Anda di halaman 1dari 40

RIVIEW RENCANA TATA RUANG

MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2007

TENTANG PENATAAN RUANG

DISUSUN

OLEH

IKA PERMATA HATI / 3610100003

DEWI RUPYANTI SINAGA / 3610100007

TIYA PAPRILAFITRI HARDONO / 3610100019

INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER

SURABAYA

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN

JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH KOTA

2010
BAB

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ruang merupakan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan secara
umum dan
merupakan barang publik yang dapat tereksploitasi bila pemanfaatannya
melebihi daya
dukungnya, yang juga mencakup wadah dimana keseluruhan interaksi sistem
sosial (yang meliputi manusia dengan seluruh kegiatan sosial, ekonomi dan
budaya) dengan ekosistem (sumber daya alam dan sumber daya buatan)
berlangsung.
Interaksi ini tidak selalu secara otomatis ruang harus dimanfaatkan
secara arif
dan efisien, sehingga memungkinkan pemanfaatan sumberdaya alam
yang terkandung di dalamnya dapat secara optimal dimanfaatkan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat
Penataan ruang sebagai pendekatan, dalam pelaksanaan pembangunannya
telah memiliki landasan hukum. Semenjak diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
Penataan ruang juga merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan
antara yang satu dengan yang lain dan harus dilakukan sesuai dengan kaidah
penataan ruang proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang.

Lalu penataan ruang juga dapat didefinisikan sebagai pendekatan


pembangunan
berdimensi spasial yang memberikan perhatian utama pada pengaturan
perilaku manusia dalam memanfaatkan ruang dan sumberdaya alam
yang terkandung di dalamnya agar bertujuan untuk mewujudkan ruang
kehidupan yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dalam wadah NKRI,
dalam jangka panjang, menengah maupun jangka pendek
Sehingga dari implikasi di atas diharapkan :

a. Dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya


guna serta
mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan
b. Tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang
c. Tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang
Sejalan dengan permasalahan tata ruang yang semakin berkembang, telah
disusun Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
sebagai pengganti Undang – Undang No 24 Tahun 1992. Diharapkan Undang-
Undang ini dapat berfungsi sebagai payung hukum yang lebih kuat dalam
penyelenggaraan penataan ruang sehingga dapat terwujud penyelenggaraan
penataan ruang yang transparan, efektif, dan partisipatif. Dengan penataan
ruang diharapkan dapat terwujud ruang kehidupan yang aman, nyaman,
produktif, dan berkelanjutan.
Akan tetapi hingga saat ini, kondisi yang tercipta masih belum sesuai
dengan harapan. Hal ini terlihat dari tantangan yang terjadi, terutama semakin
meningkatnya permasalahan tentang bencana alam seperti bencana banjir dan
tanah longsor. Lalu meningkatnya kemacetan lalu lintas di kawasan perkotaan.
Kemudian masalah permukiman kumuh yang belum terselesaikan dan
semakin berkurangnya ruang publik dan ruang terbuka hijau di kawasan
perkotaan serta belum terpecahkannya masalah ketidakseimbangan
perkembangan antarwilayah.

Berbagai permasalahan tersebut mencerminkan bahwa penerapan UU No.


24/1992
tentang Penataan Ruang belum sepenuhnya efektif dalam menyelesaikan
permasalahan
yang ada.
Terutama dalam memberikan arahan kepada seluruh pemangku
kepentingan dalam
penyelenggaraan penataan ruang guna mewujudkan ruang yang aman,
nyaman,
produktif, dan berkelanjutan.
Kondisi ini merupakan latar belakang dari penyusunan makalah ‘Riview
Rencana Tata Ruang Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
Tentang Penataan Ruang’.

1.2. Maksud, Tujuan, dan Sasaran

1.2.1. Maksud
Penyusunan makalah ‘Riview Rencana Tata Ruang Menurut Undang-
Undang Nomor
26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang’ ini dimaksudkan sebagai bahan rujukan
dalam melaksanakan pengawasan penyelenggaraan penataan ruang, sesuai dengan
Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang serta memberikan
panduan dalam melaksanakan pengawasan terhadap kinerja pengaturan,
pembinaan dan pelaksanaan penataan ruang.
1.2.2. Tujuan
Tujuan dari disusunnya makalah ‘Riview Rencana Tata Ruang Menurut
Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang’ ini adalah untuk
melengkapi tugas makalah mata kuliah Teori Perencanaan Wilayah dan Kota.

1.2.3. Sasaran
Sasaran yang ingin dicapai melalui disusunnya makalah ‘Riview Rencana
Tata Ruang
Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang’ ini
adalah terciptanya proses perencanaan tata ruang,kegiatan pemanfaatan ruang dan
kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang sesuai dengan asas penyelenggaraan
penataan ruang dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang.

1.2 Sistematika Pelaporan


Pelaporan ini disusun dengan mengikuti sistematika 3 (tiga) bab, yaitu :
Bab 1 Pendahuluan
Bab ini berisikan latar belakang, maksud, tujuan, sasaran dan sistematika
pelaporan
Bab 2 Riview
Bab ini berisikan gambar diagram hirarki rencana tata ruang mulai dari
tingkat nasional sampai lokal; rencana umum dan rencana rinci.
Lalu substansi rencana tata ruang yang mencangkup muatan isi, jangka waktu
dan peninjauan kembali, pengesahan, produk hukum, skala peta.
Selanjutnya adalah contoh rencana tata ruang.
Bab 3 Penutup
Bab ini berisikan tentang kesimpulan dan saran
BAB

II

RIVIEW

Berikut adalah lampiran mengenai Undang-Undang Nomor 27 Tahun


2006 mulai dari pasal pertama hingga pasal terakhir.

PASAL ISI KETERANGAN


1 Pengertian Ruang, Tata Ruang, Struktur Ruang, Pola Cukup jelas
Ruang, Penataan Ruang, Penyelenggaraan Penataan
Ruang, Pemerintah, Pengaturan Penataan Ruang,
Pembinaan Penataan Ruang, Pelaksanaan Penataan
Ruang, Pengawasan Penataan Ruang, Perencanaan Tata
Ruang, Pemanfaatan Ruang, Wilayah, dan Kawasan
2 Asas penyelenggaraan penataan ruang dalam NKRI Asas penyelenggaraan penataan
ruang dalam NKRI adalah “
keterpaduan, keserasian,
keselarasan, keseimbangan,
keberlanjutan, keberdayagunaan
dan keberhasilgunaan, keterbukaan,
kebersamaan dan kemitraan,
perlindungan kepentingan umum,
kepastian hokum dan keadilan, dan
akuntabilitas”.
3 Tujuan Penyelenggaraan penataan ruang Penyelenggaraan penataan ruang
bertujuan untuk mewujudkan
wilayah nasional yang aman,
nyaman, produktif, dan
berkelanjutan.
4 Pengklasifikasian penataan ruang Penataan ruang diklasifikasikan
berdasarkan sistem, wilayah
administratif, kegiatan kawasan,
dan nilai strategis kawasan.
5 Penataan ruang berdasarkan system : Cukup Jelas
Sistem wilayah
Sistem internal perkotaan
Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan:
Kawasan Lindung
Kawasan Budidaya
Penataan ruang berdasarkan wilayah administratif:
Penataan Ruang Wilayah Nasional
Penataan Ruang Wilayah Provinsi
Penataan Ruang Wilayah Kabupaten/Kota
Penataan ruang berdasarkan kegiatan kawasan:
Penataan Ruang Kawasan perkotaan
Penataan Ruang Kawasan Perdesaan
Penataan ruang berdasarkan nilai strategis kawasan:
Penataan Ruang Kawasan Strategis Nasional
Penataan Ruang Kawasan Strategis Provinsi
Penataan Ruang Kawasan Strategis
Kabupaten/Kota
6 Perincian Penataan Ruang Wilayah Nasional, Penataan Penataan Ruang Wilayah
Ruang Wilayah Provinsi, dan Penataan Ruang Wilayah Nasional meliputi ruang wilayah
Kabupaten/Kota yurisdiksi dan wilayah
kedaulatan nasional yang
mencakup darat, laut, dan
udara
Penataan Ruang Wilayah
Provinsi meliputi ruang darat,
laut, dan udara termasuk ruang
di dalam bumi
7 Penyelenggara penataan ruang dan pemberian Cukup jelas
kewenangan penyelenggaraan penataan ruang
8 Wewenang pemerintah dalam penyelenggaraan Kewenangan pemerintah dalam
penataan ruang nasional dan penataan ruang kawasan pemanfaatan ruang dan
strategis nasional pengendalian pemanfaatan ruang
kawasan strategis nasional
mencakup aspek yng terkait dengan
nilai strategis yang menjadi dasar
penetapan kawasan strategis
9 Tugas dan tanggung jawab menteri dalam Cukup jelas
pemyelenggaraan penataan ruang
10 Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam Kewenangan pemerintah daerah
penyelenggaraan penataan ruang provinsi dalam pemanfaatan ruang
dan pengendalian pemanfaatan
ruang kawasan strategis provinsi
mencakup aspek yang terkait
dengan nilai strategis yang menjadi
dasar penetapan kawasan strategis
11 Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam Cukup Jelas
penyelenggaraan penataan ruang
12 Pengaturan penataan ruang Cukup Jelas
13 Pembinaaan penataan ruang oleh pemerintah kepada Tujuan sosialisasi peraturan
pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah perundang-undangan dan pedoman
kabupaten/kota dan masyarakat bidang penataan ruang yaitu
memberikan pemahaman pada
aparat pemerintah dan masyarakat
tentang substansi peraturan
perundang-undangan dan pedoman
bidang penataan ruang
14 Tujuan perencanaan tata ruang untuk menghasilkan: Cukup jelas
1) Rencana umum tata ruang, terdiri dari:
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
2) Rencana rinci tata ruang terdiri dari:
Rencana tata ruang pulau/kepulauan dan
rencana tata ruang kawasan strategis
nasional
Rencana tata ruang kawasan strategis
propinsi
Rencana detail tata ruang kabupaten/kota
dan rencana tata ruang kawasan strategis
kabupaten/kota

15 Cakupan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Rencana Tata Ruang Wilayah
Tata Ruang Wilayah Provinsi, Rencana Tata Ruang Nasional mencakup pula rencana
Wilayah Kabupaten, dan Rencana Tata Ruang Wilayah pemanfaatan sumber daya alam di
Kota zona ekonomi eksklusif Indonesia

16 Peninjauan kembali rencana tata ruang Cukup jelas


17 Muatan rencana tata ruang Muatan rencana tata ruang
mencakup:
1) Rencana struktur ruang
Rencana sistem pusat
permukiman
Rencana sistem jaringan
prasarana
2) Rencana pola ruang
Kawasan lindung
Kwasan Budidaya
18 Pengesahan penetapan rancangan peraturan daerah Persetujuan tersebut dimaksudkan
provinsi tentang rencana tata ruang wilayah provinsi dan intuk menjamin kesesuaian muatan
rencana rinci tata ruang peraturan daerah, baik dengan
peraturan perundang-undangan dan
pedoman bidang penataan ruang
19 Ketentuan penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Cukup Jelas
Nasional

20 Tujuan Penataan Tata Ruang Wilayah Nasional, isi yang Cukup Jelas
harus terkandung dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional, jangka waktu serta peninjauan Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional

21 Rencana rinci tata ruang diatur dengan Peraturan Cukup Jelas


Presiden. Muatan, pedoman, dan tata cara penyusunan
rencana rinci tata ruang diatur dengan Peraturan
Menteri
22 Acuan penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Cukup Jelas
dan hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
23 Ketentuan mengenai muatan, pedoman, tata cara, Rencana Tata Ruang Wilayah
jangka waktu penyusunan serta peninjauan kembali Provinsi menjadi acuan bagi instansi
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi pemerintah daerah serta
masyarakat unuk mengarahkan
lokasi dan memanfaatkan ruang
dalam menyusun program
pembangunan di daerah yang
bersangkutan
24 Penetapan dan pengaturan mengenai rencana rinci tata Cukup jelas
ruang
25 Acuan serta hal-hal yang harus diperhatikan dalam Cukup jelas
penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
26 Ketentuan mengenai muatan, pedoman, peninjauan dan Cukup jelas
kembali Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
27 Tata cara penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Cukup jelas
Kabupaten
28 Ketentuan tambahan Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pemberlak uan secara mutatis-
Kota mutandis dimaksudkan bahwa
ketentuan mrngenai perencanaan
tata ruang wilayah kabupaten
berlaku pula dalam perencanaan
tata ruang wilayah kota
29 Ketentuan dan proporsi mengenai ruang terbuka hijau Ruang terbuka hijau (30% dari luas
kota) meliputi:
Ruang terbuka hijau publik
(20% dari luas kota). Merupakan
ruang terbuka hijau hijau yang
dimiliki dan dikelola oleh
pemerintah daerah kota yang
digunakan untuk kepentingan
masyarakat secara umum
Ruang terbuka hijau privat
30 Distribusi terbuka ruang hijau publik disesuaikan dengan Cukup jelas
sebaran penduduk dan hierarki pelayanan
31 Ketentuan lebih lanjut mengenai ruang terbuka hijau Cukup jelas
diatur dengan peraturan menteri
32 Pemanfaatan ruang Pelaksanaan program pemanfaatan
ruang adalah aktivitas
pembangunan, baik yang
dilaksanakan oleh pemerintah
maupun masyarakat untuk
mewujudkan rencana tata ruang
33 Acuan pemanfaatan ruang; mengembangkan Penguasaan, penggunaan, dan
penatagunaan tanah, air, udara, dan sumber daya alam pemanfaatan tanah, air, udara, dan
lain sumber daya alam lain sebagai satu
kesatuan sistem untuk kepentingan
masyarakat secara adil
34 Tata cara dan pedoman pemanfaatan ruang wilayah Cukup jelas
35 Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui Pengendalian pemanfaatan ruang
penetapan perarturan zonasi, perizinan, pemberian dimaksudkan agar pemanfaatan
insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi ruang dilakukan sesuai dengan
rencana tata ruang
36 Acuan serta pedoman peraturan zonasi Peraturan zonasi merupakan
ketentuan yang mengatur
pemanfaatan ruang dan unsure-
unsur pengendalian yang disusun
untuk setiap zona peruntukan
sesuai dengan rencana rinci tata
ruang
37 Ketentuan perizinan dalam pengendalian pemanfaatan Perizinan yang terkait dengan izin
ruang pemanfaatan ruang yang menurut
ketentuan perundang-undangan
harus dimiliki sebelum pelaksanaan
pemanfaatan ruang, yatu izin
lokasi/fungsi ruang, amplop ruang,
dan kualitas ruang
38 Perincian atau penjelasan mengenai insentif dan Penerapan insentif dan disinsentif
disinsentif serta wewenang dalam memberikan insentif secara terpisah dilakukan untuk
dan disinsentif perizinan skala kecil/individual,
sedangkan penerapan insentif dan
disinsentif secara bersamaan
diberikan untuk perizinan skala
besar/kawasan
39 Pengenaan sanksi apabila tidak sesuai dengan rencana Cukup jelas
tata ruang dan peraturan zonasi
40 Ketentuan lebih lanjut tentang pemanfaatan ruang Cukup jelas
diatur dengan Peraturan Pemerintah
41 Penataan ruang kawasan perkotaan Penataan ruang kawasan perkotaan
meliputi:
Kawasan perkotan kecil
Kawasan perkotan sedang
Kawasan perkotan besar
Kawasan perkotan
metropolitan
Kawasan perkotan
megapolitan
42 Perencanaan tata ruang kawasan perkotaan, jika Cukup jelas
merupakan bagian wilayah kabupaten termasuk rencana
rinci tata ruang wilayah kabupaten
43 Rencana tata ruang kawasan perkotaan yang mencakup Pengertian lintas wilayah mencakup
dua atau lebih wilayah kabupaten/kota merupakan alat dampak pemanfaatan ruang yang
koordinasi dalam pelaksanaan pembangunan yang dapat melintasi wilayah
bersifat lintas wilayah admimistrasi sehingga harus
dikelola secara terkoordinasi antara
wilayah yang menjadi sumber
dampak dan wilayah yang terkena
dampak
44 Ketentuan, cakupan, serta arahan rencana tata ruang Tidak berbentuk sebagai rencana
kawasan metropolitan dan megapolitan seperti rencana tata ruang wilayah ,
tetapi berbentuk pedoman
keterpaduan untuk rencana tata
ruang wilayah administrasi di dalam
kawasan
45 Pemanfaatan ruang kawasan perkotaan serta Mencakup pula koordinasi dalam
pentusunan program pembangunan beserta penahapan pelaksanaan
pembiayaannya secara terkoordinasi pembangunan
46 Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan perkotaan Pelaksanaan pengendalian oleh
lembaga pengelolaan kawasan
perkotaan yang mencakup 2 atau
lebih wilayah kabupaten/kota dapat
dilakukan secara lebih efektif
apabila lembaga dimaksud diberi
wewenang oleh seluruh pemerintah
kabupaten/kota terkait
47 Kerjasama penataan ruang kawasan perkotaan Cukup jelas
dilaksanakan melalui kerjasma antar daerah
48 Pengarahan dan sasaran penataan ruang kawasan Cukup jelas
perdesaan
49 Rencana tata ruang kawasan perdesaan yang merupakan Cukup jelas
bagian wilayah kabupaten termasuk bagian rencana tata
ruang wilayah kabupaten
50 Rencana tata ruang kawasan perdesaan dalam satu Cukup jelas
wilayah kabupaten dapat dilakukan di tingkat kecamatan
atau beberapa wilayah desa
51 Muatan rencana tata ruang kawasan agropolitan Merupakan rencana rinci tata ruang
satu atau beberapa kabupaten
52 Pemanfaatan ruang kawasan perdesaan Cukup jelas
53 Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan perdesaan Cukup jelas
54 Peraturan penataan ruang kawasan perdesaan Cukup jelas
55 Pengawasan terhadap kinerja pengaturan, pembinaan, Dimaksudkan untuk menjamin
dan pelaksanaan tata ruang dalam bentuk pemantauan, terlaksananya peraturan
evaluasi, dan pelaporan perundang-undangan
terselenggaranya upaya
pemberdayaan seluruh pemangku
kepentingan, dan terjamin
pelaksanaan penataan ruang
56 Tata cara dan proses pemantauan dan evaluasi oleh Langkah penyelesaian merupakan
menteri, gubernur, dan Bupati/Walikota tindakan nyata pejabat administrasi,
antara lain berupa tindakan
administrative untuk menghentikan
terjadinya penimpangan
57 Pihak yang melakukan penyimpangan dapat dikenai Cukup jelas
sanksi sesuai peraturan perundang-undangan
58 Pengawasan tehadap kinerja fungsi dan manfaat Disusun sebagai alat Pemerintah
penyelenggaraan penataan ruang serta kinerja dan pemerintah daerah untuk
pemenuhan standar pelayanan menjamin masyarakat memperoleh
jenis dan mutu pelayanan dasar
secara merata daam rangka
penyelenggaraan urusan wajib
59 Pengawasan penataan ruang berpedoman pada bidang Cukup jelas
penataan ruang . ditujukan pada pengaturan,
pembinaan, dan pelksanan penataan ruang
60 Hak-hak masyarakat dalam penataan ruang Masyarakat dapat mengetahui
rencana tata ruang melalui
Lembaran Negara atau Lembaran
Daerah, pemgumuman, dan/atau
penyebarluasa oleh pemerintah
61 Kewajiban-kewajiban masyarakat dalam penataan ruang Menaati rencana tata ruang yang
telah ditetapkan, memnfaatkan
ruang sesuai dengan izin
pemanfaatan ruang, mematuhi
ketentuan yang ditetapkan dalam
persyaratan izin pemanfaatan
ruang, serta pemberian akses
62 Setiap orang yang melanggar ketentuan dikenai sanksi Cukup jelas
admimnistratif
63 Perincian atau jenis sanksi administratif Cukup jelas
64 Ketentuan lebih lanjut tentang criteria dan tata cara Cukup jelas
pengenaan sanksi administrative diatur dengan
Peraruran Pemerintah
65 Peran masyarakat dalam penataan ruang Mencakup kegiatan pemanfaatan
ruang yang sesuai dengan rencana
tata ruang
66 Masyarakat yang dirugikan dapat mengajukan gugatan Mencakup pula kerugian akibat
melalui pengadilan tidak memperoleh informasi
rencana tata ruang yang disebabkan
oleh tidak tersedianya informasi
tentang rencana tata ruang
67 Penyelesaian sengketa penataan ruang Sengketa penataan ruang adalah
perselisihan antar pemangku
kepentingan dalam
penyelenggaraan penataan ruang.
Upaya penyelesaian diawali dengan
musyawarah untuk mufakat lalu
melalui pengadilan
68 Penyidikan termasuk di dalamnya pihak yang berhak Cukup jelas
melakukan penyidikan, wewenang penyidik, serta tata
cara proses penyidikan
69 Ketentuan pidana bagi pihak yang tidak menaati rencana Cukup jelas
tata ruang yang telah ditetapkan
70 Ketentuan pidana bagi pihak yang memanfaatkan ruang Cukup jelas
tidak sesua dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat
yang berwenang
71 Ketentuan pidana bagi pihak yang tidak mematuhi Cukup jelas
ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin
pemanfaatan ruang
72 Ketentuan pidana bagi pihak yang tidak memberikan Cukup jelas
akses terhadap kawasan yang oleh peraturan
perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum
73 Ketentuan pidana bagi pejabat pemerintah yang Cukup jelas
berwenang yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan
rencana tata ruang
74 Selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, Cukup jelas
pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporsi berupa
pidana denda dengan pemberatan 3 kali dari pidana
denda
75 Setiap pihak yang menderita kerugian akibat tindak Cukup jelas
pidana dapat menuntut ganti kerugian secara perdata
kepada pelaku tindak pidana
76 Semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan Cukup jelas
penataan ruang yang telah ada tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan
Undang-Undang
77 Penyesuaian semua pemanfaatan ruang yang tidak Selama masa transisi tidak dapat
sesuai dengan rencana tata ruang melelui kegiatan dilakukan penertiban secara paksa
penyesuaian pemanfaatan ruang
78 Penyelesaian Peraruran Pemeintah, Peraturan Presiden, Cukup jelas
dan Peraturan Menteri sejak Undang-Undang ini
diberlakukan serta ketentuan sejak diberlakukannya
Undang-Undang ini
79 Pencabutan Undang Undang Nomor 24 Tahun 1992 Cukup jelas
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501)
tentang Penataan Ruang dan dinyatakan tidak berlaku
80 Pemberlakuan Undang-Undang dan penempatannya Cukup jelas
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia

2.1 Gambar Diagram


RENCANA UMUM TATA RUANG RENCANA RINCI TATA RUANG SISTEM ZONASI

ZONA SISTEM
RTR PULAU / KEPULAUAN
RTRW NASIONAL
RTR KAWASAN NASIONAL
W SRATEGIS NASIONAL
I
ZONA SISTEM
RTR KAWASAN
L RTRW PROPINSI SRATEGIS PROPINSI PROPINSI
A
Y
A RTR KAWASAN PERATURAN
H SRATEGIS KABUPATEN ZONASI
RTRW KABUPATEN
RDTR WILAYAH ZONING
KABUPATEN REGULATION

P
Penyusunan rencana tata ruang dilakukan secara berjenjang dan komplementer,
artinya rencana tata ruang mulai dari tingkat pusat hingga rencana tata ruang
kabupaten/kota harus saling melengkapi satu dengan lainnya, tidak boleh saling
bertentangan, dan tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dalam
penyelenggaraannya
Jenis Isi Jangka Waktu Pengesahan
RTRW Nasional Arahan kebijakan dan Jangka waktu 20 Terdapat dalam
strategi pemanfaatan tahun dan ditinjaukan UU 26 Tahun
ruang wilayah kembali 1 (satu) kali 2007 Pasal 20
nasional yang disusun dalam 5 (lima) tahun.
guna menjaga integrasi
nasional, keseimbangan
dan
keserasian perkembangan
antar wilayah dan antar
sektor, serta
keharmonisan antar
lingkungan alam dengan
lingkungan buatan, demi
untuk meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat.
RTRW Provinsi Rencana kebijakan Jangka waktu 20 Terdapat dalam
operasional dari RTRWN tahun dan ditinjaukan UU 26 Tahun
yang berisi kembali 1 (satu) kali 2007 Paragraf 3
strategi pengembangan dalam 5 (lima) tahun. Pasal 22 dan 23
wilayah provinsi, melalui
sinkronisasi
pengembangan sektor,
koordinasi lintas wilayah
kabupaten/ kota dan
sektor, serta pembagian
peran dan
fungsi kabupaten/kota di
dalam pengembangan
wilayah secara
keseluruhan
RTRW penjabaran RTRW Jangka waktu 20 Terdapat dalam
Kabupaten dan provinsi ke dalam tahun dan ditinjaukan UU 26 Tahun
RTRW Kota strategi kembali 1 (satu) kali 2007.
pengembangan wilayah dalam 5 (lima) tahun RTRW
kabupaten/Kota yang Kabupaten
sesuai dengan fungsi dan Paragraf 4
peranannya Pasal 25 dan 26.
di dalam rencana RTRW Kota
pengembangan wilayah Paragraf 5 Pasal
provinsi secara 28.
keseluruhan. Strategi
pengembangan wilayah
ini selanjutnya
dituangkan ke dalam
rencana struktur dan
rencana pola ruang
operasional

Penegasan sifat komplementer antara RTRWN, RTRWP, dan RTRWK


dimaksudkan
agar ketiga produk rencana tersebut bersifat saling melengkapi, sehingga apabila
”disatukan” akan membentuk rencana tata ruang yang serasi dan selaras antar
tingkatan
wilayah administrasi. Untuk itu hal yang harus diperhatikan adalah: substansi
yang
telah diatur dalam rencana tata ruang wilayah administrasi yang lebih tinggi tidak
diatur
berbeda dalam rencana tata ruang wilayah administrasi di bawahnya. Dengan kata
lain,
substansi yang telah diatur dalam RTRWN harus diacu dalam RTRWP.
Sementara
substansi yang telah diatur dalam RTRWN dan RTRWP harus diacu dalam
RTRWK.
TAHAPAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA

RTRW

NASIONAL

RTRW
RTR
PROVINSI
KAWASAN

METROPOLITAN
RTRW

KAB/KOTA

RTRW PERATURAN PER PEM


PERKOTAAN/ ZONASI
KOTA IJINAN BANGUNAN
Dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah, tuntutan penerapan prinsip-prinsip
good governance hendaknya terus diupayakan melalui peningkatan kepedulian
dan peran masyarakat khususnya dalam penetapan fungsi, peran, serta pendekatan
kebijakan dan strategi penataan ruang. Pada level terendah, penerapan prinsip-
prinsip good governance ini dilakukan melalui pelibatan masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan di sekitar tempat tinggalnya

Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 secara eksplisit diuraikan tentang


penegasan hal, kewajiban serta peran masyarakat, yaitu:

Pasal 60 : Setiap orang berhak untuk :

1. mengetahui Rencana Tata Ruang;


2. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang;
3. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat
pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan perencanaan Tata
Ruang;
4. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan
yang tak sesuai dengan Rencana Tata Ruang di wilayahnya.

Pasal 61: Dalam pemanfaatannya setiap orang wajib :

1. menaati Rencana Tata Ruang yang telah ditetapkan;


2. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat
yang berwenang;
3. memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan
ruang, dan
4. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.
Pasal 65 : Peran masyarakat melalui :

1. pelibatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang


2. peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan, antara lain, melalui:

(a) partisipasi dalam penyusunan RTR;


(b) partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan
(c) partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.

2.2 Muatan Rencana Tata Ruang


Berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
dinyatakan
bahwa muatan rencana tata ruang mencakup rencana struktur ruang dan rencana
pola
ruang.
2.2.1. Rencana Struktur Ruang
Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan
prasarana
dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi
masyarakat
yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.
Rencana Struktur Ruang meliputi:
a. Rencana Sistem Pusat Permukiman
Dalam sistem wilayah pusat permukiman adalah kawasan perkotaan yang
merupakan pusat kegiatan sosial ekonomi masyarakat, baik pada kawasan
perkotaan maupun pada kawasan perdesaan. Dalam sistem internal perkotaan,
pusat permukiman adalah pusat pelayanan kegiatan perkotaan.
b. Rencana Sistem Jaringan Prasarana
Antara lain, mencakup sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi
dan
kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, sistem persampahan dan sanitasi,
serta
sistem jaringan sumber daya air.
2.2.2. Rencana Pola Ruang
Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi
peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi
daya.
Rencana Pola Ruang meliputi:
a. Kawasan Lindung
Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya
buatan.Kawasan lindung adalah:
a. Kawasan Yang Memberikan Pelindungan Kawasan Bawahannya, antara lain,
kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, dan kawasan resapan air;
b. Kawasan Perlindungan Setempat, antara lain, sempadan pantai, sempadan
sungai,
kawasan sekitar danau/waduk, dan kawasan sekitar mata air;
c. Kawasan Suaka Alam Dan Cagar Budaya, antara lain, kawasan suaka alam,
kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau,
taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, cagar alam, suaka
margasatwa, serta kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan;
d. Kawasan Rawan Bencana Alam, antara lain, kawasan rawan letusan gunung
berapi, kawasan rawan gempa bumi, kawasan rawan tanah longsor, kawasan
rawan gelombang pasang, dan kawasan rawan banjir; dan
e. Kawasan Lindung Lainnya, misalnya taman buru, cagar biosfer, kawasan
perlindungan plasma nutfah, kawasan pengungsian satwa, dan terumbu karang.
Pada pasal 17 memuat bahwa proporsi kawasan hutan paling sedikit 30%
dari luas daerah aliran sungai (DAS) yang dimaksudkan untuk menjaga
kelestarian lingkungan. Pasal 28 sampai dengan pasal 30 memuat bahwa proporsi
ruang terbuka hijau pada wilayah kota minimal 30% di mana proporsi ruang
terbuka hijau publik pada wilayah kota minimal 10%.
b. Kawasan Budi Daya
Kawasan Budi Daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
untuk
dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya
manusia, dan sumber daya buatan.
Kawasan Budi Daya biasanya juga diperuntukkan hutan produksi,
kawasan peruntukan hutan rakyat, kawasan peruntukan pertanian, kawasan
peruntukan perikanan, kawasan peruntukan pertambangan, kawasan peruntukan
permukiman, kawasan peruntukan
industri, kawasan peruntukan pariwisata, kawasan tempat beribadah, kawasan
pendidikan, dan kawasan pertahanan keamanan.
Peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya meliputi peruntukan
ruang
untuk kegiatan pelestarian lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan, dan
keamanan.

Sementara pasal 6 ayat (1) mempertegas bahwa penataan ruang


diselenggarakan dengan memperhatikan potensi khusus sumber daya alam,
sumber daya manusia, dan sumber daya buatan serta kondisi ekonomi, sosial,
budaya, politik, hukum, pertahanan keamanan, lingkungan hidup serta ilmu
pengetahuan dan teknologi sebagai suatu kesatuan.

Sedangkan pasal 48 memuat bahwa penataan ruang kawasan perdesaan


diarahkan antara lain,untuk:
(1) pertahanan kualitas lingkungan setempat dan wilayah yang
didukungnya;
(2) konservasi sumber daya alam; dan
(3) pertahanan kawasan lahan abadi pertanian pangan untuk ketahahan
pangan
Tahapan Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota

Penyusunan RTRW Kabupaten berlaku mutatis mutandis (Pasal 28 UUPR No. 26


Tahun 2007) untuk penyusunan RTRW Kota dengan penambahan muatan pada
rencana-rencana:
(1) penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau;
(2) penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka non-hijau; dan
(3) penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki,
angkutan
umum, kegiatan sektor informal dan ruang evakuasi bencana, yang
dibutuhkan untuk

menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial-ekonomi


dan pusat

pertumbuhan wilayah.

Pasal 5 dan penjelasan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, mengandung


penetapan dua fungsi kawasan utama, yaitu kawasan lindung dan kawasan
budidaya yang dibagi ke dalam beberapa sub-kawasan yang akan memperjelas
fungsi sesuai tata guna (peruntukan ruang/lahan) sektoral yang satu sama lain
saling melengkapi (komplementer) seperti pada diagram berikut ini.
KAW. YANG MEMBERIKAN KAW.
PERLINDUNGAN DIBAWAHNYA

KAW. PERLINDUNGAN SETEMPAT

KAW. SUAKA ALAM DAN CAGAR


KAWASAN LINDUNG BUDAYA

KAW. RAWAN BENCANA ALAM

KAW. LINDUNG LAINNYA

FUNGSI KAWASAN

KAW. PERUNT HUTAN PRODUKSI

KAW. PERUNT. HUTAN RAKYAT

KAW. PERUNT PERTANIAN

KAW. PERUNT PERIKANAN

KAW. PERUNT PERTAMBANGAN


KAWASAN BUDIDAYA

KAW. PERUNT PEMUKIMAN

KAW. PERUNT INDUSTRI

KAW. PERUNT PARIWISATA


Klasifikasi Penataan Ruang Menurut UU No. 26 Tahun 2007

Dari klasifikasi penataan ruang tersebut ditetapkan strategi umum dan strategi
implementasi penyelengaraan penataan ruang, sebagai berikut:

1. Pasal 6 yakni menyelenggarakan penataan ruang wilayah nasional secara


komprehensif, holistik, terkoordinasi, terpadu, efektif, dan efisien dengan
memperhatikan faktor-faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan,
keamanan, kenyamanan, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup;
2. Pasal 6 ayat (2) yakni menetapkan prinsip-prinsip ”komplementaritas”
dalam rencana struktur ruang dan recana pola ruang rencana tata ruang
wilayah kabupaten/kota dan rencana tata ruang wilayah provinsi;
3. Pasal 7 sampai dengan pasal 8 yaitu memperjelas pembagian wewenang
antara Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota
dalam penyelenggaraan penataan ruang;
4. Pasal 17, pasal 28 - pasal 30 yakni: (a) memberikan perhatian besar
kepada aspek lingkungan/ ekosistem; (b) menekankan struktur dan pola
ruang dalam rencana tata ruang.

2.2.2 Produk Hukum

UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengatur tiga bentuk sanksi,
yaitu sanksi administrasi (Pasal 62 sampai dengan 64), sanksi perdata (Pasal 66 ,67, dan
75), dan sanksi pidana (Pasal 69 sampai dengan 74). Sepintas sederetan pasal-pasal
tersebut akan mampu menutupi celah yang terdapat dalam undang-undang sebelumnya
dalam hal pengendalian tata ruang.
UU ini secara tegas mengatur kewajiban masyarakat sebagai berikut:
a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang
berwenang;
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin; dan
d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan
perundangundangan
dinyatakan sebagia milik umum.
Selain itu UU ini juga melarang pejabat pemerintah yang berwenang
menerbitkan izin
pemanfaatan ruang untuk menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang.Pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan tersebut di atas memiliki
konsekuensi
berupa ancaman pidana penjara dan denda di samping sanksi administratif.
Tantangan dalam penerapan ketentuan tersebut di atas adalah dalam
penegakan hukum,mengingat selama ini masyarakat telah ”terbiasa” dengan kasus
pelanggaran rencana
tata ruang tanpa konsekuensi sanksi apa pun. Di sisi lain, para pejabat yang
berwenang
menerbitkan izin pemanfaatan ruang cenderung untuk ”menahan diri” dalam
menerbitkan izin yang dapat berdampak pada penurunan investasi. Untuk itu
diperlukan upaya penyadaran seluruh pemangku kepentingan mengenai
pentingnya
penegakan hukum terhadap pelanggaran rencana tata ruang dalam rangka
mewujudkan
ruang kehidupan yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.
Sisi lain yang terkait dengan proses pembuatan undang-undang adalah
keseimbangan, keselarasan antara kesadaran hukum yang ditanamkan dari atas
oleh penguasa negara (legal awareness) dengan perasaan hukum masyarakat yang
bersifat spontan dari rakyat (legal feeling).
Dalam kondisi yang demikian diharapkan budaya hukum (legal culture)
dapat tumbuh lebih baik. Penegakan hukum yang ideal harus disertai kesadaran
bahwa penegakan hukum merupakan sub-sistem sosial, sehingga pengaruh
lingkungan cukup berarti, seperti pengaruh perkembangan politik, ekonomi, sosial
budaya, hankam, Iptek, pendidikan dan sebagainya.

Lebih ideal lagi apabila para penegak hukum menyadari sepenuhnya bahwa
supremasi hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
merupakan salah satu refleksi dan bahkan prakondisi sistem pemerintahan yang
demokratis dan berwibawa. (Muladi, 1997).
Persoalan sanksi pidana dalam rangka revisi UUPR muncul dari anggapan
sementara kalangan bahwa rusaknya struktur dan merosotnya kualitas tata ruang
disebabkan karena UUPR tidak mengatur sanksi pidana.
Kepatuhan terhadap peraturan hukum dapat timbul dari beberapa sebab.
1. Rasa takut terhadap ancaman sanksi dan paksaan, seperti pencabutan izin,
hukuman kurungan, denda, dan sebagainya (hard enforcement). Kepatuhan
hukum seperti ini sangat tergantung pada konsistensi aparat penegakan
hukum. Sekali konsistensi itu dilanggar atau intensitas pengawasan menurun,
maka potensi pelanggaran semakin besar. Dalam hal ini kepatuhan hukum
masyarakat tergantung pada faktor aparat penegak hukum.
2. Kepatuhan yang dilakukan atas keinginan masyarakat itu sendiri (soft
enforcement). Dalam hal ini kepatuhan hukum timbul dari kesadaran
masyarakat, yang dikenal sebagai “kesadaran hukum”.

Kedua sebab tersebut di atas sama pentingnya, walau untuk penegakan jangka
panjang kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran hukum terbukti lebih efektif.

Dengan demikian, pengaturan sanksi pidana yang berat sekalipun tidak


akan bermanfaat apabila pengawasan atau penegakan hukum tidak berjalan. Akan
tetapi, situasi ini akan jauh lebih baik daripada “tidak terdapat sanksi apapun yang
dapat diterapkan bagi pelanggar hukum”.

Sejalan dengan asas pencegahan (the precautionary principle) dan asas


pengendalian (principle of restraint) yang juga merupakan syarat kriminalisasi,
menyatakan bahwa sanksi pidana hendaknya baru dimanfaatkan apabila instrumen
hukum lain tidak efektif, yang dalam hukum pidana dikenal sebagai asas
subsidaritas atau “ultima ratio principle” atau “ultimum remedium”.

Terhadap siapa atau pelaku yang dikenakan sanksi pidana, UU 26 tahun


2007 telah menjawab secara lugas, yaitu orang perseorangan atau badan hukum
(korporasi). Sementara terhadap perilaku yang dikategorikan sebagai tindak
pidana (kriminalisasi), masih menjadi persoalan. Apakah perilaku itu layak
diketagorikan sebagai sebuah kejahatan dan pelanggaran berat sehingga patut
diganjar dengan sanksi yang berat?
Sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 69 sampai pasal 71 UU Nomor 26
tahun 2007 ternyata ditujukan pada perilaku yang melanggar kewajiban yang
diatur dalam Pasal 61, yaitu:
a. Menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. Memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang
berwenang;
c. Mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfatan ruang;
dan
d. Memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan
dinyatakan sebagai milik umum

PENGENAAN SANKSI

Pengenaan sanksi merupakan tindakan penertibanyg dilakukan terhadap


pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTR & peraturan zonasi
KETENTUAN PIDANA
Pasal Unsur Tindak Pidana Sanksi Pidana
69 ayat (1) Tidak mentaati rencana tata penjara paling lama 3
ruang dan mengakibatkan tahun dan denda paling
perubahan fungsi ruang banyak Rp. 500 juta
69 ayat (2) Tidak mentaati rencana penjara paling lama 8
tata ruang tahun dan denda paling
Mengakibatkan banyak Rp. 1, 5 miliar
perubahan fungsi ruang
Mengakibatkan
kerugian terhadap harta
benda atau rusaknya
barang
69 ayat (3) Tidak mentaati rencana penjara paling lama 15
tata ruang tahun dan denda paling
Mengakibatkan banyak Rp. 5 miliar
perubahan fungsi ruang
Mengakibatkan
Kematian orang
70 ayat (1) Memanfaatkan ruang tidak Pidana penjara paling
sesuai dengan izin lama 3 tahun dan denda
pemanfaatan ruang dari paling banyak Rp. 500
juta
pejabat yang berwenang.

70 ayat (2) Memanfaatkan ruang tidak Pidana penjara paling


sesuai dengan izin lama 5 tahun dan denda
pemanfaatan ruang dari paling banyak Rp. 1
miliar
pejabat yang berwenang
dan mengakibatkan
perubahan fungsi ruang

2.2.3 Skala Peta


Pengertian tentang skala Peta
Skala peta tidak hanya menunjukkan perbandingan jarak di peta dengan jarak di
lapangan (misalnya untuk mengukur jarak di lapangan atau menghitung luas suatu
areal), tetapi juga menunjukkan ketelitian geometris dan detail dari unsur dan
informasi yang disajikan. Semakin besar skala peta, maka semakin teliti dan
semakin detail unsur dan informasi yang disajikan; demikian pula sebaliknya
Beberapa contoh mengenai perbedaan skala peta:
Pada peta berskala 1: 25.000, belokan dan lekukan dan lebar sungai, serta
anak sungai sangat jelas tergambar. Tetapi, pada peta berskala 1:100.000, posisi
belokan sungai tidak dapat disajikan secara teliti, lebar sungai tidak dapat
digambarkan, serta sebagian anak sungai dihapus dari peta.
Areal yang berukuran 10 cm x 10 cm pada peta berskala 1:50.000, akan
mempunyai ukuran 5 cm x 5 cm pada peta berskala 1: 100.000, atau 1/4 dari
ukuran semula. Dengan ruang sekecil ini, tidak dimungkinkan untuk menyajikan
unsur-unsur dan informasi secara detail dan teliti.
Dalam penetapan skala pada pembuatan peta (khususnya peta tematik),
perlu diperhatikan tujuan/kegunaannya (peta untuk perencanaan umum akan
berbeda skalanya dengan peta untuk kegiatan operasional dilapangan), serta
informasi yang akan ditampilkan (apabila informasi tidak dapat disajikan secara
detail, misalnya hanya dapat membedakan wilayah berhutan dan tidak berhutan,
maka tidak diperlukan peta yang berskala besar). Tergantung kepada
penggunaanya. Di bidang kehutanan khususnya,

SKALA SEBUTAN PENGGUNAAN


Peta kerja/lapangan
³ 1: 10.000 Sangat besar
Peta kerja/perencanaan
1: 25.000 – 1: 50.000 Besar lapangan

1: 100.000 Sedang Perencanaan tingkat


Kabupaten
1: 250.000 – 1: Kecil
500.000 Perencanaan tingkat
Provinsi
RTRW nasional, digunakan peta dasar dengan skala 1:1.000.000 yang disusun
Bakosurtanal, dan 1:500.000 untuk peta lingkungan laut nasional (digital)
RTRW propinsi, digunakan peta dengan skala 1:250.000 (digital)
RTRW kabupaten, digunakan peta topografi/rupa bumi dengan skala beragam
antara 1:50.000 (untuk Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi), 1:100.000 (untuk
Irian Jaya dan Maluku), hingga 1:25.000 (untuk Jawa-Bali dan Nusa Tenggara)

JENIS UKURAN SKALA PETA


RTRWN 1 : 1.000.000
RTRWP 1 : 250.000
RTRW KABUPATEN 1 : 100.000
RTRW KOTA 1 : 10.000

2.3 Contoh masing-masing rencana ruang

Perubahan paradigma dalam pembangunan wilayah dan kota, khususnya


dalam penyediaan ruang terbuka hijau di wilayah kota sebagaimana diamanatkan
dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang hendaknya
dilaksanakan sepenuhnya oleh Bupati/Walikota dengan dukungan penuh dari
pihak legislatif di masing-masing daerah.

Hal ini telah dilaksanakan oleh beberapa Bupati dan Walikota yang juga
telah mendapat dukungan penuh dari badan legislatifnya, seperti kelima wilayah
kota Provinsi DKI Jakarta, Surabaya, dan lain-lain.

Pada akhir bulan April 2008 ini, DPRD Kota Semarang secara proaktif
akan melakukan ‘public hearing’ dengan mengundang para pakar dalam
menyusun berbagai peraturan daerah (Perda), antara lain “Rancangan Perda Kota
Semarang tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau”.

Model perencanaan tata ruang terakhir yang disepakati para Walikota di


dunia (KLH, 2005) pada Penandatanganan Bersama Kesepakatan Lingkungan
Hidup adalah dikenal dengan istilah Green City. Meskipun terdapat dua persepsi
berbeda tentang istilah Kota Hijau ini, yaitu:
1. Sebagai visi (negara bagian di USA) menghijaukan kota-kota dengan
menanam
banyak tanaman dan tumbuhan serta membangun taman-taman kota;
2. Negara-negara Eropa mempunyai persepsi ‘hijau’ sebagai “Kota yang
Sehat” dan hampir bebas dari emisi polusi CO2, CO, N2O, dan lain-lain
serta orientasinya pada penggunaan sarana angkutan dengan energi non-
fosil.

Meskipun demikian sekitar dua dekade lalu beberapa walikota di beberapa negara
sedang berkembang, seperti di benua Amerika Selatan dan di Asia telah berhasil
mengembangkan

lingkungan kota layak huni (habitable) atau apa yang disebut sebagai: ‘Kota
Berwawasan Lingkungan’, sebagai contoh kota Curitiba (Brasilia) (Gambar 3)
Lalu di Indonesia juga telah menerapkan hal tersebut. Misalnya, belajar
dari kasus pengelolaan sampah padat dan produksi kerajinan rumahtangga di
Kampung Banjarsari, Cilandak, Jakarta Selatan dan di Gang Taman, Jl. Pertanian
Selatan, Klender, Jakarta Timur (Gambar 1 dan 2). Masyarakat mengintegrasikan
sarana dan prasarana yang telah ada sekarang melalui kegiatan swadaya kelompok
RT/RW.
Gambar 1 a-b: Penghijauan kompleks rumah di Banjarsari (Purnomohadi, 2007)
dan
“Gang Taman” Jl Pertanian Selatan, Klender Jakarta Timur (Adi W., April 22, 07)

Penerapan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional di Indonesia terlihat


pada Pembangunan Kaasan Metropolitan BBM (Banjarmasin-Banjarbaru-
Martapura). Program pembangunan di Kawasan Metropolitan Banjarmasin-
Banjarbaru-Martapura (BBM) didasarkan pada sinkronisasi yang telah disepakati
bersama oleh seluruh stakeholder yang meliputi Pemerintah Kabupaten/Kota,
Pemerintah Provinsi, dan sektor pembangunan terkait. Dari sinkronisasi tersebut
diharapkan setiap stakeholder akan menetapkan program dalam institusi masing-
masing untuk menjamin terlaksananya Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan
Metropolitan BBM. Atas dasar itu sangat penting terwujudnya kesepakatan antar
Pemerintah Kabupaten/Kota dan Pemerintah Provinsi dalam RTR Kawasan
Metropolitan ini. RTR Kawasan Metropolitan ini perlu terus digulirkan prosesnya
hingga tataran implementasi di lapangan. Selain itu, perwujudan RTR ini perlu
dikawal oleh Pemerintah Daerah dengan membentuk sebuah nota kesepakatan
antara Pemerintah Kabupaten maupun Kota dalam Kawasan Metropolitan BBM.
Terdapat beberapa kegiatan potensi ekonomi yang dipindahkan keluar Kota
Banjarmasin dan terjadi pula penurunan intensitas kegiatan industri pengolahan,
hal ini berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi Banjarmasin sendiri.
Sehingga perlu direncanakan alternatif kegiatan ekonomi baru pada sektor
perdagangan dan jasa untuk menjaga pertumbuhan ekonomi Kota Banjarmasin.
Pengembangan ekonomi Kabupaten Barito Kuala akan tetap berorientasi terhadap
Kota Banjarmasin sebagai outlet pemasaran, artinya peran Banjarmasin sebagai
pusat perdagangan dan jasa akan tetap dibutuhkan sehingga perkembangan
ekonomi Banjarmasin dengan kabupaten/kota sekitar tetap sinergis.

Penerapan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi di Imdonesia tergolong


lambat. Data terbaru menyebutkan, dari 33 provinsi di Indonesia, baru 11 provinsi
yang telah mendapat persetujuan PU. Dari jumlah tersebut, enam provinsi yang
telah menyelesaikan penyusunan rencana tata ruang dan wilayah hingga membuat
peraturan daerah, sedangkan lima daerah lainnya dalam tahap pembuatan perda.
Keenam provinsi tersebut yaitu Bali, Sulawesi Selatan, Yogyakarta, Lampung,
Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Tengah. Provinsi Bali dan Sulawesi Selatan
menyelesaikan Perda RTRW-nya sejak tahun 2009. Jadi, lebih cepatnya Provinsi
Bali merampungkan Perda RTRW-nya, merupakan sebuah prestasi tersendiri.
Saat provinsi lain kesulitan menyesuaikan Perda RTRW-nya dengan UU Tata
Ruang, bersama provinsi Sulawesi Selatan, Bali termasuk provinsi paling awal
menyelesaikannya. Sebagai provinsi yang telah menjadi kota wisata internasional,
percepatan pembangunan di Bali telah berdampak pada perubahan sekaligus
peralihan fungsi-fungsi lahan yang bermuara pada pelanggaran terhadap fungsi
ruang, lingkungan maupun arsitekturnya. Antisipasi terhadap pembangunan di
Bali yang berkembang pesat sebenarnya telah diwadahi dengan Perda No 3 Tahun
2005 tentang RTRW Provinsi Bali dan beberapa perda lainnya seperti Perda No 4
Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup
dan Perda No 5 Tahun 2005 yang mengatur Persyaratan Arsitektur Bangunan
G e d u n g .

Namun, pembangunan di Bali yang berlangsung cepat menuntut pelayanan


lebih baik. Di sisi lain, ketersediaan dan kualitas SDM untuk kepentingan
pengawasan masih kurang, sehingga beberapa pembangunan tidak sesuai dengan
kaidah-kaidah yang tertuang pada masing-masing Perda di atas. Otonomi daerah
ikut menyulut lemahnya keberadaan ke tiga perda tersebut di atas. Pemda
kabupaten/kota lebih mementingkan bagaimana meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD). Alhasil, pragmatisme pembangunan yang abai terhadap perda-
perda terus berlangsung. Berbagai contoh pelanggaran terlihat nyata antara lain
pembangunan resort di Bukit Berbungan Bedugul, pembangunan vila di Danau
Buyan, pencaplokan daerah pesisir pantai (sempadan pantai), pemanfaatan
kawasan yang disucikan seperti Tanah Lot di Tabanan, pemanfaatan tebing
sungai, pelanggaran ketinggian bangunan,dan pembuangan limbah.
BAB
III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan


Ruang
merupakan upaya untuk lebih mengefektifkan fungsi penataan ruang
sebagai
pendekatan strategis dalam pembangunan yang bertujuan untuk
mewujudkan ruang
kehidupan yang aman, nyaman, produktf, dan berkelanjutan.
2. Penerapan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang
Menghadapi tantangan yang cukup berat, terutama dalam penerapan
berbagai
ketentuan baru terutama berkaitan dengan pembagian kewenangan,
perubahan muatan
rencana, penegasan hak dan kewajiban masyarakat, pengenaan sanksi,
keterkaitan
antara rencana tata ruang dan program-program pembangunan
sektoral/wilayah, serta
batas waktu penyesuaian rencana tata ruang wilayah dengan ketentuan
UUPR yang
baru. Untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut diperlukan kesatuan
tekad para
pemangku kepentingan untuk menerapkan UU No. 26/2007 secara
konsisten termasuk
para perencana.
3. Tantangan yang dihadapi dalam penerapan UU No. 26/2007 merupakan
tantangan
seluruh pemangku kepentingan, termasuk para perencana ruang dan
asosiasi
profesinya (IAP). Ke depan, para perencana dituntut untuk selalu
meningkatkan
kemampuan profesionalnya dalam menyusun rencana tata ruang yang
berkualitas, di
mana IAP dapat berperan sangat strategis dalam pembinaan teknis dan
pengembangan serta pengawasan kode etik perencana.
4. Belajar dari penyesuaian Perda RTRW Bali terhadap UU Penataan Ruang,
setidaknya ada empat hal yang bisa diambil sebagai pelajaran oleh provinsi lain.
Pertama, memberdayakan semua Komponen masyarakat dalam penyusunan
Perda RTRW provinsi. Kedua, mendorong peran dan posisi pemda sebagai
mediator dan fasilitator. Ketiga, meningkatkan peran pemerintah pusat dalam hal
ini Kementerian Pekerjaan Umum untuk mendorong percepatan penyesuaian
Perda RTRW terhadap UU. Bila perlu pro aktif untuk menjemput bola. Keempat,
bantuan konsultasi tenaga ahli, pendanaan, dan komunikasi yang layak pada saat
proses penyesuaian berlangsung.
3.2 Saran

Dalam kurun waktu sejak penyusunan RTRW sampai saat ini banyak
sekali perubahan yang terjadi, sehingga asumsi-asumsi yang diambil saat
penyususnan RTRW sudah banyak berubah. Pengendalian Pemanfaatan Ruang
belum berjalan sesuai dengan aturan yang ada, masih banyak pelangaran batas dan
perubahan fungsi, sehingga menimbulkan ancaman yang berkepanjangan terhadap
kelangsungan ekonomi suatu kawasan. Perubahan ruang dan bentuk pelangaran
seperti, konversi lahan hutan menjadi lahan perkebunan, pembukaan hutan di
kawasan terlarang, pemanfaatan sepadan sungai, rawa dan danau, serta
pelangaran batas konsesi.

Dalam kegiatan penataan ruang sudah sepatutnya memperhatikan kaidah-


kaidah dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang yang sebenarnya harus memasukkan manajemen bahaya
bencana alam secara geografis, geologis, hidrologis dan lainnya. Dan para
professional dari bidang tersebut sudah seharusnya memiliki inovasi yang
bermanfaat dan lebih efektif untuk kedepannya nanti.

Anda mungkin juga menyukai