Anda di halaman 1dari 5

PEMBAHASAN

Praktikum yang dilakukan kali ini adalah analisis kualitatif Rhodamin B


menggunakan metode KLT yang bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya
Rhodamin B pada sampel yang diuji. Sampel yang digunakan oleh setiap
kelompok bervariasi seperti terasi merah yang didapat dari beberapa sumber, cone
ice cream, kerupuk dan arum manis. Bahan tambahan yang digunakan untuk
memproduksi makanan tidak boleh merugikan dan berefek toksik bagi tubuh.
Rhodamin B merupakan zat pewarna yang biasa digunakan dalam tekstil dan
kertas. Zat ini tidak boleh terkandung dalam makanan dikarenakan memiliki
banyak efek berbahaya bagi kesehatan, diantaranya dapat mengakibatkan iritasi
pada saluran pencernaan, keracunan, gangguan fungsi hati hingga kanker hati
(karsinogenik) terutama jika dikonsumsi dalam jumlah yang banyak dan dalam
jangka waktu yang lama. Salah satu ciri awal suatu makanan dapat dicurigai
mengandung pewarna berbahaya seperti Rhodamin B dapat dilihat dari warna
yang lebih mencolok, warna yang tidak merata dan terdapat gumpalan warna.
Sebelum dilakukan identifikasi sampel dangan KLT, terlebih dahulu
dilakukan preparasi sampel yaitu memisahkan rhodamin yang ada pada sampel.
Untuk memisahkannya dilakukan dengan cara ekstraksi (cair-padat). Sampel yang
sudah ditimbang dilarutkan dalam 10 mL larutan amonia 2% (yang dilarutkan
dalam etanol 70%). Tujuan penggunaan etanol 70% sendiri ialah dikarenakan
rhodamin B mudah larut dalam etanol sehingga diharapkan rhodamin B dapat
tersari dengan sempurna. Rhodamin B bersifat polar yang memiliki gugus
karboksil dengan pasangan elektron bebas dan gugus amina yang ada pada
struktur molekulnya. Gugus karboksil dan amina ini nantinya akan membentuk
ikatan hidrogen intermolekular dengan pelarut polar sehingga rhodamin B mudah
larut dalam pelarut polar.
Selanjutnya adalah penyaringan larutan dengan kertas saring yang
kemudian dipindahkan ke dalam beaker glass dan dipanaskan lalu residu dari
penguapan dilarutkan dalam 6 mL air yang mengandung asam, larutan asam berisi
4 ml air dan 2 ml asam asetat 10% lalu wol dimasukan kedalam larutan tersebut
kemudian dipanaskan kembali. Proses pemanasan dilakukan untuk mempercepat
reaksi penarikan zat warna ke dalam benang wol. Pemanasan selesai setelah zat
warna dalam larutan asam tertarik sempurna. Metode wool sendiri merupakan
suatu metode penarikan zat warna dengan benang wol yang dimana prinsipnya
adalah penarikan zat warna dari sampel ke dalam benang wol bebas lemak dalam
suasan asam dengan pemanasan yang dilanjutkan dengan pelunturan atau
pelarutan warna oleh suatu basa.
Benang wol itu sendiri tersusun atas ikatan peptida yang di dalamnya
terdapat ikatan sistina, asam glutamat, lisin dan asam aspartik serta arginin.
Rhodamin B dapat melewati lapisan kutikula melalui perombakan sistina menjadi
sistein dengan suatu asam. Sistein terbentuk melalui pecahnya ikatan S-S dari
sistina karena adanya asam asetat, setelah ikatan itu terbuka maka rhodamin B
dapat masuk ke dalam benang wol dan berikatan pada COO- dari asam aspartik
dan +NH3 dari arginin (Utami dan Suhendi, 2009).

Penggunaan wol disini berfungsi untuk menjerap warna dari makanan


tersebut. Setelah zat warna tertarik sempurna ke wo, wol diangkat dan dicuci
dengan air kemudian dimasukkan ke dalam larutan basa yaitu larutan ammonia
10% (dilarutkan dalam etanol 70%) sebanyak 10 mL. Larutan basa yang
mengandung zat warna dipekatkan dan kemudian akan digunakan sebagai
cuplikan sampel pada analisis kromatografi lapis tipis. Tujuan pemekatan larutan
basa ini adalah untuk menguapkan pelarut yang masih ada di dalamnya agar pada
saat penotolan pada plat KLT, yang tertotol hanyalah senyawa yang ingin
diidentifikasi saja. Pemekatan larutan basa dilakukan dengan melakukan
pemanasan diatas penangas air. Pada proses penotolan, digunakan pipa kapiler
agar sampel yang ditotolkan kecil dan tidak terlalu lebar sehingga pemisahan
dapat berlangsung secara sempurna dan identifikasi menjadi lebih mudah. Dalam
penotolan sampel, harus diperhatikan dengan teliti. Penotolan yang baik
diusahakan kecil untuk menghindari adanya pelebaran karena jika terjadi
pelebaran sampel akan menurunkan nilai resolusi dan dapat mengganggu nilai Rf
karena memungkinkan adanya himpitan puncak. Penotolan plat juga tidak boleh
terlalu berdekatan untuk menghindari bergabungnya spot dari kedua larutan dan
tidak boleh terlalu pekat untuk menghindari adanya tailing saat terelusidengan
fase gerak. Tetapi jika terlalu encer maka sampel tidak akan terdeteksi. Eluen bisa
naik karena adanya afinitas.
Selanjutnya dilakukan penyiapan fase diam dan fase gerak dari sistem
kromatografi lapis tipis. KLT dilakukan karena pengujian menggunakan metode
ini relatif mudah dan murah. Prinsip dari kromatografi lapis itu sendiri yaitu
perbedaan kepolaran atau bisa disebut juga dengan “like dissolve like” dimana
pelarut yang bersifat polar akan berikatan dengan senyawa yang bersifat polar dan
begitupula sebaliknya, pelarut yang bersifat non-polar akan berikatan dengan
senyawa yang bersifat non-polar. Prinsip lain dari KLT adalah adsorbsi dan partisi
dimana adsorbsi adalah penyerapan pada permukaan sedangkan partisi adalah
penyebaran atau kemampuan suatu zat yang ada dalam larutan untuk berpisah ke
dalam pelarut yang digunakan, semakin dekat kepolaran antara senyawa dengan
eluen maka senyawa akan semakin terbawa oleh fase gerak tersebut. Kecepatan
gerak senyawa-senyawa ke atas pada lempeng fase diam tergantung pada
kelarutan senyawa dalam pelarut (kepolaran) dan besarnya interaksi antara
molekul-molekul senyawa dengan eluen maupun fase diam.
Dalam metode KLT, akan didapatkan nilai Rf sampel yang akan
dibandingkan dengan nilai Rf baku Rhodamin untuk mendeteksi keberadaan
Rhodamin B dalam sampel yang diuji. Nilai Rf menyatakan ukuran daya pisah
suatu zat dengan metode Kromatografi Lapis Tipis. Jika nilai Rf besar, maka daya
pisah zat terhadap eluen maksimum, sedangkan jika nilai Rf kecil, maka daya
pisah zat terhadap eluen minimum. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
pemisahan komponen adalah struktur kimia dari senyawa yang dipisahkan, sifat
dari penjerap dan derajat aktifitasnya, tebal dan kerataan zat penyerap, kemurnian
pelarut, derajat kejenuhan, teknik percobaan, jumlah cuplikan, temperatur, dan
kesetimbangan.
Fase diam yang digunakan adalah plat silika yang merupakan tempat
berjalannya adsorben sehingga proses migrasi analit oleh solven-nya dapat
berjalan, sedangkan fase gerak yang digunakan adalah campuran butanol : etil
asetat : ammonia (10 : 4 : 5). Eluen yang digunakan kali ini bersifat polar,
dikarenakan ammonia dan etil asetat yang bersifat polar dan butanol yang bersifat
semi polar. Pada ammonia, adanya gugus amino yang membuat ammonia bersifat
polar, pada etil asetat dikarenakan adanya gugus karboksil yang menyebabkan
sifatnya semakin polar, namun dengan adanya rantai karbon panjang sifat
polarnya semakin lemah karena semakin panjang rantai karbon maka semakin
lemah sifat kepolaran suatu zat dan terakhir pada butanol, dengan adanya gugus
hidroksil inilah yang membuat zat ini bersifat semi polar. Dalam KLT, dilakukan
penjenuhan eluen di dalam chamber dengan tujuan untuk memastikan partikel
fase gerak terdistribusi merata pada seluruh bagian chamber sehingga proses
pergerakan spot di atas fase diam oleh fasa gerak berlangsung optimal. Untuk
mengetahui kejenuhan tersebut, digunakan kertas saring yang disimpan di atas
bagian dalam chamber dan juga ditandai dengan suhu di dalam chamber hangat
serta terbasahinya kertas saring.
Penggunaan eluen yang bersifat polar dikarenakan senyawa yang
diidentifkasi pun besifat polar yaitu rhodamin B, tujuan dari penggunaan eluen
yang polar ini dikarenakan kemudahannya larut dalam alkohol dan ammonia.
Oleh karena itu digunakanlah eluen yang bersifat polar agar dapat mengelusi
rhodamin B dengan baik dan karena sifatnya lebih polar daripada fase diamnya.
Dipilihnya campuran eluen tersebut karena dapat menghasilkan spot yang bagus,
pemisahan yang baik dan waktu pemisahan yang tidak terlalu lama. Adsorben
yang digunakan dalam metode KLT ini adalah silika gel (plat) yang tidak
mengikat air sehingga noda yang tercipta saat KLT lebih terlihat jelas. Plat silika
kemudian diamati dibawah sinar UV panjang gelombang 254 nm dan 366 nm.
Dari hasil pengamatan, didapatkan hasil pada panjang gelombang 254 nm berupa
plat berpendar dan pada panjang gelombang 366 nm berwarna kuning-orange.
Nilai Rf sampel dibandingkan dengan nilai Rf baku. Pada hasil yang
didapat dari sampel yang digunakan, nilai Rf sampel dan nilai Rf baku sama yaitu
0,58 sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat rhodamin B dalam sampel terasi
merah yang dibeli dari Pasar Kiaracondong Bandung yang diuji dan dapat
dikatakan sampel yang diuji tersebut tidak layak untuk dikonsumsi. Karena
banyaknya makanan yang mengandung bahan-bahan berbahaya maka sebagai
konsumen, harus lebih selektif dalam memilih produk makanan yang akan
dikonsumsi.
Selain terasi merah dari Pasar Kiaracondong Bandung, sampel lain yang
diuji yaitu cone ice cream (kelompok 1), terasi merah dari Sukawening (kelompok
2), terasi merah dari Desa Sayang (kelompok 4), kerupuk sosis (kelompok 5), dan
arum manis (kelompok 6). Pada sampel cone ice cream, Rf sampel dan baku
Rhodamin B memiliki nilai yang sama yaitu 0,67 sehingga dapat disimpulkan
bahwa terkandung Rhodamin B dalam sampel cone ice cream. Pada sampel terasi
merah dari Sukawening, nilai Rf sampel adalah 0,95 sedangkan nilai Rf baku
Rhodamin B adalah 0,875 sehingga dapat disimpulkan sampel tersebut tidak
mengandung Rhodamin. Pada sampel terasi merah dari Desa Sayang, nilai Rf
sampel adalah 0,78 sedangkan nilai Rf baku Rhodamin B adalah 0,8 karena nilai
keduanya hampir sama, maka dapat disimpulkan sampel tersebut mengandung
Rhodamin. Pada sampel kerupuk sosis dan arum manis, nilai Rf baku Rhodamin
B berturut-turut adalah 0,46 dan 0,8, sedangkan nilai Rf sampel tidak didapatkan
(tidak terelusi).

Simpulan
Berdasarkan hasil identifikasi keberadaan Rhodamin B secara kualitatif dengan
metode wool dan kromatografi lapis tipis, didapatkan nilai Rf sampel dan baku
Rhodamin yang sama yaitu sebesar 0.58, sehingga dapat disimpulkan bahwa
sampel terasi merah dari Pasar Kiaracondong Bandung positif mengandung
Rhodamin B dan tidak layak dikonsumsi.

Sumber

Utami, W dan Suhendi, A. 2009. Analisis Rhodamin dalam Jajanan Pasar dengan
Metode Kromatografi Lapis Tipis. Jurnal Penelitian Sains & Teknologi.
10(2) : 148-155

Anda mungkin juga menyukai