Katekumen Dewasa
Katekumen Dewasa
1. Katekumen adalah istilah yang berasal dari Gereja Perdana, diberikan kepada
seorang dewasa yang sedang belajar untuk mengenal, memasuki dan menghidupi
iman Katolik. Para Katekumen akan menjalankan serangkaian program persiapan
yang disebut Katekumenat. Setelah menyelesaikan Katekumenat, Para Katekumen
selanjutnya akan menerima Sakramen-sakramen Inisiasi (Baptis, Krisma dan Ekaristi)
dalam Gereja Katolik.
2. Istilah “Katekumen” (juga “Katekis”) berasal dari bahasa Yunani, dapat ditemukan
di Surat Paulus kepada umat di Galatia 6:6.
"Let him that is instructed in the word, [ho katechoumenos, is qui catechizatur]
communicate to him that instructeth him [to katechounti, ei qui catechizat] in all good
things."
Dan baiklah dia [ho katechoumenos], yang menerima pengajaran dalam Firman [is
qui catechizatur], membagi [to katechounti] segala sesuatu yang ada padanya dengan
orang yang memberikan pengajaran itu [ei quicatechizat].
5. Karena saat ini banyak umat non-Katolik memilih untuk menjadi Katolik dan
Gereja menghadapi fakta bahwa Gereja hidup di tengah keberagaman agama,
katekumenat kembali menjadi hal yang penting dan mendesak. Tidak disangkal pula
bahwa banyak Para Katekumen mendapatkan tekanan dan penolakan dari keluarga
atau lingkungan sekitarnya karena keinginan untuk menjadi Katolik. Oleh karena itu,
Katekumenat diadakan untuk memberikan persiapan intelektual dan moral bagi para
katekumen. Konsili Vatikan 2 dalam Sacrosanctum Concillium 64
mengamanatkan: "Katekumenat bertahap untuk orang dewasa hendaklah
dihidupkan lagi dan dilaksanakan menurut kebijaksanaan Uskup setempat.
Dengan demikian masa katekumenat, yang dimaksudkan untuk pembinaan
memadai, dapat disucikan dengan merayakan upacara-upacara suci secara
berturut-turut."
Seringkali kita bertanya, dan kadang dipertanyakan oleh saudara-saudari kita dari Gereja lain yg non-
Katolik, apakah 7 (tujuh) Sakramen dalam Gereja Katolik ditetapkan oleh Kristus dan mempunyai
dasar biblis yang kuat ttg itu. Kadang kita sendiri bingung dan tidak tahu mau menjawab apa. efeknya
adalah pnghayatan kita terhadap Sakramen pun kurang mendalam. Semoga bahan ini menjadi
pengetahuan iman yang membantu rekan-rekan untuk semakin memahami apa yang kita imani selama
ini.,
Keberadaan sakramen sebenarnya telah diperkenalkan sejak zaman Perjanjian Lama, tetapi pada saat
itu hanya merupakan simbol saja -seperti sunat dan perjamuan Paskah (pembebasan Israel dari
Mesir)- dan bukan sebagai tanda yang menyampaikan rahmat Tuhan. Kemudian Kristus datang,
bukan untuk menghapuskan Perjanjian Lama melainkan untuk menggenapinya. Maka Kristus tidak
menghapuskan simbol-simbol itu tetapi menyempurnakannya, dengan menjadikan simbol sebagai
tanda ilahi. Sunat disempurnakan menjadi Pembaptisan, dan perjamuan Paskah menjadi Ekaristi.
Dengan demikian, sakramen bukan hanya sekedar simbol semata, tapi menjadi tanda yang sungguh
menyampaikan rahmat Tuhan.
Di sini kita melihat bagaimana Allah tidak menganggap benda- benda lahiriah sebagai sesuatu yang
buruk, sebab di akhir penciptaan Allah melihat semuanya itu baik (Gen 1:31). Bukti lain adalah
Kristus sendiri mengambil rupa tubuh manusia (yang termasuk ‘benda’ hidup) sewaktu dilahirkan ke
dunia (lih. Ibr 10:5) Kita dapat melihat pula bahwa di dalam hidupNya, Yesus menyembuhkan,
memberi makan dan menguatkan orang-orang dengan menggunakan perantaraan benda-benda, seperti
tanah sewaktu menyembuhkan orang buta (Yoh 9:1-7); air sewaktu mengubahnya menjadi anggur di
Kana (Yoh 2:1-11), roti dan ikan dalam mukjizat pergandaan untuk memberi makan 5000 orang (Yoh
6:5-13), dan roti dan anggur yang diubah menjadi Tubuh dan DarahNya di dalam Ekaristi (Mat 26:26-
28). Jika Yesus mau, tentu Ia dapat melakukan mujizat secara langsung, tetapi Ia memilih untuk
menggunakan benda- benda tersebut sebagai perantara. Janganlah kita lupa bahwa Ia adalah Tuhan
dari segala sesuatu, dan karenanya Ia bebas menentukan seturut kehendak dan kebijaksanaan-Nya
untuk menyampaikan rahmatNya kepada kita.
Yesus sendiri berkata, “Jika kamu tidak makan daging-Ku dan minum darah-Ku, engkau tidak
mempunyai hidup di dalam dirimu” (Yoh 6:53). Maka, dengan menyambut Ekaristi, kita
melaksanakan ajaran Yesus untuk memperoleh hidup yang kekal. Sakramen ini ditetapkan oleh Yesus
sendiri pada Perjamuan Terakhir sebelum sengsara-Nya, ketika Ia berkata kepada para rasulNya,
“Ambillah, makanlah, inilah TubuhKu… Minumlah…inilah darahKu yang ditumpahkan bagiMu..
..perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (Luk 22:19-29, Mat 26: 28, Mrk 14:22-24).
Gereja Katolik mengajarkan bahwa kurban salib Kristus terjadi hanya sekali untuk selama-lamanya
(Ibr 9:28). Kristus tidak disalibkan kembali di dalam setiap Misa Kudus, tetapi kurban yang satu dan
sama itu dihadirkan kembali oleh kuasa Roh Kudus untuk mendatangkan buah-buahnya, yaitu
penebusan dan pengampunan dosa. Hal itu dimungkinkan karena Yesus yang mengurbankan Diri
adalah Tuhan yang tidak terbatas oleh waktu dan kematian, sehingga kurbanNya dapat dihadirkan
kembali, tanpa berarti diulangi.
Melalui perkataan imam yang dikenal sebagai konsekrasi, roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan
Darah Kristus oleh kuasa Roh Kudus. Karena itu, kita harus memeriksa diri sebelum menyambut
Ekaristi, sebab “barangsiapa dengan tidak layak makan roti dan minum cawan Tuhan, ia berdosa
terhadap tubuh dan darah Tuhan…dan barangsiapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan,
ia mendatangkan hukuman atas dirinya” (1Kor 11:27-29). Dari pengajaran Rasul Paulus ini, kita
mengetahui bahwa Kristus sungguh hadir di dalam Ekaristi. Yesus memakai segala cara untuk
menyatakan bahwa Ia mau tinggal bersama kita, untuk menyertai dan menguduskan kita, karena
sungguh besarlah kasihNya kepada kita sebagai anggota Gereja-Nya.
Sakramen Perkawinan adalah kesatuan kudus antara suami dan istri yang menjadi tanda yang hidup
tentang hubungan Kristus dengan GerejaNya (Ef 2:21-33). Karenanya, perkawinan sakramental
Katolik adalah sesuatu yang tetap dan tak terceraikan, kecuali oleh maut (Mrk 10:1-2, Rom 7:2-3,
1Kor 7:10-11).