Eko Wijayanto
Eko Wijayanto
Kadar kekerasan yang kian masif membuat kita berpikir, sejauh mana toleransi
berakar pada segenap jiwa warga negara. Sejauh mana warga negara sebagaimana
diamanatkan konstitusi menjunjung tinggi setiap bentuk dan ekspresi kebudayaan
sebagai khazanah bangsa.
Setidaknya ada tiga jenjang pengertian rasionalitas yang dijelaskan oleh filsuf
Richard Rorty dalam Truth and Progress ( 1998). Pertama, rasionalitas adalah
kemampuan lebih yang dimiliki makhluk hidup tertentu dibandingkan dengan
makhluk hidup lain.
Kedua, rasionalitas adalah suatu kadar moral lebih yang dimiliki orang-orang pada
umumnya dan orang-orang yang dianggap lebih beradab. Kehadiran rasionalitas
dalam diri kita berupa penalaran untuk mendeskripsikan diri ke dalam istilah-
istilah untuk membedakan dengan mereka yang kita deskripsikan sebagai
organisme nonhuman.
Kehadiran rasio seperti ini tak dapat direduksi ke dalam perbedaan tingkat atas
nama penguasaan bentuk rasional yang pertama. Rasional dalam tipe seperti ini
memberi kemampuan membangun hierarki evaluatif sebagai pertimbangan
tindakan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dibandingkan dengan
penyesuaian yang sederhana, seperti menyerah kepada tiran.
Namun, rasionalitas dalam bentuk ini dapat berjalan selaras dengan kepercayaan
atas nama ajakan dibandingkan dengan tekanan sehingga kecenderungan berdialog
selalu terpelihara untuk mengatasi bentrokan, pembakaran, ataupun pembuangan.
Rasionalitas ini adalah kebajikan yang memungkinkan individu dan komunitas
hidup berdampingan secara damai.
Kecerdasan sosial
Dalam bentuk ini kebudayaan bukanlah sebuah nama dari bentuk kebajikan, juga
bukan nama sesuatu yang penting yang hanya dimiliki oleh manusia dan tak
dimiliki hewan lain. Ahli etologi berbicara mengenai kekerabatan babon semudah
membicarakan kebudayaan di suatu pedesaan. Kedua hal itu adalah sama sebagai
kebudayaan dalam bentuk term ini.
Rorty tak menyoalkan term ini dengan distingsi manusia dengan nonmanusia.
Kebudayaan dalam term ini menyerupai rasionalitas. Namun, dalam term ini setiap
kebudayaan memiliki pembedanya berdasarkan kompleksitas dan kekayaannya di
antara satu kebudayaan dan kebudayaan lain meski berlaku pada jenis yang sama:
kebiasaan dalam tindakan.
Kebudayaan bisa juga berarti nama dari bentuk kebajikan. Dalam bentuk ini
kebudayaan dimaknai sebagai kebudayaan tinggi. Kebudayaan dipandang sebagai
kemampuan memanipulasi ide-ide abstrak hanya demi kesenangan belaka dan juga
mendiskursuskannya ke dalam perbedaan nilai-nilai yang lebih luas, seperti
lukisan, musik, arsitektur, dan tulisan.
Kebudayaan dalam term ini dapat ditentukan oleh pendidikan yang diperuntukkan
bagi kalangan orang kaya—yang kebutuhan fisiologinya sudah mapan secara
mendasar—dalam sebuah masyarakat. Kebudayaan ini sering diasosiasikan dengan
rasionalitas. Kebudayaan adalah sinonim dari apa yang dihasilkan dari penggunaan
rasionalitas. Kebudayaan dalam term ini dipandang sebagai esensi universal dari
humanisme. Rezim universal dari sebuah kebudayaan adalah tujuan sejarah umat
manusia.
Rorty meragukan sugesti semua bentuk kebudayaan adalah layak, prima facie.
Pada kenyataannya secara partikular kita tak akan dengan mudah mengakui
berbagai bentuk kebudayaan tersebut layak diapresiasi sebagai teladan karena hal
ini akan bertentangan dengan kebudayaan yang dianutnya, seolah-olah inkonsisten
terhadap keyakinan yang selama ini dijalani.
Ciri kecerdasan dalam poin ketiga terlihat jelas pada usaha Rorty dalam pandangan
filosofisnya menghadirkan suatu gagasan untuk memberi diskursus baru mengenai
perbedaan kebudayaan. Rorty mengidealkan bahwa suatu kebenaran dalam konteks
kebudayaan adalah manusia dengan perangkat nalarnya yang dapat menggali
sejarah dan mendaur ulang segala bentuk keyakinannya mengenai dunia.
EKO WIJAYANTO Dosen Filsafat UI; Peneliti Senior Indopol Research Center