&
FENOMENA KEMUSYRIKAN
Abu Ismail
DAFTAR ISI
PENGANTAR PENERJEMAH
DAFTAR ISI
BAGIAN I
KEDUDUKAN TAUHID DALAM ISLAM
A. IMAN KEPADA ALLAH SWT DASAR SELURUH AQIDAH
Beriman Kepada Allah SWT Mencakup
B. TAUHID, ESENSI ISLAM
C. DALIL-DALIL TENTANG WAHDANIYATULLAH
1. Dalil Fitrah
2. Dalil Aqli
Bukti Kesatuan Alam
3. Dalil Naqli
D. TAUHID, INTI IMAN KEPADA ALLAH
BEBERAPA KONSEP TAUHID YANG SEHAT
A. 'Tauhid' Filosof
B. 'Tauhid' Wihdatul Wujud
C. 'Tauhid' Mu'tazilah
D. 'Tauhid' Jabriyyah
E. ‘Tauhid' Nasrani
BAGIAN II
TAUHID YANG DIPERINTAHKAN ISLAM
1. Tauhid Rububiyyah
2. Tauhid Uluhiyyah
BAGIAN III
IBADAH
MAKNA IBADAH
BENTUK DAN MACAM-MACAM IBADAH
1. Do'a
2. Menegakkan Syi'ar Islam
3. Tunduk Dan Patuh Terhadap Syariat Allah SWT
BAGIAN IV
URGENSI TAUHID ULUHIYYAH
A. LA ILAHAILLA-LLAH, 'UNWAM" (LAMBANG)
TAUHID ULUHIYYAH
B. TAUHID, TUGAS PERTAMA PARA RASUL
C. TAUHID, SYI'AR ISLAM
D. TAUHID, HAK ALLAH SWT ATAS HAMBA-NYA
E. TAUHID, RISALAH DALAM KEHIDUPAN MUSLIM
F. TAUHID, RISALAH UMAT ISLAM KEPADA UMAT LAIN
BAGIAN V
BAGAIMANA MEREALISASIKAN TAUHID?
1. MEMURNIKAN IBADAH KEPADA ALLAH SWT SEMATA
a. Tidak Mencari Tuhan lain
b. Tidak Menjadikan Selain Allah SWT Sebagai Wali
c. Tidak Mencari Hakam Selain Allah SWT
2. KUFUR DENGAN THAGHUT
Apa Arti Thaghut?
3. MENGHINDARI KEMUSYRIKAN DAN BERHATI-HATI DARINYA
BAGIAN VI
SYIRIK
MACAM-MACAM SYIRIK
1. SYlRIK AKBAR
A. Syirik Akbar Zhahirun Jaliyyun
B. Syirik Akbar Khafiyyun
2. BENTUK-BENTUK SYIRIK KECIL
1. Bersumpah dengan Selain Allah
2. Memakai Gelang atau Kalung dan Benang
3. Mengalimgkan Tamimah (Jimat)
Tamimah (Jimat) dari Ayat Al Qur'an
4. Ruqyah
5. Mantera, Yang Haram dan Yang Boleh -J
6. Sihir
7. Tanjim Termasuk Sihir
8. Tiwalah: Sihir dan Sihir
9. Perdukunan dan Ramalan
10. Bernadzar Untuk Selain Allah
11. Menyembelih Untuk Selain Allah
12. Thiyarah
BAGIAN VII
ISLAM MENUTUP PINTU-PINTU KEMUSYRIKAN
1. GHULUW DALAM MENGAGUNGKAN NABI SAW
2. GHULUW TERHADAP ORANG-ORANG SHALIH
3. MENGAGUNGKAN KUBURAN
a. Menjadikan Kuburan Sebagai Masjid
b. Shalat Menghadap Kuburan
c. Memberi Penerangan dan Lampu Di Kuburan
d. Membangun dan Mengecat Kuburan
e. Menulisi Kuburan
f. Meninggikan Kuburan
g. Menjadikan Kuburan Sebagai Perayaan
HIKMAH PERINGATAN INI
4. MEMINTA BERKAH KEPADA PEPOHONAN, BEBATUAN DAN SEMACAMNYA
5. KATA-KATA YANG MENGESANKAN SYIRK!
BAGIAN VIII
DAMPAK TAUHID DAN SYIRIK DALAM KEHIDUPAN
A. DAMPAK TAUHID DALAM KEHIDUPAN
1. Kemerdekaan Manusia
2. Pembentukan Pribadi Yang Harmonis
3. Tauhid, Sumber Rasa Aman
4. Tauhid, Sumber Kekuatan jiwa
5. Tauhid, Landasan Persaudaraan Dan Persamaan
"Akan tetapi sesungguhnya kebaikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab dan nabi-nabi... " (al-Baqarah: 177)
"Wahai orang-orang yang beriman! Tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan
sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-
Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat
sejauh-jauhnya (an-Nisa': 136)
Dalam sebuah hadits masyhur, saat ditanya malaikat jibril -'alaihis-salam- tentang
iman, Rasulullah bersabda:
"Iman adalah kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya, hari kemudian, dan beriman kepada Qadar, baik dan buruknya” (HR.
Muslim)
Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa beriman kepada Allah swt adalah dasar atau
pangkal, dan setiap rukun aqidah yang lain bersandar kepadanya dan mengikutinya.
Setelah beriman kepada Allah swt kamu beriman kepada malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, pertemuan, penghitungan amal dan pengadilan-Nya,
serta Qadha' dan Qadar-Nya.
Beriman kepada semua ini merupakan cabang dari iman kepada Allah dan berdiri
di atasnya.
Tidak tergambar dalam pikiran sehat, adanya Iman kepada seorang utusan (rasul)
tanpa adanya iman kepada yang mengutus (Allah), tidak pula terbayang adanya iman
kepada suatu balasan, dan penghitungan amal, tanpa adanya iman kepada yang memberi
balasan dan yang menghitung (Allah).
Beriman kepada Allah swt mencakup:
1. Beriman kepada wujudullah.
2. Beriman kepada keesaan-Nya dalam Rububiyah dan Uluhiyyah-Nya.
Beriman kepada Asma-ul Husna yang dimiliki Allah, dan kepada sifat-sifat-Nya yang
tinggi yang menunjukkan secara jelas bahwa Dia memiliki segala sifat sempurna yang
sesuai dengan-Nya dan Dia disucikan dari segala sifat yang mengandung kekurangan.
Telah terbukti dengan jelas dalam kajian terdahulu (dalam buku Eksistensi Allah)
bahwa wujud Allah swt adalah hakikat yang tidak diragukan sedikitpun, bahkan ia adalah
hakikat yang paling jelas secara mutlak. Hal ini dibuktikan oleh:
1. Fitrah sehat
2. Akal jernih, dan diperkuat oleh
3. Cendekiawan yang dalam ilmunya, melalui apa saja yang mereka saksikan pada alam
semesta, dan pada diri mereka, berupa keajaiban ciptaan Allah, kesempurnaannya,
ketentuan-ketentuan yang kokoh, dan petimjuk-Nya.
Jika hakikat besar ini tidak jelas bagi sebagian orang, itu hanyalah seperti peribahasa
yang mengatakan: "karena sangat jelasnya, menjadi tidak jelas".
Jika sebagian yang lain menentang fitrah semua orang, melawan logika akal dan ilmu
pengetahuan dan mengingkari Allah swt, mereka itu hanyalah kelompok nyeleneh yang
justru memperkuat kaidah, bukan menafikannya.
B. TAUHID, ESENSI ISLAM
Sebenarnya, Islam tidak memfokuskan perhatiannya kepada keharusan beriman
kepada eksistensi Allah sebab ia adalah sesuatu yang dipastikan fitrah manusia. Akan
tetapi, yang sangat ditekankan Islam adalah aqidah yang banyak manusia tersesat jauh
dalam masalah ini. Aqidah itu adalah aqidah tauhid, yang merupakan inti seluruh aqidah
Islam dan ruh eksistensi keislaman. Yaitu: beriman kepada adanya satu Dzat yang berhak
disembah, Pemilik tunggal hak penciptaan dan perintah, kepada-Nya tempat kembali,
Dia-lah pencipta segala sesuatu, pengatur segala urusan, Dia-lah satu-satunya yang
berhak disembah; tidak boleh sama sekali ditentang, disyukuri; tidak boleh sama sekali
dikufuri dan ditaati; tidak boleh sama sekali didurhakai.
"Dia-lah Allah Tuhan kamu, tidak ada Tuhan selain Dia, Pencipta segala sesuatu, maka
sembahlah Dia, dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu, Di tidak dapat dicapai oleh
penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan, dan Dia-lah yang
maha Halus lagi Maha Mengetahui". (al-An'am:102-103)
Pada saat Islam datang, kemusyrikan sedang menancapkan kuku-kukunya di
seluruh penjuru dunia, tidak ada yang meng-Esa-kan Allah dalam peribadatan kecuali:
1. Beberapa orang dari orang-orang hanif yang tinggal di semenanjung Arabia, yang
menyembah Allah sesuai sisa-sisa ajaran Nabi Ibrahim alaihis-salam yang masih
murni.
2. Atau sisa-sisa dari Ahlul Kitab, yang selamat dari pengaruh pemalsuan paganisme yang
menghancurkan agama-agama kitabi (Yahudi dan Nasrani).
Sebagai contoh kecil betapa kronisnya musyrikan yang ada, dan sekedar untuk kita
ketahui:
1. Bangsa Arab, pada masa jahiliyyah, telah tenggelam dalam paganisme sampai-sampai
Ka'bah yang dulu dibangun oleh Nabi penghancur berhala (Nabi Ibrahim 'alaihis-salam)
dengan tujuan agar hanya Allah semata yang disembah, saat itu, di dalam dan di
sekelilingnya terdapat tiga ratus enam puluh (360) berhala. Belum lagi, di setiap rumah
penduduk Makkah, terdapat berhala yang disembah oleh penghuninya.
Bahkan menurut riwayat Imam Bukhari rahimahullah, dari Abu Raja' al-'Utharidi,
disebutkan:
"Dari Abu Rajai al-Utharidi, ia berkata: kami dulu menyembah batu, jika kami dapati ada
bitu lain yang lebih baik, batu sembahan itu kami buang dan kami ambil batu yang lebih
baik itu, jika tidak kami temukan batu, kami kumpulkan segunduk pasir, lalu kami
datangkan kambing, kami perah kambing itudiatasnya lalu kami thowaf di sekelilingnya”
(HR. Bukhari)
Bahkan mereka membuat 'tuhan' dari korma, dan seringkali mereka
membawanya dalam bepergian. Jika bekalnya habis, dan rasa lapar tidak tertahankan,
tidak ada pilihan lain kecuali makan 'tuhan' itu.
Kepada 'tuhan' semacam inilah al-Quran mengisyaratkan dalam firman-Nya:
"Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya
kembali dari lalat itu, amat lemahlah yang menyembah, dan amat lemah (pulalah) yang
disembah " (al-Hajj: 73)
India, pada abad ke enam Masehi, paganisme telah sampai ke puncaknya, sehingga
diperkirakan jumlah 'tuhan' mereka mencapai 330.000.000 (tiga ratus tiga puluh juta!)
Agama samawi pun, pada saat itu, tidak luput dari pengaruh paganisme, sehingga
kejernihannya terkotori.
Allah berfirman:
"Orang-orang Yahudi berkata: 'Uzair itu putera Allah dan orang-orang Nasrani berkata:
'al-Masih itu putera Allah'". (at-Taubat: 30)
Menurut orang-orang Nasrani: Al-Masih adalah Tuhan kebenaran dari Tuhan
kebenaran!
Bentuk kemusyrikan seperti ini tersebar pada banyak bangsa, yaitu anggapan
bahwa Allah mempunyai putera atau puteri yang disembah selain Allah, atau bersama
Allah.
1. Seperti yang diklaim oleh bangsa India terhada Krisna atau Budha.
2. Atau yang diklaim bangsa Arab, bahwa para malaikat adalah puteri-puteri Allah. Allah
berfirman
"Dan mereka berkata: "Tuhan Yang maha pemurah telah mengambil (mempunyai)
anak” Maha suci Allah, sebenarnya (malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba
yang dimuliakan, mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan, dan mereka
mengerjakan perintah-perintah-Nya, Allah mengetahui segala sesuatu yang di
hadapan mereka (malaikat), dan yang di belakang mereka, dan mereka tidak
memberi syafa'at melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu
berhati-hati karena tajut kepada Nya". (al-Anbiya': 26 - 28)
Seorang ulama' fisika menemukan bahwa struktur atom persis sama dengan struktur
tata surya-tata surya yang ada.
Di dalam ilmu fisika, ada satu hokum umum yang disebut Qanun az-Zaujiyyah (hokum
berpasangan) maksudnya makhluk-makhluk itu ada secara berpasang-pasangan.
Hukum ini telah dikenal sejak dahulu sebagai hukum yang berlaku pada manusia
dan binatang dalam bentuk jantan dan betina, juga berlaku pada sebagian tumbuh-
tumbuhan, misalnya pada kurma. Lalu ilmu pengetahuan menemukan bahwa pada
semua tumbuh-tumbuhan ada jantan dan betina.
Bahkan pada benda-benda matipun hokum ini juga berlaku, yaitu dalam bentuk
ion positif dan ion negatif, pada Iistrik misalnya, dan yang sejenisnya. Bahkan, atom,
yang merupakan satuan terkecil dalam struktur alam, terdiri dari ion positif (proton)
dan ion negatif (elektron) disamping neutron. Penemuan ilmiah modern ini menjadi
bukti kebenaran kaidah yang ditetapkan dalam Al Quran sejak empat belas (14) abad
yang lalu, misalnya firman Allah:
“Mahasuci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari
apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak
mereka ketahui". (Yasin: 36)
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat
akan kebenari Allah". (Yasin: 40)
Kata Kulli Syaiin pada ayat tersebut adalah hakikat (menunjukkan arti
sebenaranya) bukan majaz (arti kiasan, tidak sebenarnya) juga bukan aghlabiyah
(hanya menunjukkan pada ghalibnya saja).
Diantara dalil (bukti) kesatuan alam adalah adanya saling bantu membantu, saling
koordinasi dan satu irama diantara bagian-bagiannya, sebagaimana yang kita
saksikan, sehingga setiap bagian menjalankan fungsinya dengan rapi dan teratur
tanpa berbenturan dengan bagian-bagian lain, atau mengganggu perjalanannya, atau
berbuat aniaya terhadapnya. Bahkan sebaliknya, ia memberikan apa yang dimiliki
kepada bagian lain yang membutuhkan, dan mengambil dari yang lain sebagai
pengganti dari yang hilang dari dirinya, sebagaimana timbal balik antara alam
binatang dengan alam tumbuhan. Adakah kesepakatan bilateral untuk merealisasikan
timbal balik dhoruri ini bagi kehidupan keduanya? Ataukah disana ada Pengelola Yang
Maha Tinggi yang mengatur hubungan antara dua alam dengan pola hubungan yang
sangat menakjubkan ini?
Siapakah yang mengatur hubungan antara matahari-bumi, bumi-bulan, bulan-
matahari, dan planet-planet dalam tatasurya matahari? antara tatasurya satu dengan
jutaan tatasurya lain dalam galaksi kita, dan antara satu galaksi dengan jutaan galaksi
lainnya, dimana benda-benda itu saling bekerja sama dan tidak saling bertubrukan?
Dan semuanya berjalan dengan perhitungan dan neraca (keseimbangan)?
"Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat
mendahului siang, dan masing-masing beredar pada garis edarnya (Yasin: 40)
Kesatuan alam yang dapat disaksikan dengan mata kepala dan mata hati ini
sungguh merupakan bukti nyata atas kemahaesaan Penciptanya, disamping juga
merupakan bukti atas eksistensi-Nya.
Jika di balik alam semesta ini terdapat lebih dari satu Pencipta, pasti sistemnya
kacau balau, keseimbangannya rusak, dan kita bisa melihat bagaimana pengaruh
masing-masing pencipta pada ciptaan dan kekuasaannya. Dengan demikian, terjadi
simpang siur pada sistem alam semesta, dan kontradiksi pada sunnah penciptaanya,
sebagai konsekwensi logis dari perbedaan kehendak para Pencipta. Dan pada
gilirannya, alam semesta ini pasti akan hancur.
Inilah bukti yang diisyaratkan oleh al-Quran dalam firman-Nya:
"Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu
telah rusak bunasa. Maka Mahasuci Allah yang mempunyai Arsy daripada apa yang
mereka sifatkan ". (al-Anbiya:22)
"Allah tidak sekali-kali mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain)
beserta-Nya, kalua ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan
mengalahkan sebagian yang lain, Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu".
(al-Mukminun: 91)
Pendapat yang mengakui keesaan Allah yang Mahatinggi -apalagi telah dibuktikan
oleh kesatuan alam semesta- adalah pendapat yang sesuai dengan logika dan akal
sehat manusia. Akal manusia membimbing kepada kesimpulan adanya kesatuan
dibalik kemajemukan, dan menuntunnya berjalan dari berbagai sebab menuju kepada
satu sebab, yaitu sababul asbab atau causa prima (penyebab pertama yang tidak
disebabkan lagi). Inilaln yang menyebabkan sebagian filosof mengidentifikasikan
Pencipta alam dengan istilah al-'illat al-Ula (causa prima)
3. Dalil Naqli
Disamping dalil fitri dan aqli, terdapat pula dalil-dalil yang bersumber dari wahyu
(dalail sam'iyyah), yang disampaikan dari generasi ke generasi bersumber dari kitab-kitab
Allah dan Rasul-Nya kepada berbagai bangsa dengan segala perbedaan tempat dan
zaman mereka, yaitu berupa:
Seruan untuk beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan
seruan untuk mengesakan peribadatan untuk Allah semata.
Pengingkaran para rasul 'alaihimus-salam kepada kaumnya yang menyekutukan Allah
dengan sesuatu yang tidak memiliki kekuasaan apapun.
Al-Qur'an, dokumen ketuhanan yang terjaga dan cermin petunjuk langit untuk bumi,
telah menceritakan kepada kita tentang para rasul 'alaihimus-salam, bahwa semuanya
diutus dengan membawa aqidah.
Itulah hal yang dijadikan argumentasi Al-Quran kepada kaum musyrik, orang-orang
yang menyembah Allah dan menyekutukan-Nya dengan tuhan-tuhan lain. Al-Qur'an al-
Karim mengatakan bahwa mereka tidak memiliki satu dalilpun, baik aqli ataupun naqli.
Marilah kita simak petikan dari surat Al-Anbiya yang menceriterakan kaum musyrikin
dalam gaya bahasa mengecam dan mengingkari mereka:
"Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan dari bumi, yang dapat mmghidupkan (orang-
orang mati)? Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah
keduanya itu telah rusak binasa”. (al-Anbiya': 21 - 22)
Diperintahkan Allah
Allah membangun agama Nyadiatas Nya
Allah menurunkan kitab-Nya dengan menjadikannya sebagai muatan utama
Allah mengutus rasulnya dengan membawanya
Allah mengaitkan kebaikan dunia dan akhirnya dengan realisasi dan pemurniannya
Allah menjadikan surge bagi yang memilikinya (tauhid) dan neraka bagi lawan dan
musuh-musuhnya.
Banyak golongan yang mengatakan bahwa dirinya ber-tauhid, dan mengklaim bahwa
apa yang mereka miliki sebagai tauhid murni, sedangkan yang dimiliki kelompok lainya
tidak sah (batil). Klaim mereka terhadap tauhid ini persis ungkapan seorang penyair :
Semua orang mengklaim ada hubungan dengan laila (wanita cantik menawan)
Padahal, Laila tidak mengakui ada hubungan dengan siapa- siapa.
D. Tauhid' Jabriyyah
Kebalikan dari 'tauhid pincang' diatas, ada bentuk ‘tauhid’ lain, yaitu 'tauhid
jabriyyah'. Inti ajaranya adalah:
1. Hanya Allah sajalah yang menciptakan dan berbuat (melakukan pekerjaan).
2. Para hamba (makhluk), pada hakikatnya, bukanlah yang berbuat (melakukan
pekerjaan) bukan pula memunculkan perbuatan, bukan pula yang memiliki
kemampuan untuk berbuat.
3. Perbuatan para hamba yang bersifat ikhtiyari (atas kehendak mereka), tidak lebih
hanyalah seperti gerakan pohon saat ditiup angin.
4. Allah tidak melakukan perbuatan karena adanya hikmah dan ghayah (tujuan) yang
diinginkan.
5. Pada makhluk tidak terdapat kekuatan, watak, insting, dan sebab, akan tetapi
semuanya tidak berjalan kecuali karena adanya 'kehendak murni’ (kehendak Allah),
yang menjadikan sesuatu hal lebih kuat daripada hal lainnya, tanpa adanya sesuatu
(selain kehendak Allah) yarg menjadikan salah satunya lebih berat, juga tidak ada
hikmah dan sebab (selain kehendak Allah) sama sekali.
E. Tauhid' Nasrani
Jangan kita lupakan pula bentuk tauhid lain, yaitu tauhid Nasrani. Mereka mengklaim
bahwa agama mereka adalah agama tauhid, dan bahwasanya mereka tidak keluar dari
lingkaran 'tauhid', meskipnun meyakini dan berkata: "Allah swt adalah trinitas, terdiri dari
Bapak, anak, dan Ruh Qudus. Mereka satu keluarga, atau satu perseroan suci, terdiri dari
'tuhan bapak’, ‘tuhan anak', dan oknum ketiga adalah ruh qudts.
Jika ditanya, bagaimana kalian bertauhid padahal kalian mengatakan 'tuhan' ada tiga?
Mereka menjawab "Tiga dalam satu, dan satu adalah tiga. Tidak ada tempat bagi logika
dan akal dalam aqidah". Motto mereka adalah: "Yakinilah dan tutuplah matamu !!".
Melihat banyaknya konsep 'tauhid' ini perlu adanya penjelasan dan penjernihan
pengertian tauhid sebagaimana yang diserukan Islam, bahkan ia adalah kewajiban utama
dan paling urgen, sebab diatas dasar tauhid inilah Islam membangun ajaran-ajarannya
sehingga jelaslah kebenaran dari kebatilan.
BAGIAN II
TAUHID YANG DIPERINTAHKAN ISLAM
Tauhid yang diperintahkan Islam ada dua, yaitu:
1. I’tiqodi 'ilmi (keyakinan ilmiyyah).
2. 'Amali suluki (amal dan perilaku).
Dengan kata lain, dua tauhid yang tidak dapat dipisah-pisahkan, yaitu:
1. Tauhid fil ma'rifah wal itsbat wal i'tiqad (tauhid dalam pengetahuan, penetapan, dan
keyakinan).
2. Tauhid fit-thalab wal qashdi wal iradah (tauhid dalam mencari atau memohon, tujuan
dan kehendak).
Iman seseorang tidak diterima di sisi Allah, selama belum menegakkan tauhid dalam:
1. Ilmu dan keyakinan; dengan beriman bahwa Allah Maha Esa, dalam Dzat, sifat, dan
perbuatan-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada yang menyerupai-Nya, tidak
beranak dan tidak diperanakkan.
2. Tujuan dan perbuatan; dengan mengesakan Allah melalui beribadah yang sempurna,
ketaatan yang mutlak, merendahkan diri kepada, kembali, pasrah dan tawakkal, takut,
berharap kepada-Nya dan seterusnya.
Tauhid dengan arti yang pertama, tersurat dan tersirat di dalam surat:
1. Al-Ikhlash [112].
2. Awal surat Ali Imran [3].
3. Awal surat Thaha [20],
4. Awal surat Alif Loam Miim Sajdah [32] -
5. Awal surat al-Hadid [57].
6. Akhir surat al-Hasyr [59]. Dan lain-lain
Tauhid dengan arti kedua, tersurat, tersirat dan diserukan oleh:
1. Surat al-Kafirun [109].
2. Beberapa ayat dari surat al-An'am [6].
3. Awal surat al-A'raf [7].
4. Akhir surat al-A'raf [7].
5. Awal surat Yunus [10].
6. Pertengahan surat Yunus [10].
7. Akhir surat Yunus [10].
8. Awal surat az-Zumar [39].
9. Akhir surat az-Zumar [39]. Dan Iain-lain.
Bahkan Ibnul Qayyim berkata: "Setiap surat Al-Quran memuat dua bentuk tauhid ini".
Banyak para penulis dahulu dan kini menamakan bentuk tauhid yang pertama dengan
tauhid rububiyah, dan yang kedua dengan tauhid ilahiyyah atau uluhiyyah.
1. Tauhid Rububiyyah
Artinya: Keyakinan bahwa Allah swt adalah Rabb seluruh langit dan bumi, Pencipta
siapa dan apa saja yang ada di dalamnya, Pemilik segala perintah dan urusan di alam
semesta, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kerajaan-Nya, tidak ada yang menolak
ketetapan-Nya, Dia-lah satu-satunya Pencipta segala sesuatu, Pemberi rizki semua yang
hidup, Pengatur segala urusan dan perintah, Dia-lah satu-satunya yang Merendahkan dan
Meninggikan, Pemberi dan Penghambat, Yang menimpakan bahaya dan yang memberi
Memberi Manfaat, Yang memuliakan dan Yang Menghinakan, Siapa saja dana pa saja
selain Dia tidak memiliki kemampuan memberi manfaat atau menimpakan bahaya, baik
untuk diri sendiri atau untuk orang lain, kecuali dengan izin dan kehendak-Nya.
Bentuk tauhid semacam ini tidak ada yang mengingkari selain penganut faham
materialis-Atheis yang mengingkari wujud Allah swt, seperti kaum Dahriyyun pada masa
lalu dan Komunisme pada masa sekarang.
Termasuk pengikut faham materialis adalah penganut ajaran Dualisme, yaitu orang-
orang yang meyakini bahwa alam memiliki dua tuhan, tuhan cahaya dan tuhan kegelapan.
Adapun umumnya orang-orang yang menyekutukan Allah (musyrikin), seperti bangsa
Arab, mereka mengakui tauhid ini dan tidak mengingkarinya, sebagaimana diceritakan al-
Qur'an:
"Dan sesunggahnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menjadikan
langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” tentu mereka akan menjawab:
"Allah", (al-Ankabut: 61)
"Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menurunkan
air dari langit, lalu menghidupkan dari air itu bumi sesudah matinya?". Tentu mereka akan
menjawab: "Allah”. (al-Ankabut: 63)
"Katakanlah: "Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu
mengetahui?” Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah SWT”. Katakanlah: "Maka
apakah kamu tidak ingat?”. Katakanlah: "Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan
Yang Empunya 'Arsy yang besar?". Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah".
Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak bertaqwa?". Katakanlah "Siapakah yang di
tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak
ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?". Mereka akan
menjawab: "Kepunyaan Allah". Katakanlah: “(kalua demikian), maka dari jalan manakah
kamu ditipu?” (al-Mukminun)
Itulah jawaban orang-orang yang menyekutukan Allah. Jawaban ini menunjukkan
bahwa mereka mengakui Rububiyyah Allah swt terhadap alam semesta, dan mengakui
pengaturan-Nya atas urusan alam semesta. Sebagai konsekwensi dan implikasi dari
pengakuan terhadap Rububiyyah Allah atas alam semesta, mestinya mereka hanya
menyembah Allah dan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya, akan tetapi
mereka mengingkari bentuk lain dari tauhid ini, yaitu tauhid ilahiyyah atau uluhiyyah.
2. Tauhid Uluhiyyah
Artinya: Mengesakan Allah dalam beribadah, tunduk, dan taat secara mutlak. Tidak
disembah (diibadati) kecuali Allah swt semata, tidak sesuatupun di bumi atau di langit
disekutukan dengan-Nya.
Tauhid tidak akan terealisir, kecuali dengan menggabungkan tauhid uluhiyyah kepada
tauhid rububiyyah. Tauhid rubibiyyah saja tidak cukup, sebab:
1. Bangsa Arab yang musyrik telah mengakui tauhid rububiyyah, meskipun demikian,
pengakuan merekan kepada tauhid rububiyyah ini tidak menjadikan mereka masuk
Islam, sebab mereka menyekutukan bersama Allah sesuatu yang tidak memiliki
kekuasaan apa-apa, mereka menjadikan bersama Allah tuhan-tuhan lain, mereka
mengira bahwa tuhan-tuhan itu mendekatkan mereka kepada Allah, atau memberi
syafa'at kepada mereka di sisi-Nya.
2. Orang Nasrani tidak mengingkari bahwa Allah adalah Pencipta langit dan bumi, akan
tetapi mereka menyekutukan Isa al-Masih dengan Allah swt, mereka menjadikan
tuhan lain selain Allah.
Al-Qur'an menilai semua itu sebagai kafir, yang diharamkan masuk surga, dan mereka
kekal di neraka.
Sejak zaman dahulu, manusia tersesat dari tauhid ini, sehingga mereka menyembah
berbagai macam tuhan selain Allah:
1. Kaum Nuh 'alaihis-salam menyembah: Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya'uq, dan Nasr.
2. Kaum Ibrahim 'alaihis-salam menyembah patung.
3. Mesir kuno menyembah anak sapi.
4. Bangsa India menyembah sapi.
5. Bangsa Saba' menyembah matahari.
6. Ash-Shsbi-un menyembah bintang dan planet.
7. Majusi menyembah api.
8. Bangsa Arab menyembah berhala dan batu.
9. Nasrani menyembah Isa al-Masih dan ibunya (Maryam), mereka juga menyembah
para pendeta dan rahib selain Allah.
Semuanya adalah musyrik, sebab mereka tidak mengesakan Allah swt dalam
beribadah. Tidak ada sesuatupun selain Allah yang berhak untuk diibadahi.
Bila tauhid uluhiyyah pengertiannya adalah tauhidullah dalam beribadah, maka
apakah ibadah itu?
BAGIAN III IBADAH
MAKNA IBADAH
Ibadah adalah kata yang mengandung dua arti yanga sudah bersenyawa menjadi satu,
yaitu: puncak ketundukan dibarengi dengan puncak cinta.
Ketundukan yang sempurna yang sudah bersenyawa dengan cinta yang sempurna
itulah ibadah.
Cinta tanpa tunduk, dan tunduk tanpa cinta tidak mewujudkan arti ibadah. Begitu juga
setengah-setengah tunduk dipadukan dengan setengah-setengah cinta belum
merealisasikan ibadah, akan tetapi ibadah memerlukan keutuhan tunduk berbarengan
dengan keutuhan cinta.
Bagi orang yang beriman kepada Allah sebagai Rabb, tidak boleh mengambil sistem,
hukum, nilai dan undang-undang buatan manusia untuk diterapkan dalam kehidupannya
tanpa adanya kekuasaan dari Allah, sebab ini semua adalah ibadah.
BAGIAN IV
URGENSI TAUHID ULUHIYYAH
Bentuk tauhid ini (tauhid uluhiyyaH) adalah yang paling agung dan paling penting,
sebab;
1. Kepada tauhid inilah para rasul 'alaihimus-salam mencurahkan sebagian besar
perhatiannya, sebagaimana akan dijelaskan lebih lanjut
2. Tauhid inilah yang pertama kali ditangkap oleh pemahaman manusia pada saat
kalimat tauhid diucapkan.
3. Untuk membawa tauhid inilah Allah:
a. Mengutus para rasul-Nya.
b. Menurunkan kitab-kitab-Nya.
4. Untuk menegakkan tauhid ini Allah menampakkan tanda-tanda kekuasaan-Nya
kepada manusia, tanda-tanda yang terbentang di seluruh penjuru alam dan pada diri
mereka.
5. Karena tauhid ini, maka ada:
Hari kiamat.
Pembagian catatan amal.
Penimbangan amal.
Surga dan neraka, dan manusia terbagi menjadi dua: sengsara dan bahagia,
bahagia di surga dan sengsara di neraka.
"Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu (Muhammad saw) melainkan
Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku,
maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku".
Karena itu kita temukan bahwa seruan pertama kali para rasul 'alaihimus-salam kepada
kaumnya adalah:
"Wahai kaumku! Sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya". (al-
A'raf: 59)
Demikianlah seruan yang disebutkai al-Qur’an dari nabi Nuh, Hud, Shalih, Syu'aib dan
lain-lain.
Demikianlah kita menemukan nabi Nuh 'alaihis-salam, rasul pertama kepada kaum
musyrikin, berkata kepada kaumnya:
“Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, agar kamu tidak
menyembah selain Allah". (Hud: 25 - 26)
Nabi Isa bin Maryam 'alaihis-salam, yang di kemudian hari dijadikan tuhan oleh
kaumnya, berkata:
“Hai bani Israil! Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu, sesungguhnya orang yang
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya
surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang
penolongpun". (al-Maidah: 72)
Dan da'wah Khatamun-nabiyyin (penutup para nabi), nabi Muhammad saw, kepada
tauhid dan menjauhi Taghut adalah yang paling nyata, paling kuat, paling mendalam, dan
paling langgeng, sebagaimana yang tampak jelas pada:
Al-Qur'an dan as-Sunnah.
Syi'ar, syari'at, adab dan akhlaq Islam.
Proklamasi (pernyataan) tauhid ini menjadi syiar harian, bahkan lebih dari itu, sebab
saat dalam shalat fardhu saja seorang muslim mengulanginya sembilan (9) kali, yaitu saat
duduk tahiyyat (tasyahud) dan lima kali (5) dalam iqamat. Islam tidak mencukupkan
sampai disitu, bahkan ia mensyari'atkan adzan setiap hari lima kali untuk mengumumkan
kepada dunia dari atas menara-menaranya dengan suara lantang: “Aku bersaksi bahwa
tidak ada Tuhan (yang hak) selain Allah.
Termasuk keindahan Islam, bahwa ia men-sunnahkan kepada seorang bapak muslim
untuk menyambut anaknya yang baru Iahir dengan adzan di telinga kanannya, agar
supaya kalimat tauhid menjadi yang pertama kali memasuki telinganya sebelum suara-
suara yang lain.
Jika ia hidup di dunia sesuai dengan yang telah ditentukan, lalu tibalah maut
kepadanya, maka para wali dan kerabatnyn hendaknya men-talqin-nya dengan kalimat
tauhid “laa ila ha illallah”
Dengan demikian, seorang muslim pertama kali menghadapi cahaya kehidupan
dengan kalimat tauhid, dan terakhir kali ia meninggalkan dunia dengan kalimat tauhid
pula, dan antara masa bayi sampai kematiannya tidak memiliki tugas selain menegakkan
dan menyeru kepada tauhid.
D. TAUHID, HAK ALLAH ATAS HAMBA-NYA
Diantara hal yang menegaskan makna ini ialah bahwa Rasulullah saw menjelaskan,
tauhid adalah hak Allah atas hamba-Nya, mereka tidak boleh mengurangi atau
mengabaikannya.
Dalam hadits Bukhari dan Muslim disebutkan:
"Dari Mu'adz rodhiyallahu 'anhu, ia berkata: saya membonceng Rasulullah saw di atas
keledai bernama 'Ufair, lalu beliau bersabda: "Hai Muadz! Tahukah kamu hak Allah atas
hamba-Nya dan hak hamba atas Allah?" Aku menjawab: "Allah dan Rasulnya lebih tahu".
Nabi saw bersabda: "Hak Allah atas hamba adalah, hendaknya mereka menyembah Allah
dan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya, sedangkan hak hamba atas Allah adalah:
Allah tidak akan menyiksa orang yang tidak menyekutukan sesuatu dengan Nya”. Lalu
aku berkata: "Wahai Rasulullah! Tidakkah aku berikan khabar gembira ini kepada orang
banyak?” Beliau bersabda: "Jangan berikan khabar gembira ini kepada mereka, nanti
mereka malah tidak mau berusaha". (Muttafaq 'alaih)
Rahasia tentang hak ini adalah, Allah telah menciptakan manusia dari tiada, lalu
membekalinya dengan kenikmatan yang tak terhingga. Dia menundukkan matahari,
bulan, malam dan siang untuk melayani manusia. Dia memberikan akal kepadanya dan
mengajarkan kepadanya kepandaian berbicara. Karena itu, sebagai hak Pencipta, Pemberi
rizki, Pemberi nikmat, Pengajar, Pengasih dan Penyayang adalah disyukuri; tidak diingkari,
diingat; tidak dilupakan, dan ditaati; tidak didurhakai.
Karena itu penjelasan dan penegasan hak ini merupakan:
1. Wasiat pertama al-Qur'an pada ayat yang disebut sebagai ayatil huquq al-asyrah
(ayat-ayat yang menjelaskan sepuluh hak), yaitu pada firman Allah:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.
Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, ... (an-Nisa': 36)
2. Wasiat pertama pada ayat-ayat yang disebut sebagai ayatil washaya al-asyr (ayat-ayat
yang memuat sepuluh wasiat) yaitu pada firman Allah:
Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu,
yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah
kepada kedua orang ibu-bapa...". (al-An'am: 151 dst)
3. Wasiat pertama dalam ayat-ayat yang disebut sebagai ayatil Hikam (ayat-ayat yang
berisi tentang beberapa hikmah) yaitu pada firman Allah:
“Janganlah kamu adakan tuhan yang lain disamping Allah, agar kamu tidak menjadi
tercala dan tidak ditinggalkan (Allah). Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya
kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu
bapakmu dengan sebaik-baiknya…(al-Isra': 22-23)
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menciptakan mereka agar beribadah kepada-Nya
semata, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Inilah tujuan dan hikmah penciptaan mereka. Dia
tidak menciptakan agar mereka makan dan bersenang-senang sebagaimana binatang,
tanpa mengenal Allah. Akan tetapi agar mereka meng dnahormati Allah dengan
penghormatan yang semestinya, dan meng-khususkan ibadah kepada-Nya dengan penuh
harap dan khusyu'.
Barangsiapa sepanjang usianya tidak merealisasikan tujuan keberadaannya dan
menjalankan fungsi hidupnya, yaitu beribadah kepada Allah semata, maka ia telah
terjatuh dari peringkat mukallaf yang berakal dan menjadi seperti binatang atau bahkan
lebih sesat.
"Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-
orang yang Bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:
Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain
Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu kebencian
buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja". (al-Mumtahanah: 4)
Dengan demikian kita mengetahui bahwa tauhid yang benar tidak sempurna kecuali
jika menggabungkan antara beriman kepada Allah dan beribadah kepada-Nya dengan
pengingkaran terhadap thaghut dan berlepas diri dari wali-walinya. Karena itu,
sebagaimana telah kita ketahui, seruan para rasul kepada kaumnya adalah:
"Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah Thaghut” (an-Nahl: 36)
Apa arti Thaghut?
Secara bahasa, ia berasal dari kata thugh-yan, artinya melampaui batas.
Salaf berbeda dalam mengungkapkan definisi dan pengertian thaghut:
1. Umar bin al-Khaththab radhiyallahu 'anhu berkata: "Thaghut adalah setan".
2. Jabir radhiyallahu 'anhu berkata: "Thaghut adalah dukun-dukun tempat turunnya
setan".
3. Imam Malik rahimahullah berkata: "Segala sesuatu yang disembah selain Allah".
Pendapat-pendapat ini hanyalah menyebutkan contoh-contoh thaghut bukan
menghitung keseleluruhan cakupannya.
Definisi yang paling pas adalah yang dikemukakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, ia
berkata: "Thaghut adalah segala sesuatu yang oleh seorang hamba dilampaui batasnya,
baik berupa sembahan, sesuatu yang diikuti, atau sesuatu yang ditaaati”
Jadi thaghut setiap kaum adalah orang yang menjadi tempat berhukum selain Allah
dan Rasul-Nya, atau yang disembah selain Allah, atau yang diikuti tanpa bashirah dari
Allah, atau yang ditaati dalam hal-hal yang diketahui bertentangan dengan ketaatan
kepada Allah.
Itu semua adalah thaghut dunia. Jika Anda amati mereka, juga sikap manusia terhadap
mereka, pasti Anda mengetahui bahwasanya kebanyakan dari mereka berpaling dari
penyembahan terhadap Allah kepada penyembahan thaghut dan dari taat kepada Rasul-
Nya kepada mentaati thaghut dan mengikutinya.
Alasan ini muncul karena ketidaktahuan mereka tentang Allah. Mereka mengira Allah
seperti raja tiran dan penguasa kejam, tidak mungkin dicapai kecuali lewat perantara dan
pemberi syafa'at. Ini persis seperti asumsi yang menjerumuskan orang-orang yang
meyekutukan Allah pada zaman dahulu, saat mengatakan:
"Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami
kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". (az-Zumar:3)
"Mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan
kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfa'atan, dan mereka berkata:
"Mereka itu adalah pemberi syafa'at kepada kami di sisi Allah". (Yunus: 18)
Sekalipun mereka tidak pernah berkeyakinan bahwa sembahan dan berhala mereka
bisa mencipta atau memberi rizki, atau menghidupkan atau mematikan, sebagaimana
firman Allah:
"Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan
langit dan bumi?”, niscaya mereka akan menjawab: "Semuanya diciptakan oleh Yang
Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui (az Zukhruf: 9)
"Katakanlah: "Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau
siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah
yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang
hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?”. Maka mereka akan menjawab:
"Allah". Maka katakanlah: “Mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?”. (Yunus:
31)
Bersamaan dengan keyakinan ini -keyakinan bahwasanya Allah-lah Pencipta langit
dan bumi, Dial ah Pemberi rizki, Pengatur, Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan-
mereka juga meyakini berhala -sebagai perantara dan pemberi syafa'at di sisi Allah-
bersamaan dengan keyakinan seperti ini, al-Qur’an memvonis mereka dengan sebutan
Syirik dan menamakan mereka sebagai Musyrikin. Bahkan al-Qur’an merintahkan untuk
memerangi mereka, sehingga mereka bertaubat dan berkata La Ilaha Illallah, dan
barangsiapa telah mengucapkannya, maka darah dan hartanya terpelihara kecuali
dengan hak Islam.
Allah Maha Kaya (tidak membutuhkan) perantara dan pemberi syafa'at, Dia lebih
dekat kepada hamba-Nya dari pada urat nadi, sebagaimana dalam firman-Nya:
"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya aku adalah dekat". (al-Baqarah: 186)
Pintu Allah terbuka bagi siapa saja yang hendak masuk, tidak ada pengawal dan
penjaga.
2. Menjadikan selain Allah sebagai Pemilik Hak Membuat Syari'at (Hak Legislatif)
Termasuk syirik akbar yang tersamar bagi sebagian besar manusia adalah menjadikan
selain Allah sebagai pemilik hak membuat syari'at (hak legislatif) atau menjadikan selain
Allah sebagai pembuat hukum.
Dengan bahasa lain, pemberian wewenang membuat perundang-undangan secara
absolut oleh sebagian manusia kepada individu atau kelompok, baik untuk kepentingan
mereka atau orang lain.
Dengan hak itu mereka:
1. Menghalalkan dan mengharamkan sesuai dengan yang mereka kehendaki.
2. Mereka menetapkan berbagai sistem dan aturan sebagai undang-undang, atau
3. Menetapkan metodologi dan pola piker yang:
a. Tidak diizinkan Allah.
b. Bertolak belakang dengan syari'at-Nya
Lalu, orang lain mengikuti dan mentaati apa yang telah mereka tetapkan sebagai
undang-undang, seakan-akan syari'at Tuhan, atau hukum langit yang harus ditaati dan
tidak boleh dilanggar.
Yang memiliki hak pensyari'atan (legislative) terhadap makhluk-Nya hanyalah Allah,
sebab Dia-lah Yang menciptakan, Memberi rizki, dan Memenuhi mereka dengan berbagai
kenikmatan, baik lahir ataupun batin. Sebagai konsekwensinya, Dia-lah yang memiliki hak
untuk membebani, memerintah, malarang, menghalalkan dan mengharamkan atas
mereka, karena Dia adalah rabb (Pencipta), Malik (Raja), dan Ilah (Tuhan sembahan)
manusia. Tidak seorangpun selain Dia yang memiliki rububiyyah (sifat
Mahamenciptakan), Mulkiyyah (sifat mahamenguasai) dan Uluhiyyah (sifat ketuhanan
untuk disembah) sebagaimana yang Dia miliki. Jika demikian halnya, Ialu dari mana hak
pembuatan syari'at dan hukum itu mereka miliki?
Dunia adalah kerajaan Allah, dan seluruh manusia di alam semesta ini adalah hamba
dan rakyat-Nya, Dia-lah Pemimpin dan Pemerintah (Penguasa) kerajaan ini. Karena itu,
adalah menjadi milik-Nya hak membuat hukum, undang-undang, mengharamkan dan
menghalalkan, dan adalah keharusan bagi rakyat untuk mendengar dan mentaati-Nya.
Jika ada sebagian rakyat mengklaim (mengaku) bahwa ada seseorang dalam kerajaan
Allah ini yang memiliki hak memerintah, melarang, menghalalkan, mengharamkan,
membuat hukum dan perundang-undangan tanpa izin dari Pemimpin atau Penguasa
kerajaan, berarti ia telah menjadikan seseorang itu sebagai sekutu Allah dalam kerajaan,
melawan-Nya dalam kekuasaan kepemimpinan-Nya dan kekhususan-Nya dalam
pemerintahan.
Karena itu al-Qur'an memvonis Ahli Kitab dengan syirik dan menamakan mereka
sebagai musyrikin, sebab mereka memberikan hak pembuatan syariat kepada pendeta
dan rahib, lalu mereka mentaati apa yang mereka halalkan atau haramkan. Al-Qur’an
mensejajarkan hal ini dengan penyembahan mereka terhadap al-Masih bin Maryam. Allah
berfirman:
"Mereka menjadikan orang-orang 'alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan
selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putra Maryam; padahal
mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang
berhak disembah) selain Dia, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan".
(at-Taubah :31)
Rasulullah saw telah menjelaskan pengertian ayat ini kepada 'Adiy bin Hatim ath-
Tha'i, seorang Nasrani pada zaman jahiliyyah. Setelah memeluk Islam Ia memasuki rumah
Rasulullah saw ketika beliau sedang membaca ayat diatas. Mendengar bacaan itu ‘Adiy
berkata: "Mereka tidak menyembah para pendeta dan rahib?" Rasulullah saw bersabda:
"Betul… Sesungguhnya mereka mengharamkan yang halal, dan menghalalkan yang
haram, lalu mereka mengikutinya, itulah penyembahan kepada mereka (HR. at-
Tirmidzi, Ahmad dan Ibnu Jarir).
Ayat dan tafsirnya dari hadits Rasulullah saw ini menunjukkan bahwa siapa saja yang
taat kepada selain Allah dalam bermaksiat atau mengikutinya dalam hal yang tidak
diijinkan Allah, berarti telah menjadikannya sebagai Rabb dan Ma'bud (sembahan), serta
menjadikannya sebagai sekutu Allah. Hal demikian ini bertolak belakang dengan tauhid
yang tidak lain adalah agama Allah dan inti kalimat ikhlas: La Ilaha Illallah. Sebab al-Ilah
adalah al-Ma'bud (Tuhan yang berhak disembah), dan Allah telah menamakan ketaatan
mereka kepada para pemimpin dan pendeta mereka sebagai penyembahan kepada
mereka. Sedangkan para pemimpin dan pendeta itu disebut sebagai Arbab; yakni sekutu-
sekutu Allah dalam penyembahan. Ini merupakan syirik akbar, sebab siapa saja yang
mentaati makhluk dan mengikutinya di luar yang disyari'atkan Allah dan Rasul-Nya,
berarti ia telah menjadikannya sebagai Rabb dan Ma'bud, meskipun tidak dinamai
demikian, sebagaimana difirmankan Allah dalam ayat lain:
"Dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang
yang musyrik (al-An'am: 121)
Ayat lain yang maknanya sama dengan ayat di atas adalah:
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari'atkan
untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?" (Syura: 21)
Jika yang demikian ini adalah hukum al-Qur'an dan as-Sunnah terhadap orang yang
menjadikan selai. Allah sebagai pembuat syari'at dan mengikutinya dalam hal-hal yang
tidak diizinkan Allah, maka bagaimana pula dengan orang yang menjadikan dirinya
sebagai sekutu Allah, mengangkat dirinya sebagai pemegang hak membuat hukum (hak
legislatif), perundangan (pensyari'atan), penghalalan dan pengharaman yang merupakan
hak khusus ketuhanan?
BENTUK-BENTUK SYIRIK KECIL
Di bawah syirik besar terdapat berbagai bentuk dan macam syirik lain yang disebut
syirik ashghar (syirik kecil). Ia termasuk dosa besar, bahkan di sisi Allah lebih besar dari
pada dosa besar lainnya... diantaranya adalah:
1. Bersumpah Dengan Selain Allah
Termasuk syirik kecil adalah bersumpah dengan selain Allah, seperti bersumpah
dengan Nabi, Ka'bah yang mulia, wali, pembesar, tanah air, nenek moyang atau makhluk-
makhluk lainnya, semua itu adalah syirik.
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda:
“Dan barangsiapa bersumpah dengan selain Allah sungguh ia telah kafir atau syirik".
(Teks seperti ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, dan dinilainya sebagai hadits hasan)
Ini karena pada sumpah terdapat pengagungan terhadap yang dipergunakan untuk
bersumpah, padahal yang seharusnya dikhususkan dengan pengagungan dan
pengkultusan hanyalah Allah semata. Karena itu ada larangan bersumpah dengan selain
Allah, Rasulullah saw bersabda:
"Janganlah bersumpah dengan nenek moyang kalian (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud,
at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Malik dan ad-Darimi)
Termasuk sebuah aksioma agama adalah bahwa bersumpah palsu dengan nama Allah
termasuk dosa besar, akan tetapi syirik, meskipun kecil, lebih besar dari pada dosa besar
dalam pandangan fuqaha' sahabat radhiyallahu 'anhum.
Termasuk pengertian tamimah adalah: jami’ah (aji-ajian terbuat dari tulisan), khorz
(jimat penangkal terbuat dari benda-benda kecil dari laut atau semacamnya), hijab (jarum
tusuk atau semacamnya yang diyakini bisa membentengi diri) dan semacamnya, semua
itu adalah kemunkaran besar, dan menjadi kewajiban bagi setiap yang mampu untuk
melenyapkannya.
Sa'id bin Jubair berkata: "Siapa yang memutus tamimah, ia seperti memerdekakan
seorang budak”
Jimat dari Ayat Al-Qur-an
Jika tamimah (jimat) terdiri dari ayat-ayat Al-Qur’an atau memuat nama-nama dan
sifat-sifat Allah, apakah termasuk dalam kategori yang terlarang, atau termasuk yang
dikecualikan dan boleh dikalungkan?
Salaf berbeda pendapat dalam hal ini, sebagian dari mereka memperbolehkan, dan
sebagian yang lain melarang. Pendapat yang kami pilih adalah melarang segala bentuk
tamimah, meskipun terdiri dari ayat-ayat al-Qur'an, karena adanya beberapa dalil:
1. Dalil yang melarang bersifat umum, dan hadits-hadits yang membicarakannya tidak
memberikan pengecualian.
2. Saddudz-Dzari'ah, sebab dibolehkannya tamimah dari ayat al-Qur'an akan membuka
jalan bagi pengalungan tamimah dari selainnya, dan pintu keburukan jika dibuka, sulit
untuk ditutup lagi.
3. Dibolehkannya tamimah dari ayat al-Qur'an akan berdampak kepada pelecehan atau
penghinaan al-Qur'an, sebab pemakainya bisa membawanya ke tempat-tempat najis
atau semacamnya, seperti waktu buang hajat, haidh, junub dan sebagainya.
4. Dibolehkannya tamimah dari ayat-ayat al-Qur'an akan berdampak kepada pengecilan
dan penurunan nilai al-Qur'an dari tujuan diturunkannya, sebab Allah
menurunkannya agar menjadi petunjuk manusia kepada sesuatu yang lebih lurus dan
untul mengeluarkan mereka dari berbagai macam kegelapan kepada cahaya (Islam),
bukan untuk dijadikan sebagai tamimah dan kalung wanita dan anak-anak.
Imam Suyuthi berkata: "Para ulama' telah bersepakat bahwa ruqyah diperbolehkan,
jika memenuhi tiga syarat, yaitu:
1. Menggunakan al-Qur'an, atau nama-nama dan sifat-sifat Allah.
2. Dengan bahasa Arab dan dapat difahami maknanya.
3. Berkeyakinan bahwa ruqyah tidak mempunyai pengaruh dengan sendirinya, akan
tetapi karena takdir Allah.
Tiwalah (guna-guna) yang tersebut dalam hadits Ahmad dan lainnya adalah semacam
sihir, agar suami mencintai istrinya atau sebaliknya. (Istilah popular di Indonesia pelet).
5. SIHIR
Termasuk syirik adalah sihir, yaitu semacam cara pengelabuhan dan penipuan,
diantaranya ada yang menggunakan azimat, mantera, simpul-simpul tali dan tiupan-
tiupan mulut.
Ia dikategorikan syirik karena di dalamnya terdapat permohonan bantuan kepada
selain Allah, baik dari jin, setan, planet dan Iain-lain.
Tersebut dalam hadits:
"Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa membuat
suatu buhulan (simpulan tali), lalu meniup padanya sebagaimana yang dilakukan tukang
sihir), maka dia telah melakukan sihir, dan barangsiapa yang melakukan sihir, ia telah
syirik, dan barangsiapa menggantungkan suatu benda (jimat), niscaya Allah menjadikan
dia selalu bergantung pada benda itu". (HR. an-Nasa’i)
Dalam Islam, sihir termasuk dosa besar, begitu juga dalam agama-agama samawi
lainnya. Tersebut dalam al-Qur'an kalimat Nabi Musa 'alaihis-salam berikut:
"Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang". (Thaha: 69)
“Musa berkata: "Apa yang kamu lakukan itu, itulah yang sihir, sesungguhnya Allah
akan menampakkan ketidakbenarannya". Sesungguhnya Allah tidak akan
membiarkan terus berlangsungnya pekerjaan orang-orang yang membuat
kerusakan". (Yunus: 81)
Rasulullah saw memasukkan sihir dalam kelompok tujuh dosa besar yang
menghancurkan, dan menempatkannya pada urutan kedua setelah syirik.
Al-Qur'an mengajarkan kepada kita agar meminta perlindungan kepada Allah dari
kejahatan sihir dan orang-orangnya.
"Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-
buhul". (al Falaq: 4)
Banyak dari para imam salaf berpendapangan bahwa tukang sihir adalah kafir, dan
perbuatannya (menyihir) adalah kufur. Pendapat ini diikuti diantaranya oleh Imam Malik,
Aby Hanifah dan Ahmad bin hambal rahimahumullah.
Menurut informasi yang datang dari beberapa sahabat, hukuman bagi tukang sihir
adalah dipancung dengan pedang. Tersebut dalam hadits sebagai berikut:
"Dari Bajalah bin Abdah, ia berkata: "Umar bin al- Khaththab menginstruksikan secara
tertulis kepadi kami: "Bunuhlah setiap tukang sihir". Lalu dalam sehari, kami
membunuh tiga tukang sihir". (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Pendapat yang membolehkan membunuh tukang sihir, secara shahih datang dari
Hafshah Ummul Mukminin dari Jundub bin Abdillah dari kalangan para sahabat
radhiyallahu 'anhum.
Sebagian dari mereka membedakan: jika dalam sihirnya meminta pertolongan dengan
cara kufur, maka kafir, jika tidak, maka fasiq.
Sebagaimana sihir diharamkan, maka orang yang membenarkannya dan mendatangi
mereka untuk melakukan sihir, adalah menjadi sekutu mereka dalam dosa.
Rasulullah saw bersabda:
"Tiga orang tidak akan masuk surga: pecandu khomr, yang membenarkan sihir, dan
pemutus silaturrahim, (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya)
6. Tanjim (Ramalan Perbintangan) Termasuk Sihir
Termasuk dalam kategori sihir apa yang dikenal dengan nama tanjim; yaitu:
pengakuan (klaim) mengetahui masa depan, baik secara umum atau khusus dengan
perantaraan bintang (astrologi). Perbuatan ini termasuk sihir dan dajl (kebohongan
besar).
Rasulullah saw bersabda:
"Barangsiapa mengutip ilmu (pengetahuan) dari bintang, ia telah mengutip satu
cabang dari sihir, ia bertambah sesuai dengan tambahan yang dikutip”. (HR. Abu
Daud, Ibnu Majah dan Ahmad)
Hadits ini tidak ditujukan kepada orang yang mempelajari jarak bintang, posisi, ukuran
besar, daerah edarnya dan semacamnya, yang bisa diketahui dengan pengamatan,
teleskop dan semacamnya, yang dikenal dengan ilmu falak (astronomi). Sebab, ilmu ini
memiliki dasar, kaidah dan sarananya.
Akan tetapi hadits ini ditujukan kepada orang yang, mempelajari aspek perbintangan
yang bisa menghantarkan kepada kekufuran, seperti mengklaim mengetahui alam gaib.
Ini termasuk sihir dan syirik, sebab tidak ada yang mengetahui alam gaib selain Allah.
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya
selain Dia sendiri (al-An'am: 59)
"(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan
kepada seorangpun tentang yang gaib itu. Kecuali kepada rasul diridhai-Nya". (Jin: 26
- 27)
Bahkan Nabi Muhammad saw sendiri tidak mengetahui hal-hal gaib kecuali yang
diberitahukan Allah kepadanya melalui wahyu, karenanya Allah berfirman kepadanya:
"Katakanlah: "Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula)
menolak kemudhorotan kecuali yang dikehendaki Allah, sekiranya aku mengetahui
yang gaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan
ditimpa kemudhorotan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa
berita gembira orang-orang yang beriman". (al-A'raf: 188)
Begitu juga jin, yang oleh para tukang sihir dan dukun dimintai pertolongan, mereka
juga tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui hal-hal gaib. Al-Qur’an menceritakan
bahwa jin-jin Nabi Sulaiman 'alaihis-salam tidak mengetahui kematian beliau.
"Maka tatkala ia (Sulaiman 'alaihis-salam) tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau
sekiranya mereka mengetahui yang gaib, tentulah mereka tidak tetap dalam siksa
yang menghinakan". (Saba': 14).
Karena itu, membenarkan para dukun dan peramal -yang mengaku mengetahui hal
yang gaib- adalah pengingkaran (kufur) terhadap ayat-ayat yang telah diturunkan Allah.
Jika mendatangi dan membenarkan mereka demikian buruk kedudukannya dalam
agama, maka bagaimana dengan para dukun dan peramalnya sendiri? Mereka telah
melepaskan diri dari agama dan agama berlepas diri dari mereka, sebagaimana dalam
hadits:
"Tidak termasuk golongan kami orang yang melakukan tathayyur atau minta di-
tathayyur, atau menjadi dukun atau minta dibuatkan perdukunan untuknya, atau
menyihir atau minta disihirkan untuknya (HR. Al Bazzar dengan isnad jayyid)
9. Bernadzar Untuk Selain Allah
Termasuk syirik adalah bernadzar untuk selain Allah, seperti untuk kuburan atau
penghuninya, sebab nadzar adalah ibadah dan qurbah (upaya pendekatan diri kepada
Allah), sedangkan ibadah tidak boleh ditujukan kecuali kepada Allah.
Allah berfirman:
"Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nadzarkan, maka
sesungguhnya Allah mengetahuinya. Orang-orang yang berbuat zhalim tidak ada
seorang penolongpun baginya". (al-Baqarah: 270)
Yang dimaksud dengan azh-Zhalimin pada ayat diatas adalah al-Musyrikun (orang-
orang yang menyekutukan Allah), sebab syirik adalah kezhaliman besar (Luqman : 13),
dan barangsiapa memaksudkan ibadahnya untuk selain Allah berarti ia telah berbuat
syirik.
Sebagian ulama' berkata:
"Nadzar yang biasa dilakukan oleh sebagian masyarakat awam -sebagaimana yang
kita saksikan- seperti saat ada orang yang hilang, atau sakit atau ada keperluan, lalu ia
mendatangi kuburan orang salih dan berkata: "wahai tuanku, fulan ... jika Allah
mengembalikan orang yang hilang, atau si sakit sembuh, atau hajatku terpenuhi, maka
untukmu emas sejumlah sekian, atau makanan sedemikian rupa, atau lilin dan minyak
sekian", nadzar seperti ini hukumnya bathil berdasarkan ijma', berdasarkan pada
beberapa alasan berikut:
1. Ini adalah nadzar untuk makhluk, sedangkan nadzar untuk makhluk tidak boleh, sebab
ai adalah ibadah, dan ibadah tidak boleh untuk makhluk.
2. Yang dituju dengan nadzar adalah mayit, sedangkan tidak memiliki kemampuan apa-
apa.
3. Orang yang bemadzar mengira bahwa mayit bisa berbuat sesuatu tanpa Allah, dan
meyakini yang demikian adalah kufur.
Selanjutnya ulama' itu berkata:
"Jika engkau telah mengetahui hal ini, maka apa saja yang diambil berupa uang,
minyak dan lain-lain dan dipindahkan ke cungkup para wali, dengan maksud ber-taqarrub
kepadanya adalah haram menurut kesepakatan kaum muslimin.
Jika nadzar seperti ini haram, maka tidak harus dipenuhi, bahkan tidak boleh dipenuhi
karena tiga alasan:
1. Tidak sesuai dengan perintah Nabi saw, sedangkan beliau telah bersabda:
"Barangsiapa melakukan suatu perbuatan yang tidak ada perintahku, maka
amalan itu tidak diterima (ditolak)". (HR. Muslim)
2. Ia adalah nadzar untuk selain Allah, berarti ia adalah syirik, dan syirik tidak
memiliki kehormatan (penghargaan), ia seperti bersumpah dengan selain Allah,
sehingga tidak harus dipenuhi, tidak ada kaffarat, dan tidak ada istighfar,
sebagaimana yang dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
3. Ia adalah nadzar ma'siat. Sunnah Rasulullah saw telah menjelaskan bahwa semua
nadzar yang mengandung ma'siat atau syirik tidak harus dipenuhi, bahkan tidak
boleh dilakukan. Sebagaimana tersebut dalam hadits 'Aisyah radhiyallahu 'anha:
"Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa bernadzar untuk taat kepada Allah maka
laksanakanlah ketaatannya itu dan barangsiapa bernadzar hendak berma'siat
kepada-Nya maka jangan lakukan kema'siatan itu". (HR. Bukhari, Abu Daud, at-
Tirmidzi, an-Nasa'i, Ibnu Majah, Ahmad dan ad-Darimi)
"Dari Tsabit bin ad-Dhahhak, ia berkata: “Ada seseorang bernadzar pada zaman
Rasulullah saw untuk menyembelih unta di Buwanah (nama tempat), lalu ia
mendatangi Rasulullah saw, ia berkata: "Saya telah bernadzar untuk menyembelih
unta di Buwanah, Rasulullah saw bersabda: "Apakah di sana pernah ada berhala
jahiliyyah yang disembah?" Para sahabat menjawab: "Tidak". Rasulullah saw
bersabda: "Apakah disana ada hari raya mereka?" Para sahabat menjawab
"Tidak". Rasulullah saw bersabda: "Penuhilah nadzarmu, karena tidak ada
pemenuhan nadzar dalam ma'siat kepada Allah dan dalam hal-hal yang manusia
tidak mampu". (HR. Abu Daud)
Maksud nushub adalah apa saja yang ditegakkan, seperti batu, pohon, atau berhala,
untuk disembah, atau diagungkan, atau dimintai berkah.
Ayat tiga (3) dari surat al-Maidah ini memeintahkan agar menyembelih untuk Allah
semata.
Karena itu, Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar menjadikan shalat dan
sembelihannya untuk Allah:
"Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah". (al-Kautsar: 2)
Dan agar supaya mengumumkan kepada kaum musyrikin bahwa petunjuk-Nya dalam
shalat dan berkurban berbeda dengan yang mereka miliki:
“Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, kurbanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang
diperintahkan kepadaku". (al-An'am 162-163)
Yang dimaksud Nusuk pada ayat di atas adalah menyembelih dengan tujuan taqarrub
(mendekatkan diri).
Tersebut dalam hadits:
"Dari 'Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Rasulullah saw
menyampaikan empat kalimat (ajaran) kepadaku: "Allah melaknat orang yang
melaknat orang tuanya, Allah melaknat orang yang menyembelih bukan untuk Allah,
Allah melaknat orang yang melindungi penjahat (kriminal) dan Allah melaknat orang
yang mengubah batas-batas (tanda-tanda) tanah". (HR. Muslim, juga an-Nasa'i d
Ahmad)
"Dan Thariq bin Syihab: Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: "Seseorang masuk
surga karena lalat, dan seseorang masuk neraka karena lalat", -maksudnya
disebabkan oleh lalat-. Para sahabat berkata: "Bagaimana itu terjadi wahai
Rasulullah saw?” Beliau menjawab: "Ada dua orang melewati satu kaum yang
memiliki berhala, tidak seorangpun boleh melewati mereka sehingga menyajikan
sesuatu sebagai kurban. Mereka berkata kepada salah seorang dari keduanya:
"Sajikan kurban". Ia menjawab: "Saya tidak mempunyai sesuatu". Mereka berkata:
"Sajikan kurban meskipun seekor lalat" ...Setelah ia menyajikan lalat, mereka
mengijinkannya berlalu, kemudian iapun masuk neraka. Mereka berkata kepada yang
lain: "Sajikan kurban". Ia menjawab: "Aku tidak akan menyajikan sesuatupun kepada
selain Allah". Lalu mereka memenggal lehernya (membunuhnya), kemudian, ia pun
masuk surga". (HR. Ahmad)
Hadits diatas menjelaskan bahwa Nabi saw menyanjung orang mukmin tersebut dan
mengabarkan bahwa ia masuk surga, sebab ia bersabar menghadapi pembunuhan dan
tidak mau menyajikan apapun untuk selain Allah, sebab ia mengutamakan prinsip
sebelum yang lainnya. Barangsiapa menyajikan lalat untuk selain Allah, bisa saja setelah
itu, ia akan menyajikan unta.
Sebagai bagian dari keseriusan Islam untuk menjaga tauhid dan menjauhi syirik, ia
melarang agar tidak dilakukan penyembelihan untuk Allah di tempat penyembelihan
untuk selain Allah, sebagaimana dalam hadits Tsabit bin ad-Dhahhak yang telah
disebutkan dimuka tentang seseorang yang bernadzar hendak menyembeIih unta di
Buwanah.
11. Thiyarah (Berperasaan Sial Karena Melihat, Mendengar atau Bertemu Sesuatu)
Thiyarah termasuk syirik; yaitu: Adanya rasa pesimis (sial atau tidak beruntung) yang
disebabkan oleh suara yang didengar, atau sesuatu yang dilihat atau semacamnya. Jika
hal itu menjadikan seseorang menarik diri dari hajat yang telah ia kukuhkan, seperti
bepergian, menikah, berbisnis, dan semacamnya, make masuk ke dalam syirik, sebab:
Ia tidak ikhlas (murni) dalam ber-tawakkal kepada Allah.
Berpaling kepada selain Allah dan memberikan tempat untuk tathayyur pada dirinya.
Rasulullah bersabda:
"Dari Abdullah bin 'Amr radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Rasulullah saw bersabda:
"Barangsiapa mengurungkan hajatnya karena thiyarah (merasa sial dengan sesuatu),
berarti telah syirik". Para sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah saw, apa kaffarat
(pelebur dan penebusnya)?" Beliau bersabda: "Hendaklah salah seorang dari mereka
berkata: "Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan-Mu, dan tidak ada kesialan
kecuali dari-Mu, tidak ada Tuhan selain diri-Mu (HR. Ahmad)
Maksud "Tiada seorangpun dari kita kecuali … “adalah: Tidak seorangpun dari kita
kecuali di dalam hatinya ada sesuatu darinya, karena kelemahan manusiawi. Hanya saja,
seorang mukmin mempunyai kelebihan, yaitu bahwa Allah menghilangkan lintasan-
lintasan itu dari hatinya disebabkan oleh tawakkal-Nya kepada Allah.
"Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan) nya”. (Thalaq: 3)
Lawan dari thiyarah adalah Al Fa’l (tafaul yakni optimis, harapan baik); yaitu:
memprediksi kebaikan berdasarkan apa yang ia dengar atau sesuatu yang ia lihat atau
semacamnya.
Rasulullah mencintai tafa'ul yang baik. Tersebut dalam hadits:
Dan aku menyukai al-fa'l" Para sahabat bertanya: "Apa itu al-fa'l?" Beliau menjawab:
"Kata-kata yang baik (Muttafaqun 'alaih)
Contoh tafa-ul: Ada seseorang sakit, lalu mendengar orang lain berkata: "Wahai orang
yang sehat", lalu ia ber tafa-ul (berharap) sehat... Ini adalah sesuatu yang baik, sebab,
mengajak kepada terbentangnya harapan dan husnudz-dzan kepada Allah. Berbeda
dengan thiyarah (merasa sial dengan sesuatu), sebab didalamnya mengandung su-udz-
dzan kepada Allah, dan memprediksikan bencana tanpa adanya sebab yang mengarah
padanya.
BAGIAN VII
ISLAM MENUTUP PINTU-PINTU KEMUSYRIKAN
Islam datang dengan membawa ajaran tauhid murni, memerangi berbagai bentuk
syirik, besar ataupun kecil, memberikan peringatan darinya dengan sangat keras, dan
mempergunakan berbagai cara. Yang paling menonjol adalah menutup pintu-pintu
behembusnya angina kemusyrikan.
Diantara pintu-pintu itu adalah:
1. Ghuluw (Berlebihan) Dalam Mengagungkan Nani saw
Nabi Muhammad saw melarang kita untuk ghuluw (berlebihan) dalam mengagungkan
dan menyanjungnya, beliau bersabda:
"Janganlah kalian melebih-lebihkan aku, sebagaimana umat Nasrani melebih-
lebihkan Isa bin Maryam, aku tidak lebih adalah hamba-Nya, maka katakanlah:
Hamba Allah dan Rosul-Nya". (Muttafaqun ‘alaih)
Al-Qur'anul karim, saat menyanjungnya dalam maqom (kedudukan) yang paling
mulia, mensifatinya dengan Abdullah (hamba Allah), sebagai pengukuhan terhadap
makna ini, mana firman-Nya:
"Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan hamba-Nya al-Kitab (al-Qur'an) dan
Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya". (al-Kahfi: 1)
"Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam". (al-
Isra': 1)
“Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya apa yang telah Allah wahyukan". (an-
Najm: 10)
Rasulullah saw jika melihat atau mendengar sesuatu yang mengarah kepada ghuluw
(berlebihan) pada diri beliau, tidak segan-segan melarang orang yang mengucapkan
atau melakukannya, serta meningatkannya kepada sikap yang benar. Sebagaimana
dalam hadits:
"Dari Abdillah bin asy-Syikhkhir radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Saya datang bersama
rombongan bani ‘Amir kepada Rasulullah saw, lalu kami berkata: “Engkau adalah
sayyid (tuan) kami". lalu beliau bersabda: As-Sayyid adalah Allah tabaraka wata'ala".
(HR. Abu Daud)
"Dari Anas bin Malik, bahwasanya ada seseorang berkata kepada nabi Muhammad
saw: “Wahai sayyid kami, anak sayyid kami, yang terbaik diantara kami, dan anak
orang yang terbaik diantara kami". Lalu Rasulullah saw bersabda: "Wahai manusia,
katakanlah dengan perkataan kalian (sewajarnya), dan janganlah syetan
memperdayakanmu, saya adalaa Muhammad bin Abdullah, dan Rasul Allah, demi
Allah, aku tidak suka kalian meninggikanku melebihi kedudukan yang Allah berikan
kepadaku". (HR. Ahmad dan an-Nasa'i di kitab Amalil Yaumi Wal-Lailah)
Pada waktu Rasulullah saw mendergar seseorang berkata: Masya-Allah wa syi'ta (Atas
kehendak Allah dan kehendakmu), beliau bersabda:
"Apakah kamu menjadikanku dan Allah sebanding? Akan tetapi katakanlah: Masya-
Allah wahdahu (kehendak Allah semata)". (HR. Ahmad)
"Dan dari 'Aisyah dan Ibnu Abbas radhiyallahu-'anhum, keduanya berkata: "Saat
Rasulullah saw dalam sakaratul maut, terus menerus beliau menutupkan selimut ke
mukanya, jika gerah, dibuka, lalu bersabda -dalam kondisi seperti itu- : "Semoga
laknat Allah tetap untuk Yahudi dan Nasrani, mereka telah menjadikan kuburan nabi
mereka sebagai masjid”. (Muttafaqun 'alaih)
b. Shalat Menghadap Kuburan Rasulullah saw bersabda:
Rasulullah saw bersabda:
"Dari Abi Mirtsid al-ghunawi, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Janganlah kalian
duduk diatas kuburan, dan jangan shalat menghadap kepadan (HR. Muslim)
Zhahir (makna tersurat) hadits ini menjelaskan bahwa para sahabat Rasulullah saw
menginginkan sekedar mengambil berkah dan menggantungkan senjata pada pohon itu,
lalu Rasulullah saw melarang mereka dengan keras dalam rangka saddud-dzari'ah
(menutup jalan) yang menuju kepada syirik.
Namun sayang, banyak kaum muslimin telah menyimpang dari petunjuk Rasulullah
saw, mereka mengikuti jejak-jejak umat sebelumnya, sehingga mereka membuat Anshab
untuk meminta berkah, mengusap dan mengelus-elusnya, berdo'a di sisinya, bertawassul
dengannya, bergantung kepadanya sebagaimana bergantungnya orang-orang musyrik
dengan patung-patung mereka. Alangkah banyaknya Dzatu Anwath-Dzatu Anwath di
negeri Islam, padahal Rasulullah saw telah melarangnya.
Merupakan kewajiban kaum muslimin secara umum, umara' dan ulama' secara
khusus untuk menghilangkan kemunkaran ini, menghancurkan Anshab dan
menghilangkannya, baik yang berupa pohon, batang, kuburan, kayu, mata air, batu
ataupun lainnya, sebagai upaya ber-qudwah kepada Rasulullah saw saat mengutus Ali bin
Abi Thalib radhiyallahu 'anhu agar menghancurkan kuburan yang ditinggikan dan
meratakan dengan permukaan bumi, sebagaimana tersebut dalam Shahih Muslim, dari
Abul Hayyaj al-Asadi, ia berkata Abi bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu berkata kepadaku:
"Tidakkah aku mengutusmu seperti Rasulullah saw mengutusku: "Janganlah kamu
meninggalkan patung kecuali menghancurkannya dan kuburan yang ditinggikan
kecuali kamu ratakan". (HR. Muslim)
Imam Abu Bakar at-Tharthusi al-Maliki berkata "Ketika Umar bin al-Khaththab
radhiyallahu 'anhu mendengar bahwa orang-orang mendatangi pohon tempat para
sahabat berbai'at kepada Rasulullah saw (bai'atur-ridhwan), dan mereka shalat di situ,
maka Umar mengirimkan orang untuk menebangnya, agar kaum muslimin terhindar dari
fitnah".
jika Umar melakukan perbuatan seperti itu terhadap pohon yang namanya disebut di
dalam al-Qur'an, dan para sahabat membai'at Rasulullah saw di bawahnya, lalu apa yang
akan ia lakukan terhadap pohon-pohon lain yang dijadikan sebagai Anshab dan berhala
yang menjadi fitnah dan bencana besar dewasa ini?
Imam at-Tharthusi berkata: "Lihatlah -semoga Allah merahmati kamu- jika kamu
menemukan pohon bidara atau lainnya menjadi tujuan manusia, mereka
mengagungkannya, mengharapkan keselamatan dan kesembuhan darinya, mereka
menancapkan padanya paku-paku dan membuat lubang-Iubang, maka ia adalah Dzatu
Anwath. Karenanya, hendaklah kamu menebangnya".
Dari Mubarrir bin Suwaid, ia berkata:
"Saya shalat subuh bersama Umar -radhiyallahu 'anhu- dalam perjalanan menuju
Makkah, dia membaca surat al-Fiil dan Quroisy. Seusai shalat, dia melihat orang-
orang pergi ke beberapa arah. Umar bertanya: "Mereka pergi kemana?". Ada yang
menjawab: "Wahai Amirul mukminin! Ke masjid tempat Rasulullah saw pernah shalat
disitu, dan mereka hendak shalat disitu". Umar berkata: "Umat sebelum kamu hancur
karena seperti ini, mereka menapaktilasi bekas-bekas nabi mereka, dan menjadikanya
sebagai gereja dan kuil, barangsiapa tiba waktu shalat di masjid itu hendaklah ia
shalat, barangsiapa tidak (harus melakukannya) maka hendaklah ia berlalu dan
jangan sengaja shalat disitu ".
Inilah sebagian dari fiqih dan semangat Umar -radhiyallahu 'anhu- dalam menjaga
aqidah masyarkat awam, juga kekhawatirannya dari ghuluw dan penyimpangan.
C. Memberi nama dengan nama Allah atau dengan nama yang tidak layak kecuali hanya
untuk-Nya
Abu Daud meriwayatkan dari Abu Syuraih, bahwasanya dia dahulu digelari Abul
hakam, lalu Nabi Muhammad saw bersabda kepadanya:
“Sesungguhnya Allah-lah al-Hakam (Pemberi Keputusan) dan kepada-Nya-lah
segala keputusan” (HR. Abu Daud, juga an-Nasa'i)
Setelah itu ia dipanggil dengan nama anaknya Syuraih, sehingga panggilannya
menjadi Abu Syuraih.
Sabda Rasulullah saw yang lain:
"Dan Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasululllah saw bersabda: "Nama yang
paling rendah dan hina di sisi Allah adalah seseorang yang bernama (bergelar) raja
diraja ... tidak ada Raja selain Allah". Sufyan bin 'Uyainah berkata: "Seperti juga
Syahin Syah, menurut bangsa 'Ajam, sebab artinya adalah: raja diraja". (HR.
Bukhari, Muslim, Abu Daud, at-Tirmidzi dan Ahmad)
Dalam riwayat lain disebutkan:
"Orang yang paling membuat murka Allah pada hari kiamat, dan orang yang
paling buruk...".
D. Menamai manusia dengan nama Abd (hamba) selain Allah; seperti Abdul Ka'bah,
Abdun-Nabi, Abdul Husain, Abdul Masih dan semacamnya. Ibnu Hazm telah menukil
bahwa telah terjadi ijma atas haramnya nama-nama ini, kecuali Abdul Muththalib.
E. Mencela masa (zaman) saat ada kesulitan hidup atau, musibah, sebab mencelanya
termasuk mengadukan Allah atau membenci-Nya, karena Dia-lah yang Mengatur
segala urusan, Mempergilirkan siang dan malam, Dia-lah Yang Berbuat segala sesuatu
di alam semesta.
Karena itu dalam sebuah hadits shahih. Rasulullah saw bersabda:
"Allah berfirman: "Anak Adam menyakiti-Ku, Ia mencela masa, padahal Aku-lah masa,
di Tangan-Ku segala urusan, Aku pergilirkan siang dan malam (HR. Bukhari, Muslim,
Abu Daud, Ahmad, Malik dan ad-Darimi)
BAGIAN VIII
DAMPAK TAUHID DAN SYIRIK DALAM KEHIDUPAN
"Allah membuat perumpamaan (yaitu): seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh
beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang
menjadi milik penuh bagi seorang laki-lak (saja); Adakah kedua budak itu sama
halnya?" (az-Zumar: 29)
Allah mengumpamakan seorang mukmin sebagai seorang budak yang dimiliki seorang
tuan, ia mengetahui apa saja yang membuatnya ridha dan apa saja yang membuatnya
murka, sehingga ia komitmen pada hal-hal yang diridhai tuannya dan puas terhadapnya.
Allah mengumpamakan seorang musyrik dengan seorang budak yang dimiliki banyak
tuan, tuan yang satu mengarahkan ke timur, yang lainnya ke barat, satu Iagi menyeretnya
ke kanan, lainnya lagi menariknya ke kiri. Tuan-tuan itu berserikat namun selalu berselisih,
sehingga budak itu tercerai berai, dan terbagi-bagi kepribadiannya, tidak ada ketetapan
dan tidak ada ketenangan.
Lalu Allah menjelaskan siapakah dari dua golongan itu yang berhak mendapatkan
keamanan, firman-Nya:
"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan
kezhaliman (syirik) mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan
mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk". (al-An'am: 82)
Rasa aman ini muncul dari dalam jiwa, bukan karena penjagaan polisi. Ini adalah rasa
di dunia, adapun rasa aman di akhirat, ia lebih agung dan kekal, sebab mereka ikhlas
kepada Allah dan tidak mencampur tauhidnya dengan syirik:
Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud -radhiyallahu 'anhu- ia berkata: saat di
turunkan firman Allah:
"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan
kezhaliman". (al-An’am: 82)
Saat ayat ini turun, kami berkata: Wahai Rasulullah SAW! siapakah diantara kami tidak
menzhalimi diri sendiri?" Beliau SAW menjawab: "Bukan seperti yang kamu fahami,
tidakkah kamu mendengar perkataan Luqman kepada anaknya:
"Hai anakku! janganlah kamu mempersekutukan Allah sesungguhnya
mempersekutukan Allah adalah, benar-benar kezhaliman yang besar". (Luqman: 13)
Jadi, arti: "tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezhaliman" adalah:
"Mereka memurnikan agamanya untuk Allah, dan tidak mencampuri tauhid mereka
dengan syirik".
4. Tauhid, Sumber Kekuatan Jiwa
Tauhid memberikan kekuatan jiwa kepada orang yang memilikinya, sebab jiwanya
dipenuhi rasa optimisme, percaya, tawakkal, ridha terhadap qadha' Allah, sabar atas
ujian-Nya, dan tidak membutuhkan makhluk. Ia kokoh bagaikan gunung, tidak
tergoyahkan oleh bencana.
Pada saat tertimpa musibah, atau dikungkung oleh kesulitan, ia tidak mau kembali
kepada makhluk, ia hadapkan hatinya kepada Allah, hanya kepada-Nya ia memohon,
hanya dari-Nya ia meminta, kepada-Nya ia berpegangan, tidak mengharap selain Dia,
dalam menolak bahaya dan menggapai kebaikan, tidak menengadahkan tangannya
kepada siapapun kecuali kepada Allah, dengan penuh pendekatan, permohonan dan
inabah (kembali). Syi'arnya adalah sabda Nabi Nabi Muhammad saw kepada Ibnu Abbas
-radhiyallahu anhu-.
"Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah, dan jika kamu minta tolong, mintalah
pertolongan kepada Allah". (HR. at-Tirmidzi dan Ahmad)
Perhatikanlah Nabi Hud -'alaihis-salam- pada saat diancam kaumnya akan tipu daya
berhala-berhala mereka kepadanya, ia menjawab:
"Sesungguhnya aku jadikan Allah sebagai saksiku dan saksikanlah olehmu sekalian
bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan, dari-Nya,
sebab itu, jalankanlah tipu dayamu semuanya terhadapku dan janganlah kamu
memberi tangguh (penundaan) kepadaku, sesungguhnya aku bertawwakal kepada
Allah, Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dia-
lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku diatas jalan yang lurus".
(Hud: 54 - 56)
Sebuah Iogika kuat yang mengungkapkan kejiwaan yang penuh rasa percaya, tekad
yang membaja, keimanan yang tidak lemah dan tidak loyo, dan spiritual yang tidak kenal
lemah dan takut, sebab ia mengambil kekuatannya dari tawwakal kepada Allah.
Tiga kali kesaksian dari Nabi Muhammad saw ini antara satu dengan lainnya saling
berkait.
Proklamasi ukhuwwah insaniyyah yang bersifat umum -yaitu bahwa semua hamba
Allah adalah bersaudara- berdiri di atas dua syahadat sebelumnya yaitu:
Ke-Esa-an Allah dalam uluhiyyah, sehingga tidak ada sekutu dan tuhan lain Bersama-
Nya, dan tidak ada yang berhak atas ketundukan dan peribadatan selain-Nya
'Ubudiyah Nabi Muhammad saw kepada Allah dan perannya sebagai penyampai
(mubaligh) dari-Nya menafikan segala syubhat dan sifat ketuhanan dari dirinya. Nabi
saw bukan Tuhan, bukan anak Tuhan, juga bukan sepertiga Tuhan, sebagaimana yang
diklaim oleh kaum Nasrani terhadap Nabi Isa -'alahis-salam-.
Jika dua hal di atas; yaitu uluhiyah Allah semata dan penghambaan seluruh manusia
kepada-Nya, terutama Nabi Muhammad saw, Rasul dan pilihan-Nya, telah terealisir maka
barulah setelah itu kita tetapkan hakikat ketiga, yaitu bahwa semua manusia dan hamba
Allah adalah bersaudara dan sama, tidak ada perbedaan rasial dan warna kulit, tidak ada
kelebihan berdasarkan nasab. Allah berfirman:
"Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu sekalian di sisi Allah adalah yang
paling bertaqwa diantara kamu sekalian". (al-Hujurat: 13)
Hal yang sama dilakukan oleh orang-orang Nasrani. Mereka melakukan berbagai
kemunkaran yang diinginkan oleh hawa nafsu, dengan keyakinan bahwa 'tuhan' mereka,
al-Masih, telah menebus dosa mereka pada saat disalib -menurut khayalan mereka- dan
telah menjadi tumbal manusia?!