Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Seiring berjalannya teknologi dan ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia,
maka manusia juga mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan, salah
satu bukti kemajuan dari teknologi manusia adalah sediaan suspensi yang dapat
menyetukan dua unsur yang tidak dapat menyatu apabila terdapat di alam. Namun,
sediaan suspensi masih sangat asing dikenal oleh masyarakat dan bahkan oleh tenaga
kesehatan itu sendiri, oleh karena itu makalah ini dibuat agar masyarakat lebih
memahami tentang sediaan suspensi beserta seluk beluknya, agar sesuai dengan
kaidah yang berlaku dan sesuai dengan tujuan pembuatnya.
obat adalah suatu bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam
menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuh penyakit
atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah atau rohaniah pada manusia atau
hewan, memperelok badaan atau bagian badan manusia.
Dalam bidang industri farmasi, perkembangan teknologi farmasi sangat
berperan aktif dalam peningkatan kualitas produksi obat-obatan. Hal ini banyak
ditunjukkan dengan banyaknya sediaan obat yang disesuaikan dengan karakteristik
dari zat aktif obat, kondisi pasien dan peningkatan kualitas obat dengan
meminimalkan efek samping obat tanpa harus mengurangi atau mengganggu dari efek
farmakologis zat aktif obat .
Suspensi adalah sediaan cair yang mengandung partikel padat tidak larut yang
terdispersi dalam fase cair. Beberapa suspensi dapat langsung digunakan, sedangkan
yang lain berupa campuran padat yang harus dikonstitusikan

1
2. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan sediaan suspensi rekonstitusi ?
2. Apa saja persyaratan sediaan suspensi rekonstitusi ?
3. Bagaimana pre formulasi sediaan sediaan suspensi rekonstitusi ?
4. Bagaimana evaluasi sediian suspensi rekosntitusi ?
5. Bagaimana pemilihan wadah sediaan suspensi rekonstitusi ?
6. Bagaiamana cara manufaktur sediaan suspensi ?

3. TUJUAN
1. Untuk mengetahui dfinisi dari sediaan suspnsi rekonstitusi
2. Untuk mengetahui persyaratan sediaan suspensi rekonstitusi
3. Untuk mengetahui pre formulasi sediaan suspensi rekonstitusi
4. Untuk mengetahui evalusia dari sediaan suspensi rekonstitusi
5. Untuk mengetahui pemilihan wadah dari sediaan suspensi rekonstutusi
6. Untuk mengetahui cara manufaktur dari sediaan suspensi

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI
Suspensi adalah sediaan cair yang mengandung partikel padat tidak larut terdispersi
dalam fase cair. Suspensi terdiri dari suspensi oral dan suspensi topikal. Suspensi topikal
adalah sediaan cair mengandung partikel padat yang terdipersi dalam pembawa cair yang
ditujukan untuk penggunaan pada kulit. Beberapa suspensi yang diberikan etiket sebagai lotio
termasuk dalam kategori ini (FI IV hal 17) . Suspensi merupakan sistem heterogen dimana
terdapat 2 fase yaitu fase kontinyu atau fase luar dan fase terdispersi atau fase dalam. Fase
kontinyu ini umumnya merupakan cairan atau semi padat sedangkan fase terdispersinya
terbuat dari partikel-partikel kecil yang pada dasarnya tidak larut melainkan terdispersi
seluruhnya dalam fase kontinyu.
Suspensi kering adalah suatu campuran padat yang ditambahkan air pada saat akan
digunakan. Agar campuran setelah ditambahkan air membentuk disperse yang homogeny
maka dalam formulanya digunakan bahan pensuspensi. Suspensi yang siap digunakan atau
yang dikonstitusikan dengan sejumlah air untuk injeksi atau pelarut lain yang sesuai sebelum
digunakan, suspensi tidak boleh diinjeksikan secara intravena dan intratekal.
Alasan Pembuatan Suspensi Kering (Pharm.Dosage Forms :Disperse System, 1989,
Vol 2, hal 318, hlm 317) Umumnya, suatu sediaan suspensi kering dibuat karena stabilitas
zat aktif di dalam pelarut air terbatas, baik stabilitas kimia atau stabilitas fisik. Umumnya
antibiotik mempunyai stabilitas yang terbatas di dalam pelarut air.

2.2 PERSYARATAN SUSPENSI REKONSTITUSI


Menurut : (Pharm.Dosage Forms :Disperse System, 1989, Vol 2, hal 318)
 Campuran serbuk/granul haruslah merupakan campuran yang homogen, sehingga
konsentrasi/dosis tetap untuk setiap pemberian obat.
 Selama rekonstitusi campuran serbuk harus terdispersi secara cepat dan sempurna
dalam medium pembawa.
 Suspensi yang sudah direkonstitusi harus dengan mudah didispersikan kembali dan
dituang oleh pasien untuk memperoleh dosis yang tepat dan serba sama.
 Produk akhir haruslah menunjukkan penampilan, rasa, dan aroma yang menarik.

3
2.3 PREFORMULASI
A. Formulasi Umum Suspensi Rekonstitusi (Pharm.Dosage Forms :Disperse System,
1989, Vol 2, hlm. 319)
Aspek formulasi yang harus diperhatikan dalam merancang bentuk sediaan suspensi:
ukuran partikel, pemakaian zat pembasah (jika diperlukan), suspensi yang akan
dibentuk (flokulasi/deflokulasi) . Kriteria pemilihan komponen didasarkan pada
kesesuaian untuk rekonstitusi dan jenis bentuk fisik campuran serbuk yang
dibutuhkan. Di dalam mengembangkan formulasi, bahan yang digunakan sebaiknya
seminimal mungkin karena makin banyak bahan akan makin menimbulkan masalah
seperti masalah inkompatibilitas akan meningkat dengan makin banyaknya bahan
yang dicampurkan. Oleh karena itu, sedapat mungkin eksipien yang digunakan adalah
yang benar-benar dibutuhkan dalam formulasi. Sangat dianjurkan menggunakan
eksipien yang dapat berfungsi lebih dari satu macam saja. Semua eksipien harus
sesegera mungkin terdispersi pada saat direkonstitusi.

B. Komponen yang Terdapat Dalam Suspensi Rekonsitusi Terdiri Dari :


1. Zat aktif
Zat aktif dengan kelarutan yang relatif kecil di dalam fasa pendispersi. Sifat partikel
yang harus diperhatikan adalah ukuran partikel dan sifat permukaan padat-cair
(hidrofob/hidrofil).

2. Bahan Pensuspensi (Pharm.Dosage Forms :Disperse System, 1989, Vol 2, hlm.


320) Bahan ini digunakan untuk memodifikasi viskositas dan menstabilkan zat yang
tidak larut dalam medium pendispersi. Bahan pensuspensi yang digunakan harus
mudah terdispersi dan mengembang dengan pengocokan secara manual selama
rekonstitusi. Zat pensuspensi yang membutuhkan hidrasi, suhu tinggi atau
pengadukan dengan kecepatan tinggi untuk pengembangannya tidak dapat
digunakan, misalnya agar, karbomer, meilselulosa. Walaupun metilselulosa dan Al
Mg silikat tidak dianjurkan digunakan, tetapi ternyata baik sekali untuk formula
cephalexin dan eritromisin etil suksinat.
Tragakan akan menghasilkan campuran yang kental dan digunakan untuk
mensuspensikan partikel yang tebal. Alginat akan menghasilkan campuran yang
kental. Iota karagenan akan menghasilkan dispersi tiksotropik. Tetapi, kelemahan
penggunaan ketiga zat tersebut yang merupakan gum alam adalah terjadinya variasi

4
atau perbedaam dalam warna, kekentalan, kekuatan gel, dan kecepatan hidrasi.
3. Pemanis (Pharm.Dosage Forms : Disperse System, 1989, Vol 2, hlm. 321-322) Obat
umumnya pahit dan rasanya tidak enak. Untuk mengatasi hal ini sukrosa selain
digunakan sebagai pemanis, berperan pula sebagai peningkat viskositas dan
pengencer padat. Sukrosa dapat pula dihaluskan untuk meningkatkan luas permukaan
dan dapat pula digunakan sebagai pembawa untuk komponen yang berbentuk cair
misalnya minyak atsiri. Pemanis lain yang dapat digunakan: manitol, aspartam,
dekstrosa, dan Na sakarin. Aspartam cukup stabil tetapi tidak tahan panas.
4. Wetting agent (Pharm.Dosage Forms :Disperse System, 1989, Vol 2, hlm. 322)
Wetting agent ini dipakai jika zat aktif bersifat hidrofob. Zat yang hidrofob menolak
air, untuk mempermudah pembasahan ditambahkan wetting agent. Wetting agent ini
harus efektif pada konsentrasi kecil. Wetting agent yang berlebihan akan
mengakibatkan pembentukan busa dan rasa yang tidak menyenangkan. Yang lazim
digunakan adalah Tween 80, non ionik, kebanyakan kompatibel dengan eksipien
kationik dan anionik dari obat. Konsentrasi yang biasa digunakan adalah <0,1%. Zat
lain yang lazim digunakan adalah Na lauril sulfat, anionik, inkompatibel dengan obat
kationik.
5. Dapar (Pharm.Dosage Forms :Disperse System, 1989, Vol 2, hlm. 322)
Untuk mencapai pH yang optimum dari semua bahan yang ditambahkan. Untuk
mengatur stabilitas dan menjaga agar obat tetap berada dalam keadaan tidak larut.
Dapar yang lazim digunakan adalah dapar sitrat
6. Pengawet (Pharm.Dosage Forms :Disperse System, 1989, Vol 2, hlm. 322)
Pengawet untuk suspensi rekonstitusi terbatas karena kelarutannya rendah pada suhu
kamar. Sukrosa pada konsentrasi 60% w/w dapat mencegah pertumbuhan mikroba.
Pengawet yang umum digunakan adalah sukrosa, kalium sorbat, natrium benzoat,
natrium metil hidroksibenzoat. Natrium benzoat cukup efektif dalam pH asam dimana
molekul tidak mengalami ionisasi. Diperlukan untuk mencegah pertumbuhan
mikroba, tidak dianjurkan pemakaian asam sorbat dan senayawa paraben.
7. Flavor (Pharm.Dosage Forms :Disperse System, 1989, Vol 2, hlm. 323) Digunakan
secukupnya untuk meningkatkan penerimaan pasien penting sekali untuk anakanak.
Harus dilihat peraturan Menkes terutama zat yang boleh digunakan.
8. Pewarna (Pharm.Dosage Forms :Disperse System, 1989, Vol 2, hlm. 323) Pewarna
digunakan untuk meningkatkan estetika. Penggunaan pewarna ini harus diperhatikan,
karena dapat terjadi inkompatibilitas dengan zat lain karena faktor ionik, misalnya
5
FD&C Red No.3 yang merupakan garam dinatrium, merupakan senyawa anionik dan
inkompatibel dengan wetting agent kationik.
9. Anti caking (Pharm.Dosage Forms :Disperse System, 1989, Vol 2, hlm. 323)
Digunakan amorphous silica gel. Masalah umum yang terjadi dalam pencampuran
serbuk adalah aliran yang jelek dan caking, karena terjadi aglomerasi akibat lembab.
Sebagai pengering, bahan ini dapat menarik kelembaban dari campuran serbuk
kering untuk mempermudah aliran serbuk dan mencegah caking. Selain itu zat ini
akan memisahkan partikel tetap kering untuk mencegah penyatuan, juga berfungsi
sebagai isolator termal, menghalangi dan mengisolasi kondisi muatan dan secara
kimia bersifat inert.

C. Eksipien (Pharm.Dosage Forms :Disperse System, 1989, Vol 2, hlm. 319)

Eksipien yang Biasa Eksipien yang Tidak Biasa


Ditambahkan Ditambahkan
Suspending agent Anticaking
Wetting agent Flocculating agent
Pemanis Solid diluent
Pengawet Antibusa
Flavor Desintegran granul
Dapar Antioksidan
D. Contoh formulasi suspensi rekonstitusi
Pewarna Lubrikan
1. Amoksisilin/Amoxicillinum (Farmakope Indonesia IV tahun 1995 hal. 95-96,
Drug Information 2010 hal. 323-326)
 Rumus Molekul : C16H19N3O5S.3H2O
 Bobot Molekul : 419,45 (trihidrat); 365,40 (anhidrat)
 Pemerian : Serbuk hablur, putih; praktis tidak berbau.
 Kelarutan : Sukar larut dalam air dan metanol; tidak larut dalam benzena,
dalam karbon tetraklorida dan dalam kloroform.
 Khasiat : Infeksi gram negatif dan gram positif, pengobatan infeksi saluran
napas bagian atas.
 Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat; pada suhu kamar terkendali.
 Dosis : 125 mg/5 mL (dewasa); 40 mg/kg per hari (tiap 8 jam); anak-anak : 45
mg/kg per hari (tiap 12 jam).

6
 Stabilitas : Stabil pada suhu 2-8oC selama 14 hari
 pH : 3,5-6,0

B. Zat Tambahan (Eksipien)

1. Tragakan (Farmakope Indonesia IV tahun 1995 hal. 799, Handbook of


Pharmaceutical Excipient VI tahun 2009 hal. 744)
 Pemerian : Tidak berbau, mempunyai rasa tawar, seperti lendir, berwarna
putih sampai kuning.
 Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, dalam etanol 95% dan pelarut organik
lain.
 Kegunaan : Zat pensuspensi (suspending agent)
 pH : 4,0-8,0
 Konsentrasi : < 15%
 OTT : Mineral kuat dan asam organik dapat menurunkan viskositas dispersi
tragakan. Pada pemanasan dispersi tragakan, viskositas akan menurun dengan
penambahan alkali atau NaCl.
 Stabilitas : Stabil pada pH 5. Serbuk tragakan stabil, gel tragakan dapat
dikontaminasi mikroorganisme. Oleh sebab itu, larutan stock tragakan harus
terdapat antimikroba yang cocok.
 Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
2. Sorbitolum/Sorbitol (Farmakope Indonesia IV tahun 1995 hal. 756, Handbook of
Pharmaceutical Excipients VI tahun 2009 hal. 679-680)
 Rumus Molekul : C6H14O6
 Bobot Molekul : 182,17
 Pemerian : Serbuk, granul atau lempengan, higroskopis, warna putih, rasa
manis.
 Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, sukar larut dalam etanol, dalam
metanol dan dalam asetat.
 Kegunaan : Stabilizing agent, wetting agent
 Konsentrasi : Pembasah : 3-15% ; suspensi oral : 70%
 Bobot Jenis : 1,507 gram/cm3
 pH : 4,5-7,0

7
 Stabilitas : Secara relatif inert dan stabil dengan semua eksipien, stabil di
udara, cair dalam suasana asam dan alkali.
 Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.
 OTT : Akan membentuk kelat dengan banyak ion logam bivalen dan trivalen
dengan kuat dalam suasana asam dan alkali.
3. PVP/Povidone/Polyvinylpyrrolidone (Handbook of Pharmaceutical Excipient VI tahun
2009 hal. 581-582)
 Rumus Molekul : (C6H9NO)n
 Bobot Molekul : 2.500-3.000.000
 Pemerian : Serbuk putih/putih kekuningan, berasa atau hampir tidak berasa,
higroskopis.
 Kelarutan : Mudah larut dalam asam, kloroform, etanol, keton, metanol, dan
air. Praktis tidak larut dalam eter hidrokarbon dan minyak mineral.
 pH : 6,0
 Kegunaan : Zat pengikat
 Penyimpanan : Wadah tertutup rapat dan simpan di tempat sejuk dan kering.
 Konsentrasi : 0,5-5%
 OTT : Tidak bercampur dalam larutan garam organik, pada konsentrasi yang
luas, resin alam, dan sintesis.
 Stabilitas : Stabil pada pemanasan 110-130oC.
4. Natrium Benzoat (Handbook of Pharmaceutical Excipient hal. 146, Farmakope Indonesia
IV hal. 584)
 Rumus Molekul : C6H5COONa
 Bobot Molekul : 144,11
 Pemerian : Granul atau serbuk hablur putih, tidak berbau atau praktis tidak
berbau dan stabil di udara
 Kelarutan : Mudah larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol, dan lebih
mudah larut dalam etanol 90%
 pH : 8 pada suhu 25oC
 Khasiat dan kegunaan : Pengawet antimikroba, lubrikan tablet dan kapsul
 Penyimpanan : Wadah tertutup rapat, kering dan sejuk, serta terlindung dari
cahaya
 Konsentrasi : 0,02-0,5% (oral)

8
 OTT : Senyawa kuartener, gelatin, garam feri, garam kalsium. Aktivitas
pengawet biasanya berkurang karena interaksi dengan kaulin atau surfaktan
non-ionik
 Stabilitas : Larutan aqua disterilkan dengan autoclaving/filtrasi
5. Colloidal Silicon Dioxide/Aerosil (Handbook of Pharmaceutical Excipient VI tahun 2009
hal. 185-187)
 Rumus Molekul : SiO2
 Bobot Molekul : 60,08
 Pemerian : Silika submikroskopik dengan ukuran partikel sekitar 15 nm.
Berwarna putih kebiruan, tidak berbau, tidak berasa, serbuk amorf.
 Kelarutan : Praktis tidak larut dalam pelarut organik, air dan asam, kecuali
asam hidrofluoric. Larut dalam larutan panas alkali hidroxide. Bentuk kolodial
jika didispersikan dengan air, kelarutan dalam air 150 mg/L pada suhu 25oC
pH 7.
 Kegunaan : Glidant (memperbaiki sifat alir)
 Konsentrasi : 0,1-1,0%
 OTT : Dengan dietilstilbestrol
 Bobot Jenis : 0,02 gram-0,042 gram/cm3
 Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat dan tempat yang sejuk dan kering.
6. Etanol (Handbook of Pharmaceutical Excipient VI tahun 2009 hal. 17)
 Rumus Molekul : C2H6O
 Bobot Molekul : 46,07 gram/mol
 Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, mudah menguap.
 Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air.
 Kegunaan : Pelarut (untuk PVP)
 Konsentrasi : variable (untuk pelarut suspensi oral)
 OTT : Tidak bercampur dengan larutan asam kuat dan larutan asam yang
mengandung logam seperti alumunium, merkuri, dan zink
 Stabilitas : Simpan di tempat kering dan sejuk, jauhkan dari api.
7. Orange Essence (Martindale 36th tahun 2009 hal. 2357)
 Pemerian : Cairan
 Kelarutan : Mudah larut dalam alkohol 90%.
 Kegunaan : corrigens odoris

9
 Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat dan tempat sejuk dan kering,
terhindar dari cahaya matahari.
8. Sunset Yellow (Handbook of Pharmaceutical Exicipients VI tahun 2009 hal. 194)
 Rumus Molekul : C16H10N2Na2O7S2
 Bobot Molekul : 452,4 gram/mol
 Pemerian : Serbuk kuning, kemerahan, di dalam larutan memberi warna
orange terang.
 Kelarutan : Mudah larut dalam gliserin (1:5) dan air, agak sukar larut dalam
PPG. Dalam air suhu 25oC = 1:5,3. Dalam air suhu 60oC = 1:5
 OTT : Sulit campur asam sitrat, larutan sakarosa, sodium bikarbonat
tersaturasi. Tidak campur asam askorbat, glukosa.
 Kegunaan : coloring agent
9. Aquadest atau Aqua Destilata (Farmakope Indonesia IV hal. 112, Handbook of
Pharmaceutical Excipient hal. 54)
 Rumus Molekul : H2O
 Bobot Molekul : 18,02
 pH : 5,0-7,0
 Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak mempunyai rasa
 Kelarutan : Dapat bercampur dengan kebanyakan pelarut polar
 Kegunaan : Pelarut
 Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
 Stabilitas : Stabil secara kimia dalam segala suasana
 OTT : Bereaksi dengan zat tambahan

2.4 EVALUASI SEDIAAN SUSPENSI REKONSTITUSI

A. Evaluasi Fisika (Modul prak Likuida & Semsol, 2003, hal. 32)
 Organoleptik : Dilakukan pengamatan terhadap warna (intensitas warna), bau
(terjadinya perubahan bau), rasa (perubahan mouthfeel).
 Penentuan volume sedimentasi (Lihat Bab III – Evaluasi dan Penyimpanan)
 Penentuan waktu rekonstitusi (Lihat Bab III – Evaluasi dan Penyimpanan)
 Penentuan viskositas dan sifat aliran (Lihat Bab III – Evaluasi dan Penyimpanan)
 Penentuan homogenitas (Lihat Bab III – Evaluasi dan Penyimpanan)

10
 Penentuan pH (Lihat Bab III – Evaluasi dan Penyimpanan)
 Penetapan kadar air (Lihat TS solida)
 Ukuran partikel & distribusi ukuran partikel zat yang terdispersi
 Berat jenis sediaan
 Penentuan volume terpindahkan
B. Evaluasi Kimia
 Penetapan kadar (dalam monografi zat aktif masing-masing)
 Identifikasi (dalam monografi zat aktif masing-masing)
C. Evaluasi Biologi
 Penetapan potensi antibiotika(FI IV <131>, hal 891-899)
 Pengujian efektivitas pengawet antimikroba <61>(FI IV hal 854)

2.5 PENYIMPANAN DAN PENANDAAN


Suspensi harus disimpan dalam wadah tertutup rapat. (FI IV hal 18) (Catatan: wadah
tertutup rapat harus melindungi isi terhadap masuknya bahan cair, bahan padat atau uap dan
mencegah kehilangan, merekat, mencair atau menguapnya bahan selama penanganan,
pengangkutan dan distribusi dan harus dapat ditutup rapat kembali. Wadah tertutup rapat
dapat diganti dengan wadah tertutup kedap untuk bahan dosis tunggal)
Penyimpanan : Disimpan di tempat sejuk (FI III hal 32). Dalam wadah tertutup rapat atau
wadah tertutup kedap, di tempat sejuk (Fornas Edisi 2 th.1978 hal 333)
Penandaan : pada etiket harus tertera “Kocok Dahulu” (FI III, hal 32). Pada etiket sediaan
Suspensi Rekonstitusi harus tertera (Fornas edisi 2 th.1978 hal
333):
Volume cairan pembawa yang diperlukan
Sebelum digunakan, dilarutkan dalam cairan pembawa yang tertera pada etiket.

11
2.6 MANUFAKTUR SUSPENSI

12
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
1 Sediaan suspensi rekonstitusi : Suspensi kering adalah suatu campuran padat yang
ditambahkan air pada saat akan digunakan. Agar campuran setelah ditambahkan air
membentuk disperse yang homogeny maka dalam formulanya digunakan bahan pensuspensi.
Farmakope Indonesia Edisi IV Tahun 2010 hal. 17 Suspensi yang siap digunakan atau yang
dikonstitusikan dengan sejumlah air untuk injeksi atau pelarut lain yang sesuai sebelum
digunakan, suspensi tidak boleh diinjeksikan secara intravena dan intratekal.
2. Persyaratan sediaan suspensi rekonstitusi :
 Campuran serbuk/granul haruslah merupakan campuran yang homogen, sehingga
konsentrasi/dosis tetap untuk setiap pemberian obat.
 Selama rekonstitusi campuran serbuk harus terdispersi secara cepat dan sempurna
dalam medium pembawa.
 Suspensi yang sudah direkonstitusi harus dengan mudah didispersikan kembali dan
dituang oleh pasien untuk memperoleh dosis yang tepat dan serba sama.
 Produk akhir haruslah menunjukkan penampilan, rasa, dan aroma yang menarik.
3. Pre formulasi sediaan sediaan suspensi rekonstitusi : Aspek formulasi yang harus
diperhatikan dalam merancang bentuk sediaan suspensi: ukuran partikel, pemakaian zat
pembasah (jika diperlukan), suspensi yang akan dibentuk (flokulasi/deflokulasi) . Kriteria
pemilihan komponen didasarkan pada kesesuaian untuk rekonstitusi dan jenis bentuk fisik
campuran serbuk yang dibutuhkan.
4. Evaluasi sediian suspensi rekosntitusi :
 Evaluasi fisika
 Evaluasi biologi
 Evaluasi kimia
5. Pemilihan wadah sediaan suspensi rekonstitusi : Disimpan di tempat sejuk (FI III hal 32).
Dalam wadah tertutup rapat atau wadah tertutup kedap, di tempat sejuk (Fornas Edisi 2
th.1978 hal 333)
6. Manunfactur suspensi : Proses pembuatan suspensi kering di sebuah industri farmasi .
Meliputi awal pembuatan samapi menjadi suspensi kering .

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia. edisi


III. Jakarta : Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia. edisi
IV. Jakarta : Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan
3. Lieberman, H.A. 1989. Pharmaceutical Dossage Disperse System. New York
: Marcell Dekker. Inc.
4. M., Aulton. 1990. Pharmaceutical Dosage Form tablet 2 nd
5. Reynolds, J. E. F. 1982. Martindale: The Extra Pharmacopia. 28th ed.
London : The Pharmaceutical Press
6. Wade, Ainley dan Paul J. Weller. 1982. Handbook of Pharmaceutical
Excipient 6th Edition. London : The Pharmaceutical Press

14
15

Anda mungkin juga menyukai