Anda di halaman 1dari 8

Terapi FDC (Fixed-Dose Combination) Pada Pasien TB

(Natalia Ni Putu O.P.S.D. 078115061)


Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. Pada tahap
intensif (awal) pasien mendapat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk
mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif ini diberikan secara tepat,
biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian
besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif dalam 2 bulan. Pada tahap lanjutan pasien
mendapat jenis obat lebih sedikit namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan
penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Jenis dan sifat Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yaitu: (a) Isoniazid (H) bersifat
bakterisid, (b) Rifampisin (R) bersifat bakterisid, (c) Pirazinamid (Z) bersifat bakterisid, (d)
Streptomisin (S) bersifat bakterisid, (e) Etambutol (E) bersifat bakteriostatik. Pemberian OAT
disesuaikan dengan kondisi pasien dengan aturan pakai tersendiri. Ada dua kategori paduan
OAT di Indonesia, yaitu: (a) kategori I: 2(HRZE)/4(HR)3, (b) kategori II:
2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3. Kategori I diberikan untuk pasien baru TB paru BTA positif,
pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif, pasien TB ekstra paru. Kategori II diberikan
untuk pasien TB BTA positif yang telah diobati sebelumnya.
Seiring dengan berkembangnya pengetahuan dibidang farmakologi, saat ini telah
dibuat tablet kombinasi OAT yang dikenal dengan OAT fixed-dose combination atau
disingkat dengan OAT-FDC (sering disebut FDC saja). Dengan adanya FDC ini diharapkan
kepatuhan pasien TB dalam minum OAT dapat ditingkatkan sehingga akan meningkatkan
kesembuhan pasien.
Tujuan
Dengan memberikan FDC kepada pasien TB diharapkan pasien akan lebih mudah dalam
minum OAT karena jumlah tabletnya lebih sedikit. Selain itu dapat meminimalkan efek
samping OAT. Hal ini karena formula dosis FDC disesuaikan dengan berat badan pasien dan
jumlah komponen obat yang harus diminum pasien. Dengan adanya FDC, tingkat kepatuhan
pasien dalam minum obat akan lebih tinggi karena pengaruh psikis pasien dari melihat
jumlah tablet yang harus diminum, tidak sebanyak dibandingkan dengan pemberian OAT
dalam tablet yang terpisah.
Strategi Terapi
Strategi terapi untuk penyakit TB dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed
Treatment Short-course). Strategi terapi ini direkomendasikan oleh WHO pada tahun 1995
sebagai penganggulangan TB. DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu (a) komitmen politis, (b)
pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya, (c) pengobatan jangka pendek yang
standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan
langsung pengobatan, (d) jaminan ketersediaan OAT yang bermutu, (e) sistem pencatatan dan
pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja
program secara keseluruhan. Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien,
prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan
TB dan dengan demikian menurunkan insiden TB di masyarakat.
Dalam strategi DOTS, pengobatan TB dilakukan baik dengan pemberian OAT dalam
bentuk tablet terpisah maupun dengan pemberian OAT-FDC. Kedua jenis OAT ini dapat
diperoleh pada unit pelayanan kesehatan meliputi puskesmas, rumah sakit pemerintah dan
swasta, rumah sakit paru, Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP4), klinik pengobatan lain serta
dokter praktek swasta. Di Indonesia OAT tersebut diberikan secara cuma-cuma dan dijamin
ketersediannya oleh pemerintah. Selain itu pasien TB juga diharuskan memiliki PMO
(Pengawas Minum Obat) sehingga dapat menjamin kepatuhan pasien dalam minum OAT.
Setiap pasien TB harus memiliki kartu pengobatan dan kartu identitas pasien. Kedua kartu
tersebut diperoleh saat pasien berobat di unit pelayanan kesehatan. Adapun fungsi kedua
kartu tersebut yaitu sebagai laporan terhadap hasil pengobatan pasien sehingga jalannya
pengobatan dapat terkontrol dengan baik.
Obat Pilihan
Jenis-jenis tablet FDC dikelompokkan menjadi 2, yaitu: FDC untuk dewasa dan FDC
untuk anak-anak. Tablet FDC untuk dewasa terdiri tablet 4FDC dan 2FDC. Tablet 4FDC
mengandung 4 macam obat yaitu: 75 mg Isoniasid (INH), 150 mg Rifampisin, 400 mg
Pirazinamid, dan 275 mg Etambutol. Tablet ini digunakan untuk pengobatan setiap hari
dalam tahap intensif dan untuk sisipan. Tablet 2 FDC mengandung 2 macam obat yaitu: 150
mg Isoniasid (INH) dan 150 mg Rifampisin. Tablet ini digunakan untuk pengobatan
intermiten 3 kali seminggu dalam tahap lanjutan. Baik tablet 4FDC maupun tablet 2FDC
pemberiannya disesuaikan dengan berat badan pasien. Untuk melengkapi paduan obat
kategori II tersedia obat lain yaitu: tablet etambutol @400 mg dan streptomisin injeksi (vial
@750 mg).
Tablet FDC untu anak-anak terdiri dari tablet 3FDC dan 2FDC. Kedua jenis tablet
diberikan kepada pasien TB anak yang berusia 0 14 tahun. Tablet 3FDC mengandung 3
macam obat antara lain: 30 mg INH, 60 mg Rifampisin, dan 150 mg Pirazinamid. Tablet ini
digunakan untuk pengobatan setiap hari dalam tahap intensif. Tablet 2FDC mengandung 2
macam obat yaitu: 30 mg INH dan 600 mg Rifampisin. Tablet ini digunakan untuk
pengobatan setiap hari dalam tahap lanjutan. Sama halnya dengan pemberian pada pasien
dewasa, pemberian jumlah FDC pada pasien anak juga disesuaikan dengan berat badan anak.
Dosis dan aturan pakai FDC disesuaikan dengan berat badan pasien. Untuk pasien TB
dewasa yang masuk dalam kategori I dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Berat Badan Tahap Intensif tiap hari
selama 56 hari
Tahap Lanjutan 3 kali
seminggu selama 16 minggu
30 37 kg 2 tablet 4FDC 2 tablet 2FDC
38 54 kg 3 tablet 4FDC 3 tablet 2FDC
55 70 kg 4 tablet 4FDC 4 tablet 2FDC
71 kg 5 tablet 4FDC 5 tablet 2FDC


Sedangkan untuk pasien TB dewasa yang masuk dalam kategori II, dosis dan aturan pakai
FDC yang harus diberikan yaitu:
Berat
badan
Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3
kali seminggu
selama 20 minggu
Selama 56 hari Selama 28 hari
30 37 kg
2 tab 4FDC
+ 500 mg Streptomisin
Inj.
2 tab 4FDC
2 tab 2FDC + 2
tab Etambutol
38 54 kg
3 tab 4FDC + 750 mg
Streptomisin Inj.
3 tab 4FDC
3 tab 2FDC + 3
tab Etambutol
55 70 kg
4 tab 4FDC + 1000 mg
Streptomisin Inj.
4 tab 4FDC
4 tab 2FDC + 4
tab Etambutol
71 kg
5 tab 4FDC +
Streptomisin Inj.
5 tab 4FDC
5 tab 2FDC + 5
tab Etambutol
Catatan:
Setiap vial Streptomisin mengandung 750 mg dilarutkan dalam 3 ml aquabidest. Dosis ini dapat dianggap
sebagai 3 dosis @ 250 mg yang digunakan untuk kelompok pasien dengan BB 38 54 kg. Untuk kelompok
pasien dengan BB lain, dosisnya disesuaikan dengan jumlah tablet yang diminum, misalnya untuk pasien
yang memerlukan hanya 2 tablet, juga hanya memerlukan 2 ml suntikan sterptomisisn (1 ml = 250 mg.
Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun diberikan suntikan streptomisin maksimum 500 mg/hari. Injeksi
streptomisin diberikan setelah pasien selesai menelan obat.
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan pada pasien TB BTA positif tidak terjadi konversi
maka diberikan OAT sisipan berupa tablet 4FDC setiap hari selama 28 hari.
Dosis dan aturan pakai FDC untuk anak-anak yaitu:
Berat Badan Tahap Intensif tiap hari
selama 2 bulan
Tahap Lanjutan tiap hari
selama 4 bulan
7 kg 1 tablet 3FDC 1 tablet 2FDC
8 9 kg 1,5 tablet 3FDC 1,5 tablet 2FDC
10 14 kg 2 tablet 3FDC 2 tablet 2FDC
15 19 kg 3 tablet 3FDC 3 tablet 2FDC
20 24 kg 4 tablet 3FDC 4 tablet 2FDC
25 29 kg 5 tablet 3FDC 5 tablet 2FDC
OAT-FDC tersedia dalam kemasan blister. Tiap blister terdapat 28 tablet. Tablet
4FDC dan 2FDC dikemas dalam dos yang berisi 24 blister @28 tablet. Untuk tablet
etambutol 400 mg dikemas dalam dos yang berisi 24 blister @ 28 tablet. Streptomisisn
injeksi dikemas dalam dos berisi 50 vial @ 750 mg. Untuk penggunaan streptomisin injeksi
diperlukan aquabidest dan disposable syringe 5 m l dan jarum steril. Aquabidest tersedia
dalam kemasan vial @ 5 ml dalam dos yang berisi 100 vial.
Efek samping dari OAT-FDC umumnya sama dengan efek samping dari penggunaan
OAT yang dalam tablet terpisah. Beberapa efek samping yang muncul berupa hilangnya
nafsu makan, mual kadang disertai muntah, sakit perut, nyeri sendi, gatal dan kemerahan
pada kulit, kesemutan hingga rasa terbakar di kaki, gangguan keseimbangan. Selain itu efek
samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau karena kelebihan
dosis. Efek samping dari OAT tersebut diperkirakan terjadi pada sekitar 3 6 % pasien yang
mendapat pengobatan dengan FDC. Bila diketahui dengan pasti bahwa FDC penyebab efek
samping seperti yang disebutkan sebelumnya dan obat tersebut tidak dapat diberikan kembali,
maka pasien diberikan OAT yang dalam bentuk tablet terpisah (OAT kombipak).
Pengobatan TB perlu diperhatikan untuk pasien yang berada dalam kondisi khusus
misalnya pasien wanita hamil, pasien dengan penyakit tertentu seperti DM, gagal ginjal,
memiliki kelainan hati kronik. Untuk pengobatan TB pada wanita hamil perlu diperhatikan
pada penggunaan streptomisin. Streptomisin tidak dapat digunakan pada kehamilan. Hal ini
karena streptomisin bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier plasenta.
Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang
menetap pada bayi yang akan dilahirkan.
Pasien DM harus selalu dikontrol dalam pengobatannya. Jika pasien juga menderita
TBC perlu diperhatikan dalam penggunaan rifampisin, karena rifampisin dapat mengurangi
efektivitas antidiabetika oral gol sulfonil urea sehingga perlu peningkatan dosis antidiabetika
tersebut. Pasien DM yang memperoleh pengobatan insulin seringkali terjadi komplikasi
retinopathy diabetika, oleh karena itu perlu diperhatikan untuk pemberia etambutol karena
dapat memperparah kejadian tersebut.
Pasien TB dengan gagal ginjal sebaiknya tidak menggunakan streptomisin dan
etambutol dalam pengobatannya. Hal ini karena kedua obat tersebut diekskresi melalui ginjal.
Jika tetap diberikan memungkinkan obat tersebut tidak dapat dieksresikan dari dalam tubuh
karena ketidakmampuan ginjal. Akibatnya akan menimbulkan efek toksik dalam tubuh. Oleh
karena itu dapat diberikan pengobatan dengan INH, rifampisin, dan pirazinamid untuk pasien
TB dengan gagal ginjal. Ketiga obat tersebut diekskresi melalui empedu dan dapat diubah
menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. Paduan OAT yang paling aman untuk pasien
TB dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR.
Pengobatan TB pada pasien dengan kelainan hati kronik dapat dilakukan jika pasien
sudah melakukan pemeriksaan hati. Jika nilai SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali
maka OAT tidak diberikan dan bila sudah dalam pengobatan maka harus dihentikan. Jika
peningkatannya kurang dari 3 kali maka pengobatan tetap dapat dilakukan dengan
pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati tidak boleh diberikan pirazinamid. Paduan
OAT yang dianjurkan untuk pasien TB dengan kelainan hati yaitu 2RHES/6RH atau
2HES/10HE.
Pencegahan terhadap penyakit TB dapat dilakukan dengan hidup sehat dengan makan
makanan bergizi dan teratur, istirahat yang cukup, olah raga teratur, hindari rokok, minuman
beralkohol, obat bius, hindari stress. Kemudian untuk mencegah terjadinya penularan TB,
maka para pasien TB diharapkan menutup mulut saat batuk dan tidak meludah di sembarang
tempat. Usaha pencegahan lainnya yaitu dengan melakukan imunisasi BCG (Bacillus
Calmette-Guerin) yang akan memberikan kekebalan aktif pada penyakit TB. Selain itu
menjaga daya tahan tubuh juga penting dalam mengantisipasi penyakit TB. Dengan daya
tahan tubuh yang kuat maka tidak mudah untuk terserang infeksi oportunistik (TB).
Tidak hanya AIDS yang memiliki hari peringatan tetapi TB pun memiliki hari
peringatan yang jatuh pada tanggal 24 Maret. Tahun ini peringatan hari TB sedunia
bertemakan Every Breath Counts, Stop TB now!. Tema ini menekankan pada kata breath
yang tidak hanya berarti pernafasan tetapi juga merupakan pusat dari segala aktivitas
manusia. Jadi, jika breath manusia rusak karena TB maka akan merusak juga seluruh
aktivitas manusia. Tema ini mengingatkan akan bahaya TB dan urgensi pemberantasannya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2006, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, edisi 2, Departemen
Kesehatan RI, Jakarta
Anonim, 2004, Petunjuk Penggunaan Obat FDC Untuk Pengobatan Tuberkulosis Di Unit
Pelayanan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
Frida, E., Ibrahim, S., Hardjoeno, 2006, Analisis Temuan Basil Tahan Asam Pada Sputum
Cara Langsung dan Sediaan Konsentrasi Pada Suspek Tuberkulosis, Indonesian
Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, vol.12, diakses tanggal 19
Desember 2007

Untuk menanggulangi masalah TB di Indonesia, strategi DOTS
yang direkomendasikan oleh WHO merupakan pendekatan yang
paling tepat untuk saat ini, dan harus dilakukan secara sungguh
sungguh dimana salah satu komponen dari strategi DOTS tersebut
adalah pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan
pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).

DI RECTLY OBSERVED TREATMENT SHORT COURSE (DOTS)

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci keberhasilan
program penanggulangan tuberkulosis adalah dengan menerapkan strategi DOTS, yang
juga telah dianut oleh negara kita. Oleh karena itu pemahaman tentang DOTS
merupakan hal yang sangat penting agar TB dapat ditanggulangi dengan baik.
DOTS mengandung lima komponen, yaitu :
1. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional
2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopis
3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan
istilah DOT (Directly Observed Therapy)
4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan
5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baku /standar

Saat ini terdapat 6 elemen kunci dalam strategi stop TB yang direkomendasi oleh WHO:
1. Peningkatan dan ekspansi DOTS yang bermutu, meningkatkan penemuan kasus dan
penyembuhan melalui pendekatan yang efektif terhadap seluruh pasien terutama pasien
tidak mampu
2. Memberikan perhatian pada kasus TB-HIV, MDR-TB, dengan aktiviti gabungan TB-
HIV, DOTS-PLUS dan pendekatan-pendekatan lain yang relevan
3. Kontribusi pada sistem kesehatan, dengan kolaborasi bersama program kesehatan
yang lain dan pelayanan umum
4. Melibatkan seluruh praktisi kesehatan, masyarakat, swasta dan nonpemerintah
dengan pendekatan berdasarkan Public-Private Mix (PPM) untuk mematuhi
International Standards of TB Care
5. Mengikutsertakan pasien dan masyarakat yang berpengaruh untuk berkontribusi pada
pemeliharaan kesehatan yang efektif
6. Memungkinkan dan meningkatkan penelitian untuk pengembangan obat baru, alat
diagnostik dan vaksin. Penelitian juga dibutuhkan untuk meningkatkan keberhasilan
program

A. Tujuan :
Mencapai angka kesembuhan yang tinggi
Mencegah putus berobat
Mengatasi efek samping obat jika timbul
Mencegah resistensi
B. Pengawasan
Pengawasan terhadap pasien TB dapat dilakukan oleh :
Pasien berobat jalan
Bila pasien mampu datang teratur, misal tiap minggu maka paramedis atau petugas
sosial dapat berfungsi sebagai PMO. Bila pasien diperkirakan tidak mampu datang
secara teratur, sebaiknya dilakukan koordinasi dengan puskesmas setempat. Rumah
PMO harus dekat dengan rumah pasien TB untuk pelaksanaan DOT ini
Beberapa kemungkinan yang dapat menjadi PMO
1. Petugas kesehatan
2. Orang lain (kader, tokoh masyarakat dll)
3. Suami/Istri/Keluarga/Orang serumah
Pasien dirawat :
Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah petugas rumah
sakit, selesai perawatan untuk pengobatan selanjutnya sesuai dengan berobat jalan.

C. Langkah Pelaksanaan DOT
Dalam melaksanakan DOT, sebelum pengobatan pertama kali dimulai, pasien diberikan
penjelasan bahwa harus ada seorang PMO dan PMO tersebut harus ikut hadir di
poliklinik untuk mendapat penjelasan tentang DOT

D. Persyaratan PMO
PMO bersedia dengan sukarela membantu pasien TB sampai sembuh selama
pengobatan dengan OAT dan menjaga kerahasiaan penderita HIV/AIDS.
PMO diutamakan petugas kesehatan, tetapi dapat juga kader kesehatan, kader
dasawisma, kader PPTI, PKK, atau anggota keluarga yang disegani pasien

E. Tugas PMO
Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik
Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal minum obat
Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal yang telah
ditentukan
Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur hingga
selesai
Mengenali efek samping ringan obat, dan menasehati pasien agar tetap mau
menelan obat
Merujuk pasien bila efek samping semakin berat
Melakukan kunjungan rumah
Menganjurkan anggota keluarga untuk memeriksa dahak bila ditemui gejala TB

F. Penyuluhan
Penyuluhan tentang TB merupakan hal yang sangat penting, penyuluhan dapat dilakukan
secara :

Peroranga/Individu
Penyuluhan terhadap perorangan (pasien maupun keluarga) dapat dilakukan di
unit rawat jalan, di apotik saat mengambil obat dll
Kelompok
Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok pasien, kelompok
keluarga pasien, masyarakat pengunjung rumah sakit dll
Cara memberikan penyuluhan
. Sesuaikan dengan program kesehatan yang sudah ada
. Materi yang disampaikan perlu diuji ulang untuk diketahui tingkat
penerimaannya sebagai bahan untuk penatalaksanaan selanjutnya
. Beri kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, terutama hal yang belum jelas
. Gunakan bahasa yang sederhana dan kalimat yang mudah dimengerti, kalau
perlu dengan alat peraga (brosur, leaflet dll)
PENCATATAN DAN PELAPORAN
Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam
sistem informasi penanggulangan TB. Semua unit pelaksana pengobatan TB harus
melaksanakan suatu sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Untuk itu pencatatan
dibakukan berdasarkan klasifikasi dan tipe penderita serta menggunakan formulir yang
sudah baku pula.
Pencatatan yang dilaksanakan di unit pelayanan kesehatan meliputi beberapa
item/formulir yaitu :
1. Kartu pengobatan TB (01)
2. Kartu identiti penderita TB (TB02)
3. Register laboratorium TB (TB04)
4. Formulir pindah penderita TB (TB09)
5. Formulir hasil akhir pengobatan dari penderita TB pindahan (TB10)
Cara pengisisan formulir sesuai dengan buku pedoman penanggulangan TB Nasional
(P2TB)
Jika memungkinkan data yang ada dari formulir TB01 dimasukkan ke dalam formulir
Register TB (TB03).
Catatan :
. Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB di luar paru, maka untuk
kepentingan pencatatan pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.
. Bila seorang pasien ekstraparu pada beberapa organ, maka dicatat sebagai ekstraparu
pada organ yang penyakitnya paling berat
. Contoh formulir terlampir

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis - Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai