Anda di halaman 1dari 5

Praktikum yang dilakukan kali ini bertujuan untuk menganalisis

Rhodamin B yang diduga terkandung dalam sampe. Sampel yang digunakan kali
ini adalah Cone ice cream berwarna merah muda yang diduga mengandung
Rhodamin B. Analisis yang dilakukan dalam percobaan kali ini yaitu analisis
kualitatif dengan metode kromatografi lapis tipis. Analisis Rhodamin B ini
dilakukan sebab rhodamin B dalam makanan perlu diawasi keberadaanya karena
rhodamin B merupakan pewarna sintesis yang biasa digunakan untuk industri
tekstil bukan sehingga penggunaan rhodamin B dalam suatu sediaan ataupun
makanan dilarang karena dapat menimbulkan dampak negatif untuk kesehatan
berupa gangguan ginjal, hati ataupun kanker.
Pertama-tama dilakukan analisis kualitatif yang berfungsi untuk
mengidentifikasi ada tidaknya keberadaan rhodamin B dalam sampel. Metode
yang digunakan kali ini adalah metode Kromatografi Lapis Tipis yang merupakan
salah satu teknik pemisahan senyawa dengan prinsip adsorpsi dan perbedaan
kepolaran “Like dissolve like”. Metode KLT dipilih karena pengujian dengan
metode ini mudah dilakukan dan memakan biaya yang cukup murah. Prinsip
kromatografi lapis tipis yaitu perbedaan kepolaran “like dissolve like” dimana
pelarut yang bersifat polar akan berikatan dengan senyawa yang bersifat polar
juga dan begitu pula sebaliknya, semakin dekat kepolaran antara senyawa dengan
eluen (fase gerak) maka senyawa akan semakin terbawa oleh fase gerak tersebut.
Tahap pertama yang dilakukan adalah preparasi sampel yang
dilakukan untuk memperoleh larutan rhodamin B dalam sampel sehingga bisa
dianalisis dengan KLT dimana sampel yang diuji harus berbentuk larutan.
Preparasi sampel dilakukan dengan cara menghaluskan sampel terlebih dahulu
untuk memudahkan pengekstrakkan senyawa Rhodamin B. Selanjutnya sampel
ditambahkan dengan larutan 2% amonia selama 30 menit untuk melarutkan
Rhodamin B semaksimal mungkin. Larutan 2% amonia dipilih dalam karena
ammonia merupakan pengikat sekaligus pelarut rhodamin B sehingga diharapkan
rhodamin B akan terambil sempurna dari sampel uji. Larutan yang dihasilkan
kemudian dipekatkan dengan cara pemanasan dan kemudian ditambah dengan
larutan asam (4 ml air : 2 ml asam asetat 10%) untuk menstabilkan rhodamin B
agar tidak berubah dari bentuk terionisasi menjadi bentuk netral.
Langkah selanjutnya yaitu memasukkan bulu domba bebas lemak
yang dibuat dengan merendam bulu domba dalam n-heksan dan mengeringkannya.
Penggunaan bulu domba merupakan pengganti dari benang wool, yang berfungsi
untuk menyerap rhodamin B dalam sampel. Pada saat itu pula Asam asetat yang
sebelumnya telah ditambahkan berfungsi sebagai pemberi suasana asam dimana
pada suasana ini rhodamin B akan tertarik oleh asam dan selanjutnya akan
terabsorbsi oleh benang wol, hal ini disebabkan karena gugus polar yang ada pada
benang wol berinteraksi dengan gugus kompleks pada sampel sehingga akan
dihasilkan warna bulu domba yang berubah dari putih menjadi merah muda sesuai
dengan warna sampel. Namun, karena sampel uji KLT harus berupa larutan maka
rhodamin dalam sampel perlu dilarutkan dengan menggunakan pelarutnya yaitu
larutan 10% ammonia sehingga didapatkan kembali larutan berwarna merah
muda.Kromatografi Lapis Tipis yang merupakan salah satu teknik pemisahan senyawa
dengan prinsip adsorpsi dan koefisien partisi. KLT dilakukan karena pengujian
menggunakan metode ini mudah dilakukan dan murah. Prinsip kromatografi lapis tipis
yaitu perbedaan kepolaran ‘like dissolve like’ dimana pelarut yang bersifat polar akan
berikatan dengan senyawa yang bersifat polar juga dan sebaliknya. Semakin dekat
kepolaran antara senyawa dengan eluent maka senyawa akan semakin terbawa oleh
fase gerak tersebut.
Selanjutnya dilakukan penyiapan fasa diam dan fasa gerak dari sistem
kromatografi lapis tipis ini. Fasa diam merupakan tempat berjalannya adsorben
sehingga proses migrasi analit oleh solventnya dapat berjalan, dalam percobaan
ini fase diam yang digunakan adalah plat alumunium., sedangkan fase gerak yang
digunakan adalah campuran butanol: etil asetat: ammonia (10: 4: 5) dengan total
volume sebanyak 6 ml. Eluen yang digunakan pada percobaan kali ini bersifat
polar, dikarenakan etil asetat dan ammonia yang bersifat polar dan butanol yang
bersifat semipolar. Pada etil asetat, adanya gugus karboksil menyebabkan sifatnya
semakin polar namun dengan semakin panjangnya rantai karbon menyebabkan
sifat polarnya semakin lemah sehingga menyebabkan etil asetat bersifat polar.
Lalu pada butanol, adanya gugus hidroksil membuat zat ini bersifat semi polar
sedangkan pada ammonia, adanya gugus amino akan membuat ammonia bersifat
polar. Penggunaan eluen yang bersifat polar ini berkaitan dengan sifat kebanyakan
zat warna yang bersifat polar termasuk Rhodamin B, juga kemudahannya untuk
dapat larut dalam alcohol dan ammonia. Oleh karenanya digunakan eluen yang
bersifat polar ini agar dapat mengelusi Rhodamin B dengan baik sebab Rhodamin
B juga bersifat polar. Selain itu, Eluen tersebut dipilih karena sifatnya lebih polar
dari fase diamnya sehingga sampel yang polar tidak terikat kuat pada fase
diamnya.
Eluen dipilih dengan kombinasi demikian karena dapat menghasilkan
spot yang bagus, pemisahannya baik, dengan waktu pemisahannya juga yang
tidak terlalu lama. Hal ini dikarenakan eluennya bersifat polar dan mudah
menguap. Penggunaan eluen ini disesuaikan dengan sifar polar Rhodamin B
karena memiliki gugus karboksil dengan pasangan elektron bebas dan gugus
amina pada struktur molekulnya. Gugus karboksil dan amina ini akan membentuk
ikatan hidrogen intermolekular dengan pelarut polar sehingga mudah larut dalam
pelarut polar. Oleh karena itu, digunakan campuran eluen polar agar dapat
mengeluasi Rhodamin B dengan baik.
Setelah dibuat eluent, maka larutan eluent tersebut dijenuhkan terlebih
dahulu. Tujuan penjenuhan adalah untuk memastikan partikel fasa gerak terdistribusi
merata pada seluruh bagian chamber sehingga proses pergerakan spot di atas fasa diam
oleh fasa gerak berlangsung optimal, dengan kata lain penjenuhan digunakan untuk
mengotimalkan naiknya eluent. Selain itu juga berfungsi untuk menghindari hasil tailing
pada pelat KLT. Untuk mengetahui kejenuhan tersebut maka digunakan kertas saring
yang disimpan diatas bagian dalam chamber. Kejenuhan ditandai dengan suhu di dalam
chamber hangat serta lembabnya kertas saring.
Selama proses penjenuhan, dilakukan persiapan fase diam. Fasa diam yang
digunakan adalah silica gel. Dalam fase diam terdapat plat tipis aluminium yang
berfungsinya untuk tempat berjalannya adsorbens sehingga proses migrasi analit oleh
solventnya bisa berjalan. Dalam KLT adsorbens yang digunakan berupa silika gel (SiO2)
yang tidak mengikat molekul air, sehingga noda yang tercipta lebih terfokus dan tajam.
Pelat Silika tersebut diberi batas atas dan bawah masing-masing 1 cm. Fungsinya sebagai
penanda jarak tempuh eluent. Batas bawah plat dibuat sedemikian rupa sehingga tidak
terendam oleh eluent. Setelah itu, dilakukan penotolan larutan baku dan sampel
menggunakan pipa kapiler. Tujuannya yaitu supaya penotolan kecil karena dalam KLT,
penotolan yang baik diusahakan sekecil mungkin untuk menghindari pelebaran spot dan
jika sampel yang digunakan terlalu banyak akan menurunkan resolusi.. Pelebaran spot
dapat mengganggu nilai Rf karena memungkinkan terjadinya himpitan puncak.
Penotolan dilakukan pada garis bawah yang telah dibuat. Kemudian dibiarkan beberapa
saat hingga mengering. Penotolan plat juga tidak boleh terlalu berdekatan untuk
menghindari bergabungnya spot masing-masing larutan dan tidak boleh terlalu pekat
untuk menghindari adanya tailing saat spot naik bersama fasa gerak.
Selanjutnya, plat dimasukkan dengan hati-hati ke dalam chamber tertutup
yang berisi fasa gerak dengan posisi fasa gerak berada di bawah garis. KLT ini
menggunakan metode ascending (naik). Kemudian fase gerak dibiarkan naik sampai
hampir mendekati batas atas plat. Fase gerak perlahan-lahan bergerak naik. Meskipun
melawan gravitasi, namun eluent bisa naik karena adanya afinitas. Dalam proses naiknya
fase gerak, komponen-komponen yang berbeda dari campuran berjalanan pada tingkat
yang berbeda sesuai dengan kepolarannya. Setelah kira-kira mencapai jarak tempuh 5
cm atau batas akhir, plat KLT diangkat dan dibiarkan kering diudara. Tujuannya untuk
menguapkan sisa pelarut yang masih terdapat pada plat untuk menjamin penguapan
telah sempurna dan agar spot jelas terlihat.
Kemudian diamati dibawah sinar UV pada panjang gelomang 254 nm dan
366 nm. UV254 dan UV366 tersebut merupakan deteksi universal yang bisa digunakan
untuk senyawa yang berfluorsensi seperti rhodamin b. Hasilnya yaitu terbentuk 2 spot
berfluoresensi berwarna merah muda kebiruan dengan jarak tempuh spot yang
berdekatan. Namun, spot yang dianalisis adalah spot yang mirip dengan spot larutan
baku Rhodamin b. Berdasarkan hasil pengukuran, diperoleh jarak spot dengan batas
bawah yaitu 3,2 cm sedangkan jarak tempuh pelarut 5 cm. Kemudian dilakukan
perhitungan Rf dengan menggunakan rumus
Rf yang didapat dari hasil pengamatan yaitu 0,64. Nilai Rf menyatakan
ukuran daya pisah suatu zat dengan kromatografi planar (KLT), dimana jika nilai Rf-nya
besar berarti daya pisah zat yang dilakukan solvent (eluenya) maksimum sedangkan jika
nilai Rf-nya kecil berarti daya pisah zat yang dilakukan solvent (eluenya) minimum. Rf
yang optimum yaitu berada pada rentang 0.5 – 0.8.
Rf sampel kemudian dibandingkan dengan Rf baku. Dalam larutan baku,
jarak spot dengan batas bawah yaitu 3,2 cm dan jarak tepuh pelarut yaitu 5 cm sehingga
diperoleh Rf yaitu 0,64. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Rf sampel yang
dianalisis sama hasilnya dengan Rf baku. Hal ini mengindikasikan bahwa sampel cone ice
cream mengandung Rhodamin b. .
Dalam KLT, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pemisahan komponen
adalah struktur kimia dari senyawa yang dipisahkan, sifat dari penyerap dan derajat
aktifitasnya, tebal dan kerataan zat penyerap, kemurnian pelarut, derajat kejenuhan,
teknik percobaan, jumlah cuplikan, temperatur, dan kesetimbangan.
Sehingga dari hasil pengujian sampel cone ice cream yang dibeli di daerah
Sayang dapat disimpulkan bahwa sampel mengandung Rhodamine B. Dimana
pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan pun telah memberikan panduan dalam
menggunakan pewarna makanan sintesis yang dengan memberikan “Daftar Pewarna
Makanan Sintesis yang Diizinkan di Indonesia” melalui Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No. 722/Menkes/Per/IX/1988. Pemerintah pun telah memberikan
informasi tentang pewarna yang tidak diizinkan digunakan sebagai pewarna makanan
dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.239/Menkes/Per/V/85
menetapkan 30 zat pewarna berbahaya.

Anda mungkin juga menyukai