Refka Sindrom Nefrotik
Refka Sindrom Nefrotik
SINDROM NEFROTIK
1
BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang
paling sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Indonesia
dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun.
Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1.2
2
Berikut dilaporkan kasus sindrom nefrotik yang terdapat di Pavilium
Catelia RSUD Undata Palu.
3
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama Penderita : An. R
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 5 tahun
Agama : Islam
Alamat : Tondo
Tanggal masuk : 20 November 2015
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Bengkak
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan bengkak sejak 2 minggu
sebelum masuk rumah sakit. Bengkak awalnya muncul di bagian mata,
lalu di wajah, lama kelamaan bengkak menyebar pada bagian perut lalu ke
bagian alat kelamin. Bengkak pada kelopak mata dan muka lebih jelas
setelah pasien bangun tidur. Tidak ada nyeri pada daerah yang bengkak.
Pasien juga mengeluhkan batuk (+), berlendir (+), sesekali bila malam
hari. Sesak nafas (-). Demam (-), kejang (-), sakit kepala (-), sakit menelan
(-), mual (-), muntah (+) dengan frekuensi 1x, satu hari sebelum masuk
rumah sakit, muntahan berupa nasi dan lendir. Buang air besar terakhir 1
hari sebelum masuk rumah sakit. Buang air kecil lancar, nyeri saat
berkemih (-), warna kuning muda.
4
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada yang mengalami keluhan yang sama di dalam keluarga.
Riwayat Sosial-Ekonomi :
Menengah.
Anamnesis Makanan:
Pasien mengkomsumsi ASI eksklusif saat berusia 0-6 bulan. Pasien diberi
MP-ASI sejak usia 6 bulan hingga usia 1 tahun. Pasien berhenti minum
ASI saat berusia 2 tahun. Pasien mengkomsumsi susu formula dari umur 2
tahun sampai sekarang. Pasien juga sudah makan makanan padat sejak
umur 1 tahun. Pasien tidak sering pilih-pilih makanan.
5
Riwayat Imunisasi :
- Vaksin Hepatitis B : Usia 0 bulan, 1 bulan, 2 bulan, dan 6 bulan
- Vaksin Polio : Usia 0 bulan, 2 bulan, 4 bulan, dan 6 bulan
- Vaksin BCG : Usia 3 bulan
- Vaksin DPT : Usia 2 bulan, 4 bulan, dan 6 bulan
- Vaksin campak : Usia 9 bulan
6
Telinga : Otorrhea (-/-)
Hidung : Rhinorrhea (-), nafas cuping hidung (-)
Mulut : Bibir: sianosis (-)
Gigi : Caries (+)
Selaput mulut : Normal
Gusi : Perdarahan (-)
Tenggorokan : Tonsil T1/T1
Pharynx : Hiperemis (-)
Kelenjar : Pembesaran kelenjar getah bening (-); pembesaran
kelenjar tiroid (-)
Thorax
Bentuk simetris, retraksi otot dinding dada (-)
Paru-paru
- Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris bilateral, retraksi
intercostal (-)
- Palpasi : Vokal fremitus (+) normal kiri dan kanan, massa (-),
nyeri tekan (-)
- Perkusi : Sonor (+) diseluruh lapang paru
- Auskultasi : Bronchovesiculer (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung
- Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
- Palpasi : Ictus Cordis teraba pada SIC V linea midclavicula
sinistra
- Perkusi : Batas atas jantung SIC II, batas kanan jantung SIC V
linea parasternal dextra, batas kiri jantung SIC V
linea axilla anterior
- Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni regular, murmur (-), gallop
(-)
7
Abdomen
- Inspeksi : Permukaan kesan cembung
- Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
- Perkusi : Tympani (+).
- Palpasi : Organomegali (-), nyeri tekan (-), uji undulasi (+).
Lien dan hepar tidak teraba (-)
Genitalia : Edema pada scrotal dan penis (+)
Anggota gerak : Ekstremitas atas dan bawah akral hangat, edema (-)
Punggung : Tidak ada deformitas
Otot-otot : Eutrofi, tonus otot baik
Refleks : Fisiologis (+/+), Patologis (-/-)
b. Pemeriksaan Urinalisis
Jenis Hasil Nilai Normal Interpretasi
Pemeriksaan Pemeriksaan
Protein +3 Negatif ↑
Glukosa - Negatif Normal
Sedimen Leukosit Banyak 0–2 ↑
Sedimen Eritrosit 0 0–3 Normal
Sedimen Epitel + Positif Normal
Sedimen Kristal +3 Negatif ↑
8
V. RESUME
Seorang pasien laki-laki usia 5 tahun masuk rumah sakit dengan
keluhan edema sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Edema
awalnya muncul di bagian mata, lalu di wajah, lama kelamaan edema
menyebar pada bagian perut lalu ke bagian alat kelamin. Edema pada
kelopak mata dan muka lebih jelas setelah pasien bangun tidur. Tidak ada
nyeri pada daerah yang bengkak. Pasien juga mengeluhkan batuk (+),
berlendir (+), sesekali bila malam hari. Sesak nafas (-). Demam (-), kejang
(-), sakit kepala (-), sakit menelan (-), nausea (-), vomitus (+) dengan
frekuensi 1x, satu hari sebelum masuk rumah sakit, vomitus berupa nasi
dan lendir. Defekasi terakhir 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Miksi
lancar, nyeri saat berkemih (-), warna kuning muda. Pasien pernah rawat
jalan 2 minggu yang lalu dengan keluhan yang sama yaitu edema, namun
belum ada perubahan.
Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan kondisi umum sakit sedang,
kesadaran compos mentis, status gizi kurang. Tanda vital : tekanan darah
120/80 mmHg, nadi 102 kali/menit, pernapasan 20 kali/menit, suhu 36,2oC.
Pada pemeriksaan kepala ditemukan adanya edema palpebral. Pemeriksaan
abdomen: inspeksi permukaan kesan cembung, peristaltic (+) kesan normal,
perkusi tes shifting dullness (+), ascites (+), palpasi nyeri tekan (-), uji
undulasi (+). Ekstremitas atas dan bawah: akral hangat (+), edema (-).
Genitalia: edema daerah scrotal dan penis.
Hasil pemeriksaan laboratorium yaitu darah rutin didapatkan leukosit
11,51 x 103 /uL, eritrosit 5,12 x 106 /uL, hemoglobin 13,0 g/dl, hematokrit
39,5% dan trombosit 397 x 103 /uL. Urinalisis didapatkan proteinuria (+3),
glukosa (-), sedimen leukosit (banyak), sedimen eritrosit (0), sedimen epitel
(+1), dan sedimen Kristal (+3).
9
VII. DIAGNOSIS BANDING
a. Sindrom Nefrotik
b. Glomerulonefritis Akut
VIII. TERAPI
a. Medikamentosa
- IVFD RL 8 gtt/menit
- Injeksi Furosemide 2 x 15 mg/IV
- Injeksi Ceftriaxone 300 mg/12 jam/IV
b. Non Medikamentosa
- Tirah baring
- Diet rendah garam
- Diet tinggi protein
- Monitoring urine setiap hari
IX. ANJURAN :
- Kimia darah (serum kolesterol)
- Serum albumin
- C3 complemet
- Ureum dan Creatinin
- ASTO
10
FOLLOW UP
Objek (O):
a. Keadaan Umum : Sakit sedang
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Status gizi : Gizi kurang (CDC 70%)
d. Tanda Vital
o Denyut Nadi : 100 kali/menit
o Respirasi : 28 kali/menit
o Suhu : 36,30C
o Tekanan darah : 110/60 mmHg
e. Pemeriksaan Fisik
Kulit : Ruam (-), pucat (-)
Mata: Edema palpebral (+/+), conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Bibir: Cyanosis (-)
Sistem pernapasan: Bentuk dada normal, ekspansi simetris kiri dan kanan,
retraksi intercostal (-), vocal fremitus normal kiri dan kanan, perkusi sonor,
batas paru hepar linea midclavicularis dextra spasium intercostal VI, bunyi
auskultasi paru bronchovesiculer (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-).
Sistem kardiovaskuler: denyut ictus cordis tidak terlihat, denyut ictus cordis
teraba di SIC V linea midclavicular sinistra, batas jantung normal, bunyi
jantung S1/S2 murni regular, bunyi tambahan (-).
11
Sistem gastrointestinal: inspeksi kesan cembung, ruam (-), peristaltik usus (+)
kesan normal, perkusi bunyi timpani di seluruh kuadran abdomen, palpasi
nyeri tekan (-), uji undulasi (+), hepar dan limpa tidak teraba.
Ekstremitas: akral hangat (+), edema (-), pucat (-).
Genitalia: scrotum dan penis edema (+).
Produksi Urine:
Waktu Jumlah Urine Warna Urine
19.00 200 cc Kuning
01.51 150 cc Kuning
Total 350 cc
12
Pemeriksaan Urinalisis
No. Jenis Hasil Nilai Interpretasi
Pemeriksaan Pemeriksaan Normal
<6,5: Asam Netral
1. pH 6,5
>6,5 : Basa
2. Berat Jenis 1,025
3. Protein +3 Negatif ↑
4. Glukosa - Negatif Normal
5. Keton - Negatif Normal
6. Bilirubin - Negatif Normal
7. Urobilinogen Normal Normal Normal
8. Nitrit - Negatif Normal
9. Leukosit (+/-) Negatif ↑
10. Eritrosit +1 Negatif ↑
11. Sedimen
- Leukosit 7 0-2 ↑
- Eritrosit 1 0-1 Normal
- Silinder - Negatif Normal
- Epitel + Positif Normal
- Kristal - Negatif Normal
Assesment (A):
Sindrom Nefrotik
Plan (P):
a. Medikamentosa
- IVFD RL 8 gtt/menit
- Injeksi Furosemide 2 x 15 mg/IV
- Injeksi Ceftriaxone 300 mg/12 jam/IV
- Prednison 3 x 20 mg
13
b. Non Medikamentosa
- Tirah baring
- Diet rendah garam
- Diet tinggi protein
- Monitoring volume urine
Objek (O):
a. Keadaan Umum : Sakit sedang
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Status gizi : Gizi kurang (CDC 70%)
d. Tanda Vital
o Denyut Nadi : 96 kali/menit
o Respirasi : 28 kali/menit
o Suhu : 36,30C
o Tekanan darah : 120/80 mmHg
e. Pemeriksaan Fisik
Kulit : Ruam (-), pucat (-)
Mata: Edema palpebral (+/+), conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Bibir: Cyanosis (-)
Sistem pernapasan: Bentuk dada normal, ekspansi simetris kiri dan kanan,
retraksi intercostal (-), vocal fremitus normal kiri dan kanan, perkusi sonor,
batas paru hepar linea midclavicularis dextra spasium intercostal VI, bunyi
auskultasi paru bronchovesiculer (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-).
14
Sistem kardiovaskuler: denyut ictus cordis tidak terlihat, denyut ictus cordis
teraba di SIC V linea midclavicular sinistra, batas jantung normal, bunyi
jantung S1/S2 murni regular, bunyi tambahan (-).
Sistem gastrointestinal: inspeksi kesan cembung, ruam (-), peristaltik usus (+)
kesan normal, perkusi bunyi timpani di seluruh kuadran abdomen. Palpasi
nyeri tekan (-),uji undulasi (+), hepar dan limpa tidak teraba.
Ekstremitas: akral hangat (+), edema (-), pucat (-).
Genitalia: scrotum dan penis edema (+).
Produksi Urine:
Waktu Jumlah Urine Warna Urine
09.36 100 cc Kuning
10.00 100 cc Kuning berawan
13.00 50 cc Kuning berawan
17.50 50 cc Kuning
21.15 100 cc Kuning berawan
06.30 200 cc Kuning berawan
Total 600 cc
Assesment (A):
Sindrom Nefrotik
Plan (P):
a. Medikamentosa
- IVFD RL 8 gtt/menit
- Injeksi Furosemide 2 x 15 mg/IV
- Injeksi Ceftriaxone 300 mg/12 jam/IV
- Prednison 3 x 20 mg
15
b. Non Medikamentosa
- Tirah baring
- Diet rendah garam
- Diet tinggi protein
- Monitoring volume urine
Objek (O):
a. Keadaan Umum : Sakit sedang
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Status gizi : Gizi kurang (CDC 70%)
d. Tanda Vital
o Denyut Nadi : 102 kali/menit
o Respirasi : 26 kali/menit
o Suhu : 36,50C
o Tekanan darah : 110/80 mmHg
e. Pemeriksaan Fisik
Kulit : Ruam (-), pucat (-)
Mata: Edema palpebral (-/-), conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Bibir: Cyanosis (-)
Sistem pernapasan: Bentuk dada normal, ekspansi simetris kiri dan kanan,
retraksi intercostal (-), vocal fremitus normal kiri dan kanan, perkusi sonor,
batas paru hepar linea midclavicularis dextra spasium intercostal VI, bunyi
auskultasi paru bronchovesiculer (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-).
16
Sistem kardiovaskuler: denyut ictus cordis tidak terlihat, denyut ictus cordis
teraba di SIC V linea midclavicular sinistra, batas jantung normal, bunyi
jantung S1/S2 murni regular, bunyi tambahan (-).
Sistem gastrointestinal: inspeksi kesan cembung, ruam (-), peristaltik usus (+)
kesan normal, perkusi bunyi timpani di seluruh kuadran abdomen. Palpasi
nyeri tekan (-),uji undulasi (+), hepar dan limpa tidak teraba.
Ekstremitas: akral hangat (+), edema (-), pucat (-).
Genitalia: scrotum dan penis edema (+).
Produksi Urine:
Waktu Jumlah Urine Warna Urine
06.30 200 cc Kuning berawan
10.13 200 cc Kuning berawan
13.12 50 cc Kuning
18.15 50 cc Kuning
00.30 100 cc Kuning
Total 600 cc
Assesment (A):
Sindrom Nefrotik
Plan (P):
a. Medikamentosa
- IVFD RL 8 gtt/menit
- Injeksi Furosemide 2 x 15 mg/IV
- Injeksi Ceftriaxone 300 mg/12 jam/IV
- Prednison 3 x 20 mg
17
b. Non Medikamentosa
- Tirah baring
- Diet rendah garam
- Diet tinggi protein
- Monitoring volume urine
18
DISKUSI
Pada kasus ini, seorang anak laki-laki berusia 5 tahun datang dengan
keluhan bengkak, bengkak dialami di kedua tungkai, wajah dan palpebral.
Manifestasi edema pada pasien ini merupakan manifestasi klinik utama pada 95%
anak dengan sindrom nefrotik.4
Sindrom nefrotik (SN) merupakan kumpulan dari tanda dan gejala klinis
akibat hilangnya protein secara massif melalui ginjal. Oleh karena itu, SN bukan
merupakan sebuah penyakit yang berdiri sendiri, tetapi merupakan manifestasi
dari banyak penyakit glomerular. Penyakit ini dapat menyerang secara akut dan
transien, seperti glumerulonefritis post infeksi, atau yang bersifat kronik dan
progresif, seperti glumerulosklerosis fokal segmental (GFS).5 Penyakit glomerular
yang menyebabkan SN secara umum dibagi menjadi etiologi primer dan
sekunder. Sindrom nefrotik primer, yang biasa disebut sebagai sindrom nefrotik
idiopatik, akibat kelainan pada glomerular secara intrinsic pada ginjal, dan tidak
berhubungan dengan penyebab sistemik. Termasuk sindrom nefrotik kelainan
minimal (SNKM), GFS, nefropati membrane (MN), glumerulonefritis
membranoproliferatif (GMPN) dll. Sedangkan sindrom nefrotik sekunder,
menandakan bahwa penyakit ini disebabkan oleh etiologi ekstrinsik ke ginjal,
termasuk autoimun seperti Henoch Scholein purpura, systemic lupus
erithematosus; penyakit infeksi seperti sifilis kongenital, malaria, HIV dan
hepatitis B dan C; keganasan; paparan obat dan lingkungan seperti penggunaan
heroin dan merkuri; dan penyakit sistemik seperti diabetes mellitus dll.2
19
Edema pada kasus ini dapat dijelaskan dengan teori underfill dan overfill.
Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci
terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan
onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravascular ke jaringan
interstisium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan
bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi
dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan
memperbaiki volume intravascular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya
hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut. 3
20
ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge
barrier). Pada SN kedua mekanisme penghalang tersebut terganggu. Selain itu
konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui
MBG. Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non selektif berdasarkan
ukuran molekul protein yang keluar melalui urine. Proteinuria selektif apabila
yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin, sedangkan non selektif
apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti immunoglobulin.
Selektivitas proteinuria ditentukan oleh keutuhan struktur MBG.3
Pada kasus ini, juga didapatkan nilai albumin serum yaitu 2,3 mg/dl
dimana keadaan ini merupakan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia disebabkan
oleh hilangnya albumin melalui urine dan peningkatan katabolisme albumin di
ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat (namun tidak memadai untuk
mengganti kehilangan albumin dalam urine), tetapi mungkin normal atau
menurun. 3
Hiperkolesterolemia pada kasus ini juga terjadi pada kasus ini yaitu 220,1
mg/dl, disebabkan oleh peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan
katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein), VLDL, kilomikron
dan intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein
lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik. 3
Pada kasus ini, sindrom nefrotik pada pasien diketahui untuk pertama
kalinya, sehingga pasien dirawat di rumah sakit dengan tujuan mempercepat
pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diet, penanggulangan edema, memulai
pengobatan steroid, dan edukasi bagi orangtua.1 Evaluasi diet pada kasus ini yaitu
dengan melakukan diet rendah garam (1-2 g/hari) karena anak memiliki
manifestasi edema. Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan
kontraindikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa
metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sclerosis glomerulus. Bila
diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi energy protein (MEP) dan
menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein
21
normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu 1,5-2
g/kgbb/hari. Pada kasus ini, pasien juga mengalami edema, oleh karena itu
diberikan terapi diit rendah garam (1-2 g/hari) yang dimana terapi diit rendah
garam hanya diperlukan selama anak menderita edema.1
Pada kasus ini, pasien diberikan terapi retriksi cairan berupa diuretic
furosemide injeksi. Pada kasus ini sudah sesuai karena diuretic dapat diberikan
karena pada pasien ini dikategorikan ke dalam edema berat, yaitu edema anasarca.
22
dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi
pneumokokus dan varisela.1
- Terapi inisial
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik tanpa
kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan
prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/ hari)
dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednisone dihitung
sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan).
Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila
terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu
kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5
mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan
pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi
remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.1
Pada kasus ini, terapi kortikosteroid inisial diberikan pada pasien
yaitu prednisone sebanyak 3 x 20 mg dalam sehari, dengan dosis total
prednisone 60 mg. Pada kasus ini, diketahui BB pasien 11,9 kg, dengan
TB 105 cm. Untuk pemberian 4 minggu pertama, diberikan full dose
kortikosteroid yaitu 60 mg/m2 LPB/hari. Dari hasil perhitungan,
seharusnya diberikan dosis total per hari 24 mg/hari, tetapi menurut
kepustakaan, dosis anjuran untuk prednisone adalah 60 mg/hari serta
maksimal untuk prednisone per hari adalah 80 mg/hari, sehingga dapat
disimpulkan pemberian kortikosteroid pada kasus ini sudah adekuat.
Begitu pula untuk dosis 4 minggu kedua, harus diberikan prednisone
dengan dosis total sekitar 16-18 mg/hari.
- Pengobatan SN relaps
Diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4
minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada
23
pasien SN remisi yang mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa
edema, sebelum pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya,
biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan
antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak perlu
diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ ++
disertai edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison
mulai diberikan. 1
- Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid
Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:
1. Pemberian steroid jangka panjang
2. Pemberian levamisol
3. Pemberian dengan sitostatik
4. Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil (opsi
terakhir)
- Pengobatan obat non-imunosupresif untuk mengurangi proteinuria
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin
receptor blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi
proteinuria. Cara kerja kedua obat ini dalam menurunkan ekskresi protein
di urin melalui penurunan tekanan hidrostatik dan mengubah permeabilitas
glomerulus. ACEI juga mempunyai efek renoprotektor melalui penurunan
sintesis transforming growth factor (TGF)-β1 dan plasminogen activator
inhibitor (PAI)-1, keduanya merupakan sitokin penting yang berperan
dalam terjadinya glomerulosklerosis. Pada SNSS relaps, kadar TGF-β1
urin sama tinggi dengan kadarnya pada SNRS, berarti anak dengan SNSS
relaps sering maupun dependen steroid mempunyai risiko untuk terjadi
glomerulosklerosis yang sama dengan SNRS. Dalam kepustakaan
dilaporkan bahwa pemberian kombinasi ACEI dan ARB memberikan hasil
penurunan proteinuria lebih banyak. Pada anak dengan SNSS relaps
sering, dependen steroid dan SNRS dianjurkan untuk diberikan ACEI saja
atau dikombinasikan dengan ARB, bersamaan dengan steroid atau
imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa digunakan adalah:1
24
1. Golongan ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril
0.5 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis, lisinopril 0,1 mg/kgbb dosis tunggal
2. Golongan ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal.
Pada kasus ini, tidak diberikan pengobatan non-imunosupresif baik
golongan ACE-I atau ARB. Berdasarkan beberapa kepustakaan, bahwa
pemberian kombinasi ACEI dan ARB memberikan hasil penurunan
proteinuria lebih banyak.
1. Infeksi
Pasien sindrom nefrotik sangat rentan terhadap infeksi, bila
terdapat infeksi perlu segera diobati dengan pemberian antibiotik. Infeksi
yang terutama adalah selulitis dan peritonitis primer. Bila terjadi
peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh kuman Gram negative dan
Streptococcus pneumoniae) perlu diberikan pengobatan penisilin
parenteral dikombinasi dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu
sefotaksim atau seftriakson selama 10-14 hari. Infeksi lain yang sering
ditemukan pada anak dengan SN adalah pnemonia dan infeksi saluran
napas atas karena virus.1
Pada orang tua dipesankan untuk menghindari kontak dengan
pasien varisela. Bila terjadi kontak diberikan profilaksis dengan
immunoglobulin varicella-zoster, dalam waktu kurang dari 96 jam. Bila
tidak memungkinkan dapat diberikan suntikan dosis tunggal
immunoglobulin intravena (400mg/kgbb). Bila sudah terjadi infeksi perlu
diberi obat asiklovir intravena (1500 mg/m2/hari dibagi 3 dosis) atau
asiklovir oral dengan dosis 80 mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis selama 7 – 10
hari, dan pengobatan steroid sebaiknya dihentikan sementara. 1
25
2. Hyperlipidemia
Dilakukan pengurangan diit lemak. Pada SN resisten steroid,
dianjurkan untuk mempertahankan berat badan normal untuk tinggi
badannya, dan diit rendah lemak jenuh. Dapat dipertimbangkan pemberian
obat penurun lipid seperti inhibitor HMgCoA reduktase (statin). 1
3. Hipokalsemia
Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena:
o Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis
dan osteopenia
o Kebocoran metabolit vitamin D
Oleh karena itu pada pasien SN yang mendapat terapi steroid
jangka lama (lebih dari 3 bulan) dianjurkan pemberian suplementasi
kalsium 250-500 mg/hari dan vitamin D (125-250 IU). Bila telah terjadi
tetani, diobati dengan kalsium glukonas 10% sebanyak 0,5 mL/kgbb
intravena. 1
4. Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps
dapat terjadi hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas
dingin, dan sering disertai sakit perut. Pasien harus segera diberi infus
NaCl fisiologis dengan cepat sebanyak 15-20 mL/kgbb dalam 20-30
menit, dan disusul dengan albumin 1 g/kgbb atau plasma 20 mL/kgbb
(tetesan lambat 10 tetes per menit). Bila hipovolemia telah teratasi dan
pasien tetap oliguria, diberikan furosemid 1-2 mg/kgbb intravena. 1
5. Hipertensi
Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam
perjalanan penyakit SN akibat toksisitas steroid. Pengobatan hipertensi
diawali dengan inhibitor ACE, ARB, CCB dan Beta-bloker. 1
26
progresivitas kerusakan glomerular sangat minim terjadi. Selain itu, prognosis SN
sangat tergantung penyebabnya, pasien dengan glumerulosklerosis fokal (GFS),
hanya 10% yang mengalami remisi proteinuria. penyakit gagal ginjal kronik dapat
muncul 25-30% pasien dengan GFS dalam 5 tahun, dan 30-40% dalam 10 tahun. 1
27
DAFTAR PUSTAKA
28
Sistem gastrointestinal: inspeksi kesan cembung, ruam (-), peristaltik usus (+)
kesan normal, perkusi bunyi timpani di seluruh kuadran abdomen, tes shifting
dullness (+), ascites (+). Palpasi nyeri tekan (-), hepar dan limpa tidak teraba.
Ekstremitas: akral hangat (+), edema (-), pucat (-).
Genitalia: scrotum dan penis edema (+).
Produksi Urine:
Waktu Jumlah Urine Warna Urine
19.00 200 cc Kuning
01.51 150 cc Kuning
Total 350 cc
291
12
212
Pemeriksaan Urinalisis
No. Jenis Hasil Nilai Interpretasi
Pemeriksaan Pemeriksaan Normal
<6,5: Asam Netral
1. pH 6,5
>6,5 : Basa
2. Berat Jenis 1,025
3. Protein +3 Negatif ↑
4. Glukosa - Negatif Normal
5. Keton - Negatif Normal
6. Bilirubin - Negatif Normal
7. Urobilinogen Normal Normal Normal
8. Nitrit - Negatif Normal
9. Leukosit (+/-) Negatif ↑
10. Eritrosit +1 Negatif ↑
11. Sedimen
- Leukosit 7 0-2 ↑
- Eritrosit 12 0-1 ↑
- Silinder - Negatif Normal
- Epitel + Positif Normal
- Kristal - Negatif Normal
Assesment (A):
Sindrom Nefrotik
Plan (P):
a. Medikamentosa
- IVFD RL 8 gtt/menit
- Injeksi Furosemide 2 x 15 mg/IV
- Injeksi Ceftriaxone 600 mg/12 jam/IV
- Prednison 3 x 20 mg
30
121
2