Anda di halaman 1dari 57

PENUNTUN PRAKTIKUM

TERMODINAMIKA

LABORATORIUM KIMIA FISIKA


DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, berkat rahmat
dan karunia-Nya, Penuntun Praktikum Termodinamika untuk Program S1 dapat
diselesaikan dengan baik. Buku Penuntun Praktikum ini dibuat sebagai panduan untuk
melaksanakan Praktikum Termodinamika, sehingga mahasiswa dapat melaksanakan
praktikum dengan baik. Penuntun ini memuat prosedur kerja laboratorium serta bahan
dan alat yang dibutuhkan.
Selain berisi panduan praktikum, penuntun praktikum ini juga dilengkapi dengan
teori singkat yang bertujuan membantu mahasiswa untuk memahami percobaan yang
akan dilakukan. Namun, kepada mahasiswa yang akan melaksanakan praktikum
disarankan untuk lebih mendalami teori percobaan dari buku-buku teks maupun
sumber-sumber lain yang berkenaan dengan percobaan.
Penyusun menyadari apa yang ada dalam penuntun ini masih jauh dari sempurna.
Untuk itu adanya kritik dan saran yang membangun sangat membantu dalam
penyempurnaan penuntun ini. Akhirnya penyusun berharap semoga penuntun ini
bermanfaat bagi praktikan Termodinamika dan yang membacanya.

Medan, Februari 2019


Praktikum Termodinamika

Penyusun
PERATURAN LABORATORIUM

1. Sebelum melakukan praktikum, mahasiswa telah memahami tugas-tugas, prinsip,


dan prosedur praktikum. Untuk hal ini dapat dilakukan uji pra praktikum secara
lisan maupun tertulis pada waktu yang tidak ditentukan.
2. Setiap praktikan harus datang tepat pada waktunya. Praktikan yang datang
terlambat tanpa alasan yang sah akan ditolak mengikuti praktikum. Bila karena
sesuatu hal tidak dapat mengikuti praktikum, harus dapat menunjukkan surat
keterangan yang dapat dipertanggungjawabkan.
3. Selama pelaksanaan praktikum tidak dibenarkan meninggalkan ruangan tanpa
seizin asisten.
4. Selama mengikuti praktikum, praktikan diwajibkan memakai jas praktikum dan
alat pelindung diri seperti sarung tangan dan masker.
5. Sediakan peralatan-peralatan selama praktikum, seperti ember, pipet tetes,
penjepit tabung, kain lap, sabun.
6. Buanglah larutan ke bak pembuang. Jika membuang asam pekat, sebaiknya
larutan tersebut diencerkan terlebih dahulu. Siramlah bak pembuang dengan air
cukup banyak.
7. Tidak dibenarkan membuang kertas, plastik, puntung korek, pecahan kaca, dan
zat padat lainnya ke bak pembuang.
8. Ambilah larutan atau zat padat secukupnya dari botol persediaan untuk setiap
percobaan.
9. Cuci dan bersihkan semua alat-alat praktikum sebelum meninggalkan
laboratorium. Kembalikan semua alat-alat praktikum ke ruang alat.
10. Kembalikan semua botol-botol persediaan ke ruang bahan sesuai dengan nomor
kode botol.
11. Bila terjadi kecelakaan, laporkanlah segera kepada asisten agar dapat cepat
diberikan pertolongan.
12. Dilarang keras melakukan percobaan/eksperimen diluar dari prosedur percobaan.
13. Dilarang keras makan di dalam laboratorium selama praktikum.
14. Dilarang keras menggunakan HP, MP3 player, dan laptop di dalam laboratorium
selama praktikum.
15. Sopan dan tertib selama praktikum
16. Setelah selesai melakukan percobaan, praktikan harus menunjukkan hasil
percobaannya kepada asisten.
17. Praktikan wajib membuat laporan praktikum yang bentuknya telah ditentukan dan
laporan ini harus disahkan oleh asisten.

Medan, Februari 2019


Kepala Laboratorium Kimia Fisika

Dr. Maulida, S.T., M.Sc.


NIP. 19700611 199702 2 001
Peralatan Umum Laboratorium Kimia Fisika
MODUL I
Besaran Fisik Gas
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gas mempunyai sifat bahwa molekul-molekulnya sangat berjauhan satu sama
lain sehingga hampir tidak ada gaya tarik-menarik atau tolak-menolak di antara
molekul-molekulnya sehingga gas akan mengembang dan mengisi seluruh ruang yang
ditempatinya, bagaimana pun besar dan bentuknya.
Metode Victor-Meyer dilakukan untuk menentukan berat molekul dalam
keadaan uap, seperti yang biasa dilakukan, melibatkan asumsi bahwa uap gas yang
terbentuk mematuhi hukum Boyle dan Avogadro pada suhu percobaan yang dilakukan
(Hicks et al, 1930)
Alasan dilakukan percobaan ini karena pengukuran berat molekul suatu cairan
volatil tidak akan akurat bila dihitung berdasarkan viskositas atau konsentrasinya
karena cairan dapat menguap pada suhu kamar sehingga sebagian zat cair akan
menguap dan menyebabkan analisa tidak tepat. Pada percobaan ini, akan ditentukan
rapat uap pelarut yang bersifat volatil dengan menggunakan metode victoe meyer. Dari
nilai rapat uap akan ditentukan berat molekil cairan yang akan digunakan.
Percobaan ini dilakukan agar mahasiswa teknik kimia dapat mengukur berat
molekul zat volatil yang akan berguna untuk teori dasar dalam dunia industri
perusahaan kimia. Berat molekul volatil perlu diketahui untuk mempermudah kita
dalam mencari tekanan dari senyawa volatil tersebut.

1.2 Perumusan Masalah


Masalah yang dapat dirumuskan dalam percobaan ini adalah:
1. Bagaimana cara menentukan berat molekul volatil senyawa menggunakan
metode victor meyer.
2. Bagaimana hubungan antara rapat uap dengan berat molekul
1.3 Tujuan Percobaan
Percobaan ini bertujuan untuk
1. Memperlihatkan hubungan antara rapat uap dengan berat molekul dengan
menggunakan metode victor meyer.
2. Meningkatkan ketrampilan dalam menangani dan melakukan pengukuran
pada gas.

1.4 Manfaat Percobaan


Manfaat yang diperoleh dari percobaan ini adalah praktikan dapat memahami dan
mengetahui cara menentukan berat molekul volatil dengan memperlihatkan
hubungannya dengan rapat uap pada metode victor meyer.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sifat-sifat gas


Sifat mekanika gas yang tersusun atas sejumlah besar atom-atom atau molekul-
molekul penyusunnya dijelaskan dalam teori kinetik gas. Dalam menjelaskan perilaku
gas dalam keadaan tertentu, teori kinetik gas menggunakan beberapa pendekatan dan
asumsi mengenai sifat-sifat gas yang disebut gas ideal.
Pada kenyataannya, tidak ditemukan gas yang memenuhi kriteria gas ideal.
Akan tetapi, sifat semua gas riil akan mendekati abstraksi sifat gas ideal jika
kerapatan gas adalah cukup rendah (Halliday, 1985).
Gas nyata tidak mematuhi persamaan gas umum dan hukum gas lainnya di
semua kondisi suhu dan tekanan. Gas yang hanya mengikuti hukum-hukum gas pada
tekanan rendah. Gas ideal sebenarnya tidak ada, jadi hanya merupakan gas hipotesis.
Semua gas sebenarnya tidak nyata pada gas dianggap, bahwa molekul-molekulnya
tidak tarik menarik dan volume gas itu sendari atau ruang yang ditempati. Sifat ideal
ini hanya didekati oleh gas beratom satu pada tekanan rendah dan pada temperatur
yang relatif tinggi.
Sifat gas nyata:
1. Volume molekul gas nyata tidak dapat diabaikan
2. Terdapat gaya tarik menarik antara molekul-molekul gas terutama jika
tekanan diperbesar atau volum diperkecil.
3. Adanya interaksi atau gaya tarik menarik antar molekul gas nyata yang sangat
kuat, menyebabkan gerakan molekulnya tidak lurus, dan tekanan ke dinding
menjadi kecil, lebih kecil daripada gas ideal.
4. Memenuhi persamaan van der waals
(Ariyanti, 2012).

2.2 Besaran Fisik Gas


Metode Victor-Meyer dilakukan untuk menentukan berat molekul dalam
keadaan uap, seperti yang biasa dilakukan, melibatkan asumsi bahwa uap mematuhi
hukum Boyle dan Avogadro pada suhu percobaan. Metode Victor Meyer terdiri dari
penguapan yang dikenal berat cairan dalam ruang dijaga pada suhu tinggi yang tepat
dan konstan. Udara yang dipindahkan dari ruangan oleh sampel yang menguap
didinginkan hingga suhu kamar, dan volumenya diukur dengan hati-hati. Pergantian
udara untuk uap yang sebenarnya sehingga menyediakan sarana untuk menentukan
volume massa uap yang dikenal akan menempati pada suhu kamar jika bisa
didinginkan tanpa kondensasi.
Karena tekanan, suhu, dan volume di dalam ruang pemanas adalah sama sebelum
dan sesudah sampel disuntikkan, jumlah mol gas (udara atau udara ditambah uap) di
dalam ruangan pada dasarnya sama sebelum dan sesudah penguapan, oleh hokum
Avogadro. Volume yang ditempati oleh cairan sebelum penguapan diasumsikan dapat
diabaikan. Dengan demikian, sejumlah udara, sama dalam jumlah mol dengan
kuantitas cairan yang diuapkan, dikeluarkan ke dalam buret gas. Perlu dicatat bahwa
tidak perlu bahwa suhu ruang penguapan diketahui, tetapi harus konstan (Hicks et al,
1930).

2.3 Senyawa volatil


Senyawa volatil adalah senyawa yang mudah menguap, biasanya memiliki titik
didih dibawah titik didih air (<1000C). Molekul pada senyawa volatil memiliki gaya
antar molekul yang sangatlah lemah, gaya antar molekul yang lemah ini
mengakibatkan molekul pada cairan volatil mudah lepas antara satu dengan yang lain.
Lepasnya molekul-molekul didalam cairan ini merupakan salah satu penyebab cairan
volatil mudah menguap. Cairan volatil mudah ditemukan didalam kehidupan sehari-
hari seperti metanol, dietil, eter, aseton, klorofom, benzena.
Berdasarkan teori kinetik gas, cairan volatil dianggap sebagai kelajuan dari fase
gas, dimana fase cairan molekul-molekul mempunyai gaya tarik-menarik yang relatif
lebih besar dibandingkan dengan gas, sehingga jarak antar partikel-partikel jauh lebih
lengkap. Hal inilah yang menyebabkan permukaan cairan dapat menahan volume yang
tepat. Cairan yang mudah menguap, gaya tarik- menarik antar molekulnya rendah.
Partikel-partikelnya cenderung untuk tercerai berai oleh gerakannya masing-masing.
Penguapan cairan terjadi karena molekul-molekul cairan meninggalkan cairan.
Ketika cairan volatil dipanaskan, maka cairan volatil akan menguap dengan
cepat pada temperatur titik didih air. Penguapan ini terjadi akibat adanya pemanasan
atau penambahan suhu, sehingga energi kinetik dalam cairan tersebut bertambah.
Karena seiring bertambahnya suhu maka energi kinetik juga akan semakin besar
(Asnaria, dkk., 2011).

2.4 Teori bahan


2.4.1 Etanol (C2H5OH)
Etanol disebut juga etil alkohol, alkohol absolut atau alkohol saja. Mempunyai
sifat fisika densitas uap :1,59, berat molekul : 46,07g/mol, titik didih : 78,5 oC
(173,3oF), titik lebur : -114,1oC (-173,4oF), tekanan uap: 5,7 kPa dan sifat kimia
berbentuk cairan, tajam,tidak berwarna, mudah larut dalam air panas, mudah larut
dalam air dingin (ScienceLab, 2013a).
Etil alkohol atau lebih dikenal dengan etanol (CH3CH2OH) merupakan salah satu
antiseptik yang bekerja cepat pada konsentrasi yang tepat. Kemampuan bakterisidnya
akan lebih baik bila ada air. Etanol 70% mempunyai potensi antiseptik yang optimum,
karena air membantu denaturasi protein bakteri. Penggunaan etanol 70% pada
umumnya untuk antiseptik kulit sebelum penyuntikan dapat membasmi hampir 90%
bakteri pada kulit dalam waktu 2 menit dengan cara mengoleskannya.
Etanol digunakan sebagai pelarut dan bahan bakar. Etanol mampu mengoksidasi
karbon sebagai sifat kimianya. Etanol teroksidasi oleh asam. Akan tetapi, etanol tidak
mampu melakukan polimerisasi dan tidak tidak dapat terpolimerisasi (Fauzia, 2009).

2.4.2 Aseton (CH3COCH3)


Aseton, CH3COCH3, merupakan salah satu senyawa alifatik keton yang sangat
penting. Pada umumnya aseton digunakan sebagai solven untuk beberapa polimer.
Penggunaan yang bersifat komersial adalah penggunaan sebagai senyawa intermediet
dalam pembuatan methyl methacrylate, bisphenol A, diaseton alcohol dan produk –
produk lain (Lianna dan Lusiana, 2012).
Aseton adalah keton yang paling penting. Ia merupakan cairan volatile dan
mudah terbuka. Aseton adalah pelarut yang baik untuk macam-macam senyawa
organik, banyak digunakan untuk vernis, lak, dan plastic. Tidak seperti kebanyakan
pelarut organik lain aseton bercampur dengan segala perbandingan. Salah satu metode
pembuatan aseton ialah melalui dehidrogenasi isopropil alkohol dengan bantuan kawat
tembaga (Sandi, 2015).

2.4.3 Kloroform (CHCl3)


Kloroform adalah nama umum untuk triklorometana (CHCl3) mempunyai sifat
fisik yaitu tekanan : 21.1 kPa, berat molekul : 119.38 g/mol, titik didih: 61°C
(141.8°F), titik lebur -63.5°C (-82.3°F) , densitas 1.484 g/ml dan sifat kimia yaitu
tidak mudah terbakar, cair pada suhu ruang, tidak berwarna, reaktif pada senyawa
logam alkali, sulit larut dalam air dingin (Sciencelab, 2013b).
Kloroform adalah senyawa berbau manis, cair, padat dan dianggap agak
berbahaya. Kloroform adalah pelarut yang umum di laboratorium karena relatif tidak
reaktif, bercampur dengan cairan organik. Kloroform digunakan sebagai pelarut dalam
farmasi industri dan untuk memproduksi pewarna dan pestisida (Wulandari, 2011).
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
1. Alat Victor Meyer
2. Gelas Ukur (50 ml )
3. Dua standar dan penjepitnya
4. Penangas air
5. Termometer 0-100oC
6. Barometer
7. Neraca analitik
8. Botol kecil
9. Pelarut Volatil (Cairan X)
10. Pembakar gas

3.1.2 Bahan
1. Pelarut Volatil (Cairan X)

3.2 Prosedur Percobaan


1. Susun alat seperti pada gambar 3.1
2. Didihkan air yang terdapat pada tabung gelas G . Gelembung-gelembung
udara akan timbul dari pipa E yang ditempatkan dalam air.
3. Timbanglah botol kecil beserta tutupnya. Isi botol kecil* dengan kira-kira
0,1 gram cairan X, lalu ditutup. Timbang botol kecil yang berisi cairan X
beserta tutupnya dengan teliti. Tempatkan botol kecil pada tabung gelas G,
sedimikian rupa sehingga botol kecil ini terletak pada batang gelas C pada
posisi B. Setelah itu, tutuplah penutup A erat-erat.
4. Air pada tabung gelas G terus didihkan sampai system mencapai
kesetimbangan. Pada saat ini tidak ada lagi gelembung udara yang muncul
dari pipa gelas F.
5. Isi gelas ukur F dengan air, kemudian tempatkan gelas ukur ini di atas pipa
gelas E.
6. Tarik batang gelas C sehingga botol kecil yang berisi cairan X akan jatuh
dari B ke D. Benang wol yang terdapat pada tabung gelas D akan mencegah
pecahnya gelas D.
7. Air terus didihkan. Panas yang berasal dari tabung gelas G akan
menyebabkan cairan volatile yang terdapat pada botol kecil akan menguap
dan tutup botol kecil yang sengaja ditutup tidak terlalu erat akan terbuka
karena adanya tekanan uap. Cairan yang ada di dalam botol kecil ini akan
menguap dan uapnya akan memenuhi gelas ukur F. Tunggu sampai tidak
ada lagi gelembung udara yang timbul dari E.
8. Atur gelas ukur F sampai meniskusnya sejajar dengan permukaan air pada
penangas air. Dengan cara ini tekanan di dalam dan di luar gelas ukur F tepat
sama. Catat volume gas yang terdapat dalam gelas ukur F, dan juga jangan
lupa mencatat suhu pengangas air.
9. Ukur tekanan atmosfer dengan menggunakan barometer.
10. Setelah dingin timbanglah botol kecil beserta tutupnya dan catat hasil yang
diperoleh pada tempat yang disediakan.
3.3 Rangkaian Alat

Gambar 3.1 Rangkaian Alat Victor Meyer


MODUL II
Panas Pelarutan
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Termodinamika adalah ilmu yang mempelajari perubahan-perubahan energi
yang menyertai suatu proses fisika dan kimia. Ada dua hal yang menjadi penekanan
dalam mempelajari termodinamika yaitu:
1. Penentuan kalor reaksi (termokimia)
2. Penentuan arah suatu proses dan sifat-sifat sistem dalam kesetimbangan
(termodinamika).
Termokimia ialah cabang kimia yang berhubungan dengan hubungan timbal
balik panas dengan reaksi kimia atau dengan perubahan keadaan fisika. Dengan cara
ini,termokimia berguna untuk memperkirakan perubahan energi yang terjadi dalam
proses reaksi kimia, perubahan fase dan pembentukan larutan.

1.2 Perumusan Masalah


Perumusan masalah dari percobaan ini adalah menentukan panas pelarutan dan
menggunakan hukum Hess dalam menentukan panas reaksi secara tidak langsung.

1.3 Tujuan Percobaan


Tujuan dari percobaan ini yaitu untuk mempelajari menentukan panas pelarutan
dan menggunakan hukum Hess dalam menentukan panas reaksi secara tidak langsung.

1.4 Manfaat Percobaan


Pemahaman yang lebih baik mengenai menentukan panas pelarutan dan
menggunakan hukum Hess dalam menentukan panas reaksi secara tidak langsung.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kalor
Kalor didefinisikan sebagai energi panas yang dimilik oleh suatu zat. Secara
umum untuk mendeteksi adanya kalor yang dimiliki oleh suatu benda yaitu dengan
mengukur suhu benda tersebut. Jika suhunya tinggi maka kalor yang dikandung oleh
benda sangat besar, begitu juga sebaliknya jika suhu rendah maka kalor yang
dikandung sedikit.
Besar kecilnya kalor yang dibutuhkan suatu benda (zat) tergantung pada 3 faktor:
1. Massa zat
2. Jenis zat (kalor jenis)
3. Perubahan suhu (Rohmah dan Tatun, 2015).
sehingga secara matematis dapat dirumuskan:
Q = m . c . ∆T (Yanti, dkk., 2014).
Dimana: Q = Kalor yang dibutuhkan [J]
m = Massa [gr]
c = Kalor jenis [J/gr oC]
∆T = Perubahan suhu [oC] (Yanti, dkk., 2014).

2.2 Asas Black


Menurut asas Black apabila dua benda dengan suhu yang berbeda disatukan atau
dicampur maka akan terjadi aliran kalor dari benda yang bersuhu tinggi ke benda yang
bersuhu rendah. Aliran ini akan berhenti sampai terjadi keseimbangan thermal (suhu
ke dua benda sama). Secara matematis dirumuskan:
Qlepas = Qterima (Rohmah dan Tatun, 2015)

2.3 Panas Pelarutan


Menurut (Sukardjo, 2004) panas yang timbul atau diserap pada pelarutan suatu
zat dalam suatu pelarut disebut panas pelarutan. Dan panas pelarutan terbagi menjadi
dua yaitu panas pelarutan ‘integral’ dan panas pelarutan ‘diferensial’. Panas pelarutan
integral didefenisikan sebagai perubahan entalpi jika 1 mol zat dilarutkan dalam n mol
pelarut. Panas pelarutan diferensial didefenisikan sebagai perubahan entalpi jika 1 mol
zat terlarut dilarutkan dalam jumlah larutan yang tidak terhingga, sehingga
konsentrasinya tidak berubah dengan penambahan 1 mol zat terlarut (Dogra, 1984).
Dalam percobaan ini akan dicari panas pelarutan dua senyawa, yaitu
CuSO4.5H2O dan CuSO4.anhidrat. Lalu dengan menggunakan hukum Hess akan
dihitung panas reaksi:
CuSO4 (S) + aqdddddd CuSO4.5H2O(S) (Bird, 1987).
Menurut Hess panas yang panas yang timbul atau diserap pada suatu reaksi tidak
tergantung pada cara bagaimana reaksi tersebut berlangsung, hanya tergantung kepada
keadaan awal dan akhir (Sukardjo, 2004).

BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 BahandanFungsi
Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan adalah:
1. Aquadest
Fungsi: sebagai pelarut
2. CuSO4.5H2O
Fungsi: sebagai sampel dalam percobaan
3. CuSO4 anhidrat
Fungsi: sebagai sampel dalam percobaan

3.2 Peralatan dan Fungsi


Peralatan yang digunakan dalam percobaan ini adalah:
1. Batang Pengaduk
Fungsi: sebagai alat untuk mengaduk cairan
2. Beaker glass
Fungsi: sebagai wadah atau tempat larutan.
3. Bunsen
Fungsi: sebagai sumber panas dalam proses pemanasan.
4. Cawan porselen
Fungsi: sebagai wadah untuk memanaskan sampel.
5. Desikator
Fungsi: sebagai tempat untuk mendinginkan sampel.
6. Gelas ukur
Fungsi: sebagai mengukur cairan dalam volume tertentu.
7. Kaki tiga
Fungsi: sebagai penyangga ketika proses pemanasan.
8. Kalorimeter
Fungsi: sebagai alat untuk menghitung kalor.
9. Mortal dan pestel
Fungsi: sebagai alat untuk memperkecil ukuran sampel.
10. Termometer
Fungsi: sebagai mengukur suhu.
11. Stopwatch
Fungsi: sebagai menghitung waktu terjadinya reaksi.

3.3 Prosedur Percobaan


Prosedur percobaan panas pelatutan adalah sebagai berikut:
3.3.1 Menentukan tetapan harga kalorimeter
1. Ukur …. ml aquadest dengan gelas ukur. Masukkan aquadest ke dalam
kalorimeter; aduk dan catat suhu aquadest dalam kalorimeter setiap 30
detik hingga menit ke-….
2. Panaskan aquadest sebanyak …. ml ke dalam beaker glass di atas
temperatur kamar
3. Tepat pada menit ke-…., masukkan air panas yang suhunya telah
diketahui sebanyak …. ml
4. Catat suhu aquadest dalam kalorimeter tiap 30 detik dengan tak lupa
mengaduknya sampai menit ke-….

3.3.1 Menentukan panas pelarutan dan panas reaksi


1. Timbang …. gram kristal CuSO4.5H2O.
2. Haluskan kristal CuSO4.5H2O pada mortal dan pestel, lalu hancurkan
sampai diperoleh serbuk halus.
3. Timbang …. gram CuSO4.5H2O yang telah dihancurkan tadi dengan
neraca analitik.
4. Siapkan kalorimeter beserta pengaduk dan termometer, kemudian
masukkan ke dalam kalorimeter 100 ml aquadest.
5. Catatlah suhu setiap …. detik menggunakan stopwatch.
6. Setelah suhu aquadest di dalam kalorimeter tidak berubah lagi
tambahkan … gram CuSO4.5H2O dan aduk kuat-kuat. Catat waktu
ketika CuSO4.5H2O ditambahkan, lalu lanjutkan pembacaan suhu setiap
30 detik sampai menit ke …. Dihitung dari waktu penambahan
CuSO4.5H2O.
7. Panaskan …. gram serbuk CuSO4.5H2O lain dalam cawan porselen.
Aduk perlahan-lahan sampai semua air hidrat yang terdapat pada serbuk
hidrat ini menguap seluruhnya (ditandai dengan perubahan warna dari
biru menjadi putih). Simpan serbuk anhidrat tersebut dalam desikator,
tunggu serbuk itu menjadi dingin.
8. Dengan menggunakan serbuk CuSO4 anhidrat, ulangi langkah 3 sampai
6.

Gambar 3.1. Rangkaian Alat Percobaan


MODUL III
Volume Molal Parsial
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Molal atau molalitas didefinisikan sebagai jumlah mol zat terlarut per kg pelarut,
berarti merupakan perbandingan antara jumlah mol zat terlarut dengan massa pelarut
dalam kilogram sementara. Volume molal parsial adalah kontribusi pada volume, dari
satu komponen dalam sampel terhadap volume total. Volume molal parsial komponen
suatu campuran berubah-ubah tergantung pada komposisi, karena lingkungan setiap
jenis molekul berubah jika komposisinya berubah dari A murni ke B murni. Perubahan
lingkungan molekuler dan perubahan gaya-gaya yang bekerja antara molekul inilah
yang menghasilkan variasi sifat termodinamika campuran jika komposisinya berubah
(Dogra, 1990).
Volume molal parsial suatu larutan adalah penambahan volume yang terjadi bila
satu mol komponen I ditambahkan pada larutan. Percobaan volume molal parsial
bertujuan untuk menentukan volume molal parsial larutan NaCl dalam berbagai
konsentrasi yang dilakukan dengan cara mengukur berat jenis larutan NaCl
menggunakan piknometer (Brady, 1990).
Berdasarkan teori di atas, untuk mengetahui metode-metode penentuan volume
molal parsial yang merupakan sifat dari termodinamika molal parsial utama maka
percobaan ini dilakukan untuk mempermudah pemahaman teori yang ada serta
menganalisis sekiranya tidak terdapat korelasi antara hasil yang diperoleh di
laboratorium dengan apa yang ada dalam teori (Prahayu, 2013)

1.2 Tujuan Percobaan


Tujuan dari percobaan ini adalah untuk menentukan nilai volume molal parsial
larutan tertentu sebagai fungsi konsentrasi dengan mengukur densitas larutan
menggunakan piknometer.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Volume Molal Parsial


Molal atau molalitas didefinisikan sebagai jumlah mol solute per kg solvent.
Berarti merupakan perbandingan antara jumlah mol solute dengan massa solvent dalam
kilogram.

mol zat terlarut mol


Molal = ( kg )
massa pelarut

Jadi, jika ada larutan 1,00 molal maka mengandung 1,00 mol solute tiap 1,00 kg solvent
(Brady,1990:592).
Volume molal parsial dapat diartikan suatu kontribusi sebuah komponen
terhadap volume sampel dengan volume totalnya. Volume molal parsial sutau
campuran dapat berubah – ubah komponennya tergantung pada komposisi campuran
tersebut. Perubahan lingkungan dan gaya – gaya antara molekul suatu campuran itu
sendirilah yang dapat menyebabkan variasi sifat termodinamika campuran jika
berubah komposisinya (Atkins, 1993).
Misalkan air murni ditambahkan 1 mol H2O, maka volumenya bertambah 18
cm3. Sehingga dapat dikatakan 18 cm3/mol merupakan volume molal air murni.
Sedangakan jika 1 mol H2O ditambahkan ke etanol perubahan volumenya adalah 14
cm3. Perbedaan kenaikan volume antara air dan molekul disebabkan
berbedanya volume molal. Pada dasarnya volume yang ditempati air bergantung pada
molekul–molekul yang mengelilinginya. Sehingga H2O dikelilingi oleh etanol, hal
inilah yang menyebabkan etanol hanya menempati ruang sebesar 14 cm3. Jadi volume
molal parsial air dalam etanol adalah volume campuran yang dianggap dari satu
komponen (Atkins, 1993).
Satu hal yang harus diingat adalah bahwa sifat molal parsial dari suatu komponen
dalam suatu larutan dan sifat molal untuk senyawa murni adalah sama jika larutan
tersebut ideal (Dogra,1990:580).
Secara matematik, volume molal parsial didefinisikan sebagai
𝜕𝑉
( ) ̅𝑖
=𝑉
𝜕𝑛𝑖 𝑇,𝑝,𝑛
𝑗

̅𝑖 adalah volume molal parsial dari komponen ke-i. Secara fisik 𝑉


Dimana 𝑉 ̅𝑖 berarti
kenaikan dalam besaran termodinamik V yang diamati bila satu mol senyawa i
ditambahkan ke suatu sistem yang besar, sehingga komposisinya tetap konstan.
Volume molal pelarut murni yang dapat dihitung dari berat molekul (18,016
untuk air) dibagi dengan berat jenis.

2.2 Teori Sampel


2.2.1 Natrium Klorida (NaCl)
Natrium klorida merupakan suatu senyawa kimia dengan rumus kimia NaCl.
Sifat fisik dan kimia yang dimiliki oleh NaCl yaitu berbentuk bubuk kristal padat yang
sedikit berbau, berasa garam, dengan warna putih. Bahan ini memiliki berat molekul
58,44 g/mol, titik didihnya 1413° C dan titik lelehnya 801° C. NaCl ini mudah larut
dalam air dingin, air panas, gliserol, dan amonia. Sangat sedikit larut dalam alkohol
dan tidak larut dalam asam klorida. (Sciencelab, 2014).

2.2.2 Aquades
Aquades disebut juga Aqua Purificata (air murni) dengan rumus molekul H 2O.
Air murni adalah air yang dimurnikan dari destilasi. Satu molekul air memiliki dua
atom hidrogen kovalen terikat untuk satu oksigen. Aquades merupakan cairan yang
jernih, tidak berwarna dan tidak berbau. Aquades juga memiliki berat molekul sebesar
18,0 g/mol dan PH antara 5-7. Rumus kimia dari aquades yaitu H2O. Aquades ini
memiliki allotrop berupa es dan uap. Senyawa ini tidak berwarna, tidak berbau dan
tidak meiliki rasa. Aquades merupakan elektrolit lemah. Air dihasilkan dari
pengoksidasian hidrogen dan banyak digunakan sebagai bahan pelarut bagi
kebanyakan senyawa (Sarjoni, 2003).
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
1. Batang Pengaduk
Fungsi : sebagai alat pengaduk.
2. Erlenmeyer
Fungsi : sebagai wadah penyimpanan larutan.
3. Gelas Ukur
Fungsi : sebagai alat pengukur volume larutan sampel.
4. Labu Ukur
Fungsi : sebagai alat untuk membuat larutan sampel.
5. Piknometer
Fungsi : sebagai alat pengukur densitas larutan.

3.1.2 Bahan
1. Aquades
Fungsi : sebagai pelarut juga bahan yang akan dihitung nilai volume
molal parsialnya.
2. Sampel
Fungsi : sebagai bahan yang akan dihitung nilai volume molal parsialnya.

3.2 Prosedur Percobaan


a. Pembuatan Larutan Sampel
1. Ditimbang sebanyak .... gram sampel untuk membuat larutan sampel ....
M dengan volume ....ml.
2. Dilarutkan dalam .... ml aquades dengan menggunakan labu ukur .... ml.
3. Dilakukan pengenceran untuk mendapatkan larutan sampel dengan
konsentrasi .... M; .... M; .... M; .... M.
b. Pengukuran dengan Piknometer
1. Ditimbang dan dicatat berat piknometer kosong (We).
2. Ditimbang dan dicatat berat piknometer yang terisi penuh aquades
(Wo).
3. Ditimbang dan dicatat berat piknometer yang terisi penuh larutan
sampel (W).
4. Diulangi langkah (b-3) untuk larutan sampel berbagai konsentrasi.
MODUL IV
Kesetimbangan Uap-Cair
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap proses pemisahan bergantung pada prinsip pemisahan molekul-molekul.
Ada yang terpisah karena perbedaan fasa – penyaring memisahkan padatan dari cairan,
ekstraktor kabut memisahkan cairan dari gas, dekanter memisahkan cairan yang tidak
bersatu. Ada yang terpisah karena terjadinya perubahan fasa – dryer menguapkan
komponen seperti air, dan meninggalkan padatan nonvolatil. Distilasi memisahkan
komponen berdasarkan perbedaan kevolatilan masing-masing komponen (Smith,
2012).
Suatu zat cair ketika dipanaskan dalam wadah yang tertutup akan lebih cepat
mendidih dibanding dengan zat cair yang dipanaskan dalam wadah terbuka. Hal itu
terjadi karena pengaruh tekanan uap cairan, ketika tekanan uap cairan sama dengan
tekanan uap luar saat itulah dikatakan mendidih. Zat cair dalam wadah tertutup,
walaupun tekanan uap naik ketika cairan dipanaskan, rapatan uap bertambah karena
uap itu dibatasi oleh volume tetap dan rapatan cairan sedikit berkurang. Karena wadah
yang tertutup, dapat diketahui batas antara fase uap dan fase cair yang tidak setimbang.
Tahap dimana rapatan uap sama dengan rapatan sisa cairan, dan batas antar fase hilang
disebut kesetimbangan antara uap dan cair (Anggraini, 2011).
Distilasi sederhana atau distilasi biasa adalah teknik pemisahan kimia untuk
memisahkan dua atau lebih komponen yang memiliki perbedaan titik didih yang jauh.
Suatu campuran dapat dipisahkan dengan destilasi biasa ini untuk memperoleh
senyawa murni. Senyawa yang terdapat dalam campuran akan menguap saat mencapai
titik didih masing-masing (Walangare, dkk., 2013)
Untuk desain kolom destilasi serta ekstraksi cair cair pada proses pemisahan
diperlukan berbagai macam informasi antara lain data kesetimbangan uap cair/ vapor
liquid equilibrium (VLE), kesetimbangan cair cair/ liquid-liquid equilibrium (LLE).
Pada kolom destilasi, sifat kesetimbangan uap cair suatu campuran akan menentukan
desain seperti jumlah stages, jumlah tray, dan ketinggian kolom destilasi (Hartanto dan
Bayu, 2014).
Dalam lingkup teknik kimia, pemahaman tentang kesetimbangan uap-cair sangat
diperlukan karena banyak proses industri kimia yang memerlukan konsep
kesetimbangan uap-cair dalam pengembangannya. Oleh karena itu, penting bagi
seorang sarjana teknik kimia untuk mempelajari kesetimbangan uap cair karena
penerapannya cukup banyak pada proses industri kimia.

1.2 Perumusan Masalah


Perumusan masalah dalam percobaan kesetimbangan uap-cair ini adalah
bagaimana cara untuk mencari hubungan antara komposisi uap dengan komposisi
cairan dengan suhu dan tekanan pada kondisi kesetimbangan uap-cair.

1.3 Tujuan Percobaan


Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mencari hubungan antara komposisi uap
dengan komposisi cairan dengan suhu dan tekanan pada kondisi kesetimbangan uap-
cair.

1.4 Manfaat Percobaan


Manfaat dari percobaan ini adalah praktikan dapat mengetahui hubungan
antara komposisi uap dengan komposisi cairan dengan suhu dan tekanan pada
kondisi kesetimbangan uap-cair serta kegunaannya dalam proses destilasi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kesetimbangan Uap-Cair


Kesetimbangan fase seperti kesetimbangan uap-cair (VLE), berhubungan dengan
suatu sistem pada saat mana fase cair berada dalam kesetimbangan dengan fasa
uapnya. Karakteristik dari kesetimbangan fase dalam thermodinamika adalah adanya
kesamaan tekanan, suhu dan fugasitas dari masing-masing komponen dalam semua
fase yang berada dalam kesetimbangan, yaitu :
𝑉 𝐿
ḟ𝑖 = ḟ𝑖 (Kuswandi, dkk., 2008)
Aturan Lewis/Randall memberikan definisi bahwa fugasitas dalam larutan ideal
merupakan fungsi dari konsentrasi :
𝑖𝑑𝑒𝑎𝑙
ḟ𝑖 = 𝑥𝑖 𝑓𝑖 (Kuswandi, dkk., 2008)
Kesetimbangan komposisi distribusi komponen campuran pada fasa uap dan fasa
cair harus berbeda apabila pemisahan akan dilakukan dengan metode distilasi.
Komposisi campuran pada kesetimbangan termodinamika disebut sebagai
kesetimbangan uap-cair dan dapat dihubungkan atau diprediksikan dengan bantuan
persamaan termodinamika. Gaya pendorong untuk semua jenis distilasi adalah
kesetimbangan uap-cair, yang memiliki perbedaan komposisi yang diinginkan.
Kesetimbangan uap cair yang akurat sangat penting dalam pembuatan desain kolom
distilasi dan untuk kebanyakan operasi yang melibatkan bertemunya fase cair-uap.
Walaupun telah ada data terukur yang diukur dengan teliti, model termodinamika
secara umum masih perlu untuk dilakukan extrapolasi atau interpolasi data untuk
kondisi yang tidak disediakan dalam eksperimen. Kesetimbangan uap-cair pada sistem
kadangkala sederhana dan mudah disajikan dalam bentuk persamaan ataupun, pada
beberapa sistem, sangat kompleks sehingga tidak dapat diukur ataupun disajikan
(Anggraini, 2011).
Pada sebuah wadah tertutup dengan fasa uap dan cair pada kesetimbangan
termodinamika akan terbentuk paling sedikit dua campuran komponen pada masing-
masing fasa. Komponen-komponen tersebut terdistribusi di antara fasa tergantung dari
kevolatilan relatif masing-masing. Rasio distribusi untuk komponen i campuran dapat
didefinisikan menggunakan fraksi mol:
Ki = Yi / Xi (Syofyan, dkk., 2008)
dimana persamaan ini digunakan untuk menyatakan kondisi kesetimbangan.
Nilai K, yang dikenal sebagai rasio perbandingan kesetimbangan uap-cair, digunakan
secara luas khususnya dalam industri petroleum dan petrokimia. Untuk semua
campuran dengan dua komponen i dan j, kevolatilan relatif komponen tersebut, sering
disebut nilai alfa, didefinisikan sebagai:
Ki Yi Xj Yi(1-Xi)
αij= = = (Syofyan, dkk., 2008)
Kj Xi Yj Xi(1-Yi)

Kevolatilan relatif, α, adalah hasil pengukuran langsung dari separasi dengan


distilasi. Apabila α = 1, maka pemisahan komponen tidak mungkin terjadi, karena
komponen fase uap dan cair adalah sama. Pemisahan dengan distilasi menjadi mudah
seiring dengan bertambahnya nilai kevolatilan relatif. Pemisahan distilasi dengan nilai
α kurang dari 1,2 umumnya sulit dilakukan; untuk nilai α yang lebih dari 2 umumnya
mudah dilakukan (Syofyan, dkk., 2008).

2.2 Dew Point dan Bubble Point


Ketika cairan dipanaskan perlahan-lahan pada tekanan konstan, temperatur pada
saat pertama kali uap gelembung terbentuk disebut temperatur bubble point pada
cairan yang diberi tekanan. Ketika gas (uap) didinginkan secara perlahan pada
temperatur konstan, temperatur pada saat pertama kali tetes terbentuk disebut
temperatur dew point saat diberi tekanan. Perhitungan temperatur bubble point dan
dew point dapat secara kompleks untuk sembarang komponen campuran.
Bagaimanapun, jika cairan berjalan pada keadaan ideal (satu untuk menurut hukum
Raoult’s atau hukum Henry’s untuk semua komponen) dan fasa gas juga dapat juga
mempertimbangankan keadaan ideal, perhitungan secara relatif berlangsung terus-
menerus (Syofyan, dkk., 2008).

Komponen tunggal refrigerant akan menguap atau mengembun pada temperatur


tunggal disebut titik didih. Selama penguapan, cairan mencapai titik dimana
gelembung mulai terbentuk dan cairan mendidih menjadi uap di titik didih. Ketika tetes
terakhir cairan menghilang, input panas tambahan menyebabkan uap menjadi
superheat (mencapai suhu di atas titik didih). Selama kondensasi, uap membentuk tetes
cairan dan terus mengalami kondensasi pada titik didih. Ketika uap terakhir
menghilang, setiap penghapusan tambahan panas menyebabkan cairan menjadi
subcool (Suhu lebih rendah dari titik didih) (Lavelle, 2006).

Gambar 2.1 Dew dan Bubble Point pada Kesetimbangan Uap-Cair


(Syofyan, dkk., 2008)

Gambar 2.2 Kesetimbangan Uap-Cair (y-x)


(Syofyan, dkk., 2008)
Kesetimbangan uap-cair yang umum untuk sistem biner ditunjukkan pada
Gambar 2. Gambar 2.1 adalah diagram titik didih yang menunjukkan komposisi saat
equilibrium sebagai fungsi dari temperatur pada tekanan konstan. Garis yang berada
di bawah adalah garis bubble point cairan, tempat terdapatnya titik-titik dimana cairan
yang dipanaskan membentuk gelembung uap yang pertama. Garis yang berada di atas
adalah garis dew point uap, menunjukkan titik-titik dimana uap saat mengalami
penurunan suhu membentuk tetesan cairan yang pertama. Gambar 2.2 merupakan
diagram fasa isobarik secara umum atau disebut diagram y-x (Syofyan, dkk., 2008).
Temperatur dew point terjadi ketika tetesan pertama cairan muncul sebagai
campuran uap yang didinginkan (pada tekanan konstan). Temperatur bubble point
terjadi ketika gelembung pertama uap muncul sebagai campuran cairan yang
dipanaskan (tekanan konstan). Jika suhu aliran ini diantara dew point dan bubble point,
perhitungan cepat isotermal harus dilakukan untuk menentukan kualitas streaming,
entalpi dan nilai-nilai entropi (Kandula, dkk., 2013).

2.3 Hukum-hukum Fasa


Hukum-hukum untuk kesetimbangan uap-cair adalah sebagai berikut:
2.3.1 Hukum Dalton
Hukum Dalton menyatakan bahwa tekanan total suatu campuran gas merupakan
jumlah dari tekanan-tekanan parsial dari semua komponen-komponennya.
P  PA  PB  ....  PN (Yanita, dkk., 2010)
Tekanan parsial suatu komponen sebanding dengan banyaknya mol komponen
tersebut.

2.3.2 Hukum Henry


Hukum Henry menyatakan bahwa tekanan parsial suatu komponen (A) di atas
larutan sebanding dengan fraksi mol komponen tersebut dalam larutan. Penyataan ini
dapat dituliskan:
PA  H . X A (Yanita, dkk., 2010)

Keterangan:
PA = Tekanan parsial komponen A di atas larutan
XA = Fraksi mol komponen A
H = Konstanta hukum Henry (Harga konstanta hukum Henry berubah terhadap
perubahan temperatur)
Berdasarkan kurva hubungan tekanan parsial terhadap temperatur, ditunjukkan
bahwa kurva tekanan parsial dari tiap-tiap komponen menjadi lurus pada ujung kurva,
dimana komponen dalam larutan tersebut sedikit. Melalui penggunaan hukum Henry
pada perubahan temperatur yang kecil, sehingga konstanta hukum Henry masih
dianggap konstan, maka perubahan tekanan parsial terhadap fraksi mol pada ujung
kurva tersebut dapat dianggap megikuti hukum Henry secara tepat (Yefnida dan Irene,
2006).

2.3.3 Hukum Raoult


Hukum Raoult juga memberikan hubungan antar tekanan parsial suatu zat di atas
larutan dengan fraksi molnya. Hukum Raoult dapat didefinisikan untuk fase uap-cair
dalam kesetimbangan, sebagai berikut :
PA  PAo . X A (Yanita, dkk., 2010)
dimana, PA adalah tekanan parsial komponen A di atas larutan dengan fraksi mol A
o
adalah XA dan PA adalah tekanan uap komponen A dalam keadaan murni pada
temperatur larutan tersebut.
Hukum Raoult berlaku untuk larutan ideal, seperti larutan benzena-toluena, n-
heksana-heptana, dan metil alkohol-etil alkohol, yang biasanya zat-zat tersebut
mempunyai sifat kimia yang sama atau secara kimia mirip satu sama lain.
Untuk larutan encer hukum Raoult berlaku bagi pelarutnya. Kenaikan temperatur
larutan akan memperbesar penguapan yang berakibat pula memperbesar tekanan uap
larutan atau tekanan total (Yanita, dkk., 2010).

2.4 Distilasi
Setiap proses pemisahan bergantung pada prinsip pemisahan molekul-molekul.
Ada yang terpisah karena perbedaan fasa – penyaring memisahkan padatan dari cairan,
ekstraktor kabut memisahkan cairan dari gas, dekanter memisahkan cairan yang tidak
bersatu. Ada yang terpisah karena terjadinya perubahan fasa – dryer menguapkan
komponen seperti air, dan meninggalkan padatan nonvolatil. Distilasi memisahkan
komponen berdasarkan perbedaan kevolatilan masing-masing komponen (Smith,
2012).
Distilasi adalah suatu metode pemisahan yang didasarkan pada perbedaan
komposisi antara campuran cairan dan uap yang dihasilkannya. Perbedaan komposisi
muncul dari perbedaan tekanan uap efektif, atau kevolatilan, dari komponen-
komponen dalam campuran. Ketika perbedaan yang demikian tidak terbentuk, seperti
pada titik azeotrop, pemisahan dengan distilasi biasa tidak mungkin dapat dilakukan.
Untuk penggunaan normal, distilasi melibatkan kondensasi dari material yang berubah
menjadi uap, biasanya pada proses penguapan atau pengondensasian banyak senyawa,
sehingga hal ini berbeda dari evaporasi, yang umumnya digunakan pada pemisahan
cairan dari padatan tetapi dapat juga digunakan pada operasi konsentrasi cairan yang
sederhana.
Distilasi sederhana melibatkan aplikasi panas pada campuran dalam bentuk
larutan, penguapan sebagian campuran, dan pemindahan panas dari bagian yang
diuapkan. Hasil larutan yang dikondensasi, dinamakan distilat, lebih banyak terdapat
pada komponen yang lebih volatil dan sisa yang tidak teruapkan lebih banyak terdapat
pada komponen yang kurang volatil. Kebanyakan distilasi komersial menggunakan
beberapa tahap untuk mendapatkan hasil yang lebih murni daripada yang mungkin
didapatkan dengan satu kali penguapan dan kondensasi (Maryam, dkk., 2012).
Proses pemisahan sistem biner adalah proses dimana laju umpan masuk hanya
mengandung dua jenis komponen. Pemisahan biner umumnya dilakukan pada
percobaan, tetapi pada kebanyakan industri digunakan multikomponen.
Contoh distilasi biner yang umum adalah kolom dengan laju umpan berupa
campuran benzena dan toluena. Pada tekanan atmosfer, benzena mendidih pada 80,1
°C; toluena mendidih pada 110,8 °C. hal ini menyebabkan benzena bersifat lebih
volatile dibandingkan toluene. Apabila campuran benzena dan toluena dipanaskan
sampai bubble point, maka benzena akan menguap. Apabila campuran mengandung
50% benzena dan 50% toluena, uap akan mengandung lebih dari 50% benzena dan
kurang dari 50% toluena.
Pada distilasi, istilah “ringan” dan “berat” digunakan untuk membedakan
komponen-komponen. Tetapi saat digunakan pada distilasi, istilah tersebut tidak
mencerminkan berat, densitas dan hal lain yang berhubungan dengan massa.
Komponen ringan adalah komponen yang lebih volatil; komponen berat adalah
komponen yang kurang volatil.
Pada distilasi biner, komponen ringan dan berat akan muncul pada kedua aliran
produk. Komponen yang muncul pada kedua aliran produk dinamakan “komponen
terdistribusi”. Pada perkiraan Hengstebeck, hanya yang ringan dan berat yang
terdistribusi, asumsi yang diambil adalah sebagai berikut:
1. Semua komponen laju alir yang lebih ringan keluar dengan produk distilat.
Umumnya, komponen-komponen ini adalah gas yang tidak dapat berkondensasi.
2. Semua komponen laju alir yang lebih berat keluar dengan produk bawah.
Umumnya, komponen-komponen ini adalah cairan nonvolatil.
(Smith, 2012)
Distilasi adalah metode pemisahan dan pemurnian komponen cairan yang paling
penting dalam industri. Distilasi tidak memerlukan agen pemisah seperti solven,
absorben, atau membrane, dan distilasi memanfaatkan energy yang terdapat dalam
media pemanas yang sesuai (umumnya uap).
Dengan banyaknya pengalaman terhadap desain dan pengoperasian akan
membuat prediksi kinerja kerja kolom distilasi lebih akurat dibandingkan prediksi
yang sama untuk metode lain.
Pemisahan dengan distilasi bergantung pada faktor seperti kesetimbangan uap-cair
yang diinginkan, komposisi laju umpan, banyaknya komponen yang ingin dipisahkan,
kemurnian produk yang diperlukan, tekanan absolut pada distilasi, dan sensitivitas
panas (Maryam, dkk., 2012).
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Bahan dan Fungsi


Adapun bahan-bahan yang digunakan di dalam percobaan ini adalah :
1. Aquadest (H2O)
Fungsi: sebagai komponen pelarut campuran biner.
2. Asam Asetat (CH3COOH)
Fungsi: sebagai sampel dalam percobaan atau campuran larutan biner.
3. Indikator Phenolphthalein (C20H14O6)
Fungsi : sebagai indikator asam basa dalam titrasi.
4. Kalium Hidroksida (KOH)/Natrium Hidroksida (NaOH)
Fungsi: sebagai larutan pentiter dalam percobaan.

3.2 Peralatan dan Fungsi


Adapun peralatan yang digunakan pada percobaan adalah:
1. Bunsen
Fungsi: sebagai sumber pemanasan.
2. Buret
Fungsi: wadah untuk zat pentiter.
3. Corong gelas
Fungsi: memudahkan dalam penuangan larutan.
4. Erlenmeyer
Fungsi: wadah untuk membuat larutan.
5. Gelas ukur
Fungsi: mengukur volume larutan.
6. Klem dan statif
Fungsi: merangkai buret untuk proses pentitrasian.
7. Labu distilasi
Fungsi: wadah untuk distilasi.
8. Pendingin Leibig
Fungsi: mendinginkan distilat menjadi fase cair.
9. Piknometer
Fungsi: mengukur densitas larutan.
10. Termometer
Fungsi: mengukur suhu larutan ketika dipanaskan.

3.3 Prosedur Percobaan


Adapun prosedur percobaan adalah sebagai berikut:
1. Asam asetat sebanyak ..... ml dicampurkan dengan aquadest ….. ml.
2. Campuran tersebut dimasukkan ke dalam labu distilasi.
3. Densitas larutan biner ditentukan dengan menggunakan piknometer.
4. Larutan dari labu distilasi dipipet sebanyak 5 ml dan dipindahkan ke erlenmeyer.
5. Phenolphthalein diteteskan dan kemudian dititer dengan KOH/NaOH ….. N.
Volume KOH/NaOH yang digunakan dicatat.
6. Kemudian campuran dalam labu distilasi dipanaskan perlahan-lahan, hingga
tetes pertama distilat keluar, suhu dicatat.
7. Distilat ditampung dalam erlenmeyer hingga mencapai kenaikan suhu …..oC dari
keadaan semula.
8. Volume dan densitas distilat diukur.
9. Distilat diambil sebanyak 5 ml ditambahkan phenolphthalein 3 tetes dan dititer
dengan KOH/NaOH ….. N.
10. Selanjutnya distilat yang baru, ditampung dalam labu erlenmeyer yang lain dan
lakukan hal yang sama dengan prosedur (5) dan (6), sehingga tercapai suhu
konstan.
3.4 Rangkaian Alat Percobaan

Gambar 3.1 Rangkaian Peralatan Distilasi


MODUL V
Kesetimbangan Cair-Cair
BAB I
PENDAHULUAN

1.5 Latar Belakang


Ekstraksi cair-cair adalah proses pemisahan zat cair yang terlarut dalam cairan
dengan cara mengontakkannya dengan zat cair lain yang dapat melarutkan zat terlarut.
Ekstraksi digunakan untuk memisahkan umpan yang terdiri atas zat terlarut (solute)
dan zat yang mencairkan (dilute) yang dikontakkan dengan pelarut (solven).
Komponen yang diekstrak larutan pada pelarut (solven) dan komponen lainnya relatif
tidak larut pada pelarut. Perbedaan konsentrasi solut di dalam suatu fasa dengan
konsentrasi solut pada keadaan setimbang merupakan pendorong terjadinya pelepasa
solut dari diluent. Gaya dorong (driving force) yang menyebabkan terjadinya proses
ekstraksi dapat ditentukan dengan mengukur penyimpangannya dari kondisi
setimbang (Velayas dan Iffa, 2013).
Percobaan ini dilatarbelakangi oleh perlunya mempelajari dan mengetahui cara
pemisahan zat dengan ekstraksi. Dalam hal ini, berarti ekstraksi tidak hanya berfungsi
sebagai pemisahan zat-zat saja, namun sesuai dengan kegunaannya ekstraksi juga
dapat dilakukan untuk mengambil suatu bahan yang dibutuhkan. Oleh karena itu,
percobaan ini bermaksud agar kita dapat melihat kelarutan asam asetat pada dua
pelarut.

1.2 Tujuan Percobaan


3. Menentukan kelarutan berdasarkan koefisien distribusi zat terlarut dalam dua
pelarut.
4. Menentukan pelarut terbaik dalam kesetimbangan cair-cair.
5. Membuat diagram segitiga antara asam asetat, pelarut organic, dan aquadest
dalam kesetimbangan cair-cair.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekstraksi
Ekstraksi adalah pemisahan suatu zat dari campurannya berdasarkan perbedaan
koefisien distribusi zat terlarut dalam 2 larutan yang berbeda fasa dan tidak saling
bercampur. Ekstraksi ini tidak melibatkan perubahan fasa. Prinsip metode ekstraksi
adalah berdasarkan perbedaan koefisien distribusi zat terlarut dalam dua. Bila suatu
zat terlarut terdistribusi diantara dua larutan yang tidak saling bercampur, berlaku
hukum mengenai konsentrasi zat terlarut dalam kedua fasa pada kesetimbangan.
Peristiwa ekstraksi adalah pemisahan komponen dari suatu campuran cair
dengan mengontakkan pada cairan lain. Sering disebut juga ekstraksi cair atau reaksi
pelarut (solvent extraction). Prinsip kerjanya adalah pemisahan berdasar perbedaan
kelarutan. Salah satu hal kunci yang sangat menetukan dalam pertimbangan desain
proses ekstraksi adalah pemilihan solvent yang akan digunakan. Hal-hal yang perlu
diperhatikan diantaranya :
1. Reproksivitas : kemampuan untuk melakukan kontak antara pelarut dengan
suatu zat terlarut.
2. Koefisien distribusi : nilai ratio y/x dalam kesetimbangannya yang menunjukkan
kemampuan zat terlarut terdistribusi dalam pelarut. Nilai 1 menunjukkan zat
terlarut sangat mudah terdistribusi dalam pelarut.
3. Tegangan permukaan : menunjukkan kemampuan dua jenis cairan untuk
bercampur. Jika tegangan permukaan terlalu tinggi, maka cairan akan ssulit
bercampur.
4. Reaktivitas kimia : adanya kemampuan untuk bereaksi secara kimiawi antara 2
cairan sehingga dapat diketahui apakah dua larutan dapat dicampurkan tanpa
bereaksi (inert). Tujuannya adalah agar kita dapat mengetahui apakah
campurannya nanti dapat dipisahkan kembali setelah ekstraksi. Pelarut haruslah
stabil dan tak bereaksi (inert).
(Akbar, 2013).
2.2 Kesetimbangan Cair-Cair
Banyak pasangan dari spesies kimia yang bercampur untuk membentuk satu fasa
liquid dengan komposisi tertentu tetapi tidak mudah mencapai stabilitas. Sistem seperti
ini terbagi dalam dua fasa cair yang berbeda komposisi. Pada kesetimbangan
termodinamika, fenomena ini disebut kesetimbangan cair-cair (LLE), yang penting
untuk operasi industri seperti ekstraksi pelarut.

Gambar 2.1 Kesetimbangan Cair-Cair

Persetujuan bersama lambang yang digunakan (lambang ini bisa berbeda untuk
pustaka yang lain):
A = zat yang terlarut, zat yang terdistribusi (Solute)
B = pelarut I, pelarut umpan mula-mula (Diluent)
C = pelarut II, separating agent (Solvent)
Fase yang kaya diluent disebut rafinat, sedangkan fase yang kaya solvent disebut
ekstrak. Hubungan keseimbangan antara konsentrasi-konsentrasi komponen di fase
ekstrak dan rafinat dapat dinyatakan dalam berbagai bentuk kurva.
Gambar 8. Kurva Kesetimbangan
• Di daerah heterogen
• Di daerah 2 fasa
• Mengandung ekstrak dan rafinat

R ↔ E ; R, E akan terletak pada garis lurus RE melalui ‘m’


Garis RE = garis seimbang = tie line = equilibrium line
E (ekstrak) → banyak komponen (solvent)
R (rafinat) → banyak komponen (diluent)
Neraca massa total R + E = m
Neraca massa komponen solut RXR + RXE = mZm

2.3 Ekstraksi Cair-Cair


Ekstraksi cair-cair (corong pisah) merupakan pemisahan komponen kimia di
antara 2 fase pelarut yang tidak saling bercampur di mana sebagian komponen larut
pada fase pertama dan sebagian larut pada fase kedua, lalu kedua fase yang
mengandung zat terdispersi dikocok, lalu didiamkan sampai terjadi pemisahan
sempurna dan terbentuk dua lapisan fase cair, dan komponen kimia akan terpisah ke
dalam kedua fase tersebut sesuai dengan tingkat kepolarannya dengan perbandingan
konsentrasi yang tetap (Siahaan, 2010).
Hasil ekstraksi yang kaya akan pelarut disebut ekstrak, sedangkan yang pelarutnya
sedikit disebut rafinat. Ekstraksi dapat digunakan untuk memisahkan lebih dari dua
komponen dalam penerapan tertentu, digunakan campuran pelarut, bukan satu pelarut
saja (Velayas dan Iffa, 2013).

2.3 Koefisien Distribusi


Menurut hukum distribusi Nerst, bila ke dalam dua pelarut yang tidak saling
bercampur dimasukkan solut yang dapat larut dalam kedua pelarut tersebut maka akan
terjadi pembagian kelarutan. Dalam praktek solut akan terdistribusi dengan sendirinya
ke dalam dua pelarut tersebut setelah dikocok dan dibiarkan terpisah. Perbandingan
konsentrasi solut di dalam kedua pelarut tersebut tetap, dan merupakan suatu tetapan
pada suhu tetap. Tetapan tersebut disebut tetapan distribusi atau koefisien distribusi.
Koefisien distribusi dinyatakan dengan rumus sebagai berikut:
C2 Co
Kd = C1 atau Kd = Ca
(Purwani, dkk., 2008)

Dengan Kd = koefisien distribusi dan C1, C2, Co, dan Ca masing-masing adalah
konsentrasi solute pada pelarut 1, 2, organik, dan air. Dari rumus tersebut jika harga
Kd besar, solut secara kuantitatif akan cenderung terdistribusi lebih banyak ke dalam
pelarut organik, begitu pula terjadi sebaliknya (Purwani, dkk., 2008).

BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Peralatan Percobaan


1. Buret, statif, dan klem
2. Erlenmeyer
3. Corong gelas
4. Gekas ukur
5. Beaker glass
6. Piknometer
7. Corong pemisah
8. Neraca elektrik
9. Batang pengaduk
10. Pipet tetes
3.2 Bahan Percobaan
1. Aquadest (H2O)
2. Asam Asetat (CH3COOH)
3. Pelarut Organik
4. Phenolphthalein (C20H14O4)
5. Natrium Hidroksida (NaOH)

3.3 Prosedur Percobaan


1. Disiapkan bahan utama yaitu asam asetat, aquadest, dan pelarut organik secara
terpisah dalam beaker glass.
2. Dibuat larutan NaOH 1 N sebanyak 200 ml.
3. Diukur densitas dari ketiga zat tersebut dengan menggunakan piknometer.
4. Ketiga bahan utama tersebut dicampur dalam corong pemisah, yang pertama
dimasukkan adalah pelarut organik, aquadest kemudian asam asetat.
5. Setelah corong pemisah ditutup, dikocok selama 5 menit, kemudian didiamkan
sampai terbentuk dua lapisan.
6. Setelah terbentuk 2 lapisan, yaitu lapisan bawah dan lapisan atas, kedua lapisan
tersebut dipisahkan pada 2 erlenmeyer yang berbeda.
7. Diukur volume dan densitas dari kedua lapisan tersebut.
8. Masing- masing lapisan diambil sebanyak 5 ml dan ditambahkan dengan 3 tetes
phenolftalein.
9. Dititrasi masing-masing lapisan dititrasi dengan NaOH, dan dicatat volume
NaOH yang digunakan.
MODUL VI
Tetapan Kesetimbangan
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hanya sedikit reaksi kimia yang berlangsung satu arah. Kebanyakan merupakan
reaksi reversibel. Pada awal reversibel, reaksi berlangsung maju kearah pembentukan
produk. Segera setelah beberapa molekul produk terbentuk, proses balik mulai
berlangsung yaitu pembentukan molekul reaktan dari molekul produk. Bila laju reaksi
maju dan reaksi balik sama besar dan konsentrasi reakstan dan produk tidak lagi
berubah seiring berjalannya waktu, maka tercapailah kesetimbangan kimia (chemical
equilibrium). Kesetimbangan kimia merupakan proses dinamik. Reaksi kesetimbangan
kimia melibatkan zat-zat yang berbeda untuk reaktan dan produknya. Kesetimbangan
antara dua fasa dari zat yang sama dinamakan kesetimbangan fisis karena perubahan
yang terjadi hanyalah proses fisis. Penguapan air dalam wadah tertutup pada suhu
tertentu merupakan contoh kesetimbangan fisis. Dalam kasus ini, molekul H 2O yang
meningggalkan dan yang kembali ke fasa cair sama banyaknya :
H2O(l) ↔ H2O(g) (Chang, 2005: 66)
Reaksi kimia yang digunakan dalam pemeriksaan kimia sering kali berlangsung
bolak balik. Jalannya reaksi berlangsung dalam suatu keadaan luar. Seperti kadar zat
yang bereaksi ini pada suhu dan sebagainya. Umpamanya reaksi berikut :
aA + bB → mM + nN
Reaksi ini dapat berjalan searah ataupun dua arah, ke kiri atau ke kanan, seperti
ditunjukkan oleh tanda panah pada gambar yang kembar. Reaksi diatas berjalan sampai
pada tercapaiya kesetimbangan, yaitu sampai tidak terlihat lagi perubahan susunan
kimia sistem itu. Tetapi yang penting dalam pemeriksaan itu adalah mengetahui kearah
mana reaksi akan berjalan. Kapan kesetimbangan tercapai dan apakah reaksi itu telah
berjaan sempurna (Rivai, 1995: 13).
Tetapan kesetimbangan dilambangkan dengan Kc yang menyatakan tetapan
kesetimbangan berdasarkan konsentrasi (C = konsentrasi). Tetapan kesetimbangan ini
sering dilambangkan dengan K saja. Untuk kesetimbangan zat dalam wujud gas,
tetapan kesetimbangan dilambangkan dengan Kp yang menyatakan tetapan
kesetimbangan berdasarkan tekanan (P = pressure).
1.2 Perumusan Masalah
Permasalahan yang akan dirumuskan dalam percobaan ini adalah bagaimana
cara menentukan tetapan kesetimbangan suatu reaksi kimia.

1.3 Tujuan Percobaan


Tujuan dari percobaan ini adalah untuk menentukan tetapan kesetimbangan
suatu reaksi kimia.

1.4 Manfaat Percobaan


Manfaat dari percobaan ini adalah dapat menentukan tetapan kesetimbangan
suatu reaksi kimia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tetapan Kesetimbangan


Konstanta kesetimbangan Kc adalah nilai yang didapat dari hasil kali konsentrasi
kesetimbangan dari semua produk dan dibagi dengan konsentrasi kesetimbangan dari
seluruh reaktan, dimana konsentrasi dari setiap unsur meningkatkan nilai koefisien di
dalam perhitungan kesetimbangan kimia. Bagaimanapun konsentrasi kesetimbangan
pada masing-masing unsur dalam percobaan tertentu, konstanta kesetimbangan untuk
reaksi dengan temperatur yang konstan selalu memiliki niali yang sama (McMurry,
1997).
Konstanta kesetimbangan yang dinyatakan dengan fungsi konsentrasi (Kc) dapat
mempunyai harga yang sangat besar atau sangat kecil. Bila konstanta kesetimbangan
(Kc) kecil (Kc < 1), berarti bahwa pada keadaan kesetimbangan konsentrasi dari
produk adalah kecil, sehingga konstanta kesetimbangan yang kecil menunjukkan
reaksi bolak-balik tidak
berlangsung dengan baik. Misalnya jika reaksi :
A(g) + B(g) ↔ C(g) + D(g)
Dengan Kc = 10-5 berarti bahwa campuran A dan B tidak banyak menghasilkan
C dan D pada kesetimbangan. Bila konstanta kesetimbangan besar (Kc > 1) berarti
bahwa konsentrasi reaktan yang tinggal pada kesetimbangan adalah kecil, sehingga
harga konstanta kesetimbangan yang besar menunjukkan bahwa reaksi berlangsung ke
kanan dengan baik.
Misalnya untuk reaksi :
E(g) + F(g) ↔ G(g) + H(g)
Dengan harga Kc = 105 berarti campuran E dan F akan berubah hampir sempurna
menjadi G dan H.

BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
1. Buret
Fungsi : sebagai alat untuk melakukan titrasi.
2. Erlenmeyer
Fungsi : sebagai wadah penyimpanan larutan.
3. Erlenmeyer bertutup
Fungsi : sebagai wadah berpenutup penyimpanan larutan.
4. Gelas Ukur
Fungsi : sebagai alat pengukur volume larutan.
5. Labu Ukur
Fungsi : sebagai alat untuk membuat larutan dengan volume tertentu.
6. Neraca Analitik
Fungsi : sebagai alat untuk menimbang.
7. Piknometer
Fungsi : sebagai alat untuk mengukur densitas.
8. Pipet Tetes
Fungsi : sebagai alat untuk mengambil sampel cairan dalam jumlah kecil.
3.1.2 Bahan
1. Asam Asetat Glasial (CH3COOH)
Fungsi : sebagai sampel yang akan dihitung nilai tetapan kesetimbangannya.
2. Asam Klorida (HCl)
Fungsi : sebagai sampel yang akan dihitung nilai tetapan kesetimbangannya
dan juga sebagai larutan blanko.
3. Etanol (C2H5OH)
Fungsi : sebagai sampel yang akan dihitung nilai tetapan kesetimbangannya.
4. Indikator Phenolpthalein
Fungsi : sebagai indikator tercapainya titik kesetimbangan.
5. Natrium Hidroksida (NaOH)
Fungsi : sebagai pentiter.

3.2 Prosedur Percobaan


a. Pembuatan Larutan Sampel
1. Ditimbang sebanyak .... gram NaOH untuk membuat larutan sampel 2 N
dengan volume .... ml.
2. Dilarutkan dalam .... ml aquades dengan menggunakan labu ukur .... ml.
3. Diukur sebanyak .... ml HCl untuk membuat larutan sampel 2 N dengan
volume .... ml.
4. Dilarutkan dalam .... ml aquades dengan menggunakan labu ukur .... ml.

b. Pencampuran Larutan Sampel


1. Dibuat campuran larutan didalam erlenmeyer bertutup dengan
komposisi sebagai berikut:
Run HCl (ml) Etanol (ml) Asam Asetat Glasial (ml)
1 5 1 4
2 5 2 3
3 5 3 2
4 5 4 1
2. Dicampurkan masing-masing larutan kedalam erlenmeyer bertutup
lalu letakkan pada di dalam pengangas bertermostat atau tempat yang
bersuhu konstan.
3. Karena kesetimbangan baru bisa dicapai setelah 1 minggu (minimal 3
hari), maka titrasi dilakukan 1 minggu (minimal 3 hari) setelahnya.

c. Pentitrasian Sampel
1. Catat suhu ruangan.
2. Tambahkan 2-3 tetes indikator phenolphtalein ke dalam masing-
masing campuran larutan lalu titrasi dengan 2 N NaOH hingga
berwarna merah rosa. Catat volume NaOH terpakai.
3. Tambahkan 2-3 tetes indikator phenolphtalein ke dalam 5 ml HCl 2 N
(larutan blanko) lalu titrasi dengan 2 N NaOH hingga berwatna merah
rosa. Catat volume NaOH terpakai.
4. Tentukan mol etanol absolut dan mol asam asetat absolut berdasarkan
data massa jenis dan kadar (% kadar dilihat dari tabel botol).
5. Hitung densitas HCl 2 N, etanol dan asam asetat glasial dengan
piknometer.
Lampiran
DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

No. Dokumen : FM-GKM-FT-TK- 024-01


Edisi : 03
LEMBAR BUKTI RESPONSI Revisi : 04
Berlaku Efektif : 12 Desember 2007
Halaman : 1/1

LABORATORIUM ....................................

MODUL PRAKTIKUM : ...........................................................


KELOMPOK : ...........................................................
NAMA/NIM : …........................................................
HARI/TGL. PRAKTIKUM : ...........................................................

Medan, .................. 2018


Dosen Pembimbing

(…………...............................)

Dokumen ini milik Departemen Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara


Dilarang memperbanyak atau menggunakan informasi di dalamnya untuk keperluan komersial atau yang lainnya tanpa
persetujuan pemilik dokumen ini.
DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

No. Dokumen : FM-GKM-FT-TK- 024-02


Edisi : 03
LEMBAR BUKTI RESPONSI Revisi : 04
Berlaku Efektif : 12 Desember 2007
Halaman : 1/1

LABORATORIUM ....................................

MODUL PRAKTIKUM : ................................................................


KELOMPOK : ...........................................................
NAMA/NIM : …........................................................
HARI/TGL. PRAKTIKUM : ...........................................................

Medan, .................. 2018


Asisten

(...............................)

Dokumen ini milik Departemen Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara


Dilarang memperbanyak atau menggunakan informasi di dalamnya untuk keperluan komersial atau yang lainnya tanpa persetujuan pemilik
dokumen ini.
DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

No. Dokumen : FM-GKM-FT-TK- 024-03


Edisi : 03
LEMBAR PENUGASAN Revisi : 04
Berlaku Efektif : 12 Desember 2007
Halaman : 1/1

LABORATORIUM ....................................

MODUL PRAKTIKUM : ..................................................................


KELOMPOK : ...........................................................
NAMA/NIM :1. ........................................................
2. ........................................................
3. ........................................................
HARI/TGL. PRAKTIKUM : ...........................................................

Medan, .................. 2018


Asisten

(...............................)

Dokumen ini milik Departemen Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara


Dilarang memperbanyak atau menggunakan informasi di dalamnya untuk keperluan komersial atau yang lainnya tanpa persetujuan pemilik
dokumen ini.
Dokumen ini milik Departemen Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara
Dilarang memperbanyak atau menggunakan informasi di dalamnya untuk keperluan komersial atau yang lainnya tanpa persetujuan pemilik
dokumen ini.

Anda mungkin juga menyukai