Anda di halaman 1dari 14

Judul Jurnal : Efficacy of aminophylline vs.

caffeine for preventing apnea of


prematurity
Nama Jurnal : Paediatr Indones, Vol. 54, No. 6, November 2014: 367 - 371
Penulis : Hendy, Setya Wandita, I Made Kardana

Analisis PICO:
Problem/Patient Bayi baru lahir prematur (usia kehamilan
28 – 34 minggu) yang mampu bernapas
spontan dalam 24 jam pertama kehidupan
Intervention Aminofilin
Comparison Kafein
Outcome Aminofilin dan kafein memiliki efikasi
serupa untuk mencegah apnea
prematuritas.

RESUME JURNAL
1. Latar Belakang
Prematuritas bayi dimaksud sebagai usia kehamilan < 37 minggu. Afrika
memiliki angka kelahiran bayi prematur tertinggi sebesar 11.9%, sementara di
Asia Tenggara sekitar 11.1%. Masalah utama yang bayi prematur hadapi adalah
apnea. Apnea disebabkan oleh belum lengkapnya perkembangan pusat
pernapasan, dan disebut sebagai apnea prematuritas (AOP). Berbagai faktor yang
mendasari perlunya pencegahan AOP: 85% insidensi AOP pada bayi dengan usia
kehamilan < 34 minggu, kesulitan dalam mendiagnosis AOP, onset tak
terprediksi, efek jangka pendek dan panjang, lama penanganan yang panjang, dan
kebutuhan perawatan intensif. WHO merekomendasikan pencegahan AOP
dengan penggunaan obat-obatan methylxantine, yaitu, kafein sitrat atau
aminofilin. Obat-obatan tersebut bekerja dengan bersaing dengan adenosin,

1
sebuah neurotransmitter dalam sinaps yang menginhibisi neuron, oleh karena itu,
menyebabkan apnea pada bayi prematur. Kafein sitrat tidak tersedia di Indonesia
pada saat ini, namun, aminofilin tersedia, tetapi efikasinya masih belum jelas.
Pada studi ini, kami memberikan aminofilin dan kafein sesuai dengan
dosis yang direkomendasikan oleh WHO, dikonversi menjadi formula oral. Studi
sebelumnya menunjukkan bahwa dosis aminofilin WHO menghasilkan kadar
teofilin plasma sebesar 11.6 mg/L, lebih tinggi daripada studi sebelumnya. Oleh
karena itu, pemberian aminofilin yang sesuai dengan rekomendasi WHO pada
studi kami diduga mencegah AOP. Tujuan studi ini ialah untuk membandingkan
efikasi aminofilin dan kafein untuk pencegahan AOP.

2. Metode
Percobaan klinis tersamar tunggal dilakukan dari Desember 2012 hingga
April 2013 di Bangsal Pediatrik Kelas II dan NICU RSU Sanglah, Denpasar, Bali.
Kriteria inklusinya adalah bayi prematur dengan usia kehamilan 28 – 34 minggu,
lahir di atau masuk ke RSU Sanglah sejak hari pertama kelahiran, dan mampu
bernapas spontan selama 24 jam pertama kehidupan. Kriteria eksklusinya adalah
penolakan orang tua untuk berpartisipasi atau malformasi kongenital mayor.
Subyek didistribusi dengan randomisasi blok menggunakan 6 permutasi.
Randomisasi disamarkan. Desar sampel dihitung menggunakan formula besar
sampel Fleiss untuk perbedaan dua-jumlah, dengan α = 5%, dua sisi, β = 20%, P2
= 52%, dan besar efek = 30%. Minimal besar sampel yang diperlukan dihitung
sebesar 44 bayi baru lahir pada setiap kelompok.
Kami memulai dengan menilai New Ballard Score (NBS) untuk setiap
pasien yang masuk ke RS Sanglah melalui Ruang Emergensi Maternitas atau
Pediatrik. Penilaian dilakukan oleh residen yang bertugas di setiap bangsal, dan
hasilnya dilaporkan kepada peneliti. Jika pasien memenuhi kriteria inklusi,
peneliti memberikan penjelasan pada orang tua dan meminta mereka untuk
memberikan informed consent. Peneliti kemudian memberikan nomor identitas

2
pada subyek. Formulasi obat dibantu oleh Farmasi Kimia Farma. Setalah obat
disiapkan, ditangani oleh perawat bangsal untuk memberikannya pada subyek.
Komposisi obat hanya diketahui oleh peneliti. Obat disiapkan sebagai 14 paket
puyer, dengan paket pertama sebagai dosis inisial, dilanjutkan dengan dosis
maintenans setiap 12 jam. Kelompok aminofilin menerima aminofilin dihidrat
pada dosis inisial 10 mg/kgBB, kemudian dilanjutkan dengan dosis maintenans
2.5 mg/kgBB setiap 12 jam. Kelompok kafein menerima kafein anhydrous pada
dosis inisial 10 mg/kgBB, kemudian dilanjutkan dengan dosis maintenans 1.25
mg/kgBB setiap 12 jam.
Obat diberikan dengan melarutkan puyer dalam 1 mL air steril, yang
kemudian segera dikonsumsi per oral. Untuk subyek yang puasa, obat diberikan
melalui OGT dengan terapi oksigen berlanjut selama pemberian. Obat diberikan
selama 7 hari. Jika subyek pulang sebelum 7 hari terapi lengkap, obat sisanya
diberikan pada keluarga untuk diberikan di rumah. Subyek yang mengkonsumsi
kurang dari 80% obat dalam 7 hari diklasifikasikan sebagai dropped out (DO)
studi.
Observasi apnea dilakukan oleh residen, perawat, atau dokter internship
tanpa mengetahui komposisi obat yang diterima oleh sampel yang disamarkan
terhadap terapi. Observasi dilakukan hingga subyek berusia 10 hari. Subyek rawat
inap dimonitor untuk apnea, syanosis, atau desaturasi, menggunakan pulse
oximeter. Subyek rawat jalan berusia kurang dari 10 hari dipantau oleh ibu
mereka di rumah, dengan memantau apnea atau bibir biru, dan dipantau oleh
peneliti sekali setiap 3 hari via telepon atau selama kembali visit ke Poliklinik
Neonatal RS Sanglah. Selama periode observasi, pemberian obat untuk subyek
yang didiagnosis dengan necrotizing enterocolitis (NEC) dihentikan.
Residen, dokter internship, atau perawat mencatat efek samping obat pada
pasien rawat inap dengan memantau takhikardia, muntah, atau aspirasi lambung,
dan kejang. Namun, orang tua mengobservasi efek samping obat pada pasien

3
rawat jalan dengan memantau muntah atau kejang. Pada kasus kejadian-kejadian
tersebut, orang tua segera menghubungi peneliti untuk terapi lebih lanjut.
Manajemen apnea lebih lanjut dilakukan sesuai dengan pedoman klinis di
RSU Sanglah. Kami menghentikan penggunaan obat pada subyek yang
mengalami takhikardia (200 kali/menit) sebagai efek samping terapi. Untuk
subyek dengan kejang, kami memberikan arang aktif dan pengobatan lebih lanjut
dihentikan.
Peneliti mencatat diagnosis akhir subyek dan lama rawat inap di rumah
sakit sesuai dengan register di Subdivisi Neonatal RSU Sanglah, setelah keluar
dari rumah sakit. Seluruh data dicatat pada lembar observasi dan dikumpulkan
oleh peneliti. Analisis data dilakukan setelah pengumpulan data minimal besar
sampel yang diperlukan. Analisis intention-to-treat dilakukan untuk subyek DO
dengan kemungkinan terburuk, yaitu, apnea.
Definisi operasional prematuritas ialah bayi usia kehamilan < 37 minggu.
Usia kehamilan ialah usia bayi sesuai dengan pengukuran NBS. Bernapas spontan
ialah mampu bernapas tanpa bantuan ventilator selama 24 jam pertama
kehidupan. Apnea ialah henti napas selama 20 detik, atau selama 10 detik disertai
syanosis atau desaturasi oksigen. Syanosis ialah warna biru yang terjadi pada
mukosa oral, juga disebut syanosis sentral. Desaturasi ialah saturasi oksigen
kurang dari 80% dan terjadi selama 5 detik atau lebih, diukur dengan oksimetri.
Studi ini menerima izin etik dari Badan Penelitian dan Pembangunan
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RS Sanglah dan izin penelitian dari
RSU Sanglah.
Data deskriptif disajikan dalam teks dan tabel. Uji hipotesis Chi-Square
digunakan untuk membandingkan efikasi aminofilin dengan kafein, dengan nilai
P < 0.05 dianggap signifikan secara statistik. Jika distribusi data atau kondisi
tidak memenuhi untuk analisis Chi-Square, maka uji Fisher dilakukan. Analisis
RR juga dilakukan, dengan 95% CI. Analisis multivariat dengan regresi logistik

4
dilakukan untuk mengidentifikasi variabel pembaur dalam studi. Perhitungan
statistik dibantu dengan SPSS 17 untuk Windows.

3. Hasil
Selama periode studi, kami mengidentifikasi 132 bayi baru lahir dengan
usia kehamilan < 34 minggu. Empat bayi baru lahir mengalami apnea dalam 24
jam pertama kehidupan, dan 8 bayi baru lahir usia kehamilannya < 28 minggu.
Total sebanyak 120 bayi baru lahir memenuhi kriteria inklusi, tetapi 24 dieksklusi
akibat kurangnya persetujuan orang tua. Total sebanyak 96 subyek secara acak
dialokasikan terhadap 2 kelompok terapi, setiap kelompok terdiri dari 48 subyek
(Gambar 1). Terapi diberikan selama 7 hari dan observasi dilakukan hingga
subyek berusia 10 hari. Selama periode itu, 9 subyek mengkonsumsi kurang dari
80% obat, 6 dari kelompok aminofilin dan 3 dari kelompok kafein, akibat
kematian. 9 subyek tersebut dianggap sebagai DO. Subyek ditangani sesuai
dengan kelompok mereka dari awal hingga akhir terapi, dan tidak ada subyek
yang beralih kelompok terapi.

5
Karakteristik subyek awal dua kelompok serupa dalam hal jumlah pria dan
perempuan, median berat badan, usia kehamilan, dan median lama pemberian
obat (Tabel 1). Kondisi klinis subyek berdasarkan diagnosis akhir mereka saat
keluar dari rumah sakit. Kami menemukan kondisi klinis yang lebih berat pada
kelompok aminofilin dibandingkan pada kelompok kafein, terkait dengan lama
rawat inap yang lebih lama dan tingkat kematian yang lebih tinggi pada kelompok
aminofilin (Tabel 2).

6
Tabel 3 menunjukkan perbandingan efikasi aminofilin dan kafein, untuk
mencegah AOP. Kami menemukan bahwa insidensi apnea pada kelompok
aminofilin kurang dibandingkan pada kelompok kafein, tetapi perbedaan ini tidak
signifikan secara statistik (RR 0.9; 95% CI 0.5 – 1.6; P = 0.8).

Kami menemukan muntah adalah satu-satunya efek samping pemberian


methilxantine. Tidak terdapat kejang atau takhikardia yang ditemukan. Jumlah
kejadian muntah serupa antara kelompok aminofilin dan kafein (RR 1.1; 95% CI
0.5 – 2.9; P = 1.0).
Kami melakukan analisis multivariat dengan regresi logistik untuk
menguji kondisi klinis subyek yang dapat beraksi sebagai variabel pembaur.
Analisis mengungkapkan bahwa sepsis memiliki OR sebesar 8.3 (95% CI 2.4 –
29.2; P = 0.001), sedangkan penyakit membran hyalin memiliki OR sebesar 15.1
(95% CI 4.3 – 53.7; P = 0.0001). Kedua outcome klinis merupakan variabel
pembaur yang juga dapat menyebabkan apnea pada studi ini (Tabel 4).

7
4. Pembahasan
Karakteristik awal subyek kedua kelompok terapi serupa, tetapi
perkembangan kondisi klinis selama observasi dan periode terapi menyebabkan
kelompok aminofilin memiliki resiko apnea yang lebih tinggi karena penyebab
lain, dibandingkan dengan kelompok kafein. Hal ini dikonfirmasi dengan lama
rawat inap yang lebih lama dan angka kematian yang lebih tinggi pada kelompok
aminofilin setelah observasi. Tingkat kematian pada kedua kelompok selama
terapi serupa, karenanya kematian tidak disebabkan oleh terapi methylxantine.
Kami menemukan apnea pada 13/48 (27.1%) subyek pada kelompok
aminofilin, dan pada 15/48 (31.3%) subyek pada kelompok kafein, namun,
perbedaan ini tidak signifikan (RR 0.9; 95% CI 0.5 – 1.6; P = 0.8). Kami
menemukan bahwa aminofilin dan kafein memiliki efikasi yang serupa untuk
mencegah AOP. Hal yang serupa, sebuah studi menemukan efikasi yang serupa
dari aminofilin dan kafein dalam mencegah AOP, meskipun dosis aminofilin
mereka lebih rendah dari studi kami. Aminofilin berasal dari famili obat yang
sama dengan kafein dan memiliki mekanisme aksi yang serupa, yaitu,
mempengaruhi reseptor adenosin yang sama (reseptor adenosin A1, A2A dan A3).
Aminofilin dimetabolisme oleh tubuh menjadi beberapa bentuk aktif, tetapi akibat

8
perkembangan hepar yang inkomplet pada bayi prematur, berbagai metabolit dari
aminofilin tidak dapat diaktivasi. Metabolit aktif yang berasal dari pemberian
aminofilin pada bayi prematur meliputi 25% kafein dan 3-methylxaintine. Oleh
karena itu, aminofilin yang diberikan pada bayi prematur sebenarnya setara
dengan kafein dosis yang lebih rendah, karenanya, pemberian aminofilin pada
dosis yang tepat akan memiliki efek yang serupa dengan kafein pada bayi
prematur untuk mencegah AOP.
Studi sebelumnya tidak merekomendasikan pemberian aminofilin untuk
mencegah AOP, karena penulis menemukan peningkatan insidensi apnea setelah
pemberian aminofilin. Sebaliknya, kami menemukan efikasi yang serupa dari
aminofilin dan kafein dalam mencegah AOP. Perbedaan ini dapat disebabkan
dosis aminofilin yang lebih rendah yang diberikan pada studi mereka, yang
menghasilkan rata-rata kadar teofilin plasma sebesar 7.1 mg/L, sedangkan dosis
aminofilin berdasarkan rekomendasi WHO, menghasilkan kadar teofilin plasma
sebesar 11.6 mg/dL. Oleh karena itu, dosis aminofilin kami yang lebih tinggi
dapat mencegah apnea.
Penggunaan aminofilin pada bayi prematur dapat menyebabkan efek
samping dan gejala intoksikasi. Studi tahun 1993 melaporkan bahwa aminofilin
mencegah AOP. Pada studi itu, dosis aminofilin 25 mg/mL dan diberikan melalui
infuse intravena kontinu selama 5 hari dan rata-rata plasma mereka 12.7 mg/L.
Gejala intoksikasi terjadi pada 4 subyek, dengan kadar teofilin plasma mereka
dilaporkan sebesar 30.1 mg/L. Pada studi kami, aminofilin diberikan per oral
setiap 12 jam sesuai dengan rekomendasi WHO. Studi sebelumnya melaporkan
bahwa dosis ini menghasilkan kadar teofilin plasma sebesar 7.2 – 14.5 mg/L,
kadar yang tidak seharusnya menyebabkan gejala intoksikasi. Efek samping lain
adalah muntah. Kami menemukan insidensi muntah serupa pada kedua kelompok:
16.7% pada kelompok aminofilin dan 14.6% pada kelompok kafein. Muntah pada
pasien yang ditangani dengan methylxantine dapat disebabkan oleh penurunan
fungsi sfingter esofagus bagian bawah, stimulasi asam lambung, dan aktivitas

9
GABA yang rendah. Penilaian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengetahui apakah
muntah adalah efek samping mayor terapi, atau kejadian fisiologis yang sering
terjadi pada bayi prematur.
Insidensi apnea pada bayi prematur dapat dipicu oleh berbagai faktor.
Imaturitas pusat respirasi diketahui sebagai salah satu penyebab AOP. Faktor-
faktor lain yang juga berperan penting dalam insidensi apnea. Analisis multivariat
mengungkapkan bahwa apnea pada subyek kami juga dapat disebabkan oleh
sepsis atau penyakit membran hyalin. Oleh karena itu, dua kondisi tersebut tidak
dapat diabaikan, meskipun terapi berupa pemberian aminofilin atau kafein
mencegah AOP.
Keterbatasan studi kami ialah kurangnya fasilitas untuk melakukan
pengukuran kadar aminofilin atau kafein subyek. Selain itu, desain studi tersamar
tunggal juga dapat menyebabkan bias. Untuk meminimalkan bias, peneliti tidak
berpartisipasi dalam observasi apnea. Bias informasi juga dapat terjadi sejak
beberapa data apnea didapat oleh observasi orang tua selama terapi di rumah.
Kesimpulannya, aminofilin dan kafein memiliki efikasi serupa untuk
mencegah AOP. Aminofilin dipertimbangkan sebagai tambahan kafein untuk
pencegahan AOP di Indonesia, jika kafein tidak tersedia. Pasien yang menjalani
terapi methylxantine memerlukan pemantauan kondisi klinis, seperti sepsis dan
penyakit membran hyalin.

ANALISIS JURNAL TERAPI


Validity
1a. Apakah alokasi Ya
pasien terhadap [√]
terapi atau perlakuan Tidak
dilakukan secara [ ] Tercantum pada Abstract-Methods hal. 365 bahwa
acak? alokasi pasien terhadap terapi dilakukan secara acak.

10
1b. Apakah Ya
randomisasi [√]
dilakukan Tidak Tercantum pada Methods hal. 366 bahwa randomisasi
tersembunyi ? [ ] disamarkan.
1c. Apakah antara Ya
subjek penelitian [√]
dan peneliti “blind” Tidak
terhadap terapi atau [ ]
perlakuan yang akan Tercantum pada Methods hal. 366 bahwa studi ini
diberikan ? merupakan studi tersamar tunggal, dimana peneliti
adalah satu-satunya yang mengetahui komposisi obat.
Residen, dokter internship, maupun perawat tidak
mengetahui komposisi obat. Subyek juga disamarkan
dari terapi.
2a. Apakah semua Ya Tercantum pada Gambar 1, Tabel 1, dan Tabel 2
subjek yang ikut [√] bahwa seluruh subyek yang ikut serta dalam
serta dalam Tidak penelitian diperhitungkan dalam hasil dan
penelitian [ ] kesimpulan. Pada awalnya terdapat 48 subyek di
diperhitungkan setiap kelompok, tetapi berkurang menjadi 42 dan 45
dalam hasil atau karena kematian.
kesimpulan ?
(apakah
pengamatannya
cukup lengkap)
2b. Apakah Ya
pengamatan yang [ ]
dilakukan cukup Tidak Observasi pada studi ini tidak cukup panjang, hanya
panjang ? [√] 10 hari.

11
2c. Apakah subjek Ya
dianalisis pada [√]
kelompok dimana Tidak
subjek tersebut [ ]
dikelompokan dalam Tercantum pada Results hal. 367 bahwa subyek
randomisasi ? ditangani sesuai dengan kelompo mereka dari awal
hingga akhir terapi, dan tidak ada subyek yang beralih
kelompok terapi.
3a. Selain perlakuan Ya Seluruh subyek diperlakukan sama sesuai dengan
yang [√] penanganan yang seharusnya dilakukan pada
dieksperimenkan, Tidak kelompok masing-masing.
apakah subjek [ ]
diperlakukan sama ?
3b. Apakah Ya
karakteristik antar [√]
kelompok dalam Tidak
penelitian serupa? [ ]
Tercantum pada Results hal. 367 bahwa karakteristik
kedua kelompok serupa dalam hal jumlah laki-laki
dan perempuan, median berat badan, usia kehamilan,
dan median lama pemberian obat.
Importance
Berapa besar efek Studi ini menemukan bahwa insidensi apnea pada kelompok
terapi? Seberapa aminofilin kurang dibandingkan pada kelompok kafein, tetapi
tepat estimasi efek perbedaan ini tidak signifikan secara statistik (RR 0.9; 95% CI 0.5
terapi? – 1.6; P = 0.8).
Studi ini menemukan muntah adalah satu-satunya efek samping
pemberian methilxantine. Tidak terdapat kejang atau takhikardia

12
yang ditemukan. Jumlah kejadian muntah serupa antara kelompok
aminofilin dan kafein (RR 1.1; 95% CI 0.5 – 2.9; P = 1.0 [tidak
signifikan]).
Analisis multivariat mengungkapkan bahwa sepsis memiliki OR
sebesar 8.3 (95% CI 2.4 – 29.2; P = 0.001 [signifikan]), sedangkan
penyakit membran hyalin memiliki OR sebesar 15.1 (95% CI 4.3
– 53.7; P = 0.0001 [signifikan]).
Applicability
1. Apakah pasien Ya Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia tahun
yang kita miliki [√] 2012 yaitu 31 per 1000 kelahiran hidup. Angka
sangat berbeda Tidak Kematian Bayi di Jawa Tengah tahun 2009 yaitu
dengan pasien [ ] 9.7/1000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab
dalam kematian bayi terbanyak adalah prematuritas dan
penelitian? infeksi. Sehingga pasien dalam studi ini serupa
dengan pasien yang kita miliki.
2. Apakah semua Ya
outcome klinis [√]
yang penting Tidak
dipertimbangkan [ ]
(efek samping Tercantum pada Methods hal. 366 bahwa efek
yang mungkin samping yang dapat timbul pada perawatan rawat
timbul) jalan adalah takhikardia, muntah, atau aspirasi
lambung, dan kejang. Sedangkan efek samping yang
dapat timbul pada perawatan rawat inap adalah
muntah dan kejang.
3. Apakah hasil Ya Aminofilin dan kafein dapat diterapkan. Aminofilin
yang baik dari [√] dipertimbangkan sebagai tambahan kafein untuk
penelitian dapat Tidak pencegahan AOP di Indonesia, jika kafein tidak

13
diterapkan [ ] tersedia.
dengan kondisi
yang kita miliki?

14

Anda mungkin juga menyukai