Anda di halaman 1dari 4

TERAPI FDC (Fixed-Dose Combination) PADA PASIEN TB

(Natalia Ni Putu O.P.S.D. – 078115061)


Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya. Saat ini TB masih merupakan masalah kesehatan yang sangat
penting. Laporan data WHO tahun 2004 menunjukkan bahwa pada tahun 2003 terdapat 8,8
juta kasus TB baru, 3,9 juta diantaranya adalah BTA (Basil Tahan Asam) positif, prevalensi
16,2 juta dengan 1,9 juta kematian setahunnya. Indonesia merupakan negara dengan kasus
TB terbesar ketiga di dunia setelah India dan Cina. Pada tahun 2002 dilaporkan jumlah kasus
TB dengan BTA positif di India adalah 1.820.369 orang, di Cina 1.447.947 dan di Indonesia
581.847 orang.
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. Pada tahap
intensif (awal) pasien mendapat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk
mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif ini diberikan secara tepat,
biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian
besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif dalam 2 bulan. Pada tahap lanjutan pasien
mendapat jenis obat lebih sedikit namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan
penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Jenis dan sifat Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yaitu: (a) Isoniazid (H) bersifat
bakterisid, (b) Rifampisin (R) bersifat bakterisid, (c) Pirazinamid (Z) bersifat bakterisid, (d)
Streptomisin (S) bersifat bakterisid, (e) Etambutol (E) bersifat bakteriostatik. Pemberian OAT
disesuaikan dengan kondisi pasien dengan aturan pakai tersendiri. Ada dua kategori paduan
OAT di Indonesia, yaitu: (a) kategori I: 2(HRZE)/4(HR)3, (b) kategori II:
2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3. Kategori I diberikan untuk pasien baru TB paru BTA positif,
pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif, pasien TB ekstra paru. Kategori II diberikan
untuk pasien TB BTA positif yang telah diobati sebelumnya.
Seiring dengan berkembangnya pengetahuan dibidang farmakologi, saat ini telah
dibuat tablet kombinasi OAT yang dikenal dengan OAT “fixed-dose combination” atau
disingkat dengan OAT-FDC (sering disebut FDC saja). Dengan adanya FDC ini diharapkan
kepatuhan pasien TB dalam minum OAT dapat ditingkatkan sehingga akan meningkatkan
kesembuhan pasien.
Gejala
Penyakit TB memiliki gejala-gejala sebagai berikut: btuk terus menerus dan berdahak selama
3 minggu atau lebih, dahak bercampur darah, sesak nafas dan nyeri pada dada, badan lemas,
nafsu makan menurun, berat badan turun, berkeringat di waktu malam walaupun tidak
beraktivitas, demam meriang lebih dari 1 bulan.
Sasaran
Adapun yang menjadi sasaran terapi penyakit TB adalah kuman penyebab penyakit tersebut
yaitu Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini berbentuk batang, tahan terhadap asam oleh
karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Selain itu kuman ini hidup di
daerah yang memiliki kandungan oksigen tinggi sehingga tempat utamanya adalah paru.
Tujuan
Dengan memberikan FDC kepada pasien TB diharapkan pasien akan lebih mudah
dalamminum OAT karena jumlah tabletnya lebih sedikit. Selain itu dapat meminimalkan efek
samping OAT. Hal ini karena formula dosis FDC disesuaikan dengan berat badan pasien dan
jumlah komponen obat yang harus diminum pasien. Dengan adanya FDC, tingkat kepatuhan
pasien dalam minum obat akan lebih tinggi karena pengaruh psikis pasien dari melihat
jumlah tablet yang harus diminum, tidak sebanyak dibandingkan dengan pemberian OAT
dalam tablet yang terpisah.
Strategi Terapi
Strategi terapi untuk penyakit TB dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed
Treatment Short-course). Strategi terapi ini direkomendasikan oleh WHO pada tahun 1995
sebagai penganggulangan TB. DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu (a) komitmen politis, (b)
pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya, (c) pengobatan jangka pendek yang
standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan
langsung pengobatan, (d) jaminan ketersediaan OAT yang bermutu, (e) sistem pencatatan dan
pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja
program secara keseluruhan. Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien,
prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan
TB dan dengan demikian menurunkan insiden TB di masyarakat.
Dalam strategi DOTS, pengobatan TB dilakukan baik dengan pemberian OAT dalam
bentuk tablet terpisah maupun dengan pemberian OAT-FDC. Kedua jenis OAT ini dapat
diperoleh pada unit pelayanan kesehatan meliputi puskesmas, rumah sakit pemerintah dan
swasta, rumah sakit paru, Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP4), klinik pengobatan lain serta
dokter praktek swasta. Di Indonesia OAT tersebut diberikan secara cuma-cuma dan dijamin
ketersediannya oleh pemerintah. Selain itu pasien TB juga diharuskan memiliki PMO
(Pengawas Minum Obat) sehingga dapat menjamin kepatuhan pasien dalam minum OAT.
Setiap pasien TB harus memiliki kartu pengobatan dan kartu identitas pasien. Kedua kartu
tersebut diperoleh saat pasien berobat di unit pelayanan kesehatan. Adapun fungsi kedua
kartu tersebut yaitu sebagai laporan terhadap hasil pengobatan pasien sehingga jalannya
pengobatan dapat terkontrol dengan baik.
Obat Pilihan
Jenis-jenis tablet FDC dikelompokkan menjadi 2, yaitu: FDC untuk dewasa dan FDC
untuk anak-anak. Tablet FDC untuk dewasa terdiri tablet 4FDC dan 2FDC. Tablet 4FDC
mengandung 4 macam obat yaitu: 75 mg Isoniasid (INH), 150 mg Rifampisin, 400 mg
Pirazinamid, dan 275 mg Etambutol. Tablet ini digunakan untuk pengobatan setiap hari
dalam tahap intensif dan untuk sisipan. Tablet 2 FDC mengandung 2 macam obat yaitu: 150
mg Isoniasid (INH) dan 150 mg Rifampisin. Tablet ini digunakan untuk pengobatan
intermiten 3 kali seminggu dalam tahap lanjutan. Baik tablet 4FDC maupun tablet 2FDC
pemberiannya disesuaikan dengan berat badan pasien. Untuk melengkapi paduan obat
kategori II tersedia obat lain yaitu: tablet etambutol @400 mg dan streptomisin injeksi (vial
@750 mg).
Tablet FDC untu anak-anak terdiri dari tablet 3FDC dan 2FDC. Kedua jenis tablet
diberikan kepada pasien TB anak yang berusia 0 – 14 tahun. Tablet 3FDC mengandung 3
macam obat antara lain: 30 mg INH, 60 mg Rifampisin, dan 150 mg Pirazinamid. Tablet ini
digunakan untuk pengobatan setiap hari dalam tahap intensif. Tablet 2FDC mengandung 2
macam obat yaitu: 30 mg INH dan 600 mg Rifampisin. Tablet ini digunakan untuk
pengobatan setiap hari dalam tahap lanjutan. Sama halnya dengan pemberian pada pasien
dewasa, pemberian jumlah FDC pada pasien anak juga disesuaikan dengan berat badan anak.
Dosis dan aturan pakai FDC disesuaikan dengan berat badan pasien. Untuk pasien TB
dewasa yang masuk dalam kategori I dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3 kali


Berat Badan selama 56 hari seminggu selama 16 minggu
30 – 37 kg 2 tablet 4FDC 2 tablet 2FDC
38 – 54 kg 3 tablet 4FDC 3 tablet 2FDC
55 – 70 kg 4 tablet 4FDC 4 tablet 2FDC
≥ 71 kg 5 tablet 4FDC 5 tablet 2FDC
Sedangkan untuk pasien TB dewasa yang masuk dalam kategori II, dosis dan aturan
pakai FDC yang harus diberikan yaitu:
Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3
Berat kali seminggu
badan Selama 56 hari Selama 28 hari selama 20 minggu
2 tab 4FDC
+ 500 mg Streptomisin 2 tab 2FDC + 2
30 – 37 kg Inj. 2 tab 4FDC tab Etambutol
3 tab 4FDC + 750 mg 3 tab 2FDC + 3
38 – 54 kg Streptomisin Inj. 3 tab 4FDC tab Etambutol
4 tab 4FDC + 1000 mg 4 tab 2FDC + 4
55 – 70 kg Streptomisin Inj. 4 tab 4FDC tab Etambutol
5 tab 4FDC + 5 tab 2FDC + 5
≥ 71 kg Streptomisin Inj. 5 tab 4FDC tab Etambutol
Catatan:
Setiap vial Streptomisin mengandung 750 mg dilarutkan dalam 3 ml aquabidest. Dosis ini dapat dianggap
sebagai 3 dosis @ 250 mg yang digunakan untuk kelompok pasien dengan BB 38 – 54 kg. Untuk kelompok
pasien dengan BB lain, dosisnya disesuaikan dengan jumlah tablet yang diminum, misalnya untuk pasien
yang memerlukan hanya 2 tablet, juga hanya memerlukan 2 ml suntikan sterptomisisn (1 ml = 250 mg.
Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun diberikan suntikan streptomisin maksimum 500 mg/hari. Injeksi
streptomisin diberikan setelah pasien selesai menelan obat.
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan pada pasien TB BTA positif tidak terjadi konversi
maka diberikan OAT sisipan berupa tablet 4FDC setiap hari selama 28 hari.
Dosis dan aturan pakai FDC untuk anak-anak yaitu:

Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan tiap hari


Berat Badan selama 2 bulan selama 4 bulan
≤ 7 kg 1 tablet 3FDC 1 tablet 2FDC
8 – 9 kg 1,5 tablet 3FDC 1,5 tablet 2FDC
10 – 14 kg 2 tablet 3FDC 2 tablet 2FDC
15 – 19 kg 3 tablet 3FDC 3 tablet 2FDC
20 – 24 kg 4 tablet 3FDC 4 tablet 2FDC
25 – 29 kg 5 tablet 3FDC 5 tablet 2FDC
OAT-FDC tersedia dalam kemasan blister. Tiap blister terdapat 28 tablet. Tablet
4FDC dan 2FDC dikemas dalam dos yang berisi 24 blister @28 tablet. Untuk tablet
etambutol 400 mg dikemas dalam dos yang berisi 24 blister @ 28 tablet. Streptomisisn
injeksi dikemas dalam dos berisi 50 vial @ 750 mg. Untuk penggunaan streptomisin injeksi
diperlukan aquabidest dan disposable syringe 5 m l dan jarum steril. Aquabidest tersedia
dalam kemasan vial @ 5 ml dalam dos yang berisi 100 vial.
Efek samping dari OAT-FDC umumnya sama dengan efek samping dari penggunaan
OAT yang dalam tablet terpisah. Beberapa efek samping yang muncul berupa hilangnya
nafsu makan, mual kadang disertai muntah, sakit perut, nyeri sendi, gatal dan kemerahan
pada kulit, kesemutan hingga rasa terbakar di kaki, gangguan keseimbangan. Selain itu efek
samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau karena kelebihan
dosis. Efek samping dari OAT tersebut diperkirakan terjadi pada sekitar 3 – 6 % pasien yang
mendapat pengobatan dengan FDC. Bila diketahui dengan pasti bahwa FDC penyebab efek
samping seperti yang disebutkan sebelumnya dan obat tersebut tidak dapat diberikan kembali,
maka pasien diberikan OAT yang dalam bentuk tablet terpisah (OAT kombipak).
Pengobatan TB perlu diperhatikan untuk pasien yang berada dalam kondisi khusus
misalnya pasien wanita hamil, pasien dengan penyakit tertentu seperti DM, gagal ginjal,
memiliki kelainan hati kronik. Untuk pengobatan TB pada wanita hamil perlu diperhatikan
pada penggunaan streptomisin. Streptomisin tidak dapat digunakan pada kehamilan. Hal ini
karena streptomisin bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier plasenta.
Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang
menetap pada bayi yang akan dilahirkan.
Pasien DM harus selalu dikontrol dalam pengobatannya. Jika pasien juga menderita
TBC perlu diperhatikan dalam penggunaan rifampisin, karena rifampisin dapat mengurangi
efektivitas antidiabetika oral gol sulfonil urea sehingga perlu peningkatan dosis antidiabetika
tersebut. Pasien DM yang memperoleh pengobatan insulin seringkali terjadi
komplikasi retinopathy diabetika, oleh karena itu perlu diperhatikan untuk pemberia
etambutol karena dapat memperparah kejadian tersebut.
Pasien TB dengan gagal ginjal sebaiknya tidak menggunakan streptomisin dan
etambutol dalam pengobatannya. Hal ini karena kedua obat tersebut diekskresi melalui ginjal.
Jika tetap diberikan memungkinkan obat tersebut tidak dapat dieksresikan dari dalam tubuh
karena ketidakmampuan ginjal. Akibatnya akan menimbulkan efek toksik dalam tubuh. Oleh
karena itu dapat diberikan pengobatan dengan INH, rifampisin, dan pirazinamid untuk pasien
TB dengan gagal ginjal. Ketiga obat tersebut diekskresi melalui empedu dan dapat diubah
menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. Paduan OAT yang paling aman untuk pasien
TB dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR.
Pengobatan TB pada pasien dengan kelainan hati kronik dapat dilakukan jika pasien
sudah melakukan pemeriksaan hati. Jika nilai SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali
maka OAT tidak diberikan dan bila sudah dalam pengobatan maka harus dihentikan. Jika
peningkatannya kurang dari 3 kali maka pengobatan tetap dapat dilakukan dengan
pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati tidak boleh diberikan pirazinamid. Paduan
OAT yang dianjurkan untuk pasien TB dengan kelainan hati yaitu 2RHES/6RH atau
2HES/10HE.
Pencegahan terhadap penyakit TB dapat dilakukan dengan hidup sehat dengan makan
makanan bergizi dan teratur, istirahat yang cukup, olah raga teratur, hindari rokok, minuman
beralkohol, obat bius, hindari stress. Kemudian untuk mencegah terjadinya penularan TB,
maka para pasien TB diharapkan menutup mulut saat batuk dan tidak meludah di sembarang
tempat. Usaha pencegahan lainnya yaitu dengan melakukan imunisasi BCG (Bacillus
Calmette-Guerin) yang akan memberikan kekebalan aktif pada penyakit TB. Selain itu
menjaga daya tahan tubuh juga penting dalam mengantisipasi penyakit TB. Dengan daya
tahan tubuh yang kuat maka tidak mudah untuk terserang infeksi oportunistik (TB).
Tidak hanya AIDS yang memiliki hari peringatan tetapi TB pun memiliki hari
peringatan yang jatuh pada tanggal 24 Maret. Tahun ini peringatan hari TB sedunia
bertemakan “Every Breath Counts, Stop TB now!”. Tema ini menekankan pada kata “breath”
yang tidak hanya berarti pernafasan tetapi juga merupakan pusat dari segala aktivitas
manusia. Jadi, jika “breath” manusia rusak karena TB maka akan merusak juga seluruh
aktivitas manusia. Tema ini mengingatkan akan bahaya TB dan urgensi pemberantasannya.

Anda mungkin juga menyukai