Anda di halaman 1dari 11

JURNAL AWAL PRAKTIKUM TEKNOLOGI FORMULASI SEDIAAN

NON STERIL PRAKTIKUM III

SUSPENSI

Hari, Tanggal Praktikum : Selasa, 29 November 2019


Nama :Ni Putu Sintya Dewi
NIM : 171200152
Kelas : A2A
Kelompok :V

Dosen Pengampu
Ni Putu Wintariani, S.Farm.,M.Farm.,Apt.

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL

DENPASAR
2019
PRAKTIKUM III
SUSPENSI

I. Tujuan Praktikum
1. Mengetahui dan menguasai pembuatan sediaan suspensi
2. Mengetahui prosedur dan perhitungan dalam pembuatan sediaan suspensi
3. Mengetahui evaluasi dalam sediaan suspense

II. Dasar Teori


Suspensi adalah sediaan yang mengandung bahan obat padat dalam bentuk
halus dan tidak larut, terdispersi dalam cairan pembawa. Zat yang terdispersi
harus halus dan tidak boleh cepat mengendap. Jika dikocok perlahan-lahan
endapan harus segera terdispersi kembali. Suspensi dapat mengandung zat
tambahan untuk menjamin stabilitas suspensi. Kekentalan suspensi tidak boleh
terlalu tinggi agar sediaan mudah dikocok dan dituang. Partikel-partikelnya
mempunyai diameter yang sebagian besar lebih dari 0,1 mikron (Anief, 2000).
Suspensi adalah suatu bentuk sediaan yang mengandung bahan obat padat
dalam bentuk halus dan tidak larut, terdispersi dalam cairan pembawa dan
merupakan sistem heterogen yang terdiri dari dua fase. Fase kontinu atau fase
luar umumnya merupakan cairan atau semipadat, dan fase terdispers atau fase
dalam terbuat dari partikel-partikel kecil yang pada dasarnya tidak larut, tetapi
terdispersi seluruhnya dalam fase kontinu (Priyambodo, 2007). Suspensi oral
lebih disukai daripada bentuk padat (tablet atau kapsul dari obat yang sama)
karena mudahnya menelan cairan (Aulton, 2003), absorbsinya lebih cepat, dan
bioavailabilitasnya lebih baik (Joenoes, 2001).
Suspensi yang baik harus tetap homogen, paling tidak selama waktu yang
dibutuhkan untuk penuangan dan pemberian dosis setelah wadahnya dikocok.
Secara tradisional, jenis-jenis suspensi farmasi tertentu diberikan tanda-tanda
secara terpisah, seperti mucilago, magma, gel, dan kadang-kadang aerosol;
juga termasuk di dalamnya serbuk kering yang ditambah pembawa pada waktu
hendak diberikan pada pasien (Lachman et al., 1989). Suspensi sering disebut
pula mikstur gojog (mixtura agitandae). Bila obat dalam suhu kamar tidak larut
dalam pelarut yang tersedia maka harus dibuat mikstur gojog atau disuspensi.
(Anief, 2006). Beberapa faktor yang mempengaruhi stabilitas suspensi ialah :
1. Ukuran partikel
Semakin besar ukuran partikel semakin kecil luas penampangnya (dalam
volume yang sama ). Sedangkan semakin besar luas penampang partikel
daya tekan keatas cairan akan semakin memperlambat gerakan partikel
untuk mengendap, sehingga untuk memperlambat gerakan tersebut dapat
dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel.
2. Kekentalan (viscositas)
Dengan menambah viscositas cairan maka gerakan turun dari partikel yang
dikandungnya akan diperlambat. Tatapi perlu diingat bahwa kekentalan
suspensi tidak boleh terlalu tinggi agar sediaan mudah dikocok dan dituang.
3. Jumlah partikel (konsentrasi)
Makin besar konsentrasi pertikel, makin besar kemungkinan terjadi endapan
partikel dalam waktu yang singkat.
4. Sifat / muatan partikel
Dalam suatu suspensi kemungkinan besar terdiri dari babarapa macam
campuran bahan yang sifatnya tidak selalu sama. Dengan demikian ada
kemungkinan terjadi interaksi antar bahan tersebut yang menghasilkan
bahan yang sukar larut dalam cairan tersebut. Karena sifat bahan tersebut
sudah merupakan sifat alam, maka kita tidak dapat mempengaruhinya.

Persyaratan sediaan suspensi, menurut Farmakope Indonesia edisi III. Zat


terdispersi harus halus dan tidak boleh mengendap. Jika dikocok harus segera
terdispersi kembali. Dapat mengandung zat dan bahan menjamin stabilitas
suspense. Kekentalan suspensi tidak bolah terlalu tinggi agar mudah dikocok
atau sedia dituang. Karakteristik suspensi harus sedemikian rupa sehingga
ukuran partikel dari suspensi tetap agak konstan untuk jangka penyimpanan
yang lama.
Menurut Farmakope Indonesia edisi IV Suspensi tidak boleh di injeksikan
secara intravena dan intratekal. Suspensi yang dinyatakan untuk digunakan
untuk cara tertentu harus mengandung anti mikroba. Suspensi harus dikocok
sebelum digunakan.
Jenis-jenis Suspensi
 Suspensi Oral adalah sediaan cair yang mengandung partikel padat
yang terdispersi dalam pembawa cair dengan bahan pengaroma yang
sesuai dan ditujukkan untuk penggunaan oral.
 Suspensi Topikal adalah sediaan cair mengandung partikel padat
yang terdispersi dalam pembawa cair yang ditujukkan untuk
penggunaan pada kulit.
 Suspensi Optalmik adalah sediaan cair steril yang mengandung
partikel-partikel yang terdispersi dalam cairan pembawa yang
ditujukkan untuk penggunaan pada mata.
 Suspensi tetes telinga adalah sediaan cair yang mengandung
partikel-partikel halus yang ditujukkan untuk diteteskan pada telinga
bagian luar.
 Suspensi untuk injeksi adalah sediaan berupa suspensi serbuk dalam
medium cair yang sesuai dan tidak disuntikan secara intravena atau
kedalam saluran spinal.
 Suspensi untuk injeksi terkontinu adalah sediaan padat kering
dengan bahan pembawa yang sesuai untuk membentuk larutan yang
memenuhi semua persyaratan untuk suspensi steril setelah
penambahan bahan pembawa yang sesuai.

Bahan pensuspensi atau suspending agent dapat dikelompokkan sebagai


bahan pensuspensi dari alam dan bahan pensuspensi sintesis. Suspending agent
digunakan untuk meningkatkan viskositas dan memperlambat sedimentasi
sehingga dapat menghasilkan suatu suspensi yang stabil (Lieberman et al, 1996).
Suspensi yang stabil harus tetap homogen, partikel benar-benar terdispersi
dengan baik dalam cairan, zat yang terdispersi harus halus dan tidak boleh cepat
mengendap, jika dikocok endapan harus cepat terdispersi kembali (Priyambodo,
2007).
Cara mengerjakan obat dalam suspense dengan metode pembuatan
suspense yaitu metode dispersi dengan cara menambahkan serbuk bahan obat
kedalam mucilago yang telah terbentuk kemudian baru diencerkan sedangkan
metode praesipitasi zat yang hendak didispersi dilarutkan dahulu dalam pelarut
organik yang hrndak dicampur dengan air. Setelah larut diencerkan dengan
larutan pensuspensi dalam air (Anief, 2006).
Sistem pembentukan suspensi dengan sistem flokulasi yaitu partikel
merupakan agregat yang bebas, sedimentasi terjadi capat, sediment terbentuk
cepat, sediment tidak membentuk cake yang keras dan padat dan mudah
terdispersi kembali seperti semula dan wujud suspensi kurang menyenangkan
sebab sedimentasi terjadi cepat dan diatasnya terjadi daerah cairan yang jernih
dan nyata. Sistem deflokulasi yaitu partikel suspensi dalam keadaan terpisah
satu dengan yang lain, sedimentasi yang terjadi lambat masing-masing partikel
mengendap terpisah dan ukuran partikel adalah minimal, sediment terbentuk
lambat, dan akhirnya sediment akan membentuk cake yang keras dan sukar
terdispersi lagi (Anief, 2006).
Keuntungan sediaan suspensi antara lain sebagai berikut :
a. Bahan obat tidak larut dapat bekerja sebagai depo, yang dapat
memperlambat terlepasnya obat
b. Beberapa bahan obat tidak stabil jika tersedia dalam bentuk larutan.
c. Obat dalam sediaan suspensi rasanya lebih enak dibandingkan dalam
larutan, karena rasa obat yang tergantung kelarutannya.
Kerugian bentuk suspensi antara lain sebagai berikut :
a. Rasa obat dalam larutan lebih jelas
b. Tidak praktis bila dibandingkan dalam bentuk sediaan lain, misalnya
pulveres, tablet, dan kapsul
c. Rentan terhadap degradasi dan kemungkinan terjadinya reaksi kimia antar
kandungan dalam larutan di mana terdapat air sebagai katalisator
(Anief, 2006)

Evaluasi
1. Uji Organoleptis
Sifat organoleptis dari suatu suspensi dapat dievaluasi dari keseragaman
bau, warna, kontaminasi oleh benda asing (seperti rambut, tetesan minyak,
dan kotoran), serta penampilan dievaluasi sacara visual.
2. Uji Endapan
Volume sedimentasi merupakan parameter yang diturunkan dari
penyelidikan sedimentasi (endapan) yang dirumuskan sebagai berikut :

F=
Keterangan :
F : volume sedimentasi,
Vu: volume akhir endapan,
Vo: volume awal suspensi sebelum mengendap.
Pengukuran volume sedimentasi dilakukan dengan melihat volume
endapan yang tebentuk pada masing-masing suspensi di dalam gelas ukur.

3. Uji Flukolasi (Redispersi)


Evaluasi suspensi ini dilakukan setelah pengukuran volume sedimentasi
konstan. Dilakukan secara manual dan hati-hati, tabung reaksi diputar
180° dan dibalikkan ke posisi semula. Formulasi yang dievaluasi
ditentukan berdasarkan jumlah putaran yang diperlukan untuk
mendispersikan kembali endapan partikel paracetamol agar kembali
tersuspensi. Kemampuan redispersi baik bila suspensi telah terdispersi
sempurna dan diberi nilai 100%. Setiap pengulangan uji redispersi pada
sampel yang sama, maka akan menurunkan nilai redispersi sebesar 5%.
(Gebresamuel & Gebre Mariam, 2013).
4. Uji Viskositas
Evaluasi uji viskositias menggunakan Viskometer Brookfield. Prinsip
kerjanya yaitu sediaan suspensi paracetamol akan diukur kekentalan
menngunakan spindel yang berputar serta ukuran spindel menyesuaikan
dengan kekentalan suspensi. Spindel akan berputar dan menunjukkan
skala dari viskositas suspensi dalam RPM (Martin, et al., 1993).
5. Uji pH
Sediaan suspensi paracetamol ditentukan dengan alat menggunakan pH
meter digital. Kalibrasi, lalu elektroda dari pH meter digital dicelupkan ke
dalam suspensi, biarkan selama 30 detik, catat nilai pH yang muncul pada
layar alat. (Aremu & Oduyela, 2015).
III. Alat dan Bahan
3.1 Alat
1. Cawan Porselen
2. Sudip
3. Mortir Dan Stamper
4. Gelas Ukur
5. Beaker Glass
6. Batang Pengaduk

3.2 Bahan
1. Paracetamol
2. Etanol
3. Propilen Glikol
4. Sirup Simplex
5. Asam Benzoate
6. CMC
7. Pewarna
8. Essense

3.3 Formulasi
R/ Paracetamol 120mg/5mL
Etanol 5mL
PG 5,5mL
Sirup Simplex 40%
Asam benzoate 0,1%
CMC 1%
Pewarna 0,1%
Essense qs
Aqua ad 60mL

IV. Pemeriaan Bahan


1. Paracetamol
Pemerian : Hablur atau serbuk hablur putih,, tidak berbau, rasa pahit
Kelarutan : Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol (95%) P,
dalam 13 bagian aseton P, dalam 40 bagian gliserol P, dan
dalam 9 bagian propilenglikol P, larut dalam alkali
hidroksida.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya
Khasiat Bahan : Analgetikum, Antipiretikum
(FI Edisi III. 1979. Hal 37)
2. Etanol
Pemerian : Cairan tak berwarna, jernih, mudah menguap dan mudah
bergerak, bau khas, rasa panas, mudah terbakardengan
memberikan nyala biru yang tidak berasap.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform P, dan
dalam eter P.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindungi dari cahaya,
ditempat sejuk, jauh dari nyala api.
Khasiat Bahan : Zat tambahan dan Pelarut
(FI Edisi III. 1979. Hal 65)
3. Propilen Glikol
Pemerian : Cairan kental, jernih, tidak berwarna, tidak berbau, rasa
agak manis, higroskopis
Kelarutan : Dapat campur dengan air, dengan etanol (95%) P dan
dengan kloroform P, larut dalam 6 bagian eter P, tidak dapat
campur dengan eter minyaktanah P dan dengan minyak
lemak.
Penyimpanan : Wadah tertutup baik
Khasiat Bahan : Zat tambahan, pelarut
(FI Edisi III. 1979. Hal 534)

4. Sirup Simplex
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna
Kelarutan : Larut dalam air, mudah larut dalam air mendidih, sukar
larut dalam etanol, tidak larut dalam kloroform dan eter.
Penyimpanan : Wadah tertutup rapat
Khasiat Bahan : Zat tambahan
(FI Edisi III. 1979. Hal 567)
5. Asam Benzoate
Pemerian : Hablur halus dan ringan, tidak berwarna, tidak berbau
Kelarutan : Larut dalam lebih kurang 350 bagian air, dalam lebih
kurang 3 bagian etanol (95%) P, dalam 8 bagian kloroform
P dan dalam 3 bagian eter P
Penyimpanan : Wadah tertutup baik
Khasiat Bahan : Pengawet, aniseptikum ekstern, antijamur

(FI Edisi III. 1979. Hal 49)


6. CMC
Pemerian : Serbuk berwarna putih, tidak berasa, bergranul.
Kelarutan : Mudah terdispersi dalam air membentuk larutan koloidal;
tidak larut dalam etanol, dalam eter dan dalam pelarut
organik lain.
Penyimpanan : Wadah tertutup baik
Khasiat Bahan : Emulsifying agent, bahan pengental, suspending agent,
bahan penolong tablet, peningkat viskositas.
(FI Edisi IV. 1995. Hal 175)
7. Aqua
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak
mempunyai rasa
Kelarutan :-
Penyimpanan : Wadah tertutup baik
Khasiat Bahan : Pelarut
(FI Edisi III. 1979. Hal 9)
V. CARA KERJA

Botol dikalibrasi 60 mL, lalu tandai

Ditimbang paracetamol masukkan dalam beaker glass + etanol


aduk sampai larut + PG + Asam Benzoate + aduk sampai larut

Taburkan CMC diatas air biarkan sampai mengembang, lalu di


aduk

Campuran No 2 ditambah campuran No 3 kemudian tambah


pewarna aduk sampai homogen

Tambahkan air sampai tanda kalibrasi + essense


DAFTAR PUSTAKA

Anief, M, 2000, Farmasetika, 2000.Yogyakarta: Gadjah Mada University


Press.

Anief M., 2006. Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktek. Yogyakarta: UGM
Press
Aremu, O.I., & Oduyela, O.O. (2015). Evaluation of Metronidazole
suspensions. African Journal of Pharmacy and Pharmacology. 9 (12),
439-450.
Aulton, M. E. 2003. Pharmaceutics. The Science of Dossage Form Design, 2nd
Edition. Lieicester U K: De Montfort University
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : Departemen
Kesehatan Republik Indonesia
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Departemen
Kesehatan Republik Indonesia
Gebresamuel, N., & Gebre-Mariam, T. 2013. Evaluation Of Suspending Agent
Properties Of Two Local Opuntia Spp. Muchilago On Paracetamol
Suspension. Journal of Pharmacy and Sciences.
Joenoes, N. Z. 2001. ARS Prescribendi Resep yang Rasional, Edisi 2.
Surabaya: Airlangga University Press.
Lachman, L., Schwartz, J.B., and Lieberman H.A., 1989, Pharmaceutical
Dosage Forms., Tablets, 2nd Ed,. New York: Marcell Dekker Inc.
Lieberman, H. A., Rieger, M. M., Banker, G. S., 1996, Pharmaceutical
Dossage Form Disperse System, Vol 2, 153, 156, 161,164, New York.:
Marcel Dekker Inc.
Martin, A., Swarbrick, J., & Cammarata, A. (1993). Farmasi fisik jilid II (Edisi
3). Penerjemah: Joshita Djajadisastra. Jakarta: Universitas Indonesia
Press.
Priyambodo, B. 2007. Manajemen Farmasi Industri. Yogyakarta: Global
Pustaka Utama
Syamsuni H.A. 2006. Ilmu Resep. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai