Disusun oleh :
Vika Damay / 01073170073
Pembimbing :
dr. F.C. Christofani Ekapatria, Sp.OG
TANGERANG
1
DAFTAR ISI
i
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
luteum setelah ovulasi berkontribusi terhadap meningkatkan kadar
progesterone.8 Dengan demikian, ovarium memiliki dua fungsi yang saling
berhubungan, yaitu menghasilkan oosit matur dan memproduksi hormon steroid
dan peptida agar tercipta lingkungan yang kondusif untuk fertilisasi dan
implantasi pada endometrium.6 Peningkatan kadar hormon estrogen
menyebabkan terjadinya mekanisme umpan balik ke hipotalamus dan hipofisis
anterior. Hasilnya adalah menurunnya produksi GnRH dan hormon
gonadotropin.8
3
neuron kiss1 pada nucleus arkuata sehingga produksi GnRH menurun.7 Namun
ketika kadar estrogen tinggi, terjadi stimulasi neuron kiss1 pada nucleus AVPV
sehingga produksi GnRH meningkat. Hal ini yang berperan dalam terjadinya
LH surge pada saat ovulasi.7
2.1.2 Hormon steroid seks
Sintesis hormon steroid seks terjadi di gonad, kelenjar adrenal dan
plasenta. Kolesterol dibutuhkan sebagia bahan baku utama dalam proses sistesis
hormon steroid seks. Proses konversi kolesterol menjadi hormon steroid seks
yang aktif secara biologis disebut steroidogenesis.6 Semua jaringan yang
menghasilkan steroid, kecuali plasenta, memiliki kemampuan untuk
menghasilkan kolesterol dari asetat. Steroidogenesis terjadi terutama di
mitokondria dan reticulum endoplasma halus pada sel steroidogenik dan
melibatkan 17 enzim.6,11 Enzim-enzim ini merupakan bagian bagian dari enzim
sitokrom P450 yang dikodekan oleh gen CYP.6 Enzim-enzim steroidogenik
berperan sebagai katalis dalam empat proses modifikasi struktur steroid yang
terdiri atas pemutusan rantai samping (reaksi desmolase), konversi hidroksil
menjadi keton (reaksi dehydrogenase), penambahan grup hidroksil (reaksi
hidroksilasi), dan penambahan atau pengeluaran hydrogen untuk mengurangi
ikatan ganda. Alur steroidogenesis sama pada jaringan steroidogenik manapun,
yang berbeda hanya hormon yang dihasilkan.11
Pada ovarium, sel theca menghasilkan androgen sebagai respons
terhadap stimulasi LH.11 Produk utamanya adalah androgen lemah
androstenedione dan dehydroepiandrosterone (DHEA).6 Androgen kemudian
difusi ke sel granulosa dimana FSH akan menstimulasi sel granulosa untuk
mengubah androgen menjadi estrogen.11 Estrogen dihasilkan melalui proses
aromatisasi androgen oleh enzim aromatase.6 Selain dari ovarium, aromatase
juga dihasilkan pada jaringan adiposa, kulit, dan otak.11
Kebanyakan steroid seks pada sirkulasi perifer berikatan dengan protein
pembawa yaitu sex hormone-binding globulin (SHBG). SHBG diproduksi oleh
liver, namun dapat ditemukan pula pada otak, plasenta, endometrium, dan
testis.6
4
2.2 Sindroma ovarium polikistik
2.2.1 Definisi
Sindroma ovarium polikistik atau polycystic ovary syndrome (PCOS)
merupakan kelainan endokrin-metabolik dengan karakteristik
ketidakseimbangan hormonal multipel yang ditandai oleh hiperandrogenisme,
oligo-/anovulasi dan ovarium polikistik dari ultrasonografi (USG).4,9
2.2.2 Epidemiologi
PCOS dianggap sebagai salah satu gangguan endokrin-metabolik
tersering pada perempuan. Prevalensi PCOS bervariasi tergantung dari kriteria
diagnosis yang digunakan. Sebagai contoh, hasil penelitian World Health
Organization (WHO) pada 827 perempuan dengan oligoovulasi kelas II
(disfungsi ovulasi euestrogenik normogonadotropik) menunjukkan bahwa 456
(55%) diantaranya mengidap PCOS apabila menggunakan kriteria diagnosis
National Institute of Health (NIH) 1990. Sedangkan 754 (9%) perempuan
didiagnosis dengan PCOS ketika menggunakan kriteria diagnostic Rotterdam
2003.10
Pada meta-analysis dari 55 populasi penelitian tahun 2016 di Eropa,
Australia, Asia dan USA, prevalensi PCOS adalah sebanyak 6% dari 18
percobaan yang menggunakan kriteria NIH. Prevalensi meningkat menjadi rata-
rata 10% (8-13%) dari 15 percobaan yang menggunakan krieria Rotterdam dan
sebanyak 10% dari 10 percobaan yang menggunakan Androgen Excess and
PCOS Society Criteria.4 Pada tahun 2007 dilakukan penelitian di Surabaya dan
didapatkan prevalensi PCOS sebesar 4,5%.11
5
gangguan bipolar. Gejala klinis hiperandrogen dan siklus menstruasi ireguler
membaik setelah obat tersebut dihentikan namun morfologi dari ovarium
polikistik tidak mengalami perubahan pada pemeriksaan ultrasonografi. Hal ini
juga terbukti dari meta-analisis 11 studi yang menunjukkan adanya peningkatan
resiko terjadinya PCOS sebanyak dua kali lipat pada 556 perempuan yang
mengonsumsi asam valproat dibandingkan 593 perempuan yang mengonsumsi
obat antiepilepsi jenis lain.8 Mekanisme peningkatan resiko terjadinya PCOS
pada penggunaan asam valproat diperkirakan akibat stimulasi biosintesis
androgen di sel theca oleh obat tersebut.
6
2.2.4.2 Resistensi insulin dan hiperinsulinemia
Resistensi insulin dan adanya hiperinsulinemia kompensasi
merupakan penemuan yang cukup sering pada PCOS. Sebanyak 50-
70% perempuan dengan PCOS menunjukkan adanya resistensi insulin
yang dapat diukur secara klinis (in vivo) dan bisa ditentukan
berdasarkan berat badan, dengan kata lain derajat obesitas pasien.18
Insulin menstimulasi sekresi androgen oleh sel theca dan menghambat
produksi SHBG pada liver yang berujung pada peningkatan kadar
androgen bebas dalam darah.19 Rojas J, et al mengemukakan bahwa
insulin meningkatkan sekresi androgen dari sel theca dengan cara
meningkatkan amplitudo dan pulsasi sekresi GnRH dan LH.5
7
Insulin juga meningkatkan produksi androgen dari kelenjar
adrenal dengan cara potensiasi aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal
(HHAA). Hipokampus merupakan mediator penting dalam umpan
balik HHAA.20 Dengan menghambar aktifitas hipokampus, insulin
secara tidak langsung meningkatkan produksi corticotropin-releasing
hormone (CRH) dari hipotalamus, namun insulin bekerja secara
langsung pada hipotalamus dan hipofisis. Selain itu insulin juga
mengamplifikasi sensitifitas kelenjar adrenal terhadap stimulasi ACTH
sehingga meningkatkan sekresi androgen walaupun mekanismenya
belum jelas.5
Obesitas memperparah resistensi insulin, derajat keparahan
hiperinsulinemia, keparahan disfungsi ovulasi dan menstruasi, dan
hasil kehamilan pada PCOS dan berhubungan dengan meningkatnya
prevalensi sindroma metabolik, intoleransi glukosa, resiko
kardiovaskular dan sleep apnea.21 Namun dari penelitian terbaru
ditemukan bahwa obesitas tidak ditemukan sesering yang diperkirakan
sebelumnya dan pelaporan obesitas pada PCOS bisa jadi merupakan
bias rujukan karena pasien yang terdiagnosis PCOS memiliki rata-rata
IMT yang tidak jauh berbeda dengan populasi asalnya. Pasien-pasien
dengan IMT yang tinggi dirujuk dengan diagnosis PCOS padahal tidak
semua perempuan dengan keluhan obesitas merupakan penderita
PCOS. Sebuah meta-analisis juga mengonfirmasi bahwa IMT dari
pasien PCOS rujukan secara signifikan lebih tinggi dibandingkan
pasien PCOS yang diidentifikasi pada populasi yag tidak terpilih.22
Bias rujukan ini tidak mengejutkan karena obesitas merupakan seuatu
hal yang sangat mempengaruhi kualitas hidup dan cenderung membuat
pasien meminta bantuan tenaga medis untuk mengatasi masalah ini.
Secara keseluruhan, data-data terbaru ini menyimpulkan bahwa
perempuan-perempuan dengan PCOS mungkin memiliki IMT yang
lebih tinggi daripada perempuan-perempuan tanpa PCOS di kalangan
mereka, namun meningkatnya prevalensi peningkatan IMT pada
pasien-pasien ini bisa jadi merupakan hasil dari bias rujukan. Walaupun
kelebihan lemak bukan merupakan faktor yang menyebabkan tingginya
prevalensi PCOS, rata-rata IMT pasien dengan PCOS perlahan-lahan
8
meningkat seiring dengan berjalannya waktu, sehingga kebanyakan
orang menganggap IMT yang tinggi menjadi salah satu faktor
predesposisi PCOS.22
9
umumnya menunjukkan adanya aktivitas berlebih dari kaskade
steroidogenesis. Androgen dibutuhkan sebagai substrat untuk
menghasilkan estrogen dan androgen sendiri dibutuhkan untuk
fertilitas optimal. Namun apabila jumlah androgen berlebihan, akan
terjadi gangguan perkembangan folikel ovarium. Pada fase
pertumbuhan folikel antral kecil, LH menstimulasi sel theca ovarium
untuk membentuk androgen sedangkan FSH akan menstimulasi sel
granulosa untuk memproduksi estrogen. Normalnya produksi androgen
sel theca dan estrogen sel granulosa diatur terutama oleh mekanisme
intraovarium.26,27 Dalam ovarium, respons terhadap LH dimodulasi
oleh keseimbangan proses down-regulation dan upregulation. Down-
regulation terjadi akibat reseptor LH yang terdesensitisasi karena
meningkatnya LH. Sedangkan produksi androgen oleh LH mengalami
penurunan regulasi oleh adanya estrogen dan androgen. Pada PCOS,
keseimbangan ini terganggu dan yang terjadi adalah hiperesponsivitas
ovarium terhadap stimulasi LH.27
Disfungsi sel granulosa pada PCOS terjadi karena adanya
kelebihan androgen intraovarium. Hal ini menyebabkan stimulasi
abnormal pada folikel-folikel kecil untuk bertumbuh.24 Androgen
berlebih juga menyebabkan luteinisasi prematur pada folikel sehingga
maturasi terhenti dan mengganggu munculnya folikel dominan dan
akhirnya terjadi oligo-anovulasi. Stimulasi androgen terhadap
proliferasi sel granulosa pada awal perkembangan folikel kemungkinan
menjadi penyebab terjadinya peningkatan produksi Anti-Müllerian
hormone pada PCOS.26
10
glukosa terganggu, diabetes melitus tipe 2 dan dan sindroma metabolik dapat
muncul di masa remaja.29
11
bila virilisasi muncul dalam bentuk klitoromegali yang terjadi secara
cepat, perlu dilakukan eksklusi penyebab lain termasuk tumor yang
mensekresi androgen pada ovarium atau adrenal. Hiperandrogen secara
biokimia ada pada mayoritas penderita PCOS. Total testosterone,
testosterone bebas dan konsentrasi DHEA meningkat pada penelitian
yang dilakukan pada 1000 pasien dengan PCOS.30
2.2.5.2 Manifestasi psikologis
PCOS tidak hanya mempengaruhi penderitanya dari segi
biologis saja namun juga dari segi psikologis.27 Dari segi penampilan;
obesitas, jerawat dan rambut tubuh yang berlebih disertai infertilitas
dan komplikasi kesehatan jangka panjang menyebabkan penurunan
kualitas hidup dan dengan demikian berpengaruh terhadap mood dan
kesehatan psikologis. Wanita dengan PCOS lebih rentan mengalami
depresi, ansietas, memiliki tingkat percaya diri yang rendah akibat citra
tubuh yang buruk dan disfungsi psikoseksual.25
2.2.5.3 Manifestasi metabolik
Wanita dengan PCOS memiliki kadar high-density lipoprotein
(HDL) yang rendah dan konsentrasi trigliserida yang tinggi.
Dislipidemia pada pasien PCOS tidak dipengaruhi oleh IMT namun
ada efek sinergis dari obesitas dan resistensi insulin terhadap terjadinya
dislipidemia pada PCOS seperti yang terlihat pada pasien diabetes
melitus tipe 2 (DMT2). Dislipidemia pada kasus PCOS dipengaruhi
oleh banyak faktor namun resistensi insulin memberikan kontribusi
utama dengan cara stimulasi liposis dan perubahan ekspresi lipoprotein
lipase dan hepatik lipase.17
Resistensi insulin dengan hiperinsulinemia ditemukan pada
kebanyakan wanita dengan PCOS dan hal ini independen terhadap
tingkat obesitas. Menariknya, kerja insulin dalam menstimjlasi
produksi androgen tetap berjalan namun perannya dalam metabolisme
glukosa terganggu.20,21 Wanita kurus dengan PCOS biasanya juga
memiliki abnormalitas pada sekresi dan kerja insulin namun hal ini
tidak selalu terjadi. Ketika seorang wanita dengan PCOS memiliki
kelebihan berat badan, ditemukan adanya resistensi insulin ekstrinsik
yang berkaitan dengan adipositas, dan dalam hal ini resistensi insulin
12
yang dialami memiliki perbedaan secara mekanik dengan yang dimiliki
oleh wanita dengan PCOS yang kurus.26 Dari semua wanita PCOS
dengan resistensi insulin, hanya tidak semuanya mengalami
insufisiensi pankreas dengan kegagalan sel dan menjadi DMT2. Pada
kasus-kasus semacam ini sekresi insulin tidak dapat mengatasi
resistensi insulin sehingga terjadi hiperglikemia. Resiko terjadinya
DMT2 makin meningkat terutama pada pasien dengan riwayat keluarga
DMT2.21
Kumpulan dari gangguan metabolik yaitu obesitas abdomen,
resistensi insulin, metabolisme glukosa terganggu, hipertensi dan
dislipidemia disebut sindroma metabolik. Pada pasien dengan PCOS
hal-hal tersebut meningkatkan resiko munculnya penyakit
kardiovaskular.17 Pada pasien-pasien ini juga terjadi peningkatan
marker atherosklerosis dini seperti disfungsi endothel, gangguan
kecepatan gelombang nadi, peningkatan ketebalan dinding tunika
intima pada arteri carotid, adanya plak carotid dan peningkatan
kalsifikasi dinding arteri)
2.2.6 Diagnosis
Diagnosis dini dan intervensi sangat penting untuk kualitas hidup dan
kesejahteraan pasien dengan PCOS. Diagnosis PCOS ditegakkan melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.30
13
Gambar 2.3 Kriteria diagnosis PCOS
14
kadar total testosterone disertai kadar serum DHEA untuk mencari
penyebab hiperandrogen yang berasal dari kelainan adrenal.32 Selain
itu untuk pasien yang datang dengan oligomenorrhea, penyebab
menstruasi ireguler lainnya harus disingkirkan seperti misalnya
kehamilan (dilakukan pemeriksaan kadar human chorionic
gonadotropin/hCG serum). Pemeriksaan lainnya misalnya kadar
prolaktin, thyroid-stimulating hormone (TSH) dan follicle-stimulating
hormone (FSH) dalam serum untuk menyingkirkan kemungkinan
adanya hiperprolaktinemia, penyakit tiroid, dan insufisiensi
ovarium.31,32
2.2.7 Tatalaksana
15
yang memiliki siklus anovulatori dan BMI > 35 yang sudah menjalani
diet dan olahraga selama 6 bulan namun tidak menunjukkan hasil.
Terjadi perbaikan fertilitas setelah dilakukan operasi bariatrik, namun
kehamilan sebaiknya dihindari pada 12-18 bulan awal setelah operasi
dilakukan.36
16
adalah penggunaan terapi progestin oral intrauterine device (IUD)
yang melepaskan progestin.36 Obat progestin oral yang
direkomendasikan adalah medroxyprogesterone asetat (5-10 mg) untuk
10-14 hari tiap 1-2 bulan. Pasien harus diinfokan bahwa terapi
progesterone sendiri tidak dapat memperbaiki gejala jerawat dan
hirsutisme dan tidak memiliki efek kontrasepsi. Namun apabila
menggunakan terapi progestin norethindrone (“minipill”) 0.35 mg
setiap hari, didapatkan efek kontrasepsi dan juga perlindungan terhadap
endometrium.
2.2.7.4 Antiandrogen
Jika setelah 6 bulan penggunaan kontrasepsi oral pasien
belum puas dengan ahsil klinis, maka alternatif lain adalah dengan
mengonsumsi spironolactone 50-100mg dua kali sehari. Namun terapi
spironolactone sendiri tidak memperbaiki siklus menstruasi, malah
terkadang obat ini yang menyebabkan menstruasi ireguler. Oleh karena
itu terkadang perlu diperlukan pula terapi progestin.35
Harus dipastikan bahwa pasien sedang tidak hamil saat
mengonsumsi spironolactone karena antiandrogen dapat menyebabkan
kelainan pertumbuhan genitalia eksternal pada fetus laki-laki.
Antiandrogen lainnya misalnya finasteride, cyproterone asetat, dan
flutamide.34
2.2.7.5 Agonis GnRH
Agonis GnRH juga dapat digunakan untuk menekan produksi
androgen ovarium. Namun terapi estrogen-progestin dibutuhkan juga
untuk mencegah munculnya gejala defisiensi estrogen dan bone loss.36
2.2.7.6 Induksi ovulasi
Untuk pasien infertil dengan PCOS dan obesitas
direkomendasikan untuk menurunkan berat badan sebelum melakukan
induksi ovulasi. Clomiphen citrate (CC) adalah lini pertama induksi
ovulasi pada pasien PCOS non-obesitas (BMI <30). CC bekerja dengan
mengikat reseptor estrogen pada hipothalamus sehingga terjadi
rangsangan untuk mengeluarkan GnRH. Dilepasnya gonadotropin dari
hipofisi anterior akan memicu perkembangan folikel dan peningkatkan
produksi estradiol sehingga terjadi ovulasi. Dosis awal CC adalah
17
50mg/hari selama 5 hari dan dapat dinaikkan dosisnya bila setelah 2
siklus tidak ada respon. Apabila terjadi resistensi terhadap CC,
pilihannya adalah dengan mengganti CC dengan inhibitor aromatase,
atau kombinasi CC dan metformin, atau penggunaan terapi
gonadotropin.36
Inhibitor aromatase yang digunakan untuk induksi ovulasi
adalah letrozole dan anastrozole. Untuk pasien-pasien PCOS dengan
obesitas, letrozole lebih direkomendaiskan dibandingkan CC.
Letrozole bisa digunakan sebagai lini kedua apabila terjadi resistensi
atau kegagalan terapi dengan CC. Menurut penelitian, kombinasi
letrozole dan metformin lebih unggul dibandingkan CC dengan
metformin, dimana keberhasilan kehamilan lebih tinggi pada siklus
inseminasi yang ke 3 (20,6% untuk letrozole + metformin; 9,6% untuk
CC + metformin).35
Terapi dengan gonadotropin eksternal dapat diberikan
sebagai pilihan lini kedua selain inhibitor aromatase.34 Resiko yang
harus diwaspadai dari terapi gonadotropin adalah kehamilan ganda dan
juga ovarian hyperstimulation syndrome (OHSS). Kekurangan lain dari
dari terapi gonadotropin adalah biaya yang cukup besar. Apabila
diperlukan, maka pemberian terapi harus dengan dosis terendah
terlebih dahulu dan perlu dilakukan tes patensi tuba fallopi.36
Metformin merupakan obat dengan efek menurunkan
pengeluaran glukosa hepar dan dengan demikian menurunkan
konsentrasi insulin dalam darah. Obat ini bertindak langsung dalam
ovarium dengan mempromosikan ovulasi. Apabila digunakan sebagai
monoterapi, keberhasilan dalam tatalaksana infertilitas terutama pada
PCOS anovulatori terbatas. Namun bila dikombinasikan dengan CC
atau inhibitor aromatase seperti letrozole, hasilnya akan lebih baik.17
2.2.7.7 Operasi laparoskopi
Pada tahun-tahun sebelumnya dilakukan reseksi pada
sebagian bagian ovarium sebagai tatalaksana infertilitas pada PCOS.
Namun cara ini sudah mulai ditinggalkan karena efikasi penggunaan
induksi farmakologis dan juga meningkatnya insiden perlengketan.
Alternatif lain adalah dengan laparoscopic ovarian drilling (LOD),
18
yaitu induksi ovulasi dengan cara menghancurkan sebagian ovarium
dengan menggunakan laser. LOD merupakan lini terakhir induksi
ovulasi setelah terapi farmakologis tidak membuahkan hasil.36
2.2.7.8 Fertilisasi in vitro
Apabila penurunan berat badan, induksi ovulasi dan/atau
LOD tidak berhasil, tahap selanjutnya adalah dengan fertilisasi in vitro.
Pasien dengan PCOS memiliki resiko terjadinya kehamilan ganda dan
OHSS, maka pada pasien-pasien ini bisa diberikan metformin untuk
menurunkan resiko OHSS.34
2.2.7.9 Tatalaksana kelainan metabolik
Sama seperti tatalaksana kelainan metabolik lainnya,
perubahan gaya hidup menjadi lini pertama. Terapi farmakologis
diberikan sesuai dengan indikasi.2
Obat-obatan seperti metformin dan thiazolidinedione dapat
menurunkan kadar insulin dan juga menurunkan produksi androgen
ovarium. Thiazolidinedione belum terlalu banyak diteliti seperti
metformin namun kemungkinan dapat memperbaiki sensitivitas insulin
dan hiperandrogenemia. Namun karena kurangnya data, potensi
peningkatan berat badan dan kemungkinan hubungan dengan efek
samping penyakit kardiovaskular, thiazolidinedione tidak
direkomendasikan untuk diberikan pada pasien PCOS yang tidak
memiliki diabetes.5,36
Penanganan dislipidemia pada pasien PCOS sama dengan
pasien-pasien dislipidemia lain yang tidak memiliki PCOS. Statin dapat
diberikan namun tidak memiliki efek terhadap menstruasi, ovulasi,
jerawat, hirsutisme atau IMT.34
19
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
1. Rosenfield RL, Ehrmann DA. The Pathogenesis of Polycystic Ovary Syndrome (PCOS):
The Hypothesis of PCOS as Functional Ovarian Hyperandrogenism Revisited.
Endocr Rev 2016; 37:467.
3. Hahn S, Janssen OE, Tan S, Pleger K, Mann K. Clinical and psychological correlates of
quality of life in polycystic ovary syndrome. Eur J Endrocinol. 2005;853-860.
6. Hoffman BL, Schorge JO, Bradshaw KD, Halvorson LM, Schaffer JI, Corton MM.
William’s Gynaecology, 3rd edition.
7. Sherwood L. Human physiology: from cells to systems. 7th ed. Australia; Belmont,
CA:Thomson/Brooks/Cole;2010
8. Tortora GJ. Principles of anatomy and physiology.12th ed. Hoboken, NJ: J. Wiley;2009
9. Guo Y, Qi Yi, Yang X, Zhao L, Wen S, Liu Y, et al. Association between polycystic
ovary syndrome and Gut Microbiota.2016;1-15
10. March WA, Moore VM, Willson KJ, et al. The prevalence of polycystic ovary
syndrome in a community sample assessed under contrasting diagnostic criteria.
Hum Reprod 2010; 25:544.
11. Baziad A. Sindrom ovarium polikistik dan penggunaan analog GnRH. 2012;39(8):573-
575
20
Endocrine Reviews. 2016;37(5):467-520.
13. Hart R, Doherty DA. The potential implications of a PCOS diagnosis on a woman's
long-term health using data linkage. J Clin Endocrinol Metab 2015; 100:911
14. McGowan M. Polycystic Ovary Syndrome: A Common Endocrine Disorder and Risk
Factor for Vascular Disease. Current Treatment Options in Cardiovascular Medicine.
2011;13(4):289-301.
15. Lin LH, Baracat MC, Gustavo AR, et al. Androgen receptor gene polymorphism and
polycystic ovary syndrome. Int J Gynaecol Obstet 2013;120:115–118.
16. Day FR, Hinds DA, Tung JY, et al. Causal mechanisms and balancing selection inferred
from genetic associations with polycystic ovary syndrome. Nat Commun 2015;
6:8464.
18. Diamanti-Kandarakis E, Dunaif A. Insulin resistance and the polycystic ovary syndrome
revisited: an update on mechanisms and implications. Endocr Rev 2012; 33:981.
19. Chen YH, Heneidi S, Lee JM, et al. miRNA-93 inhibits GLUT4 and is overexpressed in
adipose tissue of polycystic ovary syndrome patients and women with insulin
resistance. Diabetes 2013; 62:2278.
20. Randeva HS, Tan BK, Weickert MO, et al. Cardiometabolic aspects of the polycystic
ovary syndrome. Endocr Rev 2012;33:812–841
23. Azziz R. PCOS in 2015: New insights into the genetics of polycystic ovary syndrome.
Nat Rev Endocrinol 2016; 12:183.
21
24. McAllister JM, Legro RS, Modi BP, Strauss JF 3rd. Functional genomics of PCOS:
from GWAS to molecular mechanisms. Trends Endocrinol Metab 2015; 26:118.
25. Hayes MG, Urbanek M, Ehrmann DA, et al. Genome-wide association of polycystic
ovary syndrome implicates alterations in gonadotropin secretion in European
ancestry populations. Nat Commun 2015; 6:7502.
26. Day FR, Hinds DA, Tung JY, et al. Causal mechanisms and balancing selection inferred
from genetic associations with polycystic ovary syndrome. Nat Commun 2015;
6:8464.
27. Burt Solorzano CM, McCartney CR, Blank SK, et al. Hyperandrogenaemia in
adolescent girls: origins of abnormal gonadotropin-releasing hormone secretion.
BJOG 2010; 117:143.
28. Veltman-Verhulst SM, Boivin J, Eijkemans MJ, Fauser BJ. Emotional distress is a
common risk in women with polycystic ovary syndrome: a systematic review and
meta-analysis of 28 studies. Hum Reprod Update 2012; 18:638.
29. 5. Teede H, Deeks A, Moran L. Polycystic ovary syndrome: a complex condition with
psychological, reproductive and metabolic manifestations that impacts on health
across the lifespan. BMC Medicine. 2010;8(1).
30. Azziz R, Sanchez LA, Knochenhauer ES, et al. Androgen excess in women: experience
with over 1000 consecutive patients. J Clin Endocrinol Metab 2004; 89:453.
31. McAllister JM, Modi B, Miller BA, et al. Overexpression of a DENND1A isoform
produces a polycystic ovary syndrome theca phenotype. Proc Natl Acad Sci U S A
2014; 111:E1519.
32. Dewailly D, Lujan ME, Carmina E, et al. Definition and significance of polycystic
ovarian morphology: a task force report from the Androgen Excess and Polycystic
Ovary Syndrome Society. Hum Reprod Update 2014; 20:334.
33. Tal R, Seifer DB, Khanimov M, et al. Characterization of women with elevated
antimüllerian hormone levels (AMH): correlation of AMH with polycystic ovarian
syndrome phenotypes and assisted reproductive technology outcomes. Am J Obstet
Gynecol 2014; 211:59.e1.
34. Legro RS, Arslanian SA, Ehrmann DA, et al. Diagnosis and treatment of polycystic
22
ovary syndrome: an Endocrine Society clinical practice guideline. J Clin Endocrinol
Metab 2013; 98:4565.
35. Dumesic DA, Lobo RA. Cancer risk and PCOS. Steroids 2013; 78:782.
36. Domecq JP, Prutsky G, Mullan RJ, et al. Adverse effects of the common treatments for
polycystic ovary syndrome: a systematic review and meta-analysis. J Clin
Endocrinol Metab 2013; 98:4646.
23