Anda di halaman 1dari 62

ANALISIS YURIDIS SOSIOLOGIS ( SUATU KAJIAN

DARI PENGARUH PSIKOLOGIS BAGI TERPIDANA


MATI

(Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan)

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat


Untuk Mencapai Gelar Sarjana

Disusun Oleh:
Nama : Auria Patria Dilaga
Nim : 8111409077

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2011
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

FAKULTAS HUKUM

Rancangan Skripsi

Nama : Bornok Mariantha Sidauruk

Nim : 3450406046

Fak : Hukum

A. Judul Skripsi

ANALISIS MENGENAI EKSISTENSI PIDANA MATI DI INDONESIA

( SUATU KAJIAN DARI PENGARUH PSIKOLOGIS BAGI

TERPIDANA MATI).

B. Latar Belakang

ictie ialah bahwa kita menerima sesuatu yang tidak benar sebagai suatu hal yang
benar. Dengan perkataan lain kita menerima apa yang sebenarnya tidak ada,
sebagai ada atau yang sebenarnya ada sebagai tidak ada.[2] Kata fictie itu
biasanya dipakai orang, jika orang dengan sadar menerima sesuatu sebagai
kebenaran, apa yang tidak benar. Fictie atau dusta yang demikian itu memegang
peranan yang penting dalam hukum, dan sudah dipakai sejak dahulu.

Sebagai contoh, rakyat Romawi yang meninggal dalam tawanan dipandang


meninggal sebagai budak dan menurut hukum Romawi, seorang budak tak dapat
meninggalkan warisan yanjg sah. Dengan demikian maka surat wasiat yang
dibuatnya sebelum ia ditawan menjadi tidak berlaku. Akan tetapi, lex cornelia
(dari Sulla) menentukan bahwa bila seorang rakyat meninggal dalam tawanan
perang ia seharusnya dianggap sebagai orang yang meninggal pada saat
pengangkatannya, sehingga surat wasiatnya berlaku (fictio legis corneliae). Fictie
tersebut yang pada mulanya hanya ditentukan untuk hukum waris kemudian
dilakukan untuk segala hubungan hukum dari seorang tawanan. Rakyat Romawi
yang tertangkap sebagai tawanan, yang kembali di negerinya sendiri tak pernah
dianggap sebagai bekas tawanan perang. Bangsa Romawi memakai fictie sebagai
alat teknik pertolongan untuk perkembangan hukum. Dalam hal tersebut,
perkembangan hukum inggris memperlihatkan persamaan dengan hukum
Romawi.[3]

Dalam hukum Indonesia, fiksi hukum juga diakui. Lihat pasal 3 KUH Perdata
yang berbunyi “Anak yang berasal dari seorang perempuan yang hamil,
dinyatakan sebagai telah lahir, sekadar kepentingannya menghendakinya. Jika ia
dilahirkan mati, ia dianggap sebagai tidak pernah ada”. Fiksi-fiksi tersebut
mempunyai sidat yang tak berbahaya. Bahkan lebih daripada itu, orang dapat
mengatakan bahwa fiksi perundang-undangan itu bukanlah fiksi sebenarnya
melainkan dirumuskan belaka sebagai fiksi.

Soal “Ignorare Legis est lata Culpa”. atau fiksi hukum yang berarti setiap orang
dianggap telah mengetahui adanya suatu Undang-Undang yang telah
diundangkan[4] menarik untuk diperbincangkan. Jarang kita melihat fiksi hukum
itu dalam konteks waktu dan dimana kelahirannya. fiksi yang kita bicarakan ini
juga harus dilihat dalam konteks ke-Indonesiaan.

Dalam Sejarah Hukum di Eropa daratan, hukum itu lahir dari kontrak sosial,
kontrak sosial adalah metamorfosa dari kontrak-kontrak ekonomi masyarakat
merkantilis. jadi ia lahir dari ranahnya hukum privat. Baru abad 18 dengan gejala
industrialisasi munculah Negara Modern. Negara modern mensyaratkan adanya
generalitas dalam sistem hukum yang bersifat publik. Untuk memenuhi
generalitas itulah semua orang yang berada dalam satu wilayah negara harus
tunduk pada suatu hukum yang dibikin oleh bandan publik. hal itu memberi
manfaat agar institusi publik menjadi kuat.

Lalu bagaimana kira-kira bila dibandingkan dengan konteks Indonesia? Pertama,


soal geografis adalah pembeda yang paling tajam antara NKRI dengan Negara-
negara Eropa daratan yang relatif kecil. Pembeda kedua adalah Identifikasi Sosial
masyarakat yang beragam berdasarkan suku dan penerimaannya terhadap hukum
negara.

Hal lain yang perlu diperhitungkan adalah bagaimana proses legal making di
ruang legislator. Misalnya, apakah pembuatan UU yang berkaitan dengan
pertambangan melibatkan masyarakat adat atau aspirasi masyarakat yang jauh dari
pusat kekuasaan, seperti Papua dst. Soal akses masyarakat terhadap pembentukan
UU itu satu hal saja. hal lain yaitu bagaimana sosialisasi pemerintah terhadap UU
yang telah diundangkan. Apakah dengan hanya perintah untuk ditempatkan dalam
Lembaran Negara, Tambahan Berita Negara, Lembaran Daerah, dll, dapat
menjamin masyarakat mengetahui adanya peraturan yang diundangkan tersebut.

Dalam prakteknya, banyak masyarakat yang tidak mengerti bahkan tidak


mengetahui adanya peraturan perundang-undangan yang baru. Permasalahan
timbul ketika banyak warga masyarakat melakukan pelanggaran terhadap aturan
tersebut, karena ketidak tahuannya bahwa perbuatan yang dilakukan tersebut
dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Luasnya daerah geografis negara
Indonesia, buruknya akses masyarakat kepada pemerintahan, keterbelakangan
wilayah, membuat tidak seluruh peraturan perundang-undangan tersebut dapat
diketahui oleh masyarakat hanya dengan perintah pencantuman ke dalam
Lembaran Negara, Tambahan Berita Negara, dll. Ketidak mampuan pemerintah
dan aparaturnya dalam mensosialisasikan peraturan-peraturan yang baru dibentuk
dan baru diundangkan juga menjadi salah satu sebab ketidak tahuan masyarakat
terhadap peraturan perundang-undangan. Seharusnya, sebelum mempergunakan
fiksi hukum ini, pemerintah wajib melakukan sosialisasi secara maksimal,
sehingga paling tidak, 85 % masyarakat dapat mengetahuinya dan kemudian
mematuhi peraturan tersebut.

Jadi fiksi perundang-undangan itu sebenarnya bukanlah tidak dapat dibuang. Akan
tetapi bahwa ia sering dipakai terutama dapat dipahami dari sudut hasrat
pembentuk undang-undang untuk memperoleh perumusan yang singkat.
Adakalanya juga pembentuk undang-undang memakai fiksi, padahal pemakaian
fiksi itu dapat dihindarinya. Hukum yang tugasnya mengatur kehidupan
masyarakat sebenarnya tidak boleh dijelmakan dalam peraturan-peraturan yang
dalamperumusannya jelas bertentangan dengan kenyataan. Adalah kewajiban
ajaran hukum untuk sebanyak mungkin mengeluarkan fiksi dari perundang-
undangan, dengan kata lain, mempersiapkan peraturan-peraturan yang sederhana.

Sebenarnya pemakaian fiksi hukum dalam perundang-undangan dan dalam ajaran


hukum menyebabkan kerugian yang besar. Pemakaian fiksi hukum tersebut
mengakibatkan kebiasaan para ahli hukum memakai fiksi dengan tidak
semestinya. Karena dalam Undang-undang dan dalam literatur yang bersifat ilmu
pengetahuan hukum, ahli hukum seringkali mempergunakan fiksi. Akhirnya ahli
hukum, karena terbiasa dengan penggunaan fiksi hukum tersebut, menjadi sangat
lancar mempergunakannya. Itulah sebabnya, fiksi hukum memegang peranan juga
dalam pengadilan dan terkadang memegang peran yang sangat berbahaya. Untuk
hakim, fiksi adalah alat yang memikat, karena fiksi memberikan hakim
kemampuan untuk mencapai suatu keadaan yang diinginkannya. Dengan fiksi,
kita dapat menghitamkan yang putih maupun sebaliknya. Hal itu membahayakan
dalam proses menemukan kebenaran dan keadilan. Misalnya dalam persangkaan.
Persangkaan harus dipisahkan dari fiksi. Fiksi adalah ketidak benaran suatu
ciptaan saja, persangkaan mungkin benar, mungkin tidak. Peranan yang penting
yang dipegang oleh persangkaan ini tidak akan ditinjau lebih lanjut.
C. Pembatasan Masalah

Agar masalah yang akan penulis bahas tidak meluas sehingga dapat

mengakibatkan ketidak jelasan pembahasan masalah maka penulis akan

membatasi maslah yang akan di teliti, antara lain :

1. Pengaruh letak domisili terhadap pengetahuan terhadap hukum yang

berlaku.

2. Eksistensi asas fictie hukum di masyarakat pedesaan dan perkotaaan

3. Output dari asas fictie hukum untuk upaya penegakan hukum.

D.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas mengenai Analisa psikologis

terhadap eksistensi pidana mati di Indonesia bagi terpidana mati , maka

peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaruh letak domisili mesyarakat terhadap hukum yang

berlaku di Indonesia?

2. Bagaimana Eksistensi dan apakah asas fictie hukum berlaku di masyarakat

pedesaan dan perkotaan di Indonesia?

3. Sejauh mana output yang diharapkan dari asas fictie hukum untuk

penegakan hukum di Indonesia?.

Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan penulisan
Secara umum tujuan penulisan adalah untuk medalami berbagai aspek

tentang permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam

perumusan masalah. Secara khusus tujuan penulisan ini dapat dirumuskan

sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui pengaruh psikologis yang ditimbulkan pidana mati

terhadap terpidana mati dan masyarakat di Indonesia.

b. Untuk mengetahui bagaimana eksistensi dan apakah pidana mati masih

perlu untuk dipertahankan dalam sistem hukum pidana di Indonesia.

c. Untuk mengetagui sejauh mana urgensi pidana mati dalam memberi

efek jera bagi pelanggar hukum berat dan mencegah pelanggaran HAM

yang lebih parah.

2. Manfaat penulisan

Adapun manfaat penulisan ini adalah sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penulisan ini diharapkan dapat memperkaya khasanah

ilmu pengetahuan khususnya bagi pengembangan teori ilmu hukum

pidana terutama mengenai eksistensi dan dampak psikologis dari pidana

mati di Indonesia. Selain itu dengan adanya tulisan ini penulis berharap

dapat menambah dan melengkapi perbendaharaan dan koleksi karya

ilmiah dengan memberikan kontribusi pemikiran bagi penerapan pidana

mati di Indonesia.
b. Manfaat Praktis

Secara praktis penulisan ini diharapkan dapat menjadi kerangka acuan

dan landasan bagi penulis lanjutan, dan mudah-mudahan dapat

memberikan masukan bagi pembaca terutama bagi pembentuk hukum

khususnya pembentuk Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

yang sampai sekarang masih dalam Rancangan KUHP dan praktisi

hukum, pejabat atau instansi terkait dalam menetapkan kebijaksanaan

lebih lanjut terhadap pelaksanaan atau pun pemberlakuan pidana mati

untuk mengantisipasi suatu tindak pidana terutama tindak pidana yang

dapat memberikan dampak yang besar bagi masyarakat. Penulisan ini

juga diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat sehingga

masyarakat dapat mengetahui dam memberikan tanggapan terhadap

perlu atau tidaknya pidana mati di Indonesia dalam rangka mengurangi

tindak pidana lain.

E. Tinjauan Pustaka

1.1 Pengertian pidana dan pidana mati

Istilah “ hukuman” merupakan istilah umum dan konvensional yang

mempunyai arti yang luas dan dapat berubah-ubah karena istilah itu dapat
berkonotasi dengan bidang yang cuklup luas. Istilah tersebut tidak hanya

sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari

seperti di bidang moral, agama dan lain sebagainya.

Oleh karena itu dipergunakan istilah “pidana” yang merupakan istilah

yang lebih khusus dan dianggap lebih tepat bila dibandingkan dengan istilah

“hukuman”. Untuk itu diperlukan pembatasan pengertian atau makna sentral

yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas.

Pidana berasal dari kata straf (Belanda). Pidana lebih tepat

didefenisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan atau

diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat

hukum (sanksi) bagianya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan

hukum pidana. Secara khusus larangan dalamhukum pidana ini disebut

sebagai tindak pidana (stafbaar feit).

Untuk memberikan gambaran yang lebih luas, berikut ini akan

dikemukakan beberapa pendapat atau defenisi dari para sarjana sebagai

berikut :

a. Sudarto.

Yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja

dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang

memenuhi syarat-syarat tertentu.


b. Roeslan Saleh.

Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud nestapa yang

dengan sengaja ditimpahkan negara pada pembuat delik itu.

c. Fitzgerald.

Punisment is the authoritative infliction of suffering for an offence.

d. Ted Honderich.

“Punishment is an authority’s infliction of penalty (something

involving defrivation or distress) on an offender for an offence”.

Pidana adalah suatu pengenaan pidana yang dijatuhkan oleh

seorang penguasa (berupa kerugian atau penderitaan) kepada

pelaku tindak pidana.

e. Sir Ruper t Cross

Punisment means “The infliction of pain by the state on someone

who has been convicted of an offence”. Pidana berarti pengenaan

penderitaan oleh negara kepada seseorang yang telah dipidana

karena suatu kejahatan.

f. Burton M. Leiser.

A punisment is a harm inflicted by a person in a position of

authority upon another who is judged to have violated a rule or a

law.
g. H.L.A. Hart.

Punisment must :

1) Involve pain or other consequences normally considered

unpleasant; (mengandung penderitaan atau konsekuensi-

konsekuensi yang lain yang tidak menyenangkan);

2) Be for an actual or supposed offender for his offence;

(dikenakan pada seseorang yang benar-benar atau disangka

benar melakukan tindak pidana);

3) Be for an offence against legal rules; (dikenakan

berhubungan suatu tindak pidana yang melanggar ketentuan

hukum);

4) Be intentionally administered by human beings other that

the offender; (dilakukan dengan sengaja oleh orang selain

pelaku tindak pidana);

5) Be imposed and administered by an authority constituted by

a legal system against with the offence is committed.

(dijatuhkan dan dilaksanakan suatu sistem hukum yang

dilanggar oleh tindak pidana tersebut).

h. Alf Ross.

Punishment is that social responce which :


1) Occurs where there is violation of a legal rule; (terjadi

hubungan dengan adanya pelanggaran terhadap suatu

aturan hukum);

2) Is imposed and carried out by autthorised. Person on behalf

of the legal order to which the violated rule belongs;

(dijatuhkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang

berkuasasehubungan dengan tertib hukum yang dilanggar;

3) Involves suffering or at least other consequences normally

considered unpleasant; (mengandung penderitaan atau

paling tidak konsekuensi-konsekuensi lain yang tidak

menyenangkan);

4) Expresses disapproval of the violator. (menyatakan

pencelaan terhadap si pelanggar).

i. Di dalam “Black’s Law Dictionary” dinyatakan bahwa

“punisment” adalah: “any fine, penalty or confinement inflicted

upon a person by authority of the law and the judgement and

sentence of a court, for some crime or offence commited by him, or

of his omission of a duty enjoined by law”.

Dari beberapa defenisi di atas dapatlah disimpulkan pidana

mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut :


a. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan

atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;

b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang

mempunyai kekuasaan (oleh orang yang berwenang);

c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak

pidana menurut undang-undang;

Ketiga unsur tersebut, pada umumnya terlihat dari defenisi-defenisi di atas,

kecuali Alf Ross yang menambahkan secara tegas dan eksplisit bahwa

pidana itu harus juga merupakan pernyataan pencelaan terhadap diri si

pelaku.

Jadi pidana mati adalah pidana (reaksi atas delik atau nestapa)

berupa kematian yang diputuskan dan dilaksanakan oleh negara karena

perbuatan yang telah dilakukan orang itu yang memenuhi syarat-syarat

yang ditetapkan dalam aturan hukum pidana tertentu. Pidana mati adalah

suatu kegiatan bernegara yang sah karena diatur dalam hukum positif.

Sedangkan kematian mempunyai kata dasar mati yang maksudnya adalah

hilangnya nyawa seseorang atau tidak hidup lagi.

Sudarto, juga mengemukakan bahwa dalam memandang maslah

pemberian pidana mempunyai dua arti :


a. Dalam arti umum, ialah yang menyangkut pembentuk undang-

undang ialah yang menetapkan sanksi hukum pidana (hukum

pidana in abstractor);

b. Dalam arti konkrit ialah yang menyangkut bergabai badan atau

jawaban yang kesemuanya mendukung dan melaksanakan sanksi

pidana itu.

Pemberian pidana dalam arti umum itu merupakan bidang dari

pembentukan undang-undang karena asas legalitas, yaitu singkatnya

berbunyi : nullum delictum nulla poena, sine praevia lege (poenal).

Wujud-wujud penderitaan yang dapat dijatuhkan oleh negara

telah ditetapkan dan diatur secara rinci, baik mengenai batas-batas dan

cara menjatuhkannya secara dimana dan bagaiman cara

menjalankannya. Mengenai wujud jenis penderitaan itu dimuat dalam

Pasal 10 KUHP. Tetapi batas-batas berat ringannya dalam menjatuhkan

penderitaan tersebut dimuat dalam rumusan mengenai masing-masing

larangan dalam hukum pidana yang bersangkutan. Jadi negara tidak

dapat dengan bebas memilih jenis-jenis pidana dalam Pasal 10 KUHP

tersebut. Hal ini berkaitan dengan fungsi hukum pidana sebagai

pembatas kekuasaan negara dalam arti perlindungan hukum bagi

warga dari tindakan negara dalam rangka negara menjalankan fungsi

menegakkan hukum pidana.

1.2 Sejarah pidana mati di Indonesia


Sebelum penjajah datang ke Indonesia terutama bangsa Belanda,

Indonesia telah mempunyai hukum yang mengatur tata kehidupan

manusia, yaitu hukum adat. Begitu juga dengan pengaturan pemberian

pidana terhadap pelaku kejahatan, dahulu dipergunakan hukum pidana

adat. Dalam hukum pidana adat yang berlaku di Indonesia dari Aceh

sampai Irian juga mengenal pidana mati jauh sebelum penjajah datang ke

Indonesia.

Pidana mati yang tercantum dalam KUHP merupakan warisan dari

pemerintah kolonial Belanda, diamana hukum pidana peninggalan Belanda

tersebut aslinya masih dalam bahasa Bealanda yaitu “Wetboek van

Strafrecht (WvS)” yang dinyatakan berlaku di Indonesia oleh pemerintah

Belanda pada tanggal 1 Januari 1918 berdasarkan Staadblad 1915 No.

732. Namun setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, WvS tersebut

masih diberlakukan bagi seluruh wilayah Republik Indonesia meskipun

dengan beberapa perubahan. Begitu juga dengan ancaman pidana mati

yang terdapat dalam KUHP tersebut belum dicabut walaupun KUHP

sendiri telah diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946.

Sebelum berlakunya WvS di Indonesia, yang berlaku adalah hukum pidana

adat. Pidana mati dengan eksekusi yang kejam telah dikenal dalam hukum

adat dibeberapa daerah tertentu di Indonesia.

Di Aceh seorang istri yang berzinah dibunuh. Di Gayo seorang

pembunuh dan penghianat dapat saja ditembak mati. Di Batak, jika

pembunuh tidak membayar uang salah maka pidana mati dapat segera
dilaksanakan. Demukian pula bila seseorang melanggar perintah

perkawinan yang eksogami. Kalau di Minangkabau tidak jauh berbeda

dengan di Batak, menurut pendapat konservatif dari Datuk

Ketemanggungan dikenal hukum membelas bahwa seorang pembunuh

juga dapat dibunuh. Sedangkan di Cerebon penculik-penculik atau

perampok wanita apakah penduduk asli atau asing yang menculik atau

menggadaikan pada orang Cirebon dianggap kejahatan yang dapat

dipidana mati. Di Bali pidana matijuga diancamkan bagi pelaku kaein

sumban. Dikalangan suku dari Tenggara Kalimantan orang yang

bersumpah palsu dipidana mati dengan jalan ditenggelamkan. Di Sulawesi

Selatan pemberontakan terhadap pemerintah, kalau yang bersalah tidak

mau pergi ke tempat pembuangannya, maka ia boleh dibunuh oleh setiap

orang. Di Pulau Bonerate, pencuri-pencuri dipidana mati dengan jalan

tidak diberi makan kemudian ditidurkan di bawah matahari hingga mati.

Sedangkan di Lampung terdapat beberapa delik yang diancamkan dengan

pidana mati yaitu pembunuhan, delik salah putih (zinah antara bapak atau

ibu dengan anaknya atau antara mertua dengan menantu dsb) dan berzinah

dengan istri orang lain.

Jadi, sebelum Belanda datang ke Indonesia untuk menjajah dan

menerapkan hukumnya, Indonesia terlebih dahuku telah mengenal

pemberian pidana mati terhadap pelaku kejahatan. Hal ini terbukti dalam

perundang-undangan Majapahit pun pidana mati sudah dikenal. Slamet


Mulyana menulis bahwa dalam perundang-undangan Majapahit tidak

dikenal pidana penjara dan kurungan, yang dikenal ialah:

a. Pidana pokok

1) Pidana mati

2) Pidana potong anggota badan yang bersalah

3) Pidana denda

4) Ganti kerugian atau Panglicawa atau Patukucawa

b. Pidana tambahan

1) Tebusan

2) Penyitaan

3) Patibajambi (pembeli obat)

Tindakan pidana yang diancam dengan pidana mati adalah

pembunuhan, menghalangi terbunuhnya orang yang bersalah kepada raja,

perbuatan-perbuatan perusuhan yaitu pencurian, membegal, menculik,

mengawinkan wanita larangan, meracuni dan menenung. Akan tetapi

setelah Kitab Undang-undang Hukum Pidana diberlakukan untuk

Indonesia, maka hakim pidana pada pengadilan negara tidak dapat

melaksanakan eksekusi pidana mati seperti eksekusi pidana mato dalam

hukum pidana adat.


1. Teori- teori pemidanaan

Pemidanaan berasal dari kata “pidana” yang sering diartikan

sebagai hukuman. Jadi pemidanaan dapat diartikan dengan penghukuman.

Kalau orang mendengar kata “hukuman”, biasanya yang dimaksud adalah

penderitaan yang diberikan kepada orang yang melanggar hukum pidana.

Pemidanaan atau pengenaan pidana berhubungan erat dengan kehidupan

seseorang di dalam masyarakat, terutama apabila menyangkut kepentingan

benda hukum yang paling berharga bagi kehidupan dimasyarakat, yaitu

nyawa dan kemerdekaan atau kebebasannya.

Dalam pandangan masyarakat, orang yang pernah dikenakan

pidana seolah-olah mendapatkan cap, bahwa orang tersebut dipandang

sebagai orang yang jahat, yang tidak baik atau orang yang tercela. Sudarto

mengemukakan :

“Pidana tidak hanya enak dirasa pada waktu dijalani, tetapi sesudah

orang yang dikenai itu masih merasakan akibatnya berupa ‘cap’ oleh

masyarakat, bahwa ia pernah berbuat ‘jahat’. Cap ini dalam ilmu

pengetahuan disebut ‘stigma’. Jadi orang tersebut mendapatkan stigma,

dan kalau ini tidak hilang, maka ia seolah-olah dipidana seumur hidup”

Untuk dapat memahami secara luas tentang teori-teori pemidanaan

maka terlebih dahulu harus mengkaitkannya dengan aliran-aliran di dalam

hukum pidana yakni aliran klasik, aliran positif dan aliran neo klasik.

a. Aliran klasik
Aliran ini muncul sebagai reaksi atas kesewenang-wenangan

penguasa (ancient regime) pada abad ke-18 di Perancis dan Inggris, yang

banyak menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Aliran ini

menghendaki hukum pidana yang tersusun secara sistematis dan menitik

beratkan pada perbuatan dan tidak kepada orang yang melakukan tindak

pidana. Dengan orientasi pada perbuatan yang dilakukan, aliran ini

menghendaki pidana yang dijatuhkan itu seimbang dengan perbuatan

tersebut. Secara ekstrim dapat dikatakan, bahwa aliran klasik dalam

pemberian pidana lebih melihat ke belakang.

Dengan pandangannya yang indeterministis mengenai kebebasan

kehendak manusia aliran ini menitik-beratkan kepada perbuatan dan tidak

kepada orang yang melakukan tindak pidana. Hukum pidana yang

dikehendaki ialah hukum pidana perbuatan (daadstrafrecht). Perbuatan

disini diartikan secara abstrak dan dilihat secara yuridis belaka terlepas

dari orang yang melakukannya. Jadi, aliran ini mengobjektifkan hukum

pidana dari sifat-sifat pribadi si pelaku.

Aliran ini pada awalnya sangat membatasi kebebasan hakim untuk

menetapkan jenis pidana dan ukuran pemidanaannya. Dikenallah pada

waktu itu sistem pidana yang ditetapkan secara pasti (definite sentence)

yang sangat kaku (rigid), seperti terlihat pada The French Penal Code

1791. Peranan hakim dalam menentukan kesalahan seseorang sangat

dikurangi dan pidana yang ditentukan oleh undang-undang tidak mengenal

sistem peringanan dan pemberatan yang didasarkan atas faktor-faktor usia,


keadaan jiwa si pelaku, kejahatan-kejahatan yang dilakukan terdahuku atas

keadaan-keadaan khusus dari perbuatan yang dilakukan. Jadi Kitab

Undang-undang Hukum Pidana Prancis ini tidak membolehkan

individulisasi di dalam penerapan pidana.

Aliran klasik ini berpijak pada tiga tiang yaitu :

1) Asas legalitas yang menyatakan bahwa tiada pidana tanpa undang-

undang, tiada tindak pidana tanpa undang-undang dan tiada

penuntutan tanpa undang-undang.

2) Asas kesalahan yang berisi bahwa orang hanya dapat dipidana

untuk tindak pidana yang dilakukannya dengan sengaja atau karena

kealpaan.

3) Asas pengimbalan (pembalasan) yang sekuler, yang berisi bahwa

pidana secara konkrit tidak dikenakan dengan maksud untuk

mencapai sesuatu hasil yang bermanfaat, melainkan setimpal

dengan berat ringannya perbuatan yang dilakukan.

Dua tokoh utama aliran klasik adalah Cesare Beccaria dan Jeremy

Bentham. Cesare Beccaria lahir di Italia pada tanggal 15 Maret 1738

dengan karyanya yang sangat terkenal yaitu Dei Delicti e Delle Pene tahun

1764 yang diterbitkan untuk pertama kali di Inggris pada tahun 1767

dengan judul On Crimes and Punishment. Filsafat yang mempengaruhi

Cesare Beccaria secara kuat ialah mengeni kebebasan berkehendak.

Sumbangan pikiran dari Cesare Beccaria yang menjadi dasar perubahan


praktik-praktik hukum pidana dengan doktrin “pidana harus sesuai dengan

kejahatan”. Ide inilah yang menjadi tema essensiil dari aliran klasik.

Cesare Beccaria tidak yakin terhadap pidana yang berat dan kejam. Alasan

utama dari penjatuhan pidana adalah untuk menjamin kelangsungan hidup

masyarakat dan untuk mencegah orang melakukan kejahatan.

Tokoh lain aliran klasik adalah Jeremy Bentham (1748-1832). Ia

adalah seorang filsuf dari Inggris yang terlatih dalam hukum tetapi tidak

pernah peraktik hukum. Ia diklasifikasikan sebagai penganut utilatarian

hedonist. Diantara ide-idenya yang hebat adalah anjurannya bahwa

“kebaikan terbesar harus untuk jumlah rakyat yang terbesar” (the greatest

good must go to the greatest number). Salah satu teorinya yang sangat

penting ialah mengenai “felific calculus”, yaitu bahwa manusia merupakan

ciptaan/mahluk yang rasional yang akan memilih secara sadar kesenangan

dan menghindari kesusahan. Oleh karena itu, suatu pidana harus ditetapkan

pada tiap kejahatan sedemikian rupa sehingga kesusahan akan lebih berat

daripada kesenangan yang ditimbulkan oleh kejahatan. Hal ini merupakan

sumber pemikiran yang menyatakan bahwa pidana harus cocok dengan

kejahatan sebagaimana juga ditegaskan oleh Beccaria.

Jeremy Bentham adalah seorang pemikir yang melihat kejahatan

secara abstrak. Ia gagal melihat penjahat sebagai manusia, sebagai suatu

hal yang hidup, kompleks, kepribadian yang beraneka ragam. Seperti

Cesare Beccaria, ia melawan status quo dan berjuang dengan sengit untuk

pembaharuan hukum pidana. Ia melihat suatu prinsip etika baru mengenai


kontrol sosial, yaitu suatu metode pengecekan perbuatan manusia menurut

prinsip etika yang baru. Prinsip itu ia sebut “Utilitarianism” yang

menyatakan suatu perbuatan tidaklah dinilai oleh hal-hal yang mutlak

(keadilan, kebenaran) yang irasional, tetapi oleh suatu sistem yang dapat

diuji atau diukur. Namun sayangnya Bentham tidak menjelaskan lebih

lanjut dasar teoritis dari prinsip tersebut diukur, dan juga tidak menjelaskan

bagaimana prinsip tersebut diukur secara empiris.

Bentham juga yakin dengan doktrin “kebebasan”, walaupun dia

mengisyaratkan kearah teori mengenai perbuatan yang terpola (the theory

of learned behaviour) sebagai penjelasan mengenai tindak kriminal.

Bentham mengemukakan bahwa tujuan-tujuan dari pidana adalah:

1) Mencegah semua pelanggaran (toprevent all offenses);

2) Mencegah pelanggaran yang paling jahat (to prevent the worst

offences);

3) Menekan kejahatan (to keep down mischief);

4) Menekan kerugian/biaya sekecil-kecilnya (to act the least expense).

b. Aliran positif

Aliran ini tumbuh pada abad ke-19 dan yang menjadi pusat

perhatiannya adalah si pembuat tindak pidana dan menghendaki adanya

individualisme dari pidana, artinya dalam pemidanaan harus

memperhatikan sifat-sifat dan keadaan pembuat tindak pidana. Aliran ini


sering disebut aliran positif dalam mencari sebab kejahatan menggunakan

metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati dan

mempengaruhi penjahat secara positif sejauh ia masih dapat diperbaiki.

Dengan orientasi demikian maka aliran ini sering dikatakan mempunyai

orientasi ke masa depan.

Aliran ini berpendapat bahwa perbuatan seseorang tidak dapat

dilihat secara abstrak dari sudut yuridis semata, terlepas dari orang yang

melakukannya, tetapi harus dilihat secara konkrit bahwa dalam kenyataan

perbuatan seseorang itu dipengaruhi watak pribadinya, faktor-faktor

biologis atau faktor lingkungan kemasyarakatannya. Jadi aliran ini bertitik

tolak dari pandangan determinisme untuk menggantikan doktrin kebebasan

bertindak.

Aliran ini menolak pandangan pembalasan berdasarkan kesalahan

yang subjektif. Pertanggungjawaban pelaku tindak pidana berdasarkan

kejahatan harus digantikan dengan sifat berbahayanya si pelaku tindak

pidana (etat dangereux). Bentuk pertanggungjawaban terhadap si pembuat

lebih bersifat tindak perlindungan masyarakat. Jika tetap digunakan istilah

pidana, maka menurut aliran ini pidana tetap harus diorientasikan pada

sifat-sifat si pembuat. Jadi aliran ini menghendaki adanya individualisasi

pidana yang bertujuan untuk mengadakan resosialisasi si pelaku tindak

pidana. Di samping meratakan jalan untuk filsafat individualisasi, aliran

moderen juga mempelopori pembinaaan ilmiah terhadap tindak pidana,


yang didasarkan atas penemuan-penemuan baik ilmu-ilmu alam maupun

ilmu-ilmu sosial.

Pendekatan yang dilakukan oleh ketiga tokoh utama aliran positif

yakni Cesare Lamborso, Raffaele Gorofalo dan Enrico Ferri berbeda satu

sama lain. Walaupun demikian mereka setuju bahwa tekanan di dalam

memperbaiki kejahatan harus diberikan kepada pembinaan ilmiah terhadap

pelaku tindak pidana, dan tidak terhadap pidana yang dikenakan kepada

mereka.

Lamborso menolak doktrin “kebebasan berkehendak” dari aliran

klasik. Sekalipun Lamborso dengan jelas memberikan tekanan pada

penyebab kejahatan yang bersifat biologis, namun tidak melupakan sama

sekali sebab-sebab yang bersifat sosiologis. Dia menyatakan bahwa pidana

yang kejam dimasa lalu tidak memberikan pemecahan terhadap

pencegahan terhadap pencegahan terhadap kejahatan dan alirannnya

merupakan strategi baru di dalam melawan kejahatan yang didasarkan atas

etiologi dan sifat-sifat alamiahnya. Lamborso percaya bahwa setiap

penjahat mempunyai kebutuhan yang berbeda, sehingga merupakan

kebodohan untuk menerapkan pidana yang sama bagi tiap orang yang

melakukan kejahatan. Dengan ini kelihatan bahwa Lamborso adalah

penganjur pertama dari apa yang dinamakan pidana yang tidak ditetapkan

secara pasti oleh pengadilan (the indeterminate sentence). Lamborso juga

tidak setuju dengan adanya pidana jangka pendek, karena hanya akan

memperkenalkan penjahat yang satu dengan yang lain dan tidak


memberikan kesempatan guna rehabilitasi. Dia sangat setuju dengan

pidana yang ditangguhkan atau sistem “probation” yang dipandang sukses

di Amerika Serikat.

Tokoh kedua aliran ini adalah Raffaele Garofalo (1852-1943).

Seperti tokoh yang lainnya Garofalo menolak aliran klasik, termasuk apa

yang dinamakan defenisi hukum dari kejahatan, dan doktrin kebebasan

berkehendak.

Garofalo menyatakan, bahwa defenisi hukum dari kejahatan hanya

merupakan klasifikasi yang dilakukan oleh pembuat undang-undang

terhadap tipe-tipe perilaku tertentu. Untuk menerangkan mengapa orang-

orang berbuat jahat, ia mengusulkan suatu konsep yang dinamakan konsep

kejahatan natural. Selanjutnya dia menyatakan bahwa natural crime

merupakan pengertian yang paling jelas untuk menggambarkan perbuatan-

perbuatan yang oleh masyarakat beradab diakui sebagai kejahatan dan

ditekan melalui sarana berupa pidana.

Tokoh ketiga aliran positif adalah Anrico Ferri (1856-1929). Tiga

tahun setelah menyelesaikan pelajarannya ia kembali ke almamaternya di

Bologna sebagai seorang guru besar hukum pidana. Pada tahun 1880,

sebelum ia mencapai umur 29 tahun, ia memberikan kuliah tentang horisan

baru di dalam hukum pidana dan hukum acara pidana. Kuliah ini

kemudian menjadi dasar bukunya yang terkenal yaitu criminal sociology.

Dia menyatakan bahwa seseorang memiliki kecenderungan bawaan


menuju kejahatan, tetapi bilamana ia hidup di lingkungan hidup yang baik

ia akan hidup terus sampai akhir hayatnya tanpa melanggar hukum pidana

ataupun hukum moral. Ia juga menolak doktrin indeterminisme dari aliran

klasik, sebab psikologi telah membuktikan bahwa perilaku seseorang

merupakan hasil interaksi antara personalitas dan lingkungan seseorang.

Ferri percaya bahwa kejahatan terutama dihasilkan oleh tipe masyarakat

dari mana kejahatan tersebut datang. Ia mengemukakan suatu dalil yang

disebut hukum kejenuhan penjahat (law of criminal saturation), yang di

dalam lingkungan sosial tertentu dengan kondisi individual dan fisik

tertentu sejumlah kejahatan tertentu dapat dilakukan.

Sehubungan denagn dalil tersebut, Ferri mengemukakan bahwa

untuk mencapai akar-akar kriminalitas peranan hygiene sosial sangat besar.

Hal ini mengharuskan pembuat undang-undang untuk selalu

memperhitungkan faktor-faktor ekonomi, moral, administrasi dan politik

di dalam tugasnya sehari-hari. Kejahatan dalam ini hanya dapat diatasi

dengan mengadakan perubahan-perubahan di masyarakat.

Setelah perang dunia ke II aliran modern ini berkembang menjadi

Aliran/ Gerakan Perlindungan masyarakat, dan setelah diadakannya The

Second International Social Defence Congress tahun 1949, aliran ini

terpecah menjadi dua konsepsi, yaitu konsepsi radikal dengan tokohnya

Filipo Gramitika dan konsepsi moderat dengan tokohnya Marc Ancel.


Menurut Gramatika, hukum perlindungan masyarakat (law of

social defence) harus menggantikan hukum pidana yang ada. Tujuan utama

hukum perlindungan masyarakat adalah mengintegrasikan individu ke

dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatanya. Hukum

perlindungan masyarakat mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban

pidana (kesalahan) dan digantikan tempatnya oleh pandangan tentang

perbuatan anti-sosial. Dengan demikian mengenai tindak pidana, penjahat

dan pidana.

Sementara konsepsi moderat yang dipelopori Marc Ancel dengan

gerakannya defence sociale nouvelle (New Social Devence) atau

perlindungan, masyarakat baru ingin mengintegrasikan ide-ide atau

konsepsi-konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru

hukum pidana. Konsepsi atau pemikiran yang dikemukakan oleh gerakan

perlindungan masyarakat baru ini adalah:

1) Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan

yang tepat mengenai hukum pidana, karena itu sistem hukum,

tindak pidana, penilaian hakim terhadap pelaku serta pidana

merupakan institusi yang harus tetap dipertahankan, namun tidak

digunakan dengan fiksi-fiksi dan teknik-teknik yuridis yang

terlepas dari kenyataan sosial.


2) Kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial (a

human and social problem) yang tidak dapat begitu saja dipaksakan

untuk dimasukkan dalam perundangan.

3) Kebijakan pidana bertolak pada konsepsi pertanggungjawaban

yang bersifat pribadi (individual responsibility) yang menjadi

kekuatan pergerakan utama dan proses penyesuaian sosial.

Pertanggungjawaban pribadi ini menekan pada kewajiban moral ke

arah timbulnya moralitas sosial.

c. Aliran neo-klasik

Disamping beberapa aliran tersebut diatas, perlu

dikemukakan disini adanya suatu aliran yang berasal dari lairan

klasik yaitu aliran neo-klasik (Neoclassical School). Sebagaimana

aliaaran klasik, aliran ini pun bertolak dari pandangan

indeterminisme atau kebebasan berkehendak. Menurut aliran ini,

pidana yang dihasilkan oleh aliran klasik terlalu berat dan merusak

semangat kemanusiaan yang berkembang saat itu. Untuk itu aliran

ini merumuskan pidana minimum dan maksimum dan mengakui apa

yang dinamakan asas-asas tentang keadaan yang meringankan

(principle of extenuating circunstances).

Aliran neo-klasik mulai mempertimbangkan kebutuhan

adanya pembinaan individual pelaku tindak pidana. Sistem pidana

yang dirumuskan secara pasti (defenite sentence) ditinggalkan dan


diganti dengan sistem indefinite sentence. Mengenai karakteristik

daripada aliran neo-klasik, kiranya dapat dikemukakan ciri-ciri yang

disusun oleh Vernon Fox sebagai berikut :

1) Modifikasi (perubahan) dari “doctrine of will”, yang dapat

dipengaruhi patologi, ketidakmampuan, penyakit gila, atau

lain-lain keadaan.

2) Diterimanya berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan

(mitigating circumstanses) baik fisikal, lingkungan maupun

mental.

3) Modifikasi dari doktrin pertanggungjawaban pidana guna

menetapkan peringann pidana dengan pertanggungjawabanb

sebagian di dalam hal-hal yang khusus, misalnya gila, di

bawah umur, dan keadaan lain yang dapat mempengaruhi

pengetahuan dan niat seseorang pada waktu terjadinya

kejahataan.

4) Diperkenankan masuknya kesaksian ahli (expert testionary)

untuk menentukan derajat pertanggungjawaban.

Selanjutnya dibahwa ini akan dibahas prinsip-prinsip dasar

yang dikemukakan oleh teori-teori pemidanaan.

a. Teori retributif atau teori pembalasan


Teori ini mengatakan bahwa kejahatan sendirilah yang

memuat anasir-anasir yang menuntut pidana dan yang membenarkan

pidana dijatuhkan. Teori ini dalam tujuan pemidanaan didasarkan

pada alasan bahwa pemidanaan merupakan “morally justifed”

(pembenaran secra moral), karena pelaku kejahatan layak untuk

menerimanya atas kejahtannya. Asumsi yang penting terhadap

pemebnaran untuk menghukum sebagai respon terhadap suatu

kejahatan karena pelaku kejahatan telah melakukan pelanggaran

terhadap norma moral tertentu yang mendasari aturan hukum yang

dilakukannya secara sengaja dan sadar dan hal ini merupakan bentuk

dari tanggungjawab moral dan kesalahan hukum si pelaku.

Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai

suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi,

dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya

kejahatan itu sendiri. Penjatuhan pidana tidak dilihat akibat-akibat

yang dapat ditimbulkan dari penjatuhan pidana tersebut, tidak

memperhatikan masa depan baik terhadap diri penjahat maupun

masyarakat. Menjalankan pidana tidak dimaksudkan untuk mencapai

sesuatu yang praktis, tetapi bermaksud satu-satunya penderitaan bagi

penjahat.

Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana

mempunyai 2 arah, yaitu :


1) Ditujuhkan pada penjahatnya (sudut sibyektif dari pembalasan)

2) Ditujuhkan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di

kalngan masyarakat (sudut obyektif dari pembalasan).

Menurut Johanes Andenaes tujuan utama (primair) dari

pidana menurut teori ialah “untuk memuaskan tuntutan keadilan” (to

satisty the claims of justice) sedangkan pengaruhnya yang

menguntungkan adalah sekunder. Tuntutan keadilan yang sifatnya

absolut ini terlihat dengan jelas dalam pendapat Immanuel Kant di

dalam bukunya “Philosophy of Law sebagai berikut”:

“...pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai

sarana untuk mempromosikan tujuan/ kebaikan lain, baik bagi

sipelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal

harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah

melakukan kejahatan.

Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk

menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakatnya)

pembunuh terakhir yang masih berada di dalam penjara harus

dipidana mati sebelum resolusi/keputusan pembubaran masyarakat

itu dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang

seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan

balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat, karena

apabila tidak demikian mereka semua dapat dipandang sebagai orang


yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan

pelanggaran terhadap keadilan umum”.

Hegel memandang bahwa pemidanaan merupakan hak dari

pelaku kejahatan atas perbuatan yang dilakukannya berdasarkan

kemauan sendiri. Sedangkan Nigel Walker mengemukakan bahwa

aliran retributif ini terbagi menjadi dua macam, yaitu teori retributif

murni dan teori retributif tidak murni. Retributivist yang murni

menyatakan bahwa pidana yang dijatuhkan harus sepadan dengan

kesalahan si pelaku. Sedangkan Retributivist tidak murni dapat

dibagi menjadi dua golongan, yaitu ;

1) Retributivist terbatas (the limitating retributivist), yang

berpendapat bahwa pidana tidak harus cocok atau sepadan

dengan kesalahan si pelaku, akan tetapi pidana yang

dijatuhkan tidak boleh melebihi batas-batas yang sepadan

dengan kesalahan pelaku.

2) Retribituvist yang distribusi (retribution in distribution), yang

berpandangan bahwa sanksi pidana dirancang sebagai

pembelasan terhadap si pelaku kejahatan, namun beratnya

sanksi harus didistribusikan kepada pelaku yang bersalah.

Berdasarkan pembagian aliran retributif tersebut, maka

hanya retributivist murni yang mengemukakan dasar pembenaran

dijatuhkannya pidana. Oleh karena itu golongan ini disebut juga


“punisher” atau penganut teori pemidanaan. Sedangkan penganut

golongan lainnya tidak mengajukan alasan-alasan untuk pengenaan

pidana, melainkan mengajukan dasar-dasar pembatasan pidana.

Paham retributif yang tidak murni lebih dekat dengan paham yang

non retributive. Kebanyakan KUHP disusun berdasarkan paham

non-retributive yang the limiting retributivist yaitu dengan

menetapkan pidana maksimum sebagai batas atas, tanpa

mewajibkan pengadilan untuk mengenakan batasan maksimum

tersebut.

b. Teori relatif atau teori tujuan

Teori tujuan memberikan dasar pemikiran bahwa dasar

hukum dari pidana adalah terletak pada tujuan pidana itu sendiri.

Pidana itu mempunyai tujuan-tujuan tertentu, tujuan pokoknya

adalah mempertahankan ketertiban masyarakat (the handing der

maatchappelijke order). Menurut teori ini memidana bukanlah

untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu

sendiri tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana untuk

melindungi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu menurut J.

Andenaes, teori ini dapat disebut sebagai teori perlindungan

masyarakat (the theory of social defence).

Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat, maka pidana

itu mempunyai 3 macam sifat, yaitu :


1) Bersifat menakut-nakuti (afschrikking);

2) Bersifat memperbaiki (verbetering/ reclasering);

3) Bersifat membinasakan (onschadelijk maken).

Sedangkan sifat pecegahannya dari teori ini ada 2 macam,

yaitu :

1) Pencegahan umum (general preventie)

Menurut teori pencegahan umum ini ialah pidana yang

dijatuhkan pada penjahat ditujukan agar orang-orang (umum)

menjadi takut untuk berbuat kejahatan. Penjahat yang dijatuhi

pidana itu dijadikan contoh oleh masyarakat, agar umum tidak

meniru dan melakukan perbuatan yang serupa dengan penjahat

itu. Yang dapat digolongkan ke dalam teori pencegahan umum

ini dalah teori dari Anselm Von Feuerbach mengenai

psychologischezwang yang berbunyi: apabila setiap orang

mengerti dan tahu, bahwa melanggar peraturan hukum itu

diancam dengan pidana, maka orang itu mengerti dan tahu

juga akan dijatuhi pidana atas kejahatan yang dilakukan.

Dengan demikian tercegahlah bagi setiap orang untuk berniat

jahat. Sehingga di dalam jiwa orang masing-masing telah

mendapat tekanan atas ancaman pidana.

2) Pencegahan khusus (speciale preventie)


Prevensi khusus dimaksudkan bahwa dengan pidana yang

dijatuhkan, memberikan deterrence effect kepada si pelaku

sehingga tidak mengulangi perbuatannya kembali. Van

Bemmelen menyatakan, meraka yang beranggapan bahwa

pidana ialah pemebenaran yang terpenting dari pidana itu

sendiri, bertolak dari pendapat bahwa manusia (pelaku suatu

tindak pidana) dikemudian hari akan menahan diri supaya

jangan berbuat seperti itu lagi, karena ia mengalami (belajar)

bahwa perbuatannya menimbulkan penderitaan. Jadi pidana

akan berfungsi mendidik dan memperbaiki. Van Hamel

membuat suatu gambaran tentang pemidanaan yang bersifat

prevensi khusus yaitu pemidanaan harus memuat suatu anasir

menakutkan supaya si pelaku tidak melakukan niat buruk,

pemidanaan juga harus memuat suatu anasir yang

memperbaiki bagi terpidana yang nanti memerlukan suatu

reclassering, pemidanaan harus memuat suatu anasir

membinasakan bagi penjahat yang sama sekali tidak dapat

diperbaiki lagi, dan tujuan satu-satunya dari pemidanaan ialah

mempertahankan tata tertib hukum.

c. Teori gabungan

Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas

pembalasan daan asas pertahanan tata tertib masyarakat, dengan

kata lain dua alasan ini adalah menjadi dasar dari penjatuhan
pidana. Teori gabungan tersebut dapat dibedakan menjadi 2

golongan besar, yaitu :

1) Teori gabungan yang menggabungkan pembalasan, tetapi

pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang

perlu dan cukup untuk dapat dipertahankan tata tertib

masyarakat. Pompe berpandangan bahwa pidana tiada lain

adalah pembalasan pada penjahat, tetapi juga bertujuan

untuk mempertahankan tata tertib hukum agar kepentingan

umum dapat diselamatkan dan terjamin dari kejahatan.

Pidana yang bersifat pembalasan itu dapat dibenarkan

apabiila bermanfaat bagi pertahanan tat tertib (hukum)

masyarakat.

2) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tat tertib

masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak

boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan

terpidana. Menurut Simons, dasar primer pidana adalah

pencegahan umum, dasar sekundernya adalah pencegahan

khusus. Maksud pidana terutama adalah ditujuhkan pada

pencegahan umum yang terletak pada ancaman pidananya

dalam undang-undang, yang apabila hal ini tidak cukup

kuat dan tidak efektif dalam hal menakut-nakuti,

memperbaiki dan membuat tidak berdayanya penjahat.

Dalam hal ini harus diingat bahwa pidana yang dijatuhkan


harus sesuai dengan atau berdasarkan atas hukum dari

masyarakat.

d. Teori Social Defence

Social defence adalah aliran pemidanaan yang berkembang

setelah Perang Dunia II dengan tokoh terkenalnya Fillipo

Gramatika, yang pada tahun 1945 mendirikan Pusat Studi

Perlindungan Masyarakat. Perkembangan selanjutnya, pandangan

social defence terpecah menjadi dua aliran (setelah Kongres Ke-2

tahun 1949), yaitu aliran yang radikal (ekstrim) dan aliran yang

moderat (reformis).

Pandangan yang radikal dipelopori dan dipertahankan oleh F.

Gramatica yang salah satu tulisannya berjudul “The fight against

punisment”. Gramatica berpendapat bahwa hukum perlindungan

sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang yang

tujuannya adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial

dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Pandangan ini

menghendaki penghapusan hukum pidana (obilisionisme), karena

pemidanaan dirasakan kurang manusiawi, oleh karena itu harus

digantikan dengan hukum kerja sosial.

Sedangkan pandangan moderat dipertahankan Marc Ancel

yang menanamkan alirannya sebagai “Defence Social Nouvelle”

atau “New Social Defence” atau “Perlindungan Sosial Baru”. Tiap


masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat

peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan

untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi warga

masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu peranan yang besar

dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat

dielakkan bagi suatu sistem hukum. Pandangan moderat bertujuan

mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi-konsepsi perlindungan

masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana, perlindungan

individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat

mengenai hukum pidana, dan ini tidak kurang pentingnya dari

kehidupan masyarakat itu sendiri, dan dalam menggunakan hukum

pidana pandangan ini menolak penggunaan fiksi-fiksi dan teknis-

teknis yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial.

e. Teori Restoratif Justice

Ahli kriminologi berkebangsaan Inggris Tony F. Marshall

dalam tulisannya mengemukakan bahwa deafenisi restorative

justice adalah :

“restorative justice is a process where by all the parties with stake

in a particular offence come together to resolve collectively how to

deal with the aftermath of the offence and its implications for the

future” (restirative justice adalah sebuah proses dimana semua

pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu


bersama untuk menyelesaikan secara bersama-sama bagaimana

menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan

masa depan). Restorative justice bersifat merekatkan peradilan

pidana dengan konteks sosialnya yang menekankan daripada

mengisolasinya secara tertutup.

Bazemore dan Walgrave mendefenisikan restorative justice

sebagai tindakan untuk menegakkan keadilan dengan memperbaiki

kerusakan yang ditimbulkan akibat suatu tindak pidana.

(“Restorative justice is very action that is primarily oriented toward

doing justice by repairing the harm that has been caused by a

criem”). Teori ini berasal dari tradisi common law dan tort law

yang mengharuskan semua yang bersalah untuk dihukum.

Hukuman menurut teori ini termasuk pelayanan masyarakat, ganti

rugi dan bentuk lain dari hukuman penjara yang membiarkan

terpidana untuk tetap aktif dalam masyarakat.

Sejarah perkembangan hukum modern penerapan

restorative justice diawali dari pelaksanaan sebuah program

penyelesaian di luar peradilan tradisional yang dilakukan

masyarakat yang disebut dengan victim offender mediation yang

dimulai pada tahun 1970-an di negara canada. Program ini awalnya

dilaksanakan sebagai tindakan alternatif dalam menghukum pelaku

kriminal anak, dimana sebelum dilaksanakan hukuman pelaku dan

korban diizinkan bertemu untuk menyususn usulan hukuman yang


menjadi salah satu pertimbangan dari sekian banyak pertimbangan

hakim. Program ini menganggap pelaku akan mendapatkan

keuntungan dan manfaat dari tahanan ini dan korban juga akan

mendapatkan perhatian dan manfaat secara khusus sehingga dapat

menurunkan jumlah residivis dikalangan pelaku anak dan

meningkatkan jumlah anak bertanggung jawab dalam memberikan

ganti rugi pada pihak korban. Dari pelaksanaan program tersebut

diperoleh hasil tingkat kepuasan yang lebih tinggi bagai korban dan

pelaku daripada saat mereka menjalani proses peradilan tradisional.

2. Pengertian Psikologis dan Gangguan Psikologis

2.1 Sejarah Psikologi

Psikologi adalah kajian tentang pikiran, seiring dengan

aspek-aspek pikiran seperti persepsi, kognisi, emosi, dan perilaku.

Dalam beberapa cara, psikologis sudah menkjadi wilaya tersendiri

sejak akhir 1800-an, ketika tokoh seperti Wilhelm Wundt, William

James, dan Sigmund Freud memisahkannya dari beragam disiplin

induk semisal biologi, filsafat, dan kedokteran. Tetapi, dalam

beberapa cara lain, psikologi sudah seumuran dengan manusia dalam

mendiskusikan manusia itu sendiri.


Kini, psikologi berupaya untuk menjadi sebuah ilmu. Ilmu

adalah usaha untuk mengkaji sebuah subjek dengan kemampuan

eksplisit untuk berpikir selogis mungkin dan berpijak sekuat

mungkin pada fakta-fakta empiris secara manusiawi. Ilmu-ilmu lain,

kimia, fisika, biologi dan seterunya telah meraih keberhasilan sangat

besar dengan cara ini.

Ditinjau dari segi bahasa, perkataan psikologi berasal dari

perkataan psyche yang diartikan jiwa dan perkataan logos yang

berarti ilmu dan ilmu pengetahuan. Karena itu perkataan psikologi

sering diartikan atau diterjemahkan dengan ilmu pengetahuan

tentang jiwa atau disingkat dengan ilmu jiwa.

Psikologi sebagai suatu ilmu, psikologi juga mempunyai

tugas-tugas atau fungsi-fungsi tertentu seperti ilmu-ilmu pada

uumnya. Adapun tugas psikologi ialah:

1) Mengadakan deskripsi, yaitu tugas untuk menggambarkan secara

jelas hal-hal yang dipersoalkan atau dibicarakan.

2) Menerangkan, yaitu tugas untuk menerangkan keadaan atau

kondisi-kondisi yang mendasari terjadi peristiwa-peristiwa

tersebut.

3) Menyusun teori, yaitu tugas mencari dan merumuskan hukum-

hukum dan ketentuan-ketentuan mengenai hubungan antara

peristiwa satu dengan peristiwa lain atau kondisi satu dengan yang

lain.
4) Prediksi, yaitu tugas untuk membuat ramalan (prediksi) atau

estimasi mengenai hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang mungkin

terjadi atau gejala-gejala yang akan muncul.

5) Pengendalian, yaitu tugas untuk mengendalikan atau mengatur

peristiwa-peristiwa atau gejala.

Menurut Wundt (Lih. Devidoff, 1981) psikologi merupakan

ilmu tentang kesadaran manusia (the science of human

consciousness). Para ahli psikologi akan mempelajari proses-proses

elementer dari kesadaran manusia itu. Dari batasan ini dapat

dikemukakan bahwa keadaan jiwa direfleksikan dalam kesadaran

manusia. Unsur kesadaran merupakan hal yang dipelajari dalam

psikologi itu.

Di samping itu Woodworth dan Marquis (1957) mengajukan

pendapat bahwa yang dimaksud dengan psikologi itu merupakan

ilmu tentang aktivitas-aktivitas individu. Secara lengkap

dikemukakan :

Psychology can be defined as the science of the activities of

the individual. The word “activity” is used here in very broad sense.

It includes not only motor activities like walking and speaking, but

also cognitive (knowledge getting) activities like seeing, hearing,

remembering and thingking, and emotional activities like laughing

and crying, and feeling or sad (Woodworth and Marquis, 1957 : 30).
Dari apa yang dikemukakan oleh Woodworth dan Marquis

tersebut jelas memberikan gambaran bahwa psikologi itu

mempelajari aktivitas-aktivitas individu, pengertian aktivitas dalam

arti yang luas, digunakan pengertian kesadaran, maka pada

Woodworth dan Marquis digunakan aktivitas-aktivitas. Namun

keduanya baik kesadaran maupun aktivitas-aktivitas, hal tersebut

menggambarkan tentang refleksi dari kehidupan kejiwaan.

2.2 Perilaku Manusia

Seperti yang telah dipaparkan, bahwa psikologi merupakan

ilmu tentang perilaku, dengan pengertian bahwa perilaku atau

aktivitas-aktivitas itu merupakan manifestasi kehidupan psikis. Telah

dikemukakan oleh para ahli, bahwa yang diteliti atau dipelajari

dalam psikologi ini baik perilaku manusia. Dengan demikian maka

dalam psikologi itu fokusnya adalah manusia. Banyak penelitian

yang dilakukan pada hewan, yang hasilnya kemudian diarahkan pada

manusia, khususnya penelitian-penelitian yang eksperimental.

a. Jenis perilaku

Perilaku pada manusia dapat dibedakan antara perilaku yang

refleksif dan perilaku yang non-refleksif. Perilaku yang refleksif

merupakn perilaku yang terjadi atas reaksi secara spontan terhadap

stimulasi yang menginai organisme tersebut. Misalny reaksi kedip


mmata bila kena sinar; gerak lutut bila kena sentuhan palu; menarik

jari bila jari kena api dan sebagainya. Reaksi atau perilairinya, secara

otomatis. Stimulasi yang diterima oleh organisme atau individu tidak

sampai ke pusat sususnan syaraf atau otak sebagai pusat kesadaran,

sebagai pusat pengendali dari perilaku manusia. Dalam perilaku

yang refleksif respon langsung timbul begitu menerima stimulus.

Dengan kata lain begitu stimulus diterima oleh reseptor, begitu

langsung respon timbul melalui afektor, tanpa mmelalui pusat

kesadaran atau otak.

Lain halnya dengan perilaku yang non-refleksif. Perilaku ini

dikendalikan atau diatur oleh pusat kesadaran tau otak. Dalam kaitan

ini stimulasi setelah diterima oleh reseptor kemudian diteruskan ke

otak sebagai pusat syaraf, pusat kesadaran, baru kemudian terjadi

respon melalui afektor. Proses yang terjadi dalam otak atau pusat

kesadaran ini yang disebut proses psikologis. Perilaku atau aktivitas

atas dasar proses psikologis inilah yang disebut aktivitas psikologis

atau perilaku psikologis (Branca, 1964).

Pada perilaku manusia, perilaku psikologis inilah yang

dominan, merupakan perilaku yang banyak pada diri manusia, di

samping adnya perilakub refleksif. Perilaku refleksif pada dasaranya

tidak dapat dikendalikan. Hal tersebut karena perilaku refleksif

merupakan perilaku yang alami, bukan perilaku yang dibentuk. Hal

tersebut akan lain apabila dilihat perilaku yang non-refleksif.


Perilaku ini merupakan perilaku yang dibentuk, dapat dikendalikan,

karena itu dapat berubah dari waktu ke waktu, sebagai hasil proses

belajar. Di samping perilaku manusia dapat dikendalaikan atau

terkendali, yang berarti bahwa perilaku manusia juga merupakan

perilaku yang terintegrasi (integrated), yang berarti bahwa

keseluruhan keadaan individu atau manusia itu terlibat dalam

perilaku yang bersangkutan, bukan bagian demi bagian. Karena

begitu kompleksnya perilaku manusia itu, maka psikologi ingin

memehami perilaku tersebut.

b. Pembentukan perilaku

Seperti yang telah dipaparkan di depan bahwa perilaku

manusia sebagian terbesar ialah berupa perilaku yang dibentuk,

perilaku yang dipelajari. Berkaitan dengan hal tersebut maka salah

satu persoalan ialah bagaimana cara membentuk perilaku itu sesuai

dengan yang diharapkan.

1) Cara pembentukan perilaku dengan kondisioning atau

kebiasaan

Salah satu cara pembentukan perilaku dapat ditempuh dengan

kondisioning atau kebiasaan. Dengan cara membiasakan diri

untuk berperilaku seperti yang diharapkan, akhirnya akan

terbentuklah perilaku tersebut. Misal anak dibiasakan bangun

pagi, atau menggosok gigi sebelum tidur, mengucapkan terima


kasih bila diberi sesuatu oleh orang lain, membiasakan diri

untuk datang tidak terlambat di sekolah dan sebagainya.

2) Pembentukan perilaku dengan pengertian (insight)

Di samping pembentukan perilaku dengan kondisioning atau

kebiasaan, pembentukan perilaku dapat ditempuh dengan

pengertian atau insigth. Misalnya datang kuliah jangan sampai

terlambat, karena hal tersebut dapat mengganggu teman-tema

yang lain. Bila naik motor harus pakai helm, karena helm

tersebut untuk keamanan diri, dan masih banyak lagi contoh

untuk menggambarkan hal tersebut. Cara ini berdasarkan atas

teori belajar kognitif, yaituu belajar dengan disertai adanya

pengertian. Bila dalam eksperimen Thorndike dalam belajar

yang dipentingkan adalah soal latihan, maka dalam eksperimen

Kohler dalam belajar yang penting adalah pengertian atau

insight.

3) Pembentukan perilaku dengan menggunakan model

Di samping cara-cara pembentukan perilaku seperti tersebut di

atas, pembentukan perilaku masih dapat ditempuh dengan

menggunakan model atau contoh. Kalau orang bicara bahwa

orang tua sebagai contoh anak-anaknya, pemimpin sebagai


panutan yang dipimpinnya, hal tersebut menunjukkan

pembentukan perilaku dengan menggunakan model. Pemimpin

dijadikan model atau contoh oleh yang dipimpinnya. Cara ini

didasarkan atas teori belajar sosial (social learning theory) atau

observational learning theory yang dikemukakan oleh Bandura

(1977).

Kareteristik merupakan sesuatu yang menjadi ciri khas

seseorang dalam mencerap, merasa, meyakini, atau bertindak. Ketika

kita tanpa sengaja menggambarkan seseorang, kita menggunakan

istilah-istilah kareteristik ini. Misalnya, saya adalah seorang yang

introvert, penggugup, sangat dekat dengan keluarga, sering

mengalami depresi, dan juga sangat cerdas. Mempunyai citra humor

yang bagus, suka bahasa, sangat suka mmakan enak, tidak menyukai

semua olahraga, dan sedikit obsesif.

Para psikologi, khususnya personologi, sangat tertarik dengan

persoalan kareteristik ini. Mereka sangat tertarik dalam menemukan

kareteristik mana yang luas dan mungkin berbasis genetik, yang bisa

jadi k dan mudah berubah.

2.3. Gangguan kepribadian

Ada beberapa teori yang membahas tentang gangguan

kepribadian yaitu:

a.Teori Neurosis Bio-Sosial


Neurosis erujuk pada serangkaian masalah psikologis yang

melibatkan pengalaman yang berdampak negatif secara

berkepanjangan dalam bentuk kecemasan, kesedihan atau depresi,

marah, cepat marah, kekacauan ental, penghargaan-diri yang rendah,

dan lain sebagainya; gejala-gejala perilaku, seperti penghindaran

karena fobia, waspada, tindakan-tindakan impulsif dan kompulsif,

kelesuhan, dan seterusnya; asalah-asalah kognitif, seperti berbagai

pikiran tidak menyenangkan atau mengganggu, pengulangan pikiran

dan obsesi, fantasi yang menjadi kebiasaan, negativitas dan sinise,

dan lain-lain. Secara interpersonal, neurosis meliputi ketergantungan,

agresivitas, perfeksionisme, isolasi terbelah, perilaku-perilaku yang

secara sosiokultural tidak tepat, dan lain-lain.

Umumnya, neurosis ditandai dengan rendahnya keapuan

untuk beradaptasi dengan lingkungan, yakni tidak mampu mengubah

berbagai pola hidup kita, serta tidak mampu mengembangkan

kepribadiaan yang lebih kaya, lebih kompleks, dan lebih

memuaskan.

Poin pertama yang harus dicatat adalah kondisi-kondisi

psikologis yang mempengaruhi, yang sebagian besar bersifat turun-

temurun. Yang paling jelas adalah sifat-sifat (karakteristik)

tempramen yang disebut sebagai instabilitas emosional. Karakteristik

lain bisa juga berkontribusi, seperti kehati-hatian yang sangat tinggi

atau rendah. Mungkin juga sifat-sifat bawaan, ketika secara ekstrem


menjadikan orang itu kemungkinan lebih mengembangkan masalah-

masalah neurotis.

Poin kedua adalah budaya seseorang, asuhan, pendidikan,

dan pembelajaran yang ia dapatkan, umumnya bisa menyiapkan

seseorang untuk menghadapi tekanan-tekanan hidup dan bisa juga

tidak. Faktor-faktor ini mungkin bisa mengesampingkan kondisi-

kondisi psikologis yang dapat mempengaruhi atau memperburuknya.

Poin ketiga menyangkut pemicu ketegangan (stressor) dalam

kehidupan seseorang yang menyebabkan beragam gejala neurosis

emosional, behavioral, dan kognitif. Bergabai pemicu ini bisa

dipahami sebagai situasi-situasi yang tidak pasti atau kacau, yang

biasanya melibatkan hubungan-hubungan interpersonal, yang

melampaui kapasitas seseorang yang dipelajari dan/atau diwariskan,

dalam mengatasi situasi-situasi tersebut.

Ketika kita mengalami kejadian yang membuat stres dan

kecemasan berulang, kita mulai mengembangkan pola-pola perilaku

dan kognisi yang dirancang untuk menghindarkan atau sebaliknya

meredahkan masalah, seperti kewaspadaan, perilaku melarikan diri,

dan pemikiran defesif. Ini semua bisa berubah menjadi sekumpulan

sikap yang pada dasarnya menghasilkan rasa cemas, marah, sedih,

dan lain sebagainya.

b. Gangguan kecemasaan
Gangguan kecemasan merupakan gangguan mental yang

paling umum atau sering terjadi. Gangguan itu encakup sekumpulan

kondisi yang menetapkan kecemasan ekstrem atau patologis sebagai

gangguan suasana hati atau emosi yang bersifat prinsipil.

Kecemasan, yang bisa dipahami sebagai padanan patologis dari

ketakutan normal, tampil melalui gangguan suasana hati, dan juga

pada pikiran, perilaku, dan aktivitas psikologis.

1) Serangan Panik dan Gangguan Panik

Serangan panik adalah periode tersendiri dari ketakutan

yang intens atau ketidakmampuan atau ketidaknyamanan yang

dikaitkan dengan sejumlah gejala somatis dan kognitif (DSM-

IV).gejala-gejala ini meliputi jantung berdebar-debar, berkeringat,

gemetar, nafas terengah-engah, perasaan tercekik atau terjepit, sakit

dada, mual atau perut mual, pusing atau berkunang-kunang,

perasaan geli, dan wajah yang memerah. Serangan itu lazimnya

muncul secara mendadak, yang bertambah hinggah mencapai

intensitas maksimum dalam 10 hingga 15 menit. Banyak orang

mengatakan takut mati, “gila”,atau kehilangan kontrol emosi dan

perilaku. Pengalaman-pengalaman itu umumnya membangkitkan

keinginan kuat untuk melarikan diri atau meninggalkan tempat di

mana serangan bermula dan, ketika dihubungkan dengan sakit dada

atau nafas terengah-engah, kerap kali berakibat pada mencari

pertolongan dari ruang gawat darurat rumahsakit atau tipe


pertolongan darurat lainnya. Kendati demikian, serangan jantung

berlangsung lebih dari 30 menit.

Gangguan panik pada perempuan umumnya terjadi dua kali

lebih banyak dibandingkan laki-laki (American Psychiatric

Association, 1998). Usia yang paling sering mengalami serangan

adalah antara remaja akhir hingga paro baya, dengan serangan

yang relatif tidak biasa setelah usia 50.

2) Agorafobia

Istilah kono agorafobia diterjemahkan dari bahasa Yunani

yang berarti takut akan pasar yang terbuaka. Agorafobia saat ini

digambarkan sebagai kecemasaan mendalam dan parah tentang

keberadaan dalam suatu situasi di mana untuk melarikan diri dari

situasi tersebut teras sulit. Hal ini biasanya terjadi saat sendirian di

luar rumah, berpergian dengan mobil, bis, atau pesawat, atau

berada di wilaya yang hiruk-pikuk (DSM-IV).

Banyak spesialis kesehatan mental yang mengembangkan

agorafobia setelah serangan ganggguan panik (American

Psychiatric Association,1998). Agorafobia sangat dipahami sebagai

akibat perilaku yang merugikan dari serangan panik berulang dan

berikutnya kecemasan, keasyikan, serta penghindaran (Barlow,

1988).

Agorafobia terjadi sekitar dua kali lebih umum pada

perempuan ketimbang laki-laki (Magee et al., 1996).


3) Fobia-fobia spesifik

Kondisi umum ini dicirikan dengan ketakutan nyata terhadap

objek atau situasi tetentu (DSM-IV). Penyingkapan objek fobia, baik

dalam kehidupan nyata maupun lewat imajinasi atau video, selalu

mendatangkan kecemasan intens, yang bisa jadi disertai sebuah

serangan panik ( yang terkait secara situasional). Orng dewasa

umumnya menyadari bahwa ketakutan intens ini tidak rasional.

Kendati demikian, mereka lazimnya menghindari stimulus

yang menyebabkan fobia atau mempertahankan pnyingkapan

dengan kesulitan yang besar. Fobia khusus yang paling umum

eliputi stimulasi situasi menakutkan berikut : binatang (terutaa ular,

hewan pengerat, burung, dan ajing; serangga (terutama laba-laba

dan lebah atau kecoa); ketinggian;elevator; terbang; mengendarai

mobil; ait; petir; dab darah atau jarum suntik.

4) Gangguan stres pasca-traumatik dan akut

Gangguan stres akut mengacu pada kecemasan dan

gangguan perilaku yang berkembang dalam bulan pertama setelah

penyingkapan trauma ekstrem. Umumnya, gejala gangguan stres

akut bermula selama atau sesaat setelah trauma. Kejadian

traumatik ekstrem tersebut mencakup perkosaan atau penyerangan

fisik parah lainnya, pengalaman hapir mati dalam kecelakaan,

menyaksikan pembunuhan, dan pertempuran. Gejala disosiasi

(pemisahan diri), yang mencerminkan keberjarakan yang dirasakan


antara pikiran dan keadaan emosional atau bahkan tubuh,

merupakan ciri-ciri yang kritis. Disosiasi juga dicirikan dengan

pemahaman dunia sebagai tempat yang tidak nyata atau bagaikan

mimpi dan bisa dipadukan dengan memori buruk mengenai

kejadian-kejadian spesifik, yang dalam bentuk parahnya dikenal

sebagai amnesia disosiatif. Ciri lain dari gangguan stres akut

meluputi gejala-gejala kecemasan umum dan super-waspada,

penghindaran terhadap trauma, dan mengingat kembali suatu

kejadian melalui kilas balik, mimpi atau pemikiran berulang atau

gambaran visual secara mendalam dan intrusif.

Karena sifat dasar gangguan stres pasca traumatik lebih

berlarut-larut (relatif terhadap gangguan stres akut), sejumlah

perubahan termaksud penghargaan diri yang menurun, hilangnya

kepercayaan diri yang berlarut-larut perihal orang-orang atau

masyarakat, keputusan, pemahaman akan dirusak secara permanen,

dan kesaulitan-kesulitan dalam hubungan yang telah terjalin

sebelumnya, lazimnya selalu diperhatikan. Penyalahgunaan bahan

kimia kerap terjadi, terutama alkohol, mariyuana, dan obat bius

yang bersifat menenangkan atau menghipnotis.

c. Gangguan suasana hati.

Dalam satu tahun, sekitar 7 persen orang Amerika menderita

gangguan suasana hati, seperangkat gangguan mental yang sangat

dikenal dengan depresi atau mania. Gangguan suasana hati ini


berada di luar batas-batas fluktuasi normal yang berkisar mulai dari

kesedihan hingga kegembiraan. Semua ini memiliki dampak

potensial yang berat bagi ketidakwarasan dan kematian.

1) Depresi berat

Gejala-gejala utama gangguan depresi berat adalah suasana

hati yang tertekan dan hilangnya minat atau kesenangan. Gejala-

gejala lainnya sangat beragam. Isalnya, insomnia dan

berkurangnya berat badan dipandang sebagai tanda-tanda klasik,

sekalipun banyak pasien depresi makin bertambah berat badannya

dan tidur berlebihan.

Gejala depresi berat lainnya, seperti anhedonia

(ketidakmampuan utuk merasakan kesenangan), putus asa, dan

hilangnya reaktivitas suasana hati (kemampuan merasakan sebuah

peningkatan suasana hati dalam merespon sesuatu yang positif)

sangat jarang menyertai kesedihan “normal”.. pikiran-pikiran

bunuh diri dan gejala-gejala psikotik seperti delusi atau halisunasi

sesungguhnya selalui mmenandai sebuah kondisi patologis.

2) Gangguan bipolar.

Gangguan bipolar adalah sebuah gangguan suasana hati

kabuhan yang menggambarkan satu atau lebih peristiwa mania atau

gabungan antara mania dan depresi (DSM-IV; Goodwin & Jamison

1990). Gangguan bipolar berbeda dengan gangguan depresi berat,


dikarenakan riwayat peristiwa maniak atau hipomaniak ( yang lebih

ringan dan tidak psikotik) yang dialami.

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan sifat penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian

yuridis normatif dengan jenis penelitian hukum untuk perkara In-Concrito.

Diman penulis mencari fakta-fakta yang akurat dan valid tentang sebuah

peristiwa konkrit yang menjadi objek penelitian. Penelitian ini juga

dilakukan dan ditujukan pada peraturan-peraturan tertul;is dan bahan-

bahan lain, serta menelaah peraturan perundang-undang yang berhubungan

dengan ppenulisan skripsi ini. Sedangkan sifat dari penelitian ini adalah

deskriftif yaitu tipe penelitian untuk memberikan data yang seteliti

mungkin tentang suatu gejala atau fenomena, agar dapat membantu dalam

memperkuat teori-teori yang sudah ada, atau mencoba merumuskan teori

baru.

2. Data dan sumber data

Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang

tidak diperoleh dari sumber pertama yang bisa diperoleh dari dokumen-

dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, laporan, buku harian, surat

kabar, makalah, dan lain sebagainya. Data sekunder dalam penelitian ini

dapat dibagi atas 3 kelompok besar, yaitu :

a. Bahan hukum primer yang penulis peroleh

dari beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.


b. Bahan hukum sekunder diperoleh penulis

dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 2-3/PUU-V/2007, keterangan,

kajian, analisis tentang hukum positif seperti skripsi, makalah seminar,dll.

c. Bahan hukum tertier yang dipergunakan

penulis sebagai bahan yang mendukung, memberi penjelasan bagi bahan

hukum sekunder seperti Kamus Besar Indonesia,Kamus Bahasa Inggris,

dan Kamus Hukum.

3. Metode pengumpulan data

Alat-alat pengumpulan data, pada umumnya dikenal tiga jenis alat

pengumpulan data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan

atau observasi, dan wawancara atau interview (Soekanto, 2007 : 50).

Berdasar pendekatan yang dipergunakan dalam memperoleh data, maka

alat pengumpulan data yang dipergunakan adalah :

a. Studi kepustakaan dan dokumen

Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan metode

pengumpulan data melalui studi dokumen/ kepustakaan ( library research )

yaitu dengan melakukan penelitina terhadap berbagai sumber bacaan

seperti buku-buku yang berkaitan dengan pidana mati, psikologi, pendapat

sarjanah, surat kabar, artikel, kamus dan juga berita yang penulis peroleh

dari internet.

b. Wawancara

Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan

penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya
atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan

menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara)

(Nazir, 1988 : 234).

Wawancara dipergunakan dengan tujuan-tujuan sebagai berikut :

1. Memperoleh data mengenai persepsi manusia


2. Mendapatkan data mengenai kepercayaan manusia
3. Mengumpulkan data mengenai perasaan dan motivasi seseorang

(atau mungkin kelompok manusia)


4. Memperoleh data mengenai antisipasi ataupun orientasi ke masa

depan dari manusia


5. Memperoleh informasi mengenai perilaku pada masa lampau
6. Mendapatkan data mengenai perilaku yang sifatnya sangat pribadi

atau sensitif (Soekanto, 2007 : 67).

G. Sistematika Penulisan Skripsi

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang isi

skripsi, maka secara garis bear sistematikanya dibagi menjadi tiga

kelompok :

Bagian awal skripsi : sampul, lembar berlogo, halaman judul, persetujuan

pembimbing, pengesahan kelulusan, pernyataan, motto dan persembahan,

prakata, sari, daftar isi, table daftar, serta daftar lampiran.

Bagian isi skripsi terdiri atas :

Bab I Pendahuluan
Diuraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan

penelitian, kegunaan penelitian, dan sistematika skripsi.

Bab II Landasan Teori

Membahas landasan dan konsep-konsep serta teori-teori yang dijadikan

landasan dalam penelitian.

Bab III Metode Penelitian

Membahas tentang metode pendekatan dan spesifikasi penelitian, metode

pengumpulan data, observasi dan metode penyajian data.

Bab IV Hasil Penelitian Dan Pembahasan

Berisi hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian.

Bab V Kesimpulan Dan Saran

Berisi kesimpulan dari hasil penelitian, saran kepada pihak yang terkait.

Bagian akhir skripsi, berisi daftar pustaka dan lampiran-lampiran.


DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Boeree , C. George (2008), General Psychology: Psikologi Kepribadian,

Persepsi, Kognisi, Emosi, & Perilaku. Penerbit Prismasophie: Yogyakarta.

Chaplin, J.P. (2005), Kamus Lengkap Psikologi. Penerbit PT Raja Grafindo

Persada : Jakarta.

Chazawi, Adami (2002), Pelajaran Hukum Pidana Bagian Stelsel Pidana,

Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum

Pidana. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.


Krahe Barbara (2005), The Psyhology of Aggresion, Penerbit Pustaka

Pelajar : Yogyakarta.

Masyhar , Ali (2009), Gaya Indonesia Menghadang Terorisme, Sebuah

Kritik Atas Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Terorisme Di

Indonesia. Penerbit Mandar Maju : Bandung.

Muladi (2004), Lembaga Pidana Bersyarat. Penerbit Alumni : Bnadung.

Muladi dan Barda Nawawi Arief (2005), Teori-teori dan Kebijakan Pidana

Penerbit PT. Alumni : Bandung.

Mulyadi, Mahmud (2008), Criminal Policy Pendekatan Integral Penal

Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan

Kekerasan. Pustaka Bangsa Press : Medan.

Moeljatno (2003), KUHP: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bumi

Aksara: Jakarta.

Prakoso, Djoko dan Nurwachid (1985), Studi Tentang Pendapat-Pendapat

Mengenai Efektivitas Pidana Mati Di Indonesia Dewasa Ini. Ghalia

Indonesia : Jakarta.

Purnomo, Bambang (1985), Asas-Asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia :

Jakarta.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 ( Uji Materil

Undang-undang No.22 Tahun 1997 Tentang Tindak Pidana narkotika

Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945).

Saleh, Roeslan (1983), stelse Pidana Indonesia. Aksara baru : Jakarta.

Samidja (1991), Pengantar Hukum Indonesia. Amrico : Bandung.


Sudarto (1986), Hukum Dan Hukum Pidana . Penerbit Alumni; Bandung.

Tongat (2004), Pidana Seumur Hidup Dalam Sistem Hukum Pidana Di

Indonesia, Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang : Malang.

Walgito Bimo (2003), Pengantar Psikologi Umum. Penerbit Andi :

Yogyakarta.

Peraturan Perundang-undangan :

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ( Hasil

Amandemen).

Undang-undang No. 5 Tahun 1997 Tentang Tindak Pidana Psikotropika

Undang-undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Tindak Pidana Narkotika.

Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi

Manusia

Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi

Undang-undang No. 15Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme.

Konsep Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tahun 2005.

Situs/ website

http://abolishment.blogspot.com/2008/03/tinjauan-agama-hindu-atas

hukuman-mati.html : Tinjauan Agama Hindu Atas Hukuman Mati,


http://cahpucuk.multiply.com/journal/item/1 : Makalah Dinamika Hak Asasi

Manusia,

http://fatahila.blogspot.com/2008/09/pro-kontra-pidana-mati-di-

indonesia.html : Pro Kontra Pidana Mati,

http://www.reformasikuhp.org/opini/wp-content/uploads/2008/05/mengenai-

hukuman-mati.pdf : Catatan Atas Penggunaan Pidana Mati Di Indonesia,


HALAMAN PENGESAHAN

Semarang, Maret 2010

Yang Mengajukan,

Bornok Mariantha Sidauruk

NIM. 3450406046

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Dra.Indah Sri Utari, S.H.,M.Hum Ali Masyhar, S.H., M.H

NIP.132305995 NIP. 132303557

Mengetahui

Dekan Fakultas Hukum

Drs. Sartono Sahlan, M.H

NIP.131125644

Anda mungkin juga menyukai