Anda di halaman 1dari 4

A.

Refluks
Prinsip dari metode refluks adalah pelarut volatil yang digunakan akan
menguap pada suhu tinggi, namun akan didinginkan dengan kondensor sehingga
pelarut yang tadinya dalam bentuk uap akan mengembun pada kondensor dan
turun lagi ke dalam wadah reaksi sehingga pelarut akan tetap ada selama reaksi
berlangsung (Sudjadi, 1986). 
Penarikan komponen kimia dilakukan dengan memasukan 5 gram simplisia
(daun sempedak) ke dalam labu alas bulat bersama-sama dengan cairan penyari
(etanol) sebanyak 100 ml dan direfluks selama satu jam dengan suhu 50 derajat
celcius. Kemudian menyaring hasil filtrat yang didapatkan agar residu nya tidak
ikut tercampur, lalu memasukan hasil filtrat ke dalam cawan porselin yang
sebelumnya sudah ditimbang untuk diuapkan diatas waterbath hingga menjadi
ekstrak kental. Setelah proses selesai, timbang dan hitung hasil rendemen dengan
rumus bobot ekstrak / bobot simplisia x 100%.
Bobot ekstrak yang diperoleh adalah 0,18 gram. Sedangkan, bobot simplisia
awal adalah 5 gram, sehingga hasil rendemen yang diperoleh pada saat praktikum
adalah 3,6% dimana, semakin tinggi nilai rendemen yang dihasilkan menandakan
nilai ekstrak yang dihasilkan semakin banyak. Kualitas ekstrak yang dihasilkan
biasanya berbanding terbalik dengan jumlah rendamen yang dihasilkan. Semakin
tinggi nilai rendamen yang dihasilkan maka semakin rendah mutu yang di
dapatkan.

B. Fraksinasi
Fraksinasi merupakan proses pemisahan antara zat cair dengan zat cair.
Fraksinasi dilakukan secara bertingkat berdasarkan tingkat kepolaran, yaitu non
polar, semi polar dan polar. Senyawa yang memiliki sifat non polar akan larut
dalam pelarut non polar, yang semi polar akan larut dalam pelarut semi polar dan
yang bersifat polar akan larut dalam pelarut polar (Harborne, 1987).
Proses fraksinasi dimulai dengan melarutkan ekstrak kental daun cempedak
yang sudah diperoleh dari hasil refluks ke dalam aquadest sebanyak 50 ml lalu
memasukan ke dalam corong pisah berbentuk kerucut yang ditutupi setengah
bola. Menambahkan n-hexan sebanyak 30 ml lalu digoyangkan atau digojok
searah dengan sesekali membuka keran untuk mengeluarkan gas yang ada dalam
corong pisah. Mendiamkan dengan posisi vertikal selama 10 menit hingga terjadi
pemisahan yang jelas antara dua fase tersebut. Setelah terjadi pemisahan, buka
keran corong secara hati-hati untuk mengontrol campuran yang sedang
dipisahkan. Senyawa yang bersifat polar (aquadest) akan berada di fase bawah
dan senyawa yang bersifat non polar (n-hexan) akan berada di fase atas. Hal ini
terjadi karena adanya perbedaan berat jenis antar pelarut. Ambil senyewa yang
diperlukan berdasarkan masing-masing fraksi untuk identifikasi berikutnya
menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Senyewa yang kami perlukan
dalam praktikum ini adalah n-hexan.

C. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)


Prinsip kerja KLT berdasarkan pada adsorpsi dan partisi, dimana sampel akan
berpisah berdasarkan perbedaan kepolaran antara sampel dengan pelarut yang
digunakan. Teknik ini menggunakan fase diam dari bentuk plat silica. Sedangkan
fase gerak menggunakan kloroform (4), metanol (0,5) dan etil asetat (0,5) untuk
penjenuhan chamber.
Penjenuhan chamber dilakukan dengan melapisi dinding bagian dalam
chamber kromatografi dengan kertas saring, sekurang-kurangnya setengah
keliling chamber dan hampir mencapai bagian atas bejana. Tujuannya sebagai
parameter tingkat kejenuhan chamber terhadap uap eluen atau fase gerak. Setelah
itu sejumlah eluen dimasukkan ke dalam chamber kromatografi hingga tinggi
permukaan eluen dalam chamber kurang lebih 2 cm. Tutup rapat chamber dan
biarkan hingga seluruh isi chamber jenuh dengan uap eluen, yang ditunjukkan
oleh terbasahinya seluruh permukaan kertas saring pada dinding bagian dalam
chamber oleh eluen. Chamber harus berada dalam kondisi jenuh oleh uap eluen
sebelum digunakan untuk elusi agar elusi bejalan stabil. Sedapat mungkin
menggunakan chamber sekecil mungkin, sehingga kejenuhan dan homogenitas
atmosfer dalam chamber lebih mudah dicapai.
Setelah penjenuhan chamber dilakukan, maka proses selajutnya adalah
menghidupkan oven dengan suhu 100 derajat celcius, memotong plat KLT
berukuran 10 cm x 2,5 cm dengan garis batas atas dan garis batas bawah masing-
masing 1 cm untuk satu totolan, mengaktifkan plat KLT menggunakan oven
selama 10 menit, lalu menotolkan fraksi ke dalam plat menggunakan pipa kapiler,
kemudian memasukkan plat yang sudah ditotolkan tersebut ke dalam chamber
yang sudah dilakukan penjenuhan sebelumnya. Tunggu hingga proses elusi naik
mencapai batas atas, lalu keringkan.
Kemudian melihat bercak dengan UV 254 dan UV 366, menyemprotkan
pereaksi penanda metabolit sekunder menggunakan pereaksi dragendroff pada
plat untuk melakukan uji alkaloid, lalu melihat bercak pada sinar tampak, UV 254
dan UV 366. Setelah proses selesai, ukur nilai RF (Faktor Retensi atau Retention
Factor) dengan rumus jarak yang ditempuh oleh senyawa pada permukaan fase
diam dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut sebagai fase gerak.
Semakin besar nilai RF dari sampel maka semakin besar pula jarak
bergeraknya senyawa tersebut pada plat kromatografi lapis tipis. Saat
membandingkan dua sampel yang berbeda di bawah kondisi kromatografi yang
sama, nilai RF akan besar bila senyawa tersebut kurang polar dan berinteraksi
dengan adsorbent polar dari plat kromatografi lapis tipis (Sa’adah, 2010).
Nilai RF sangat karakterisitik untuk senyawa tertentu pada eluen tertentu. Hal
tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya perbedaan senyawa
dalam sampel. Senyawa yang mempunyai RF lebih besar berarti mempunyai
kepolaran yang rendah, begitu juga sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan fase
diam bersifat polar. Senyawa yang lebih polar akan tertahan kuat pada fase diam,
sehingga menghasilkan nilai RF yang rendah. RF KLT yang bagus berkisar antara
0,2 – 0,8. Jika RF terlalu tinggi, yang harus dilakukan adalah mengurangi
kepolaran eluen, dan sebaliknya (Underwood, 1988).
Hasil pendeteksian senyewa menggunakan UV 366, UV 254 maupun dengan
sinar tampak pada saat praktikum didapatkan bahwa plat berwarna gelap sehingga
jarak noda tidak dapat diketahui dan nilai RF tidak bisa dihitung. Hal ini dapat
terjadi karena posisi penotolan senyewa pada plat tidak tepat ditengah sehingga
menyebabkan proses elusi tidak naik lurus menuju garis atas.

Anda mungkin juga menyukai