1
Secara Bioassay
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebutuhan produk pangan asal hewan terus meningkat disebabkan
oleh pertumbuhan penduduk, peningkatan pengetahuan, pergeseran gaya
hidup dan tingkat kesejahteraan masyarakat semakin membaik. Kontribusi
terbesar dalam penyediaan daging secara nasional umumnya berasal dari ternak
unggas dan sapi potong. Produksi daging sejak tahun 2000 sampai dengan
tahun 2005 rata-rata sekitar 59,96% berasal dari ternak unggas dan 21,29%
berasal dari ternak sapi potong. Berbagai penelitian telah di lakukan dalam
rangka peningkatan efisiensi dan produktifitas peternakan, salah satunya
adalah penggunaan antibiotika untuk pengobatan penyakit dan pemacu
pertumbuhan. Kebutuhan antibiotika untuk pakan dan pengobatan tahun
2001 sebesar 502,27 ton, kemudian meningkat menjadi 5.574,16 ton pada
tahun 2005 . Dengan meningkatnya penggunaan antibiotika tersebut, maka
meningkat pula manfaat dan resiko yang mungkin ditimbulkan. Resiko ini
berupa residu antibiotika pada hasil-hasil ternak (daging, susu dan telur) akibat
penggunaan antibiotika yang tidak sesuai dengan dosis atau tidak memperhatikan
waktu henti obat (withdrawal time).
Hampir semua pabrik pakan menambahkan antibiotika ke dalam
pakan komersial, sehingga sebagian besar pakan komersial yang beredar di
Indonesia mengandung antibiotika. Penggunaan antibiotika yang kurang
tepat ini dimungkinkan berkaitan dengan pola pemasaran obat hewan di
lapangan, dimana 30,80% peternak ayam pedaging skala kecil dan 33,30%
peternak ayam petelur skala kecil yang tidak mempunyai dokter hewan
untuk mengawasinya, mendapat obat langsung dari distributor sehingga
dikhawatirkan penggunaan obat-obatan tersebut tidak mengikuti aturan yang
benar. Selain itu peternak kurang memahami waktu henti suatu obat
sehingga mengakibatkan munculnya residu pada produk ternak.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah terdapat kadar residu antibiotika pada sampel daging dan telur ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui kadar residu antibiotika yang terdapat pada sampel daging
dan telur.
D. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi ilmiah
tentang adanya residu antibiotika pada daging dan telur serta penentu kebijakan
dalam pengawasan keamanan pangan asal hewan yang dimulai dari
peternakan terutama berkaitan dengan residu antibiotika pada daging dan
telur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bioassay adalah suatu metode yang mengukur tanggap suatu organisme hidup
untuk menentukan keberadaan atau konsentrasi bahan kimia pada suatu contoh
(Sriyani, 2008). Bioassay, dibandingkan dengan metode lain tes (misalnya kimia atau
uji fisik) kurang akurat, kurang rumit, lebih sulit, lebih sulit dan lebih mahal. Namun,
bioassay adalah satu-satunya metode assay jika; 1) prinsip mengaktifkan obat tidak
diketahui atau tidak dapat dipisahkan, misalnya insulin, ekstrak hipofisis posterior,
dan lain-lain. 2) metode kimia yang baik tidak tersedia atau jika tersedia, itu terlalu
rumit dan sensitif atau membutuhkan dosis yang lebih tinggi misalnya insulin,
asetilkolin. 3) Komposisi kimia tidak diketahui, misalnya lamanya stimulan tiroid
beraktifitas. 4) Komposisi kimia berbeda obat tetapi memiliki tindakan farmakologis
sama dan sebaliknya, misalnya glikosida jantung, katekolamin, dll. (Goyal, 2008).
Tujuan dari uji hayati adalah untuk memastikan potensi obat dan karena itu
berfungsi sebagai bagian kuantitatif dari setiap prosedur skrining (penelitian). Tujuan
lain dari bioassay adalah untuk menstandarisasi persiapan sehingga masing-masing
memiliki keseragaman aktivitas farmakologi. Dengan cara ini, ia berfungsi sebagai
petunjuk dalam produksi komersial obat saat tes kimia tidak tersedia atau tidak cukup
(Goyal, 2008).
Tidak semua metode bioassay dapat merangkum evaluasi aktivitas
antimikroba dari sampel. Oleh karena itu, proses evaluasi umumnya melibatkan
penggunaan sejumlah metode bioassay dan teliti dalam membandingkan semua data
agar mencapai kesimpulan yang tepat. Ada tiga metode utama untuk pengujian
antimikroba: (a) metode difusi agar, (b) metode agar pengenceran, (c) metode
bioautografik (Rahman, 2005).
Uji bioassay secara in vitro jauh lebih menguntungkan dibanding dengan cara
in vivo karena pengerjaannya lebih sederhana, cepat, lebih sensitif, lebih murah, dan
membutuhkan sampel yang lebih sedikit. Salah satu uji bioassay secara in vitro
adalah dengan menggunakan sel murine leukemia P-388 sebagai upaya untuk
mencari senyawa penuntun antikanker (Erwin, 2014).
Mikroorganisme terdapat di mana - mana, seperti pada tanah, debu, udara, air,
makanan ataupun permukaan jaringan tubuh kita. Keberadaan mikroorganisme
tersebut ada yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, tetapi banyak pula yang
merugikan manusia misalnya dapat menimbulkan berbagai penyakit atau bahkan
dapat menimbulkan kerusakan akibat kontaminasi. Di dalam semua ruangan akan
selalu didapatkan mikroorganisme yang tersuspensikan dengan udara dan dapat
mengendap bersama debu pada berbagai macam permukaan seperti pakaian, meja,
lantai dan benda - benda lain. Ukuran sel mikroorganisme yang sedemikian kecil dan
ringan menyebabkan mudah terhembuskan oleh aliran udara. Keberadaan
mikroorganisme dapat menyebabkan kontaminasi, hal ini sangat berpengaruh pada
ruang yang seharusnya terjaga keseterililanya misal ruang operasi, laboratorium dan
lainya. Dalam nrimgan labortorium sering ditemukan mikroorganisme kontaminan
yang dapat ikut tumbuh dalam suatu media nutrient agar. Bakteri kontaminan yang
sering ditemukan diantaranya adalah Bacillus sp, Streptococcus sp, Staphylococcus,
Pseudomonas dan Sarcina. Dari mikroorganisme tersebut, yang paling sering
menyebabkan kontaminasi adalah Bacillus subtilis (Ariyadi, 2009).
Bacillus subtilis adalah bakteri antagonis yang dapat ditemukan di air, tanah,
udara, dan residu tanaman yang telah membusuk. Beberapa spesies dari Bacillus sp.
diketahui berpotensi sebagai agens hayati. Bacillus sp. dilaporkan efektif terhadap
Puccinia pelargoniizonalis penyebab penyakit karat pada pelargonium (Abidin,
2015).
Berdasarkan komposisi kimiawi komponen penyusun medium, maka medium
dibedakan menjadi 2 kategori yaitu medium kompleks (complex) dan sintetik
(defined). Medium kompleks tersusun atas bahan-bahan dengan macam dan
komposisi tidak semua diketahui dengan pasti. Contoh medium kompleks adalah
Nutrien Agar (NA) yang mengandung beef extract dan pepton. Medium sintetik
tersusun atas bahan-bahan kimia murni dengan macam dan komposisinya diketahui
dengan pasti (Rakhmawati, 2012).
Resistensi didefinisikan sebagai tidak terhambatnya pertumbuhan bakteri
dengan pemberian antibiotik secara sistemik dengan dosis normal yang seharusnya
atau kadar hambat minimalnya. Sedangkan multiple drugs resistance didefinisikan
sebagai resistensi terhadap daua atau lebih obat maupun klasifikasi obat. Sedangkan
cross resistance adalah resistensi suatu obat yang diikuti dengan obat lain yang belum
pernah dipaparkan. Resistensi terjadi ketika bakteri berubah dalam satu atau lain hal
yang menyebabkan turun atau hilangnya efektivitas obat, senyawa kimia atau bahan
lainnya yang digunakan untuk mencegah atau mengobati infeksi (Utami, 2012).
Antibiotik merupakan golongan obat yang paling banyak digunakan di dunia
terkait dengan banyaknya kejadian infeksi bakteri. Di negara berkembang 30-80%
penderita yang dirawat di rumah sakit mendapat antibiotik. Dari persentase tersebut
20-65% penggunaannya dianggap tidak tepat. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat
dapat menimbulkan masalah resistensi dan efek obat yang tidak dikehendaki
(Febrianto, 2013).
Mekanisme kerja obat anti infeksi terhadap mikroorganisme dapat berupa 1)
Menghambat sintesa metabolit-metabolit yang esensial, protein dan asam nukleat, 2)
Menghambat sintesa dinding sel atau membran plasma, 3) Merusak dinding sel atau
membran plasma (Gondo, 2007).
Antibiotik digunakan untuk membasmi mikroba penyebab terjadinya infeksi.
Pada dasarnya suatu infeksi dapat ditangani oleh sistem pertahanan tubuh namun
adakalanya sistem ini perlu ditunjang oleh penggunaan antibiotik. Keberadaan residu
antibiotik dalam makanan asal hewan erat kaitannya dengan penggunaan antibiotik
untuk pencegahan dan pengobatan penyakit serta penggunaan sebagai imbuhan
pakan. Pencampuran bahan baku imbuhan pakan dalam ramuan yang dilakukan
sendiri di tempat peternakan yang kurang dapat dijamin ketepatan takarannya dapat
menyebabkan residu pada pangan asal hewan (Masrianti, 2013).
BAB III
METODE KERJA
2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah:
- Agar - KH2PO4
- Alkohol 70% - NaCl
- Aluminium foil - NaCl fisiologis
- Aquades - Na2HPO4
- Daging Ayam - NaOH
- Daging Kambing - Paper Disk
- Daging Sapi - Pepton
- Ekstrak Beef - Spiritus
- HCl - Telur Ayam Kampung
- Injeksi Kanamisin - Telur Ayam Ras
- Kapas - Telur Bebek
- Kassa - Tissue
C. Uraian Bahan
1. Agar (Ditjen POM, 1979 : 74)
Nama Resmi : Agar
Nama Lain : Agar-agar
Pemerian : Tidak berbau atau bau lemah, berasa musilago
pada lidah
Kelarutan : Tidak larut dalam air dingin, dan larut dalam air
mendidih
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Kegunaan : Bahan pemadat medium
2. Aquades (Ditjen POM, 1979 : 96)
Nama Resmi : Aqua Destillata
Nama Lain : Aquades, Air Suling
Rumus Molekul : H2O
Gambar Struktur :
Gambar Struktur :
Pemerian : Hablur putih, berbentuk kubus atau berbentuk prisma,
tidak berbau, rasa asin, mantap di udara.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.
Kegunaan : Sebagai pelarut
7. Kalium Dihidrogen Fosfat (Ditjen POM, 1979 : 687)
Nama Lain : Kalium Bisolfat, Kalium Fosfat Monobasa
RM/BM : KH2PO4/136,086 g/mol
Gambar Struktur :
Gambar Struktur :
Gambar Struktur :
Pemerian : Cairan tidak berwarna, berasap, bau merangsang, jika
diencerkan dengan 2 bagian air, asap dan bau hilang.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan : Zat tambahan
D. Uraian Obat
1. Kanamisin Sulfat Injeksi (Kanamycini Sulfatis Injection) (Ditjen POM, 1979
;334-335)
Kandungan : Injeksi kanamisin sulfat mengandung
kanamisin sulfat. C18H36N4O11
H2SO4tidak kurang dari 90,0% dan
tidak lebih dari jumlah yang tertera
pada etiket.
Struktur Kimia :
E. Uraian Mikroba
1. Klasifikasi Bacillus subtilis (Graumann, 2007)
Kingdom : Eucaryotae
Divisi : Schizophyta
Kelas : Schizomycetes
Ordo : Eubacterials
Famili : Bacillaceae
Genus : Bacillus
Spesies : Bacillus subtilis
kondisi aerob dan anaerob. Bakteri tersebut dapat membentuk endospora dan
dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama pada kondisi lingkungan yang
tidak menguntungkan untuk pertumbuhannya (Khaeruni, 2013).
F. Prosedur Kerja
1. Pembuatan Media Pertumbuhan
a. Pembuatan Media Spora Bacillus subtilis
Pepton
Hasil Pengamatan
Pepton
- Ditimbang 5 g
- Dimasukkan ke dalam erlenmeyer
- Ditambahkan beef extract sebanyak 3 g
- Dilarutkan dalam sebagian air suling
- Ditambahkan bacto agar sebanyak 15 g sampai dengan 18 g
- Ditambahkan air suling hingga volume keseluruhan menjadi
1000 ml
- Disesuaikan pada pH 8,5 ± 0,1 dan dididihkan sampai bacto
agar tersebut larut
- Disterilkan dalam autoklaf pada temperatur 1210C ± 10C
dengan tekanan 15 Psi atau 1,03421 x 105 selama 15 menit
- Ditambahkan media spora Bacillus subtilis yang sudah
diinkubasi selama 7 hari.
Hasil Pengamatan
Media Agar
Biakan Bakteri
- Dipanen dengan cara mengerok permukaan media yang
ditumbuhi kuman dengan kawat steril
- Dimasukkan ke dalam larutan NaCl fisiologis steril 20 ml
sebanyak 4 tabung sentrifus (tergantung pada banyaknya hasil
panen spora)
- Dipanaskan larutan tersebut dalam penangas air pada temperatur
650C selama 30 menit, lalu disentrifus dengan kecepatan 3000
rpm selama 10 menit, dan dibuang supernatannya (lapisan atas)
- Ditambahkan larutan NaCl fisiologis steril secukupnya kemudian
dikocok
- Dimasukkan ke dalam refrigerator dengan temperatur 40C
sampai dengan 80C selama 18-24 jam
- Dipanaskan kembali larutan tersebut dalam penangas air pada
temperatur 650C selama 30 menit
- Disentrifuse kembali dengan kecepatan 1000 rpm selama 5 menit
- Diambil supernatannya (lapisan atas)
- Disimpan hasilnya dalam refrigerator sebagai spora
Hasil Pengamatan
KH2PO4 Na2HPO4
- Dicampurkan
- Ditambahkan aquades hingga 1000 ml
- Diatur pH menjadi 7,0 ± 0,1
- Disterilkan dengan autoklaf pada temperatur
1210C ± 10C dengan tekanan 15 Psi atau
1,03421 x 105 Pascal selama 15 menit
Hasil Pengamatan
KH2PO4 Na2HPO4
- Dicampurkan
- Ditambahkan aquades hingga 1000 ml
- Diatur pH menjadi 6,0 ± 0,1
- Disterilkan dengan autoklaf pada temperatur
1210C ± 10C dengan tekanan 15 Psi atau
1,03421 x 105 Pascal selama 15 menit
Hasil Pengamatan
Kanamisin
5. Preparasi Sampel
a) Preparasi Sampel Daging
Daging Kambing
- Ditimbang sebanyak 10 gram
- Dipotong kecil-kecil
- Ditambahkan pelarut dapar fosfat nomor 2 sebanyak 20 ml
- Dihomogenkan dengan menggunakan alat homogenizer
- Disentrifus 3.000 rpm selama 10 menit.
- Diambil supernatant dan siap untuk digunakan sebagai larutan
uji
- Dilakukan hal yang sama pada daging sapi dan daging ayam
Larutan Uji
Larutan Uji
6. Pengujian Mikrobiologi
Media Cair
Hasil Pengamatan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Pengamatan
1. Tabel Pengamatan Pertumbuhan Bacillus subtilis ATCC 6633
Kelompok Kelompok
Hasil Pengamatan Hasil Pengamatan
I I
Hari ke 1 Hari ke 5
Hari ke 2 Hari ke 6
Hari ke 3 Hari ke 7
Hari ke 4
Kelompok Kelompok
Hasil Pengamatan Hasil Pengamatan
II II
Hari ke 1 Hari ke 5
Hari ke 2 Hari ke 6
Hari ke 3 Hari ke 7
Hari ke 4
Hari ke 1 Hari ke 5
Hari ke 2 Hari ke 6
Hari ke 3 Hari ke 7
Hari ke 4
Kelompok Kelompok
Hasil Pengamatan Hasil Pengamatan
V V
Hari ke 1 Hari ke 5
Hari ke 2 Hari ke 6
Hari ke 3 Hari ke 7
Hari ke 4
Hari ke 1 Hari ke 5
Hari ke 2 Hari ke 6
Hari ke 3 Hari ke 7
Hari ke 4
1. - - -
2. - - -
3. - - -
b. Daging Ayam
1. 0,6 - -
2. 2,3 - 0,1
c. Daging Kambing
1. 2,43 - -
2. 1 - -
3. 1,2 - -
d. Daging Sapi
1. 1,76 - -
2. 1,66 - -
3. 1,76 - -
1 2,43 - -
2 2,2 - -
3 1,36 0,36 -
1. 1,13 - -
2. 0,83 - -
3. 1,9 - -
1. 1 - -
2. 1,2 1,2 -
3. 0,9 0,23 -
B. Pembahasan
Bioassay adalah suatu test atau uji yang menggunakan organisme hidup
untuk mengetahui efektifitas suatu bahan hidup ataupun bahan organik dan
anorganik terhadap suatu organisme hidup. Senyawa bioaktif hampir selalu toksik
pada dosis tinggi, oleh karena itu daya bunuh in vivo dari senyawa terhadap
organisme hewan dapat digunakan untuk menapis ekstrak tumbuhan yang
mempunyai bioaktivitas dan juga memonitor fraksi bioaktif selama fraksinasi dan
pemurnian. Resistensi merupakan zona hambat antibiotik yang terjadi terhadap
bakteri, sedangkan sensitifitas merupakan zona hambat yang tidak terjadi pada
antibiotik terhadap bakteri.
Secara garis besar, uji tapis (Screening Test) ialah cara untuk
mengidentifikasi penyakit yang belum tampak melalui suatu tes atau pemeriksaan
atau prosedur lain yang dapat dengan cepat memisahkan antara orang yang
mungkin menderita penyakit dengan orang yang mungkin tidak menderita. Jadi,
tes untuk uji tapis tidak dimaksudkan untuk mendiagnosa sehingga pada hasil tes
uji tapis yang positif harus dilakukan pemeriksaan yang lebih intensif untuk
menentukan apakah yang bersangkutan memang sakit atau tidak kemudian bagi
yang diagnosisnya positif dilakukan pengobatan intensif agar tidak
membahayakan bagi dirinya maupun lingkungannya, khusus bagi penyakit-
penyakit menular. proses uji tapis terdiri dari dua tahap yang pertamanya
melakukan pemeriksaan terhadap kelompok penduduk yang dianggap mempunyai
resiko tinggi menderita penyakit dan bila hasil tes negative maka dianggap orang
tersebut tidak menderita penyakit. Bila hasil tes positif maka dilakukan
pemeriksaan tahap kedua yaitu pemeriksaan diagnostik yang bial hasilnya positif
maka dianggap sakit dan mendapat pengobatan, tetapi bila hasilnya negative
maka dianggap tidak sakit. Bagi hasil pemeriksaan yang negatif dilakukan
pemeriksaan ulang secara periodik. Ini berarti bahwa proses uji tapis adalah
pemeriksaan pada tahap pertama.
Antibiotik ialah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi,
yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain. Banyak
antibiotik dewasa ini dibuat secara semisintetik atau sintetik penuh. Namun
dalam praktek sehari-hari antibiotik sintetik yang tidak diturunkan dari produk
mikroba (misalnya sulfonamida dan kuinolon) juga sering digolongkan sebagai
antibiotik.
Bedasarkan mekanisme kerja, antibiotik dibagi menjadi 5 jenis, yaitu
Penghambatan sintetis dinding bakteri, Penghambat membran sel, Penghambatan
sintetis protein di ribosom, Penghambatan sintetis asam nukleat, Penghambatan
metabolik (antagonis folat). Dari masing-masing golongan terdapat mekanisme
kerja, farmakokintetik, farmakodinamik, serta aktivitas antimikroba yang
berbeda-beda. Perbedaan inimenyebabkan perbedaan kegunaan di dalam klinik
Karena perbedaan ini jugamaka mekanisme resisistensi dari masing-masing
golongan juga mengalami perbedaan.
Residu antibiotik adalah senyawa asal dan/atau metabolitnya yang
terdapat dalam jaringan produk hewani dan termasuk residu hasil uraian lainnya
dari antibiotik tersebut, sehingga residu dalam bahan makanan (terutama jaringan
ternak untuk konsumsi) meliputi senyawa asal yang tidak berubah (non-altered
parent drug), metabolit dan/atau konjugat lainnya. Beberapa metabolit obat
diketahui bersifat kurang/tidak toksik dibandingkan dengan senyawa asalnya,
namun beberapa diketahui lebih toksik. Sesuai dengan petunjuk teknis Standar
Nasional Indonesia (SNI) nomor 01-6366-2000 tentang Batas Maksimum
Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal
Hewan, residu obat atau bahan kimia adalah akumulasi obat atau bahan kimia dan
atau metabolitnya dalam jaringan atau organ hewan setelah pemakaian obat atau
bahan kimia untuk tujuan pencegahan atau pengobatan atau sebagai imbuhan
pakan untuk pemacu pertumbuhan.
Kanamycin merupakan antibiotik golongan aminoglikosida yang bekerja
menghambat proses sintesis protein mikroorganisme. Sebagai antibiotika
pengujian sensitivitasnya. Pada saat memasukkan paper disk, keadaan paper disk
masih sangat panas dan medium juga masih belum terlalu memadat sehingga
mengakibatkan medium mengalami kerusakan.
Berkembangnya bakteri di cawan petri terjadi akibat bakteri mensintesis
enzim yang dapat mengubah zat aktif menjadi tidak aktif sehingga terjadi resisten
terhadap antibiotik. Bakteri tersebut menghasilkan enzim yang mampu memecah
cincin beta laktam. Beta laktamase banyak diproduksi oleh bakteri gram positif
dan bakteri gram negatif. Enzim ini mempunyai peranan besar dalam
menyebabkan resistensi bakteri gram positif terhadap antibiotik.
Suatu konsentrasi tertentu, antibiotika mempunyai efek menghambat
pertumbuhan mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme tersebut ditandai
dengan adanya kekeruhan pada media yang digunakan. Pada kadar tertentu,
dimana pertumbuhan mikroorganisme terhambat oleh jumlah antibiotik yang
sesuai, tidak terjadi kekeruhan pada media. Dengan metode pengenceran, dapat
dilihat pada konsentrasi berapa antibiotik tersebut mempunyai efek menghambat
pertumbuhan mikroorganisme. Adapun pada cakram tidak terbentuk sama sekali
atau mengalami kekeruhan. Hal ini bisa terjadi karena antibiotik dengan
konsentrasi tersebut tidak dapat menghambat pertumbuhan bakteri.
Kontrol media yang digunakan dapat menentukan tingkat kejernihan.
Cawan petri yang medianya dapat menghambat pertumbuhan kuman akan
menampakkan kejernihan yang sama dengan kontrol media. Jadi, jika kontrol
media keruh berarti dalam pengerjaannya tidak aseptis. Bakteri memiliki
kemampuan menjadi resisten karena pertama, suatu faktor yang memang sudah
ada pada mikroorganisme tersebut sebelumnya. Kedua, organisme impermaebel
terhadap antibiotik. Dan Ketiga organisme mempunyai struktur yang
menghambat masuknya antibiotik. Sebagai contoh, resisten terhadap kanamycin
pada suatu organisme dapat disebabkan suatu enzim yang menginaktifkan
kanamycin.
Dilakukan triplo pada percobaan ini agar data yang kita dapatkan tersebut
benar-benar valid dan mendapatkan ketelitian data yang lebih akurat. Berdasarkan
pengamatan yang telah dilakukan dengan ukuran konsentrasi tertentu, larutan
pembanding dari ketiga cawan petri tidak mengalami Diameter Zona Hambat
(DZH). Pada daging ayam terjadi DZH kontrol positif (+) yaitu 1 = 0,6 cm, 2 =
2,3 cm, dan 3 = 0,7 cm, untuk kontrol negatif (-) yaitu 3 = 0,33 cm, dan untuk
sampel yaitu 1 = 0,1 cm dan 3 = 0,4 cm. Pada daging kambing, terjadi DZH
kontrol positif (+) yaitu 1 = 2,43 cm, 2 = 1 cm, dan 3 = 1,2 cm, sedangkan untuk
kontrol negatif (-) dan sampel tidak mengalami zona hambat. Pada daging sapi,
terjadi DZH kontrol positif (+) yaitu 1 = 1,76 cm, 2 = 1,66 cm, dan 3 = 1,76 cm,
sedangkan untuk kontrol negatif (-) dan sampel tidak mengalami zona hambat.
Telur ayam ras terjadi DZH kontrol positif (+) yaitu 1 = 2,43 cm, 2 = 2,2
cm, dan 3 = 1,36 cm, sedangkan untuk kontrol negatif (-) yaitu 3 = 0,36 cm, dan
sampel tidak mengalami zona hambat. Pada telur ayam kampung terjadi DZH
kontrol positif (+) yaitu 1 = 1,13 cm, 2 = 0,83 cm, dan 1,9 cm, sedangkan kontrol
negatif (-) dan sampel tidak mengalami zona hambat. Pada telur bebek terjadi
DZH kontrol positif (+) yaitu 1 = 1 cm, 2 = 1,2 cm, dan 3 = 0,9 cm, sedangkan
untuk kontrol negatif (-) yaitu 2 = 1,2 cm, dan 3 = 0,23 cm, sedangkan sampel
tidak mengalami zona hambat.
Berdasarkan hasil pengamatan setelah sampel diinkubasi selama 24 jam,
diperoleh hasil bahwa pada cawan petri yang diberikan antibiotik kanamycin pada
semua kontrol positif (+), terdapat zona hambat yang ditandai dengan daerah
sekitar antibiotik berwarna bening. Terdapatnya zona hambat pada percobaan
tersebut disebabkan karena bakteri tersebut tidak resisten terhadap antibiotik yang
ditanam pada media yang sama. Resistensi ini merupakan suatu sifat tidak
terganggunya kehidupan sel mikroba oleh antimikroba. Sifat ini merupakan suatu
mekanisme alamiah untuk bertahan hidup. Resistensi dari bakteri tersebut
biasanya disebabkan karena bakteri tersebut dapat menghasilkan suatu enzim
yang dapat menghancurkan antibiotik tersebut.
Cawan petri yang diberikan sampel pada paper disk ada yang dapat
menghambat bakteri yaitu daging ayam pada cawan petri 2 dan cawan petri 3. Hal
ini disebabkan karena daging ayam telah diberikan antibiotik sehingga bakteri
tidak resisten terhadap antibiotik tersebut. Dalam hal ini menandakan bahwa
daging ayam terdapat residu antibiotik. Pada kontrol (-) ditemukan adanya zona
hambat pada daging ayam di cawan petri 3, telur ayam ras di cawan petri 3, dan
telur bebek di cawan petri 2 dan cawan petri 3 pada daerah sekitar paper disk.
Terjadinya zona hambat pada kontrol negatif (-) disebabkan karena pada paper
disk tercampur dengan senyawa antibiotik sehingga bisa menghambat bakteri
untuk tumbuh. Selain itu, larutan pembanding yang mengandung larutan dapar
pada paper disk tidak terjadi zona hambat. Ini disebabkan karena pada larutan
pembanding konsentrasi yang dimiliki terlalu rendah sehingga tidak mampu
menghambat pertumbuhan bakteri.
Dari hasil pengamatan uji kepekaan bakteri terhadap antibiotika dengan
cara difusi agar, pada bakteri uji Bacillus subtilis dengan antibiotika kanamycin
pada konsentrasi tertentu dapat disimpulkan bahwa bakteri uji Bacillus subtilis
termasuk dalam kategori peka terhadap antibiotika kanamycin. Selain itu,
berdasarkan zona hambat tersebut, sampel yang memiliki residu antibiotika
adalah daging ayam.
Proses terjadinya residu antibiotika yaitu pada saat antibiotik yang
diberikan pada hewan ternak akan masuk ke dalam sirkulasi darah dan
berinteraksi dengan reseptor di dalam tubuh. Interaksi tersebut dibedakan menjadi
dua macam yaitu (1) aksi antibiotik terhadap tubuh yang diwujudkan dalam
bentuk efek obat, (2) reaksi tubuh terhadap antibiotik atau cara tubuh menangani
senyawa eksogen. Secara simultan antibiotik didistribusikan ke dalam tubuh
setelah diabsorbsi. Umumnya antibiotik bersifat mudah larut dalam lemak dan
dapat dengan mudah melewati membran-membran sel atau jaringan sehingga
dengan cepat didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh, termasuk ke hati dan
ginjal. Pengeluaran antibiotik terjadi melalui proses biotransformasi dan eliminasi
yang berlangsung lama sehingga pada waktu pemotongan jika antibiotik yang
telah diberikan masih tersisa dalam bentuk metabolit atau bahan aktifnya terdapat
di dalam produk hewan ternak yaitu daging, hati, ginjal, dan paru-paru. Timbunan
dari senyawa atau metabolit dari antibiotik dalam tubuh dapat menyebabkan
residu.
Keberadaan residu antibiotik dalam produk hewani diakibatkan oleh
beberapa faktor; (1) tidak diperhatikannya waktu henti obat, (2) penggunaan
antibiotik melebihi dosis yang dianjurkan dan tidak di bawah pengawasan dokter
hewan, (3) pengetahuan yang kurang akan dampak pada kesehatan masyarakat
akibat mengkonsumsi produk pangan asal hewan yang mengandung residu
antibiotik, (4) tidak ada penyuluhan dalam penggunaan antibiotik yang baik dan
benar di peternakan, dan (5) tipe dari peternakan ada yang intensif atau ekstensif.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
larutan pembanding dari ketiga cawan petri tidak mengalami Diameter Zona
Hambat (DZH). Pada daging ayam terjadi DZH kontrol positif (+) yaitu 1 = 0,6
cm, 2 = 2,3 cm, dan 3 = 0,7 cm, untuk kontrol negative (-) yaitu 1 = -0,07 cm, dan
3 = 0,33 cm, dan untuk sampel yaitu 1 = 0,1 cm dan 3 = 0,4 cm. Pada daging
kambing, terjadi DZH kontrol positif (+) yaitu 1 = 2,43 cm, 2 = 1 cm, dan 3 = 1,2
cm, sedangkan untuk kontrol negative (-) dan sampel tidak mengalami zona
hambat. Pada daging sapi, terjadi DZH kontrol positif (+) yaitu 1 = 1,76 cm, 2 =
1,66 cm, dan 3 = 1,76 cm, sedangkan untuk kontrol negatif dan sampel tidak
mengalami zona hambat.
Telur ayam ras terjadi DZH kontrol positif (+) yaitu 1 = 2,43 cm, 2 = 2,2
cm, dan 3 = 1,36 cm, sedangkan untuk kontrol negatif yaitu 3 = 0,36 cm, dan
sampel tidak mengalami zona hambat. Pada telur ayam kampong terjadi DZH
kontrol positif (+) yaitu 1 = 1,13 cm, 2 = 0,83 cm, dan 1,9 cm, sedangkan kontrol
negatif dan sampel tidak mengalami zona hambat. Pada telur bebek terjadi DZH
kontrol positif (+) yaitu 1 = 1 cm, 2 = 1,2 cm, dan 3 = 0,9 cm, sedangkan untuk
kontrol negatif yaitu 2 = 1,2 cm, dan 3 = 0,23 cm, sedangkan sampel tidak
mengalami zona hambat. Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa bakteri uji
Bacillus subtilis termasuk dalam kategori peka terhadap antibiotika kanamycin
dan bisa dipastikan berdasarkan zona hambat tersebut sampel yang memiliki
residu antibiotik adalah daging ayam.
B. Saran
Sebaiknya dalam melakukan praktikum harus teliti dan dan dilakukan dalam
keadaan steril agar apa yang menjadi tujuan dari praktikum dapat tercapai dengan
baik.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z., Aini L.Q., Abadi A.L., 2015, Pengaruh Bakteri Bacillus sp dan
Pseudomonas sp Terhadap Pertumbuhan Jamur Patogen Sclerotium Roflsii
Sacc. Penyebab Penyakit Rebah Semai Pada Tanaman Kedelai, Jurnal HPT,
Vol. 3 (1)
Ariyadi, T., dan Dewi S.S., 2009, Pengaruh Sinar Ultra Violet Terhadap Pertumbuhan
Bakteri Bacillus sp Sebagai Bakteri Kontaminan, Jurnal Kesehatan, Vol. 2
(2)
Ditjen POM, 1979, Farmakope Indonesia, Edisi III, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
Ditjen POM, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
Erwin, 2014, Skrining Fitokimia dan Bioaktivitas Ekstrak dan Isolat Dari Daun Terap
(Artocarpus odoratssimus Blanco), Prosiding Seminar Nasional Kimia,
Unmul Samarinda, Samarinda
Graumann, P., 2007, Bacillus: Cellular and Molecular Biology, Caister Academic
Press.
Khaeruni, A., Asrianti, Rahman, A., 2013, Efektivitas Limbah Cair Pertanian Sebagai
Media Perbanyakan Dan Formulasi Bacillus subtilis Sebagai Agens Hayati
Patogen Tanaman, Jurnal Agroteknos, Vol. 3 (3)
Masrianto, Fakhrurrazi, Azhari, 2013, Uji Residu Antibiotik Pada Daging Sapi Yang
Dipasarkan di Pasar Tradisional Kota Banda Aceh, Jurnal Medika
Veterinaria, Vol. 7 (1)
Rahman, A., Choudhary M.I., Thomson W.J., 2005, Bioassay Techniques for Drug
Development, Hardwood Academic Publisher, Amsterdam, Netherlands
Sriyani, N., dan Salam K., 2008, Penggunaan Metode Bioassay Untuk Mendeteksi
Pergerakan Herbisida Pascatumbuh Paraquat dan 2,4-D Dalam Tanah, J.
Tanah Trop, Vol. 13 (3)
Utami, E.R., 2012, Antibiotika, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi, Jurnal Sains,
Vol. 1 (1)