Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Cedera kepala adalah penyebab utama kematian, dan kecacatan. Manfaat dari tulang
tengkorak untuk melindungi otak terhadap cedera.Selain dilindungi oleh tulang, otak juga
tertutup lapisan keras yang disebut meninges fibrosa, dan juga terdapat cairan yang disebut
cerebrospinal fuild (CSF).Trauma dapat berpotensi menyebabkan fraktur tulang tengkorak,
perdarahan di ruang sekitar otak, memar pada jaringan otak, atau kerusakan saraf pada otak.
Fraktur basis Cranii/Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan fraktur akibat benturan
langsung di sekitar dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita), transmisi energy yang
berasal dari benturan pada wajah atau mandibula, atau efek “remote” dari benturan pada kepala
(“tekanan gelombang” yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak).
Pasien dengan fraktur basis Cranii (fraktur pertrous os temporal) dijumpai dengan
otorrhea dan memar pada mastoids (battle sign). Penampakan fraktur basis Cranii fossa anterior
ditandai dengan adanya Rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes).Kehilangan
kesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat bervariasi, tergantung pada kondisi patologis
intrakranial. Untuk penegakan diagnosis fraktur basis Cranii, diawali dengan pemeriksaan
neurologis lengkap, analisis laboratorium dasar, diagnostic untuk fraktur dengan pemeriksaan
radiologik.
Penanganan korban dengan cedera kepala diawali dengan memastikan bahwa airway,
breathing, circulation bebas dan aman. Banyak korban cedera kepala disertai dengan multiple
trauma dan penanganan pada pasien tersebut tidak menempatkan penanganan kepala menjadi
prioritas, resusisati awal dilakukan secara menyeluruh.

1.2. Batasan Masalah

Refrat ini membahas tentang anatomi, definisi, epidemiologi, etiologi, Patogenesis,


diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis fraktur basis cranii

1
1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk menambah pengetahuan pembaca umumnya
dan penulis khususnya mengenai fraktur basis cranii

1.4. Metode Penulisan

Referat ini disusun berdasarkan studi kepustakaan dengan merujuk ke berbagai literatur.

1.5. Manfaat

Referat ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan informasi dan pengetahuan
tentang fraktur basis cranii.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi

Gambar 1

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis Craniii. Tulang tengkorak
terdiri dari beberapa tulang yaitu: Os frontal, Os Ethmoidal, Os sphenoidal, Os occipital
dan Os temporal, pada regio temporal strukturnya lebih tipis, namun pada bagian ini
dilindungi oleh otot-otot temporalis.
Basis cranii memiliki bentuk yang tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar
otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rogga tengkorak dasar dibagi
atas 3 fossa yaitu : fossa cranii anterior, Fossa cranii media, fossa cranii posterior.

3
Gambar 2

Sekitar 70% fraktur basis Cranii berada pada daerah anterior, meskipun kalvaria tengah
adalah bagian terlemah dari basis Cranii namun hanya 20% fraktur yang ditemukan dan
sekitar 5% fraktur pada daerah posterior.
Fossa crania anterior :Melindungi lobus frontal cerebri, dibatasi di anterior oleh
permukaan dalam os frontale, batas superior adalah ala minor ossis spenoidalis. Dasar
fossa dibentuk oleh pars orbitalis ossis frontale di lateral dan oleh lamina cribiformis os
etmoidalis di media. Permukaan atas lamina cribiformis menyokong bulbus olfaktorius,
dan lubang-lubang halus pada lamini cribrosa dilalui oleh nervus olfaktorius.
Pada fraktur fossa Cranii anterior, lamina cribrosa os etmoidalis dapat cedera. Keadaan
ini dapat menyebabkan robeknya meningeal yang menutupi mukoperiostium. Pasien
dapat mengalami epistaksis dan terjadi rhinnore atau kebocoran CSF yang merembes ke
dalam hidung. Fraktur yang mengenai pars orbita os frontal mengakibatkan perdarahan
subkonjungtiva (raccoon eyes atau periorbital ekimosis) yang merupakan salah satu tanda
klinis dari fraktur basis cranii fossa anterior

4
Fossa Cranii media :Terdiri dari bagian medial yang dibentuk oleh corpus os
sphenoidalis dan bagian lateral yang luas membentuk cekungan kanan dan kiri yang
menampung lobus temporalis cerebri. Di anterior dibatasi oleh ala minor os sphenoidalis
dan terdapat canalis opticus yang dilalui oleh n.opticus dan a.oftalmica, sementara bagian
posterior dibatasi oleh batas atas pars petrosa os temporal. Dilateral terdapat pars
squamous pars os temporal. Fissura orbitalis superior, yang merupakan celah antara ala
mayor dan minor os sphenoidalis dilalui oleh n.lacrimalis, n.frontale, n.trochlearis,
n.occulomotorius dan n.abducens. Fraktur pada basis cranii fossa media sering terjadi,
karena daerah ini merupakan tempat yang paling lemah dari basis Cranii. Secara anatomi
kelemahan ini disebabkan oleh banyaknya foramen dan canalis di daerah ini. Cavum
timpani dan sinus sphenoidalis merupakan daerah yang paling sering terkena cedera.
Bocornya CSF dan keluarnya darah dari canalis acusticus externus sering terjadi
(otorrhea). N. craniais VII dan VIII dapat cedera pada saat terjadi cedera pada pars
perrosus os temporal. N. cranialis III, IV dan VI dapat cedera bila dinding lateral sinus
cavernosus robek.
Fossa Cranii posterior melindungi otak belakang, yaitu cerebellum, pons dan medulla
oblongata. Di anterior fossa di batasi oleh pinggir superior pars petrosa os temporal dan
di posterior dibatasi oleh permukaan dalam pars squamosa os occipital. Dasar fossa
Cranii posterior dibentuk oleh pars basilaris, condylaris, dan squamosa os occipital dan
pars mastoiddeus os temporal. Foramen magnum menempati daerah pusat dari dasar
fossa dan dilalui oleh medulla oblongata dengan meningens yang meliputinya, pars
spinalis assendens n. accessories dan kedua a.vertebralis. Pada fraktur fossa Cranii
posterior darah dapat merembes ke tengkuk di bawah otot-otot postvertebralis. Beberapa
hari kemudian, darah ditemukan dan muncul di otot otot trigonu posterior, dekat prosesus
mastoideus. Membrane mukosa atap nasofaring dapat robek, dan darah mengalir keluar.
Pada fraktur yang mengenai foramen jugularis n.IX, X dan XI dapat ceder

2.2. Definisi

Tengkorak adalah kerangka tulang kepala. Tengkorak terdiri dari dua bagian yang
terpisah: tengkorak dan rahang bawah. Mandibula adalah rahang bawah atau rahang, dan

5
tempurung kepala adalah sisa tengkorak. Mandibula adalah satu-satunya bagian dari
tengkorak yang tidak bergabung dengan sutura.
Tengkorak bertanggung jawab untuk berbagai macam fungsi penting termasuk:
mendukung struktur wajah (seperti hidung dan mata), membentuk jarak antara mata,
membentuk posisi telinga untuk membantu otak menentukan arah dan jarak suara dan
menjaga serta membentuk rongga/cavitas otak.
Fraktur berarti bahwa telah ada kerusakan baik satu atau lebih tulang pada
tengkorak. Meskipun dalam hal ini sangat menyakitkan, ancaman yang lebih besar adalah
bahwa membran, pembuluh darah, dan bahkan otak, yang berada di dalam tengkorak
dapat terlindungi.Fragmen kecil dari tengkorak juga bisa pecah dan menyebabkan
kerusakan tambahan pada otak. Selain itu, energi yang dipakai dalam benturan tengkorak
bisa melukai jaringan otak.
Fraktur tulang tengkorak dapat diklasifikasikan dalam salah satu dari dua cara,
baik dengan jenis cedera yang diderita atau lokasi dari cederanya. Sebuah fraktur
tengkorak basilar terjadi di dasar tengkorak. Ini adalah cedera yang sangat jarang terjadi
hanya dalam 4% dari semua kasus fraktur. Fraktur ini pada dasarnya adalah fraktur linear,
atau retak garis lurus di dasar tengkorak. Patah tulang tengkorak basilar bisa sangat
berbahaya karena batang otak dapat terluka, yang antara lain mengirimkan pesan dari
otak ke sumsum tulang belakang. Jika otak atau batang otak terluka maka kematian
seringkali sangat mungkin terjadi.
Fraktur basis Cranii terjadi karena adanya trauma tumpul yang menyebabkan
kerusakan pada tulang dasar tengkorak. Ini sering dikaitkan dengan perdarahan di sekitar
mata (raccoon eyes) atau di belakang telinga (Battle sign). Garis fraktur dapat meluas ke
sinus wajah yang memungkinkan bakteri dari hidung dan mulut untuk masuk keadalam
dan kontak dengan otak, menyebabkan infeksi yang potensial.

2.3. Epidemiologi

Fraktur basis Cranii merupakan salah satu fraktur pada area kepala dan leher yang
sulit untuk dievaluasi dan diobatai. Fraktur ini didefinisikan sebagai fraktur linear dasar
tengkorak, dan biasanya frakturnya banyak pada wajah dan meluas kedasar tengkorak.

6
Sinus sphenoid, foramen magnum, os temporal dan sphenoidal adalah daerah yang paling
umum terjadi patahan.
Sekitar 2 juta cedera kepala yang terjadi di Amerika Serikat. Kasus ini adalah salah
satu penyebeb utama kecacatan dan kematian pada anak. Kecelakaan kendaraan bermotor
adalah penyebab utama dari trauma ini yang ada dinegara-negara industri. Persentase
cedera kepala dan leher yang terjadi adalah 1/3 dari kecelakaan kendaraan bermotor,
dengan 28% kasus fraktur ada pada kepala dan leher.
Fraktur basis Cranii terjadi sekitar 20-24% dari semua kasus cedera kepala. Pada
studi retrospective yang dilakukan oleh Behbahani dkk pada tahun 2013, mengatakan
bahwa dalam hal ini kejadian fraktur basis Cranii hanya terdapat 2% dari seluruh kasus
kejadian trauma. Dalam sebuah studi dari Behbahani et al in 2013, sebuah studi
retrospektif tentang trauma kepala. Mereka menemukan bahwa dari 1060 pasien dengan
trauma kepala. 965 pasien mengalami fraktur tulang kepala dengan 220 diantaranya
frakturnya berada pada dasar tengkorak. Dari 220 fraktur ini diantaranya 78 fraktur os
temporal, 47 orbital superior, 44 sphenoid, 30 os occipitalis, 21 ethmoidal, dan 2 clivus.

2.4. Patofisiologi
Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah-
daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energy yang
berasal dari benturan pada wajah atau mandibula, atau efek “remote” dari benturan pada
kepala (“gelombang tekanan” yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk
tengkorak).
Tipe dari fraktur basis cranii yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini
mengelilingi foramen magnum, apertura di dasar tengkorak di mana spinal cord lewat.
Ring fracture komplit biasanya segera berakibat fatal akibat cedera batang otak. Ring
fracture in komplit lebih sering dijumpai (Hooper et al. 1994). Kematian biasanya terjadi
seketika karena cedera batang otak disertai dengan avulsi dan laserasi dari pembuluh
darah besar pada dasar tengkorak.
Fraktur basis Cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk
benturan dari arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban inersia
pada kepala (sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban inersia, misalnya,

7
ketika dada pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami
benturan dengan sebuah objek misalnya pagar. Kepala kemudian secara tiba tiba
mengalami percepatan gerakan namun pada area medulla oblongata mengalami tahanan
oleh foramen magnum, beban inersia tersebut kemudian meyebabkan ring fracture.Ring
fracture juga dapat terjadi akibat ruda paksa pada benturan tipe vertikal, arah benturan
dari inferior diteruskan ke superior (daya kompresi) atau ruda paksa dari arah superior
kemudian diteruskan ke arah occiput atau mandibula.
Huelke et al. (1988) menyelidiki sebuah pandangan umum bahwa fraktur basis
Cranii akibat hasil dari benturan area kubah kranial. Kasus benturan pada area kubah
non-kranial, yang terjadi dalam berbagai jenis kecelakaan kendaraan bermotor, telah
didokumentasikan.Para peneliti menemukan fraktur basis Cranii juga bisa disebabkan
oleh benturan pada area wajah saja.
Pada studi eksperimen berdasarkan pengujian mayat, Gott et al.(1983) meneliti
secara rinci tengkorak dari 146 subjek yang telah mengalami benturan/ruda paksa pada
area kepala. Dari 45 kasus fraktur tengkorak diamati secara rinci, terdapat 22 BSF pada
grup ini. Penyebab dari kasus tersebut disebabkan oleh ruda paksa pada area frontal (5
kasus), daerah Temporo-parietal tengkorak (1 kasus), seluruh wajah (2 kasus) dan
berbagai jenis ruda paksa kepala lainnya (14 kasus).
Saat memeriksa respon leher akibat beban daya regang aksia, Sances et al. (1981)
mengamati BSF tanpa kerusakan ligamen melalui analisa quo-statistic didapatkan 1780N
sementara dan 3780N tampak utuh pada area leher, kepala dan tulang belakang. Beberapa
peneliti mengamati complex kepala-leher terhadap ruda paksa dari arah superior-inferior.
Secara umum, menunjukkan bahwa lokasi fraktur tengkorak hasil dari ruda paksa
langsung. Ketika area kepala terlindungi, leher menjadi wilayah yang paling rentan
terhadap cedera pada tingkat kekuatan di atas 4 kN (Alem et al 1984). Para peneliti
menguji 19 cadaver dalam posisi supine dan hanya mampu menghasilkan BSF tunggal.
Fraktur basis Cranii membutuhkan durasi yang rendah (3 ms), energi tinggi (33 J) ruda
paksa dengan kekuatan benturan dari 17 kN pada kecepatan ruda paksa 9 m /s.
Hopper et al. (1994) melakukan dua studi eksperimental pada mayat bertujuan
untuk memahami mekanisme biomekanik yang mengakibatkan fraktur basis Cranii ketika
kepala mandibula yang dikarenakan ruda paksa

8
Pada studi awal, cedera yang dapat ditoleransi oleh mandibula ketika mengalami
ruda paksa adalah pada area pertengahan simfisis atau area mentalis (dagu). Enam
dampak yang dinamis dengan jalur vertikal pada satu tes dilakukan dengan menggunakan
uji quasi-static. Suatu ruda paksa yang bervariasi diberikan untuk menilai pengaruh yang
terjadi. Ditemukan bahwa toleransi energi ruda paksa untuk fraktur mandibula pada ke
enam tes tersebut adalah 5270 + 930N. Pada setiap tes, dijumpai fraktur mandibula secara
klinis namun tidak menghasilkan fraktur basis Cranii.
Studi kedua menilai toleransi fraktur basis Cranii ketika beban langsung diberikan
kearah Temporo-mandibula joint yang secara tidak langsung menghasilkan pembebanan
secara lokal sekitar foramen magnum. Kekuatan puncak dan energi untuk setiap
kegagalan ditentukan dalam setiap pengujian. Beban rata rata pada setiap fraktur
ditemukan dengan kekuatan energi 4300 +350.
Peneliti menyimpulkan bahwa hasil penelitian ini mendukung hipotesis bahwa
ruda paksa pada mandibula saja biasanya hanya menyebabkan fraktur mandubula.
Selanjutnya, complete dan parsial ring tipe BSF membutuhkan ruda paksa
temporo-,amdibular yang secara tidak langsung menghasilkan pembebanan pada daerah
sekitar foramen magnum.

Jenis Fraktur Basis Cranii

9
a) Fraktur Temporal
Dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis Cranii. Terdapat 3 suptipe dari fraktur
temporal berupa longitudinal, transversal dan mixed. Tipe transversal dari fraktur
temporal dan type longitudinal fraktur temporal ditunjukkan di bawah ini.

A B
(A)Transverse temporal bone fracture and (B) Longitudinal temporal bone fracture
(courtesy of Adam Flanders, MD, Thomas Jefferson University, Philadelphia, Pennsylvania)

Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian squamousa
pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus dan tegmen
timpani.Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian anterior atau posterior
menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada fossa Cranii media dekat
foramen spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal merupakan yang
paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal dimulai dari foramen
magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth, berakhir pada fossa cranial
media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur dari kedua fraktur longitudinal dan
transversal. Namun sistem lain untuk klasifikasi fraktur os temporal telah diusulkan.
Sistem ini membagi fraktur os temporal kedalam petrous fraktur dan nonpetrous fraktur,
yang terakhir termasuk fraktur yang melibatkan mastoid air cells. Fraktur tersebut tidak
disertai dengan deficit nervus cranialis.

b) Fraktur condylar occipital (Posterior)


Adalah hasil dari trauma tumpul energi tinggi dengan kompresi aksial, lateral bending,
atau cedera rotational pada pada ligamentum Alar.Fraktur tipe ini dibagi menjadi 3 jenis

10
berdasarkan morfologi dan mekanisme cedera. Klasifikasi alternative membagi fraktur ini
menjadi displaced dan stable, yaitu, dengan dan tanpa cedera ligamen. Tipe I fraktur
sekunder akibat kompresi aksial yang mengakibatkan kombinasi dari kondilus oksipital.
Ini merupakan jenis cedera stabil. Tipe II fraktur yang dihasilkan dari pukulan langsung
meskipun fraktur basioccipital lebih luas, fraktur tipe II diklasifikasikan sebagai fraktur
yang stabil karena ligament alar dan membrane tectorial tidak mengalami kerusakan. Tipe
III adalah cedera avulsi sebagai akibat rotasi paksa dan lateral bending. Hal ini berpotensi
menjadi fraktur tidak stabil.

2.5. Manifestasi
Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea dan memar
pada mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis Cranii fossa anterior adalah
dengan rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran
dan Glasgow Coma Scale dapat bervariasi, tergantung pada kondisi patologis
intrakranial.
Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang pendengaran
dan ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berlangsung lebih dari 6-7
minggu. Tuli sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang dari 3 minggu
disebabkan karena hemotympanum dan edema mukosa di fossa tympany. Facial palsy,
nystagmus, dan facial numbness adalah akibat sekunder dari keterlibatan nervus cranialis
V, VI, VII.
Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan labirin,
sehingga menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen
(permanent neural hearing loss).
Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan serius.
Sebagian besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe III,
berada dalam keadaan koma dan terkait cedera tulang belakang servikalis. Pasien ini juga
memperlihatkan cedera lower cranial nerve dan hemiplegia atau guadriplegia.
Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan nervus cranialis
IX, X, dan XI akibat fraktur. Pasien tampak dengan kesulitan fungsi fonasi dan aspirasi
dan paralysis ipsilateral dari pita suara, palatum mole (curtain sign), superior pharyngeal

11
constrictor, sternocleidomastoid, dan trapezius. Collet-Sicard sindrom adalah fraktur
condylar os oksipital dengan keterlibatan nervus cranial IX, X, XI, dan XII.
2.6. Penananganan
A. Penananganan Khusus
Penanganan khusus dari fraktur basis Cranii terutama untuk mengatasi komplikasi
yang timbul, meliputi : fistula cairan serebrospinal, infeksi, dan pneumocephalus dengan
fistula.
a) Fistula cairan serebrospinal:
Mengakibatkan kebocoran cairan dari ruang subarachnoid ke ruang
extraarachnoid, duramater, atau jaringan epitel. Yang terlihat sebagai rinore dan otore.
Sebagian besar rinore dan otore baru terlihat satu minggu setelah terjadinya trauma.
Kebocoran cairan ini membaik satu minggu setelah dilakukan terapi konservatif.
Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest dengan posisi kepala
lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, dan melakukan aktivitas berat. Dapat diberikan obat-
obatan seperti laxantia, diuretic dan steroid.
Rinore
Terjadi pada sekitar 25 persen pasien dengan fraktura basis anterior. CSS
mungkin bocor melalui sinus frontal (melalui pelat kribrosa atau pelat orbital dari
tulang frontal), melalui sinus sfenoid, dan agak jarang melalui klivus. Kadang-kadang
pada fraktura bagian petrosa tulang temporal, CSS mungkin memasuki tuba Eustachian
dan bila membran timpani intak, mengalir dari hidung. Pengaliran dimulai dalam 48 jam
sejak cedera pada hampir 80 persen kasus.
Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest dengan posisi
kepala lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, meniup hidung dan melakukan aktivitas berat.
Dapat diberikan obat-obatan seperti laxantia, diureticdan steroid. Dilakukan punksi
lumbal secara serial dan pemasangan kateter sub-rachnoid secara berkelanjutan.
Disamping itu diberikan antibiotik untuk mencegah infeksi. Pendekatan pembedahan
dapat secara intrakranial, ekstrakranial dan secara bedah sinus endoskopi. Pendekatan
intrakranial yaitu dengan melakukan craniotomi melalui daerah frontal (frontal anterior
fossa craniotomi), daerah temporal (temporal media fossa craniotomi) atau daerah
oksipital (ocsipital posterior fossa craniotomi) tergantung dari lokasi kebocoran.

12
Keuntungan teknik ini dapat melihat langsung robekan dari dura dan jaringan
sekitarnya. Bila dilakukan tampon pada kebocoran akan berhasil baik dan berguna bagi
pasien yang tidak dapat diketahui lokasi kebocoran atau fistel yang abnormal. Kerugian
teknik ini adalah angka kematian yang tinggi, terjadi retraksi dari otak seperti edema,
hematoma dan perdarahan. Disamping itu dapat terjadi anosmia yang permanen. Sering
terjadi kebutaan terutama pada pembedahan didaerah fossa Cranii anterior. Kerugian
lain adalah waktu operasi dan perawatan yang lama. Pendekatan Ekstra Cranial
dilakukan dengan cara eksternal sinus dan bedah sinus endoskopi. Pendekatan eksternal
sinus yaitu melakukan flap osteoplasti anterior dengan sayatan pada koronal dan alis
mata. Disamping itu dapat juga dengan pendekatan eksternal etmoidektomi, trans-
etmoidal sfenoidotomi, trans-septal sfenoidotomi atau trans antral, tergantung dari lokasi
kebocoran. Keuntungan teknik ini adalah memiliki lapangan pandang yang baik, angka
kematian yang rendah, tidak terdapat anosmia dan angka keberhasilan 80%. Kerugian
teknik ini adalah cacat pada wajah dan tidak dapat mengatasi fistel yang abnormal.
Disamping itu sulit menangani fistel pada sinus frontal dan sfenoid.
Pendekatan Bedah Sinus
Endoskopi merupakan tehnik operasi yang lebih disukai dengan angka
keberhasilan yang tinggi (83% - 94%) dan angka kematian yang rendah. Pada fistel yang
kecil (<3mm) dapat diperbaiki dengan free graftmukoperikondrial yang diletakkan
diatas fistel. Pada fistel yang besar (>3mm) digunakan graft dari tulang rawan dan tulang
yang diletakkan dibawah fistel dan dilapisi dengan flap local atau free graft. Keuntungan
teknik ini adalah lapangan pandang yang jelas sehingga memberikan lokasi kebocoran
yang tepat. Mukosa dapat dibersihkan dari kerusakan tulang tanpa memperbesar ukuran
dan kerusakan dari tulang. Disamping itu graft dapat ditempatkan lebih akurat pada
kerusakannya.
Otore
Terjadi bila tulang petrosa mengalami fraktura, duramater dibawahnya serta
arakhnoid robek, serta membran timpanik perforasi. Fraktur tulang petrosa
diklasifikasikan menjadi longitudinal dan transversal, berdasar hubungannya terhadap
aksis memanjang dari piramid petrosa; namun kebanyakan fraktur adalah campuran.
Pasien dengan fraktur longitudinal biasanya menunjukkan gejala klinis kehilangan

13
pendengaran konduktif, otore, dan perdarahan dari telinga luar. Pasien dengan fraktur
transversal umumnya memiliki membran timpanik normal dan memperlihatkan
kehilangan pendengaran sensorineural akibat kerusakan labirin, kokhlea, atau saraf
kedelapan didalam kanal auditori. Paresis fasial tampil hingga pada 50 persen pasien.
Fraktura longitudinal empat hingga enam kali lebih sering dibanding yang transversal,
namun kurang umum menyebabkan cedera saraf fasial. Otore CSS berhenti spontan pada
kebanyakan pasien dalam seminggu. Insidens meningitis pasien dengan otore mungkin
sekitar 4 persen, dibanding 17 persen pada rinore CSS. Pada kejadian jarang, dimana ia
tidak berhenti, diperlukan pengaliran lumbar dan bahkan operasi.
Infeksi
Meningitis merupakan infeksi tersering pada fraktur basis Cranii. Penyebab paling
sering dari meningitis pada fraktur basis Cranii adalah S. Pneumoniae. Profilaksis
meningitis harus segera diberikan, mengingat tingginya angka morbiditas dan mortalitas
walaupun terapi antibiotik telah digunakan. Pemberian antibiotik tidak perlu menunggu
tes diagnostic.Karena pemberian antinbiotik yang terlambat berkaitan erat dengan tingkat
morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Profilaksis antibiotik yang diberikan berupa
kombinasi vancomycin dan ceftriaxone. Antiobiotik golongan ini digunakan mengingat
tingginya angka resistensi antibiotic golongan penicillin, cloramfenikol, maupun
meropenem.
Pnemocephalus
Adanya udara pada cranial cavity setelah trauma yang melalui menings.
Meningkatnya tekanan di nasofaring menyebabkan udara masuk melalui cranial cavity
melalui defek pada duramater dan menjadi terperangkap. TIK yang meningkat dapat
memperbesar defek yang ada dan menekan otak dan udara yang terperangkap. Terapi
dapat berupa kombinasi dari: operasi untuk membebaskan udara intracranial, serta
memperbaiki defek yang ada, dan tredelenburg position.
Adapun penangannan umum dari trauma kepala sendiri, meliputi:
Penatalaksanaan :
1. Pengendalian Tekanan IntraCraniial
Manitol efektif untuk mengurangi edem serebral dan TIK. Selain karena efek
osmotik, manitol juga dapat mengurangi TIK dengan meningkatkan arus

14
microcirculatory otak dan pengiriman oksigen. Efek pemberian bolus manitol
tampaknya sama selama rentang 0,25 sampai 1,0 g / kg.
2. Mengontrol tekanan perfusi otak
Tekanan perfusi otak harus dipertahankan antara 60 dan 70 mmHg, baik dengan
mengurangi TIK atau dengan meninggikan MAP. Rehidrasi secara adekuat dan
mendukung kardiovaskular dengan vasopressors dan inotropik untuk
meningkatkan MAP dan mempertahankan tekanan perfusi otak > 70 mmHg.
3. Mengontrol hematokrit
Aliran darah otak dipengaruhi oleh hematokrit. Viskositas darah meningkat
sebanding dengan semakin meningkatnya hematokrit dan tingkat optimal sekitar
35%. Aliran darah otak berkurang jika hematokrit meningkat lebih dari 50% dan
meningkat dengan tingkat hematokrit di bawah 30.
4. Obat obatan
Pemberian rutin obat sedasi, analgesik dan agen yang memblokir neuromuscular.
Propofol telah menjadi obat sedative pilihan. Fentanil dan morfin sering
diberikan untuk membatasi nyeri, memfasilitasi ventilasi mekanis dan
mempotensiasi efek sedasi. Obat yang memblokir neuromuscular mencegah
peningkatan TIK yang dihasilkan oleh batuk dan penegangan pada
endotrachealtube.
5. Pengaturan suhu
Demam dapat memperberat defisit neurologis yang ada dan dapat memperburuk
kondisi pasien. Metabolisme otak akan oksigen meningkat sebesar 6-9 % untuk
setiap kenaikan derajat Celcius. Tiap fase akut cedera kepala , hipertermia harus
diterapi karena akan memperburuk iskemik otak.
6. mengontrol bangkitan
Bangkitan terjadi terutama di mereka yang telah menderita hematoma, menembus
cedera, termasuk patah tulang tengkorak dengan penetrasi dural, adanya tanda
fokal neurologis dan sepsis. Antikonvulsan harus diberikan apabila terjadi
bangkitan.

7. Kontrol cairan
NaCl 0,9% , dengan osmolaritas 308 mosm / l, telah menjadi kristaloid pilihan
dalam manajemen dari cedera otak. Resusitasi dengan 0,9 % saline membutuhkan
4 kali volume darah yang hilang untuk memulihkan parameter hemodinamik.
8. Posisi kepala

15
Menaikkan posisi kepala dengan sudut 15-300 dapat menurunkan TIK dan
meningkatkan venous return ke jantung.
9. merujuk ke dokter bedah saraf
Rujukan ke seorang ahli bedah saraf:
• GCS kurang dari atau sama dengan setelah resusitasi awal
• Disorientasi yang berlangsung lebih dari 4 jam
• Penurunan skor GCS terutama respon motoric
• Tanda-tanda neurologis fokal progresif
• Kejang tanpa pemulihan penuh
• Cedera penetrasi

Kebocoran cairan serebrospinal.

2.7. Komplikasi fraktur basis cranii


Risiko infeksi tidak tinggi, bahkan tanpa antibiotik, terutama yang disertai dengan
rhinorrhea. Facial palsy dan gangguan ossicular yang berhubungan dengan fraktur basis
cranii dibahas di bagian klinis. Namun, terutama, facial palsy yang terjadi pada hari ke 2-
3 pasca trauma adalah akibat sekunder untuk neurapraxia dari nervus cranialis VII dan
responsif terhadap steroid, dengan prognosis yang baik. Onset facila palsy secara tiba tiba
pada saat bersamaan terjadinya fraktur biasanya akibat skunder dari transeksi nervus,
dengan prognosis buruk. Nervus cranialis lain mungkin juga terlibat dalam fraktur basis
cranii. Fraktur pada ujung pertosus os temporale mungkin melibatkan ganglion gasserian.
Cedera nervus cranialis VI yang terisolasi bukanlah akibat langsung dari fraktur, tapi
mungkin akibat skunder karena terjadinya ketegangan pada nervus. Fraktur os
sphenoidalis dapat mempengaruhi nervus cranialis III, IV,dan VI dan juga dapat
mengganggu arteri karotis interna dan berpotensi menghasilkan pembentukan
pseudoaneurysma dan fistula caroticocavernous (jika melibatkan struktur vena). cedera
carotid diduga terdapat pada kasus kasus dimana fraktur berjalan melalui kanal karotid,
dalam hal ini, CT angiografi dianjurkan.

2.8. Prognosis
Pada frakur basis Cranii fossa anterior dan media, prognosis baik selama tanda
tanda vital dan status neurologis dievaluasi secara teratur dan dilakukan tindakan sedini
mungkin apabila ditemukan deficit neurologis serta diberikan profilaksis antibiotik untuk

16
mencegah terjadinya infeksi sekunder, sedangkan pada fraktur basis Cranii posterior,
prognosis buruk dikarenakan fraktur pada fossa posterior dapat mengakibatkan kompresi
batang otak.

17
BAB III
KESIMPULAN

Fraktur basis Cranii terjadi karena adanya trauma tumpul yang mengakibatykan
kerusakan pada tulang dasar tengkorak. Terbagi atas 3 jenis: fraktur basis Cranii anterior
yang mengenai lobus frontal yang ditandai dengan adanya raccoon eyes, fraktur basis
Cranii media yang mengenai fossa Cranii media, dengan gejala khas berupa rinore dan
otore serta battle sign, dan fraktuir basis Cranii posterior yang mengenai fossa Cranii
posterior namun jarang memberikan gejala yang khas.
Penanganan fraktur basis Cranii ini meliputi konservatif dan operatif, dengan
tujuan utama mengurangi TIK, dan mengatasi fistula yang ada, serta profilaksis infeksi
meningitis. Prognosis fraktur basis Cranii tergantung pada lokasi, apabila mengenai
anterior dan media, umumnya prognosis baik, namun apabila mengenai daerah posterior
umumnya prognosis buruk.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Haryono Y. Rinorea cairan serebrospinal. USU. Departemen THT-KL FK USU. 2006

2. Nadeau K. Neurologic injury(chapter 29) in Jones and barlett learning.com. 2004

3. Bamberger D. Diagnosis, initial management and prevention of meningitis, University of


Missouri–Kansas City School of Medicine, Kansas City, Missouri.

4. Pillai P, Sharma R,MacKenzie R, Reilly EF, Beery PR, Thomas, Papadimos , Stawicki
SPA. raumatic tension pneumocephalus: Two cases and comprehensive review of
literature. OPUS 12 Scientist 2010;4(1):6-11

5. http://www.psychologymania.com/2012/09/klasifikasi-cedera-kepala.html,

6. Sylvia A.price &Loraine m.wilson. patofisiologi konsep klinis proses2 penyakit vol.2
edisi 6,EGC2005.

7. Essential Neurosurgery Handbook Second Edition. 2006.

8. Advanced Trauma Life Support Student Course Manual ninth edition. 2012.

9. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal PEDOSSI. 2006.

10. Buku Ajar Ilmu Bedah Syamsuhidayat – De Jong Edisi 3. 2010.

19

Anda mungkin juga menyukai