Anda di halaman 1dari 25

REFERAT KEPANITERAAN KLINIK

POLYCYSTIC OVARY SYNDROME

Disusun oleh :
Vika Damay / 01073170073

Pembimbing :
dr. F.C. Christofani Ekapatria, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK ILMU OBSTETRI & GINEKOLOGI

SILOAM HOSPITALS LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM SILOAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

PERIODE 19 MARET – 26 MEI 2018

TANGERANG

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................................................... i


BAB I PENDAHULUAN................................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 2
2.1 Endokrinologi reproduksi ................................................................................................. 2
2.1.1 Hypothalamus-pituitary-gonadal axis pada perempuan .................................................... 2
2.1.2 Hormon steroid seks .......................................................................................................... 4
2.2 Sindroma ovarium polikistik ............................................................................................ 5
2.2.1 Definisi .............................................................................................................................. 5
2.2.2 Epidemiologi ..................................................................................................................... 5
2.2.3 Kelompok resiko tinggi ..................................................................................................... 5
2.2.4 Etiologi dan patofisiologi .................................................................................................. 6
2.2.5 Manifestasi klinis ............................................................................................................ 10
2.2.6 Diagnosis ......................................................................................................................... 13
2.2.7 Tatalaksana...................................................................................................................... 15
BAB III DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 20

i
BAB I

PENDAHULUAN

Sindroma ovarium polikistik atau polycystic ovary syndrome (PCOS) adalah


kumpulan gejala endokrin yang cukup sering pada perempuan usia reproduktif.1 PCOS
pertama kali dilaporkan pada tahun 1935 oleh Stein dan Levanthal, yang menemukan tujuh
perempuan dengan karakteristik amenorrhea, hirsutisme, dan perbesaran ovarium dengan
kista multiple.2
PCOS merupakan endokrinopati yang sering terjadi dengan prevalensi 4-8% pada
perempuan usia reproduktif.2 Dari penelitian terbaru ditemukan bahwa prevalensi PCOS
bervariasi tergantung dari kriteria diagnosis yang digunakan.2 Orang-orang yang menderita
PCOS akan mengalami perubahan baik secara fisik maupun metabolik yang ditandai
dengan siklus menstruasi abnormal, hiperandrogenisme, obesitas, dan infertilitas.3
Manifestasi PCOS tidak hanya terpaku pada aspek ginekologi saja tetapi juga meningkatkan
resiko terhadap penyakit-penyakit komorbid lainnya seperti dislipidemia, hipertensi,
sindroma metabolik, dan diabetes mellitus tipe 2 dibandingkan dengan perempuan tanpa
PCOS. Komobid-komorbid tersebut, bersamaan dengan kelainan-kelainan lainnya seperti
disfungsi endothel dan keadaan inflamasi derajat rendah yang kronik meningkatkan resiko
terjadinya penyakit kardiovaskular, dan dengan demikian meningkatkan mortalitas pasien.4
PCOS dianggap sebagai kelainan kompleks yang timbul dari interaksi antara faktor
genetik dan faktor lingkungan.5 Diagnosis PCOS seringkali sulit karena PCOS memiliki
kemiripan dengan beberapa keadaan patologis lainnya seperti obesitas, sindroma Cushing,
neoplasma ovarium dan adrenal serta hiperplasia adrenal kongenital.4 Diagnosis dan
penanganan yang tepat tidak hanya membantu memperbaiki gejala tetapi juga dapat
meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan pasien.2

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Endokrinologi reproduksi


Hormon secara garis besar dibagi menjadi dua kelompok: peptida dan
steroid. Reseptor untuk hormon-hormon tersebut terbagi menjadi dua:6
1. Reseptor yang terletak pada permukaan sel, yang berinteraksi dengan hormon
hidrofilik yaitu peptida.
2. Reseptor yang terletak intrasel, yang berinteraksi dengan hormon lipofilik yaitu
steroid.
Hormon yang berada di serum dan jaringan memiliki konsentrasi yang rendah, oleh
sebab itu reseptor-reseptor hormon harus memiliki afinitas dan spesifisitas tinggi untuk
hormone memberikan respon biologis yang sesuai.6
Dua hormon yang berperan dalam komunikasi dengan kelenjar gonad adalah
hormon gonadotropin yang terdiri atas follicle-stimulating hormone (FSH) dan
luteinizing hormone (LH). Kedua hormon tersebut ada baik laki-laki maupun
perempuan, namun memiliki target kelenjar gonad yang berbeda (ovarium pada
perempuan, testis pada laki-laki). Regulasi dari hormon-hormon tersebut diatur melalui
sistem khusus yang disebut hypothalamus-pituitary-gonadal (HPG) axis.8

2.1.1 Hypothalamus-pituitary-gonadal axis pada perempuan


Follicle-stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH)
merupakan hormon yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisis anterior. Sekresi dari
tiap hormon hipofisis anterior distimulasi atau diinhibisi oleh hormon
hipofisiotropik yang dikeluarkan oleh hipotalamus.7
Sekresi FSH dan LH dari hipofisis anterior diatur oleh gonadotropin
releasing hormone (GnRH), salah satu hormon hipofisiotropik yang dikeluarkan
oleh hipotalamus. GnRH kemudian menstimulasi hipofisis anterior sehingga
mengeluarkan FSH dan LH. FSH dan LH akan menuju ke ovarium untuk
memberikan efeknya.7,8 Pada perempuan, FSH berfungsi menginisiasi
pertumbuhan folikel pada ovarium, sedangakan LH berkontribusi dalam
ovulasi. Selain itu, FSH dan LH juga menstimulasi ovarium untuk menghasilkan
estrogen dan inhibin. Estrogen yang terbentuk berasal dari konversi hormon
androgen yaitu androstenedione oleh enzim aromatase. Terbentuknya korpus

2
luteum setelah ovulasi berkontribusi terhadap meningkatkan kadar
progesterone.8 Dengan demikian, ovarium memiliki dua fungsi yang saling
berhubungan, yaitu menghasilkan oosit matur dan memproduksi hormon steroid
dan peptida agar tercipta lingkungan yang kondusif untuk fertilisasi dan
implantasi pada endometrium.6 Peningkatan kadar hormon estrogen
menyebabkan terjadinya mekanisme umpan balik ke hipotalamus dan hipofisis
anterior. Hasilnya adalah menurunnya produksi GnRH dan hormon
gonadotropin.8

Gambar 2.1 Regulasi umpan balik aksis HPG

Penelitian yang terbaru menemukan bahwa aktivitas GnRH sebenarnya


dipengaruhi oleh neuron kiss1 pada nucleus arkuata pada hipotalamus.7 Neuron
kiss1 akan melepas neurotransmitter kisspeptin yang menstimulasi sekresi
GnRH. Perbedaan neuron kiss1 pada laki-laki dan pada perempuan adalah: pada
perempuan ada dua set neuron kiss1, yaitu 1 set pada nucleus arkuata dan set
lainnya pada nucleus anteroventral periventricular (AVPV) yang terletak pada
hipotalamus di sepanjang ventrikel ketiga. Pada waktu menstruasi, ketika kadar
estrogen belum terlalu tinggi, terjadi mekanisme umpan balik dari estrogen ke

3
neuron kiss1 pada nucleus arkuata sehingga produksi GnRH menurun.7 Namun
ketika kadar estrogen tinggi, terjadi stimulasi neuron kiss1 pada nucleus AVPV
sehingga produksi GnRH meningkat. Hal ini yang berperan dalam terjadinya
LH surge pada saat ovulasi.7
2.1.2 Hormon steroid seks
Sintesis hormon steroid seks terjadi di gonad, kelenjar adrenal dan
plasenta. Kolesterol dibutuhkan sebagia bahan baku utama dalam proses sistesis
hormon steroid seks. Proses konversi kolesterol menjadi hormon steroid seks
yang aktif secara biologis disebut steroidogenesis.6 Semua jaringan yang
menghasilkan steroid, kecuali plasenta, memiliki kemampuan untuk
menghasilkan kolesterol dari asetat. Steroidogenesis terjadi terutama di
mitokondria dan reticulum endoplasma halus pada sel steroidogenik dan
melibatkan 17 enzim.6,11 Enzim-enzim ini merupakan bagian bagian dari enzim
sitokrom P450 yang dikodekan oleh gen CYP.6 Enzim-enzim steroidogenik
berperan sebagai katalis dalam empat proses modifikasi struktur steroid yang
terdiri atas pemutusan rantai samping (reaksi desmolase), konversi hidroksil
menjadi keton (reaksi dehydrogenase), penambahan grup hidroksil (reaksi
hidroksilasi), dan penambahan atau pengeluaran hydrogen untuk mengurangi
ikatan ganda. Alur steroidogenesis sama pada jaringan steroidogenik manapun,
yang berbeda hanya hormon yang dihasilkan.11
Pada ovarium, sel theca menghasilkan androgen sebagai respons
terhadap stimulasi LH.11 Produk utamanya adalah androgen lemah
androstenedione dan dehydroepiandrosterone (DHEA).6 Androgen kemudian
difusi ke sel granulosa dimana FSH akan menstimulasi sel granulosa untuk
mengubah androgen menjadi estrogen.11 Estrogen dihasilkan melalui proses
aromatisasi androgen oleh enzim aromatase.6 Selain dari ovarium, aromatase
juga dihasilkan pada jaringan adiposa, kulit, dan otak.11
Kebanyakan steroid seks pada sirkulasi perifer berikatan dengan protein
pembawa yaitu sex hormone-binding globulin (SHBG). SHBG diproduksi oleh
liver, namun dapat ditemukan pula pada otak, plasenta, endometrium, dan
testis.6

4
2.2 Sindroma ovarium polikistik
2.2.1 Definisi
Sindroma ovarium polikistik atau polycystic ovary syndrome (PCOS)
merupakan kelainan endokrin-metabolik dengan karakteristik
ketidakseimbangan hormonal multipel yang ditandai oleh hiperandrogenisme,
oligo-/anovulasi dan ovarium polikistik dari ultrasonografi (USG).4,9
2.2.2 Epidemiologi
PCOS dianggap sebagai salah satu gangguan endokrin-metabolik
tersering pada perempuan. Prevalensi PCOS bervariasi tergantung dari kriteria
diagnosis yang digunakan. Sebagai contoh, hasil penelitian World Health
Organization (WHO) pada 827 perempuan dengan oligoovulasi kelas II
(disfungsi ovulasi euestrogenik normogonadotropik) menunjukkan bahwa 456
(55%) diantaranya mengidap PCOS apabila menggunakan kriteria diagnosis
National Institute of Health (NIH) 1990. Sedangkan 754 (9%) perempuan
didiagnosis dengan PCOS ketika menggunakan kriteria diagnostic Rotterdam
2003.10
Pada meta-analysis dari 55 populasi penelitian tahun 2016 di Eropa,
Australia, Asia dan USA, prevalensi PCOS adalah sebanyak 6% dari 18
percobaan yang menggunakan kriteria NIH. Prevalensi meningkat menjadi rata-
rata 10% (8-13%) dari 15 percobaan yang menggunakan krieria Rotterdam dan
sebanyak 10% dari 10 percobaan yang menggunakan Androgen Excess and
PCOS Society Criteria.4 Pada tahun 2007 dilakukan penelitian di Surabaya dan
didapatkan prevalensi PCOS sebesar 4,5%.11

2.2.3 Kelompok resiko tinggi


Beberapa kondisi yang berhubungan dengan peningkatan prevalensi
PCOS diantaranya: infertilitas oligoovulasi; obesitas dengan atau tanpa
resistensi insulin; diabetes mellitus tipe 1, tipe 2, atau gestasional; riwayat
adrenarche prematur; riwayat PCOS dalam keluarga derajat pertama; suku etnis
tertentu misalnya Amerika-Meksiko dan aborigin Australia; dan penggunaan
obat-obat antiepilepsi, terutama asam valproat.5
Dalam sebuah penelitian, oligomenorrhea dengan hiperandrogenisme
muncul pada 9 dari 86 perempuan yang menggunakan asam valproat untuk

5
gangguan bipolar. Gejala klinis hiperandrogen dan siklus menstruasi ireguler
membaik setelah obat tersebut dihentikan namun morfologi dari ovarium
polikistik tidak mengalami perubahan pada pemeriksaan ultrasonografi. Hal ini
juga terbukti dari meta-analisis 11 studi yang menunjukkan adanya peningkatan
resiko terjadinya PCOS sebanyak dua kali lipat pada 556 perempuan yang
mengonsumsi asam valproat dibandingkan 593 perempuan yang mengonsumsi
obat antiepilepsi jenis lain.8 Mekanisme peningkatan resiko terjadinya PCOS
pada penggunaan asam valproat diperkirakan akibat stimulasi biosintesis
androgen di sel theca oleh obat tersebut.

2.2.4 Etiologi dan patofisiologi


PCOS dianggap sebagia suatu keadaan kompleks yang melibatkan
interaksi faktor genetik dan lingkungan. Patogenesis PCOS divisualisasikan
dengan hipotesis “two hit”: kelainan disebabkan akibat adanya predesposisi
genetik (“first hit”) yang manifestasinya muncul akibat adanya faktor
provokatif (“second hit”). Faktor kongenital bisa herediter (genetik) atau
diperoleh (misalnya obat-obatan yang dikonsumsi oleh ibu atau gangguan
nutrisi yang mempengaruhi fetus). Faktor provokatif postnatal berupa resistensi
insulin, yang bisa didapatkan secara kongenital dan/atau diperoleh akibat
adanya obesitas. Hubungan keluarga dengan PCOS masih belum jelas, namun
literatur terbaru mengemukakan adanya pola autosomal dominan.13,14
Patofisiologi PCOS melibatkan defek pada aksis hypothalamus-pituitary
(HPA), resistensi insulin, dan fungsi ovarium.15
2.2.4.1 Defek aksis hypothalamus-pituitary
Pada pasien PCOS dijumpai pengeluaran hormon LH yang
berlebihan dari kelenjar hipofisis anterior. Kerja LH pada ovarium juga
meningkat karena terjadi peningkatan ekspresi reseptor LH pada sel
theca dan granulosa pada ovarium polikistik. Konsentrasi serum FSH
cenderung normal atau rendah pada PCOS, sehingga rasio LH:FSH
meningkat.16 Hal ini memperparah hipersekresi androgen pada sel
theca di folikel ovarium. Meningkatnya androgen folikel mengganggu
pertumbuhan folikel dan menurunkan inhibisi GnRH oleh progesterone
sehingga mempromosikan pertumbuhan fenotip PCOS lebih lanjut.17

6
2.2.4.2 Resistensi insulin dan hiperinsulinemia
Resistensi insulin dan adanya hiperinsulinemia kompensasi
merupakan penemuan yang cukup sering pada PCOS. Sebanyak 50-
70% perempuan dengan PCOS menunjukkan adanya resistensi insulin
yang dapat diukur secara klinis (in vivo) dan bisa ditentukan
berdasarkan berat badan, dengan kata lain derajat obesitas pasien.18
Insulin menstimulasi sekresi androgen oleh sel theca dan menghambat
produksi SHBG pada liver yang berujung pada peningkatan kadar
androgen bebas dalam darah.19 Rojas J, et al mengemukakan bahwa
insulin meningkatkan sekresi androgen dari sel theca dengan cara
meningkatkan amplitudo dan pulsasi sekresi GnRH dan LH.5

Gambar 2.2 Bagan patofisiologi PCOS6

Hiperandrogenisme merupakan manifestasi klinis utama pada


hampir semua kasus (fenotip) PCOS. Walaupun hiperinsulinemia
dikaitkan dengan hiperandrogenisme pada PCOS, hiperinsulinemia
sendiri tidak cukup untuk menyebabkan PCOS, sehingga diperkirakan
predisposisi genetik terhadap hiperandrogenisme memiliki peran
dalam munculnya PCOS.5

7
Insulin juga meningkatkan produksi androgen dari kelenjar
adrenal dengan cara potensiasi aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal
(HHAA). Hipokampus merupakan mediator penting dalam umpan
balik HHAA.20 Dengan menghambar aktifitas hipokampus, insulin
secara tidak langsung meningkatkan produksi corticotropin-releasing
hormone (CRH) dari hipotalamus, namun insulin bekerja secara
langsung pada hipotalamus dan hipofisis. Selain itu insulin juga
mengamplifikasi sensitifitas kelenjar adrenal terhadap stimulasi ACTH
sehingga meningkatkan sekresi androgen walaupun mekanismenya
belum jelas.5
Obesitas memperparah resistensi insulin, derajat keparahan
hiperinsulinemia, keparahan disfungsi ovulasi dan menstruasi, dan
hasil kehamilan pada PCOS dan berhubungan dengan meningkatnya
prevalensi sindroma metabolik, intoleransi glukosa, resiko
kardiovaskular dan sleep apnea.21 Namun dari penelitian terbaru
ditemukan bahwa obesitas tidak ditemukan sesering yang diperkirakan
sebelumnya dan pelaporan obesitas pada PCOS bisa jadi merupakan
bias rujukan karena pasien yang terdiagnosis PCOS memiliki rata-rata
IMT yang tidak jauh berbeda dengan populasi asalnya. Pasien-pasien
dengan IMT yang tinggi dirujuk dengan diagnosis PCOS padahal tidak
semua perempuan dengan keluhan obesitas merupakan penderita
PCOS. Sebuah meta-analisis juga mengonfirmasi bahwa IMT dari
pasien PCOS rujukan secara signifikan lebih tinggi dibandingkan
pasien PCOS yang diidentifikasi pada populasi yag tidak terpilih.22
Bias rujukan ini tidak mengejutkan karena obesitas merupakan seuatu
hal yang sangat mempengaruhi kualitas hidup dan cenderung membuat
pasien meminta bantuan tenaga medis untuk mengatasi masalah ini.
Secara keseluruhan, data-data terbaru ini menyimpulkan bahwa
perempuan-perempuan dengan PCOS mungkin memiliki IMT yang
lebih tinggi daripada perempuan-perempuan tanpa PCOS di kalangan
mereka, namun meningkatnya prevalensi peningkatan IMT pada
pasien-pasien ini bisa jadi merupakan hasil dari bias rujukan. Walaupun
kelebihan lemak bukan merupakan faktor yang menyebabkan tingginya
prevalensi PCOS, rata-rata IMT pasien dengan PCOS perlahan-lahan

8
meningkat seiring dengan berjalannya waktu, sehingga kebanyakan
orang menganggap IMT yang tinggi menjadi salah satu faktor
predesposisi PCOS.22

2.2.4.3 Disfungsi ovarium


Disfungsi ovarium pada PCOS tidak hanya membicarakan
mengenai kelainan folikulogenesis namun juga adanya abnormalitas
dari hormon androgen pada ovarium atau hiperandrogenisme ovarium
fungsional (functional ovarian hyperandrogenism/FOH) primer. Pada
PCOS, pemilihan folikel dominan terjadi secara abnormal akibat
kurangnya stimulasi FSH dan inhibisi lokal dari kerja FSH. Hal ini
terjadi kemungkinan akibat adanya kadar Anti-Müllerian hormone
(AMH) lokal dan faktor-faktor intraovarium lainnya yang memodulasi
pemilihan folikel dan pertumbuhannya.23
Selain itu, sel theca ovarium pada PCOS lebih sensitif
terhadap efek dari LH. Hasil penelitian GWAS menunjukkan adanya
peningkatan mRNA gen DENND1A dalam sitoplasma dan nukleus sel
theca pada wanita dengan PCOS, dengan demikian disfungsi ovarium
yang terjadi diperkirakan juga dipengaruhi oleh adanya kelainan
genetik.24
Kira-kira 90% pasien PCOS memiliki FOH yang
berkontribusi memberikan gambaran klinis esensial pada PCOS.
Androgen yang berlebihan pada sirkulasi akan bekerja pada unit
polosebasea pada kulit dan memberikan gambaran klinis berupa
hirsutisme. Sedangkan hiperandrogen intraovarium menyebabkan
disfungsi sel granulosa yang muncul secara klinis sebagai oligo-
anovulasi dan terkadang memberikan morfologi polikistik pada
ovarium (polycystic ovarium morphology/PCOM).25 Produksi hormon
LH yang berlebihan oleh kelenjar hipofisis diperlukan untuk
mempertahankan keadaan androgen berlebih dalam ovarium tetapi
tidak adekuat sebagai penyebab. Diperlukan pula resistensi insulin
yang memperparah hal ini.26
Mekanisme terjadinya FOH ada 2: disregulasi steroidogenesis
sel theca dan disfungsi sel granulosa. Pola sekresi steroid pada PCOS

9
umumnya menunjukkan adanya aktivitas berlebih dari kaskade
steroidogenesis. Androgen dibutuhkan sebagai substrat untuk
menghasilkan estrogen dan androgen sendiri dibutuhkan untuk
fertilitas optimal. Namun apabila jumlah androgen berlebihan, akan
terjadi gangguan perkembangan folikel ovarium. Pada fase
pertumbuhan folikel antral kecil, LH menstimulasi sel theca ovarium
untuk membentuk androgen sedangkan FSH akan menstimulasi sel
granulosa untuk memproduksi estrogen. Normalnya produksi androgen
sel theca dan estrogen sel granulosa diatur terutama oleh mekanisme
intraovarium.26,27 Dalam ovarium, respons terhadap LH dimodulasi
oleh keseimbangan proses down-regulation dan upregulation. Down-
regulation terjadi akibat reseptor LH yang terdesensitisasi karena
meningkatnya LH. Sedangkan produksi androgen oleh LH mengalami
penurunan regulasi oleh adanya estrogen dan androgen. Pada PCOS,
keseimbangan ini terganggu dan yang terjadi adalah hiperesponsivitas
ovarium terhadap stimulasi LH.27
Disfungsi sel granulosa pada PCOS terjadi karena adanya
kelebihan androgen intraovarium. Hal ini menyebabkan stimulasi
abnormal pada folikel-folikel kecil untuk bertumbuh.24 Androgen
berlebih juga menyebabkan luteinisasi prematur pada folikel sehingga
maturasi terhenti dan mengganggu munculnya folikel dominan dan
akhirnya terjadi oligo-anovulasi. Stimulasi androgen terhadap
proliferasi sel granulosa pada awal perkembangan folikel kemungkinan
menjadi penyebab terjadinya peningkatan produksi Anti-Müllerian
hormone pada PCOS.26

2.2.5 Manifestasi klinis


Wanita dengan PCOS memiliki manifestasi klinis bervariasi yang terdiri
atas manifestasi reproduksi, implikasi metabolik dan masalah psikologis. PCOS
merupakan kondisi kronik dengan manifestasi psikologis dan reproduksi yang
biasanya muncul di masa remaja kemudian berujung pada infertilitas dan
peningkatan resiko komplikasi metabolik seiring dengan berjalannya waktu.28
Tetapi ketika dibarengi dengan obesitas, komplikasi metabolik seperti toleransi

10
glukosa terganggu, diabetes melitus tipe 2 dan dan sindroma metabolik dapat
muncul di masa remaja.29

2.2.5.1 Manifestasi reproduktif


Disfungsi ovarium dan infertilitas serta hiperandrogenisme
digolongkan sebagai manifestasi reproduktif pada PCOS. Disfungsi
ovarium muncul dalam bentuk oligomenorrhea/amenorrhea akibat
oligoovulasi/anovulasi kronik. Namun anovulasi berkepanjangan dapat
menyebabkan perdarahan uterus disfungsional yang mirip dengnan
siklus menstruasi reguler.29 Mayoritas pasien PCOS memiliki disfungsi
ovarium dan 70-80% diantaranya datang dengan oligomenorrhea atau
amenorrhea. Oligomenorrhea biasanya terjadi pada remaja, apabila
onset oligomenorrhea muncul setelah remaja biasanya dikaitkan
dengan peningkatan berat badan. Terkadang menstruasi ireguler akibat
PCOS tertutupi oleh penggunaan obat kontrasepsi oral dan baru
terdeteksi setelah berhenti mengonsumsi dan muncul siklus menstruasi
ireguler setelahnya.29
PCOS merupakan penyebab tersering infertilitas anovulasi
dimana 90-95% pasien yang datang ke klinik infertilitas mengidap
PCOS. Walaupun demikian, 60% pasien PCOS fertil walaupun waktu
yang dibutuhkan untuk mengandung lebih lama. Obesitas secara
independen memperparah infertilitas, menurunkan efikasi pengobatan,
dan meningkatkan resiko keguguran. Idealnya berat badan harus
dioptimalkan sebelum hamil.28
Tanda klinis maupun biokimia dari kelebihan androgen pada
PCOS disebabkan oleh peningkatan sinteis dan pelepasan androgen
dari ovarium. Hiperandrogenisme klinis ditandai dengan adanya
hirsutisme, jerawat dan male-pattern alopecia.29 Hirsutisme adalah
pertumbuhan rambut tebal dan hitam pada wanita dengan pola
distribusi seperti laki-laki, biasanya pada bibir atas, dagu, periareolar,
dan sepanjang linea alba pada abdomen bagian bawah. Jerawat muncul
pada 1/3 kasus PCOS, sedangkan male-pattern alopecia jarang terjadi
dan biasanya membutuhkan riwayat alopecia dalam keluarga.28,29
Bentuk lain dari hiperandrogenisme adalah adanya virilisasi. Namun

11
bila virilisasi muncul dalam bentuk klitoromegali yang terjadi secara
cepat, perlu dilakukan eksklusi penyebab lain termasuk tumor yang
mensekresi androgen pada ovarium atau adrenal. Hiperandrogen secara
biokimia ada pada mayoritas penderita PCOS. Total testosterone,
testosterone bebas dan konsentrasi DHEA meningkat pada penelitian
yang dilakukan pada 1000 pasien dengan PCOS.30
2.2.5.2 Manifestasi psikologis
PCOS tidak hanya mempengaruhi penderitanya dari segi
biologis saja namun juga dari segi psikologis.27 Dari segi penampilan;
obesitas, jerawat dan rambut tubuh yang berlebih disertai infertilitas
dan komplikasi kesehatan jangka panjang menyebabkan penurunan
kualitas hidup dan dengan demikian berpengaruh terhadap mood dan
kesehatan psikologis. Wanita dengan PCOS lebih rentan mengalami
depresi, ansietas, memiliki tingkat percaya diri yang rendah akibat citra
tubuh yang buruk dan disfungsi psikoseksual.25
2.2.5.3 Manifestasi metabolik
Wanita dengan PCOS memiliki kadar high-density lipoprotein
(HDL) yang rendah dan konsentrasi trigliserida yang tinggi.
Dislipidemia pada pasien PCOS tidak dipengaruhi oleh IMT namun
ada efek sinergis dari obesitas dan resistensi insulin terhadap terjadinya
dislipidemia pada PCOS seperti yang terlihat pada pasien diabetes
melitus tipe 2 (DMT2). Dislipidemia pada kasus PCOS dipengaruhi
oleh banyak faktor namun resistensi insulin memberikan kontribusi
utama dengan cara stimulasi liposis dan perubahan ekspresi lipoprotein
lipase dan hepatik lipase.17
Resistensi insulin dengan hiperinsulinemia ditemukan pada
kebanyakan wanita dengan PCOS dan hal ini independen terhadap
tingkat obesitas. Menariknya, kerja insulin dalam menstimjlasi
produksi androgen tetap berjalan namun perannya dalam metabolisme
glukosa terganggu.20,21 Wanita kurus dengan PCOS biasanya juga
memiliki abnormalitas pada sekresi dan kerja insulin namun hal ini
tidak selalu terjadi. Ketika seorang wanita dengan PCOS memiliki
kelebihan berat badan, ditemukan adanya resistensi insulin ekstrinsik
yang berkaitan dengan adipositas, dan dalam hal ini resistensi insulin

12
yang dialami memiliki perbedaan secara mekanik dengan yang dimiliki
oleh wanita dengan PCOS yang kurus.26 Dari semua wanita PCOS
dengan resistensi insulin, hanya tidak semuanya mengalami
insufisiensi pankreas dengan kegagalan sel  dan menjadi DMT2. Pada
kasus-kasus semacam ini sekresi insulin tidak dapat mengatasi
resistensi insulin sehingga terjadi hiperglikemia. Resiko terjadinya
DMT2 makin meningkat terutama pada pasien dengan riwayat keluarga
DMT2.21
Kumpulan dari gangguan metabolik yaitu obesitas abdomen,
resistensi insulin, metabolisme glukosa terganggu, hipertensi dan
dislipidemia disebut sindroma metabolik. Pada pasien dengan PCOS
hal-hal tersebut meningkatkan resiko munculnya penyakit
kardiovaskular.17 Pada pasien-pasien ini juga terjadi peningkatan
marker atherosklerosis dini seperti disfungsi endothel, gangguan
kecepatan gelombang nadi, peningkatan ketebalan dinding tunika
intima pada arteri carotid, adanya plak carotid dan peningkatan
kalsifikasi dinding arteri)

2.2.6 Diagnosis

Diagnosis dini dan intervensi sangat penting untuk kualitas hidup dan
kesejahteraan pasien dengan PCOS. Diagnosis PCOS ditegakkan melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.30

2.2.6.1 Anamnesis dan pemeriksaan fisik


Dengan menggunakan kriteria Rotterdam, pasien dengan
PCOS bisa ditegakkan diagnosisnya melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik seperti riwayat menstruasi ireguler dan tanda klinis
hiperandrogenisme (hirsutisme, jerawat dan/atau alopecia). Menstruasi
ireguler biasanya muncul pada usia remaja. Pasien dengan
oligomenorrhea pada usia >30 tahun kemungkinan tidak memiliki
PCOS.31

13
Gambar 2.3 Kriteria diagnosis PCOS

2.2.6.2 Pemeriksaan penunjang


Salah satu pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah
ultrasonografi transvaginal (transvaginal ultrasound/TVUS).
Pemeriksaan ini dilakukan pada beberapa wanita untuk menentukan
apakah ada PCOM atau tidak. Namun tidak semua pasien dengan
PCOS dilakukan pemeriksaan TVUS. Apabila pasien memiliki
oligomenorrhea dan tanda-tanda hiperandrogenisme dan penyebab lain
selain PCOS sudah dieliminasi, TVUS tidak perlu dilakukan. Pada
pasien dengan gejala hiperandrogen dan siklus menstruasi normal,
TVUS biasa dilakukan untuk melihat PCOM. 30
Kriteria USG untuk PCOM adalah berdasarkan jumlah dan
ukuran folikel, bukan kista. Berdasarkan kriteria Rotterdam, definisi
PCOM adalah adanya 12 atau lebih folikel pada salah satu atau kedua
ovarium dengan ukuran diameter 2 x 9 mm dan/atau peningkatan
volume ovarium (>10mL dengan menggunakan rumus 0.5 x panjang x
lebar x ketebalan).30
Terkadang diagnosis PCOS ditegakkan hanya berdasarkan
penemuan ovarium polikistik secara tidak sengaja melalui USG pelvis
atau pencitraan abdomen. Jika tidak ada gejala klinis PCOS, evaluasi
lebih lanjut tidak perlu dilakukan karena penemuan ini tidak spesifik
dan dapat juga ditemukan pada wanita dengan siklus menstruasi
normal.30,31
Diagnosis hiperandrogenisme bisa melalui tanda klinis
maupun secara biokimia. Pemeriksaan biokimia untuk hiperandrogen
adalah dengan mendeteksi adanya peningkatan konsentrasi androgen
dalam serum yaitu total testosteron.32 Apabila dicurigai adanya
penyebab hiperandrogen lain, disarankan melakukan pemeriksaan

14
kadar total testosterone disertai kadar serum DHEA untuk mencari
penyebab hiperandrogen yang berasal dari kelainan adrenal.32 Selain
itu untuk pasien yang datang dengan oligomenorrhea, penyebab
menstruasi ireguler lainnya harus disingkirkan seperti misalnya
kehamilan (dilakukan pemeriksaan kadar human chorionic
gonadotropin/hCG serum). Pemeriksaan lainnya misalnya kadar
prolaktin, thyroid-stimulating hormone (TSH) dan follicle-stimulating
hormone (FSH) dalam serum untuk menyingkirkan kemungkinan
adanya hiperprolaktinemia, penyakit tiroid, dan insufisiensi
ovarium.31,32

2.2.7 Tatalaksana

Wanita dengan PCOS memiliki kelainan kesehatan yang membutuhkan


perhatian yaitu oligomenorrhea, hiperandrogenisme, infertilitas anovulasi dan
faktor resiko metabolik seperti obesitas, resistensi insulin, dislipidemia dan
toleransi glukosa terganggu.34 Secara umum, target terapi PCOS antara lain:
Perbaikan gejala hiperandrogen (hirsutisme, jerawat, alopecia)
Penanganan kelainan metabolik dan penurunan faktor resiko DMT2
dan penyakit kardiovaskular
Pencegahan hiperplasia dan karsinoma endometrium akibat anovulasi
kronik
Kontrasepsi untuk pasien yang tidak berencana hamil
Induksi ovulasi untuk pasien yang ingin hamil
2.2.7.1 Perubahan gaya hidup
Diet dan aktivitas fisik direkomendasikan sebagai terapi lini
pertama pada wanita dengan PCOS dan kelebihan berat badan.
Penurunan berat badan sebanyak 5-10% pada wanita PCOS dapat
mengembalikan siklus ovulasi menjadi normal dan memperbaiki laju
kehamilan. Penurunan berat badan menyebabkan menurunnya
konsentrasi androgen serum sehingga juga dapat memperbaiki gejala
hirsutisme.34
2.2.7.2 Operasi bariatrik
Operasi ini direkomendasikan bagi wanita dengan PCOS

15
yang memiliki siklus anovulatori dan BMI > 35 yang sudah menjalani
diet dan olahraga selama 6 bulan namun tidak menunjukkan hasil.
Terjadi perbaikan fertilitas setelah dilakukan operasi bariatrik, namun
kehamilan sebaiknya dihindari pada 12-18 bulan awal setelah operasi
dilakukan.36

Gambar 2.4 Algoritma evaluasi hiperandrogen6

2.2.7.3 Kontrasepsi oral


Anovulasi kronik yang terjadi pada PCOS meningkatkan
resiko hiperplasia dan karsinoma endometrium. Terapi lini pertama
untuk disfungsi menstruasi sekaligus perlindungan endometrium
adalah dengan mengonsumsi obat kontrasepsi yang mengandung
kombinasi estrogen dan progesteron. Kontrasepsi oral akan
mempengaruhi sensitifitas insulin, metabolisme karbohidrat dan
metabolisme lipid. Faktor resiko penggunaan obat kontrasepsi oral
pada PCOS sama dengan wanita tanpa PCOS. Selain itu, obat
kontrasepsi kombinasi ini juga menjadi lini pertama dalam
memperbaiki gejala hirsutisme.34,35
Perlu diperhatikan bahwa tatalaksana ini dilakukan pada
pasien PCOS yang tidak memiliki rencana untuk hamil, dan harus
dipastikan bahwa pasien sedang tidak hamil saat akan memulai terapi
dengan kontrasepsi oral. Alternatif lain untuk proteksi endometrium

16
adalah penggunaan terapi progestin oral intrauterine device (IUD)
yang melepaskan progestin.36 Obat progestin oral yang
direkomendasikan adalah medroxyprogesterone asetat (5-10 mg) untuk
10-14 hari tiap 1-2 bulan. Pasien harus diinfokan bahwa terapi
progesterone sendiri tidak dapat memperbaiki gejala jerawat dan
hirsutisme dan tidak memiliki efek kontrasepsi. Namun apabila
menggunakan terapi progestin norethindrone (“minipill”) 0.35 mg
setiap hari, didapatkan efek kontrasepsi dan juga perlindungan terhadap
endometrium.
2.2.7.4 Antiandrogen
Jika setelah 6 bulan penggunaan kontrasepsi oral pasien
belum puas dengan ahsil klinis, maka alternatif lain adalah dengan
mengonsumsi spironolactone 50-100mg dua kali sehari. Namun terapi
spironolactone sendiri tidak memperbaiki siklus menstruasi, malah
terkadang obat ini yang menyebabkan menstruasi ireguler. Oleh karena
itu terkadang perlu diperlukan pula terapi progestin.35
Harus dipastikan bahwa pasien sedang tidak hamil saat
mengonsumsi spironolactone karena antiandrogen dapat menyebabkan
kelainan pertumbuhan genitalia eksternal pada fetus laki-laki.
Antiandrogen lainnya misalnya finasteride, cyproterone asetat, dan
flutamide.34
2.2.7.5 Agonis GnRH
Agonis GnRH juga dapat digunakan untuk menekan produksi
androgen ovarium. Namun terapi estrogen-progestin dibutuhkan juga
untuk mencegah munculnya gejala defisiensi estrogen dan bone loss.36
2.2.7.6 Induksi ovulasi
Untuk pasien infertil dengan PCOS dan obesitas
direkomendasikan untuk menurunkan berat badan sebelum melakukan
induksi ovulasi. Clomiphen citrate (CC) adalah lini pertama induksi
ovulasi pada pasien PCOS non-obesitas (BMI <30). CC bekerja dengan
mengikat reseptor estrogen pada hipothalamus sehingga terjadi
rangsangan untuk mengeluarkan GnRH. Dilepasnya gonadotropin dari
hipofisi anterior akan memicu perkembangan folikel dan peningkatkan
produksi estradiol sehingga terjadi ovulasi. Dosis awal CC adalah

17
50mg/hari selama 5 hari dan dapat dinaikkan dosisnya bila setelah 2
siklus tidak ada respon. Apabila terjadi resistensi terhadap CC,
pilihannya adalah dengan mengganti CC dengan inhibitor aromatase,
atau kombinasi CC dan metformin, atau penggunaan terapi
gonadotropin.36
Inhibitor aromatase yang digunakan untuk induksi ovulasi
adalah letrozole dan anastrozole. Untuk pasien-pasien PCOS dengan
obesitas, letrozole lebih direkomendaiskan dibandingkan CC.
Letrozole bisa digunakan sebagai lini kedua apabila terjadi resistensi
atau kegagalan terapi dengan CC. Menurut penelitian, kombinasi
letrozole dan metformin lebih unggul dibandingkan CC dengan
metformin, dimana keberhasilan kehamilan lebih tinggi pada siklus
inseminasi yang ke 3 (20,6% untuk letrozole + metformin; 9,6% untuk
CC + metformin).35
Terapi dengan gonadotropin eksternal dapat diberikan
sebagai pilihan lini kedua selain inhibitor aromatase.34 Resiko yang
harus diwaspadai dari terapi gonadotropin adalah kehamilan ganda dan
juga ovarian hyperstimulation syndrome (OHSS). Kekurangan lain dari
dari terapi gonadotropin adalah biaya yang cukup besar. Apabila
diperlukan, maka pemberian terapi harus dengan dosis terendah
terlebih dahulu dan perlu dilakukan tes patensi tuba fallopi.36
Metformin merupakan obat dengan efek menurunkan
pengeluaran glukosa hepar dan dengan demikian menurunkan
konsentrasi insulin dalam darah. Obat ini bertindak langsung dalam
ovarium dengan mempromosikan ovulasi. Apabila digunakan sebagai
monoterapi, keberhasilan dalam tatalaksana infertilitas terutama pada
PCOS anovulatori terbatas. Namun bila dikombinasikan dengan CC
atau inhibitor aromatase seperti letrozole, hasilnya akan lebih baik.17
2.2.7.7 Operasi laparoskopi
Pada tahun-tahun sebelumnya dilakukan reseksi pada
sebagian bagian ovarium sebagai tatalaksana infertilitas pada PCOS.
Namun cara ini sudah mulai ditinggalkan karena efikasi penggunaan
induksi farmakologis dan juga meningkatnya insiden perlengketan.
Alternatif lain adalah dengan laparoscopic ovarian drilling (LOD),

18
yaitu induksi ovulasi dengan cara menghancurkan sebagian ovarium
dengan menggunakan laser. LOD merupakan lini terakhir induksi
ovulasi setelah terapi farmakologis tidak membuahkan hasil.36
2.2.7.8 Fertilisasi in vitro
Apabila penurunan berat badan, induksi ovulasi dan/atau
LOD tidak berhasil, tahap selanjutnya adalah dengan fertilisasi in vitro.
Pasien dengan PCOS memiliki resiko terjadinya kehamilan ganda dan
OHSS, maka pada pasien-pasien ini bisa diberikan metformin untuk
menurunkan resiko OHSS.34
2.2.7.9 Tatalaksana kelainan metabolik
Sama seperti tatalaksana kelainan metabolik lainnya,
perubahan gaya hidup menjadi lini pertama. Terapi farmakologis
diberikan sesuai dengan indikasi.2
Obat-obatan seperti metformin dan thiazolidinedione dapat
menurunkan kadar insulin dan juga menurunkan produksi androgen
ovarium. Thiazolidinedione belum terlalu banyak diteliti seperti
metformin namun kemungkinan dapat memperbaiki sensitivitas insulin
dan hiperandrogenemia. Namun karena kurangnya data, potensi
peningkatan berat badan dan kemungkinan hubungan dengan efek
samping penyakit kardiovaskular, thiazolidinedione tidak
direkomendasikan untuk diberikan pada pasien PCOS yang tidak
memiliki diabetes.5,36
Penanganan dislipidemia pada pasien PCOS sama dengan
pasien-pasien dislipidemia lain yang tidak memiliki PCOS. Statin dapat
diberikan namun tidak memiliki efek terhadap menstruasi, ovulasi,
jerawat, hirsutisme atau IMT.34

19
BAB III

DAFTAR PUSTAKA

1. Rosenfield RL, Ehrmann DA. The Pathogenesis of Polycystic Ovary Syndrome (PCOS):
The Hypothesis of PCOS as Functional Ovarian Hyperandrogenism Revisited.
Endocr Rev 2016; 37:467. 


2. Pate KA. Epidemiology, diagnosis, and management of polycystic ovary syndrome. J


Clin Epidemiol. 2014;1–13.

3. Hahn S, Janssen OE, Tan S, Pleger K, Mann K. Clinical and psychological correlates of
quality of life in polycystic ovary syndrome. Eur J Endrocinol. 2005;853-860.

4. Bozdag G, Mumusoglu S, Zengin D, et al. The prevalence and phenotypic features of


polycystic ovary syndrome: a systematic review and meta-analysis. Hum Reprod
2016; 31:2841. 


5. Rojas J, Chávez M, Olivar L, Rojas M, Morillo J, Mejías J. Polycystic Ovary Syndrome,


Insulin Resistance, and Obesity: Navigating the Pathophysiologic Labyrinth. Int J
Reprod Endocrinol; 2014;112-118.

6. Hoffman BL, Schorge JO, Bradshaw KD, Halvorson LM, Schaffer JI, Corton MM.
William’s Gynaecology, 3rd edition.

7. Sherwood L. Human physiology: from cells to systems. 7th ed. Australia; Belmont,
CA:Thomson/Brooks/Cole;2010

8. Tortora GJ. Principles of anatomy and physiology.12th ed. Hoboken, NJ: J. Wiley;2009

9. Guo Y, Qi Yi, Yang X, Zhao L, Wen S, Liu Y, et al. Association between polycystic
ovary syndrome and Gut Microbiota.2016;1-15

10. March WA, Moore VM, Willson KJ, et al. The prevalence of polycystic ovary
syndrome in a community sample assessed under contrasting diagnostic criteria.
Hum Reprod 2010; 25:544. 


11. Baziad A. Sindrom ovarium polikistik dan penggunaan analog GnRH. 2012;39(8):573-
575

12. Rosenfield R, Ehrmann D. The Pathogenesis of Polycystic Ovary Syndrome (PCOS):


The Hypothesis of PCOS as Functional Ovarian Hyperandrogenism Revisited.

20
Endocrine Reviews. 2016;37(5):467-520.

13. Hart R, Doherty DA. The potential implications of a PCOS diagnosis on a woman's
long-term health using data linkage. J Clin Endocrinol Metab 2015; 100:911

14. McGowan M. Polycystic Ovary Syndrome: A Common Endocrine Disorder and Risk
Factor for Vascular Disease. Current Treatment Options in Cardiovascular Medicine.
2011;13(4):289-301.

15. Lin LH, Baracat MC, Gustavo AR, et al. Androgen receptor gene polymorphism and
polycystic ovary syndrome. Int J Gynaecol Obstet 2013;120:115–118. 


16. Day FR, Hinds DA, Tung JY, et al. Causal mechanisms and balancing selection inferred
from genetic associations with polycystic ovary syndrome. Nat Commun 2015;
6:8464. 


17. Puurunen J, Piltonen T, Morin-Papunen L, et al. Unfavorable hormonal, metabolic, and


inflammatory alterations persist after menopause in women with PCOS. J Clin
Endocrinol Metab 2011; 96:1827. 


18. Diamanti-Kandarakis E, Dunaif A. Insulin resistance and the polycystic ovary syndrome
revisited: an update on mechanisms and implications. Endocr Rev 2012; 33:981. 


19. Chen YH, Heneidi S, Lee JM, et al. miRNA-93 inhibits GLUT4 and is overexpressed in
adipose tissue of polycystic ovary syndrome patients and women with insulin
resistance. Diabetes 2013; 62:2278. 


20. Randeva HS, Tan BK, Weickert MO, et al. Cardiometabolic aspects of the polycystic
ovary syndrome. Endocr Rev 2012;33:812–841

21. Kandaraki E, Chatzigeorgiou A, Livadas S, et al. Endocrine disruptors and polycystic


ovary syndrome (PCOS): elevated serum levels of bisphenol A in women with
PCOS. J Clin Endocrinol Metab 2011; 96:E480. 


22. Lizneva D, Kirubakaran R, Mykhalchenko K, et al. Phenotypes and body mass in


women with polycystic ovary syndrome identified in referral versus unselected
populations: systematic review and meta-analysis. Fertil Steril 2016; 106:1510. 


23. Azziz R. PCOS in 2015: New insights into the genetics of polycystic ovary syndrome.
Nat Rev Endocrinol 2016; 12:183. 


21
24. McAllister JM, Legro RS, Modi BP, Strauss JF 3rd. Functional genomics of PCOS:
from GWAS to molecular mechanisms. Trends Endocrinol Metab 2015; 26:118. 


25. Hayes MG, Urbanek M, Ehrmann DA, et al. Genome-wide association of polycystic
ovary syndrome implicates alterations in gonadotropin secretion in European
ancestry populations. Nat Commun 2015; 6:7502. 


26. Day FR, Hinds DA, Tung JY, et al. Causal mechanisms and balancing selection inferred
from genetic associations with polycystic ovary syndrome. Nat Commun 2015;
6:8464. 


27. Burt Solorzano CM, McCartney CR, Blank SK, et al. Hyperandrogenaemia in
adolescent girls: origins of abnormal gonadotropin-releasing hormone secretion.
BJOG 2010; 117:143. 


28. Veltman-Verhulst SM, Boivin J, Eijkemans MJ, Fauser BJ. Emotional distress is a
common risk in women with polycystic ovary syndrome: a systematic review and
meta-analysis of 28 studies. Hum Reprod Update 2012; 18:638. 


29. 5. Teede H, Deeks A, Moran L. Polycystic ovary syndrome: a complex condition with
psychological, reproductive and metabolic manifestations that impacts on health
across the lifespan. BMC Medicine. 2010;8(1).

30. Azziz R, Sanchez LA, Knochenhauer ES, et al. Androgen excess in women: experience
with over 1000 consecutive patients. J Clin Endocrinol Metab 2004; 89:453. 


31. McAllister JM, Modi B, Miller BA, et al. Overexpression of a DENND1A isoform
produces a polycystic ovary syndrome theca phenotype. Proc Natl Acad Sci U S A
2014; 111:E1519. 


32. Dewailly D, Lujan ME, Carmina E, et al. Definition and significance of polycystic
ovarian morphology: a task force report from the Androgen Excess and Polycystic
Ovary Syndrome Society. Hum Reprod Update 2014; 20:334. 


33. Tal R, Seifer DB, Khanimov M, et al. Characterization of women with elevated
antimüllerian hormone levels (AMH): correlation of AMH with polycystic ovarian
syndrome phenotypes and assisted reproductive technology outcomes. Am J Obstet
Gynecol 2014; 211:59.e1.

34. Legro RS, Arslanian SA, Ehrmann DA, et al. Diagnosis and treatment of polycystic

22
ovary syndrome: an Endocrine Society clinical practice guideline. J Clin Endocrinol
Metab 2013; 98:4565. 


35. Dumesic DA, Lobo RA. Cancer risk and PCOS. Steroids 2013; 78:782. 


36. Domecq JP, Prutsky G, Mullan RJ, et al. Adverse effects of the common treatments for
polycystic ovary syndrome: a systematic review and meta-analysis. J Clin
Endocrinol Metab 2013; 98:4646.

23

Anda mungkin juga menyukai