubungan keluarga.
Rataan penyesuaian keluarga, dimensi penyesuaian orang tua, dan dimensi
kerjasama dalam pengasuhan pada anak perempuan lebih besar dibandingkan
dengan anak laki-laki ( Tabel 2).
Rataan penyesuaian ibu memiliki capaian paling rendah dibandingkan
dengan dimensi yang lainnya. Berdasarkan hasil jawaban contoh (lampiran 1), hal
tersebut disebabkan 30.3 persen ibu masih merasa tertekan dan khawatir, dan 14.2
persen ibu masih merasa sedih dan tertekan. Hasil jawaban pada beberapa item
pertanyaan yang lain sudah cukup baik, 79.8 persen ibu merasa bahagia, 72.8 persen
ibu merasa puas dengan kehidupannya, dan 64.7 persen ibu bisa mengatasi
masalah emosi ketika menjadi orang tua, meskipun dengan tingkatan yang
berbeda.
25

Tabel 2 Rataan indeks penyesuaian keluarga berdasarkan dimensi dan jenis kelamin
Variabel Min-Mak Rataan±Std p-
value
P L T P L T
Penyesuaian 9-100 0-100 0-100 68.60±23.72 62.60±22.88 65.93±23.42 0.546
Ibu
Hubungan 33- 50- 33-100 80.61±18.70 80.68±16.44 80.64±17.65 0.543
keluarga 100 100
Kerjasama 33- 33- 33-100 75.15±22.72 72.22±18.63 73.85±20.95 0.042*
pengasuhan 100 100
Penyesuaian 31- 44- 31-100 74.29±17.27 72.29±14.23 73.40±15.94 0.253
keluarga 100 100
* =signifikan pada selang kepercayaan 90% P = Perempuan, L = Laki-laki T = Total
Rataan dimensi hubungan anggota keluarga memiliki Rataan nilai yang
paling tinggi dibandingkan dengan dimensi yang lain. Berdasarkan hasil jawaban
contoh, hal ini disebabkan 85.8 persen ibu menyatakan bahwa anggota keluarga
saling membantu satu sama lain, dan 86.8 persen menyatakan bahwa anggota
keluarganya berhubungan baik satu sama lain. Meskipun demikian, 10.1 persen ibu
menyataka angota keluarganya saling beradu mulut, dan 8.1 persen menyatakan
keluarganya saling mengkritik dan menjatuhkan.
Rataan dimensi kerjasama pengasuhan dapat dikategorikan sedang.
Berdasarkan hasil jawaban contoh, hal ini disebabkan 72.7 persen ibu dan pasangan
bekerja sama dengan pasangannya dalam menjalankan pengasuhan, 85.9 persen ibu
memiiki hubungan yang baik dengan pasangannya. Sementara itu, 27.3 persen ibu
merasa tidak setuju dengan bagaimana pasangannya mengasuh anak.

Pengasuhan

Tabel 3 menunjukkan hanya 10.1 persen orang tua yang memiliki capaian
indeks pengasuhan yang tinggi, 51.5 persen dengan capain indeks sedang,
sedangkan 38.4 persen masih memiliki capaian yang rendah. Sebaran contoh
berdasarkan kategori setiap dimensi menunjukkan sebagian besar contoh masih
memiliki konsistensi dan dorongan yang rendah (secara berturut-turut 47.5 % dan
46.5%). Selanjutnya, 22.2 persen contoh masih memiliki kategori rendah pada
dimensi hubungan orang tua dan pengasuh. Masih ditemukan pengasuhan koersif
dalam pengasuhan contoh, 35.4 persen responden memiliki kategori yang rendah
pada dimensi pengasuhan nonkoersif. Secara lebih terperinci, capaian indeks
pengasuhan beserta dimensinya disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan kategori pengasuhan dan dimensinya


Dimensi Kategori Pengasuhan Total (%)
Pengasuhan Rendah (%) Sedang (%) Tinggi (%)
(<60) (60-80) (>80)
Konsistensi 47.5 46.4 6.1 100
Dorongan 46.5 41.4 12.1 100
Hubungan 22.2 42.4 35.4 100
Nonkoersif 35.4 50.5 14.1 100
Pengasuhan 38.4 51.5 10.1 100
26

Tabel 4 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pengasuhan antara


anak laki-laki dan perempuan. Meskipun demikian, hasil penelitian menunjukkan
rataan pengasuhan pada anak perempuan lebih besar dibandingkan dengan anak
laki-laki. Rataan dimensi konsistensi dan pengasuhan nonkoersif lebih tinggi pada
anak perempuan, sementara rataan dimensi dorongan dan hubungan anak dan
pengasuh lebih tinggi pada anak laki-laki. Rataan paling tinggi terdapat pada
dimensi hubungan antara anak dan pengasuh, sementara capaian paling rendah
terdapat pada dimensi konsistensi dalam pengasuhan.

Tabel 4 Rataan indeks pengasuhan berdsarkan dimensi dan jenis kelamin


Dimensi Min-Mak Rataan±Std p-
Pengasuhan P L T P L T value
Konsistensi 20-93 0-87 0-93 57.58±20.62 53.33±20.58 55.69±20.61 0.917
Dorongan 0-100 11-100 0-100 60.61±19.57 63.13±21.66 61.73±20.46 0.453
Nonkoersif 20-93 13-93 13-93 67.27±16.93 60.61±17.36 64.31±17.36 0.899
Hubungan 7-100 20-100 7-100 72.61±24.71 73.18±21.78 72.86±23.33 0.644
Pengasuhan 43-93 37-87 37-93 64.95±10.85 62.50±11.07 63.86±10.96 0.788
P = Perempuan, L = Laki-laki, T = Total
Dimensi konsistensi memiliki nilai rataan paling rendah dibandingkan
dengan dimensi lainnya. Berdasarkan hasil jawaban contoh (lampiran 2), hal
tersebut disebabkan dalam pegasuhan menunjukkan bahwa 46.5 persen contoh
menyatakan jika anak tidak melakukan apa yang diperintahkan, maka contoh akan
menyerah dan memilih untuk melakukannya sendiri. Ketika anak melakukan
perilaku yang buruk 43.4 persen contoh akan menindaklanjuti dengan memberi
konsekuensi (misalnya mengambil pergi mainan). 43.5 persen contoh
menindaklanjuti perilaku buruk anak dengan mengancam, tetapi tidak
menindaklanjuti ancaman tersebut. 48.5 persen contoh meminta anak berperilaku
baik dengan cara yang sama setiap saat. 25.0 persen contoh memberikan apa yang
anak inginkan ketika anak dalam keadaan marah atau kesal.
Dimensi dorongan yang diberikan orang tua dalam proses pengasuhansudah
diberikan cukup baik oleh contoh. Berdasar jawaban contoh, 25.2 persen contoh
memberikan anak hadiah atau kegiatan yang menyenangkan saat anak berperilaku
baik. 76.8 persen contoh memuji anak saat anak berperilaku baik dan 77.8
memberikan anak perhatian (mis pelukan, mengedipkan mata, tersenyum atau
ciuman)
Koersivitas dalam pengasuhan masih ditemukan dalam pengasuhan orang tua.
Berdasarkan hasil jawaban contoh, hal tersebut disebabkan 51.5 persen contoh
marah saat anak melakukan perilaku yang buruk. 33.3 persen contoh pernah
membuat anak merasa tidak nyaman (merasa bersalah dan malu) ketika anak
berperilaku buruk agar anak merasa jera untuk melakukannya kembali. 18.2 persen
contoh pernah memukul anak ketika anak melakukan perilaku yang buruk. 30.3
persen contoh berdebat dengan anak tentang perilaku mereka. 12.1 persen contoh
merasa terganggu dengan kehadiran anaknya.
Dimensi hubungan orang tua dan anak memiliki capaian Rataan paling
tinggi dibandingkan dengan dimensi lainnya. Berdasarkan hasil jawaban contoh hal
tersebut disebabkan 74.7 persen contoh sering berbicara dengan anak dan 66.6
merasa senang saat memberikan pelukan, ciuman, dan dekapan kepada anak. 82.9
merasa bangga terhadap anakny. 76.7 persen menikmati waktu yang dihabiskan
27

untuk melakukan kegiatan bersama anak. 84.9 persen contoh memiliki hubungan
yang baik dengan anak mereka.

Kekerasan dalam Pengasuhan

Tabel 5 menunjukkan bahwa kekerasan dalam pengasuhan masih dilakukan


oleh contoh. Sebaran contoh berdasarkan kategori setiap dimensi menunjukkan
bahwa 7.1 persen contoh melakukan agresi psikologis dengan karegori sedang (60-
80) dan 1 persen melakukan agresi psikologis dengan kategori tinggi (>80).
Selanjutnya 4 persen contoh melakukan pengabaian dengan kategori sedang (60-
80). Pada dimesni kekerasan fisik dan kekerasan seksual 100 persen responden
memiliki kategori rendah.

Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan kategori kekerasan dalam pengasuhan dan


dimensinya
Dimensi Kekerasan Capaian Indeks Total (%)
Rendah (%) Sedang (%) Tinggi (%)
(<60) (60-80) (>80)
Agresi Psikologis 91.9 7.1 1 100
Kekerasan Fisik 100.0 - - 100
Pengabaian 96.0 4.0 - 100
Kekerasan Seksual 100.0 - - 100
Total Kekerasan 100 - - 100
Tebel 6 menunjukkan tidak terdapat perbedaan kekerasan dalam pengasuhan
antara anak laki-laki dan perempuan, tetapi pada dimensi pengabaian ditemukan
perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan. Pengabaian pada anak laki-laki
lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan. Dimensi agresi psikologis
memiliki rataan paling tinggi, sementara kekerasan seksual memiliki rataan paling
rendah.
Dimensi kekerasan agresi psikologi, merupakan kekerasan yang paling
banyak dilakukan oleh orang tua dalam pengasuhan. Berdasarkan jawaban contoh
(Lampiran 3) 62.6 persen orang tua pernah mengancam akan memukul anak jika
anak berbuat salah, tetapi tidak sampai melakukannya. 63.6 persen orang tua pernah
berteriak pada anaknya. 41.4 persen orang tua pernah memaki anaknya. 30.3 persen
anak pernah dikatai bodoh oleh orang tuanya. 29.2 persen orang tua pernah
mengatakan akan mengusir anaknya dari rumah.

Tabel 6 Rataan indeks kekerasan dalam pengasuhan berdasarkan dimensi dan jenis
kelamin
Variabel Min-Mak Rataan±Std p-
P L T P L T value
Agresi 0-93 0-67 0-48 22.67±21.49 20.76±15.50 21.82±18.99 0.121
psikologis
Kekerasan 0-54 0-36 0-93 12.63±12.26 9.62±9.54 11.29±11.18 0.249
fisik
Pengabaian 0-53 0-73 0-54 15.76±15.38 22.88±19.94 18.92±17.78 0.093*
Kekerasan 0-17 0-17 0-17 2.42±9.36 2.65±10.74 2. 53±9. 92 0.802
seksual
Kekerasan 0-44 0-37 0-44 14.45±12.01 13.94±9.46 14.22±10.90 0.154
* =signifikan pada selang kepercayaan 90%
28

Hasil penelitian mengenai kekerasan fisik meunjukkan bahwa 32.6 persen


orang tua pernah memukul anaknya pada bagian bawah tubuh dengan tangan
kosong. 44.4 persen orang tua pernah memukul anaknya pada bagian bawah tubuh
dengan ikat pinggang/sapu/ benda keras lainnya. 41.4 persen orang tua pernah
menampar anaknya di bagian lengan. 19.2 persen anak pernah merasa
diterlantarkan secara fisik oleh orang tuanya. 20.2 persen orang tua pernah
mengguncangkan tubuh dan menampar wajah anaknya. 28.3 persen orang tua
pernah memukul bagian tubuh anak (selain bagian tubuh bawah) dengan
menggunakan ikat pinggang/sapu/ benda keras lainnya. 14.1 persen orang tua
pernah mendorong anaknya hingga terjatuh. 30.3 persen orang tua pernah memukul
anaknya dengan keras dan memukul anak dengan berulang. 5.1 persen orang tua
pernah mencekik anak. 4 persen orang tua pernah menyiram anaknya dengan air
panas secara sengaja. 3.1 persen anak pernah diancam dengan pisau.
Hasil penelitian mengenai pengabaian yang dilakukan orang tua
menunjukkan 38.4 persen orang tua pernah meninggalkan anaknya tanpa izin
terlebih dahulu. 41.4 persen anak menyatakan bahwa orang tuanya tidak mampu
menunjukkan rasa cinta padanya. 40.4 persen orang tua pernah tidak memastikan
bahwa anaknya mendapat makanan yang dibutuhkan. 32.3 persen orang tua pernah
tidak memastikan anaknya mendapat pengobatan ketika sakit. 20.2 persen anak
menyatakan bahwa mereka adalah masalah bagi orang tuanya.
Hasil penelitian mengenai kekerasan seksual menunjukkan bahwa 7.1 persen
contoh pernah mengalami sentuhan yang tidak diinginkan pada organ seksual, yang
dilakukan oleh orang dewasa atau anak yang lebih tua dari mereka, atau dipaksa
untuk melakukan sentuhan yang tidak dia inginkan pada orang dewasa atau anak
yang lebih tua dari mereka (termasuk oleh anggota keluarga atau siapapun).

Iklim Sekolah

Tabel 7 menunjukkan bahwa 20.2 persen contoh memiliki indeks iklim


sekolah rendah, 51.5 sedang, dan 28.3 tinggi. Secara lebih terperinci capaian indeks
iklim sekolah dan dimensinya disajikan pada Tabel 7. Sebaran contoh berdasarkan
kategori setiap dimensi menunjukkan bahwa hanya 35.4 persen contoh yang
memiliki kategori tinggi pada dimensi dukungan sosial, dan hanya 28.3 persen
contoh yang memiliki kategori tinggi pada dimensi dukungan sosial. Selanjutnya,
pada dimensi pembelajaran sosial emosi 46.5 persen contoh termasuk dalam
kategori tinggi, dan lebih dari setengah contoh (55.6%) contoh memiliki kategori
tinggi pada dimensi rasa hormat. Pada dimensi aturan dan norma 34.3 persen contoh
masih memiliki kategori rendah, dan pada dimensi hubungan antarsiswa 42.4
persen contoh termasuk dalam kategori rendah. 35.4 persen contoh termasuk dalam
kategori rendah pada dimensi tidak ada kekerasan, hal ini menunjukkan bahwa
kekerasan di sekolah masih terjadi. Selanjutnya, 44.4 persen contoh termasuk dalam
kategori tinggi pada dimensi lingkungan fisik 35.4 persen contoh termasuk dalam
kategori tinggi pada dimensi perasaan aman, dan 35.4 persen contoh termasuk
dalam kategori rendah pada dimensi kerjasama eksternal.
29

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan kategori indeks iklim sekolah dan dimensinya
Dimensi Iklim Kategori Iklim Sekolah Total (%)
Sekolah Rendah (%) Sedang (%) Tinggi (%)
(<60) (60-80) (>80)
Dukungan belajar 20.2 44.4 35.4 100
Dukungan sosial 25.3 46.5 28.3 100
Pembelajaran sosial 9.1 44.4 46.5 100
emosi
Rasa hormat 14.1 30.3 55.6 100
Aturan, norma 34.3 29.3 36.4 100
Hubungan siswa 42.4 28.3 29.3 100
Tidak ada kekerasan 35.4 33.3 31.3 100
Lingkungan fisik 20.2 35.4 44.4 100
Perasaan aman 17.2 47.5 35.4 100
Kerjasama Eksternal 35.4 38.4 26.2 100
Total Iklim Sekolah 20.2 51.5 28.3 100
Tabel 8 menunjukkan tidak terdapat perbedaan presepsi terhadap iklim
sekolah antara anak laki-laki dan perempuan, tetapi ditemuka perbedaan pada
dimensi dukungan sosial antara anak laki-laki dan perempuan. Dukungan sosial
pada anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki. Rataan iklim sekolah
pada anak perempuan lebih besar dibandingkan dengan anak laki-laki. Hal ini
menunjukkan bahwa presepsi anak perempuan terhadap lingkungan sekolahnya
lebih baik dengan anak laki-laki. Rataan tertinggi terdapat pada dimensi rasa hormat,
sementara rataan terendah terdapat pada dimensi kerjasama sekolah. Rataan seluruh
dimensi ditemukan lebih tinggi pada anak perempuan, kecuali pada dimensi
lingkungan fisik dan kerjasama sekolah.
Dimensi rasa hormat merupakan dimensi yang memiliki rataan tertinggi dari
semua dimensi pada variabel iklim sekolah. Berdasarkan jawaban responden
(lampiran 4), 86.8 persen siswa menyatakan bahwa orang dewasa di sekolah
menghormati perbedaan yang ada pada siswa, 86.9 persen siswa menyatakan orang
dewasa di sekolah mereka saling menghormati perbedan satu sama lain, 92.0 persen
siswa menyatakan orang dewasa di sekolah memperlakukan siswa dengan penuh
hormat, 81.8 persen siswa menyatakan orang dewasa di sekolah bekerja sama satu
sama lain, 87.9 persen siswa menyatakan orang dewasa di sekolah saling
menghormati satu sama lain, 89.9 persen siswa menyatakan orang dewasa di
sekolah saling mempercayai satu sama lain.
Rataan dimensi aturan dan norma masih rendah. Berdasarkan jawaban
responden, 68.7 siswa menyatakan orang dewasa di sekolah yang secara adil
memastikan bahwa seluruh siswa menaati peraturan mengenai larangan melakukan
kekerasan fisik pada orang lain, 67.7 persen siswa menyatakan orang dewasa di
sekolah menghentikan siswa yang terlihat menyakiti orang lain secara fisik, 69.7
persen siswa menyatakan di sekolah ada peraturan yang jelas tentang larangan
untuk melakukan kekerasan verbal, 71.7 persen siswa menyatakan orang dewasa di
sekolah secara adil memastikan bahwa seluruh siswa menaati peraturan mengenai
larangan melakukan kekerasan verbal pada orang lain, 70.7 persen siswa
menyatakan bahwa di sekolah, ada peraturan yang jelas tentang larangan untuk
melakukan kekerasan fisik, dan 72.7 persen siswa menyatakan orang dewasa di
sekolah menghentikan siswa yang terlihat menyakiti orang lain secara verbal.
30

Tabel 8 Rataan indeks iklim sekolah berdasarkan dimensi dan jenis kelamin
Dimensi Min-Max Rataan±Std p-
Iklim P L T P L Total value
Sekolah
Dukungan 42- 11- 11-100 77.53±16.66 68.24±19.31 73.40±18.39 0.651
belajar 100 100
Dukungan 44- 11- 11-100 73.03±16.50 66.04±22.64 69.92±19.68 0.068*
sosial 100 100
Pebelajaran 39- 6-100 6-100 80.61±15.84 74.24±22.86 77.78±19.44 0.224
sos-emosi 100
Rasa 22- 6-100 6-100 81.72±18.29 76.26±21.71 79.29±19.96 0.598
hormat 100

Aturan, 0-100 0-100 0-100 66.87±30.48 65.66±26.28 66.33±28.55 0.234


norma

Hubungan 10- 5-100 5-100 68.83±22.66 62.45±21.64 65.99±22.33 0.431


siswa 100

Tidak ada 17- 17- 0-100 68.26±23.96 65.44±28.23 67.00±25.85 0.416


kekerasan 100 100

Lingkungan 17- 0-100 0-100 75.61±19.50 76.89±23.56 76.18±21.29 0.505


fisik 100

Perasaan 20- 0-100 0-100 75.39±19.53 70.61±24.87 73.27±22.08 0.442


aman 100
Kerjasama 0-100 0-100 0-100 65.25±24.57 66.16±25.80 65.66±25.00 0.550
sekolah
Total Iklim 38-97 19-95 19-97 74.15±13.89 69.12±16.19 71.92±15.09 0.883
Sekolah
* =signifikan pada selang kepercayaan 90%
P = Perempuan, L = Laki-lali, T = Total
Dimensi hubungan antar siswa memiliki rataan yang rentah, hal ini
menunjukkan bahwa hubungan antar siswa masih belum terjalin dengan baik.
Berdasarkan jawaban contoh, 50.5 persen siswa menyatakan kebanyakan siswa di
sekolah memperlakukan teman sebagaimana dia ingin diperlakukan, 80.8 persen
siswa menyatakan bahwa di sekolah siswa berkerja sama dengan baik dengan
semua teman, 82.8 persen siswa menyatakan bahwa mereka memperlakukan siswa
baru dengan baik, sehingga siswa baru merasa nyaman, 76.7 persen contoh
menyatakan siswa di sekolah saling menghargai perbedaan (jenis kelamin, ras,
budaya, dll), 49.5 persen contoh menyatakan bahwa sangat sedikit siswa yang suka
mengolok-olok teman lain, dan 69.7 persen contoh menyatakan kebanyakan siswa
di sekolah bertindak dengan memperhatikan perasaan orang lain.
Selanjutnya, siswa mempresepsikan masih terdapat kekerasan fisik dan
bullying di sekolah. Berdasarkan jawaban contoh, 35.3 persen contoh pernah
melihat siswa lain menyakiti temannya secara fisik di sekolah lebih dari satu kali
(contoh : mendorong, memukul, menampar), 26.2 contoh menyatakan pernah
disakiti secara fisik (contoh : didorong, diukul, ditampar) oleh siswa lain lebih dari
satu kali, 23.3 persen contoh menyatakan banyak siswa di sekolah yang
memperlakukan siswa lain dengan buruk ( contoh memukul siswa lain). 31.3 persen
contoh pernah disakiti dengan kata-kata (contoh : dicela, dicemooh, ditertawakan)
oleh siswa lain lebih dari satu kali, 29.3 persen contoh menyatakan banyak siswa di
31

sekolah yang senang mencemooh dan mentertawakan teman yang lain, 27.3 persen
menyatakan ada kelompok siswa di sekolah yang memperlakukan siswa lain yang
bukan kelompoknya dengan tidak baik (memukul dan berkata kasar), 33.3 persen
contoh pernah melihat siswa menyakiti temannya secara verbal di sekolah lebih dari
satu kali (contoh : mencela, mencemooh, dan menertawakan), dan 23.2 persen
contoh menyatakan ada tempat di sekolah dimana mereka tidak merasa nyaman
secara fisik (contoh : toilet sekolah digunakan siswa untuk memukul teman lain).
Dimensi kerjasama eksternal memiliki rataan paling rendah dibandingkan
dengan dimensi yang lain dalam variabel iklim sekolah.Berdasarkan jawaban
contoh, 61.6 persen contoh menyatakan sekolah berusaha untuk memberitahu
keluarga mereka mengenai hal-hal yang terjadi di sekolah (contoh: sekolah pernah
menelpon ke rumah), 78.8 persen contoh menyatakan bahwa sekolah mengajak
keluarga mereka untuk menjadi bagian dari berbagai kegiatan sekolah (contoh :
sekolah memberikan undangan pada orang tua), 68.8 persen contoh menhyatakan
bahwa sekolah bahwa sekolah menganjurkan siswa untuk mengikuti kegiatan
ektrakulikuler.

Agresivitas

Tabel 9 menunjukkan bahwa 92.9 persen contoh memiliki tingkat agresivitas


yang rendah, 6.1 persen sedang, dan 1.0 persen tinggi. Sebaran contoh berdasarkan
kategori setiap dimensi menunjukkan bahwa 5.0 persen contoh termasuk dalam
kategori sedang pada agresivitas fisik dan 1.0 persen memiliki kategori tinggi.
Dimensi agresi verbal, 11.1 persen contoh termasuk dalam kategori sedang pada
agresivitas verbal dan 3.0 persen memiliki kategori tinggi. Dimensi agresi
kemarahan, 5.1 persen contoh termasuk dalam kategori sedang pada agresivitas
kemarahan dan 2.0 persen memiliki kategori tinggi. Dimensi agresi permusuhan,
5.1 persen contoh termasuk dalam kategori sedang pada agresivitas permusuhan
dan 2.0 persen memiliki kategori tinggi.

Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan kategori agresivitas dan dimensinya


Dimensi Agresivitas Capaian Indeks Total (%)
Rendah (%) Sedang (%) Tinggi (%)
(<60) (60-80) (>80)
Agresi Fisik 93.9 5.1 1.0 100
Agresi Verbal 85.9 11.1 3.0 100
Agresi Kemarahan 92.9 5.1 2.0 100
Agresi Permusuhan 90.9 7.1 2.0 100
Agresivitas 92.9 6.1 1.0 100
Tabel 10 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan agresivitas antara
laki-laki dan perempuan, akan tetapi pada dimensi kekerasan fisik ditemukan
perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan. Rataan agresivitas pada anak laki-
laki dibandingkan dengan anak perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa laki-laki
lebih agresif secara fisik dibandingkan dengan anak perempuan.
32

Tabel 10 Rataan indeks agresivitas berdasarkan dimensi dan jenis kelamin


Dimensi Min-Mak Rataan±Std p-value
Agresivitas P L T P L T
Fisik 0-63 0-85 0-85 17.24±17.96 28.70±24.19 22.33±21.61 0.004**
Verbal 0-93 0-93 0-93 25.33±21.59 35.00±23.10 29.63±22.68 0.853
Kemarahan 0-67 0-86 0-86 20.61±19.80 28.68±19.79 24.19±20.10 0.731
Permusuhan 0-79 0-83 0-83 27.73±20.30 35.13±21.81 31.02±2.20 0.423
Agresi 0-68 2-84 0-84 22.34±17.77 31.56±20.53 26.44±19.50 0.271
** =signifikan pada selang kepercayaan 95%
P=Perempuan, L=Laki-laki, T=Total
Dimensi agresivitas fisik memiliki rataan paling rendah dibandingkan dengan
dimensi yang lain pada variabel agresivitas. Berdasarkan jawaban contoh (lampiran
5), agresivitas fisik sudah muncul pada anak usia dasar dengan angka yang cukup
besar. Hal ini ditunjukkan dengan 61.6 persen contoh pernah menggunakan
kekerasan untuk melindungi hak-hak mereka. 36.4 persen contoh merusak barang
yang ada disekitarnya ketika marah. 34.3 persen contoh menyatakan mudah untuk
memukul orang. 29.3 persen contoh tidak segan mnegancam temannya untuk
mendapatkan apa yang diinginkan. 31.3 persen contoh menyatakan akan memukul
temannya jika dibujuk oleh temannya. 39.4 persen contoh menyatakan tidak merasa
bersalah saat memukul orang lain. pernah memukul orang lain. 45.5 persen contoh
menyatakan akan membalas ketika mendapat pukulan. 43.3 persen contoh pernah
melakukan perkelahian fisik karena diprovokasi oleh teman. 41.4 persen contoh
menyatakan lebih sering terlibat perkelahian dibandingkan dengan teman-
temannya.
Dimensi agresi verbal memiliki nilai rataan yang cukup tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa meskipun tidak berbuat agresi secara fisik, tetapi agresi verbal
masih sering dilakukan. Berdasarkan jawaban contoh, 63.6 persen contoh
menyatakan, ketika mereka merasa tidak setuju dengan pendapat temannya, maka
mereka akan langsung mengutarakannya. 52.5 persen contoh menyatakan, tidak
bisa menerima keputusan orang lain yang tidak setuju dengan mereka. 42.4 persen
contoh menunjukkan ketidaksukaanya terhadap orang yang mengganggunya
dengan berkata kasar. 50.5 contoh menyatakan sering bertengkar mulut dan tidak
sependapat dengan teman-temannya. 41.4 persen contoh mennyatakan sering
dikatai orang yang senang berdebat oleh temannya.
Dimensi agresivitas kemarahan menunjukkan 52.5 persen contoh dikatai oleh
temannya sebagai orang yang mudah marah. 33.3 persen contoh menyatakan bahwa
dirinya orang yang emosian. 51.5 persen contoh mudah marah tetapi mudah reda
dengan cepat. 44.6 persen contoh merasa sulit mengendalikan emosi. Ketika dalam
keadaan terpukul 57.6 persen contoh akan menunjukkan perasaannya pada orang
lain. Ketika dalam keadaan marah, 36.4 persen contoh marah dengan meledak-
ledak. 37.4 persen sering tiba-tiba marah tanpa alasan.
Dimensi agresi permusuhan memiliki rataan paling tinggi dibandingkan
dengan dimensi yang lain pada variabel agresivitas. Berdasarkan jawaban contoh,
55.6 persen contoh sering merarasakan hal yang tidak menyenangkan, tanpa tahu
sebabnya. 75.8 persen contoh merasabahwa orang lain yang berbuat baik pada
mereka memiliki maksud tertentu. 46.5 persen contoh curiga terhadap orang asing
yang terlalu ramah. 40.4 persen contoh merasa iri dengan orang lain. 43.4 persen
biasa mengambil keputusan tanpa berfikir panjang terhadap akibatnya. 55.6 persen
contoh merasa ditertawakan teman-temannya saat tidang bersama-sama. 43.4
33

persen contoh menyatakan bahwa orang lain selalu terlihat seperti menginginkan
hal yang menguntungkan diri mereka saja. 55.6 persen contoh merasa sering
dibicarakan keburukannya oleh teman-temannya saat mereka tidak bersama.

Hubungan Karakteristik Anak dan Keluarga, Penyesuaian Keluarga,


Pengasuhan, Kekerasan dalam Pengasuhan, dengan Agresivitas Anak

Nilai koefisien korelasi antar variabel karakteristik, penyesuaian keluarga,


pengasuhan, kekerasan dalam pengasuhan, iklim sekolah dengan agresivitas
disajikan dalam tabel 11.

Tabel 11 Nilai koefisien korelasi pada variabel karakteristik, penyesuaian keluarga,


pengasuhan, kekerasan dalam pengasuhan, iklim sekolah, dengan
agresivitas.
Variabel Iklim Penyesuaian Pengasuhan Kekerasan Agresivitas
sekolah keluarga dalam Anak
pengasuhan
Usia anak -0.138 -0.071 0.061 -0.136 -0.105
Usia ibu -0.169 0.105 0.074 -0.123 0.004
Pendidikan -0.093 0.210 * 0.321 * 0.108 -0.253 *
ibu
Pendapatan 0.006 0.200 * 0.175 -0.087 -0.256 *
keluarga
Iklim sekolah 1 -0.012 0.036 -0.259 * -0.223 *
Penyesuaian - 1 0.537 ** -0.074 -0.254 *
keluarga
Pengasuhan - - 1 -0.056 -0.235 *
Kekerasan - - - 1 0.318 **
dalam
pengasuhan
Agresivitas - - - - 1

** =signifikan pada selang kepercayaan 99%, * =signifikan pada selang kepercayaan 95%
Tabel 11 menunjukkan bahwa pendidikan ibu memiliki hubungan positif
signifikan dengan penyesuaian keluarga dan pengasuhan. Semakin tinggi
pendidikan ibu maka semakin tinggi nilai penyesuaian keluarga dan pengasuhan.
Selain itu, dari penelitian ini juga ditemukan bahwa penyesuaian keluarga memiliki
hubungan positif dengan pengasuhan. Semakin tinggi nilai penyesuaian keluarga
maka nilai pengasuhan akan semakin baik. Selanjutnya, kekerasan dalam
pengasuhan memiliki hubungan negatif signifikan dengan iklim sekolah. Semakin
tinggi nilai kekerasan dalam pengasuhan (semakin sering anak meneima kekerasan
dalam pengasuhan), akan menurunkan nilai iklim sekolah (membuat presepsi buruk
tentang lingkungan sekolah).
Pendidikan Ibu, pendapatan keluarga, iklim sekolah, penyesuaian keluarga,
dan pengasuhan memiliki hubungan negatif signifikan dengan agresivitas anak,
sedangkan kekerasan dalam pengasuhan memiliki hubungan positif signifikan
dengan agresivitas anak. Semakin tinggi pendidikan ibu dan pendapatan keluarga
akan menurunkan perilaku agresivitas pada anak. Semakin baik presepsi anak
terhadap lingkungan sekolahnya, akan menurunkan agresivitas anak. Penyesuaian
keluarga yang semakin baik akan menurunkan agresivitas pada anak. Pengasuhan
34

yang semakin baik juga dapat menurunkan agresivitas anak. Semakin tinggi
kekerasan yang dilakukan orang tua dalam pengasuhan dapat meningkatkan
agresivitas anak.

Pengaruh Karakteristik Contoh, Penyesuaian Keluarga, Pengasuhan, dan


Iklim Sekolah, terhadap Agresivitas

Pengujian analisis jalur digunakan untuk menentukan variabel yang


memiliki pengaruh langsung, maupun pengaruh tidak langsung. Hasil pengujian
analisis jalur ditunjukkan pada Gambar 5.

X1 0.313**

0.158 X4
0.178
-0.192*
-0.056
0.537**

X3
X5 0.284**
-0.074
0.128 Y
0.079
0.004 -0.203**

X2
-0.109

X6

Gambar 5 Kerangka analisis jalur


Keterangan :

X1 = Pendidikan Ibu X5 = Kekerasan dalam Pengasuhan


X2 = Jenis Kelamin X6 = Iklim Sekolah
X3 = Penyesuaian Keluarga Y = Agresivitas
X4 = Pengasuhan
** =signifikan pada selang kepercayaan 99%, * =signifikan pada selang kepercayaan 95%
Gambar 5 menunjukkan bahwa pendidikan ibu dan penyesuaian keluarga
memiliki pengaruh positif signifikan terhadap pengasuhan. Kenaikan satu satuan
pendidikan akan meningkatkan 0.313 satuan pengasuhan, sedangkan kenaikan satu
satuan penyesuaian keluarga akan meningkatkan 0.537 satuan pengasuhan.
Selanjutnya, pengasuhan memiliki pengaruh langsung terhadap agresivitas.
Pengasuhan berpengaruh negatif signifikan terhadap agresivitas, sementara
kekerasan dalam pengasuhan berpengaruh positif terhadap agresivitas. Kenaikan
satu satuan pengasuhan akan menurunkan 0.192 satuan agresivitas, sementara
kenaikan satu satuan kekerasan dalam pengasuhan akan meningkatkan 0.284 satuan
35

agresivitas. Pendidikan ibu dan penyesuaian keluarga memiliki pengaruh negatif


terhadap agresivitas secara tidak langsung, melalui pengasuhan.
Berdasarkan hasil pengujian, dapat diketahui bahwa kekerasan dalam
pengasuhan memiliki pengaruh paling besar terhadap agresivitas, selanjutnya
secara berturut-turut adalah jenis kelamin, pengasuhan, penyesuaian keluarga, dan
pendidikan orang tua. Sementara variabel iklim sekolah memiliki pengaruh tidak
signifikan terhadap agresivitas. Ringkasan besar pengaruh pendidikan orang tua,
jenis kelamin, penyesuaian keluarga, pengasuhan, kekerasan dalam pengasuham
dan iklim sekolah terhadap agresivitas dengan menggunakan analisis jalur disajikan
pada Tabel 12.

Tabel 12 Ringkasan besar pengaruh pendidikan orang tua, jenis kelamin,


penyesuaian keluarga, pengasuhan, kekerasan dalam pengasuham dan
iklim sekolah terhadap agresivitas dengan menggunakan analisis jalur.
Var DE IE TE
X4 X5 X3-X4 X3-X4-X5 X3-X5 X4-X5
X1 - -0.060 0.044 -0.018 -0.001 -0.003 -0.004 -0.042
X2 -0.203 ** -0.024 0.001 -0.008 0.000 -0.001 -0.002 -0.237 **
X3 - -0.103 -0.021 - - - -0.008 -0.132
X4 -0.192 * - -0.015 - - - - -0.207 *
X5 0.284 ** - - - - - - 0.284 **
X6 -0.109 - - - - - - -0.109
DE = Pengaruh langsung Pengaruh IE = Pengaruh tidak langsung TE = Total Pengaruh

Pembahasan

Agresivitas pada anak memiliki hubungan dengan perilaku negatif di masa


depan seperti gangguan kecemasan, depresi, masalah akademik dan kenakalan
remaja yang bahkan sampai mengarah pada perilaku kriminal (Tremblay 2010;
Webster-Stratton et al. 2008). Secara umum tujuan penelitan adalah untuk
menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi perilaku agresi pada anak usia
sekolah, baik dari lingkungan keluarga, maupun dari lingkungan sekolah.
Anak laki-laki memiliki nilai agresivitas yang lebih besar dibandingkan
dengan anak perempuan. Nilai perbedaan paling besar dan signifikan ditemukan
pada dimensi agresi fisik. Hal ini sejalan dengan penelitian Nivetteet al. (2014).
Terdapat perbedaan perilaku agresif antara laki-laki dan perempuan pada usia
sekolah, dimana perbedaan paling signifikan dalah pada agresi fisik. Perbedaan
agresivitas pada laki-laki dan perempuan rendah pada agresi tidak langsung dan
agresi verbal dan tinggi pada agresi fisik (Archer 2004). Perbedaan agresi antara
laki-laki dan perempuan dapat dijabarkan dengan pendekatan teori peran sosial
(Eagly 1997). Berdasarkan teori peran sosial perbedaan perilaku agresi antara laki-
laki dan perempuan didasarkan pada aspek budaya, muncul diferensiasi sosial peran
gender dimana laki-laki diajarkan untuk menjadi agresif dan kompetitip sementara
perempuan lebih diperkenalkan pada ranah aktivitas domestik dan sifat penyayang.
Lingkungan yang memiliki ketidaksetaraan gender berpeluang untuk meningkatkan
gap perberdaan agresivitas antara laki-laki dan perempuan. Wood dan Eagly (2002)
menggunakan teori peran sosial untuk menjabarkan perbedaan agresi antara laki-
laki dan perempuan dalam beberapa rentang usia. Perbedaan agresivitas antara laki-
laki dan perempuan pada usia sekolah dasar juga tergantung pada mekanisme
36

pembelajaran, perbedaan perilaku agresivitas muncul pada awal sosialisasi


perbedaan gender oleh orang tua maupun lingkungan sekolah, dimana orang tua
memiliki peran paling besar dalam proses sosialisasi ini.
Pada beberapa dimensi variabel penelitian juga ditemukan perbedaan
signifikan antara perempuan dan laki-laki diantaranya pengabaian, dukungan social,
dan kerjasama dalam pengasuhan. Nilai pengabaian pada laki-laki secara signifikan
lebih besar dari pada perempuan. Hal ini sejalan dengan peryataan Endendijk, et al.
(2016).Orang tua lebih banyak menggunakan strategi memberikan dukungan dan
dorongan pada anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki (Endendijk, et
al. 2016; Wood dan Eagly 2008). Sebaliknya orang tua menggunakan strategi
kontrol psikologis dan pendisiplinan menggunakan kekerasan fisik lebih banyak
pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan (Endendijk, et al. 2016;
Wood dan Eagly 2008), sehingga tingkat pengabaian pada anak laki-laki lebih
tinggi dibandingkan dengan anak perempuan. Selanjutnya, terdapat pebedaan
signifikan pada dimensi kerja sama dalam pengasuhan antara orang tua anak
perempuan, dan orang tua anak laki-laki. Orang tua anak perempuan memiliki nilai
kerjasama yang lebih baik dalam melaksanakan pengasuhan dibandingkan dengan
anak laki-laki. Karakteristik anak dan orang tua memiliki kontribusi dalam
membentuk kualitas kerjasama dalam pengasuhan, salah satunya jenis kelamin
anak. Hal ini disebabkan ayah memiliki keterlibatan lebih banyak pada pengasuhan
anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan, sehingga seringkali terjadi
perbedaan pandangan orangtua dalam pengasuhan pada anak laki-laki (Stright and
Bales 2003).
Nilai dimensi dukungan sosial (bagian dari variabel iklim sekolah) lebih
besar pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Dukungan sosial merupakan
suatu komponen penting untuk membentuk keterlibatan siswa dalam kegiatan
belajar di sekolah. Wang dan Eccles (2012) dalam hasil penelitiannya menyebutkan
bahwa keterlibatan perempuan dalam kegiatan belajar maupun ekstrakulikuler lebih
besar dibandingkan dengan anak laki-laki. Hal ini disebabkan oleh tingginya
dukungan sosial yang diterima oleh perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki,
baik dukungan sosial dari guru maupun dari teman. Dukungan sosial dan
keterlibatan siswa di sekolah memiliki hubungan timbal balik, dimana keterlibatan
siswa di sekolah juga memengaruhi dukungan sosial yang diterima. Wang dan
Eccles (2012) menjelaskan bahwa perbedaan keterlibatan dan dukungan sosial di
sekolah antara siswa perempuan dan laki-laki salah satunya disebabkan oleh peran
orang tua. Orang tua siswa perempuan lebih terlibat aktif dalam proses belajar anak
di sekolah dengan menjalin komunikasi yang baik dengan pihak sekolah, atau
mengevaluasi progres belajar siswa.
Sejalan dengan penelitian Puspitasari et al. (2015), hasil penelitian
menunjukkan bahwa pendidikan ibu dapat menurunkan perilaku agresif secara
keseluruhan dan pada seluruh dimensinya. Ibu merupakan agen sosialisasi yang
paling memiliki pengaruh terhadap tumbuh kembang anak, membantu anak dalam
menjalankan proses belajar norma, kebiasaan, ideologi, maupun dalam konteks
budaya. Sebagai individu yang memasuki usia dewasa, seorang Ibu juga memiliki
tanggung jawab untuk membantu generasi setelahnya untuk menanamkan nilai
karakter, sehingga seorang ibu akan berusaha untuk meningkatkan keterampilan
dan pengetahuaan untuk memingkatkan proses sosialisasi karakter pada anak
(Reeves et al. 2014). Berkaitan dengan hal tersebut tingkat pendidikan menjadi
37

salah satu bekal untuk terbukanya akses untuk meningkatkan katerampilan dalam
melakukan sosialisasi karakter, sehingga perilaku negatif sepert agresivitas bisa
lebih diminimalisasi.
Praktek pengasuhan yang baik (semakin banyak indikator pengasuhan yang
baik yang bisa dipenuhi orang tua) menurunkan nilai agresivitas secara keseluruhan
dan pada tiga dimensinya (afresi fisik, agresi kemarahan, dan agresi permusuhan).
Hal ini sejalan dengan penelitian Berlianti et al. (2016), Holtrop et al. (2015),
Yoshito et al. (2011) yang menyatakan bahwa praktek pengasuhan yang baik dapat
menurunkan perilaku agresi pada anak. Adapun praktek pengasuhan yang
dimaksud adalah monitoring, disiplin, penyelesaian masalah dan keterlibatan yang
positif (Hotrop et al. 2015), kemapuan dalam memberikan dorongan (Holtrop et al.
2015; Bashir dan Bashir 2016, Sanders et al. 2014). Sebaliknya, koersifitas
merupakan salah satu praktek pengasuhan yang negatif yang memiliki pengaruh
meningkatkan sikap agresi pada anak. Smith et al. (2014); Sanders et al. (2014),
koersifitas dalam pengasuhan menurunkan kepuasan anak, menyebabkan anak
memiliki perilaku oposisi terhadap guru dan tingkat agresif yang tinggi.
Secara lebih spesifik, koersifitas dalam pengasuhan dapat dijelaskan secara
rinci melalui variabel kekerasan dalam pengasuhan.Kekerasan dalam pengasuhan
seringkali dijadikan respon atas perilaku negatif yang dimunculkan oleh anak atau
menjadi strategi orang tua untuk mempromosikan perilaku yang baik, tetapi
sebaliknya sering kali memunculkan anak memberikan respon negatif karena rasa
tidak nyaman. Kekerasan dalam pengasuhan dapat meningkatkan agresivitas. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai kekerasan dalam pengasuhan
maka semakin tinggi nilai seluruh dimensi agresivitas maupun agresivitas secara
keseluruhan. Kekerasan dalam pengasuhan juga memiliki pengaruh langsung
terhadap perilaku agresi pada anak.Hal ini sejalan dengan penelitian Woods et al.
(2016), Berlianti et al. (2016); Maguire (2015). Secara lebih spesifik dimensi
kekerasan dalam pengasuhan yang memiliki hubungan positif dengan perilaku
agresif meliputi agresi psikologis, kekerasan fisik, dan kekerasan seksual.
Salah satu faktor yang memiliki pengaruh terhadap kualitas pengasuhan
adalah penyesuaian keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyesuaian
keluarga memiliki hubungan positif dengan pendidikan Ibu. Hal ini sejalan dengan
temuan Stright and Bales (2003). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa
penyesuaian keluarga memiliki hubungan positif signifikan dengan pengasuhan dan
memiliki hubungan negatif signifikan dengan agresivitas anak. Secara lebih
terperinci diketahui bahwa penyesuaian keluarga memiliki pengaruh tidak langsung
terhadap agresivitas anak, melalui pengasuhan. Hal ini sejalan dengan penelitian
sebelumnya (Schoppeet al. 2001; Gartstein dan Fagot 2003; Anthony et al. 2005).
Permasalahan emosi yang dialami oleh pengasuh (rasa sedih, tertekan, marah) akan
mendorong tindakan negatif saat melakukan proses pengasuhan. Sebaliknya,
kepuasan hidup, perasaan bahagia akan memberikan dorongan positif dalam proses
pengasuhan. Hubungan baik yang baik dengan keluarga, baik keluarga inti maupun
keluarga besar, mencerminkan hubungan antara orang tua dan anak dala proses
pengasuhan. Kerjasama yang baik dalam pengasuhan antar suami-istri membuat
proses pengasuhan menjadi lebih efektif, dan tujuan pengasuhan juga menjadi lebih
mudah untuk dicapai (Schoppeet al. 2001).
Selain dipengaruhi oleh faktor pengasuhan dalam keluarga, Presepsi yang
baik terhadap iklim sekolah akan menurunkan peilaku agresi fisik, verbal dan
38

permusuhan. Meskipun hasil uji pengaruh tidak menunjukkan pengaruh signifikan,


tetapi ditemukan hubungan negatif signifikan antara iklim sekolah dan perilaku
agresi. Hal ini sejalan dengan penelitian Basuki (2017) bahwa iklim sekolah yang
baik dapat menurunkan perilaku agresivitas, tetapi pengaruhya lebih kecil jika
dibandingkan dengan pengasuhan, interaksi dengan teman, dan kontrol diri.
Pengalaman siswa terhadap iklim sekolah berkaitan dengan perilaku kekerasan dan
perilaku agresif yang dilakukan pada dirinya sendiri maupun pada temannya di
sekolah. Presepsi yang positif akan menghadirkan terhadap iklim sekolah akan
meningkatkan rasa kasih ng, dan membantu mempromosikan perilaku yang baik
seperti keinginan untuk berbagi dan menurunkan perilaku agresif. Sebaliknya
presepsi tentang iklim sekolah yang negatif akan meningkatkan perilaku kekerasan
(Leadbeater et al. 2015). Anak yang memiliki presepsi negatif terhadap iklim
sekolah memiliki kepercayaan yang rendah terhadap guru dan teman di sekolahnya
(Ladd et al. 2014). Secara lebih terperinci, bagian iklim sekolah yang memiliki
hubungan dengan agresivitas antara lain rasa hormat, aturan dan norma, kekerasan
di sekolah, dan perasaan aman.
Sikap saling menghormati yang diterapkan di sekolah dapat menurunkan
agresi fisik dan agesi kemarahan. Rasa hormat antar antara siswa dan guru, rasa
hormat anta siswa dapat menciptakan lingkungan sekolah yang positif, dan dapat
menghindarkan siswa dari berrbuat kekerasan (Johnson 2009). Penerapan aturan
dan norma merupakan bagian lingkungan nonfisik sekolah yang memiliki pengaruh
cukup besar dalam memengaruhi perilaku agresi pada siswa (Johnson 2009).
Aturan dan norma dalam lingkungan tertentu dapat membentuk keyakinan normatif,
dimana keyakinan normatif akan mendorong perilaku (Lim dan Ang 2009),
termasuk dalam agresivitas.Werner dan Hill (2010); Umaroh (2017) menyatakan
bahwa keyakinan normatif tentang perilaku agresi berhubungan dengan perilaku
yang diyakini. Siswa yang menganggap agresi bukan suatu hal yang dilarang, akan
lebih mudah untuk melakukan tindakan agresi, dan sebaliknya. Perasaan aman di
sekolah menurunkan agresivitas, hal ini sejalan dengan temuan Goldsteinet al.
(2008); (Johnson 2009).Sebaliknya kekerasan di sekolah yang dialami dan
disaksikan oleh siswa meningkatkan perilaku agresivitas pada siswa. Siswa yang
sering terpapar perilaku agresi, akan merasa tidak aman disekolah, dimana hal ini
bisa menjadi pemicu agresi di kemudian hari (Goldstein et al. 2008). Siswa yang
berada pada lingkungan dengan teman sebaya yang mendukung perilaku agresi,
cenderung memiliki perilaku agresi, yang bahkan akan terus meningkat setiap
waktunya Werner dan Hill (2010).
Anderson dan Bushman (2002) merangkum mekanisme perilaku agresi
pada manusia. Mekanisme perilaku agresi terdiri dari input, proses dan output.
Input perilaku agresi terdiri dari faktor individu dan situasi, proses terjadinya
perilaku agresi dapat dijelaskan melalui proses kognitif, afeksi dan keinginan,
sedangkan outputnya adalah agresivitas. Dalam penelitian ini salah satu faktor yang
menjadi input perilaku agresi adalah jenis kelamin (faktor individu). Selain faktor
individu, input perilaku agresi dapat berasal dari faktor situasi antara lain
rendahnya kualitas penyesuaian keluarga, pengasuhan yang negatif, kekerasan
dalam pengasuhan, dan iklim sekolah yang buruk.
Mekanisme (proses) pengaruh dapat dijelaskan melalui teori pembelajaran
sosial. Menurut teori pembelajaran sosial seseorang tidak dilahirkan dengan
performa agresif, tetapi perilaku agresif diperoleh melalui pembelajaran. Individu
39

melakukan proses belajar dengan mengamati perilaku orang lain pada


kesehariannya. Anak belajar perilaku agresif dengan mengamati langsung melalui
interaksi kesehariannya (modeling). Pembelajaran dihasilkan dari pengalaman
langsung saat mengamati orang lain dan mengetahui konsekuensinya. Pola perilaku
bisa dibentuk melalui akuisisi pembelajaran observasional (Bandura 1978).
Pembelajaran dihasilkan dari pengalaman langsung dan mengetahui
konsekuensi dari perilaku tersebut. Anak-anak memperoleh perilaku agresif dari
pengamatan terhadap model yang berperilaku agresif, kemudian anak
memunculkan perilaku agresif. Menurut teori sosial learning perilaku agresif
diaktifkan dengan adanya permusuhan (fisik dan verbal), dan ajakan intensif untuk
berperilaku agresif, tetapi tidak seriap rangsangan ditranggapi dengan perilaku
agresif karena masing-masing individu memiliki pengaturan diri. Perilaku agresif
yang sudah aktif dapat disalurkan karena adanya dorongan seperti pengharapan dan
hukuman (Bandura 1978).

6 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dalam penelitian ini, rataan usia anak perempuan 9.51 tahun dan anak laki-
laki 9.57 tahun. Rataan usia keseluruhan adalah 9.54 tahun. Usia ibu berada pada
rentang 20-51 tahun dengan rataan 35.75 tahun. Hal ini menunjukan bahwa ibu
berada pada periode usia dewasa madya. Rataan Ibu hanya menempuh pendidikan
sampai kelas delapan sekolah menengah pertama. Aktivitas ibu terdiri dari 63.6
persen tidak bekerja dan 36.4 persen bekerja. Sementara pendapatan keluarga
berada pada rentang Rp 450 000,00-4 000 000,00/ bulan, dengan Rataan Rp 1 280
000/bulan.
Penyesuaian keluarga pada anak laki-laki tidak berbeda signifikan dengan
anak perempuan, tetapi pada dimensi kerjasama dalam pengasuhan ditemukan
perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan. Tidak terdapat perbedaan
pengasuhan antara anak laki-laki dan perempuan, akan tetapi rataan pengasuhan
dan seluruh dimensinya lebih tinggi pada anak perempuan dibandingkan dengan
anak laki-laki. Tidak terdapat perbedaan kekerasan dalam pengasuhan antara anak
laki-laki dan perempuan, tetapi pada dimensi pengabaian ditemukan perbedaan
antara anak laki-laki dan perempuan. Pengabaian pada anak laki-laki lebih tinggi
dibandingkan dengan anak perempuan.Tidak terdapat perbedaan presepsi terhadap
iklim sekolah antara anak laki-laki dan perempuan, tetapi ditemuka perbedaan pada
dimensi dukungan sosial antara anak laki-laki dan perempuan.
Ibu yang memiliki pendidikan tinggi, memiliki penyesuaian keluarga dan
pengasuhan yang lebih baik, serta menurunkan agresivitas pada anak. Penyesuaian
keluarga yang baik, akan meningkatkan kualitas pengasuhan dan menurunkan
agresivitas pada anak. Pengasuhan yang baik dapat menurunkan agresivitas pada
anak. Sebaliknya, kekerasan dalam pengasuhan dapat menurunkan presepsi baik
anak terhadap lingkungan sekolahnya, sekaligus menimbulkan agresivitas anak.
Presepsi yang baik terhadap lingkungan sekolah, dapat menurunkan agresivitas
pada anak .
40

Agresivitas anak secara langsung dibentuk oleh kekerasan yang dilakukan


orang tua dalam pengasuhan, rendahnya kualitas pengasuhan. Laki-laki memiliki
peluang agresivitas lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan. Selain itu,
secara tidak langsung agresivitas dibentuk oleh rendahnya kualitas penyesuaian
keluarga dan pendidikan ibu. Selain dibentuk oleh lingkungan keluarga, agresivitas
anak juga dibentuk oleh lingkungan sekolah, hanya saja pengaruhnya lebih kecil
dibandingkan dengan pengasuhan.

Saran

Kekerasan dalam pengasuhan dapat membentuk agresivitas pada anak,


tetapi masih banyak dilakukan oleh pengasuh sebagai respon perilaku negatif yang
dilakukan anak, atau untuk menerapkan perilaku positif, padahal hal ini bukan
solusi yang baik, karena dapat menimbulkan dampak yang lebih buruk. Keluarga
diharapkan untuk menghilangkan kekerasan (baik fisik maupun nonfisik) dalam
stategi pengasuhan, untuk menghilangkan agresivitas pada anak. Kekerasan dalam
pengasuhan dapat diganti dengan penjelasan ataupun time out. Kekerasan dalam
pengasuhan juga dapat dihilangkan dengan meningkatkan kontrol diri ibu. Selain
menghilangkan kekerasan dalam pengasuhan, beberapa upaya perlu dilakukan
keluarga utuk meningkatkan kualitas pengasuhannya yaitu dengan meningkatkan
konsistensi dalam pengasuhan, memberikan dorongan positif pada anak, menjalin
hubungan yang baik antara anak dan pengasuh, serta menghilangkan koersifitas
dalam pengasuhan.
Peningkatan kualitas penyesuaian keluarga dapat meningkatkan kualitas
pengasuhan dan menurunkan perilaku agresivitas. Penyesuaian dapat ditingkatkan
dengan meningkatkan kualitas penyesuaian diri orang tua berkaitan dengan
perannya sebagai pengasuh. Selanjutnya, menjalin kerjasama yang baik antara
suami-istri dalam melaksanakan pengasuhan. Suami-istri harus memiliki visi
bersama dalam pengasuhan, visi yang sejalan akan memudahkan suami-istri untuk
menentukan konsep dan strategi pengasuhan yang akan digunakan. Selanjutnya,
menjalin hubungan baik dengan anggota keluarga, baik keluarga inti meupun
keluarga besar. Hubungan yang baik akan membantu orangtua dalam melakukan
penyesuaian.
Agresivitas juga dibentuk oleh lingkungan sekolah, institusi sekolah
diharapkan dapat membangun iklim sekolah yang berkarakter. Pembelajaran
karakter dapat diberikan secara eksplisit, dan diterapkan selama proses
pembelajaran disekolah. Institusi sekolah diharapkan dapat mengadakan
pembelajaran yang mengasah kecerdasan sosial emosi. Siswa diberikan
pembelajaran tentang bagaimana mengelola emosi, menyelesaikan ketidak
sepahaman dengan teman yang berbeda pendapat, dan bagaimana cara menghargai
dirinya dan orang lain. Institusi sekolah dapat menegaskan aturan secara eksplisit
tentang perilaku, seperti lalarangan untuk melakukan kekerasan verbal maupun
kekerasan fisik pada sesama teman. Rasa hormat, dukungan, dan kerjasama antara
pihak sekolah dan orang tua dapat membantu mencegah agresivitas pada anak,
sehingga sekolah perlu untuk membudayakan sikap saling menghormati antar
masyakat sekolah, dukungan belajar dan dukungan sosial kepada siswa, serta
mengadakan penyuluhan orang tua terkait pengasuhan untuk membentuk sinergi
antara lingkungan rumah dan lingkungan sekolah.
41

Untuk institusi pemerintah (KPPA) diharapkan dapat memberikan penyuluhan


strategi pengasuhan tanpa kekerasan orang tua, baik melalui institusi sekolah, atau
langsung ke forum masyarakat. Mensosialisasikan dampak kekerasan, serta
peraturan pemerintah tentang larangan serta sanksi terhadap tindak kekerasan yang
dilakukan kepada anak. Selanjutnya untuk Dinas Pendidikan dapat emasukan
muatan karakter dalam pembelajaran yang mewujudkan perilaku terpuji pada
siswa. Dinas pendidikan dapat melakukan kajian yang melibatkan berbagai pihak,
untuk melakukan kajian guna merumuskan kurikulum pendidikan karakter untuk
meujudkan perilaku terpuji pada siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson CA, Bushman BJ. 2002. Human aggression. Annual review of psychology,
53.
Annerbäck, EM., Sahlqvist L, Svedin CG, Wingren G, Gustafsson PA. 2012. Child
physical abuse and concurrence of other types of child abuse in Sweden—
Associations with health and risk behaviors. Child Abuse Neglect 36(7):585-
595.
Anthony LG, Anthony BJ, Glanville DN, Naiman DQ, Waanders C, Shaffer S.
2005. The relationships between parenting stress, parenting behaviour and
preschoolers' social competence and behaviour problems in the classroom.
Infant and Child Development: An International Journal of Research and
Practice, 14(2), 133-154.Archer J. 2004. Sex differences in aggression in
real-world settings: A meta-analytic review. Review of general
Psychology, 8(4), 291.
Archer J. 2004. Sex differences in aggression in real-world settings: A meta-
analytic review. Review of general Psychology, 8(4), 291.
Bashir L, Bashir H. 2016. A Study on Parental Encoragement Among
Adolescents. International Journal of Scientific Research 5(4).
Basuki M. 2017. Mencari penyebab agresivitas pelajar. Hubungan konsep diri,
perhatian orangtua, afiliasi kepada kelompok nonagresif, dan iklim sekolah
dengan agresivitas. WACANA, Jurnal Ilmiah Ilmu Komunikasi, 13(1), 35-53.
Bandura A. 1978. Social learning theory of aggression. Journal of
communication 28(3):12-29.
Berlianti D, Vitalaya A, Hastuti D, Sarwoprasojdo S, Krisnatuti D. 2016. Ada Apa
Dengan Komunikasi Orang Tua-Remaja?: Pengaruhnya Terhadap
Agresivitas Remaja Pada Sesama. Jurnal Ilmu Keluarga dan
Konsumen, 9(3): 183-194.
Bornstein MH, Hahn CS, Haynes OM. 2011. Maternal personality, parenting
cognitions, and parenting practices. Developmental psychology47(3):658.
[BPS Jabar] Badan Pusat Statistik Jawa Barat. 2017. Provinsi Jawa Barat dalam
Angka 2017.
[BPS Bogor] Badan Pusat Statistik Jawa Barat. 2017. Bogor dalam Angka 2017.

Brooks J. 2011. The Process of Parenting. Californis (US): Mayfield Publishing


Company.
42

Buss AH, Perry MP. 1992. The aggression questionnaire. Journal of Personality
and Social Psychology 63(III): 452-459.
Calhoun JF, Acocella JR. 2004.Psikologi tentang Penyesuaian danHubungan
Kemanusiaan. Edisi Ketiga.Alih bahasa: Ny. RS. Satmoko.Semarang: IKIP
Semarang Press.
Cohen J, McCabe L, Michelli NM, Pickeral T. 2009. School climate: Research,
policy, practice, and teacher education. Teachers college record, 111(1), 180-
213.
Dadds MR., Powell MB. 1991. The relationship of interparental conflict and global
marital adjustment to aggression, anxiety, and immaturity in aggressive and
nonclinic children. Journal of abnormal child psychology 19(5):553-567.
Dubois-Comtois K, Moss E, Cyr C, Pascuzzo K. 2013. Behavior problems in
middle childhood: The predictive role of maternal distress, child attachment,
and mother-child interactions. Journal of abnormal child
psychology 41(8):1311-1324.
Eagly AH. 1997. Sex differences in social behavior: comparing social role theory
and evolutionary psychology.
Elsaesser C, Gorman-Smith D, Henr D. 2013. The role of the school environment
in relational aggression and victimization. Journal of youth and
adolescence, 42(2), 235-249.
Endendijk JJ, Groeneveld MG, Bakermans-Kranenburg MJ, Mesman J. 2016.
Gender-differentiated parenting revisited: meta-analysis reveals very few
differences in parental control of boys and girls. PloS one, 11(7), e0159193.
Eron LD, Huesmann LR, ZelliA. 1991. The Development and Treatment of
Childhood Aggression. Rubin KH, Peppler DJ, editor. London (UK):
Lawrence Erlbaum Associates. hlm 169-187
Fung, ALC, Gerstein LH., Chan Y, Hurley E. 2013. Children’s aggression,
parenting styles, and distress for Hong Kong parents. Journal of Family
Violence 28(5):515-521.
Fung, AL, Gerstein LH, Chan Y, Engebretson J. 2015. Relationship of aggression
to anxiety, depression, anger, and empathy in Hong Kong. Journal
Gage NA, Prykanowski DA, Larson A. 2014. School climate and bullying
victimization: A latent class growth model analysis. School psychology
quarterly, 29(3), 256.
Gartstein MA, Fagot BI. 2003. Parental depression, parenting and family
adjustment, and child effortful control: Explaining externalizing behaviors for
preschool children. Journal of Applied Developmental
Psychology 24(2):143-177.
Goldstein SE, Young A, Boyd C. 2008. Relational aggression at school:
Associations with school safety and social climate. Journal of Youth and
Adolescence, 37(6): 641-654.
Guo P, Choe J, Higgins-D’Alessandro A. 2011. Report of construct validity and
internal consistency findings for the comprehensive school climate inventory.
Fordham University.
Hastuti D. 2015. Pengasuhan: Teori, Prinsip, dan Aplikasinya di Indonesia. Bogor
(ID): IPB Press.
43

Henry DB, Farrell AD, Schoeny ME, Tolan PH, Dymnicki AB. 2011. Influence of
school-level variables on aggression and associated attitudes of middle school
students. Journal of school psychology, 49(5) : 481-503.
Huesmann LR, Moise-Titus J, Podolski CL, Eron LD. 2003. Longitudinal relations
between children’s exposure to TV violence and their aggressive and violent
behavior in young adulthood: 1977-1992. Developmental Psychology
39(II):201-221.
Hurlock EB. 2002. Psikologi Perkembangan 5th edition. Erlangga: Jakarta.
Hutapea B. 2010. Studi korelasi intensitas menonton tayangan yang mengandung
kekerasan di telivisi dengan perilaku agresif pada anak. Jurnal Ikon 3(II): 1-
7.
Holtrop K, Smith M, Scott JC. 2015. Associations between positive parenting
practices and child externalizing behavior in underserved Latino immigrant
families. Family process, 54(2), 359-375.
Johnson SL. 2009. Improving the school environment to reduce school violence: A
review of the literature. Journal of school health, 79(10), 451-465.
Kanbay Y, Aslan Ö, Işik E. 2016. Child Abuse and Neglect. International Journal
of Health Sciences and Research (IJHSR) 6(8): 352-357.
Kawabata Y, Crick NR. 2016. Differential associations between maternal and
paternal parenting and physical and relational aggression. Asian Journal of
Social Psychology.
[KPAI] Komisi Pelindungan Anak Indonesia. 2016. Tabulasi data kasus per-tahun:
rincian data kasus berdasarkan kluster perlindungan [Internet]. Diakes pada :
http://bankdata.kpai.go.id/tabulasi-data/data-kasus-per-tahun/rincian-data-
kasus-berdasarkan-klaster-perlindungan-anak-2011-2016
Ladd GW, Ettekal I, Kochenderfer‐Ladd B, Rudolph KD, Andrews RK. 2014.
Relations among chronic peer group rejection, maladaptive behavioral
dispositions, and early adolescents' peer perceptions. Child
development, 85(3), 971-988.
Leadbeater BJ, Sukhawathanakul P, Thompson K, Holfeld B. 2015. Parent, child,
and teacher reports of school climate as predictors of peer victimization,
internalizing and externalizing in elementary school. School Mental
Health, 7(4), 261-272.
Lee SJ, Taylor CA, Alschul I, Rice JC. 2013. Parental spanking and subsequent risk
for child aggression in father involved families of young children. Children
and Youth Services Review 35(2013): 1476-1485.
Liu L, Wang M. 2015. Parenting stress and children’s problem behavior in China:
The mediating role of parental psychological aggression. Journal of family
psychology 29(1):20.
Maguire SA., Williams B, NaughtonAM, Cowley LE, Tempest V, Mann, MK,
Kemp AM. 2015. A systematic review of the emotional, behavioural and
cognitive features exhibited by school‐aged children experiencing neglect or
emotional abuse. Child: parenting, health and development 41(5): 641-653.
Megawangi R. 2014. Membiarkan Berbeda : Edisi Revisi Sudut Pandang Baru
tentang Relasi Gender. Cimanggis Depok (ID): Indonesia Heritage
Foundation.
44

Meinck F, Cluver LD, Boyes ME, Ndhlovu LD. 2015. Risk and protective factors
for physical and emotional abuse victimisation amongst vulnerable children
in South Africa. Child Abuse Review24(3):182-197.
Morshed MUI, Nirobe NN, Naz H. 2015. A study of parental acceptance-rejection
and aggression towards parents of adolescence. Universal Journal of
Psychology 3(IV): 132-135.
Nelson DA, Yang C, Coyne SM, Olsen JA, Hart CH. 2013. Parental psychological
control dimensions: Connections with Russian preschoolers’ physical and
relational aggression. Journal of Applied Developmental Psychology 34(1):
1-8
Nivette AE, EisnerM, Malti T, Ribeaud D. 2014. Sex differences in aggression
among children of low and high gender inequality backgrounds: A
comparison of gender role and sexual selection theories. Aggressive
behavior, 40(5), 451-464.
Puspitasari R, Hastuti D, Herawati T. 2015. Pengaruh pola asuh disiplin dan pola
asuh spiritual ibu terhadap karakter anak usia sekolah dasar. Jurnal
Pendidikan Karakter, (2).
Puspitawati H. 2009. Kenakalan pelajar dipengaruhi oleh sistem sekolah dan
keluarga. Bogor (ID): IPB Press.
Puspitawati H. 2012. Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia.
Bogor (ID): IPB Press.
Puspitawati H, Sarma M, Herawati T, Latifah M, Moeljono P. 2013. Analisis
Sinergisme Keluarga dan Sekolah di Kota Bogor. Bogor: IPB Press.
Rahmawati SH. 2014. Pengaruh akses media sosial, gaya pengasuhan dan
kekerasan verbal orang tua terhadap karakter siswa SMK di Bogor [tesis].
Sekolah Pascasarjana, Institur Pertanian Bogor.
Reeves RV, Venator J, Howard K. 2014. The character factor: Measures and
impact of drive and prudence. Center on Children Families.
Santrock JW. 2012. Life Span Development. Ed 5; alih bahasa Juda D, Achmad C;
editor, Herman SinagaYati Sumuharti. Jakarta:Erlangga.
Sanders, M. R., Morawska, A., Haslam, D. M., Filus, A., Fletcher, R. 2014.
Parenting and Family Adjustment Scales (PAFAS): validation of a brief
parent-report measure for use in assessment of parenting skills and family
relationships. Child Psychiatry Human Development, 45(3), 255-272.
Schoppe SJ, Mangelsdorf SC, Frosch CA. 2001. Coparenting, family process, and
family structure: Implications for preschoolers' externalizing behavior
problems. Journal of Family Psychology, 15(3), 526.
Sekar P, Mani S. 2013. Parental Encouragement to Higher Secondary Students in
Thiruvannamalai District: An Empirical Analysis. International global
research analysis 2(11).
Smith JD, Dishion TJ, Shaw DS, Wilson MN, Winter CC, Patterson GR. 2014.
Coercive family process and early-onset conduct problems from age 2 to
school entry. Development and psychopathology 26(401): 917.
Straus MA, Hamby S L, FinkelhorD, Moore DW, Runyan D. 1998. Identification
of child maltreatment with the Parent-Child Conflict Tactics Scales:
Development and psychometric data for a national sample of American
parents. Child abuse neglect 22(4): 249-270.
45

Stright AD, Bales SS. 2003. Coparenting quality: contributions of child and parent
characteristics. Family Relations, 52(3), 232-240.
Thapa A, Cohen J, Guffey S, Higgins-D’Alessandro A. 2013. A review of school
climate research. Review of Educational Research, 83(3), 357-385.
Tremblay RE. 2010. Developmental origins of disruptive behaviour problems: the
‘original sin’hypothesis, epigenetics and their consequences for
prevention. Journal of Child Psychology and Psychiatry, 51(4), 341-367.
Umaroh SK. 2017. Agresivitas siswa ditinjau berdasarkan iklim sekolah dan
keyakinan normatif mengenai agresi. Jurnal Ecopsy, 4(1), 17-24.
[UUPA] Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
Wang MT, Eccles JS. 2012. Social support matters: Longitudinal effects of social
support on three dimensions of school engagement from middle to high
school. Child development, 83(3), 877-895.
Webster‐Stratton C, Jamila-Reid M, Stoolmiller M. 2008. Preventing conduct
problems and improving school readiness: evaluation of the incredible years
teacher and child training programs in high‐risk schools. Journal of child
psychology and psychiatry, 49(5), 471-488.
Wood W, Eagly AH. 2002. A cross-cultural analysis of the behavior of women and
men: Implications for the origins of sex differences. Psychological
bulletin, 128(5), 699.
Yoshito K, Lenneke RA, WanLing A, H.van TM. 2011. Maternal and paternal
parenting styles associated with relational aggression in children and
adolescents: a conceptual analysis and meta-analytic review. Developmental
Review 31(2014): 240-278.
Young JC, Widom CS. 2014. Long-term effects of child abuse and neglect on
emotion processing in adulthood. Child abuse neglect 38(8): 1369-1381.
46

LAMPIRAN
Lampiran 1 Sebaran jawaban contoh pada variabel penyesuaian keluarga
Sebaran jawaban orang tua tentang pengasuhan selama empat pekan terakhir yang dilakukan Oran g tua terhadap anak, dengan keterangan
jawaban sebagai berikut:
4 = Sangat Sesuai
3 = Sesuai
2 = Tidak Sesuai
1 = Sangat Tidak Sesuai
No Pertanyaan 1 2 3 4 Rataan
n % n % n % n % P, n=55 L, n=44 Total
1 Mmerasa tertekan dan khawatir 27 27.3 42 42.4 17 17.2 13 13.1 2.07 2.27 2.16
2 Merasa bahagia 9 9.1 11 11.1 36 36.4 43 43.4 3.24 3.02 3.14
3 Merasa sedih dan tertekan 47 47.5 38 38.4 8 8.1 6 6.1 1.64 1.84 1.73
4 Merasa puas dengan hidup 9 9.1 18 18.2 36 36.4 36 36.4 3.02 2.98 3.00
5 Dapat mengatasi masalah emosi ketika 5 5.1 30 30.3 39 39.4 25 25.3 2.76 2.95 2.85
menjadi orang tua
6 Anggota keluarga saling membantu satu sama 5 5.1 9 9.l 32 32.3 53 53.5 3.18 3.11 3.15
lain
7 Anggota keluarga berhubungan baik satu 6 6.1 7 7.1 28 28.3 58 58.6 1.87 2.05 1.95
sama lain
8 Anggota keluarga saling bertengkar dan 49 49.5 40 40.4 6 6.1 4 4.0 3.45 3.43 3.44
beradu argumen
9 Anggota keluarga saling kritik dan saling 68 68.7 23 23.2 6 6.1 2 2.0 3.35 3.34 3.34
menjatuhkan
10 Bekerjasama dengan pasangan, sebagai tim 6 6.1 21 21.2 24 24.2 48 48.5 3.36 3.43 3.39
dalam mengasuh anak
11 Tidak setuju dengan bagaimana pasangan 41 41.4 31 31.3 18 18.2 9 9.1 1.67 1.61 1.65
mengasuh anak*
12 Memiliki hubungan yang baik dengan 7 7.1 7 7.1 20 20.2 65 65.7 1.36 1.48 1.41
pasangan
47
Lampiran 2 Sebaran jawaban contoh pada variabel pengasuhan positif
48

Sebaran jawaban orang tua tentang pengasuhan selama empat pekan terakhir yang dilakukan Orang tua terhadap anak, dengan keterangan
jawaban sebagai berikut:
4 = Sangat Sesuai
3 = Sesuai
2 = Tidak Sesuai
1 = Sangat Tidak Sesuai
No Pernyataan 1 2 3 4 Rataan
n % N % N % n % P, n=55 L, n=44 Total
1 Jika anak tidak melakukan apa yang 18 18.2 35 35.4 26 26.3 20 20.2 2.44 2.55 2.48
diperintahkan, pengasuh menyerah dan memilih
untuk melakukannya sendiri.*
2 Ketika anak nakal. Menindaklanjuti dengan 22 22.2 34 34.3 23 23.2 20 20.2 2.33 2.52 2.41
konsekuensi (misalnya mengambil pergi
mainan).*
3 Ketika anak nakal, mengancam (mis 24 24.2 32 32.3 28 28.3 15 15.2 2.22 2.50 2.34
mematikan TV) anak , tapi tidak
menindaklanjuti*
4 Meminta anak untuk berperilaku baik dengan 14 14.1 37 37.4 37 37.4 11 11.1 2.31 2.39 2.34
cara yang sama sepanjang waktu.*
5 Ketika anak marah atau kesal, memberikan apa 22. 22.2 52 52.2 22 22.2 3 3.0 2.07 2.05 2.06
yang anak inginkan.*
6 Marah saat anak nakal.* 8 8.1 40 40.4 27 27.3 24 24.2 2.60 2.77 2.68
7 Membuat anak merasa buruk (misalnya rasa 37 37.4 29 29.3 19 19.2 14 14.1 2.05 2.16 2.10
bersalah atau malu) ketika anak nakal, untuk
memberikan pelajaran pada anak.*
8 Memukul anak ketika anak nakal.* 33 33.3 48 48.5 16 16.2 2 2.0 1.76 2.00 1.87
9 Berdebat dengan anak tentang perilaku/sikap 13 13.1 56 56.6 21 21.2 9 9.1 2.15 2.41 2.26
mereka.*
10 Merasa terganggu dengan anak * 71 71.7 16 16.2 8 8.1 4 4.0 1.35 1.57 1.44
11 Memberikan anak hadiah atau kegiatan yang 20 20.2 54 54.5 13 13.1 12 12.1 2.09 2.27 2.17
menyenangkan ketika mereka berperilaku baik
12 Memuji anak ketika mereka berperilaku baik 4 4.0 19 19.2 37 37.4 39 39.4 3.05 3.20 3.12
No Pernyataan 1 2 3 4 Rataan
n % N % N % n % P, n=55 L, n=44 Total
13 Memberikan perhatian pada anak (mis 4 4.0 18 18.2 25 25.3 52 52.5 3.31 3.20 3.26
pelukan, mengedipkan mata, tersenyum atau
ciuman)
14 Sering berbicara dengan anak 6 6.1 19 19.2 31 31.3 43 43.4 3.11 3.14 3.12
15 Merasa senang saat memberikan pelukan, 6 6.1 27 27.3 33 33.3 33 33.3 2.93 2.95 2.94
ciuman dan dekapan kepada anak .
16 Bangga terhadap anak . 4 4.0 13 13.1 27 27.3 55 55.6 3. 38 3. 30 3.34
17 Menikmati menghabiskan waktu dengan anak . 4 4.0 19 19.2 33 33.3 43 43.4 3.18 3.14 3.16
18 Memiliki hubungan yang baik dengan anak . 7 7.1 8 8.1 26 26.3 58 58.6 3.29 3.45 3.36
49
50

Lampiran 3 Sebaran jawaban contoh pada variabel kekerasan dalam pengasuhan (kekerasan dalam pengasuhan)

Bagian 1
Sebaran jawaban anak tentang kekerasan yang dilakukan orang tua kepada anak, dengan keterangan jawaban sebagai berikut:
1 = Tidak pernah
2 = Kadang-kadang
3 = Sering
4 = Selalu

No Pertanyaan 1 2 3 4 Rataan
n % n % n % n % P, n=55 L, n=44 Total
1 Orang tua mengancam akan memukul , jika 37 37.4 29 29.3 26 26.3 7 7.1 2.00 2.07 2.03
berbuat salah. Tapi tidak sampai melakukannya
2 Orang tua berteriak pada 36 36.4 38 38.4 15 15.2 10 10.1 1.96 2.02 1.99
3 Orang tua memaki 59 59.6 28 28.3 9 9.1 3 3.0 1.65 1.43 1.56
4 Orang tua mengatai bodoh 69 69.7 22 22.2 3 3.0 5 5.1 1.51 1.34 1.43
5 Orang tua mengatakan bahwa mereka akan 80 80.8 13 13.1 5 5.1 1 1.0 1.27 1.25 1.26
mengusir dari rumah
6 Orang tua memukul pada bagian bawah tubuh 37 37.4 47 47.5 10 10.1 5 5.1 1.87 1.77 1.83
dengan tangan kosong
7 Orang tua memukul pada bagian bawah tubuh 56 56.6 30 30.3 10 10.1 3 3.0 1.64 1.55 1.60
dengan ikat pinggang/sapu/ benda keras lainnya.
8 Orang tua menampar di bagian lengan. 59 59.6 28 28.3 12 12.1 0 0 1.64 1.39 1.53
9 Orang tua menelantarkan 80 80.8 13 13.1 5 5.1 1 1.1 1.33 1.18 1.26
10 Orang tua mengguncangkan tubuh 79 79.8 14 14.1 6 6.1 0 0 1.29 1.23 1.26
11 Orang tua menampar wajah 79 79.8 14 14.1 5 5.1 1 1.0 1.27 1.27 1.27
12 Orang tua memukul bagian tubuh (selain bagian 71 71.7 20 20.2 5 5.1 3 3.0 1.38 1.41 1.39
tubuh bawah) dengan menggunakan ikat
pinggang/sapu/ benda keras lainnya
13 Orang tua mendorong hingga terjatuh 85 85.9 11 11.1 3 3.0 0 0 1.21 1.11 1.17
14 Orang tua memukul dengan keras 69 69.7 20 20.2 7 7.1 3 3.0 1.51 1.34 1.45
15 Orang tua memukul secara berulang 66 66.7 26 26.3 2 2.0 5 5.1 1.53 1.36 1.45
16 Orang tua mencekik 94 94.9 4 4.0 1 1.0 0 0 1.09 1.02 1.06
No Pertanyaan 1 2 3 4 Rataan
n % n % n % n % P, n=55 L, n=44 Total
17 Orang tua menyiram dengan air panas secara 95 96.0 1 1.0 2 2.0 1 1.0 1.13 1.02 1.08
sengaja
18 Orang tua mengancam dengan pisau 94 94.9 4 4.0 1 1.0 0 0 1.04 1.09 1.06
19 Orang tua meninggalkan sendirian 61 61.6 29 29.3 8 8.1 1 1.0 1.40 1.59 1.48
20 Orang tua tidak mampu menunjukkan bahwa dia 58 58.6 18 18.2 8 8.1 15 15.2 1.65 1.98 1.80
mencintai
21 Orang tua tidak memastikan bahwa mendapatkan 59 59.6 21 21.2 10 10.1 9 9.1 156 1.84 1.69
makanan yang butuhkan
22 Orang tua tidak memastikan bahwa mendapatkan 67 67.7 17 17.2 8 8.1 7 7.1 1.49 1.61 1.55
pengobatan ketika sakit
23 Orang tua merasa bahwa merawat adalah 79 79.8 13 13.1 2 2.0 5 5.1 1.25 1.41 1.32
masalah untuk mereka

Bagian II
Sebaran jawaban anak tentang pendisiplinan selama satu pekan yang dilakukan orang tua kepada anak, dengan keterangan jawaban sebagai
berikut
1 = Tidak pernah
2 = Kadang-kadang
3 = Sering
4 = Selalu
1 2 3 4 Rataan
No Pernyataan N % n % n % n % P, n=55 L, n=44 Total
1 Orang tua melakukan time out (mengurung 95 96.0 2 2.0 2 2.0 0 0 1.07 1.05 1.06
dalam ruangan)
2 Orang tua meneriaki 66 66.7 25 25.3 7 7.1 1 1.0 1.40 1.45 1.42
3 Orang tua memukul bagian tubuh bawah 57 57.6 33 33.3 5 5.1 4 4.0 1.60 1.50 1.56
dengan tangan kosong
4 Orang tua memukul pada bagian lengan, 73 73.7 18 18.2 6 6.1 2 2.0 1.33 1.41 1.36
ketiak, atau kaki
51
Bagian III
52

Sebaran jawaban anak tentang kekerasan seksual yang pernah diterima oleh anak, dengan keterangan jawaban sebagai berikut:
1 = Tidak, tidak pernah terjadi
2 = Tidak terjadi selama satu tahun ini, tapi pernah terjadi
3 = Pernah, terjadi satu kali
4 = Pernah, terjadi lebih dari satu kali

No Pernyataan 1 2 3 4 Rataan
N % n % n % n % P, n=55 L, n=44 Total
1 Pernahkah Anda mengalami sentuhan yang tidak 92 92.9 7 7.1 0 0 0 0 1.15 1.16 1.15
diinginkan pada organ seksual, yang dilakukan
oleh orang dewasa atau anak yang lebih tua dari
Anda, atau dipaksa untuk melakukan sentuhan
yang tidak dia inginkan pada orang dewasa atau
anak yang lebih tua dari Anda (termasuk oleh
anggota keluarga Anda atau siapapun)
2 Pernahkah anak Anda dipaksa melakukan 99 100 0 0 0 0 0 0 1.00 1.00 1.00
hubungan seksual oleh orang dewasa atau anak
yang lebih tua dari Anda (termasuk oleh anggota
keluarga Anda atau siapapun) ?
Lampiran 4 Sebaran jawaban contoh pada variabel iklim sekolah
Sebaran jawaban anak tentang lingkunan sekolah, dengan keterangan jawaban sebagai berikut:

1= Sangan tidak setuju


2 = Tidak setuju
3 = Setuju
4 = Sangat setuju
No Pertanyaan 1 2 3 4 Rataan
n % n % n % n % P, n=55 L, n=44 Total
Dukungan Belajar
1 Guru membantu meenemukan cara belajar 4 4.0 2 2.0 26 26.3 67 67.7 3.64 3.50 3.58
terbaik
2 Guru memberi tahu ketika melakukan pekerjaan 4 4.0 6 6.1 36 36.4 53 53.5 3.53 3.23 3.39
dengan baik
3 Guru memberikan kesempatan untuk 4 4.0 4 4.0 49 49.5 42 42.4 3.45 3.11 3.30
menampilkan apa yang bisa di hadapan teman-
teman dengan cara yang beragam (presentasi,
dll)
4 Guru memberikan saran terhadap pekerjaan 4 4.0 7 7.0 34 34.3 54 54.5 3.47 3.30 3.39
5 Guru mendorong kami untuk melihat kesalahan 32 32.3 16 16.2 23 23.2 27 27.3 2.55 2.35 2.46
sebagai bagian alami dari proses belajar
6 Guru membimbing untuk belajar dari kesalahan 19 19.2 14 14.1 25 25.3 41 41.1 2.93 2.84 2.89
7 Merasa bahagia dengan apa yang lakukan di 9 9.1 3 3.0 30 30.3 57 57.6 3.45 3.25 3.36
sekolah
8 Guru mendorong untuk menemukan 20 20.2 12 12.1 24 24.2 43 43.4 3.07 2.70 2.91
pengetahuan dan ide baru
9 Di sekolah, tertantang untuk melakukan sesuatu 11 11.1 12 12.1 35 35.4 1 1.0 3.16 2.91 3.05
melebihi apa yang bisa
10 Guru memberi perhatian khusus dalam 7 7.1 12 12.1 30 30.3 50 50.5 3.27 3.20 3.24
menngerjakan tugas sekolah
11 Apa yang pelajari di sekolah, membantu untuk 5 5.1 11 11.1 26 26.3 57 57.6 3.49 3.20 3.36
senang bekerjasama
12 Di sekolah, kami diajarkan untuk mendengar dan 10 10.1 6 6.1 27 27.3 56 56.6 3.53 3.02 3.30
menghargai orang yang sedang berbicara
Dukungan Sosial
53
No Pertanyaan 1 2 3 4 Rataan
n % n % n % n % P, n=55 L, n=44 Total
54

13 Orang dewasa (guru, petugas kebersihan, atpam, 12 12.1 9 9.1 40 40.4 38 38.4 3.33 2.70 3.05
pegawai, dll) di sekolah senang mendengar
cerita dari siswanya
14 Orang dewasa di sekolah sangat tertarik saat 12 12.1 6 6.1 40 40.4 41 41.4 3.25 2.93 3.11
mengetahui seorang siswa
15 Jika ingin menceritakan masalah, ada orang 6 6.1 17 17.2 36 36.4 40 40.4 3.20 3.00 3.11
dewasa yang percayai untuk mendengarkan
cerita
16 Orang tua dan keluarga merasa nyaman 8 8.1 6 6.1 37 37.4 48 48.5 3..24 3.30 3.26
berdiskusi dengan guru di sekolah
17 Berfikir orang tua merasa diterima di sekolah 14 14.1 8 8.1 35 35.4 42 42.4 3.11 3.00 3.06
18 Jika merasa bingung di sekolah, nyaman untuk 8 8.1 19 19.2 38 38.4 34 34.3 3.02 2.95 2.99
mengutarakannya
Pembelajaran sosial-emosi
19 Di sekolah, kami membicarakan tentang 15 15.2 11 11.1 39 39.4 34 34.3 2.96 2.89 2.93
bagaimana mengontrol emosi
20 Di sekolah kami telah belajar bagaimana 13 13.1 10 10.1 32 32.3 44 44.4 3.13 3.02 3.08
menyelesaikan ketidaksepahaman sehingga
setiap orang merasa puas
21 Di ekolah, kami belajar tentang bagaimana 4 4.0 4 4.0 39 39.4 52 52.5 3.62 3.14 3.40
berbuat sesuatu yang berguna untuk orang lain
22 Di sekolah, kami belajar untuk menjadi pribadi 4 4.0 0 0 26 26.3 69 69.7 3.73 3.48 3.62
yang lebih baik
23 Di sekolah, kami beajar membedakan antara hal 7 7.1 3 3.0 34 34.3 55 55.6 3.38 3.39 3.38
yang benar dan salah
24 Kami belajar tentang pentingnya menghargai diri 5 5.1 1 1.0 24 24.2 69 69.7 3.69 3.45 3.59
sendiri dan orang lain
Rasa homat di sekolah
25 Orang dewasa di sekolah menghormati 7 7.1 6 6.1 38 38.4 48 48.5 3.40 3.14 3.28
perbedaan yang ada pada siswa
26 Orang dewasa di sekolah saling menghormati 3 3.0 10 10.1 34 34.3 52 52.5 3.38 3.34 3.36
perbedan satu sama lain
27 Orang dewasa di sekolah memperlakukan siswa 4 4.0 4 4.0 31 31.3 60 60.6 3.55 3.41 3.48
dengan penuh hormat
28 Orang dewasa di sekolah bekerja sama satu sama 9 9.1 9 9.1 29 29.3 52 52.5 3.49 2.95 3.25
lain
No Pertanyaan 1 2 3 4 Rataan
n % n % n % n % P, n=55 L, n=44 Total
29 Orang dewasa di sekolah saling menghormati 2 2.0 10 10.1 30 30.3 57 57.6 3.42 3.45 3.43
satu sama lain
30 Orang dewasa di sekolah saling mempercayai 3 3.0 7 7.1 31 31.3 58 58.6 3.47 3.43 3.45
satu sama lain
Aturan dan norma
31 Orang dewasa di sekolah , secara adil 19 19.2 12 12.1 29 29.3 39 39.4 3.00 2.75 2.89
memastikan bahwa seluruh siswa menaati
peraturan mengenai larangan melakukan
kekerasan fisik pada orang lain
32 Orang dewasa di sekolah menghentikan siswa 14 14.1 18 18.2 28 28.3 39 39.4 2.95 2.91 2.93
yang terlihat menyakiti orang lain secara fisik
33 Di sekolah , ada peraturan yang jelas tentang 13 13.1 17 17.2 22 22.2 47 47.5 3.18 2.86 3.04
larangan untuk melakukan kekerasan verbal
34 Orang dewasa di sekolah , secara adil 10 10.1 18 18.2 24 24.2 47 47.5 3.04 3.16 3.09
memastikan bahwa seluruh siswa menaati
peraturan mengenai larangan melakukan
kekerasan verbal pada orang lain
55 Di sekolah , ada peraturan yang jelas tentang 15 15.2 14 14.1 28 28.3 42 42.4 2.91 3.07 2.98
larangan untuk melakukan kekerasan fisik
36 Orang dewasa di sekolah menghentikan siswa 12 12.1 15 15.2 32 32.3 40 40.4 2.96 3.07 3.01
yang terlihat menyakiti orang lain secara verbal
Hubungan antarsiswa
37 Siswa di sekolah akan berusaha menghentikan 14 14.1 12 12.1 33 33.3 40 40.4 3.16 2.80 3.00
teman yang mengolok-olok teman yang lain
38 Kebanyakan siswa di sekolah memperlakukan 19 19.2 30 30.3 28 28.3 22 22.2 2.64 2.41 2.54
teman sebagaimana ingin diperlakukan
39 Siswa berkerja sama dengan baik dengan semua 6 6.1 13 13.1 23 23.2 57 57.6 3.29 3.36 3.32
teman di sekolah
40 Siswa memperlakukan siswa baru dengan baik, 5 5.1 12 12.1 23 23.2 59 59.6 2.42 3.32 3.37
sehingga mereka merasa nyaman
41 Siswa di sekolah saling menghargai perbedaan 8 8.1 15 15.2 29 29.3 47 47.5 3.22 3.09 3.16
(jenis kelamin, ras, budaya, dll)
42 Sangat sedikit siswa yang suka mengolok-olok 22 22.2 28 28.3 23 23.2 26 26.3 2.78 2.23 2.54
teman lain
43 Kebanyakan siswa di sekolah bertindak dengan 18 18.2 12 12.1 28 28.3 41 41.4 2.95 2.91 2.93
memperhatikan perasaan orang lain
55

Kekerasan fisik dan bullying di sekolah


No Pertanyaan 1 2 3 4 Rataan
n % n % n % n % P, n=55 L, n=44 Total
56

44 Pernah melihat siswa menyakiti temannya secara 38 38.4 26 26.3 24 24.2 11 11.1 2.09 2.07 2.08
fisik di sekolah lebih dari satu kali (contoh :
mendorong, memukul, menampar)*
45 Pernah disakiti secara fisik (contoh : didorong, 47 47.5 26 26.3 16 16.2 10 10.1 1.85 2.39 1.89
diukul, ditampar) oleh siswa lain lebih dari satu
kali*
46 Banyak siswa di sekolah yang memperlakukan 42 42.4 34 34.3 16 16.2 7 7.1 1.82 1.95 1.88
siswa lain dengan buruk ( contoh memukul siswa
lain)*
47 Pernah disakiti dengan kata-kata (contoh : 32 32.3 36 36.4 18 18.2 13 13.1 2.13 2.11 2.12
dicela, dicemooh, ditertawakan) oleh siswa lain
lebih dari satu kali*
48 Banyak siswa di sekolah yang senang 38 38.4 32 32.3 13 13.1 16 16.2 1.96 2.20 2.07
mencemooh dan mentertawakan teman yang
lain*
49 Ada kelompok siswa di sekolah yang 40 40.4 31 31.3 20 20.2 8 8.1 1.78 2.18 1.96
memperlakukan siswa lain yang bukan
kelompoknya dengan tidak baik (memukul dan
berkata kasar)*
50 Pernah melihat siswa menyakiti temannya secara 33 33.3 34 34.3 13 13.1 19 19.2 2.16 2.20 2.18
verbal di sekolah lebih dari satu kali (contoh :
mencela, mencemooh, dan menertawakan)*
51 Ada tempat di sekolah dimana tidak merasa 42 42.4 34 34.4 11 11.1 12 12.1 1.82 2.07 1.93
nyaman secara fisik (contoh : toilet sekolah
digunakan siswa untuk memukul teman lain)*
Lingkungan fisik sekolah
52 Bangunan sekolah selalu bersih 5 5.1 5 5.1 27 27.3 62 62.6 3.42 3.55 3.47
53 Sekolah memiliki fasilitas canggih (seperti 19 19.2 6 6.1 32 32.3 42 42.4 2.87 3.11 2.98
komputer) yang dapat digunakan untuk siswa
54 Sekolah sangat menarik secara fisik (contoh : 7 7.1 10 10.1 32 32.3 50 50.5 3.33 3.18 3.26
desain bagus, dekorasi menarik, tamannya indah
dll)
55 Bangunan di sekolah berkualitas baik 4 4.0 7 7.1 31 31.3 57 57.6 3.45 3.39 3.42
Perasaan aman
56 Siswa memiliki teman di sekolah yang mereka 10 10.1 15 15.2 36 36.4 38 38.4 3.16 2.86 3.03
percayai untuk menceritakan masalah
No Pertanyaan 1 2 3 4 Rataan
n % n % n % n % P, n=55 L, n=44 Total
57 Merasa aman secara fisik di halaman sekolah 7 7.1 16 16.2 34 34.3 42 42.4 3.16 3.07 3.12
dan lingkungan sekitar sekolah
58 Merasa aman secara fisik di seluruh bangunan 5 5.1 9 9.1 38 38.4 47 47.5 3.40 3.14 3.28
sekolah
59 Merasakan sekolah menjadi bagian dari hidup 7 7.1 5 5.1 27 27.3 60 60.6 3.47 3.34 3.41
60 Siswa memiliki teman yang bisa ditanya tentang 11 11.1 7 7.1 38 38.4 43 43.4 3.11 3.18 3.14
pekerjaan rumah
Kerjasama eksternal sekolah
61 Sekolah berusaha untuk memberitahu keluarga 26 26.3 12 12.1 34 34.3 27 27.3 2.49 2.80 2.63
mengenai hal-hal yang terjadi di sekolah (contoh:
sekolah pernah menelpon ke rumah )
62 Sekolah mengajak keluarga untuk menjadi 7 7.1 14 14.1 36 36.4 42 42.4 3.15 3.14 3.14
bagian dari berbagai kegiatan sekolah (contoh :
sekolah memberikan undangan pada orang tua )
63 Sekolah menganjurkan siswa untuk mengikuti 9 9.1 12 12.1 34 34.3 44 44.4 3.24 3.02 3.14
kegiatan ektrakulikuler
57
Lampiran 5 Sebaran jawaban contoh pada variabel agresivitas
58

Sebaran jawaban anak tentang agresivitas diri anak dengan keterangan jawaban sebagai berikut :
1 = Tidak Pernah
2 = Kadang-kadang
3 = Sering
4 = Selalu.

No Pernyataan 1 2 3 4 Rataan
n % n % n % n % P, n==55 L, n=44 Total
1 Beberapa teman mengatakan mudah marah 47 47.5 38 38.4 13 13.1 1 1.0 1.65 1.70 1.68
2 Jika harus menggunakan kekerasan untuk melindungi 38 38.4 35 35.4 16 16.2 10 10.1 1.98 1.98 1.98
hak-hak , maka akan melakukannya
3 Ketika orang lain sangat baik pada , berfikir pasti 24 24.2 25 25.3 24 24.2 26 26.3 2.55 2.50 2.53
mereka punya maksud tertentu
4 Ketika tidak setuju dengan teman-teman, akan 36 36.4 18 18.2 27 27.3 18 18.2 2.15 2.43 2.27
langsung memberitahukannya
5 Merusak barang yang ada di sekitar ketika marah 63 63.6 21 21.2 12 12.1 3 3.0 1.45 1.66 1.55
6 Tidak dapat menerima keputusan orang lain yang tidak 47 47.5 24 24.2 17 17.2 11 11.1 1.75 2.14 1.92
setuju dengan
7 Bertanya-tanya mengapa merasakan hal-hal yang 44 44.4 27 27.3 14 14.1 14 14.1 1.84 2.16 1.98
tidak menyenangkan
8 Mudah memukul orang 65 65.7 22 22.2 5 5.1 7 7.1 1.33 1.80 1.54
9 Seorang yang emosian 66 66.7 17 17.2 12 12.1 4 4.0 1.29 1.84 1.54
10 Curiga terhadap orang asing yang terlalu ramah 53 53.5 22 22.2 11 11.1 13 13.1 1.76 1.93 1.84
terhadap
11 Mengancam teman untuk mendapatkan apa yang 70 70.7 13 13.1 7 7.1 9 9.1 1.33 1.82 1.55
inginkan
12 Mudah marah tetapi mudah reda dengan cepat 48 48.5 26 26.3 12 12.1 13 13.1 1.85 1.95 1.90
13 Ketika dibujuk untuk memukul teman, akan 68 68.7 19 19.2 8 8.1 4 4.0 1.33 1.82 1.47
melakukannya
14 Ketika orang mengganggu , akan menunjukkan 57 57.6 19 19.2 11 11.1 12 12.1 1.67 1.91 1.78
ketidaksukaan dengan berkata kasar
15 Merasa iri dengan orang lain 59 59.6 19 19.2 13 13.1 8 8.1 1.62 1.80 1.70
16 Saat memukul orang lain beranggapan perbuatan 60 60.6 20 20.2 12 12.1 7 7.1 1.51 1.84 1.66
tidak salah
No Pernyataan 1 2 3 4 Rataan
n % n % n % n % P, n==55 L, n=44 Total
17 Mengambil keputusan tanpa berfikir panjang tentang 56 56.6 20 20.2 14 14.1 9 9.1 1.51 2.07 1.76
akibatnya
18 Sulit mengendalikan emosi 55 55.6 19 19.2 13 13.1 12 12.1 1.71 1.95 1.82
19 Ketika dalam keadaan terpukul, menunjukkan 42 42.4 3 32.3 13 13.1 12 12.1 1.84 2.09 1.95
perasaan kepada orang
20 Sering bertengkar mulut dan tidak sependapat dengan 49 49.5 33 33.3 11 11.1 6 6.1 1.64 1.86 1.74
teman
21 Ketika dipukul akan membalasnya 54 54.5 22 22.2 13 13.1 10 10.1 1.55 2.09 1.79
22 Ketika merasa begitu marah merasa seperti tong mesiu 63 63.6 20 20.2 10 10.1 6 6.1 1.47 1.73 1.59
yang siap meledak
23 Merasa teman-teman menertawakan di belakang 44 44.4 30 30.3 18 18.2 7 7.1 1.75 2.05 1.88
24 Orang lain selalu terlihat seperti menginginkan hal-hal 56 56.6 17 17.2 13 13.1 13 13.1 1.75 1.93 1.83
yang enaknya saja
25 Melakukan perkelahian fisik karena ada yang 56 56.6 19 19.2 16 16.2 8 8.1 1.65 1.89 1.76
memprovokasi
26 Tahu, teman-teman sering membicarakan kejelekan di 44 44.4 30 30.3 12 12.1 13 13.1 1.89 2.00 1.94
belakang
27 Teman mengatakan bahwa orang yang senang 58 58.6 19 19.2 12 12.1 10 10.1 1.60 1.91 1.74
berdebat
28 Dapat tiba-tiba marah tanpa ada alasan 62 62.6 18 18.2 14 14.1 5 5.1 1.51 1.75 1.62
29 Lebih sering terlibat perkelahian fisik dibandingkan 58 58.6 20 20.2 9 9.1 12 12.1 1.53 2.02 1.75
teman-teman
59
Lampiran 6 Koefisien koralasi
60

Variabel Usia Pendapatan Penyesuaian Kekerasan dalam


Anak Usia Ibu Pendidikan Ibu Keluarga Iklim Sekolah Keluarga Pengasuhan Pengasuhan Agresivitas
Usia Anak 1 .096 .004 -.039 -.138 -.071 .061 -.136 -.105
Usia Ibu 1 -.160 -.117 -.169 .105 .074 -.123 .004
Pendidikan Ibu 1 .395** -.093 .210* .321** .108 -.253*
Pendapatan Keluarga 1 .006 .200* .175 -.087 -.256*
1 -.012 .036 -.259** -.223*
Iklim Sekolah

1 .537** -.074 -.254*


Penyesuaian Keluarga

Pengasuhan 1 -.056 -.235*

Kekerasan dalam 1 .318**


Pengasuhan
Agresivitas . 1

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).


*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
61
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 14 Juli 1995. Penulis merupakan anak
pertama dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan SMA di SMAT Al-
Ma’shum Mardiyah dan lulus tahun 2012. Tahun 2012 penulis diterima di Departemen Ilmu
Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui Seleksi
Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negri (SBMPTN). Pada tahun 2016 penulis melanjutkan
pendidikan program magister pada program studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak,
FEMA, IPB. Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif pada beberapa organisasi
kemahasiswaan, diantaranya sebagai wakil sekretaris umum Forum Mahasiswa Pascasarjana
(2017), dan anggota Himpunan Mahasiswa Muslim Pascasarjana) Selama menjadi mahasiswa,
penulis mendapatkan Beasiswa Unggulan dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kontak penulis: HP (+62878 2504 9876), Email (ismayantipratiwi30@gmail.com).

Anda mungkin juga menyukai