Anda di halaman 1dari 10

Open Prostatectomy vs Transurethral Resection of Prostate, yang mana yg kita pilih di

Era baru ini?

Tujuan : untuk membandingkan komplikasi peri-operatif dan komplikasi jangka pendek dari
open transvesical prostatectomy (OP) begitu juga dengan keluaran fungsional dengan trans
urethral resection of the prostate (TURP) dalam manajemen BPH dengan ukuran 30 hingga
70g.
Metode dan bahan : ratusan pasien yang menjadi kandidat operasi prostat dengan prostat
yang berukuran 30 g hingga 70 g secara acak menjalani OP atau TURP. Penilaian sekunder
meliputi international prostate symptom score, volume urin residual, komplikasi bedah, dan
kualitas hidup pasien. Pasien di follow up selama 6 hingga 12 bulan setelah operasi.
Hasil : 51 pasien menjalani operasi OP dan 49 pasien menjalani TURP. Median (interquartile
range) dari peningkatan laju puncak (peak flow) sbesar 11.1 (7.6 hingga 14.2) dan 8.0 (2.2
hingga 12.6) pada kelompok OP dan TURP (P=0.02). Peningkatan skor international
prostate symptom tidak terlihat signifikan secara statistik antara dua kelompok perlakuan
tersebut. Re-operasi yang dilakukan karena adanya redisu lobus prostat, striktur uretra, dan
retensi urin dilakukan pada 8 pasien di kelompok TURP dan pada kelompok OP tidak ada re-
operasi (P0.006). disuria lebih sering terjadi pada kelompok TURP (P<0.001). Waktu tinggal
di rumah sakit lebih lama pada kelompok OP (P=0.04). kualitas hidup pasien lebih baik pada
kelompok OP (P=0.04).
Simpulan : OP adalah operasi yang bisa dilakukan pada prostat yang berukuran 30 g hingga
70 g. Peningkatan arus puncak (peak flow) yang lebih tinggi, kualitas hidup pasien yang lebih
baik, frekuensi disuria yang lebih jarang, re-operasi yang lebih jarang diperlukan, dan
kemudahan untuk mempelajarinya membuat open prostatektomi (OP) sebuah pilihan yang
cocok untuk didiskusikan pada pasien dibandingkan TURP.

Pendahuluan

Open transvesical prostatectomy (OP) dan transurethral resection of the prostate

(TURP) adalah prosedur operasi lama yang dlakukan pada pasien dengan benign prostate

hiperplasia (BPH). Saat ini TURP dianggap sebagai referensi atau perlakuan standar untuk

prostat yang berukuran kurang dari 70 g hingga 80 g. Meskipun demikian, OP masih

dilakukan untuk operasi prostat pada pasien yang seharusnya dilakukan TURP di beberapa

negara berkembang bahkan di negara maju, seperti presentasi OP pada akhir tahun 1990an

dan awal tahun 200- di Swedia, Perancis, Italia, dan Mediterania. Pada abad 21, dengan

kelebihan dan keunggulan metode bedah dan anestesi, komplikasi pada OP telah menurun

secara relatif menurut laporan lama. Disamping itu, pasien merasa puas dengan OP karena
hasil fungsionalnya dan sifat tahan lama nya. OP tidak direkomendasikan untuk prostat yang

berukuran sedang, namun demikian, seperti disebutkan diatas, banyak operasi yang dilakukan

dengan metode open. Beberapa penulis dianggap membandingkan OP dengan metode yang

lebih baru secara tidak etis, padahal belum ada bukti yang berkualitas bagus untuk

membandingkan OP dengan TURP. Kami bertujuan untuk membandingkan komplikasi janga

pendek dan komplikasi peri-operatif dan juga hasil keluaran fungsional dari TURP yang

dianggap sebagai perlakuan sandar untuk prostat yang berukuran 30g hingga 80g dan

mendasari perbandingan ini dengan pengukuran objektif seperti peak flow rate (PFR).

Metode dan bahan

Ratusan pasien yang dirujuk ke urologi dari klinik Shahid Labbafinejad Medical

Center (sebuah rumah sakit rujukan tersier di Tehran, Iran) antara tahun 2005 hingga 2007,

dan merupakan calon pasien yang akan dioperasi prostatnya, dimasukkan dalam penelitian

ini.

Indikasi dari operasi prostat terdiri dari gejala saluran kemih bawah meskipun sudah

dilakukan terapi medis yang maksimal, infeksi saluran kemih yang sering terjadi, hematuria

yang tidak berhubungan dengan terapi medis, serum kreatinin yang tinggi yang menurun

dengan pemasangan kateter uretra, dan retensi urin meskipun udah di terapi secara medis.

Anamnesis, pemeriksaan fisik termasuk RT dilakukan oleh urologis. Evaluasi laborat

terdiri dari kadar kreatinin serum, kadar serum prostate spesific antign (PSA), urinalisis, dan

kultur urin. Ultrasonografi dari ginjal, kandung kemih, dan prostat juga dilakukan. Setelah itu

pasien dirujuk ke ruang operasi untuk cytoscopy dan dilakukan ultrasonografi trans rectal

untuk melihat ukuran prostat.

Pasien dengan kadar serum PSA yang tinggi dilakukan biopsi prostat dengan bantuan

ultrasound (5 titik dari masing masing lobus). Jika ukuran prostat pada USG transrectal
sekitar 30 g hingga 70 g dan ditemukan gambaran obstruksi uretra pascaerior pada cytoscopy,

pasien dimasukkan ke kelompok perlakuan berdasarkan protokol penempatan. Protokol

penempatan acak berdasar dari angka yang secara acak didapatkan dari skor resiko dari

American Society of Anestesiology (ASA). Angka angka seara acak didapatkan dari software

Epi Info dan digunakan untuk menempatkan subjek pada masing masing skor resiko ASA (I

hingga III) secara terpisah.

Pasien dengan batu pada kandung kemih sebesar > 2cm , diverticula besar pada

kandung kemih, pernah menjalani operasi uretra sebelumnya, massa mencurigakan pada

pemeriksaan RT, riwayat operasi prostat, ukuran prostat di luar ukuran 30 g hingga 70 g

pada USG tras rectal, dan pasien dengan kelainan patologi lain selain BPH pada biopsi

prostat transrektal, di eksklusi dari penelitian ini. Pada akhirnya, ada 100 pasien yang tersisa

untuk dianalisis selanjutnya.

OP dilakukan seperti yang dijelaskan oleh Freyer oleh dua residen urologi senior yang

diawasi oleh urologis. TURP dilakukan dengan menggunakan resectoscope 25 F Wolf oleh

dua dokter bedah dengan pengalaman lebih dari 10 tahun. Perbedaan nyata dari proses

operasi (OP vs TURP) membuat ketidakmungkinan untuk blinding baik untuk dokter yang

mengoperasi maupun pasien.

Data didapatkan selama operasi, perawatan setelah operasi, dan ketika pasien dirujuk

ke klinik 8 sampai 12 bulan setelah operasi. Pada kunjungan di klinik, komplikasi setelah

keluar dari rumah sakit seperti disuri, sistitis, epididimitis, ejakulasi retrogard, dan re-operasi

seperti pada IPSS dan kualitas hidup pasien dicatat dan diukur PFR (peak flow rate) nya.

Kualitas hidup pasien diukur dengan pertanyaan tunggal yang disarankan oleh

Batista-Miranda dan kolega. Penilaian utama adalah peningkatan PFR pasien pasca operasi

dibandingkan dengan pre operasi. Penilaian sekunder adalah peningkatan IPSS (IPSS pre op
dan IPSS pasca op), pengurangan volume urin residual, re-operasi, disuria, sistitis,

epididimitis, ejakulasi retrogard, inkontinensia, dan kualitas hidup pasien pada 8 bulan hingga

12 bulan setelah operasi.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperlihatkan setidaknya ada peningkatan

PFR sebesar 2.5mL/s pada pasien yang menjalani OP dibandingkan pasien yang menjalani

TURP. Dianggap mempunayi kekuatan sebesar 0.9, 0.05 eror tipe I dan standar deviasi 3.7

ml/s untuk PFR, dibutuhkan 46 sampel untuk kelompok perlakuan. Untuk mengkompensasi

perkiraan 10% loss to follow up, dibutuhkan 102 sampel.

Penelitian ini diterima oleh Ethics Comittee of Urology Research Center, yang telah

mengadopsi kode etik untuk mengatur eksperimen pada manusia. Semua pasien diberi

informasi tentang tujuan penelitian dan intervensi yang diberikan. Informed cnsent tertulis

diberikan ke semua pasien.

Analisis statistik dilakukan dengan mnggunakan software SPSS versi 16.0, Chicago,

Illinois, USA). Variabel kategorik dianalisis dengan menggunakan Chi Square atau Fisher

test. Variabel kuantitatif dianalisis dengan menggunakan t test atau Mann-Whitney test.

Analisis Intention to treat dilakukan pada semua analisis. Tidak ada analisis subgrup yang

direncanakan. Nilai P dua susu yang bernilai <0.05 dianggap signifikan secara statistik.

Hasil

Grafik pasien telah dituliskan pada Gambar. 51 dan 49 pasien menjalani OP dan

TURP. Karakteristik demografis pasien sebelum operasi disajikan pada Tabel 1. Perbedaan

yang signifikan secara statistik pada variabel pre operatif adalah usia, dengan rerata

perbedaan 10 tahun antara kelompok OP dan TURP. Kategori skor risiko ASA 1, 2, dan 3

diamati pada 4, 31, dan 16 pasien pada OP dan 3, 29, dan 17 pasien pada kelompok TURP

(P>0.05).
Data peri-operatif dan pasca operatif disajikan pada Tabel 2. Komplikasi pasca

operasi awal (selama perawatan di rumah sakit)diamati pada 4 pasien di kelompok OP

(sedikitnya urin yang keluar setelah pelepasan kateter suprapubik pada 3 pasien dan

perdarahan GIT pada 1 pasien) dan 3 pasien pada kelompok TURP (gross hematuria dengan

lewatnya bekuan pada 2 pasien dan 1 kasus dengan pemasangan kateter suprapubik karena

retensi urin setelah pelepasan kateter uretra dan kegagalan dalam memasang kateter uretra

lain). Tidak ada episode sindrom reseksi transuretra dan tidak ada kejadian tromboelbolik

yang tercatat.

Satu pasien pada kelompok OP meninggal satu hari setelah operasi. Pasien merupakan

laki laki berusia 37 tahun yang menjadi kandidat untuk operasi karena kegagalan terapi

medis. Pasien mempunyai riwayat palpitasi dan skor risiko ASA nya III (tinggi). EKG

preoperatifnya menunjukkan progresi R yang jelek. Durasi operasi selama 55 menit dan

pasien meneruma satu unit packed cell intra operatif. Kadar serum hemoglobin pre-operasi

sebesar 13.1 mg/dL, dan kadar serum hemoglobin pasca operasi sebesar 12.1 mg/dL. Kadar

kreatinin pasca operasi sebesar 1.2 mg/dL. HR dan tekanan darah pasien pasca operasi dalam

batas normal. Hasil keluaran dari kandung kemih menunjukkan gambaran darah yang samar

dan diskontinyu pada hari pertama pasca operasi (16 jam setelah operasi). Pasien

mengeluhkan sensasi heartburn pada hari pertama pasca operasi dan mendapatkan tablet

ranitidin. Pasien pingsan pada saat pasien ke toilet dan didapatkan henti jantung, yang tidak

merespo terhadap RJP. Keluarga pasien menolak autopsi untuk melihat penyebab kematian.

Selama follow up8 hingga 12 bulan, re-operasi dilakukan pada 8 pasien di kelompok

TURP, 2 pasien dioperasi karena striktur uretra/kandung kemih, dan kateter suprapubik

dipasang pada 2 pasien karena retensi urin dan gagal dipasang kateter uretra. Tidak ada re-

operasi yang dilakukan pada pasien OP. Inkontinensia urgensi diamati pada 2 pasien pada

masing masing kelompok. Pada kelompok OP, pasien inkontinensia sembuh 3 hingga 6 bulan
setelah operasi. Pada kelompok TURP, satu pasien sembuh 6 bulan setelah operasi, dan satu

pasien lainnya mengeluh menjadi inkontinensia urgensi 12 bulan setelah operasi. Pasien

memakai satu popok tiap harinya.

Komplikasi dini pasca operasi (retensi gumpalan dan demam pasca operasi) dan

komplikasi lambat (inkontinensia, sistitis, epididimitis, ejakulasi retrogard, dan disuria)

disajikan dalam Tabel 2. Durasi perawatan di rumah sakit sedikit lebih lama pada pasien yang

menjalani OP. Kualitas hidup pasien secara keseluruhan selama 8 hingga 12 bulan setelah

operasi lebih baik pada kelompok OP dibanding kelompok TURP.

Diskusi

OP merupakan metode yang sekarang ini diyakini sebagai satu satunya prosedur yang

bisa secara lengkap mengatasi masalah obstruksi pada prostat. Ini biasanya diguakan pada

prostat yang besar/luas atau ketika ada patologi lain yang membutuhkan tindakan bedah

seperti adanya batu kandung kemih yang multipel. Sebelumnya, TURP adalah operasi yang

biasa digunakan untuk mengatasi obstruksi pada 60% hingga 97% operasi prostat.

Penggunaan OP saat ini terbatas pada sedikit negara berkembang dengan sedikitnya tenaga

ahli atau yang berpengalaman dalam endoskopi.

Saat ini, teknologi vaporisasi laser dan enukleasi laser Holmium prostat adalah teknik

revolusioner dengan angka morbiditas yang kecil dan mempunyai tingkat keberhasilan setara

dengan OP dan TURP, dan menjanjikan untuk menjadi gold standard baru untuk

penatalaksanaan BPH, tidak melihat dari ukuran prostatnya. Namun, kekurangan utama dari

teknologi laser ini adalah biaya yang tinggi dan susah dipelajari, yang membuat tidak bisa

diterapkan. Saat ini, masih ada sedikit pelayanan kesehatan di Timur Tengah yang

menawarkan enukleasi prostat dengan metode laser Holmium.


TURP telah dideklarasikan sebagai referensi atau perlakuan standar pada prostat

dengan ukuran 70 hingga 80 g. Meskipun demikian, ini telah jelas dikatakan bahawa TURP

tidak memenuhi pathway resmi dari evaluasi metode operasi yang terbaru dan

perbandingannya dengan OP didasarkan dari kasus retrospektif, terbuka, dan tunggal.

Karena indikasi TURP dan OP berbeda, perbandingan yang terbaik yang mungkin

dilakukan hanyalah dengan menggunakan RCT. Menurut pengetahuan kami, hanya satu RCT

yang membandingkan OP dengan TURP, yang dilakukan pada era pre PSA dan ada batasan

batasan berikut : 1) hampir 15% dari pasien pada masing masing kelompok terbukti

mempunyai kelainan patologi malignan. Angka komplikasi (baik komplikasi awal maupun

lambat) dan hasil yang jelek didapatkan lebih tinggi pada pasien dengan gambaran histologis

yang malignan. Saat ini, kanker prostat yang diperiksa dengan menggunakan pengukuran

PSA adalah kontra indikasi dari OP. 2) TURP telah dilakukan oleh urologis yang

berpengalaman sedangkan OP dilakukan oleh 8 pendaftar dan 3 urologis. 3) angka

komplikasi yang dilaporkan sangatlah beda dari laporan setelahnya. Contohnya, striktur

uretra dilaporkan lebih tinggi pada pasien OP sedangkan pada studi setelahnya melaporkan

angka stenosis/striktur lebih tinggi pada pasien TURP. 4) angka pengurangan yang tinggi

pada follow up selama 5 tahun, yang mana itu tidak sama antar kelompok (25.6% pada pasien

TURP dan 6.3% pada pasien OP).

Laporan selanjutnya dari Jenkins dan kolega menganggap semua uji klinis yang

membandingkan OP dan TURP adalah tidak etis. Argumen mereka berdasarkan dari laporan

mengenai angka kematian yang tinggi pada OP (sekitar 10%) dan TURP (kurang dari 3%)

pada pasien tua, terutama mereka yang berusia lebih dari 80 tahun. Maskipun demikian,

penelitian - penelitian terkini melaporkan tidak adanya perbedaan angka kematian atau infark

miokard antara OP dan TURP. Angka kematian untuk OP pada penelitian terkini adalah

kurang dari 1%. Oleh karena itu, kami berpikr bahwa merekrut pasien untuk operasi prostat
pada uji klinis untuk membandingkan OP dan TURP tidak lagi tidak etis dan perbandingan

serupa telah dilakukan baru – baru ini untuk OP dan laser atau enukleasi fotoselektif.

Kami berpikir bahwa meskipun OP dihubungkan dengan angka kesakitan yang lebih

tinggi, adanya garis scar dan waktu perawatan di rumah sakit yang lebih lama, tapi ini

mempunyai hasil yang lebih baik dalam hal IPSS, peningkatan PFR, angka re-operasi yang

lebih rendah, dan lebih sedikit disuria. Disuria paska operasi adalah hal yang menyulitkan

dan susah diobati.

Pada penelitian ini, pasien pada kelompok OP dan TURP pada dasarnya dapat

dibandingkan (comparable) kecuali dalam hal usia. Usia tidak berhubungan dengan hasil

primer maupun sekunder pada penelitian ini. Meskipun demikian, kami tidak bisa

mengeksklusi kemungkinan bahwa perbedaan usia bisa menyebabkan perbedaan dalam

observasi penelitian ini. Peningkatan PFR rata rata pada pasien OP sekitar 3.1 m/s lebih besar

dari kelompok TURP (P=0.02).terbatas pada penelitian Meyhoff dan penelitian penelitian

yang berkaitan pada pasien dengan gambaran histologis benigna, baik PFR maupun laju

aliran urin juga lebih tinggi pada grup OP. Studi retrospektif lain mendukung peningkatan

PFR yang lebih tinggi pada pasien yang menjalani OP.

Kami tidak mengamati peningkatan yang signifikan secara statistik dalam hal

peningkatan IPSS dan volume residual yang lebih sedikit pada pasien OP. Kami tidak

menemukan adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara ukuran prostat dan

besarnya angka PFR, IPSS, atu peningkatna volume residual urin pada kedua kelompok.

Komplikasi dini pasca operasi pada kelompok OP kebanyak berhubungan dengan

kekurangan setelah pelepasan kateter suprapubis (3 subjek) dan ditangani secara konservatif

dengan tetap memasang kateter uretra untuk jangka waktu yang lebih lama. Komplikasi pasca
operasi pada pasien TURP kebanyakan berhubungan dengan perdarahan (2 subjek) dan

retensi gumpalan (6 subjek).

Angka re-operasi yang lebih tinggi tercatat pada pasien yang menjalani TURP karena

tingginya angka stenosis/striktur pada kelompok ini. Angka re-operasi tercatat kurang dari

5% pada follow up selama setahun. Pada penelitian ini, angka re-operasi selama follow up

satu tahun (16%) lebih tinggi daripada laporan pada negara negara Barat, tetapi pada studi

Slovakia terkini tercatat angka komplikasi dini (hingga 4 minggu pasca operasi) sebesar 38%

dan angka komplikasi selama follow up satu tahun sebesar 13%, yang mana hal ini mirip

dengan tamuan kami.

Temuan penting lainnya dalam penelitian ini adalah frekuensi dan durasi disuria yang

lebih tunggi pada pasien yang menjalani TURP. Durasi disuria tercatat lebih tinggi oleh

Meyhoff dan kolega pada pasien yang menjalani TURP, tetapi tidak signifikan secara

statistik. Tingginya disuria dan gejala iritatif telah mendpat perhatian dari penyelidik/peneliti

lain pada pasien yang menjalani TURP. Gejala iritatif yang persisten telah dilaporkan sebagai

problem utama pada operasi yang meninggalkan jaringan rusak yang dipanaskan secara in

situ, sebagaimana gejala ini lebih resisten dengan perawatan.

Dalam sudut pandang ekonomi, biaya OP dan TURP hampir sama dengan perbedaan

urang dari 0,5%. Bahkan di negara Barat, dimana biaya TURP lebih mahal daripada OP,

dikatakan bahwa keuntungan ini akan tidak seimbang dalam waktu 5 tahun larena angka re-

operasi yang tinggi pada pasien TURP.

Ringkasannya, meskipun OP nampaknya lebih invasif karena insisi low midline (yaitu

ekstraperitoneal, tanpa mengeksisi otot apapun), tapi di sisi lain, keuntungan keuntungan

berikut juga harus dipertimbangkan : 1) Pada studi ini (dan pada studi Meyhoff beserta studi

yang berkaitan dengan hal tersebut), OP dilakukan oleh residen senior, sedangkan TURP
dilakukan oleh ahli urologi, tetapi hasilnya lebih baik OP; 2) morbiditas yang lebih dari OP

tidak bisa dianggap sebagaimana yang diindikasikan sebelumnya; 3) OP berhubungan dengan

rendahnya angka re-operasi, sesuai dengan anggapan “bukankah lebih baik operasi dengan

sedikit lebih sakit daripada operasi yang minim invasi tetapi memerlukan re-operasi yang

tinggi?; 4) Retensi gumpalan dan perdarahan yang lebih sedikit; 5)Khususnya peningkatan

PFR dan IPSS yang lebih baik (yang mana menjadi tujuan pengelolaan pasien dengan BPH);

6) biaya jangka pendek dan mungkin jangka panjang yang sama . kami pikir OP harus

ditawarkan kepada pasien saat konsultasi sebelum dilakukan operasi prostat.

Simpulan

Open transvesical prostatectomy adalah operasi yang aman untuk prostat dengan

ukuran 30 g hingga 70 g, dengan komplikasi yang lebih sedikit dibandingkan TURP. OP juga

mempunyai hasil keluaran (outcome) yang lebih baik dalam mengatasi obstruksi dan

rendahnya disuria serta re-operasi. Penulis yakin bahwa OP bisa dipelajari dan menyarankan

ini sebagai pilihan bedah yang tepat untuk didiskusikan secara paralel dengan TURP pada

pasien dengan ukuran prostat 30 g hingga 70 g.

Anda mungkin juga menyukai