Anda di halaman 1dari 85

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK

KEBUTUHAN CAIRAN PADA BAYI DAN ANAK

Disusun oleh:
Vika Damay - 01073170073

Pembimbing:
Dr. Irene Akasia Oktariana, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


PERIODE AGUSTUS – NOVEMBER 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
RUMAH SAKIT MARINIR CILANDAK
DAFTAR ISI


BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 3
BAB II FISIOLOGI CAIRAN DAN ELEKTROLIT ...................................................... 4
1.1 Komposisi cairan dan elektrolit ........................................................................... 4
1.2 Pertukaran ion dan metode transport ................................................................. 9
1.3 Osmolalitas ........................................................................................................ 12
1.4 Regulasi larutan tubuh ...................................................................................... 12
1.5 Peran ginjal sebagai regulator cairan dan elektrolit ......................................... 14
1.6 Distribusi cairan tubuh berdasarkan usia ......................................................... 17
1.7 Kebutuhan cairan dan elektrolit harian ............................................................ 18
BAB III PRINSIP TERAPI CAIRAN ............................................................................ 21
3.1 Pemberian terapi cairan .................................................................................... 22
3.1.1 Dehidrasi berat ............................................................................................... 22
3.1.2 Untuk neonatus (<3 bulan) ............................................................................. 24
3.1.3 Untuk diare dengan penyakit penyerta .......................................................... 24
3.1.4 Untuk dehidrasi dengan hipernatremia ......................................................... 24
3.2 Cara menghitung tetesan infus .......................................................................... 24
3.3 Macam-macam cairan ....................................................................................... 25
BAB IV GANGGUAN KESEIMBANGAN NATRIUM ................................................ 29
4.1 Keseimbangan air dan natrium ......................................................................... 29
4.2 Hiponatremia ..................................................................................................... 30
4.3 Hipernatremia ................................................................................................... 40
BAB V GANGGUAN KESEIMBANGAN KALIUM .................................................... 44
5.1 Keseimbangan kalium ....................................................................................... 44
5.2 Hipokalemia ...................................................................................................... 48
5.3 Hiperkalemia ..................................................................................................... 53
BAB VI GANGGUAN KESEIMBANGAN KALSIUM, MAGNESIUM DAN FOSFAT
........................................................................................................................................ 58
6.1 Keseimbangan Kalsium ..................................................................................... 58
6.2 Keseimbangan magnesium ................................................................................ 68
6.3 Metabolisme fosfat ............................................................................................. 75
BAB VII DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 85

2
BAB I

PENDAHULUAN

Hemostasis cairan dan elektrolit sangat penting untuk fungsi sel dan organ tubuh secara
optimal. Air merupakan komponen paling besar dari tubuh manusia, sekitar 65-85% dari berat
badan. Kompartemen cairan hemostasis cairan dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu cairan
intraselular (CIS) dan cairan ekstraseluler (CES). Volume CIS tidak dapat diukur langsung,
akan tetapi dapat diukur dengan mengurangkan volume CES dari volume air tubuh total.
Komponen CES dapat lebih lanjut dibagi menjadi 3, yaitu cairan intravaskular, cairan
interstitial, dan cairan transelluler. Komponen CIS mayoritas didominasi oleh ion Kalium (K+),
sedangkan komponen CES mayoritas didominasi oleh ion Natrium (Na+).
Cairan tubuh manusia terdiri atas air yang mengandung partikel organik dan anorganik
yang berfungsi untuk menunjang aktivitas selular. Cairan dan elektrolit sangat penting
mempertahankan keseimbangan atau homeostosis tubuh. Keseimbangan cairan dalam tubuh
manusia terjadi apabila terdapat keseimbangan antara asupan (input) dan luaran (output) dari
cairan. Elektrolit tubuh terbagi menjadi ion bermuatan positif (kation) dan ion bermuatan
negatif (anion). Elektrolit berperan penting pada banyak fungsi tubuh, termasuk fungsi
neuromuskular dan keseimbangan asam basa. Pada fungsi neuromuskular, elektrolit
memegang peranan penting terkait dengan transmisi impuls saraf. Mekanisme keseimbangan
elektrolit dan asam basa banyak dipengaruhi oleh sistem saluran pencernaan, pernafasan,
ginjal, dan sistem hormonal. Tubuh manusia umumnya mampu mentolerir sedikit peubahan
pada cairan dan elektrolit, dan biasanya perubahan ekstrim dan akut yang akan memberikan
gejala.
Bayi dan anak sering menderita gangguan keseimbangan elektrolit disertai perubahan pH
cairan tubuh. Alasan yang mendasarinya adalah: insidensi penyakit gastrointestinal yang
tinggi, terutama gastroenteritis yang menyebabkan mual dan muntah. Selain itu, tingginya
metabolisme pada anak akibat peningkatan suhu tubuh, juga meningkatkan pengeluaran cairan
melalui keringan. Kulit neonatus yang tipis dan laju nafas neonatus yang cepat menyebabkan
pengeluaran cairan yang tidak disadari (insensible water loss/IWL). Selain itu, anak-anak dan
neonatus kurang berespon terhadap rasa haus, sehingga menurunkan asupan cairan.

3
BAB II

FISIOLOGI CAIRAN DAN ELEKTROLIT



1.1 Komposisi cairan dan elektrolit
Homeostasis cairan dan elektrolit sangat penting untuk fungsi sel
dan organ tubuh secara optimal. Air merupakan komponen paling besar dari
tubuh manusia, sekitar 65-85% dari berat badan. Total Body Water atau
TBW sebagai presentase berat badan akan bervariasi pada setiap usia.


Gambar 1 : TBW, cairan intraselular dan cairan extraseluler sebagai presentase dari berat
badan dan umur.

Janin diketahui memiliki TBW yang sangat tinggi, dan secara


bertahap akan berturun hingga menjadi sekitar 75% dari berat lahir untuk
bayi cukup bulan. Bayi prematur memiliki TBW yang lebih tinggi
dibandingkan bayi cukup bulan. Selama 1 tahun kehidupan, TBW akan
menurun hingga menjadi 60% dari berat badan dan akan menetap hingga
masa pubertas. Saat pubertas, kandungan lemak pada wanita meningkat
lebih dibandingkan pria, yang mengembangkan lebih banyak massa otot.
Karena lemak memiliki kandungan air yang sangat rendah dan otot
memiliki kandungan air yang tinggi, pada akhir masa pubertas, TBW pada
pria akan menetap pada 60%, tetapi TBW pada wanita akan berkurang
menjadi kurang lebih 50% dari berat badan. Kandungan lemak yang tinggi

4
pada anak-anak dengan overweight akan menyebabkan penurunan TBW
sebagai presentase berat badan. Selama dehidrasi, TBW akan berkurang dan
sehingga presentase juga menjadi lebih kecil dari berat badan. 1

1.1.1 Komposisi cairan


Kompartemen cairan hemostasis cairan dibagi menjadi 2
bagian besar, yaitu cairan intraselular (CIS) dan cairan ekstraseluler
(CES). Volume CIS tidak dapat diukur langsung, akan tetapi dapat
diukur dengan mengurangkan volume CES dari volume air tubuh
total. Komponen CES dapat lebih lanjut dibagi menjadi 3, yaitu
cairan intravaskular, cairan interstitial, dan cairan transelluler.
Komponen CIS mayoritas didominasi oleh ion Kalium (K+),
sedangkan komponen CES mayoritas didominasi oleh ion Natrium
(Na+).1, 2

Gambar 2: Komparetemen TBW sebagai presentase dari berat badan pada anak
remaja atau orang dewasa.

5
a. Cairan intraselular (CIS)
Jumlah CIS sebanyak 30%-40% dari berat badan.
CIS merupakan representasi dari jumlah larutan dari
berbagai macam sel di seluruh tubuh, yang tersebar dan
mempunyai fungsi yang berbeda-beda serta mempunyai
komposisi yang berbeda.2 CIS terdiri dari air dan
elektrolit yaitu protein ditambah dengan K+, PO43-, Na+,
Mg2+, HCO3-, dan H2CO3. Elektrolit terbanyak pada
CIS adalah K+.2
b. Cairan ekstraselular (CES)
Volume larutan ekstraselluler lebih besar dibanding
volume larutan intraselluler pada fetus, tetapi rasio CES
dan CIS ini akan berubah setelah umur 9 bulan. CES
berkurang secara relatif disebabkan karena pertumbuhan
sel jaringan lebih cepat dibanding pertumbuhan jaringan
kolagen menjadi jaringan otot. Setelah itu jumlah CES
akan bertambah berhubungan dengan bertambahnya
berat badan.2
Pada keadaan hidrasi normal jumlah CES pada anak
adalah 20%-25% berat badan yang terbagi dalam larutan
plasma 5% berat badan, larutan interstisial 15% berat
badan dan larutan transelluler 1%-3% berat badan.
Larutan transelluler terdiri dari larutan di saluran
gastrointestinal dan larutan serebrospinal, intraokular,
pleural, peritoneal dan larutan sinovial.2 Larutan
interstisial terdiri dari Na+, Cl-, HCO3-, K+, Mg2+, Ca2+,
SO42-, HPO42-, H2CO3 dan non-elektrolit. Elektrolit
yang terbanyak adalah Na+. Plasma darah terdiri dari
protein, Na+, Cl-, HCO3-, K+, Ca2+, Mg2+, SO42-, HPO42-,
H2CO3 dan non-elektrolit.2

6
Cairan intravaskular dan cairan interstitial memiliki
keseimbangan, atau ekuilibrium antara gaya hidrostatik dan onkotik
yang mengatur volume intravaskular dan sangat penting untuk
pefusi jaringan. Cairan intravaskular memiliki konsentrasi albumin
yang lebih tinggi dibandingkan cairan interstitial sehingga
mengakibatkan kekuatan onkotik untuk menarik air ke dalam ruang
intravakular. Pemeliharaan gradient ini akan tergantung dari
permeabilitas albumin yang terbatas pada seluruh kapiler-kapiler.
Tekanan hidrostatik dari ruang intravaskular akan mendorong cairan
keluar akibat dari aksi pompa jantung; dimana kekuatan-kekuatan
ini mendukung gerakan ke ruang interstitial di ujung arteri kapiller.
Gaya hidrostatik yang menurun dan gaya onkotik yang meningkat
akibat peningkatan konsentrasi albumin yang berlebih,
menyebabkan pergerakkan cairan ke ujung vena kapiler. Secara
keseluruhan, terdapat gerakan cairan keluar dari ruang intravaskuler
ke ruang interstitial, tetapi cairan ini diserap kembali ke sirkulasi
melalui sistem limfatik. Ketidakseimbangan dalam kekuatan ini
dapat menyebabkan perluasan volume interstisial dengan
1
mengorbankan volume intravaskuler.
Pada anak-anak dengan hipoalbuminemia, penurunan
tekanan onkotik dari cairan intravaskular berkontribusi pada
pengembangan edema. Hilangnya cairan dari ruang intravaskular
dapat membahayakan volume intravaskular, membuat anak risiko
untuk aliran darah yang tidak memadai ke organ vital. Kejadian ini
terjadi pada penyakit di mana kebocoran kapiler akibat hilangnya
albumin dari ruang intravaskular yang dikaitkan dengan peningkatan
konsentrasi albumin di ruang interstisial, sehingga mengorbankan
kekuatan onkotik yang biasanya mempertahankan volume
intravaskular. Sebaliknya pada kondisi gagal jantung, terdapat
peningkatan tekanan hidrostatik vena akibat pembesaran volume
intravaskular, yang disebabkan oleh gangguan pompa oleh jantung,
dan peningkatan tekanan vena dan menyebabkan cairan berpindah

7
dari ruang intravaskuler ke ruang interstisial. Ekspansi volume
intravaskular dan peningkatan tekanan intravaskular juga
menyebabkan edema yang terjadi dengan glomerulonefritis akut. 1

1.1.2 Komposisi elektrolit


Komposisi zat yang terlarut di ICF dan ECF sangatlah
berbeda dimana natrium dan klorida adalah kation dan anion yang
dominan pada ECF; dan konsentrasinya lebih rendah pada ICF.


Gambar 3 : Konsentrasi dari kation dan anion yang berperan dalam ruang
intraseluller dan plasma dalam mEq/L

Kalium merupakan kation yang paling banyak ditemukan di


ICF dan konsentrasinya di dalam sel kira-kira 30 kali lebih banyak
dibandingkan ECF. Protein, anion organik dan fosfat adalah anion
yang paling banyak ditemukan di ICF. 1
ICF dan ECF memiliki perbedaan jumlah anion yang
ditentukan oleh molekul intraseluler yang tidak melintasi membran
sel. Namun perbedaan dalam jumlah kation, natrium dan kalium
adalah hasil dari aktivitas pompa Na+, K+-adenosine triphosphatase
(ATPase) yang menggunakan energi secara aktif untuk
mengeluarkan natrium dari sel dan mengeluarkan kalium ke dalam

8
sel. Gradien antara kalium ekstraseluer dan intraseluler telah
menciptakan gradien listrik di seluruh membran sel.
Perbedaan dalam komposisi elektrolit ECF dan ICF
memiliki konsekuensi penting dalam evaluasi dan pengobatan
gangguan elektrolit. Patut diingat bahwa konsentrasi serum
elektrolit yang diukur secara klinis tidak selalu mencerminkan isi
tubuh karena volume yang lebih besar di kompartemen ICF
dibandingkan ECF dan terdapat variasi konsentrasi elektrolit antara
kompartemen ini. Konsentrasi kalium pada intraseluler jauh lebih
tinggi dibandingkan konsentrasi serum. Pergeseran potasium dari
ruang intraseluler dapat mempertahankan konsentrasi serum kalium
yang normal atau bahkan meningkat, meskipun kehilangan besar
kalium dari ruang intraseluler. Hal ini secara dramatis terlihat pada
penyakit ketoasidosis diabetik, di mana keadaan deplesi kalium
yang signifikan sering disamarkan karena pergeseran transmembran
kalium dari ICF ke ECF. 1
1.2 Pertukaran ion dan metode transport
Membran sel berfungsi sebagai barrier primer perpindahan zat-zat
antara CES dan CIS. Zat-zat yang larut dalam lemak seperti gas (oksigen
dan karbon dioksida) bisa langsung melintasi membran. Ion-ion seperti Na+
dan K+ berpindah melalui mekanisme transpor aktif seperti pompa Na+/K+
yang berada di membran sel.
Elektrolit dalam larutan tubuh berada dalam bentuk partikel atau ion.
Contohnya: NaCl di dalam darah akan terurai menjadi ion positif Na+, dan
ion negatif yaitu Cl-. Distribusi elektrolit di antara kompartemen tubuh
dipengaruhi oleh potential listriknya. Akan tetapi satu kation dapat diganti
dengan kation lainnya, misalnya H+ diganti dengan K+ dan ikatannya
dengan HCO3- diganti dengan Cl-.2
Difusi adalah pergerakan partikel bermuatan atau tidak bermuatan
di sepanjang gradien konsentrasinya. Semua molekul dan ion termasuk air
dan larutannya dalam keadaan konstan. Partikel akan bergerak dari
konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Osmosis adalah gerakan air
melewati membran semi permeabel. Air akan bergerak dari konsentrasi

9
gradien yang rendah ke gradien yang tinggi dimediasi oleh tekanan osmotik.
Aktifitas osmotik ini diukur dengan ukuran yang disebut osmol.2
Aktifitas osmosik larutan diekspresikan dalam bentuk osmolaritas
dan osmolalitas. Osmolaritas adalah konsentrasi osmolar dalam 1 liter
larutan (mOsm/L), sedangkan osmolalitas adalah konsentrasi osmolar
dalam 1 kg air. Osmolaritas biasa dipakai untuk larutan yang berada di luar
tubuh, sedangkan osmolalitas untuk menjelaskan larutan di dalam tubuh.
Osmolalitas serum yang ditentukan oleh natrium dan anion yang
mengikatnya (klorida dan bikarbonat) mempunyai angka yang berkisar
antara 275 hingga 295 mOsm/kg.2
Tonisitas adalah tekanan atau efek dari tekanan osmotik efektif dari
larutan dengan zat terlarut yang tidak permeabel terhadap ukuran sel karena
perpindahan air melalui membran sel. Tonisitas mengukur zat terlarut yang
tidak bisa melalui membran sel. Zat yang tidak bisa melalui membran sel,
adalah molekul kompleks seperti glukosa, dan substrat ini mampu
mempengaruhi pergerakan air masuk atau keluar dari sel dan menyebabkan
perubahan ukuran sel.2
Pertukaran larutan dalam kapiler dan jaringan interstisial
dipengaruhi oleh: 1) tekanan filtrasi kapiler, yang mendorong air keluar
dari kapiler menuju jaringan interstisial; 2) tekanan osmotik koloid
kapiler, yang menarik air kembali ke dalam kapiler; 3) tekanan
hidrostatik interstisial sebagai kebalikan gerakan air keluar kapiler; dan 4)
tekanan osmotik koloid jaringan yang menarik air keluar dari kapiler ke
jaringan interstisiel.2
Edema adalah proses pembengkakan anggota tubuh karena
ekspansi volume larutan interstisial. Dan baru tampak ketika kelebihan
volume cairan mencapai 2,5 L atau 3 L. Mekanisme fisiologi edema adalah:
1) kenaikan tekanan filtrasi kapiler, 2) penurunan tekanan osmotik koloid
kapiler, 3) kenaikan permeabilitas kapiler, dan 4) obstruksi saluran limfe.2
Tekanan filtrasi kapiler dipengaruhi oleh: (1) perubahan tekanan
arteri atau vena, (2) tahanan arteri dan vena, dan (3) gaya gravitasi yang
menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik 1mmHg untuk setiap

10
13,6mm dari jantung (tekanan di vena kaki bisa mencapai 90 mmHg pada
orang yang berdiri tegak). Adanya peningkatan tekanan filtrasi kapiler
akibat peningkatan tekanan darah, penurunan tahanan prekapiler, distensi
kapiler, atau peningkatan tahanan post-kapiler akan menyebabkan edema.2
Tekanan osmotik koloid kapiler berasal dari protein besar yang
berada di plasma. Albumin adalah komposisi protein terbesar di dalam
plasma. Keberadaan protein di plasma yang jumlahnya lebih banyak
dibandingkan intrasel akan menarik air untuk tetap di kapiler. Jumlah
protein dalam plasma akan berkurang pada pasien yang menderita penyakit
liver akibat gangguan sintesis protein, dan pada kerusakan kulit yang
menyebabkan kebocoran protein plasma. Edema akibat kurangnya protein
plasma dapat terjadi pada seluruh bagian badan, karena tidak tergantung
dengan gravitasi.2
Tekanan larutan intestisiel dan tekanan osmotik koloid jaringan
mempengaruhi gerakan air dan keluar dari jaringan interstisiel.
Permeabilitas kapiler dipengaruhi oleh integritas dinding kapiler. Apabila
terjadi kerusakan pada dinding kapiler akibat luka bakar, bendungan
kapiler, reaksi peradangan dan respon imun, maka permeabilitas kapiler
akan meningkat dan memungkinkan ekstravasasi cairan vaskular ke
intrasel.2
Aliran limfe berfungsi membawa protein dengan berat molekul
besar yang tidak dapat ditransport melalui pori-pori membran kapiler.
Adanya sumbatan aliran limfe akan menyebabkan resorpsi protein
bermolekul besar ke dalam sirkulasi darah dan menyebabkan limfedema.2
Ruang-ruang serous atau 3rd space atau ruang potensial adalah ruang
traseluler merupakan tempat strategis terjadinya kebocoran cairan, dan sulit
sekali terdeteksi. Lokasi ruang transeluler berada di tempat strategis yang
memfasilitasi gerakan kontinu organ, seperti saccum perikardial, cavum
peritoneal, dan pleura. Adanya perubahan CES antarkapiler dan gangguan
drainase limfe akan berdampak pada seluruh ruang interstisial dan
transelular di seluruh tubuh.2

11
1.3 Osmolalitas
Keadaan ICF dan ECF berada dalam keseimbangan osmotik karena
membran sel dalam tubuh memiliki karakteristik permeabel terhadap air.
Jika osmolalitas dalam 1 kompartemen berubah, maka pergerakkan air akan
segera melakukan pergerakaan untuk meratakan osmolalitas terjadi. Hal ii
dapat menyebabkan pergeseran air yang signifikan antara ruang intraseluler
dan ekstraseluler. Secara klinis, proses ini akan merubah osmolalitas ECF
dengan hasil pergerakkan air ke ICF jika osmolalitas ECF menurun atau
terdapat pergeseran air keluar dari ICF jika osmolalitas ECF meningkat.
Osmolalitas ECF dapat ditentukan dan biasanya sama dengan osmolalitas
ICF. Jumlah osmolalitas plasma berkisar sekitar 285-295 mOsm/kg dan
dapat diperkirakan dengan rumus perhitungan:

Osmolalitas = 2 ×[Na]+[glukosa]/18 +[BUN]/2.8

Pada kondisi hiperglikemia akan menyebabkan peningkatan


osmolalitas plasma karena tidak berada dalam ekuilibrium dengan ruang
intraseluler. Selama hiperglikemia, terjadi sebuah pergeseran air dari ruang
intraseluler ke ekstraseluler, dimana hal ini penting pada anak-anak dengan
hiperglikemia selama ketoasidosis metabolik. Pergeseran air menyebabkan
dilusi natrium di ruang ekstraseluler, sehingga menyebabkan hiponatremia
meskipun osmolalitas plasma meningkat.1

1.4 Regulasi larutan tubuh


Terdapat 2 mekanisme fisiologis yang mengatur larutan tubuh: haus
dan hormon antidiuretik (ADH). Rasa haus terutama mengatur pemasukan
(intake) larutan, sedangkan ADH mengatur larutan keluar (output). Kedua
mekanisme ini bertanggung jawab terhadap perubahan osmolalitas
ekstraselular dan volume.
Rasa haus dikendalikan oleh pusat rasa haus di hipotalamus. Stimuli
untuk rasa haus adalah: (1) dehidrasi selular (peningkatan osmolalitas
ekstraselular) dan 2) penurunan volume cairan intravaskular. Stimulus rasa
haus diatur oleh (1) osmoreseptor, (2) baroreseptor kapiler darah, (3)

12
angiotensin II, dan (4) kelembapan bibir.
Osmoreseptor rasa haus terletak dekat pusat rasa haus di
hipotalamus. Osmoreseptor akan berespon terhadap perubahan osmolalitas
dan memberikan rangsangan pada hipotalamus untuk memberikan sensasi
haus. Rasa haus normal dapat muncul apabila terdapat 1-2% perubahan
pada osmolalitas serum. Selain itu, baroreseptor pada kapiler sensitif
terhadap perubahan tekanan darah arteri dan volume darah sentral akan
mencetuskan rasa haus. Angiotensin II akan meningkat sebagai respon
terhadap penrunan volume aliran darah dan tekanan aliran darah sekaligus
mencetuskan rasa haus melalui sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron.
Mulut kering menyebabkan sensasi rasa haus, sehingga pada orang-orang
yang bernafas dengan mulut misalnya perokok dan penderita dengan
penyakit saluran pernafasan kronis atau sindrom hiperventilasi akan lebih
sering mengalami haus.
Gangguan rasa haus dapat berupa hipodipsia dan polidipsia.
Hipodipsia adalah penurunan kemampuan rasa haus. Ketidakmampuan
menerima dan berespon terhadap rasa haus biasanya terjadi pada pasien
stroke atau gangguan sensorik. Polidipsia dibagi dalam 3 jenis yaitu: 1)
simptomatik atau rasa haus sejati, 2) rasa haus yang tidak tepat atau rasa
haus yang salah yang terjadi dimana jumlah larutan tubuh dan osmolalitas
serum normal, 3) minum larutan kompulsif (psikogenik). 1
Polidipsia simtomatik haus muncul ketika terdapat kehilangan
larutan tubuh. Penyebab rasa haus yang paling banyak adalah kehilangan
larutan akibat diare, muntah, diabetes melitus, dan diabetes insipidus. Haus
yang tidak tepat terjadi pada pasein gagal ginjal, dan gagal jantung kongestif
akibat peningkatan kadar angiotensin. Haus yang tidak tepat juga dirasakan
pada orang dengan aktivitas kelenjar air ludah yang menurun karena
pengaruh obat-obatan seperti antikolinergik (termasuk atropin). Polidipsi
psikogenik biasanya terjadi pada penderita gangguan jiwa akibat pemakaian
obat antipsikosis yang meningkatkan kadar ADH dalam darah. 1
Hormon antidiuretik (ADH) atau vasopressin memiliki fungsi dalam
melakukan reabsorpsi air dalam tubuh. ADH disintesis oleh sel di nukleus

13
supraoptikus dan nukleus paraventrikularis hipotalamus. ADH diangkut di
sepanjang akson saraf ke neurohipofisis kemudian dilepas ke sirkulasi.
Kadar ADH terkontrol oleh volume dan osmolalitas ekstraselular.
Osmoreseptor di hipotalamus merasakan perubahan osmolalitas
ekstraselular dan akan merangsang produksi dan pelepasan ADH.
Baroreseptor yang sensitif terhadap perubahan tekanan darah dan volume
darah sentral akan menstimulasi pelepasan ADH. Penurunan volume darah
5%-10% akan menyebabkan peningkatan maksimal kadar ADH. ADH
umumnya hanya dipengaruhi oleh perubahan kondisi akut yang tidak
1
terkompensasi tubuh.
Keadaan tidak normal akan meningkatkan sintesis dan pelepasan
ADH terjadi pada nyeri yang hebat, mual, trauma, operasi, zat anestesi dan
beberapa narkotik (morfin dan meperidin). Mual adalah rangsangan yang
poten untuk sekresi ADH, sehingga menyebabkan kenaikan kadar ADH 10-
1000 kali. Nikotin merangsang pelepasan ADH sedangkan alkohol
menghambatnya. Dua keadaan yang mengganggu kadar ADH yaitu
diabetes insipidus dan sekresi ADH yang tidak tepat. Diabetes insipidus
adalah keadaan dimana terjadi defisiensi atau penurunan respon terhadap
ADH. indrom ADH tidak tepat (syndrome of inappropriate ADH/ SIADH)
adalah akibat kegagalan sistem umpan balik negatif yang mengatur
pelepasan dan penghambatan ADH.

1.5 Peran ginjal sebagai regulator cairan dan elektrolit


Masing-masing ginjal manusia terdiri dari sekitar satu juta nefron
yang masing-masing dari nefron tersebut memiliki tugas untuk membentuk
urin. Ginjal tidak dapat membentuk nefron baru, oleh sebab itu, pada
trauma, penyakit ginjal, atau penuaan ginjal normal akan terjadi penurunan
jumlah nefron secara bertahap. Setelah usia 40 tahun, jumlah nefron
biasanya menurun setiap 10 tahun. Berkurangnya fungsi ini seharusnya
tidak mengancam jiwa karena adanya proses adaptif tubuh terhadap
penurunan fungsi faal ginjal. Setiap nefron memiliki 2 komponen utama
yaitu glomerulus dan tubulus. Glomerulus (kapiler glomerulus) dilalui

14
sejumlah cairan yang difiltrasi dari darah sedangkan tubul Kapiler-kapiler
glomerulus dilapisi oleh sel-sel epitel dan seluruh glomerulus dilingkupi
dengan kapsula Bowman. Cairan yang difiltrasi dari kapiler glomerulus
masuk ke dalam kapsula Bowman dan kemudian masuk ke tubulus
proksimal, yang terletak pada korteks ginjal. Dari tubulus proksimal
kemudian dilanjutkan dengan ansa Henle (Loop of Henle).1, 3-6 Ansa Henle
terbagi menjadi 2 bagian: desenden dan asenden. Pada ujung cabang
asenden tebal terdapat makula densa. Makula densa juga memiliki
kemampuan kosong untuk mengatur fungsi nefron. Setelah itu dari tubulus
distal, urin menuju tubulus rektus dan tubulus koligentes modular hingga
urin mengalir melalui ujung papilla renalis dan kemudian bergabung
membentuk struktur pelvis renalis. Terdapat 3 proses dasar yang berperan
dalam pembentukan urin yaitu filtrasi glomerulus reabsorbsi tubulus, dan
sekresi tubulus. Filtrasi dimulai pada saat darah mengalir melalui
glomerulus sehingga terjadi filtrasi plasma bebas- protein menembus
kapiler glomerulus ke kapsula Bowman. Proses ini dikenal sebagai filtrasi
glomerulus yang merupakan langkah pertama dalam pembentukan urin.
Setiap hari terbentuk ratarata 180liter filtrat glomerulus. Dengan
menganggap bahwa volume plasma rata-rata pada orang dewasa adalah 2,75
liter, hal ini berarti seluruh volume plasma tersebut difiltrasi sekitar enam
puluh lima kali oleh ginjal setiap harinya. Apabila semua yang difiltrasi
menjadi urin, volume plasma total akan habis melalui urin dalam waktu
setengah jam. Namun, hal itu tidak terjadi karena adanya tubulus-tubulus
ginjal yang dapat mereabsorpsi kembali zat-zat yang masih dapat
dipergunakan oleh tubuh.1, 3-6
Perpindahan zat-zat dari bagian dalam tubulus ke dalam plasma
kapiler peritubulus ini disebut sebagai reabsorpsi tubulus. Zat-zat yang
direabsorpsi tidak keluar dari tubuh melalui urin, tetapi diangkut oleh
kapiler peritubulus ke sistem vena dan kemudian ke jantung untuk kembali
diedarkan. Dari 180liter plasma yang difiltrasi setiap hari, 178,5liter diserap
kembali, dengan 1,5liter sisanya terus mengalir melalui pelvis renalis dan
keluar sebagai urin. Secara umum, zat-zat yang masih diperlukan tubuh

15
akan direabsorpsi kembali sedangkan yang sudah tidak diperlukan akan
tetap bersama urin untuk dikeluarkan dari tubuh.
Proses ketiga adalah sekresi tubulus yang mengacu pada
perpindahan selektif zat-zat dari darah kapiler peritubulus ke lumen tubulus.
Sekresi tubulus merupakan rute kedua bagi zat-zat dalam darah untuk
masuk ke dalam tubulus ginjal. Cara pertama adalah dengan filtrasi
glomerulus dimana hanya 20% dari plasma yang mengalir melewati kapsula
Bowman, sisanya terus mengalir melalui arteriol eferen ke dalam kapiler
peritubulus. Beberapa zat, mungkin secara diskriminatif dipindahkan dari
plasma ke lumen tubulus melalui mekanisme sekresi tubulus. Melalui 3
proses dasar ginjal tersebut, terkumpullah urin yang siap untuk diekskresi.
Ginjal memainkan peranan penting dalam fungsi tubuh, tidak hanya dengan
menyaring darah dan mengeluarkan produk-produk sisa, namun juga
dengan menyeimbangkan tingkat-tingkat elektrolit dalam tubuh,
mengontrol tekanan darah, dan menstimulasi produksi dari sel-sel darah
merah.1, 3-6
Ginjal memiliki beberapa fungsi, yaitu sebagai berikut:
1. Fungsi ekskresi
a. Ekskresi sisa metabolisme protein (ureum, kalium, fosfat, sulfat,
asam urat)
b. Regulasi volume
Ketika darah mengalir ke ginjal, sensor-sensor dalam ginjal
memutuskan berapa banyak air dikeluarkan sebagai urin,
bersama dengan konsentrasi apa dari elektrolit-elektrolit.
Contohnya, jika seseorang mengalami dehidrasi dari latihan
olahraga atau dari suatu penyakit, ginjal akan menahan
sebanyak mungkin air dan
2. Fungsi endokrin
a. Proses eritropoiesis (menghasilkan kidney erythropoetic
factor)
b. Pengaturan tekanan darah

16
Bila terjadi iskemia ginjal misalnya oleh stenosis arteri renalis,
maka granula renin akan dilepaskan dar1 aparat
jukstaglomerular. Renin akan merubah angiotensinogen di
dalam darah menjadi angiotensin I. Kemudian angiotensin I
dirubah lagi menjadi angiotensin II oleh enzim konvertase di
paru. Angiotensin II mempunyai 2 efek, yaitu pertama
mengakibatkan vasokonstriksi pembuluh darah perifer dan
kedua merangsang korteks kelenjar adrenal untuk
memproduksi aldosteron. Aldosteron bersifat meretensi air dan
natrium sehingga akibat-nya volume darah bertambah.
Kombinasi kedua efek tersebut akan mengakibatkan hipertensi.
c. Menjaga keseimbangan kalsium dan fosfor
Ginjal berperan dalam metabolisme vitamin D3 menjadi
bentuk aktifnya dan merupakan tempat bekerjanya hormon
paratiroid (PTH) untuk meningkatkan reabsorpsi kalsium.

Dua produk sisa dalam darah yang dapat diukur adalah Blood Urea
Nitrogen (BUN) dan kreatinin (Cr). Selain itu, hasil pemeriksaan
osmolalitas dan kandungan urin dapat dipergunakan untuk membedakan
penyebab terjadinya hiponatremia.1, 3-6

1.6 Distribusi cairan tubuh berdasarkan usia


Total larutan tubuh bervariasi tergantung jenis kelamin dan berat
badan. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan lemak tubuh. Pada laki-
laki larutan tubuh sekitar 60% berat badan pada dewasa muda dan turun
menjadi 50% setelah dewasa. Pada wanita muda jumlah larutan tubuh 50%
berat badan dan akan turun menjadi 40% setelah dewasa. Pada orang gemuk
akan terjadi penurunan jumlah larutan tubuh sampai 30%-40% berat badan.
Pada bayi larutan tubuh 75%-80% berat badan. Pada bayi prematur, jumlah
air lebih besar lagi. Jumlah larutan CES pada bayi relatif lebih banyak
dibanding dewasa.2

17
Lebih dari separuh larutan tubuh bayi berada di CES. Distribusi
CES yang lebih banyak disebabkan oleh (1) metabolisme bayi yang lebih
tinggi, (2) luas permukaan tubuh yang lebih luas dan (3) struktur ginjal yang
belum matur. Karena CES lebih mudah hilang maka jumlah cairan bayi
lebih banyak dibandingkan dewasa.2

Tabel 1. Distribusi cairan tubuh berdasarkan usia1


Prematur Neonatus 1-3 tahun Dewasa
Cairan tubuh 85% 80% 65% 65%
total
CES 55% 45% 25% 25%
CIS 30% 35% 40% 40%

1.7 Kebutuhan cairan dan elektrolit harian


Kebutuhan cairan tubuh dipengaruhi oleh metabolisme dan
pemakaian kalori pada pasien (caloric expenditure). Kebutuhan cairan
rumatan (maintenance) yang diperlukan, sangat tergantung dari jumlah
cairan yang dikeluarkan dari ginjal, kulit dan pernafasan (insensible water
loss = IWL), dan tinja (kecil).
Tanpa melihat umur, semua orang sehat membutuhkan 100 cc air
setiap 100 kalori (IWL + urin obligat) untuk proses metabolisme dan
membuang sisa-sisa metabolisme. Sumber air tubuh yang utama adalah dari
pemasukan lewat oral dan metabolisme nutrien. Air (termasuk dari larutan
makanan solid) diabsorbsi dari saluran cerna. Proses metabolisme juga
menghasilkan air dengan jumlah bervariasi diantara 150 -300 cc. Jumlah
pengeluaran cairan obligatori adalah sebagai berikut:
• Insensible water loss (IWL) = 45 ml/100 kalori
• Jumlah urin obligatori = 50 – 55 ml/100 kalori (+300-500 ml/hari)
• Air tinja = 0 – 5 ml/100 kalori yang terpakai

Jumlah urin bergantung berdasarkan usia, berat badan anak, dan kondisi
metabolisme anak. Pada kondisi oligo atau anuria, jumlah urin berkurang
atau tidak ada sama sekali. Sebaliknya, pada polyuria, jumlah urin 2 – 3x
lipat normal.

18
Tabel 2. Jumlah pengeluaran urin pada anak1
Umur (tahun) Volume urin (ml/24 jam)
Nenonatus
1 – 2 hari 15 – 60
4 – 12 hari 100 – 300
15 – 60 hari 250 – 450
Anak
1 500
3 600
5 700
7–8 1000
15 1500

Umumnya pada pasien yang diterapi cairan parenteral dalam jangka pendek,
penambahan kalsium, fosfat dan magnesium tidak diperlukan kecuali pada
pasien yang diberikan nutrisi parenteral penuh (total parenteral nutrition)

Tabel 3. Kebutuhan cairan rumatan dan elektrolit


Komponen Berat badan (kg) Kebutuhan cairan
Air 10 kg pertama (BB 3-10 kg) 4 ml/kgBB/jam
10 kg kedua (BB 11-20 kg) 10kg pertama + 2 ml/kgBB/jam x (BB-10)
Selebihnya (BB >20 kg) 20kg pertama + 1 ml/kgBB/jam x (BB-20)
Natrium, 3 – 10 kg 2,5 mmol/kgBB
Kalium, 11 – 30 kg 2,0 mmol/kgBB
Klorida >30 kg 1,5 mmol/kgBB

19
Tabel 4. Kondisi yang meningkatkan atau menurunkan kebutuhan
jumlah cairan rumatan

Umur (tahun) Perubahan jumlah cairan


Peningkatan kebutuhan
• Demam + 12%/oC diatas 37,5oC
• Hiperventilasi + 20-50%
• Berkeringat banyak + 10-25%
• Hipermetabolik (tirotoksikosis) + 25-75%
• Bayi dibawah radiant heat atau terapi sinar + 25%
Penurunan kebutuhan
• Kelembaban tinggi/dalam pengobatan
nebulizer IWL + urin + NGT +
• Hipotiroidisme output lainnya
• Oligo-anuria dengan perhitungan khusus

20
BAB III

PRINSIP TERAPI CAIRAN

Gangguan keseimbangan cairan relatif lebih mudah terjadi pada anak


dibandingkan pada orang dewasa karena bayi/anak memiliki permukaan tubuh
yang lebih luas, jumlah air tubuh total lebih besar daripada berat badan, kebutuhan
dan petukaran air per hari lebih besar, distribusi cairan yang berbeda dari orang
dewasa serta fungsi homeostasis yang belum sempurna.

Gambar 3. Jenis terapi cairan

Pemberian cairan pada bayi atau anak memiliki 2 tujuan, yaitu untuk 1)
Resusitasi dan 2) Rumatan. Pemberian cairan resusitasi bertujuan menggantikan
kehilangan cairan tubuh yang terjadi secara akut (misalnya perdarahan). Sedangkan
cairan rumatan diberikan untuk memelihara keseimbangan cairan tubuh dan nutrisi.
Perencanaan terapi cairan perlu ditujukan secara individual sehingga tidak
ada kebutuhan dasar yang terlewati. Selain itu pemberian terapi cairan perlu dibagi
menjadi tiga tahap yang berurutan yaitu 1) menjaga perfusi yang cukup, 2)
memperbaiki defisit cairan dan elektrolit sekaligus memperbaiki gangguan asam
basa, dan 3)mencukupi kebutuhan nutrisi. Dalam perencanaan pemberian terapi

cairan, yang penting dipertimbangkan adalah defisit Na+ dan air, perubahan
kualitatif dari susunan tubuh yang terjadi akibat hilangnya elektrolit yang terkait

21
dengan air, dan keseimbangan ion kalium dan hidrogen.

3.1 Pemberian terapi cairan


Pemberian terapi cairan meliputi pemberian cairan yang ditujukan
untuk:
a. Memperbaiki dinamika sirkulasi (bila syok)
b. Mengganti defisit yang terjadi
c. Rumatan (maintenance) / untuk mengganti kehilangancaran dan
elektrolit yang sedang berlangsung (on going loss)

Pemberian terapi cairan dapat diberikan per oral atau parenteral

3.1.1 Dehidrasi berat


Penderita dengan dehidrasi berat, yaitu dehidrasi lebih dari
10% untuk bayi dan lebih dari 9% untuk anak besar serta
menunjukkan gangguan organ vital tubuh (somnolen-koma,
pernafasan Kussmaul, gangguan dinamika sirkulasi) memerlukan
1,2,3
pemberian cairan dan elektrolit secara parenteral.
Terapi rehidrasi parenteral memerlukan 3 tahap:
1. Terapi awal (initial therapy)
Bertujuan memperbaiki dinamika sirkulasi dan fungsi ginjal
dengan cara re-ekspansi dengan cepat volume cairan
ekstraselular terutama plasma. Idealnya adalah bahwa seluruh
cairan yang diberikan hendaknya tetap dalam ruang vaskular.
2. Terapi lanjutan
Ditujukan untuk mengganti defisit air dan elektrolit pada
kecepatan yang lebih rendah dengan mengganti Na+ mendahului
K+ .
Begitu sirkulasi dapat dipulihkan kembali, terapi cairan
berikutnya ditujukan untuk mengoreksi secara menyeluruh sisa
defisit air dan Na+ dan mengganti kehilangan abnormal dari
cairan yang sedang berjalan (on going losses) serta kehilangan
obligatorik. Walaupun pemberian K+ sudah dapat dimulai,

22
namun hal ini tidak esensial, dan biasanya tidak diberikan
sebelum 24 jam. Perkecualian dalam hal ini adalah bila
didapatkan hipokalemia yang berat dan nyata. 
Pada saat
tercapainya tahap ini, kadang perlu diketahui nilai elektrolit
serum sehingga terapi cairan dapat dimodifikasi sesuai dengan
kadar Na+ yang ada (isonatremia, hiponatremia,
hipernatremia).1,2,3 


Tabel 5. Terapi cairan standar (iso-natremia)

3. Terapi akhir
Ditujukan untuk menjaga /memulihkan status gizi penderita.
Walaupun pada diare terapi cairan parenteral tidak cukup bagi
kebutuhan kalori penderita, namun hal ini tidaklah menjadi
masalah besar karena hanya menyangkut waktu yang pendek.
Apabila penderita telah kembali diberi diet sebagaimana
biasanya, segala kekurangan tubuh akan lemak dan protein dapat
segera terpenuhi. Itulah mengapa pada pemberian terapi cairan,
bila memungkinkan diusahakan agar penderita cepat
mendapatkan makanan/ minuman sebagaimana biasanya.
Bahkan pada dehidrasi 
 ringan sedang yang tidak memerlukan
terapi cairan parenteral, makan dan minum tetap dapat
dilanjutkan (continued feeding).1,2,3

23
3.1.2 Untuk neonatus (<3 bulan)
Plan C: 30 ml/kgBB/2 jam, KAEN 4B
Plan B : 70 ml/jgBB/6 jam, KAEN 4B

3.1.3 Untuk diare dengan penyakit penyerta


Plan C: 30 ml/kg/2 jam cairan 1/2 darrow, KA-EN 3B (usia >3
bulan) dan KAEN 4 B (usia <3 bulan).

Plan B: 70 ml/kg/6 jam cairan 1/2 darrow, KA-EN 3B (usia >3
bulan) dan KAEN 4 B (usia <3 bulan).

3.1.4 Untuk dehidrasi dengan hipernatremia


Defisit (70 ml) + rumatan (100 ml) + "on going losses" (25
ml) x 2 (hari) = ±400 ml/kg, diberikan dalam waktu 48 jam.
Jenis
cairan 1⁄2 darrow, KA-EN 3B.

KA-EN 1B: sebagai larutan awal bila status elektrolit pasien
belum diketahui. Pada prematur atau bayi baru lahir sebaiknya tidak
diberikan lebih dari 100 ml.
KA-EN 3A, KA-EN 3B: sebagai larutan rumatan untuk
memenuhi kebutuhan harian air dan elektrolit dengan kandungan
cukup untuk mengganti ekskresi harian, pada keadaan asupan oral
terbatas.

KA-EN 4A: sebagai larutan infus rumatan untuk bayi dan
anak tanpa mengandung kalium, sehingga dapat diberikan pada
pasien dengan kadar kalium serum normal
KA-EN 4B: sebagai larutan infus rumatan untuk bayi dan
anak usia <3 tahun.

3.2 Cara menghitung tetesan infus


Dengan menggunakan rumus tetesan infus dengan benar, maka

24
kegagalan dalam pemberian cairan tubuh dapat teratasi dengan baik.
Rumus dasar menghitung jumlah tetesan cairan adalah sebagai
berikut:

Faktor tetes ditentukan berdasarkan jenis jarum yang digunakan,


yaitu makro atau mikro. Makro kebanyakan digunakan untuk dewasa
namun pada anak-anak juga dapat digunakan makro. Sedangkan tetesan
mikro biasanya digunakan untuk anak dengan berat dibawah 7 kg. Faktor
tetes untuk tetesan makro (gtt) bergantung dari jenis infus set yang
digunakan. Di Indonesia hanya ada 2 merek: Otsuka dan Terumo. Faktor
tetes untuk infus set otsuka adalah 15 tetes/ml, sedangkan terumo 20
tetes/ml.
Infus set mikro sering dipakai untuk pasien anak – anak karena debit
cairan yang dikeluar 3 kali lebih sedikit dibandingkan infus set makro,
namun pada kasus tertentu infus set mikro juga bisa dipakai untuk pasien
dewasa. Berikut rumus menghitung tetesan infus untuk infus set mikro.
Sebenarnya rumus yang digunakan sama saja dengan rumus yang
digunakan menghitung tetesan infus untuk infus set makro. Namun yang
berbeda hanyalah faktor tetesan nya. Disini kita menggunakan ketetapan
faktor tetes infus set makro = 60. Jadi untuk menghitung tetesan infus untuk
infus set mikro tetap gunakan rumus diatas hanya ganti angka angka faktor
tetesan dengan faktor tetes mikro yaitu 60.

3.3 Macam-macam cairan


Secara garis besar, cairan intravena terbagi menjadi 2 jenis: cairan
kristaloid dan cairan koloid
Cairan Kristaloid
Kristaloid berisi elektrolit (contoh kalium,
natrium, kalsium, klorida). Kristaloid tidak mengandung partikel onkotik
dan karena itu tidak terbatas dalam ruang intravascular dengan waktu paruh
kristaloid di intravascular adalah 20-30 menit. Beberapa peneliti
merekomendasikan untuk setiap 1 liter darah, diberikan 3 liter kristaloid

25
isotonik. Kristaloid murah, mudah dibuat, dan tidak menimbulkan reaksi
imun. Larutan kristaloid adalah larutan primer yang digunakan untuk terapi
intravena prehospital. Tonisitas kristaloid menggambarkan konsentrasi
elektrolit yang dilarutkan dalam air, dibandingkan dengan yang dari plasma
tubuh. Ada 3 jenis tonisitas kritaloid, diantaranya3:
- Isotonis.
Ketika kristaloid berisi sama dengan jumlah elektrolit plasma, ia
memiliki konsentrasi yang sama dan disebut sebagai “isotonik”
(iso, sama; tonik, konsentrasi). Ketika memberikan kristaloid
isotonis, tidak terjadi perpindahan yang signifikan antara cairan
di dalam intravascular dan sel. Dengan demikian, hampir tidak
ada atau minimal osmosis. Keuntungan dari cairan kristaloid
adalah murah, mudah didapat, mudah penyimpanannya, bebas
reaksi, dapat segera dipakai untuk mengatasi defisit volume
sirkulasi, menurunkan viskositas darah, dan dapat digunakan
sebagai fluid challenge test. Efek samping yang perlu
diperhatikan adalah terjadinya edema perifer dan edema paru
pada jumlah pemberian yang besarContoh larutan kristaloid
isotonis: Ringer Laktat, Normal Saline (NaCl 0.9%), dan
2,3
Dextrose 5% in 1⁄4 NS.
- Hipertonis
Jika kristaloid berisi lebih elektrolit dari plasma tubuh, itu lebih
terkonsentrasi dan disebut sebagai “hipertonik” (hiper, tinggi,
tonik, konsentrasi). Administrasi dari kristaloid hipertonik
menyebabkan cairan tersebut akan menarik cairan dari sel ke
ruang intravascular. Efek larutan garam hipertonik lain adalah
meningkatkan curah jantung bukan hanya karena perbaikan
preload, tetapi peningkatan curah jantung tersebut mungkin
sekunder karena efek inotropik positif pada miokard dan
penurunan afterload sekunder akibat efek vasodilatasi kapiler
viseral. Kedua keadaan ini dapat memperbaiki aliran darah ke
organ-organ vital. Efek samping dari pemberian larutan garam

26
hipertonik adalah hipernatremia dan hiperkloremia. Contoh
larutan kristaloid hipertonis: Dextrose 5% dalam 1⁄2 Normal
Saline, Dextrose 5% dalam Normal Saline, Saline 3%, Saline
2,3,5
5%, dan Dextrose 5% dalam RL.
- Hipotonis
Ketika kristaloid mengandung elektrolit lebih sedikit dari
plasma dan kurang terkonsentrasi, disebut sebagai “hipotonik”
(hipo, rendah; tonik, konsentrasi). Ketika cairan hipotonis
diberikan, cairan dengan cepat akan berpindah dari intravascular
ke sel. Contoh larutan kristaloid hipotonis: Dextrose 5% dalam
3
air, 1⁄2 Normal Saline.
Cairan koloid mengandung zat-zat yang mempunyai berat molekul
tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung
bertahan agak lama dalam ruang intravaskuler. Koloid digunakan untuk
resusitasi cairan pada pasien dengan defisit cairan berat seperti pada syok
hipovolemik/hermorhagik sebelum diberikan transfusi darah, pada
penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein jumlah
besar (misalnya pada luka bakar). Cairan koloid merupakan turunan dari
plasma protein dan sintetik yang dimana koloid memiliki sifat yaitu plasma
expander yang merupakan suatu sediaam larutan steril yang digunakan
untuk menggantikan plasma darah yang hilang akibat perdarahan, luka
baker, operasi, Kerugian dari ‘plasma expander’ ini yaitu harganya yang
mahal dan dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (walau jarang) dan dapat
2,3
menyebabkan gangguan pada cross match. Berdasarkan jenis
pembuatannya, larutan koloid terdiri dari:

1. Koloid Alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5%


dan 25%). Dibuat dengan cara memanaskan plasma 60°C selama 10 jam
untuk membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma
selain mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta
globulin. Selain albumin, aktivator Prekallikrein (Hageman’s factor
fragments) terdapat dalam fraksi protein plasma dan sering menimbulkan
3
hipotensi dan kolaps kardiovaskuler.
2. Koloid sintetik
• Dextran

27
Koloid ini berasal dari molekul polimer glukosa dengan jumlah yang
besar. Dextrans diproduksi untuk mengganti cairan karena
peningkatan berat molekulnya, sehingga memiliki durasi tindakan
yang lebih lama di dalam ruang intravaskular. Namun, obat ini
jarang digunakan karena efek samping terkait yang meliputi gagal
ginjal sekunder akibat pengendapan di dalam tubulus ginjal,
gangguan fungsi platelet, koagulopati dan gangguan pada cross-
matching darah. Tersedia dalam bentuk Dextran 40
(Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70
4
(Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000.
• Hydroxyethyl starch
Cairan koloid sintetik yang sering digunakan saat ini. Pemberian 500
ml larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin
dalam waktu 2 hari dan sisanya, yaitu starch yang bermolekul besar,
sebesar 64% dalam waktu 8 hari. Hetastarch nonantigenik dan
jarang dilaporkan adanya reaksi anafilaktoid. Low molecular weight
Hydroxylethyl starch (Penta- Starch) mirip Heta starch, mampu
mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali volume yang
diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya
sebagai plasma volume expander yang besar dengan toksisitas yang
rendah dan tidak mengganggu koagulasi maka Pentastarch dipilih
5
sebagai koloid untuk resusitasi cairan jumlah besar.
• Gelatin
Merupakan bagian dari koloid sintesis yang terbuat dari gelatin,
biasanya berasal dari collagen bovine serta dapat memberikan
reaksi. Larutan gelatin adalah urea atau modifikasi succinylated
cross-linked dari kolagen sapi. Berat molekul gelatin relatif rendah,
30,35 kDa, jika dibandingkan dengan koloid lain. Pengangkut berisi
NaCl 110 mmol/l. Efek ekspansi plasma segera dari gelatin adalah
80-100% dari volume yang dimasukkan dibawah kondisi
hemodilusi normovolemik. Efek ekspansi plasma akan bertahan 1-2
jam. Tidak ada batasan dosis maksimum untuk gelatin. Gelatin dapat
memicu reaksi hipersensitivitas, lebih sering daripada larutan HES.
Meskipun produk mentahnya bersumer dari sapi, gelatin dipercaya
bebas dari resiko penyebaran infeksi. Kebanyakan gelatin
6
dieskskresi melalui ginjal, dan tidak ada akumulasi jaringan.

28
BAB IV

GANGGUAN KESEIMBANGAN NATRIUM



4.1 Keseimbangan air dan natrium
Air merupakan 90% sampai 93% dari pelarut CES. Dalam keadaan
normal perubahan keseimbangan natrium dan air sering terjadi, dan volume
serta osmolalitasnya dipertahankan normal. Na+ adalah ion terbanyak yang
mengatur osmolalitas CES, sehingga perubahan Na+ biasanya diikuti oleh
perubahan volume air secara proporsional.2
Gangguan keseimbangan Na+ dan air dibagi menjadi 2 kategori: 1)
kelainan isotonis dan 2) dilusi hipotonis (hiponatremia) atau konsentrasi
hipertonis (hipernatremia) dari natrium yang membawa perubahan pada
CES.2

Kelainan isotonis biasanya dimaksudkan perubahan natrium diikuti


perubahan volume air intravaskular dan interstisial (hipovolemia atau
hipervolemia). Kelebihan volume larutan (hipervolemia) adalah perluasan
CES isotonik dengan meningkatnya volume vaskular dan interstisial. Akan
tetapi, peningkatan volume larutan tidak selalu merupakan proses patologis,
misalnya untuk mengkompensasi cuaca yang panas, mkaa akan terjadi
peningkatan volume CES sebagai mekanisme fisiologis pengeluaran panas
tubuh.2

4.1.1 Kebutuhan harian dan fungsi utama Na+


Na+ adalah kation yang paling rumit dalam tubuh, dengan
rata-rata jumlah kurang lebih 60 mEq/kgBB. Kebanyakan dari Na+
tubuh ada di CES (135-145 mEq/l) dan sedikit di CES (10-14
mEq/l).2
Fungsi utama Na+ adalah mengatur volume CES termasuk
kompartemen vaskular. Sebagai kation yang paling banyak dalam
CES, Na+ dan anion pasangannya (Cl- dan HCO3-) mengatur

29
aktifitas osmotik dalam CES. Selain itu Na+ merupakan bagian dari
molekul NaHCO3 yang berperan penting dalam pengaturan
keseimbangan asam basa.2
Kelainan konsentrasi natrium akan menyebabkan perubahan
osmolalitas CES. Hiponatremia akan menyebabkan pergerakan air
dari kompartemen CES ke dalam CIS (edema selular), sedangkan
hipernatremia akan menyebabkan pergerakan air dari
kompartemen CIS ke dalam kompartemen CES (pengkerutan sel).2

4.1.2 Masuk dan keluarnya Na+


Na+ masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan,
infus. Na+ dikeluarkan melalui ginjal (terbanyak), saluran cerna, dan
kulit. Hanya sebanyak 10% Na+ keluar melalui saluran cerna dan
kulit.2
Ginjal adalah regulator utama Na+. Ginjal akan
menyesuaikan tekanan arteri; jika tekanan arteri turun maka
reabsorpsi Na+ akan meningkat, sebaliknya apabila tekanan arteri
naik maka Na+ akan diekskresikan melalui urin. Regulasi Na+
dipengaruhi oleh kendali saraf simpatis dan sistem renin-angitensin-
aldosteron (RAAS). Saraf simpatis mengatur (1) tekanan arteri dan
volume darah yang akan mempengaruhi laju filtrasi glomerulus dan
Na+, (2) reabsorpsi tubular dari Na+ dan pelepasan renin. Sistem
renin-angitensin-aldosteron (RAAS) beraksi melalui angiotensin II
dan aldosteron. Angiotensin II meningkatkan reabsorpsi Na+ dan
pembuangan K+.2

4.2 Hiponatremia
4.2.1 Definisi
Hiponatremia adalah turunnya kadar Natrium dalam serum darah
<130mEq/L.1, 8

4.2.2 Etiologi
Hiponatremia dapat diklasifikasikan sebagai hiperosmolar

30
(translokasional), hipoosmolar, atau isoosmolar. Penyebab
hipoosmolar lebih umum ditemukan dan seringkali dibagi menjadi
4 kategori : isovolemik, hipovolemik, hipervolemik hiponatremia.9
Penyebab hiponatremia hipoosmolar dapat diklasifikasikan
menjadi 3, yaitu (1) defisit natrium, (2) hiponatremia akibat
kelebihan cairan, dan (3) hiponatermia dengan kelebihan natrium
dan cairan.1, 2
Hiponatremia hipovolemik adalah defisit natrium yang
diikuti penurunan volume CES (hipovolemia), akan tetapi defisit
natrium lebih besar dibandingkan defisit cairan. Hipovolemia
larutan isotonik disebabkan oleh kehilangan cairan lewat saluran
cerna (muntah dan diare), ginjal (poliuria akibat kegagalan absorpsi
Na+, penggunaan obat diuretik, diuresis osmotik akibat DM), kulit
(berkeringat berlebih akibat cuaca panas, kulit terbakar, dan aktifitas
fisik berat).2
Hiponatremia hipervolemik adalah defisit natrium akibat
peningkatan volume CES. Hiponatremia hipervolemik dapat
disebabkan oleh penyakit ginjal, gagal jantung,dan gagal hati.2
Gagal jantung akan menyebabkan aliran darah ke ginjal
berkurang sehingga dikompensasi dengan peningkatan retensi air
dan Na+. Pada gagal hati terjadi gangguan metabolisme aldosteron,
gangguan perfusi ginjal, menyebabkan meningkatnya retensi air dan
Na+. Akan tetapi peningkatan volume air lebih besar dibandingkan
peningkatan Na+.2
Hiponatremia hipertonik (translokasional) adalah
keadaan sebagai akibat suatu peralihan osmotik air dari CIS ke CES
akibat peningkatan tonisitas intravaskular contohnya pada kasus
hiperglikemia. Pada keadaan ini Na+ di CES menjadi lebih encer
karena air pindah keluar dari sel sebagai respon terhadap tekanan
osmotik karena hiperglikemia.
Pasien dengan hiponatremia dan tidak ada bukti volume
yang berlebihan atau penipisan volume memiliki hiponatremia

31
euvolemik. Pasien-pasien ini biasanya memiliki kelebihan TBW dan
sedikit penurunan total sodium tubuh. Beberapa pasien ini
mengalami peningkatan berat badan, menyiratkan bahwa mereka
kelebihan volume. Namun demikian, dari sudut pandang klinis,
mereka biasanya tampak normal atau memiliki tanda-tanda halus
kelebihan cairan. 3,4

Pada pasien dengan SIADH, sekresi ADH tidak terhambat


oleh osmolalitas serum yang rendah atau volume intravaskular yang
meningkat. Hal ini akan menyebabkan anak dengan kondisi SIADH
untuk tidak dapat mengeluarkan atau mengekskresikan air dan

32
menybebakan pengenceran serum natrium dan hiponatremia.
Ekspansi dari volume ekstrasesluler sebagai akibat dari air yang
tertahan akan menybebakan peningkatan ringan pada volume
intravaskular. Ginjal akan meningkatkan ekskresi natrium dalam
upaya untuk menurunkan volume intravaskular menjadi normal;
membuat pasien mengalami penurunan ringan dari natrium tubuh.
SIADH lebih sering terjadi dengan gangguan SSP (infeksi,
perdarahan, tumor, trauma, trombosis), tetapi penyakit paru-paru
(infeksi, asthma, ventilasi tekanan positif) dan tumor ganas dapat
menjadi potensi penyakit lainnya. Beberapa obat juga dapat
menybebakan SIADH seperti MDMA atau “Ecstasy”, opiat, obat
anti-epilepsi (karbamazepin, oxcarbazepin, asam valproate),
antidepresan trisiklik, dan SSRI. Diagnosis dari SIADH harus
dieksklusikan karena penyebab lain dari hiponatremi harus
dikeluarkan. Kadar BUN dan serum asam urat yang rendah
mendukung dari diagnosis SIADH karena keadaan ekspansi pada
volume intravaskular dari tubuh. 3,4
Asupan air yang berlebihan dapat menyebabkan
hiponatremia. Dalam hal ini, konsentrasi natrium menurun sebagai
akibat pengenceran. Penurunan ini menekan sekresi ADH, sehingga
ditemukan diuresis air oleh ginjal. Hiponatremia berkembang hanya
karena asupan air melebihi kemampuan ginjal untuk menghilangkan
air. Kondisi ini lebih mungkin terjadi pada bayi karena GFR mereka
yang lebih rendah membatasi kemampuan mereka untuk
mengeluarkan air. Hiponatremia dapat terjadi pada bayi berusia <6
bulan ketika pengasuh menawarkan air kepada bayi mereka sebagai
suplemen, selama cuaca panas, atau ketika mereka kehabisan
formula. 3
Hiponatremia dapat menyebabkan kejang sementara,
hipotermia, dan tonus yang buruk. Dengan berhentinya asupan air,
hiponatremia cepat terkoreksi. Bayi <6 bulan usia tidak boleh diberi
air minum; bayi berusia antara 6 hingga 12 tahun tidak boleh

33
menerima lebih dari 1-2 ons. Jika bayi tampak haus, orang tua harus
menawarkan susu formula atau menyusui anak. Dalam beberapa
situasi, keracunan air menyebabkan hiponatremia akut dan
merupakan konsekuensi dari beban air akut yang besar. Contoh
penyebab beban air ini termasuk pelajaran renang bayi, penggunaan
cairan infus hipotonik yang tidak tepat, enema air, dan asupan air
paksa sebagai bentuk pelecehan anak. 3
Hiponatremia kronis terjadi pada anak-anak yang
menerima air, tetapi natrium dan protein dibatasi. Osmolalitas urin
minimum sekitar 50 mOsm / kg, ginjal dapat mengeluarkan 1 L air
hanya jika ada cukup zat terlarut yang dicerna untuk menghasilkan
50 mOsm untuk ekskresi urin. Karena natrium dan urea (produk
pemecahan protein) adalah zat terlarut urin utama, kurangnya
asupan natrium dan protein mencegah ekskresi air yang cukup. Ini
terjadi dengan penggunaan susu formula yang diencerkan atau
makanan yang tidak sesuai lainnya. Subsistensi pada bir, sumber
natrium dan protein yang buruk, menyebabkan hiponatremia karena
ketidakmampuan untuk mengekskresikan beban air yang tinggi
("potumemia bir"). 3

4.2.3 Manifestasi klinis


Hasil pemeriksaan hiponatremia bervariasi tergantung
etiologi penyebabnya (hipovolemia atau hipervolemia). Apabila
bergejala, umumnya hiponatremia akan menimbulkan gangguan
neurologis dan neuromuskular, akibat gangguan aktivitas elektrik
dan edema intraselular.
Manifestasi hipovolemia adalah sebagai berikut:2
a. Kehilangan berat badan (% berat badan) + defisit volume
larutan ringan (2%); sedang (5%); berat (>8%).
b. Tanda tanda kompensasi hipovolemia:
• meningkatnya rasa haus,
• meningkatnya ADH: oligouri dan tingginya berat jenis

34
urin.
• Penurunan Volume larutan interstisial:
o Turgor jaringan dan kulit turun,
o membran mukosa kering,
o mata cekung dan lembek
o pada bayi ubun-ubunnya cekung.
• Penurunan Volume vaskular:
o Hipotensi postural,
o nadi lemah dan cepat,
o isi darah vena menurun
o hipotensi dan
o syok

Manifestasi hipervolemia adalah sebagai berikut:2

a. Meningkatnya larutan vaskular dan interstisial.


b. Peningkatan berat badan dalam periode waktu pendek +
kelebihan volume cairan (Ringan 2%. sedang 5%. berat
>8%).
c. Edema seluruh tubuh.
d. Nadi terasa penuh,
e. Distensi vena,
f. Edema paru disertai nafas pendek, sesak dan batuk.

Manifestasi hiponatremia hipotonik (retensi air dengan penurunan


osmolalitas serum):2
a. Peningkatan larutan intraselular: edema pada ujung jari.
b. Hipoosmolalitas: perpindahan air ke otot, sistem saraf, dan
saluran pencernaan
• Otot: otot kejang dan lemah,
• Sistem saraf: sakit kepala, penurunan perhatian/atensi,
perubahan sikap, letargi, stupor sampai koma,

35
• Saluran pencernaan: nafsu makan turun, mual, muntah,
sakit perut, diare
Pada hiponatremia berat (<120mEq/L), gejala serebral
seperti kejang, syok, dan letargi dapat timbul.1

4.2.4 Diagnosis
Langkah pertama yang harus dilakukan dalam proses
diagnostik adalah penentuan osmolalitas plasma. Ini dilakukan
karena beberapa pasien dengan nilai natrium serum rendah tidak
memiliki osmolalitas rendah. Efek klinis dari hiponatremia adalah
sekunder akibat osmolalitas rendah yang terkait. Tanpa osmolalitas
rendah, tidak akan ada pergerakan air ke ruang intraseluler. Seorang
pasien dengan hiponatremia dapat memiliki osmolalitas rendah,
normal, atau tinggi. Osmolalitas normal dalam kombinasi dengan
hiponatremia terjadi pada pseudohyponatremia. Anak-anak dengan
peningkatan konsentrasi glukosa serum atau osmole efektif lainnya
(manitol) memiliki osmolalitas plasma tinggi dan hiponatremia.
Kehadiran osmolalitas rendah menunjukkan hiponatremia yang
betul. Pasien dengan osmolalitas rendah beresiko untuk gejala
neurologis dan memerlukan evaluasi lebih lanjut untuk menentukan
etiologi hiponatremia. 3,4
Dalam beberapa situasi, hiponatremia sejati hadir meskipun
osmolalitas plasma normal atau meningkat. Kehadiran osmole yang
tidak efektif, paling umum urea, meningkatkan osmolalitas plasma,
tetapi karena osmole memiliki konsentrasi yang sama dalam ruang
intraseluler, itu tidak menyebabkan cairan bergerak ke ruang
ekstraseluler. Tidak ada pengenceran natrium serum dengan air, dan
konsentrasi natrium tetap tidak berubah jika osmol yang tidak efektif
dihilangkan. Yang terpenting, osmole yang tidak efektif tidak
melindungi otak dari edema yang disebabkan oleh hiponatremia.
Oleh karena itu, pasien mungkin memiliki gejala hiponatremia
meskipun memiliki osmolalitas normal atau meningkat karena

36
uremia. 3
Pada pasien dengan hiponatremia sejati, langkah berikutnya
dalam proses diagnostik adalah mengevaluasi status volume secara
klinis. Pasien dengan hipo-natremia dapat hipovolemik,
hipervolemik, atau euvolemik. Diagnosis deplesi volume
bergantung pada temuan biasa dengan dehidrasi meskipun deplesi
volume ringan mungkin tidak terlihat secara klinis. Pada pasien
dengan deplesi volume ringan, bolus cairan menghasilkan
penurunan osmolalitas urin dan peningkatan konsentrasi natrium
serum. Anak-anak dengan hipervolemia akan tampak edema pada
pemeriksaan fisik. Mereka mungkin memiliki asites, edema paru,
efusi pleura, atau hipertensi.4
Dari pemeriksaan penunjang ditemukan Hiponatremia
dengan Na+ serum <135 mEq/l. Pada Hiponatremia hipoosmolar:
osmolalitas serum turun, hematokrit turun, BUN turun. Untuk lebih
lanjut membedakan etiologi hiponatremia, kadar natrium dan
osmolalitas dalam urin dapat diperiksa. Cek serum glukosa dalam
darah (hiperglikemia dapat menyebabkan pseudohiponatremia)

4.2.5 Tata laksana


Pada hiponatremia hipovolemik, dilakukan penanganan
awal hipovolemia dengan mengganti larutan oral/intravena menjadi
larutan elektrolit isotonik. Hipovolemia akut dan syok hipovolemik
dapat menyebabkan kerusakan ginjal, oleh karena itu tatalaksana
cairan yang cepat dan adekuat sangat penting untuk penanganan
1, 2
penyebab utama.
5
Terapi definitif hiponatremia adalah mengatasi etiologi yang
mendasarinya. Pemberian Na+ lewat oral atau intravena diberikan
jika diperlukan. Anak dengan kondisi hipovolemik hiponatremia
akan memiliki defisiensi dari natrium dan juga defisiensi cairan air
sehingga ini dari terapi tersebut adalah menggantikan keduanya.
Langkah pertama pada pasien dehidrasi adalah mengembalikan

37
volume intravaskular dengan cairan salin isotonik. Pada akhirnya
pemulihan total volume intravaskular akan menekan produksi ADH,
sehingga memungkinkan ekskresi kelebihan air.
Koreksi natrium pada kondisi hiponatremik hipovolemia
adalah menggunakan rumus:

Na+ yang diperlukan = (Na target – Na terukur) x BB x 0,6

Dengan cara pemberian: ½ jumlah Na+ yang diperlukan diberikan


dalam 8 jam pertama, dan ½ sisa Na+ yang diperlukan diberikan
dalam 16 jam berikutnya. Hiponatremia berat dengan gejala SSP
diterapi dengan NaCl 3% IV selama 1 jam untuk meningkatkan
kadar Na+ serum menjadi 125mEq/L. Cairan yang digunakan
merupakan D5% ½ NS (ringan) dan NaCl 3% (berat). Pemeriksaan
elektrolit dilakukan setiap 6-12 jam setelah terapi dimulai untuk
memantau perbaikan serum sodium. Selain itu pemeriksaan darah
lengkap, fungsi ginjal, elektrolit, urinalisis (osmolalitas, konsentrasi
natrium) dapat dilakukan untuk mengetahui lebih lanjut etiologi
hiponatremia. Peningkatan Na serum maksimal adalah 2mEq/L/jam
dan 10mEq/L/hari untuk mencegah dehidrasi selular. Pada
hiponatremia berat (<120mEq/L) yang disertai gejala SSP, NaCl 3%
diberikan selama 1 jam. Pada hiponatermia berat tanpa gejala SSP
lama koreksi dilakukan selama 6-8jam. 3,4
Anak dengan kondisi hipervolemik hiponatremia merupakan
keadaan yang lebih sulit karena mereka memiliki kelebihan air dan
natrium. Pemberian natrium akan menyebabkan memburuknya
volume berlebihan dan edema. Selain itu, pasien menahan air dan
natrium karena volume intravascular yang tidak efektif atau
insufisiensi ginjal. Landasan terapi adalah pembatasan air dan
natrium, karena pasien memiliki kelebihan volume. Diuretik dapat
membantu dengan menyebabkan ekskresi natrium dan air.
Antagonis vasopresin, dengan memblokir aksi ADH dan

38
menyebabkan diuresis air, efektif dalam memperbaiki hiponatremia
3,4
hipervolemik yang disebabkan oleh gagal jantung atau sirosis.
Pada hiponatremia isovolum, biasanya terdapat kelebihan air
dan defisit natrium ringan. Terapi diarahkan untuk menghilangkan
kelebihan air. Anak dengan asupan air berlebihan yang mendadak
akan kehilangan air dalam urin karena produksi ADH dimatikan
sebagai akibat dari osmolalitas plasma yang rendah. Anak-anak
dapat memperbaiki hiponatremia mereka secara spontan selama 3-6
jam. Untuk hiponatremia akut, gejala sebagai akibat dari intoksikasi
air, salin hipertonik mungkin diperlukan untuk membalikkan edema
serebral. Untuk hiponatremia kronis dari asupan zat terlarut yang
buruk, anak perlu menerima formula yang tepat, dan kelebihan
3,4
asupan air harus dihilangkan.
Koreksi sodium yang terlalu cepat terutama pada penderita
hiponatremia kronik, kemampuan otak untuk mengambil kembali
osmolit yang berada di ekstraselular tidak dapat mengimbangi
peningkatan konsentrasi ekstraselullar yang terlalu cepat, sehingga
air akan berosmosis keluar dari intrasel ke ekstrasel dan
menyebabkan demielinisasi pada neuron di otak (osmotic
demyelination syndrome/ODS). ODS memiliki gambaran bifasik
yang khas, yakni pasien dengan cepat mengalami perbaikan gejala
neurologis, namun, beberapa hari kemudian, terjadi defisit
neurologis progresif dan permanen muncul.10

Gambar. Faktor resiko terjadinya ODS

39
SIADH adalah kondisi kelebihan air, dengan kemampuan ginjal
yang terbatas untuk mengeluarkan air. Andalan dari terapi ini adalah
pembatasan cairan. Furosemide efektif pada pasien dengan SIADH
dan hipernatremia berat. Bahkan pada pasien dengan SIADH,
furosemide menyebabkan peningkatan ekskresi air dan natrium.
Hilangnya natrium adalah sesuatu yang kontraproduktif, tetapi
natrium ini dapat diganti dengan salin hipertonik. Karena pasien
memiliki kehilangan air bersih dan kehilangan natrium di urin telah
diganti, ada peningkatan konsentrasi natrium, tetapi tidak ada
peningkatan tekanan darah yang signifikan. Antagonis vasopresin
(conivaptan, lixivaptan, tolvaptan), yang memblokir aksi ADH dan
menyebabkan diuresis air, efektif untuk memperbaiki hiponatremia
euvolemik, tetapi koreksi yang terlalu cepat merupakan komplikasi
3,4
potensial. Terapi SIADH adalah restriksi jumlah cairan.

4.3 Hipernatremia
4.3.1 Definisi
Hipernatremia adalah peningkatan kadar Na+ serum >145
mEq/l, dengan osmolalitas >295 mOsm/kg. Hipernatremia ditandai
dengan hipertonisitas dari CES dan hampir selalu menyebabkan
dehidrasi selular.1, 2

4.3.2 Etiologi
Hipernatremia terjadi karena defisit air dibandingkan kadar
Na+ tubuh. Pemberian Na+ secara cepat tanpa disesuaikan jumlah
air yang masuk akan menyebabkan hipernatremia. Hipernatremia
juga bisa terjadi apabila timbul kehilangan air lebih banyak
dibanding jumlah kehilangan Na+. Hal ini terjadi pada keadaan
peningkatan kehilangan lewat respirasi pada keadaan panas atau
latihan yang berat, diare cair, atau saat pemberian makanan lewat
pipa lambung dengan sedikit air.2
Penyebab hipernatremia dapat diklasifikasikan menjadi 2,

40
yaitu (1) kelebihan natrium primer (intake berlebih), dan (2) defisit
air primer.1

1
Tabel 10. Klasifikasi etiologi Hipernatremia
Klasifikasi etiologi Penyebab
1. Kelebihan natrium 1. Pemberian Na oral atau infus berlebihan:
primer a. Pemberian Na bikarbonat pada koreksi asidosis
b. Pemberian Na hipertonik berlebihan
2. Minum air laut
2. Defisit air primer a. Gastroenteritis dehidrasi hipernatremik
b. Diabetes insipidus
c. Diabetes melitus
d. Insensible water loss (IWL) berlebihan pada bayi prematur
e. Adipsia
f. respirasi pada keadaan panas atau latihan yang berat,
g. diare cair,
h. pemberian makanan lewat pipa lambung dengan sedikit air

4.3.3 Manifestasi klinis


Manifestasi klinis yang terjadi adalah kehilangan larutan
CES dan dehidrasi selular. Gejala dan tanda lebih berat jika apabila
terjadi kenaikan konsentrasi Na+ serum yang tinggi secara akut.
Berat badan akan turun sesuai dengan jumlah air yang hilang.2
5
Rasa haus adalah gejala yang pertama kali muncul, terjadi jika air
hilang setara dengan 0.5% air tubuh. Pada keadaan normal, defisit
larutan akan memacu rasa haus sehinga meningkatkan pemasukan
air, akan tetapi pada bayi atau anak yang kurang peka terhadap rasa
haus akan kurang minum air. Output urin turun dan osmolalitas
meningkat karena mekanisme absorpsi air di ginjal. Suhu tubuh
sering meningkat dan kulit menjadi hangat dan memerah. Karena

41
volume vaskular turun maka nadi menjadi cepat dan lemah,
tekanan darah turun.2
6
Hipernatremia menyebabkan peningkatan osmolalitas serum dan
akibatnya air akan keluar dari dalam sel, sehingga kulit dan mukosa
menjadi kering, saliva dan air mata menjadi kurang. Mulut menjadi
kering dan keras, lidah menjadi tebal dan luka, sulit menelan.
Jaringan subkutan memerah. Jika air banyak keluar dari sel saraf
maka akan terjadi penurunan refleks, agitasi, sakit kepala, gelisah.
Selain itu pada hipernatremia berat, terjadi koma dan kejang. Kadar
Na serum >158mEq/L akan meningkatkan angka mortalitas.1, 2
4.3.4 Diagnosis
Kadar natrium dalam serum >145mEq/L. Selain itu, karena
plasma darah 90% - 93% air maka konsentrasi sel darah, hematokrit,
BUN, akan naik sesuai penurunan air di CES.

4.3.5 Tata laksana


Penanganan hipernatremia terutama ditujukan pada
penyebabnya, yaitu penggantian kehilangan larutan (dehidrasi).
Penggantian larutan ini bisa oral atau intravena atau dua-duanya.
Larutan, glukosa dan elektrolit merupakan pilihan yang tepat. Pada
dehidrasi berat penggantian larutan diberikan sesuai dengan
protokol rehidrasi WHO.2
5
Koreksi hipernatremia tidak boleh dilakukan terlalu cepat
karena terlalu cepatnya penurunan kadar Na serum akan
menurunkan osmolalitas cairan serebrospinal (CSF) lebih cepat
daripada intraselular otak. Penurunan osmolalitas CSF yang terlalu
cepat akan menyebabkan air masuk ke dalam sel otak, sehingga
menyebabkan edema sel yang ditandai dengan kejang dan kerusakan
sel otak.1
Tujuan dari tatalaksana hipernatremia merupakan untuk
menurunkan serum natrium <12 mEq/L setiap 24 jam, dengan
kecepatan 0.5 mEq/L/jam. Hal yang paling penting dalam
mengkoreksi hipernatremi sedang atau berat adalah memantau nilai

42
natrium sehingga terapi cairan dapat disesuaikan untuk memberikan
koreksi yang adekuat. Jika seorang anak mengalami kejang akibat
edema otak akibat koreksi cepat, pemberian cairan hipotonik harus
dihentikan, dan infus 3% saline dapat meningkatkan natrium serum
secara akut, membalikkan edema serebral. 2
Tatalaksana hipernatremia sesuai dengan derajat dehidrasi:
• Dehidrasi ringan/dehidrasi minimal +0%
• Dehidrasi sedang +5%
• Dehidrasi berat +10%
Cairan: D5% ½ NS (awal) + D5% 0,18%NaCl (24 jam)
Koreksi penurunan Na dilakukan secara bertahap dengan
pemberian cairan dekstrose 5% ½ salin (D5%½NS) selama 8 jam.
Setelah itu, serum natrium diperiksa: apabila kadar serum natrium
sudah normal, dapat dilanjutkan dengan cairan rumatan, akan
tetapi apabila natrium masih tetap tinggi, maka cairan D5%½NS
diteruskan selama 8 jam, dan kadar natrium diperiksa ulang setelah
pemberian cairan. Pemberian cairan rumatan menggunakan 0,18%
saline - 5% dektrosa selama 24 jam, Sebanyak 10 mmol KCl pada
setiap 500 ml cairan infus setelah pasien dapat kencing. Laju
penurunan kadar Na serum maksimal adalah 10mEq/L/hari untuk
mencegah edema serebri.1, 13
Hipernatremia berat (Na serum ≥ 200mg/L) dikoreksi
dengan dialisis peritoneal dengan cairan perisolution Dextrose
4,25% (cairan hipertonik) dengan interval durasi 1 jam. Setelah
kadar Na telah menurun, cairan Dextrose 1,5% (cairan isotonik)
dipakai. Fenobarbital diberikan sebagai profilaksis kejang pada
hipernatremia.1, 13

43
BAB V

GANGGUAN KESEIMBANGAN KALIUM

5.1 Keseimbangan kalium


Kalium adalah kation yang terbanyak kedua di dalam tubuh yang
mayoritas berada di dalam CIS. Kurang lebih 98% kalium tersebut berada
intrasel dengan konsentrasi 140 sampai 150 mEq/l. Kandungan kalium di
CES berjumlah sangat rendah dengan kisaran diantara 3.5 sampai 5.0
mEq/L. Penyimpanan kalium berhubungan erat dengan ukuran tubuh dan
massa otot (sekitar 65-70% kalium berada di dalam otot). Sehingga total
kalium di dalam tubuh turun bersamaan dengan perubahan umur terutama
sebagai hasil dari berkurangnya massa otot.2

5.1.1 Fungsi Kalium


Sebagai kation intraselular utama, kalium penting untuk
beberapa fungsi tubuh, seperti menjaga kesempurnaan osmosis sel,
keseimbangan asam basa dan mempengaruhi kemampuan ginjal
untuk memproduksi urin. Kalium juga diperlukan untuk proses
pertumbuhan dan memfasilitasi berbagai reaksi biokimia seperti
konversi karbohidrat menjadi energi, glukosa menjadi glikogen dan
asam amino menjadi protein.2
Kalium juga berperan penting dalam pengaturan denyut
nadi, merangsang otot rangka, otot jantung dan otot halus dengan
mengatur: (1) membran potensial yang tidak aktif, (2) bertukaran
dengan natrium untuk mengendalikan aliran arus potensial, dan (3)
menentukan tingkatan repolarisasi. Perubahan kemampuan
neuromuskular, terutama pada otot jantung dapat menghasilkan
ketidakharmonisan dan kerusakan konduksi potensial listrik. Selain
itu, kalium juga mempengaruhi aktivitas otot tulang rangka dan otot
halus pembuluh darah dan saluran pencernaan.2

44
Membran potensial saat kondisi tidak aktif ditentukan dari
rasio kalium intraselular terhadap ekstraselular.2
Penurunan konsentrasi kalium serum (hipokalemia) akan
mengakibatkan membran potensial lebih bermuatan negatif
(hyperpolarization) dan menjauhi ambang kejut (threshold),
sehingga diperlukan stimulasi yang besar untuk mencapai nilai
ambang untuk membuka saluran natrium yang berperan dalam
kaskade aktivitas potensial (action potential).2
Kenaikan konsentrasi kalium serum (hiperkalemia)
mempunyai efek yang berlawanan, dimana membran potensial akan
menjadi lebih bermuatan positif (hypopolarized), dan semakin
mendekati nilai ambang sehingga menyebabkan kenaikan awal
kemampuan rangsangan dan penurunan rangsangan awal (action
potential) yang diregulasi oleh saluran natrium. Pada hiperkalemia
yang berat, saluran natrium menjadi tidak aktif sehingga
mengakibatkan penurunan rangsangan. Tingkatan repolarisasi juga
beragam sesuai dengan kadar kalium serum. Repolarisasi lebih cepat
pada hiperkalemia dan lebih lambat pada hipokalemia. Tingkatan
repolarisasi secara klinis sangat penting karena merupakan
2
predisposisi untuk terjadinya defek konduksi dan disritmia jantung.

5.1.2 Pengaturan keseimbangan kalium


Pemasukan (intake) kalium terbanyak berasal dari makanan.
Umumnya keseimbangan kalium dari makanan sudah mencukupi
(50 sampai 100 mEq/hari). Kalium tambahan diperlukan pada
keadaan trauma dan stress. Pembuangan kalium dilakukan melalui
urin (80-90%), dan selebihnya dikeluarkan melalui feses dan
keringat.

5.1.2.1 Mekanisme Regulasi kalium


Dalam kondisi normal, konsentrasi kalium di CES berkisar 4,2
mEq/ml. Dibutuhkan pengaturan yang tepat karena banyak fungsi

45
sel sensitif terhadap perubahan yang sangat kecil dari kadar kalium
CES. Kenaikan kadar kalium serum sekitar 0,32 sampai 0,4 mEq/l
2
dapat menyebabkan disritmia jantung dan kematian.

Kadar kalium serum pada dasarnya diatur melalui dua


mekanisme: 1) mekanisme ginjal yang berfungsi mengabsorpsi
dan membuang kalium, dan 2) pergeseran transelular kalium antara
kompartemen CIS dan CES. Umumnya untuk membuang 50%
pemasukan kalium dibutuhkan waktu 6-8 jam. Untuk menghindari
kenaikan kadar kalium ekstraselular selama berlangsungnya hal
tersebut, kelebihan kalium akan dipindahkan sementara ke eritrosit
dan sel lain seperti otot, hati, dan tulang.2

5.1.2.2 Regulasi Kalium di Ginjal


Ginjal merupakan rute utama dalam pembuangan kalium.
Kalium pertama-tama akan difiltrasi di dalam glomerulus,
kemudian diserap lagi di dalam tubulus proksimal bersama
dengan air dan natrium, dan setelah itu akan diserap bersama
dengan natrium dan klorida di dalam ansa Henle asenden. Setelah
itu, kalium akan dikeluarkan ke dalam tubulus kortikal untuk
dibuang bersama-sama bersama urin. Mekanisme tersebut
berfungsi sebagai pengatur kadar kalium di dalam CES.2
Aldosteron akan meningkatkan ekskresi kalium oleh tubulus
untuk dibuang melalui urin. Selain itu, terdapat juga proses
pertukaran kalium-hidrogen pada tubulus kolektivus ginjal.
Ketika kadar kalium serum naik (hiperkalemia), kalium
dibuang ke dalam urin dan hidrogen diserap kembali ke dalam
darah, yang kemudian menyebabkan penurunan pH dan terjadi
asidosis metabolik. Sebaliknya, jika kadar kalium serum rendah
(hipokalemia), kalium akan diserap kembali dan hidrogen
dibuang ke dalam urin menyebabkan alkalosis metabolik.2

46
5.1.2.3 Pergeseran ekstraselular-intraselular
Pergerakan kalium dari CES ke CIS atau sebaliknya,
memungkinkan kalium bergerak ke intrasel pada kondisi
hiperkalemia, dan bergerak keluar dari sel pada kondisi
hipokalemia. Faktor yang dapat mengubah distribusi kalium
antara CES dan CIS adalah obat-obatan (insulin, agonis ß-
adrenergik), stimulasi simpatis ß-adrenergik, osmolalitas serum
dan gangguan asam basa. Kedua faktor insulin dan katekholamin
ß-adrenergik (misalnya adrenalin) akan meningkatkan
masuknya kalium ke intrasel.2
Insulin akan meningkatkan pemasukan kalium selular
setelah makan (post-prandial). Kandungan kalium yang masuk
ke intrasel, kurang lebih sebesar 50 mEq setiap kali makan
dengan tujuan mencegah peningkatan kadar kalium serum ke
tingkat yang mengancam nyawa. Katekholamin, terutama
adrenalin, akan memfasilitasi pergerakan kalium kedalam
jaringan otot pada kondisi stres fisik.2
Osmolalitas ekstraselular dan pH juga mempengaruhi
pergerakan dari kalium antara CIS dan CES. Peningkatan
osmolalitas serum yang cepat akan mengakibatkan kalium bergerak
keluar dari sel-sel. Ketika osmolalitas serum naik akibat larutan
impermeabel seperti glukosa (tanpa insulin), air akan
meninggalkan sel. Hilangnya air dalam sel menyebabkan kenaikan
konsentrasi kalium intraselular yang menyebabkan kalium
intraselular keluar dari sel menuju ke CES.2 Kelainan asam-basa
sering diikuti oleh perubahan konsentrasi kalium serum. Hidrogen
dan kalium bermuatan positif, dan kedua ion tersebut bergerak
secara bebas diantara CIS dan CES. Pada asidosis metabolik,
ion hidrogen bergerak ke dalam sel tubuh untuk menjaga buffer
darah dan ditukar dengan kalium yang keluar dari sel dan
bergerak ke CES dan menyebabkan hiperkalemia. Pada
alkalosis metabolik terjadi proses yang berlawanan, dimana H+

47
akan keluar ke CES, dan K+ masuk ke intrasel menyebabkan
hipokalemia. 2
Olahraga juga dapat menyebabkan pergeseran kalium.
Kontraksi otot yang berulang melepaskan kalium ke dalam CES.
Walaupun peningkatan biasanya kecil sesuai kondisi aktivitas fisik.
Selain itu, pada saat mengepalkan tangan yang mengencang dan
mengendor berulang kali saat proses pengambilan darah dapat
menyebabkan kalium keluar dari sel dan meningkatkan kadar kalium
serum.2

5.2 Hipokalemia
5.2.1 Definisi
Hipokalemia adalah turunnya kadar kalium serum
<3,5mEq/L. Hipokalemia sementara mungkin terjadi akibat
pergeseran transelular.1, 2

5.2.2 Etiologi
Penyebab hipokalemia dapat diklasifikasikan menjadi 5 yaitu
(1) kurangnya intake, (2) peningkatan ekskresi renal, (3) kehilangan
ekstrarenal, (4) pergeseran transeluler, dan (5) hipokalemia paralisis
periodik familial.1, 2
Konsumsi yang tidak mencukupi sering menjadi penyebab
hipokalemia. Pemasukan 10-30 mEq/hari diperlukan untuk
mengkompensasi pengeluaran lewat ginjal. Seseorang yang sedang
diet kalium akan kehilangan sekitar 5-15 mEq setiap harinya.
Kurangnya intake kalium dapat disebabkan akibat kesulitan makan,
diet, atau pola makan rendah kalium.2
Kehilangan kalium yang berlebihan dari ginjal terjadi
akibat diuretika, alkalosis metabolik, penurunan kadar Magnesium,
trauma atau stress, dan peningkatan kadar aldosteron. Terapi
diuretika adalah penyebab utama hipokalemia, kecuali penggunaan
diuretika hemat kalium. Derajat hipokalemia berhubungan secara
langsung dengan dosis diuretika dan lebih berat apabila disertai

48
dengan konsumsi natrium berlebih. Menurunnya magnesium serum
akan menyebabkan peningkatan ekskresi kalium melalui ginjal.
Hipomagnesemia biasanya muncul bersamaan dengan hipokalemia
misalnya pada penyakit diare. Perlu diperhatikan bahwa koreksi
hipokalemia seringkali gagal pada saat terjadi defisiensi
magnesium. Ginjal tidak mempunyai mekanisme homeostatik yang
diperlukan untuk mempertahankan kalium pada saat stress atau
kurangnya intake. Setelah trauma dan stres, ekskresi kalium dalam urin
meningkat, hingga 150-200 mEq/l. Ekskresi ginjal melalui ginjal
dipengaruhi oleh aldosteron dan kortisol. Trauma dan operasi akan
meningkatkan hormon aldosteron dan kortisol. Aldosteronisme
primer, yang disebabkan oleh tumor yang merangsang produksi
aldosteron pada korteks adrenal, dapat menyebabkan ekskresi kalium
berlebih pada urin. Kortisol akan mengikat reseptor aldosteron dan
memiliki efek yang menyerupai aldosteron untuk mengeluarkan
kalium.
Meskipun kehilangan kalium ekstrarenal dari saluran
cerna dan kulit biasanya sedikit, akan tetapi kehilangan kalium bisa
meningkat saat kondisi tertentu, lewat penyakit gastrointestinal
(muntah, diare, dan aspirasi saluran cerna yang menyebabkan
kehilangan kalium dan kehilangan di ginjal akibat alkalosis
metabolik), atau evaporasi dan keringat yang berlebihan lewat kulit
(akibat aktivitas fisik, luka bakar dan luka kulit lainnya). Kehilangan
yang disebabkan oleh keringat terjadi pada orang yang sensitif
terhadap cuaca panas, dan sebagian disebabkan oleh meningkatnya
pengeluaraan aldosteron saat panas akan meningkatkan ekskresi
kalium lewat urin dan keringat.
Aliran transelular kalium dari CES ke CIS mengakibatkan
turunnya konsentrasi di serum. Penyebab tersering aliran transeluler
disebabkan oleh insulin. Karena insulin meningkatkan gerakan glukosa
dan kalium ke dalam sel, pengurangan kalium sering terjadi saat
pengobatan ketoasidosis diabetes. Obat agonis reseptor ßadrenergik,

49
seperti pseudoefedrin dan albuterol, memiliki efek yang sama terhadap
distribusi kalium.
Tabel. Klasifikasi etiologi hipokalemia
Klasifikasi etiologi Penyebab
(1) Intake yang kurang 1. Malnutrisi
2. Penyakit dengan muntah
berulang: antral web, stenosis
pilorus, akalasia
(2) Ekskresi renal meningkat 1. Pemberian diuretik
2. Kelainan tubulus : asidosis
tubular renal
3. Gangguan keseimbangan asam
basa
4. Endokrinopati: sindrom
Cushing, aldosteronisme
primer, tirotoksikosis
5. Ketoasidosis diabetik
6. Sindrom bartter
7. Defisiensi magnesium
(3) Kehilangan ekstrarenal 1. Diare menahun
2. Enema berulang
3. Katarsis kronik
4. Fistula enterokutan
5. Salir bilier
6. Perspirasi berlebihan
(4) Pergerakan transeluler 1. Insulin
(CIS & CES) 2. Agonis beta adrenergik:
pseudoefedrin, albuterol
3. Tumor adrenal yang
memproduksi katekolamin
4. Alkalosis metabolik
5. Terapi bikarbonat pada
asidosis metabolik
(5) Hipokalemia paralisis periodik familial

5.2.3 Manifestasi klinis


Manifestasi klinis hipokalemia adalah efek gangguan
potensial membran pada sistem kardiovaskular, neuromuskular dan
gastrointestinal. Tanda dan gejala dari kekurangan kalium mulai
muncul ketika serum kalium kurang dari 3.0 mEq/L. Biasanya gejala
hipokalemia datang pelan-pelan dan sulit dideteksi. Beratnya gejala

50
klinis berkaitan dengan kecepatan terjadinya penurunan dan
besarnya defisit kalium.1,2
Gejala awal hipokalemia yang khas adalah kelemahan otot
anggota gerak yang mendahului kelemahan tubuh, dan otot
pernafasan. Apabila berlanjut, maka dapat terjadi arefleksia,
paralisis, dilatasi lambung, ileus paralitik, paralisis otot pernafasan,
dan gangguan irama jantung.1
Moderate hypokalemia (kalium serum 2.5-3.0 mEq/l) sering
sekali menyebabkan kelemasan, kecapekan dan kram otot, terutama
saat olahraga dan dirasakan paling sering pada otot kaki, khususnya
otot kuadriseps. Pada defisiensi kalium kronis bisa terjadi atrofi otot
yang menyebabkan kelemahan.1, 2
Terdapat banyak tanda dan gejala gastrointestinal, seperti
anoreksia, nausea, dan muntah-muntah. Atonia otot polos sistem
gastrointestinal dapat menyebabkan sembelit (konstipasi) dan
kembung karena ileus paralitik. Dengan adanya gangguan
gastrointestinal, maka intake kalium juga akan terganggu.2
Ginjal mempertahankan kadar kalium saat hipokalemia dan
apabila dibiarkan lama, akan berakibat pada gangguan permanen
penyaringan urin pada ginjal (vakuolisasi epitel tubulus, yang akan
berakhir menjadi nefrosklerosis dan fibrosis interstitial). Sebagai
akibatnya, ginjal mengalami penurunan daya konsentrasi atau dilusi
urin, sehingga terjadi peningkatan produksi urin (poliuria),
penurunan berat jenis urin, nokturia dan rasa haus. Peningkatan
reabsorbsi natrium, pembuangan klorida, dan sekresi ion H+ sebagai
pengganti K+ akan menyebabkan alkalosis metabolik dan
hipokloremia. Selanjutnya apabila hipokalemia tidak dikoreksi,
gangguan pada ginjal akan menjadi permanen, walaupun
hipokalemia akhirnya sudah teratasi.1, 2
Manifestasi klinis hipokalemia yang paling berbahaya adalah
gangguan fungsi kardiovaskular. Hipotensi postural sering terjadi.
Perubahan elektrokardiografi (EKG) umumnya terjadi pada kadar

51
kalium kurang dari 3.0 mEq/l. Perubahan ini meliputi pemanjangan
gelombang PR, depresi dari segmen ST, gelombang T yang datar dan
tampak gelombang U yang nyata. Perubahan EKG ini biasanya tidak
serius, tetapi dapat menyebabkan sinus bradikardi dan disritmia ektopik
ventrikular. Keracunan digitalis dapat terjadi pada orang yang
mengkonsumsi digitalis yang akan menaikkan risiko disritmia
ventrikular, khususnya pada orang dengan riwayat penyakit jantung.
Kalium dan senyawa digitalis akan berikatan dengan pompa Na+/K+
ATPase.2

5.2.4 Diagnosis
Selain pemeriksaan lab, bisa juga dilakukan pemeriksaan
EKG. Perubahan EKG terutama ditemukan dengan mendatarnya
gelombang T dan munculnya gelombang U yang khas. Perubahan
ini juga diikuti dengan pemanjangan gelombang PR, depresi segmen
ST.1, 2

Gambar. Perubahan EKG pada hipokalemia

5.2.5 Tata laksana


Untuk hipokalemia ringan (2,5-3m5 mEq/L) diberikan
suplementasi kalium oral. Sedangkan untuk hipokalemia berat (<2,5
mEq/L) diberikan KCl drip intravena.
Dosis koreksi hipokalemia ringan adalah KCl 74
mg/kgBB/hari per oral dibagi 3 dosis.
Koreksi hipokalemia berat yaitu dengan drip KCl intravena
selama 24 jam. Pada 4 jam pertama dengan rumus:

52
Kemudian dilanjutkan 20 jam berikutnya:

Terapi hipokalemia adalah pemberian kalium oral atau


parenteral sebanyak 2mEq/kgBB/24 jam
Pada Pada kelainan kongenital ginjal, seperti sindroma Bartter
+
atau pada kasus eksresi K eksesif melalui urin, kalium dapat diberikan

hingga 10 mEq/L/hari per oral.


Pemberian kalium intravena tidak boleh melebihi
1
40mEq/L.

5.3 Hiperkalemia
5.3.1 Definisi
Hiperkalemia adalah meningkatnya kadar kalium serum
>5,0 mEq/L. Hiperkalemia jarang terjadi pada orang yang sehat
karena badan orang sehat sangat efektif untuk mencegah akumulasi
kelebihan kalium di dalam CES.1, 2

5.3.2 Etiologi
Penyebab hipokalemia dapat diklasifikasikan menjadi 4,
yaitu (1) kelainan ekskresi ginjal, (2) meningkatnya intake atau
pemberian kalium yang cepat, (3) penghancuran jaringan akut, dan
1
(4) retribusi kalium transeluler (CIS ke CES).

Penyebab hiperkalemia yang paling sering adalah turunnya


fungsi ginjal. Hiperkalemia kronis selalu berhubungan dengan gagal

53
ginjal. Biasanya glomerular filtration rate (GFR) penderita ginjal turun
hingga <10 ml/menit sebelum akhirnya menyebabkan hiperkalemia.
Beberapa kelainan ginjal, seperti sickle cell nephropathy, nefropati
karena logam, nefritis lupus sistemis dapat merusak sistem ekskresi
kalium di tubulus tanpa menyebabkan gagal ginjal. Asidosis juga
menyebabkan berkurangnya ekskresi kalium oleh ginjal, sehingga
gagal ginjal akut disertai dengan asidosis laktat atau ketoasidosis
akan meningkatkan risiko terjadinya hiperkalemia. Pada kasus ini,
koreksi asidosis biasanya akan memperbaiki hiperkalemia.2
Aldosteron akan bekerja pada tubulus distal ginjal dan
mengatur pertukaran natrium dan kalium. Kalium akan ditingkatkan
ekresinya sedangkan natrium direabsorpsi. Sehingga keadaan
hipoaldosteronisme seperti penyakit Addisson akan menurunkan
ekskresi kalium melalui ginjal.2
Kelebihan kalium disebabkan oleh meningkatnya intake
kalium secara oral atau intravena. Umumnya hiperkalemia akibat
suplementasi oral jarang terjadi apabila fungsi ginjal dan sistem
aldosteron masih bekerja dengan baik. Pemberian secara intravena
yang terlalu cepat umumnya berakibat pada hiperkalemia yang fatal.
Oleh karena itu, pemberian kalium intravena sebaiknya
dipertimbangkan berdasarkan fungsi ginjal.2
Pergeseran kalium dari dalam sel ke CES juga dapat
menyebabkan peningkatan kadar kalium serum misalnya pada keadaan
luka bakar dan luka parah. Keadaan ini juga akan mengurangi fungsi
ginjal sehingga bisa berkembang menjadi hiperkalemia.
Hiperkalemia transien dapat disebabkan saat melakukan
olahraga yang berat atau kejang, karena pada kondisi ini, sel otot
permeabel terhadap kalium.2
Hiperkalemia positif palsu (pseudohiperkalemia) dapat
ditemukan pada kasus dimana pengambilan sampel darah tidak tepat
sehingga menyebabkan lisis sel darah merah karena kadar kalium
intraselular yang 30x lebih besar dibandingkan kadar kalium
ekstraselular.1

54
Tabel 12. Klasifikasi etiologi Hiperkalemia
Klasifikasi etiologi Penyebab
Kelainan ekskresi 1. Gagal ginjal akut/kronik
ginjal 2. Insufisiensi adrenal
3. Hipoaldosteronisme
4. Pemakaian diuretik hemat kalium (contoh: spironolacton)
Peningkatan intake a. Penggunaan penisilin yang mengandung garam kalium
b. Penggunaan garam kalium sebagai substitusi diet garam
rendah NaCl
Penghancuran jaringan (1) Trauma
akut (2) Operasi besar
(3) Luka bakar
Retribusi kalium i. Asidosis metabolik
transeluler ii. Sakit berat/saat sebelum meninggal
iii. Obat suksinilkolin, overdosis digitalis

5.3.3 Manifestasi klinis


Hiperkalemia paling berdampak pada sistem neuromuskular,
dimana kondisi hiperkalemia akan merendahkan potensial
transmembran terhadap ambang rangsang, sehingga terjadi
perlambatan depolarisasi, percepatan repolarisasi, dan melambatnya
konduksi.1
Gejala klinis yang timbul adalah paresthesia yang berlanjut
dengan kelemahan dan berakhir pada paralisis flaksid bila tidak
diobati.1
Hyperkalemia dapat membahayakan jantung, dengan
gambaran EKG khas adalah gelombang T yang runcing. Apabila
dibiarkan berlanjut, maka dapat terjadi fibrilasi ventrikel.2
Perubahan EKG pada hiperkalemia adalah gambaran
gelombang T yang runcing. Perpanjangan interval PR dan pelebaran
kompleks QRS merupakan tanda bahaya yang merupakan tanda awal

55
dair fibrilasi ventrikel. Perubahan irama jantung terjadi sangat cepat,
sehingga hiperkalemia harus diatasi sebagai kasus gawat darurat.1

1 1
Gejala klinis
paralisis
dan
adalah
berakhir yang
paresthesia
flaksid
pada timbul
bila
paralisis
yang
tidak adalah
flaksidparesthesia
berlanjut
diobati. dengan
bila tidak yang berlanjut
kelemahan
dioGejala
diobati. dan dengan
klinis
berakhir kelemahan
yangpada
timbul
5.3.4 Tata laksana
Hiperkalemia berat dapat menyebabkan fibrilasi ventrikel,
sehingga kadar kalium >6,5mEq/L harus diobati dengan cepat.
Terapi terdiri dari:
• menghentikan asupan kalium oral dan parenteral
• meningkatkan ekskresi kalium di tubulus ginjal, dan
• menggeser kalium intravaskular ke intrasel.1
Langkah koreksi hiperkalemia:
1. Menghentikan asupan kalium oral/parenteral
2. Pemberian natrium bikarbonat 2mEq/kgBB selama 5-10menit per infus

56
3. Pemberian glukosa 0,5g/kgBB bersama insulin kristal 0,3U/gram glukosa atau
0,1U/kgBB IV atau SC selama 2 jam. Terapi ini bertujuan untuk memindahkan
kalium intravaskular ke intrasel.
4. Pemberian larutan kalsium glukonat 10% IV sebanyak 0,5ml/kgBB perlahan
selama 2-10 menit merupakan penawar terhadap efek toksik kalium pada otot
jantung. Sehingga pemberian kalsium glukonat harus disertai pemantauan EKG
terjadinya bradikardia.
5. Untuk mencapai keseimbangan kalium yang negatif, dapat diberikan
• Resin penukar kation: Kayexalat 1g/kgBB/hari dibagi 2 dosis
secara oral/enema ATAU Kalitake 3x2,5mg.
• Dialisis peritoneal
• Hemodialisis
6. Salbutamol dengan dosis 5mg/kgBB IV selama 15 menit atau nebulizer 2,5-
5mg efektif menurunkan kadar K serum dalam waktu 2-4 jam.
7. Pemberian furosemid 1-2mg/kgBB IV akan meningkatkan ekskresi
K melalui ginjal.

57
BAB VI

GANGGUAN KESEIMBANGAN KALSIUM, MAGNESIUM DAN


FOSFAT

6.1 Keseimbangan Kalsium


Kalsium adalah salah satu kation divalen (2+) yang utama dalam
tubuh manusia. Sebanyak 99% dari kalsium tubuh dideposisi tulang, yang
berfungsi memberikan kekuatan dan stabilitas sistem kerangka dan
sebagai cadangan untuk mempertahankan kadar kalsium ekstraseluler.
Sekitar 1% kalsium tubuh berada di intraseluler dan hanya 0.1%-0.2%
yang beredar di CES.2
Kalsium pada serum (CES) terdapat dalam tiga bentuk:(1) ikatan
protein, (2) kompleks, dan (3) terionisasi. Sebanyak 40% kalsium serum
terikat pada protein plasma (mayoritas terikat oleh albumin) dan tidak
dapat melewati dinding kapiler atau keluar dari vaskular. Sebanyak 10%
lainnya berupa kompleks kalsium tidak terionisasi yang berikatan dengan
sitrat, fosfat dan sulfat. Sisanya, 50% dari kalsium serum terdapat dalam
bentuk terionisasi dan bentuk ion-lah yang dapat keluar dari vaskular dan
mengambil bagian dalam fungsi selular. Total kadar kalsium serum
berfluktuasi tergantung perubahan albumin serum dan pH. Kalsium
terionisasi mempunyai beberapa fungsi.

6.1.1 Fungsi kalsium


Kalsium yang terionisasi tersebut terlibat dalam (1) beberapa
reaksi enzimatik, (2) menjaga potensial listrik membran dan
rangsangan neuronal yang diperlukan untuk kontraksi otot rangka,
otot jantung, dan otot polos, (3) pelepasan hormon, (4) transmisi
impuls saraf dan neurotransmiter, (5) mempengaruhi kontraktilitas
jantung secara otomatis melewati kanal lambat kalsium; dan (6)
kaskade pembekuan darah jalur intrinsik. Karena kemampuannya

58
untuk mengikat kalsium, sitrat sering digunakan untuk mencegah
penggumpalan darah yang dipakai untuk transfusi darah

6.1.2 Pengaturan kalsium serum


Kalsium masuk ke dalam tubuh melalui saluran
gastrointestinal, dan diserap oleh usus dibawah pengaruh vitamin
D, kemudian disimpan di dalam tulang, dan diekskresikan oleh
ginjal. Sumber makanan utama yang mengandung kalsium adalah
susu dan produk olahannya. Hanya 30-50% kalsium dari makanan
berhasil diserap dari duodenum dan jejunum atas; sisanya akan
dikeluarkan melalui feses. Kalsium disaring oleh glomerulus
ginjal, kemudian secara selektif diserap kembali ke dalam darah.
Sekitar 60%-65% kalsium yang tersaring secara pasif diserap
kembali di dalam tubulus proksimal bersama dengan penyerapan
natrium klorida; 15-20% akan diserap kembali pada ansa Henle
yang tebal, didorong oleh pompa transport aktif Na+/K+/2Cl-; dan
5% sampai 10% diserap kembali di dalam tubulus distal.
Tubulus distal adalah tempat pengatur yang penting untuk
mengendalikan jumlah kalsium yang dikeluarkan bersama urin.
PTH dan vitamin D memacu penyerapan kembali kalsium pada
bagian nefron.
Faktor lain yang mungkin mempengaruhi penyerapan
kembali kalsium di dalam tubulus distal adalah kadar fosfat,
glukosa, dan kadar insulin dalam darah. Diuretika tiazid, yang
berefek di dalam tubulus distal, meningkatkan penyerapan kembali
kalsium. Kalsium serum, yang bertanggung jawab terhadap fungsi
fisiologis kalsium, langsung ataupun tidak langsung diatur oleh
hormon paratiroid (PTH) dan vitamin D. Kalsitonin, hormon
yang diproduksi oleh sel C di dalam kelenjar tiroid, diperkirakan
bekerja di ginjal dan tulang untuk memindahkan kalsium dari
sirkulasi. Pengaturan kalsium serum juga sangat dipengaruhi oleh
kadar fosfat dalam serum.

59
6.1.3 Hormon paratiroid
PTH adalah pengatur utama kalsium dan fosfat serum,
hormon ini dikeluarkan oleh kelenjar paratiroid. Respon terhadap
penurunan kalsium serum terjadi secara cepat, terjadi dalam
hitungan detik. Fungsi utama PTH adalah menjaga kosentrat
kalsium dari ECF. PTH melakukan fungsi tersebut dengan cara
memacu pelepasan kalsium dari tulang, peningkatan aktivasi
vitamin D yang merangsang kenaikan penyerapan kalsium di
dalam intestinal dan merangsang penyerapan oleh ginjal sejalan
meningkatnya pengeluaran fosfat.

6.1.4 Vitamin D
Walaupun vitamin D adalah suatu vitamin, akan tetapi vitamin
D akan berfungsi sebagai hormon. Vitamin D3 yang merupakan
hormon aktif dari vitamin D, disintesis di dalam kulit atau diperoleh
dari makanan yang kaya dengan vitamin D. Vitamin D3 akan
dihidrosilasi didalam hati dan diubah ke dalam bentuk aktif di dalam
ginjal. Peran utama vitamin D3 adalah meningkatkan penyerapan
kalsium dari intestinal. Konsentrasi kalsium dan fosfat di CES diatur
sedemikian rupa sehingga kadar kalsium akan turun ketika kadar
fosfat tinggi dan sebaliknya.

6.1.5 Kadar kalsium normal


Kadar kalsium serum normal adalah 8,5 sampai 10,5 mg/dl
pada orang dewasa, dan kadar fosfat serum adalah 2,5 sampai 4,5
mg/dl pada orang dewasa. Ini diatur sedemikian sehingga produksi
2+ 2-
kedua konsentrasi tersebut ([Ca ] x [PO4 ]) biasanya dijaga
kurang dari 70. Rumatan produksi kalsium-fosfat dalam rentang ini
sangat penting untuk mencegah deposisi garam Calsium Fosfat di
dalam jaringan lunak, merusak ginjal, pembuluh darah, dan paru-
paru.

60
6.1.6 Hipokalsemia
6.1.6.1 Definisi
Hipokalsemia terjadi bila kadar kalsium serum
dibawah 8,5 mg/dl. Hipokalsemia terjadi dalam berbagai
bentuk penyakit kritis dan mempengaruhi sebanyak 70%
sampai 90% pasien yang berada didalam unit gawat
darurat (ICU).2

6.1.6.2 Etiologi
Penyebab Penyebab hipokalsemia bisa dibagi dalam
3 ketegori:2
1) ketidakmampuan mobilisasi kalsium yang disimpan
dalam tulang,
2) kehilangan luar biasa kalsium dari ginjal
3) kenaikan ikatan protein atau pengkhelatan (chelation)
sedemikian sehingga proporsi yang lebih besar dari
kalsium adalah dalam bentuk non-ionisasi.
Hipokalsemia maya (pseudohypocalcemia) yang
diakibatkan oleh hipoalbuminemia mengakibatkan
penurunan pada ikatan protein-kalsium (bukan kalsium
terionisasi) dan biasanya terjadi secara asimtomatik.
Kekurangan kalsium karena kekurangan makanan
berefek pada kemampuan penyimpanan tulang, bukan
pada tingkat kalsium ekstraselular. Kalsium serum ada
dalam bentuk keseimbangan dinamik dengan kalsium
dalam tulang. Kemampuan untuk memobilisasi kalsium
dari tulang tergantung pada tingkat kecukupan PTH.
Penurunan kadar PTH kemungkinan diakibatkan dari
jenis pertama atau kedua dari hipoparatiroidisme.
Pengurangan pengeluaran PTH bisa juga terjadi ketika
kadar vitamin D meningkat. Kekurangan magnesium

61
mencegah pengeluaran PTH dan merusak kemampuan
PTH pada penyerapan tulang. Hipokalsemia bentuk ini
sangat sukar untuk diobati dengan penambahan kalsium
saja dan membutuhkan koreksi dari kekurangan
magnesium.
Pengurangan fosfat dapat mengurangi kegagalan
kelenjar jaringan. Karena hubungan balik antara kalsium
dan fosfat, kadar kalsium serum jatuh saat kadar fosfat
pada kegagalan kelenjar jaringan naik. Hipokalemia dan
hiperfosfatemia terjadi saat laju filtrasi glomerular turun
kurang dari 25-30 ml/menit (100 sampai 120 ml/menit
adalah normal). Hanya kalsium dalam bentuk terionisasi
yang dapat meninggalkan kapiler dan ikut serta dalam
berbagai fungsi tubuh. Perubahan pH mengubah sebagian
dari kalsium yang ada hanya dalam bentuk ionisasi. pH
asam menurunkan ikatan (afinitas) protein terhadap
kalsium menyebabkan peningkatan kadar kalsium yang
terionisasi sedangkan kadar kalsium serum total tidak
berubah. pH alkalis berefek sebaliknya. Sebagai contoh,
hiperventilasi cukup untuk menyebabkan alkalosis
respiratorik sehingga dapat menyebabkan tetani, karena
alkalosis menyebabkan kenaikan ikatan (afinitas) protein
terhadap kalsium, sehingga kadar kalsium yang terionisasi
berkurang. Asam lemak bebas meningkatkan ikatan
(afinitas) albumin terhadap kalsium, sehingga
mengakibatkan turunnya kadar kalsium yang terionisasi.
Peningkatan kadar asam lemak bebas cukup untuk
mengubah ikatan kalsium. Hal ini dapat terjadi pada saat
situasi stress yang mengakibatkan peningkatan kadar
adrenalin, glukagon, hormon pertumbuhan dan
adrenokortikotropin.

62
Hipokalsemia banyak dijumpai pada pasien dengan
pankreatitis akut. Radang pada pankreas menyebabkan
pelepasan enzim-enzim proteolitik dan enzim-enzim
lipolitik. Diperkirakan bahwa ion kalsium bergabung
dengan asam lemak bebas yang dikeluarkan oleh liposisis
dalam pankreas, membentuk sabun dan menghilangkan
kalsium dari peredaran.2

6.1.6.3 Manifestasi klinis


Hipokalsemia dapat dijumpai sebagai kondisi akut
atau kronis. Hipokalsemia akut direfleksikan oleh
peningkatan ketegangan otot saraf dan kardiovaskular
yang menyebabkan penurunan kadar kalsium yang
terionisasi. Kalsium yang terionisasi menstabilkan
ketegangan saraf otot, membuat sel saraf menjadi tidak
sensitif terhadap rangsangan. Rendahnya kadar kalsium
yang terionisasi menyebabkan penurunan nilai ambang
eksitasi saraf, respon berulang terhadap rangsangan
tunggal pada saraf, dan pada kasus ekstrim terjadi aktifitas
yang terus menerus. Keparahan manifestasi bergantung
pada penyebabnya, kecepatan serangan, yang menyertai
gangguan elektrolit, dan pH ekstraselular. Kenaikan
ketegangan bisa berwujud sebagai parestesi (kesemutan)
di sekitar mulut, tangan dan kaki, dan tetani (kejang;
Jawa: keduten) otot muka, tangan dan kaki. Hipokalsemia
parah bisa menyebabkan kejang laring, kejang-kejang,
dan bahkan kematian.2
Pengaruh hipokalsemia parah terhadap sistem
kardiovaskular meliputi hipotensi, menurunnya isi
sekuncup, aritmia kordis (terutama blok kardiak dan
fibrilasi jantung), dan kegagalan merespon obat antara

63
lain digitalis, noradrenalin, dan dopamin yang bekerja
lewat mekanisme yang diperantarai kalsium.2
Hipokalsemia kronis sering diikuti dengan
manisfestasi skeletal dan perubahan pada kulit. Timbul
rasa sakit pada tulang, kekakuan, deformitas dan fraktur.
Kulit menjadi kering dan bersisik, kuku menjadi pecah,
dan rambut menjadi kering. Keadaan ini sering disertai
timbulnya katarak. Seseorang dengan hipokalsemia
kronis dapat menderita gangguan otak ringan menyerupai
depresi, demensia atau psikosis.2

6.1.6.4 Diagnosis
Uji Chvostek dan Trousseau sangat berguna untuk
mengevaluasi peningkatan ketegangan saraf otot dan
tetani. Tanda Chvostek dimunculkan dengan cara
mengetuk muka tepat di bawah pelipis pada titik dimana
saraf wajah muncul. Dengan mengetuk muka pada saraf
wajah mengakibatkan kejutan kecil pada bibir, hidung
atau wajah apabila hasil tes positif. Sabuk pengukur
tekanan darah yang digembungkan digunakan untuk
mengetes tanda Troussean. Sabuk pengukur tekanan
darah tersebut digembungkan di atas tekanan darah
sistolik selama 3 menit. Kontraksi jari-jari dan tangan
(spasmus karpopedal) menandakan adanya tetani.2
6.1.6.5 Tatalaksana
Hipokalsemia akut merupakan situasi darurat, sehingga
memerlukan penanganan yang cepat. Infus yang berisi
kalsium diberikan saat tetani atau gejala akut terjadi atau
bila ada kemungkinan terjadi tetani karena penurunan
kadar kalsium serum.2
Hipokalsemia kronis diterapi dengan minum
kalsium. Satu gelas susu berisi sekitar 300 mg kalsium.

64
Suplemen dengan minum kalsium bisa dilakukan. Pada
beberapa kasus pengobatan yang lama mungkin
memerlukan penggunaan preparat vitamin D. Bentuk
aktif vitamin D mungkin perlu diberikan jika mekanisme
dalam hati atau ginjal yang diperlukan untuk aktivasi
hormon tidak berjalan.2
Tata laksana medikamentosa
1) Hipokalsemia ringan/asimtomatik: dapat
ditoleransi dengan baik, pengobatan agresif
menyebabkan cedera jaringan.
2) Hipokalsemia berat/simtomatik:
• Kalsium glukonat (10%) 0.5-1.0 ml/kg IV
perlahan dengan kecepatan 0,5-1 ml/menit
• Kalsium klorida (10%) 0.1-0.2 ml/kg IV
perlahan dengan kecepatan 0,5-1 ml/menit

7.
7.1.1 Hiperkalsemia
7.1.1.1 Definisi
Hiperkalsemia merepresentasikan konsentrasi total
kalsium serum lebih dari 10.5 mg/dl. Kenaikan palsu kadar
kalsium bisa berasal dari pengambilan darah yang terlalu
lama akibat pembebatan yang terlalu kencang. Kenaikan
kadar protein plasma (hiperalbuminemia,
hiperglobulinemia) bisa menaikan kadar kalsium serum
total.2, 14

7.1.1.2 Etiologi
Kelebihan kalsium serum (yaitu hiperkalsemia)
terjadi jika pergerakan kalsium menuju sirkulasi
mendominasi pengaturan hormonal kalsium dan
kemampuan ginjal untuk mengambil kelebihan ion
kalsium. Penyebab hiperkalsemia yang umum dan utama
adalah peningkatan resorpsi (penyerapan) tulang yang

65
disebabkan oleh neoplasma atau hiperparatiroidisme.
Hiperkalsemia merupakan komplikasi umum dari kanker
dan terjadi sekitar 10% dari 20% orang yang terkena
penyakit pada stadium lanjut. Beberapa tumor ganas
termasuk karsinoma paru-paru, telah dihubungkan dengan
hiperkalsemia. Beberapa tumor merusak tulang, tetapi
beberapa yang lain memproduksi agen humoral yang
menstimulasi aktifitas osteoklastik, menaikkan resorpsi
tulang, atau menghambat pembentukan tulang.
Penyebab yang jarang dari hiperkalsemia adalah
imobilisasi yang terlalu lama, kenaikan absorpsi
(penyerapan) kalsium dalam intestinum, dan penggunaan
vitamin D dosis tinggi. Imobilisasi yang terlalu lama
menyebabkan pengurangan mineral pada tulang dan
pelepasan kalsium ke pembuluh darah. Absorpsi kalsium
dalam intestinum bisa dinaikkan dengan vitamin D dosis
berlebih atau sebagai akibat kondisi yang dinamakan
sindrom alkali susu. Sindrom alkali susu disebabkan
karena konsumsi berlebih kalsium (umumnya dalam
bentuk susu) dan antasida yang mudah diserap.
Beberapa macam obat bisa menaikkan kadar
kalsium. Penggunaan litium untuk mengobati kelainan
bipolar menyebabkan hiperkalsemia dan
hiperparatiroidisme. Diuretika tiazid menaikkan
penyerapan kalsium pada tubulus distalis ginjal.
Meskipun diuretika tiazid jarang menyebabkan
hiperkalsemia, tetapi bisa membuka peluang
hiperkalsemia yang timbul dari penyebab lain seperti
penyebab kelainan tulang dan kondisi yang menaikan
resorpsi tulang.

66
7.1.1.3 Manifestasi klinis
Tanda dan gejala kelebihan kalsium berasal dari 3
sumber: (1) perubahan pada eksitabilitas neural, (2)
perubahan pada fungsi otot jantung dan otot polos, dan (3)
ginjal ”terbuka” terhadap kalsium dalam kadar tinggi.
Eksitabilitas neural turun pada pasien dengan
hiperkalsemia. Kemungkinan akan terjadi penurunan
kesadaran, stupor, lemah, dan kekakuan otot. Perubahan
tingkah laku mulai dari perubahan kecil pada kepribadian
sampai psikosis akut.
Jantung merespon kenaikan kadar kalsium dengan
meningkatkan kontraktilitas dan disritmia ventrikular.
Digitalis menanggapi respon ini. Gejala gastointestinal
mencerminkan penurunan aktivitas otot polos, termasuk
sembelit, anorexia, mual dan muntah. Komplikasi
hiperkalsemia yang lain adalah pankreatitis, yang
kejadiannya mungkin berhubungan dengan batu dalam
saluran pankreas. Kadar kalsium yang tinggi dalam urin
merusak kemampuan ginjal untuk memekatkan urin
dengan cara mengintervensi aksi ADH. Ini menyebabkan
diuresis garam dan air dan rasa haus meningkat.
Hiperkalsiuria juga menjadi pemicu awal pertumbuhan
batu ginjal.
Hiperkalsemia krisis menggambarkan kenaikan akut
kadar kalsium serum. Penyakit maligna dan
hiperparatiroidisme adalah penyebab utama hiperkalsemia
krisis. Pada hiperkalsemia krisis, poliuria, kehausan yang
sangat, deplesi volume, demam, perubahan tingkat
kesadaran, azotemia (yaitu sampah nitrogen dalam darah),
dan kondisi mental yang terganggu menyertai gejala lain
dari kelebihan kalsium. Hiperkalsemia simtomatik
berhubungan dengan tingginya tingkat kematian, yang
sering disebabkan oleh kegagalan jantung.

67
7.1.1.4 Tatalaksana
Pengobatan kelebihan kalsium biasanya ditujukan ke
arah rehidrasi dan usaha untuk menaikan pengeluaran
kalsium lewat urin dan mencegah pengeluaran kalsium
dan pelepasan kalsium dari tulang. Penggantian cairan
diperlukan pada keadaan deplesi volume. Ekskresi
natrium disertai dengan ekskresi kalsium. Asam pada
diuresis dan natrium klorida bisa digunakan untuk
menaikkan eliminasi kalsium lewat urin setelah volume
CES dipulihkan. Loop diuretic lebih umum digunakan
daripada tiazid yang menaikan reabsorpsi kalsium.
Penurunan awal kadar kalsium diikuti oleh tindakan
untuk mencegah resorpsi tulang. Obat yang biasanya
digunakan untuk mencegah mobilisasi kalsium termasuk
bisfosfonat, kalsitonin, dan glukokortikoid . Bisfosfonat
merupakan golongan obat baru yang bekerja terutama
dengan cara mencegah aktivitas osteoklastik. Kalsitonin
mencegah aktivitas osteoklastik, sehingga mengurangi
resorpsi. Glukokortikoid mencegah resorpsi tulang dan
digunakan untuk mengobati hiperkalsemia yang
berhubungan dengan kanker.
Target terapi hiperkalsemia adalah mengendalikan
penyakit penyebab, rehidrasi, menurunkan kadar Ca13
1) Infus normal saline untuk mengisi volume
intravaskular (target diuresis 2-3 ml/kgBB/jam)
2) Furosemid (1-2 mg/kg setiap 6-12 jam)
3) Penderita dengan gagal ginjal atau mengancam jiwa:
dialisis

6.2 Keseimbangan magnesium


Magnesium merupakan kation intraselular terbanyak kedua. Rata-
rata tubuh orang dewasa mengandung sekitar 24 gram magnesium yang

68
terdistribusi di seluruh tubuh. Dari seluruh magnesium sekitar 50%-60%
disimpan dalam tulang, 39%-49% berada dalam sel tubuh dan sisa 1%
tersebar didalam CES. Sekitar 20%-30% magnesium ekstraselular terikat
pada protein, dan hanya sebagian kecil magnesium intraselular (15%-30%)
dapat bertukar dengan CES. Kadar normal magnesium dalam serum adalah
1,8-2,7 mg/dl.
Fungsi penting magnesium terhadap fungsi keseluruhan tubuh telah
diketahui. Magnesium bertindak sebagai kofaktor dalam banyak reaksi
enzimatik intraselular, termasuk reaksi transfer gugus fosfat dari ATP
(penggunaan ATP). Hal ini disebabkan karena ATP hanya dapat digunakan
tubuh bila ATP membentuk senyawa kompleks dengan magnesium menjadi
Mg-ATP. Sehingga semua reaksi yang membutuhkan ATP, misalnya replikasi
dan transkripsi DNA serta translasi mRNA, tentu memerlukan magnesium.
ATP merupakan sumber tenaga metabolisme selular, yang antara lain
digunakan untuk menjalankan pompa natrium-kalium (Na+/K+-ATPase).
Bekerjanya pompa natrium-kalium menyebabkan kestabilan membran sel
terjaga, konduksi saraf dapat berjalan lancar, transport ion dan zat-zat lain
ke dalam dan ke luar sel dapat berlangsung, dan proses metabolisme dapat
berjalan dengan baik.
Magnesium dapat berikatan dengan reseptor kalsium. Diperkirakan
bahwa perubahan kadar magnesium akan berpengaruh melalui mekanisme
yang diperantarai kalsium. Magnesium mungkin terikat secara kompetitif
ke tempat dimana kalsium dapat berikatan, menghasilkan respon yang tepat,
dan ini mungkin tidak menimbulkan efek; atau mungkin mengubah
distribusi kalsium dengan cara mempengaruhi pergerakannya memintas
membran sel.

6.2.1 Regulasi magnesium


Magnesium dikonsumsi melalui makanan, diabsorpsi di
usus, dan diekskresi oleh ginjal. Absorpsi di usus tidak diatur
dengan ketat, dan sekitar 25%-65% magnesium yang dikonsumsi
diabsorpsi. Magnesium terkandung dalam semua sayuran hijau,

69
gandum, kacang, daging dan hasil laut. Magnesium juga
terkandung dalam air tanah di Amerika Utara.
Ginjal merupakan organ utama pengaturan kadar
magnesium. Magnesium merupakan elektrolit unik dimana hanya
sekitar 30%-40% dari jumlah yang tersaring direabsorpsi dalam
tubulus proksimalis. Jumlah paling banyak, sekitar 50%-70%
direabsorpsi di ansa Henle yang tebal. Tubulus distalis
mereabsorpsi magnesium dalam jumlah yang sedikit dan
merupakan tempat utama pengaturan kadar magnesium.
Reabsorpsi magnesium turun jika terjadi peningkatan kadar
magnesium dalam serum atau jika distimulasi oleh PTH.
Sedangkan hambatan reabsorpsinya dipacu oleh kadar kalsium
yang meningkat. Perangsang utama reabsorpsi magnesium dalam
ansa Henle yang tebal adalah sistem kotransportasi Na+/K+/2Cl-.
Hambatan sistem kotransportasi oleh diuretika menurunkan
reabsorpsi magnesium.

6.2.2 Hipomagnesemia
6.2.2.1 Definisi
Hipomagnesemia adalah kadar magnesium serum
yang kurang dari 1,8 mg/dl. Hal ini terjadi pada kondisi
dimana konsumsinya terbatas atau peningkatan ekskresi
lewat usus dan ginjal. Hipomagnesemia biasanya
ditemukan pada keadaan gawat darurat dan pada pasien
dengan perawatan kritis.

6.2.2.2 Etiologi
Kekurangan magnesium dapat disebabkan oleh
konsumsi yang kurang mencukupi, kehilangan yang terlalu
banyak, atau pergerakan antara ruangan CES dan CIS. Dapat
juga disebabkan oleh keadaan dimana ada keterbatasan
pemasukan, seperti kekurangan gizi, kelaparan, atau
perawatan yang lama dengan nutrisi parenteral yang tidak

70
mengandung magnesium. Kondisi lain, seperti diare,
malabsorbsi, pemasangan nasogastric tube yang lama, atau
pemakaian laksansia, dapat menurunkan penyerapan usus.
Kelebihan konsumsi kalsium mengganggu absorpsi
magnesium di usus karena adanya kompetisi kedua ion ini
pada protein transport yang sama. Penyebab umum
kekurangan magnesium yang lain adalah alkoholisme
kronis. Terdapat banyak faktor yang menyebabkan
hipomagnesemia pada alkoholisme, yaitu pemasukan yang
rendah dan kehilangan dari saluran cerna oleh karena diare.
Walaupun ginjal mampu bertahan terhadap
hipermagnesemia, namun ginjal kurang mampu
menyimpan magnesium dan mencegah hipomagnesemia.
Kehilangan melalui urin meningkat pada ketoasidosis
diabetikum, hiperparatiroidisme, dan
hiperaldosteronisme. Beberapa obat-obatan
meningkatkan ekskresi magnesium lewat ginjal, termasuk
diuretika dan obat-obatan yang bersifat nefrotoksik
seperti antibiotik aminoglikosida, siklosporin, sisplatin
dan amfoterisin B.
Hipomagnesemia relatif juga dapat berkembang
dalam kondisi dimana terjadi meningkatnya pergerakan
magnesium diantara CES dan CIS, termasuk pemberian
glukosa secara cepat, larutan parenteral yang
mengandung insulin, dan alkalosis. Walaupun bersifat
sementara, kondisi ini dapat menyebabkan perubahan
fungsi tubuh yang serius.

6.2.2.3 Manifestasi klinis


Gejala kekurangan magnesium biasanya tidak tampak
sampai kadar magnesium serum kurang dari 1 mEq/dl.
Hipomagnesemia ditandai dengan peningkatan eksitabilitas
saraf otot seperti adanya kelemahan otot dan gemetar.

71
Manifestasi lain yang mungkin terjadi adalah peningkatan
refleks tendon, parestesia (kehilangan rasa, rasa kesemutan
dan pricking), fasikulasi otot, dan kontraksi tetanik otot.
Tanda Chvostek atau Trousseau dapat juga muncul terutama
pada keadaan hipokalemia. Karena penurunan kadar
magnesium serum akan menaikkan iritasi jaringan saraf
maka bisa terjadi kejang. Manifestasi lain yang bisa timbul
meliputi ataksia, vertigo disorientasi, depresi dan gejala
psikotik.
Manfestasi kardiovaskular meliputi takikardia,
hipertensi, dan disritmia ventrikular. Kemungkinan
terdapat perubahan pada EKG misalnya pelebaran
kompleks QRS terlihat pada puncak gelombang T,
pemanjangan interval PR, inversi gelombang T dan
penampakan gelombang U. Disritmia ventrikular
terutama pada penggunaan digitalis, sulit ditangani
kecuali bila kadar magnesium dinormalkan.2

6.2.2.4 Tatalaksana
Pengobatan hipomagnesemia adalah dengan
pemberian magnesium. Cara pemberian tergantung berat
ringannya. Hipomagnesemia simtomatik, sedang dan
berat diterapi dengan pemberian magnesium secara
parenteral. Pemberian magnesium diberikan sampai
beberapa hari untuk mengganti kekurangan kadarnya
dalam darah. Pada keadaan kehilangan magnesium kronis
melalui saluran pencernaan dan ginjal, pemberian
magnesium rumatan sangat diperlukan. Pemberian
magnesium pada penderita gagal ginjal harus hati-hati dan
perlu dimonitor agar tidak terjadi kelebihan magnesium.2
Terapi parenteral yang diberikan adalah magnesium
sulfat (MgSO4) 25-50 mg/kg/dosis, secara bolus lambat
(maksimal 150mg/min) dengan dosis maksimal 2g/dosis.

72
Pengulangan dapat dilakukan tiap 6 jam (anak-anak) atau
tiap 8-12 jam (neonatus) dengan total dosis 2-3 dosis
sebelum akhirnya kadar magnesium diperiksa kembali.
Dosis ini didapatkan dengan menggunakan 0.05-0.1
mL/kg larutan MgSO4 50%, ekuivalen 2.5-5.0 mg/kg
magnesium elemental). Kecepatan pemberian intravena
magnesium harus diturunkan apabila ada tanda-tanda
berikut: diaforesis, flushing, atau rasa hangat.5
Terapi jangka panjang diberikan per oral. Preparat
magnesium oral yang dapat diberikan adalah magnesium
glukonat (5.4 mg elemental magnesium/100 mg),
magnesium oksida (60 mg elemental magnesium/100 mg),
dan magnesium sulfat (10 mg elemental magnesium/100
mg). Preparat slow release yang ada adalah Slow-Mag (60
mg elemental magnesium/tablet) dan Mag-Tab SR (84 mg
elemental magnesium/tablet). Dosis magnesium oksida
adalah 5-10mg/kgBB dibagi dalam 2-3 dosis/hari untuk
menghindari efek katartik/pencahar. Alternatif magnesium
oral adalah injeksi intramuskular dan via NGT pada saat
malam hari. Pemberian magnesium harus dikurangi pada
anak dengan gangguan ginjal.5

6.2.3 Hipermagnesemia
6.2.3.1 Definisi
Hipermagnesemia adalah keadaan dimana kadar
magnesium dalam serum lebih dari 2.7 mg/dl. Karena
adanya kemampuan ginjal mengekskresi magnesium
cukup baik maka sangat jarang terjadi hipermagnesemia.

6.2.3.2 Etiologi
Terjadinya hipermagnesemia biasanya berhubungan
dengan insufisiensi ginjal dan pemakaian magnesium
yang berlebihan seperti pemakaian obat-obatan antasida,

73
suplemen mineral, atau laksatif. Pada bayi lebih mudah
terjadi karena fungsi ginjal relatif belum sempurna.
6.2.3.3 Manifestasi klinis
Hipermagnesemia berefek terhadap fungsi saraf dan
jantung, yaitu letargi, hiporefleksia, bingung sampai koma,
hipotensi, disritmia, dan cardiac arrest. Tanda dan gejala
terjadi hanya jika kadar magnesium lebih dari 4.9 mg/dl.
Hipermagnesemia berdampak mengurangi transmisi
neuromuskular, menyebabkan hiporefleksia, kelemahan
otot, dan bingung. Hipermagnesemia menurunkan pelepasan
asetilkolin pada ujung mioneural dan dapat menyebabkan
blokade neuromuskular dan paralisis respirasi. Efek
kardiovaskular berhubungan dengan efek penghambatan
(blocker) kanal kalsium oleh magnesium. Penghambatan
kanal kalsium menyebabkan penurunan tekanan darah dan
pada gambaran EKG tampak peningkatan interval PR,
pemendekan interval QT, gelombang T tidak normal dan
pemanjangan QRS dan PR. Hipotensi disebabkan
vasodilatasi; vasodilatasi timbul karena penghambatan kanal
kalsium tersebut. Disritmia kardiak bisa terjadi pada
hipermagnesemia sedang (>5 -10 mg/dL). Bingung dan
koma bisa terjadi pada hipermagnesemia yang berat (> 10
mg/dL). Pada hipermagnesemia sangat berat (> 15 mg/dL)
bisa menyebabkan cardiac arrest.
6.2.3.4 Tatalaksana
Pengobatan hipermagnesemia dilakukan dengan
mengurangi pemasukan magnesium. Pemberian kalsium
intravena sebagai antagonis magnesium sangat berguna
untuk menurunkan hipermagnesemia. Dialisis peritoneal
atau hemodialisis bisa dilakukan jika perlu. Selain itu
penggunaan diuretik dapat dipertimbangkan.
Kalsium glukonat (10%) 0.5-1.0 ml/kg IV diberikan
perlahan dengan kecepatan 0,5-1 ml/menit. Dosis

74
Furosemid yang dianjurkan adalah 1-2 mg/kg setiap 6-12
jam).2, 5

6.3 Metabolisme fosfat


Sebagian besar fosfor ditemukan di tulang atau intraseluler, dengan
<1% dalam plasma. Fosfat adalah anion intraseluler yang paling banyak,
meskipun mayoritas adalah bagian dari senyawa yang lebih besar, ATP.
Fosfor, sebagai komponen ATP dan triknukleotida lainnya, sangat penting
untuk metabolism energi sel. Hal ini diperlukan untuk mengirim sinyal
antara sel dan sisntesis asam nukleat, dan merupakan komponen membrane
sel dan struktu lainnya. Bersama dengan kalsium, fosfor diperlukan untuk
mineralisasi skeletal. Ada kebutuhan yang signifikan untuk keseimbangan
positif pada fosfor saat pertumbuhan, khususnya pada pertumbuhan tulang
yang rentan terhadap defisiensi. 8
Fosfor sendiri tersedia dalam makanan, dimana susu dan produk
susu adalah sumber fosfor terbaik; konsentrasi tinggi hadir dalam daging
dan ikan. Sayuran memiliki lebih banyak fosfor daripada buah dan biji-
bijian. Penyerapan fosfor gastrointestinal cukup sebanding dengan asupan,
dengan sekitar 65% dari asupan yang diserap, termasuk sejumlah kecil yang
disekresikan. Absorpsi, hampir secara eksklusif di usus kecil, terjadi melalui
proses difusif paraseluler dan jalur transeluler vitamin D yang diatur.
Namun, dampak dari perubahan penyerapan fosfor yang disebabkan oleh
vitamin D relatif kecil dibandingkan dengan efek variasi dalam asupan
fosfor. 1,8
Meskipun berbagai variasi penyerapan fosfor ditentukan oleh
asupan oral, ekskresi sesuai dengan asupan, kecuali untuk kebutuhan
pertumbuhan. Ginjal mengatur keseimbangan fosfor, yang ditentukan oleh
mekanisme intrarenal dan tindakan hormonal pada nefron. 8
Sekitar 90% dari plasma fosfat disaring di glomerulus, meskipun ada
beberapa variasi berdasarkan konsentrasi fosfat dan kalsium plasma. Tidak
ada sekresi fosfat yang signifikan di sepanjang nefron. Resorpsi fosfat
sebagian besar terjadi di tubulus proksimal, meskipun sejumlah kecil dapat

75
diserap kembali di tubulus distal. Biasanya, sekitar 85% dari beban yang
disaring diresorpsi. Sebuah cotransporter natrium-fosfat memediasi
penyerapan fosfat ke dalam sel-sel tubulus proksimal. 8
PTH, yang disekresikan sebagai respons terhadap kadar kalsium
plasma yang rendah, menurunkan resorpsi fosfat dan meningkatkan kadar
fosfat urin. Proses ini tampaknya memiliki efek minimal selama variasi
fisiologis normal di tingkat PTH. Namun, itu memiliki dampak dalam
pengaturan perubahan patologis dalam sintesis PTH. Fosfor plasma yang
rendah akan menstimulasi 1α-hydroxylase di ginjal yang mengubah 25-
hydroxyvitamin D menjadi 1,25-dihydroxyvitamin D (calcitriol). Calcitriol
meningkatkan penyerapan fosfor usus dan diperlukan untuk resorpsi ginjal
maksimal fosfat. Efek dari perubahan kalsitriol pada fosfat urin hanya
signifikan ketika tingkat kalsitriol awalnya rendah, dengan alasan terhadap
peran callcitriol dalam kondisi non-patologis. 8

6.3.1 Hipofosfatemia
6.3.1.1 Definisi
Hipofosfatemia memiliki variasi yang luas dalam
kadar fosfor plasma normal, sehingga definisi
hipofosfatemia tergantung pada usia.


Gambar 4: Kadar Fosfor Plasma Tergantung Usia

Kisaran normal yang dilaporkan oleh laboratorium


mungkin didasarkan pada nilai normal orang dewasa dan,
oleh karena itu, dapat menyesatkan pada anak-anak.

76
Tingkat serum fosfor 3 mg / dL, nilai normal pada orang
dewasa, menunjukkan hipofosfatemia klinis yang
signifikan pada bayi. Tingkat fosfor plasma tidak selalu
mencerminkan total simpanan tubuh karena hanya 1%
dari fosfor adalah ekstraseluler. Dengan demikian,
seorang anak mungkin memiliki kekurangan fosfor yang
signifikan meskipun konsentrasi plasma fosfor normal.
Situasi ini terutama umum dalam kondisi di mana ada
pergeseran fosfor dari ruang intraseluler.8


6.3.1.2 Etiologi
Pergeseran fosfor transelular ke sel terjadi dengan
proses yang merangsang penggunaan seluler fosfor
(glikolisis). Biasanya, pergeseran ini hanya menyebabkan
sedikit penurunan fosfor plasma, tetapi jika terdapat
kekurangan fosfor intraseluler, kadar fosfor plasma dapat
menurun secara signifikan, menghasilkan gejala hipo-
fosfatemia akut. Infus Glukosa merangsang pelepasan
insulin, yang menyebabkan masuknya glukosa dan fosfor
ke dalam sel. Fosfor kemudian digunakan selama
glikolisis dan proses metabolisme lainnya. Fenomena
serupa dapat terjadi selama pengobatan ketoasidosis
diabetik, dan pasien dengan gangguan ini biasanya
mengalami fosfor karena kehilangan fosfor urin.
Refeeding pasien dengan kekurangan gizi protein-kalori
menyebabkan anabolisme, yang mengarah ke permintaan
seluler yang signifikan untuk fosfor. Peningkatan serapan
fosfor untuk inkorporasi ke dalam senyawa yang
disintesis baru yang mengandung fosfor menyebabkan
hipofosfatemia, yang dapat menjadi berat dan bergejala.
Refeeding hypophosphatemia sering terjadi selama
pengobatan anorexia nervosa berat. Ini dapat terjadi

77
selama pengobatan anak-anak dengan gizi buruk dari
penyebab apa pun, seperti cystic fibrosis, penyakit, luka
bakar, kelalaian, infeksi kronis, atau kelaparan.
Hipofosfatemia biasanya terjadi dalam 5 hari
pertama refeeding dan dicegah dengan peningkatan
bertahap nutrisi dengan suplementasi fosfor yang tepat.
Nutrisi parenteral total tanpa fosfor yang cukup dapat
menyebabkan hipofosfatemia. 1,8

Gambar 5: Etiologi Hipofosfatemia

Ekspansi volume dari berbagai penyebab, seperti


hyperaldosteronism atau SIADH, dapat menghambat
resorpsi fosfor di tubulus proksimal. Efek ini juga terjadi
dengan tingginya tingkat cairan intravena. Tiazid dan
diuretik loop dapat meningkatkan ekskresi fosfor ginjal,
tetapi peningkatannya jarang secara klinis signifikan.

78
Glikosuria dan glukokortikoid menghambat pelestarian
fosfor ginjal. Hipophosphatemia sering terjadi setelah
transplantasi ginjal akibat hilangnya fosfor urin.
Penjelasan yang mungkin termasuk hiperparatiroidisme
sekunder yang sudah ada sebelumnya dari gagal ginjal
kronis, terapi glukokortikoid, dan upregulasi FGF-23
sebelum transplantasi. Hipofosfatemia biasanya hilang
dalam beberapa bulan.8
6.3.1.3 Manifestasi klinis
Hipofosfatemia terdapat manifestasi akut dan kronis.
Riketsia dapat terjadi pada anak-anak dengan defisiensi
fosfor jangka panjang. Untuk hipofosfatemia berat,
biasanya pada tingkat <1,0-1,5 mg / dL, dapat
mempengaruhi setiap organ dalam tubuh karena fosfor
memiliki peran penting dalam mempertahankan energi sel
yang memadai. Fosfor adalah komponen ATP dan
diperlukan untuk glikolisis. Dengan fosfor yang tidak
adekuat, kadar 2,3-difosfogliserat sel darah merah
menurun, merusak pelepasan oksigen ke jaringan.
Hipofosfatemia berat dapat menyebabkan hemolisis dan
disfungsi sel darah putih. Hipofosfatemia kronis
menyebabkan kelemahan otot proksimal dan atrofi. Di
unit perawatan intensif, kekurangan fosfor dapat
memperlambat penyapihan dari ventilasi mekanis atau
menyebabkan kegagalan pernafasan akut.
Rhabdomyolysis adalah komplikasi yang paling umum
dari hipofosfatemia akut, biasanya dalam pengaturan
pergeseran transelular fosfor akut ke dalam sel pada anak
dengan deplesi fosfor kronis (anorexia nervosa).
Rhabdomyolysis sebenarnya agak protektif, di mana ada
pelepasan seluler fosfor. Manifestasi lain hipofosfatemia
berat termasuk disfungsi jantung dan gejala neurologis,

79
seperti tremor, paresthesia, ataksia, kejang, delirium, dan
koma. 8

6.3.1.4 Penunjang
Hipofosfatemia terdapat manifestasi akut dan kronis.
Riketsia dapat terjadi pada anak-anak dengan defisiensi
fosfor jangka panjang. Untuk hipofosfatemia berat,
biasanya pada tingkat <1,0-1,5 mg / dL, dapat
mempengaruhi setiap organ dalam tubuh karena fosfor
memiliki peran penting dalam mempertahankan energi sel
yang memadai. 8
6.3.1.5 Tatalaksana
Jumlah fosfor pada plasma, adanya gejala,
kemungkinan deplesi kronis, dan adanya kerugian yang
sedang berlangsung menentukan pendekatan untuk terapi.
Hipofosfatemia ringan tidak memerlukan pengobatan
kecuali situasi klinis menunjukkan bahwa deplesi fosfor
kronis hadir atau bahwa kerugian sedang berlangsung.
Fosfor oral dapat menyebabkan diare, sehingga dosis
harus dibagi. Terapi intravena efektif pada pasien yang
mengalami defisiensi berat atau yang tidak dapat
mentolerir obat-obatan oral. Fosfor intravena tersedia
baik sebagai natrium fosfat atau kalium fosfat, dengan
pilihan biasanya berdasarkan kadar kalium plasma pasien.
Dosis awal adalah 0,08-0,16 mmol / kg selama 6 jam.
Persiapan oral fosfor tersedia dengan berbagai rasio
natrium dan kalium. Ini merupakan pertimbangan penting
karena beberapa pasien mungkin tidak mentoleransi
beban kalium, sedangkan kalium tambahan dapat
membantu dalam beberapa penyakit, seperti sindrom
Fanconi dan malnutrisi. Dosis pemeliharaan oral adalah
2-3 mmol / kg / hari dalam dosis terbagi. Meningkatkan

80
fosfor diet adalah satu-satunya intervensi yang diperlukan
pada bayi dengan asupan yang tidak adekuat. Pasien lain
mungkin juga mendapat manfaat dari peningkatan fosfor
diet, biasanya dari produk susu. Antasida pengikat fosfor
harus dihentikan pada pasien dengan hipofosfatemia. 9

6.3.2 Hiperfosfatemia
6.3.2.1 Etiologi
Insufisiensi ginjal adalah penyebab hiperfosfatemia
yang paling umum, dengan tingkat keparahan sebanding
dengan tingkat kerusakan ginjal. Ini terjadi karena
penyerapan gastrointestinal dari asupan fosfor diet yang
besar tidak diatur, dan ginjal biasanya mengeluarkan
fosfor ini. Ketika fungsi ginjal memburuk, ekskresi fosfor
yang meningkat mampu mengkompensasi. Ketika fungsi
ginjal <30% dari normal, hyperphosphatemia biasanya
berkembang, meskipun waktu perkembangannya dapat
bervariasi sesuai dengan penyerapan fosfor diet. Banyak
penyebab lain hiperfosfatemia lebih mungkin
berkembang dalam pengaturan insufisiensi ginjal.
Kandungan sel fosfor relatif tinggi terhadap fosfor
plasma, dan lisis sel dapat melepaskan fosfor substansial.
Ini adalah etiologi hiperfosfatemia pada sindrom lisis
tumor, rhabdomyolysis, dan hemolisis akut. Gangguan ini
menyebabkan kalium dilepaskan sehingga risiko
hiperkalemia. Gambaran tambahan dari lisis tumor dan
rhabdomyolysis adalah hiperurisemia dan hipokalsemia,
sedangkan hiperbilirubinemia tidak langsung dan
peningkatan nilai laktat dehidrogenase sering disertai
dengan hemolisis. Tingkat CPK tinggi adalah sugestif
rhabdomyolysis. Selama asidosis laktat atau ketoasidosis
diabetik, penggunaan fosfor oleh sel menurun, dan fosfor

81
bergeser ke ruang ekstraseluler. Masalah ini membalik
ketika masalah mendasar dikoreksi, dan terutama dengan
ketoasidosis diabetik, pasien kemudian menjadi
hypophosphatemic sebagai akibat dari kehilangan fosfor
ginjal sebelumnya. 9


Gambar 6: Etiologi dari Hiperfosfatemia

6.3.2.2 Manifestasi klinis


Konsekuensi klinis utama hiperfosfatemia adalah
hipokalsemia dan kalsifikasi sistemik. Hipokalsemia
mungkin diakibatkan karena penumpukan jaringan garam
kalsium-fosfor, penghambatan produksi 1,25-
dihidroksivitamin D, dan penurunan resorpsi tulang.
Hipokalsemia simtomatik paling mungkin terjadi ketika
tingkat fosfus meningkat dengan cepat atau ketika
penyakit predisposisi hipokalsemia hadir (gagal ginjal
kronis, rhabdomyolysis). Kalsifikasi sistemik terjadi
karena kelarutan fosfor dan kalsium dalam plasma
terlampaui. Hal ini diyakini terjadi ketika plasma kalsium
× fosfor plasma, keduanya diukur dalam mg / dL, adalah>
70. Secara klinis, kondisi ini sering terlihat pada
konjungtiva, di mana ia bermanifestasi sebagai perasaan
benda asing, eritema, dan injeksi. Manifestasi yang lebih

82
buruk adalah hipoksia akibat kalsifikasi pulmonal dan
gagal ginjal akibat nefrokalsinosis. 9
6.3.2.3 Penunjang
Kadar kreatinin dan BUN plasma harus dinilai pada
setiap pasien dengan hiperfosfatemia. Anamnesis harus
fokus pada asupan fosfor dan adanya penyakit kronis yang
dapat menyebabkan hyperphosphatemia. Pengukuran
potasium, asam urat, kalsium, dehidrogenase laktat,
bilirubin, hemoglobin, dan CPK dapat diindikasikan jika
rhabdomyolysis, lisis tumor, atau hemolisis dicurigai.
Dengan hiperfosfatemia ringan dan hipokalsemia yang
signifikan, pengukuran kadar PTH serum membedakan
antara hipoparatiroidisme dan pseudohipoparatiroidisme.
6.3.2.4 Tatalaksana
Pengobatan hyperphosphatemia akut tergantung
pada tingkat keparahan dan etiologinya. Hiperfosfatemia
ringan pada pasien dengan fungsi ginjal yang wajar secara
spontan menghilang; resolusi dapat dipercepat oleh
pembatasan fosfor diet. Jika fungsi ginjal tidak terganggu,
maka cairan intravena dapat meningkatkan ekskresi fosfor
ginjal. Untuk hyperphosphatemia yang lebih signifikan
atau situasi seperti lisis tumor atau rhabdomyolysis, di
mana generasi fosfor endogen kemungkinan akan
berlanjut, penambahan pengikat fosfor oral mencegah
penyerapan fosfor diet dan dapat menghilangkan fosfor
dari tubuh dengan mengikat apa yang biasanya
disekresikan dan diserap. oleh saluran pencernaan.
Pengikat fosfor paling efektif bila diberikan bersama
makanan. Binder yang mengandung aluminium
hidroksida sangat efisien, tetapi kalsium karbonat
merupakan alternatif yang efektif dan mungkin lebih
disukai jika ada kebutuhan untuk mengobati hipokalsemia

83
bersamaan. Pelestarian fungsi ginjal, misalnya dengan
aliran urin tinggi di rhabdomyolysis atau lisis tumor,
merupakan tambahan penting karena akan
memungkinkan ekskresi fosfor terus. Jika
hyperphosphatemia tidak menanggapi manajemen
konservatif, terutama jika insufisiensi ginjal, maka dialisis
mungkin diperlukan untuk meningkatkan pemindahan
fosfor. 9
Pembatasan fosfor makanan diperlukan untuk
penyakit yang menyebabkan hiperfosfatemia kronis.
Namun, diet seperti itu seringkali sulit untuk diikuti,
mengingat melimpahnya fosfor dalam berbagai makanan.
Pembatasan diet sering cukup dalam kondisi seperti
hipoparkhinisme dan insufisiensi ginjal ringan. Untuk
hiper-fosfatemia yang lebih bermasalah, seperti dengan
insufisiensi ginjal sedang dan penyakit ginjal stadium
akhir, pengikat fosfor biasanya diperlukan. Mereka
termasuk kalsium karbonat, kalsium asetat, sevelamer,
dan lanthanum. Pengikat fosfor yang mengandung
aluminium tidak lagi digunakan pada insufisiensi ginjal
kronis karena risiko toksisitas aluminium. Dialisis secara
langsung menghilangkan fosfor dari darah pada pasien
dengan penyakit ginjal stadium akhir, tetapi hanya
merupakan tambahan untuk pembatasan diet dan pengikat
fosfor, di mana eliminasi fosfor oleh dialisis tidak cukup
efisien untuk mengikuti asupan diet normal. 9

84
BAB VII

DAFTAR PUSTAKA

1. Kliegman R, Stanton B, St. Geme J, Schor N, Behrman R. Nelson Textbook


of Pediatrics. 20th ed. Philadelphia: ELSEVIER; 2015.
2. Braun MM, Barstow CH, Pyzocha NJ. Diagnosis and management of
sodium disorders: 
hyponatremia and hypernatremia. American family
physician. 2015;91(5):299-307. 

3. Adrogue HJ, Madias NE. Hyponatremia. The New England journal of
medicine. 
2000;342(21):1581-9. 

4. Verbalis JG, Goldsmith SR, Greenberg A, Korzelius C, Schrier RW, Sterns
RH, et al. 
Diagnosis, evaluation, and treatment of hyponatremia: expert
panel recommendations. 
The American journal of medicine. 2013;126(10
Suppl 1):S1-42. 

5. Transplant ERAEDa, Association. PANDUAN PRAKTIK KLINIS
DIAGNOSIS DAN 
TATALAKSANA HIPONATREMIA. 2015. 

6. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP,
Harmoniati ED. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak 
Indonesia; 2009. 

7. Hay WW, Levin MJ, Deterding RR, Abzug MJ. CURRENT Diagnosis and
Treatment 
Pediatrics, Twenty-Third Edition: McGraw-Hill Education;
2016. 

8. Halperin M, Goldstein M, Kamel K. Fluid, Electrolyte, and Acid-Base
Physiology. Philadelphia: Saunders/Elsevier; 2016.
9. Kee J, Paulanka B. Handbook of fluid, electrolyte, and acid-based
imbalances. 3rd ed. Australia: Delmar Learning; 2010.
10. Pudjiadi AH, Latief A, Budiwardhana N. Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat.

INDONESIA IDA, editor. Jakarta2011. 

11. Hay WW, Levin MJ, Deterding RR, Abzug MJ. CURRENT Diagnosis and
Treatment 
Pediatrics, Twenty-Third Edition: McGraw-Hill Education;
2016. 

12. Rees L, Brogan PA, Bockenhauer D, Webb NJA. Paediatric Nephrology:
OUP Oxford; 
2012. 

13. Sabatine M. Pocket medicine. [Place of publication not identified]: Wolters
Kluwer; 2016.

85

Anda mungkin juga menyukai