Makalah Riview Rencana Tata Ruang
Makalah Riview Rencana Tata Ruang
DISUSUN
OLEH
SURABAYA
2010
BAB
PENDAHULUAN
1.2.1. Maksud
Penyusunan makalah ‘Riview Rencana Tata Ruang Menurut Undang-
Undang Nomor
26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang’ ini dimaksudkan sebagai bahan rujukan
dalam melaksanakan pengawasan penyelenggaraan penataan ruang, sesuai dengan
Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang serta memberikan
panduan dalam melaksanakan pengawasan terhadap kinerja pengaturan,
pembinaan dan pelaksanaan penataan ruang.
1.2.2. Tujuan
Tujuan dari disusunnya makalah ‘Riview Rencana Tata Ruang Menurut
Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang’ ini adalah untuk
melengkapi tugas makalah mata kuliah Teori Perencanaan Wilayah dan Kota.
1.2.3. Sasaran
Sasaran yang ingin dicapai melalui disusunnya makalah ‘Riview Rencana
Tata Ruang
Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang’ ini
adalah terciptanya proses perencanaan tata ruang,kegiatan pemanfaatan ruang dan
kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang sesuai dengan asas penyelenggaraan
penataan ruang dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang.
II
RIVIEW
15 Cakupan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Rencana Tata Ruang Wilayah
Tata Ruang Wilayah Provinsi, Rencana Tata Ruang Nasional mencakup pula rencana
Wilayah Kabupaten, dan Rencana Tata Ruang Wilayah pemanfaatan sumber daya alam di
Kota zona ekonomi eksklusif Indonesia
20 Tujuan Penataan Tata Ruang Wilayah Nasional, isi yang Cukup Jelas
harus terkandung dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional, jangka waktu serta peninjauan Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional
ZONA SISTEM
RTR PULAU / KEPULAUAN
RTRW NASIONAL
RTR KAWASAN NASIONAL
W SRATEGIS NASIONAL
I
ZONA SISTEM
RTR KAWASAN
L RTRW PROPINSI SRATEGIS PROPINSI PROPINSI
A
Y
A RTR KAWASAN PERATURAN
H SRATEGIS KABUPATEN ZONASI
RTRW KABUPATEN
RDTR WILAYAH ZONING
KABUPATEN REGULATION
P
Penyusunan rencana tata ruang dilakukan secara berjenjang dan komplementer,
artinya rencana tata ruang mulai dari tingkat pusat hingga rencana tata ruang
kabupaten/kota harus saling melengkapi satu dengan lainnya, tidak boleh saling
bertentangan, dan tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dalam
penyelenggaraannya
Jenis Isi Jangka Waktu Pengesahan
RTRW Nasional Arahan kebijakan dan Jangka waktu 20 Terdapat dalam
strategi pemanfaatan tahun dan ditinjaukan UU 26 Tahun
ruang wilayah kembali 1 (satu) kali 2007 Pasal 20
nasional yang disusun dalam 5 (lima) tahun.
guna menjaga integrasi
nasional, keseimbangan
dan
keserasian perkembangan
antar wilayah dan antar
sektor, serta
keharmonisan antar
lingkungan alam dengan
lingkungan buatan, demi
untuk meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat.
RTRW Provinsi Rencana kebijakan Jangka waktu 20 Terdapat dalam
operasional dari RTRWN tahun dan ditinjaukan UU 26 Tahun
yang berisi kembali 1 (satu) kali 2007 Paragraf 3
strategi pengembangan dalam 5 (lima) tahun. Pasal 22 dan 23
wilayah provinsi, melalui
sinkronisasi
pengembangan sektor,
koordinasi lintas wilayah
kabupaten/ kota dan
sektor, serta pembagian
peran dan
fungsi kabupaten/kota di
dalam pengembangan
wilayah secara
keseluruhan
RTRW penjabaran RTRW Jangka waktu 20 Terdapat dalam
Kabupaten dan provinsi ke dalam tahun dan ditinjaukan UU 26 Tahun
RTRW Kota strategi kembali 1 (satu) kali 2007.
pengembangan wilayah dalam 5 (lima) tahun RTRW
kabupaten/Kota yang Kabupaten
sesuai dengan fungsi dan Paragraf 4
peranannya Pasal 25 dan 26.
di dalam rencana RTRW Kota
pengembangan wilayah Paragraf 5 Pasal
provinsi secara 28.
keseluruhan. Strategi
pengembangan wilayah
ini selanjutnya
dituangkan ke dalam
rencana struktur dan
rencana pola ruang
operasional
RTRW
NASIONAL
RTRW
RTR
PROVINSI
KAWASAN
METROPOLITAN
RTRW
KAB/KOTA
pertumbuhan wilayah.
FUNGSI KAWASAN
Dari klasifikasi penataan ruang tersebut ditetapkan strategi umum dan strategi
implementasi penyelengaraan penataan ruang, sebagai berikut:
UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengatur tiga bentuk sanksi,
yaitu sanksi administrasi (Pasal 62 sampai dengan 64), sanksi perdata (Pasal 66 ,67, dan
75), dan sanksi pidana (Pasal 69 sampai dengan 74). Sepintas sederetan pasal-pasal
tersebut akan mampu menutupi celah yang terdapat dalam undang-undang sebelumnya
dalam hal pengendalian tata ruang.
UU ini secara tegas mengatur kewajiban masyarakat sebagai berikut:
a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang
berwenang;
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin; dan
d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan
perundangundangan
dinyatakan sebagia milik umum.
Selain itu UU ini juga melarang pejabat pemerintah yang berwenang
menerbitkan izin
pemanfaatan ruang untuk menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang.Pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan tersebut di atas memiliki
konsekuensi
berupa ancaman pidana penjara dan denda di samping sanksi administratif.
Tantangan dalam penerapan ketentuan tersebut di atas adalah dalam
penegakan hukum,mengingat selama ini masyarakat telah ”terbiasa” dengan kasus
pelanggaran rencana
tata ruang tanpa konsekuensi sanksi apa pun. Di sisi lain, para pejabat yang
berwenang
menerbitkan izin pemanfaatan ruang cenderung untuk ”menahan diri” dalam
menerbitkan izin yang dapat berdampak pada penurunan investasi. Untuk itu
diperlukan upaya penyadaran seluruh pemangku kepentingan mengenai
pentingnya
penegakan hukum terhadap pelanggaran rencana tata ruang dalam rangka
mewujudkan
ruang kehidupan yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.
Sisi lain yang terkait dengan proses pembuatan undang-undang adalah
keseimbangan, keselarasan antara kesadaran hukum yang ditanamkan dari atas
oleh penguasa negara (legal awareness) dengan perasaan hukum masyarakat yang
bersifat spontan dari rakyat (legal feeling).
Dalam kondisi yang demikian diharapkan budaya hukum (legal culture)
dapat tumbuh lebih baik. Penegakan hukum yang ideal harus disertai kesadaran
bahwa penegakan hukum merupakan sub-sistem sosial, sehingga pengaruh
lingkungan cukup berarti, seperti pengaruh perkembangan politik, ekonomi, sosial
budaya, hankam, Iptek, pendidikan dan sebagainya.
Lebih ideal lagi apabila para penegak hukum menyadari sepenuhnya bahwa
supremasi hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
merupakan salah satu refleksi dan bahkan prakondisi sistem pemerintahan yang
demokratis dan berwibawa. (Muladi, 1997).
Persoalan sanksi pidana dalam rangka revisi UUPR muncul dari anggapan
sementara kalangan bahwa rusaknya struktur dan merosotnya kualitas tata ruang
disebabkan karena UUPR tidak mengatur sanksi pidana.
Kepatuhan terhadap peraturan hukum dapat timbul dari beberapa sebab.
1. Rasa takut terhadap ancaman sanksi dan paksaan, seperti pencabutan izin,
hukuman kurungan, denda, dan sebagainya (hard enforcement). Kepatuhan
hukum seperti ini sangat tergantung pada konsistensi aparat penegakan
hukum. Sekali konsistensi itu dilanggar atau intensitas pengawasan menurun,
maka potensi pelanggaran semakin besar. Dalam hal ini kepatuhan hukum
masyarakat tergantung pada faktor aparat penegak hukum.
2. Kepatuhan yang dilakukan atas keinginan masyarakat itu sendiri (soft
enforcement). Dalam hal ini kepatuhan hukum timbul dari kesadaran
masyarakat, yang dikenal sebagai “kesadaran hukum”.
Kedua sebab tersebut di atas sama pentingnya, walau untuk penegakan jangka
panjang kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran hukum terbukti lebih efektif.
PENGENAAN SANKSI
Hal ini telah dilaksanakan oleh beberapa Bupati dan Walikota yang juga
telah mendapat dukungan penuh dari badan legislatifnya, seperti kelima wilayah
kota Provinsi DKI Jakarta, Surabaya, dan lain-lain.
Pada akhir bulan April 2008 ini, DPRD Kota Semarang secara proaktif
akan melakukan ‘public hearing’ dengan mengundang para pakar dalam
menyusun berbagai peraturan daerah (Perda), antara lain “Rancangan Perda Kota
Semarang tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau”.
Meskipun demikian sekitar dua dekade lalu beberapa walikota di beberapa negara
sedang berkembang, seperti di benua Amerika Selatan dan di Asia telah berhasil
mengembangkan
lingkungan kota layak huni (habitable) atau apa yang disebut sebagai: ‘Kota
Berwawasan Lingkungan’, sebagai contoh kota Curitiba (Brasilia) (Gambar 3)
Lalu di Indonesia juga telah menerapkan hal tersebut. Misalnya, belajar
dari kasus pengelolaan sampah padat dan produksi kerajinan rumahtangga di
Kampung Banjarsari, Cilandak, Jakarta Selatan dan di Gang Taman, Jl. Pertanian
Selatan, Klender, Jakarta Timur (Gambar 1 dan 2). Masyarakat mengintegrasikan
sarana dan prasarana yang telah ada sekarang melalui kegiatan swadaya kelompok
RT/RW.
Gambar 1 a-b: Penghijauan kompleks rumah di Banjarsari (Purnomohadi, 2007)
dan
“Gang Taman” Jl Pertanian Selatan, Klender Jakarta Timur (Adi W., April 22, 07)
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam kurun waktu sejak penyusunan RTRW sampai saat ini banyak
sekali perubahan yang terjadi, sehingga asumsi-asumsi yang diambil saat
penyususnan RTRW sudah banyak berubah. Pengendalian Pemanfaatan Ruang
belum berjalan sesuai dengan aturan yang ada, masih banyak pelangaran batas dan
perubahan fungsi, sehingga menimbulkan ancaman yang berkepanjangan terhadap
kelangsungan ekonomi suatu kawasan. Perubahan ruang dan bentuk pelangaran
seperti, konversi lahan hutan menjadi lahan perkebunan, pembukaan hutan di
kawasan terlarang, pemanfaatan sepadan sungai, rawa dan danau, serta
pelangaran batas konsesi.