Anda di halaman 1dari 10

Gaya parenting millenial berbeda dengan generasi

sebelumnya
Sebagai orangtua, kita sering geleng-geleng kepala melihat tingkah anak jaman sekarang -
generasi millennial yang lebih suka main telepon genggam daripada ngobrol dengan orang di
sebelahnya saat di angkutan umum.

Kita mungkin ngeri membayangkan bagaimana jika anak-anak ini menjadi orangtua kelak?

Well parents, anak jaman sekarang itu sudah banyak yang jadi orangtua loh.

Generasi millennial adalah mereka yang lahir antara tahun 1980 sampai 1990-an awal. Menurut
analisis data US Census Bureau, 1 di antara 5 ibu adalah generasi millennial.

Orangtua millennial ini punya gaya parenting yang berbeda dengan para pendahulunya, para
Baby Boomers dan Gen X. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, karena generasi millennial
punya cara mengasuh anak yang justru layak ditiru.

Apa saja? Berikut adalah fakta-fakta menarik tentang gaya parenting para orangtua millennial.

1. Gaya parenting yang menentang norma-norma sosial


tradisional
Para orangtua millennial cenderung berpikiran terbuka. Mereka memiliki perspektif yang tidak
konvensional dalam membentuk keluarga modern.

Gaya parenting dalam kelompok ini lebih mengutamakan kerja tim, dan mengesampingkan
pembagian tugas tradisional yang berdasarkan gender.

Selain itu, mereka memiliki kesadaran yang lebih tinggi untuk membangun identitas dan
netralitas gender anak-anak. Menurut survey Time, 50% orangtua millennial lebih memilih
mainan anak yang netral gender.

Lebih jauh, para orangtua millennial ini cenderung menjadi orangtua yang tinggal di rumah,
daripada Gen X atau Baby Boomers.

2. Bermanuver dalam media sosial


Generasi millennial dikenal sebagai penggemar teknologi. Sebagai orangtua, mereka mampu
menavigasi teknologi baru untuk kemajuan gaya parenting mereka.

Misalnya, orangtua millennial cenderung mencari saran, dukungan atau sekedar berbagi
pengalaman lewat media sosial.
Sebuah jajak pendapat yang dilakukan Time terhadap 2000 orangtua millennial menunjukkan
81% di antara mereka telah membagikan foto anaknya di media sosial.

Para orangtua ini paham akan dampak negatif penyebaran informasi lewat media sosial. Mereka
cenderung lebih sadar pengaturan privasi agar dapat berbagi dengan aman.

Kecenderungan kelompok ini untuk melakukan social sharing secara positif terkait dengan hidup
anak-anak mereka.

Anak-anak dari orangtua millennial cenderung menjalin ikatan sosial yang kuat di luar sekolah,
melalui peningkatan rasa keterhubungan dengan satu sama lain.

3. Menolak kebenaran tunggal


Dengan pikiran terbuka, para orangtua millennial mengakui tidak ada cara tunggal yang benar
untuk membesarkan anak.

Ketersediaan buku-buku (dan internet) memberikan kekayaan sumber daya, ide-ide pengasuhan
yang berbeda, dan perspektif budaya yang beragam.

Dari situ mereka dapat mempertimbangkan segala macam informasi dan opini untuk
menciptakan gaya parenting yang lebih individual, sesuai kebutuhan hidup keluarga masing-
masing.

4. Lebih reflektif
Tidak seperti generasi pendahulunya yang terlalu mengekang anak, orangtua millennial
mengutamakan pendekatan yang rileks dan responsif terhadap anak.

Mereka menghargai waktu bermain yang tidak terstruktur, sama pentingnya dengan aktivitas
yang lain. Mereka juga memberikan anak ruang yang mereka butuhkan untuk belajar dan tumbuh
secara mandiri.

Perbedaan juga terlihat dari cara orangtua millennial menerapkan relasi keluarga yang lebih
demokratis. Mereka mempertanyakan diri mereka sendiri dan meminta masukan anak-anak
sebelum mengambil keputusan.

Plus, orangtua generasi ini menekankan fokus baru pada empati, untuk membantu anak
berinteraksi dan memahami dunia mereka dengan baik.

5. Membantu anak menumbuhkan identitas diri yang kuat


Orangtua hari ini membagikan hampir segala aspek kehidupan anaknya. Mulai dari hasil
USG, milestones, hingga sekolah pertama sampai kelulusan. Semua hal yang dapat menciptakan
kebanggaan dalam diri anak-anak mereka.
Sarita Schoenebeck, asisten profesor di University of Michigan menerangkan bahwa anak-anak
dari generasi ini akan mengembangkan identitas publik dan privat yang otonom di luar dunia
virtual.

Selain itu, orangtua millennial menumbuhkan rasa identitas diri yang lebih besar lewat hal yang
paling sederhana seperti memberi nama kepada anak.

Survei majalah Time menunjukkan bahwa 60% dari generasi millennial percaya bahwa anak-
anak harus memiliki nama yang unik.

Dalam generasi yang lebih beragam secara etnis, orangtua millennial telah mengasah gaya
parenting yang khas. Sebuah gaya parenting yang terbentuk dari heterogenitas dan keterbukaan
pikiran.

Parents, apapun gaya parenting yang Anda terapkan, pastikan itu adalah cara terbaik membuat
anak Anda bahagia.
3.

Mengasuh Anak Ala Milenial

Ilustrasi pengasuhan orang tua generasi milenial. Getty Images/iStockphoto


Oleh: Patresia Kirnandita - 2 September 2017

Dibaca Normal 4 menit

Pergeseran gaya hidup yang terjadi dari generasi X ke generasi Y alias milenial berpengaruh pula
terhadap cara mengasuh anak.

tirto.id - "Ma, asosiasi itu artinya apa?" tanya saya—pada awal masa SD di tahun 1990-an—kepada Ibu
setelah menemukan kata tersebut dari sebuah komik. Ibu saya yang tengah sibuk memasak tampak
kerepotan menjawab pertanyaan saya, plus kala itu dia sulit membahasakan dengan sederhana maksud
kata yang saya tanyakan. Saya lantas beranjak ke ruang depan seperti imbauannya, mencari kamus
Bahasa Indonesia di rak buku dan mencari arti kata asosiasi.

Lari ke dua dekade berikutnya, saya tengah berada di mobil sepupu laki-laki saya yang usianya lebih tua
delapan tahun. Sementara dia menyetir dan saya duduk di sampingnya, anak perempuan sepupu saya
yang berumur 10 duduk di bangku belakang dan menunduk sepanjang perjalanan. Ia sedang asyik
menonton beberapa video klip Katy Perry di Youtube menggunakan komputer tabletnya. Iseng saya
tanyai dia, “Mel, kamu tahu lirik lagu yang lagi kamu dengerin sama artinya?" "Tahu, kok, Tante. Kan
gampang, tinggal search di Google, terus liat terjemahannya,” tuturnya.

Baca juga: Revolusi Gaya Menonton ala Gen Z

Melihat anak-anak menggunakan gawai dewasa ini bukanlah hal yang "wah" lagi, baik itu di perkotaan
maupun di perdesaan. Kebiasaan ini tidak lahir dengan sendirinya, melainkan ada peran orangtua atau
keluarga yang memperkenalkan mereka kepada teknologi informasi terkini.

Anak-anak yang sepantaran keponakan saya dikenal dengan sebutan generasi Z, keturunan atau adik-
adik generasi Y atau milenial—yang kini, paling muda berusia 23 dan yang tertua berusia 36 atau 37.
Sementara, anak-anak yang dilahirkan generasi milenial pasca 2010 disebut dengan generasi Alfa.

Baca juga

 Tirto Visual Report: Masa Depan di Tangan Generasi Z


 Habis Milenial dan Generasi Z, Terbitlah Generasi Alfa

Pergeseran Pola Asuh dari Generasi Pendahulu


Tiap generasi memiliki pola asuh yang berbeda. Termasuk generasi milenial yang kini memiliki pola asuh
yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Para orangtua pada generasi pendahulu milenial
dinilai cenderung fokus berlebihan terhadap anak dan punya peran besar dalam menentukan masa
depan atau hal-hal yang dikonsumsi keturunan mereka. Dalam Adweek tertera, milenial dibesarkan oleh
orangtua yang mengadopsi gaya helicopter parenting. Orangtua mereka akan berupaya sedemikian rupa
untuk dapat mengawasi tindak-tanduk si anak dan "membungkus" mereka dari macam-macam hal-hal
yang dianggap menjatuhkan si anak. Pola pengasuhan helicopter parenting ternyata memiliki sejumlah
konsekuensi negatif. Saat dewasa, tidak sedikit milenial yang mendapati kerumitan dalam ruang
profesional dan kehidupan secara general.

Lain halnya dengan pola asuh milenial. Dengan adanya aneka macam pola asuh alternatif yang disajikan
di media-media massa konvensional dan digital saat ini, pakem-pakem dalam membesarkan anak pun
bergeser. Pun demikian dengan keterlibatan penuh orangtua dalam hidup anak, khususnya mereka yang
masih duduk di bangku pendidikan dasar atau masih remaja. Gaya mendikte para orangtua dari milenial
ditinggalkan. Kini, kolaborasi dengan anak menjadi tren dalam mengasuh anak bagi kaum milenial.

“Kalau mainan, saya membiarkan anak memilih sesuai kesenangannya,” ujar Nurvina Alifa (27), ibu dari
Bilal (2) yang berdomisili di Depok. Pemberian kesempatan bagi anak untuk terlibat dalam pemilihan
hal-hal kebutuhannya juga diutarakan oleh Heri Purwoko (34) yang juga berdomisili di kota yang sama.
Ayah tiga anak ini mengaku sering mendengarkan dan bernegosiasi dengan anak untuk banyak hal yang
akan mereka lakukan. Inilah menurut Heri yang menjadi perbedaan dibanding pola asuh orangtuanya
dulu.

Sehubungan dengan pergeseran cara mendidik anak dibanding generasi orangtuanya, perempuan yang
akrab disapa Vivin ini juga mengatakan bahwa dirinya lebih membebaskan anak untuk mengeksplorasi
hal-hal di sekitar. “Saya juga cenderung jarang bilang 'jangan', sih,” ujar ibu rumah tangga ini.

Pada masa generasi X, jamak ditemukan orangtua yang langsung memarahi anaknya saat berbuat salah,
tanpa mau tahu terlebih dahulu penjelasan dari si anak dan melakukan pendekatan lain supaya anak
jera. Kini, milenial punya pendekatan lain saat mendapati anak berbuat salah. Kepada Tirto, Yani
Permatasari (28), dosen Akuntansi Universitas Airlangga yang baru dikaruniai buah hati 19 bulan silam,
mengungkapkan opininya tentang cara mengasuh anaknya kelak, “Prinsip saya, saat anak berbuat salah,
saya akan memberikan pemahaman kepadanya, bukan langsung memarahinya.”

Cara pandang orangtua milenial terhadap anaknya pun tidak selamanya hierarkis. Hal ini dinyatakan
Esha Tegar Putra (32), ayah dari Dendang Jarek Samato (3), “Saya menganggap putri saya sebagai
teman, istri saya pun bilang demikian sejak awal. Kami juga mengajarkan putri kami komplain kalau-
kalau ada sesuatu yang tidak sesuai keinginan atau pemikirannya.”

Ada satu pengalaman menarik tentang pergeseran keyakinan dalam memperlakukan anak yang
disampaikan Esha. Laki-laki yang tengah melanjutkan studi master bidang Susastra ini mengatakan
bahwa ia sering menaikkan Dendang ke pundaknya, lantas putrinya itu memegang kepalanya. Bagi
orangtua-orangtua generasi pendahulu di sekitar Esha, hal ini adalah suatu pamali. “Orang-orang bilang,
nanti anak saya bakal suka melawan orangtua karena suka saya gendong begitu. Padahal, itu hanya buat
seru-seruan saja untuk kami. Tidak jarang saya diperingatkan sama tetangga untuk tidak membiarkan
anak memegangi kepala saya waktu digendong,” jelasnya.
Mengacu pada Internet
Kemunculan internet dalam kehidupan generasi milenial berperan besar terhadap gaya hidup mereka,
mulai dari pilihan sumber informasi utama sampai bagaimana mereka menghabiskan pendapatannya.
Vivin, Heri, dan Esha mengatakan bahwa internet mengambil porsi besar dalam sumber referensi
mereka untuk mengasuh anak.

“Istri sering browsing kalau anak ada gejala sakit atau semacamnya. Kami juga cari tahu dari internet
soal cara menghadapi anak. Karena kami yakin bahwa setiap anak itu unik, referensi yang kami dapat
dari sana ya sebatas untuk mengetahui. Penerapan tetap pakai cara kami,” aku Esha.

Sementara terkait belanja kebutuhan anak, Esha berujar bahwa istrinya sering memesan pakaian anak
via internet, beberapa di antaranya dari luar negeri. “Alasannya lucu kata istri saya. Contohnya baju
lebah yang dipakai putri saya ini,” katanya seraya menunjukkan kepada Tirto gambar Dendang di akun
Instagramnya, “mungkin juga karena anak saya perempuan, jadi istri saya senang mendandani dia
dengan pakaian lucu seperti itu.” Perilaku serupa istri Esha pun dinyatakan Yani, “Saya membeli
kebutuhan anak 80% dari online shop. Soalnya, dari segi harga berbeda cukup jauh, plus ada program
ongkos kirim gratis. Sebelum membeli, saya selalu mencari info terkait produk dengan melihat ulasan di
internet sembari bertanya kepada orang-orang terdekat.” Sedangkan menurut Vivin yang juga lebih
banyak berbelanja kebutuhan anak di online shop, pilihannya ini diambil atas dasar efisiensi waktu.

Informasi dari internet semacam tren fashion terkini memang menjadi salah satu acuan ibu-ibu milenial
Indonesia ketika membeli produk anak. Dalam studi yang dimuat di Binus Business Review (2015)
dipaparkan, perilaku membelikan pakaian anak dipengaruhi tren dalam dunia hiburan. Misalnya, ketika
sedang ada demam drama Korea, ibu milenial ingin membelikan pakaian sesuai tren Korean wave untuk
anaknya. Di samping itu, temuan di sana juga menunjukkan bahwa ibu-ibu milenial memiliki
kecenderungan pembelian barang-barang secara impulsif. Ada yang lebih menganggarkan dana belanja
kebutuhan penampilan anak lebih banyak dibanding untuk kebutuhan penampilan pribadi.

Pilihan Pendidikan untuk Anak


Bicara soal pilihan pendidikan, narasumber-narasumber yang diwawancarai Tirto memberikan jawaban
beragam. Esha dan Yani misalnya, lebih memilih sekolah berbasis agama. “Pengetahuan agama adalah
hal fundamental bagi saya. Namun, saya juga tidak sembarang memilih sekolah berbasis agama (Islam).
Saya akan melakukan survei terlebih dahulu untuk memastikan bahwa sekolah tersebut merupakan
sekolah terbaik bagi anak saya,” jelas Yani.

Bagi Esha dan istri yang berdomisili di Padang, Sumatra Barat, nilai agama merupakan nilai yang lekat
dalam keseharian mereka. Dulu, institusi tradisional yang mengajarkan agama masih jamak ditemukan
semasa Esha kanak-kanak, berbeda dengan situasi masa kini, khususnya di perkotaan. Karena itulah,
keluarga Esha meyakini bahwa menyekolahkan anak di Al-Azhar kelak menjadi solusi untuk belajar
agama sejak dini. “Tapi nanti kalau sudah SMP atau SMA, terserah dia mau sekolah di mana,” ucap
penulis buku puisi Sarinah ini.

Berbeda halnya dengan opini Vivin. Ia justru ingin anaknya nanti bersekolah di tempat yang menekankan
pluralisme dan non-afiliasi agama. “Biar dari kecil, teman-teman anak saya beragam dari segi kelas
sosial, suku, agama, dan sebagainya. Jadi, kemungkinan akan kami masukkan ke sekolah negeri,”
jabarnya. Heri pun punya pendapat sendiri. Ia memilih sekolah yang baik dari sisi kurikulum, guru, dan
konsep pembelajarannya. Saat ini, anaknya yang pertama duduk di kelas 4 SD di sekolah yang
menekankan pendidikan karakter, fun active learning, dan bilingual. Sementara anak kedua dan
ketiganya masih berstatus siswa PAUD.

Variasi pilihan orangtua milenial tidak lepas dari banyaknya informasi yang diperoleh dari sekitar. Saran
dari keluarga atau teman memang masih memegang peran penting, tetapi untuk detail ulasan sekolah
atau fasilitas yang bisa dinikmati anak di tempat belajarnya nanti didapatkan dari sumber-sumber digital
yang dengan mudah bisa diakses di mana pun dan kapan pun.

Baca juga Orangtua Korbankan Kepentingan Dirinya demi Pendidikan Anak

Permainan Tradisional untuk Anak, Belum Usang untuk


Diajarkan
Anak-anak orangtua milenial yang Tirto wawancarai memang sudah mengenal gawai pada usia relatif
dini. Bisa untuk urusan mengerjakan tugas sekolah, menonton video, berkomunikasi dengan keluarga,
atau bermain gim. Walau begitu, tidak semuanya alpa memperkenalkan permainan tradisional.

Anak-anak Heri misalnya, masih akrab terhadap permainan congklak atau petak umpet. Permainan dan
lagu tradisional juga diperkenalkan Yani kepada anaknya. Alasannya sederhana, supaya wawasan anak
terbuka dan meningkatkan kemampuan motorik anak.

Di lingkungan tempat tinggal Esha pun permainan tradisional belum ditinggalkan. Anak-anak di
daerahnya masih mengenal permainan kelereng, layang-layang, patok lele, congklak, dan lain
sebagainya. Beberapa kerap ditemukan sehari-hari, tetapi yang lainnya, seperti layang-layang, bersifat
'musiman' menurut Esha.

Baca juga Asa Permainan Tradisional Sebelum Punah

Baca juga artikel terkait GENERASI MILLENIAL atau tulisan menarik lainnya Patresia Kirnandita
(tirto.id - Sosial Budaya)

Reporter: Patresia Kirnandita


Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti

Anda mungkin juga menyukai