Anda di halaman 1dari 13

AKU MILIK TEMPAT ITU (Mahmoud Darwish)

Aku milik tempat itu. Aku memiliki banyak kenangan. Aku dilahirkan seperti setiap
orang dilahirkan.
Aku memiliki seorang ibu, sebuah rumah dengan banyak jendela, saudara-saudara
laki-laki, kawan-kawan, dan sebuah sel penjara
dengan sebuah jendela yang dingin menggigilkan! Aku memiliki ombak yang direbut
oleh burung-burung camar dan panorama milikku sendiri.
Aku memiliki padang rumput yang basah embun. Di horison kataku, aku memiliki
sebuah bulan,
makanan untuk burung, dan sebuah pohon zaitun yang tak mati-mati.
Aku sudah tinggal di negeri itu lama sebelum pedang membuat manusia jadi mangsa.
Aku milik tempat itu. Waktu sorga meratapi ibunya, kukembalikan sorga
ke ibunya.
Dan aku menangis biar awan yang pulang ke sana akan membawa airmataku.
Untuk melanggar aturan, aku pelajari semua kata yang dibutuhkan bagi pengadilan
darah.
Telah kupelajari dan bongkar semua kata agar bisa kudapatkan
satu kata tunggal: Rumah.
(Terjemahan: Saut Situmorang)
=========
I BELONG THERE
I belong there. I have many memories. I was born as everyone is born. I have a mother,
a house with many windows, brothers, friends, and a prison cell with a chilly window!
I have a wave snatched by seagulls, a panorama of my own. I have a saturated
meadow. In the deep horizon of my word, I have a moon, a bird’s sustenance, and an
immortal olive tree. I have lived on the land long before swords turned man into prey.
I belong there. When heaven mourns for her mother, I return heaven to her mother.
And I cry so that a returning cloud might carry my tears. To break the rules, I have
learned all the words needed for a trial by blood. I have learned and dismantled all the
words in order to draw from them a single word: Home.

=========
KARTU IDENTITAS (Mahmoud Darwish)

Catat! Aku orang Arab Dan nomor kartu identitasku limapuluh ribu Aku punya
delapan anak Dan yang kesembilan akan lahir setelah musim panas Apa kau akan
marah?
Catat! Aku orang Arab Bekerja dengan sesamaku di sebuah tambang batu Aku punya
delapan anak Aku beri mereka roti Pakaian dan buku dari batu... Aku tidak mengemis
bantuan dengan mengetuk pintu rumahmu Atau merendahkan diriku di tangga
kamarmu Jadi apa kau akan marah? Catat! Aku orang Arab Namaku tanpa gelar
Bersabar di negeri Yang penuh orang-orang marah Akarku Tertanam di sini sebelum
lahirnya waktu Dan sebelum dimulainya zaman Sebelum pohon-pohon pinus dan
pohon-pohon zaitun Dan sebelum rumput-rumput tumbuh. Bapakku... keturunan
keluarga pembajak tanah Bukan dari kelas priyayi Dan kakekku... seorang petani
Bukan orang kaya ataupun orang sekolahan! Diajarkannya aku tentang harga diri
matahari Sebelum mengajariku membaca Dan rumahku seperti gubuk penjaga malam
Terbuat dari ranting pohon dan tebu Apa kau sudah puas dengan statusku sekarang?
Aku punya nama tanpa gelar!
Catat! Aku orang Arab Telah kau curi kebun-kebun buah nenek moyangku Dan tanah
yang kugarap Bersama anak-anakku Dan tak ada lagi sisa bagi kami Kecuali batu-batu
ini... Apa Negara pun akan mengambilnya juga Seperti kata orang?!
Jadi Catat di bagian atas halaman pertama: Aku tidak benci Atau akan menyerang
orang Tapi kalau aku kelaparan Daging penindasku akan jadi makananku Hati-
hatilah... Hati-hatilah... Dengan lapar Dan marahku!
1964
(Terjemahan: Saut Situmorang)
=========

IDENTITY CARD

Write it down! I’m an Arab


My card number is fifty thousand
My children number eight
And after this summer, a ninth on his way.
Does this make you rage?
I am an Arab.
With my quarry comrades I labor hard
My children number eight
I tug their bread, their clothes
And their notebooks
From within the rock
I don’t beg at your door
I don’t cower on your threshold
So does this make you rage?
Write it down!
I am an Arab.
I am a name with no honorific.
Patient in a land
Where everything lives in bursting rage
My roots were planted before time was born
Before history began
Before the cypress and the olive trees
Before grass sprouted
My father is from the plough clan
Not from the noble class
My grandfather was a peasant farmer
Had no pedigree
Taught me the pride of the sun
Before teaching me to read
A shack to guard groves is my home,
Made of branches and reeds
Are you pleased with my status?
I am a name with no honorific.
Write it down!

I am an Arab.

Hair color: charcoal

Eye color: brown

Attributes:

A cord around the quffiyeh on my head

My hand as hard as rock

That scratches if you touch it

My address:

I am from a forgotten abandoned village

Its streets nameless

All its men in the fields and quarries

Does this make you rage?

Write it down!

I am an Arab.

You have stolen my ancestors’ groves

And the land we cultivated

I and all my children

Leaving nothing for us and all my grandchildren

Except these rocks

Will your government take them

Like people say?

Therefore,
Write down on the top of the first page:

I do not hate people

And I do not steal from anyone

But if I starve

I will eat my oppressor’s flesh

Beware, beware of my starving

And my rage.

1964

Aku Berasal dari Sana


Aku berasal dari sana dan aku mempunyai kenangan
Aku dilahirkan sebagaimana manusia dilahirkan
Aku memiliki seorang Ibu dan sebuah rumah dengan banyak jendela,
Aku memiliki saudara, juga teman
Dan sel penjara dengan jendela yang dingin.

Aku mempunyai ombak yang menyambar laut-camar


Aku mempunyai penyaksian sendiri
Aku mempunyai rerumputan yang lebat
Aku mempunyai rembulan di ujung kata-kata
dan kurnia burung serta keabadian pohon zaitun

Aku berjalan di atas bumi


sebelum pedang menikam tubuh
yang akan mengubahnya menjadi santapan

Aku berasal dari sana.


Aku mengembalikan langit kepada ibunya
Ketika langit menangisi ibunya.
Dan aku menangis agar awan mengenali kembali diriku

Aku belajar pada semua kata-kata yang pantas


Di pengadilan tertinggi
agar aku bisa melanggar peraturan
Aku belajar pada semua kata-kata dan memecahkannya
agar aku bisa menyusun satu kata
Yaitu: Tanah Air

Langkah di Malam Hari


Selalu
Malam hari aku mendengar langkah kaki mendekat
Pintu kabur dari kamarku
Selalu seperti itu
Seperti mau menyeret ekspatriat

Apakah tiap malam bayanganmu


yang biru itu terseret dari ranjang?
Langkah kaki telah tiba sebagai mata negara
Lenganmu mengepung sekitar tubuhku
Langkah kaki telah tiba
Tapi, mengapa bayangan yang telah menggambarku
Melarikan diri, O, Shahrazad?
Langkah kaki telah tiba dan tak kunjung masuk

Jadilah pohon
Agar aku melihat bayanganmu
Jadilah rembulan
Agar aku melihat bayanganmu
Jadilah belati
Agar aku melihat bayanganmu dalam bayanganku
Sebagai mawar dalam debu

Selalu
Aku mendengar langkah kaki mendekat
Dan menjadi pengasinganku
Juga menjadi penjaraku
Coba saja bunuh aku
Dengan keputusan bulat
Tapi jangan bunuh aku
Dengan cara meneror
Sebagai ‘langkah kaki yang mendekat’

Bumi Mengimpit Kita


Bumi mengimpit kita, menjebak kita di akhir perjalanan.
Agar bisa lalu, kita tarik kencang anggota badan.
Bumi meremas kita. Seumpama gandum, kita mati tapi juga hidup.
Seumpama ibu, ia memaki kita dengan rasa sayang.
Seolah kita gambar bebatuan yang dilihat dalam mimpi seperti cermin.
Kita lihat wajah-wajah mereka yang menyabung nyawa, sebelum dibinasakan
oleh seorang dari kita yang terakhir hidup. Kita ratapi pesta anak-anak mereka.
Kita lihat wajah-wajah mereka yang akan melemparkan anak-anak kita
ke luar jendela ruang terakhir ini. Bintang yang akan membakar cermin kita.
Setelah batas akhir ke mana lagi kita harus menuju? Ke mana lagi burung terbang
setelah langit penghabisan?
Di mana tidur tanaman setelah udara tak bersisa?
Kita tuliskan nama-nama kita dengan kabut merah!
Kita akhirkan nyanyian dengan tubuh kita.
Di sini kita tiada. Di sini, di akhir perjalanan.
Di sini atau di sana, darah kita menumbuhkan pokok-pokok zaitun.
Kami Berjalan Menuju ke Sebuah Rumah
Kami berjalan menuju ke sebuah rumah bukan tubuh kami. Ke pohon-pohon
kastanye yang ada yang bukan belulang kami. Ke bebatuannya yang tak seperti
kambing-kambing dalam nyanyian pegunungan. Ke butir-butir kerikil yang jelas
bukan bunga-bunga lili.
Kami berjalan menuju ke sebuah rumah yang tidak melingkarkan matahari yang
khas di atas kepala kami. Perempuan-perempuan dalam legenda menyoraki kami.
Lautan untuk kami, lautan menentang kami. Kalau tak ada air dan gandum di tangan,
makanlah cinta dan minumlah airmata kami…
Ada syal kesedihan bagi penyair. Sederet patung pualam mengangkat suara kami.
Dan sebuah guci menjauhkan debu waktu dari jiwa kami. Mawar-mawar untuk kami
dan menentang kami.
Kau punya kemenanganmu, kami punya sendiri. Meski di rumah kami hanya bisa
terlihat yang tak kentara: misteri kami.
Kemenangan itu milik kami: tahta yang diusung dengan kaki-kaki lecet oleh jalanan
yang mengarah ke setiap rumah tapi bukan rumah kami!
Jiwa harus mengenali diri sendiri dalam jiwanya, atau mati di sini.

Mahmoud Darwish mempunyai nama asli Mahmoud Salim Husein Darwish yang
lahir di al-Birwa, Galilea, sebuah desa yang diduduki lalu akhirnya dihancurkan oleh
tentara Israel. Karena melewatkan sensus resmi dari pemerintah Israel, Darwish dan
keluarganya menjadi “pengungsi dalam negeri” atau “liyan yang ada-tapi tak ada.”
Darwish hidup sekian lama dalam pengasingan di Beirut dan Paris. Ia dianggap
sebagai penyair kebangsaan Palestina. Pada usia 17 tahun ia membaca puisi untuk
pertama kalinya dalam acara perayaan kelulusan di sekolahnya dengan judul “ Akhi
al-Ubry” (Adikku seorang Ibrani). Dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1958,
ia menerbitkan buku puisinya untuk pertama kali dengan judul Ashofiru Bila Ajnihah
(Burung Tanpa Sayap). Pada tahun 1965, ketika masih muda beliau membacakan
puisinya “Bitaqat Huwiyya”, Kad Pengenalan, yang kemudian tersebar di seluruh
dunia Arab dan dijadikan lagu perjuangan. Mahmoud Darwish meninggal dunia pada
9 Agustus 2008 di Amerika Serikat selepas menjalani pembedahan jantung.
Jenazahnya dikebumikan di tanah Palestina seperti mana yang diwasiatkan.
Presiden Menteri Palestina mengisytiharkan tiga hari berkabung. Selama hidup,
Mahmoud Darwish telah menghasilkan lebih dari 30 buku puisi dan 8 buku prosa,
juga mendapatkan penghargaan Lannan Cultural Freedom Prize dari Yayasan
Lannan, the Lenin Peace Prize, dan Knight of Arts and Belles Lettres
Medal dan Perancis.
Catatan:
Puisi “Aku Berasal dari Sana” dan “Langkah di Malam Hari” diterjemahkan oleh
Usman Arrumy dari A’mal Kamilah, Mahmoud Darwish, Dar Shofa, Mesir. Usman
Arrumy. Lahir di Demak. Baru saja menerbitkan buku Surat Dari Bawah Air—puisi-
puisi Nizar Qobbani (2016, Perpustakaan Mutamakkin Kajen), dan buku Hammuka
Daimun—puisi-puisi Sapardi Djoko Damono (2016, Dar Twetta, Giza, Mesir).
Sekarang sedang belajar di Al-Azhar Kairo, jurusan Bahasa Arab.
Puisi “Bumi Mengimpit Kita” dan “Kami Berjalan Menuju ke Sebuah Rumah”
dialihbahasa dari terjemahan bahasa Inggris oleh Munir Akash dan Carolyn Forche
dalam buku “Unfortunately, It Was Paradise, Selected Poems” karangan
Mahmoud Darwish.
Mahmud Darwis Penyair Palestina:
“Orang Tanpa Puisi Adalah Orang
yang Kalah”
BY KORAN YOGYA · 28/03/2018

Mahmud Darwis• Crédits : Wikimedia Commons

“Tanpa keraguan sedikit pun, hari ini kita membutuhkan puisi, lebih dari
sebelumnya, untuk memulihkan kepekaan kita dan kesadaran kita tentang
kemanusiaan kita yang terancam, dan kemampuan kita untuk mengejar
salah satu mimpi paling indah kemanusiaan, yaitu kebebasan. “

Mahmud Darwis (Mahmoud Darwish, Arab: ‫محمود درويش‬, 13 Maret 1941 – 9


Agustus 2008) sosok unik dalam sastra Arab abad ke-20: dia adalah
pertemuan antara permintaan sosial yang sangat kuat dan bakat puitis
yang hebat. Bahwa dia dianggap di Timur Tengah sebagai pewaris rakyat
Palestina, tidak ada yang bisa membantah, tetapi mengapa suksesnya
menyebar ke seluruh dunia? Karena dia adalah seorang penyair, Darwis
tidak membatasi tindakannya pada satu-satunya klaim politik: “Peran saya
adalah selalu bertanya lebih banyak”.

Saya belum berusaha untuk menjadi, atau tetap, simbol apa pun. Sebaliknya, saya
ingin terbebas dari beban berat ini.”

Mahmud Darwis adalah seorang penyair dan pengarang Palestina yang


memenangkan sejumlah penghargaan untuk karya sastranya dan diangkat
sebagai penyair nasional Palestina. Dalam karyanya, Palestina menjadi
sebuah metafora atas hilangnya Eden, kelahiran dan kebangkitan, dan
penderitaan perampasan dan pengasingan. Ia dikenal karena
menginkarnasikan dan merefleksikan “tradisi puisi politik dan Islam, pria
beraksi yang aksinya adalah puisi”.

Berikut puisinya:

Cemara itu pecah seperti menara dan dia tertidur dijalan pertapaan
bayangannya,hijau, gelap, seperti dirinya sendiri. Semua orang aman.Mobil mobil
berlalu, cepat, di dahan-dahannya. Debu menutupi jendela … Jeruk itu pecah tapi
burung merpati itu tidak meninggalkan sarangnya di rumah tetangga.*
Tidak ada spanduk di angin, yang mengapung. Tidak ada kuda yang berenang di
angin. Tidak ada drum yang mengumumkan pendakian atau memecah ombak.
Tidak ada yang terjadi dalam tragedi pada hari ini.Tirai itu jatuh.Penyair dan
penonton murca.*
Itu pasir. Menyebarkan ide dan perempuan. Mari kita berjalan seiring dengan
kematian. Pada mulanya pohon-pohon tinggi adalah wanita, Air naik, bahasa.
Apakah bumi mati seperti laki-laki? Dan apakah burung itu membawanya sebagai
kekosongan?

Bocah Perempuan/ Jeritan


Di pantai, seorang gadis kecil. Gadis itu memiliki orang tua, orang tuanya
memiliki rumah,
rumah memiliki pintu dan dua jendela.
Di laut, sebuah kapal perang bermain
Perburuan pejalan kaki di pantai:
empat, lima, tujuh orang
jatuh di atas pasir tetapi gadis itu baru saja lolos.
Sebuah tangan kabut,
tangan pertolongan, menyelamatkannya. Dia berteriak: Ayah!
Ayah! Bangun dan kembali. Laut bukan untuk teman-teman kita! Berbohong pada
bayangannya dalam angin puyuh ketidakhadiran,
sang ayah tidak menjawab.
Darah di pohon palem, darah di awan.
Suaranya membawanya lebih tinggi dan lebih jauh dari pantai.
Dia menangis di malam bulan, tetapi tidak ada gema.
Dia kemudian menjadi teriakan abadi dalam pengiriman mendesak
yang kehilangan urgensinya saat pesawat
datang kembali mengebom rumah yang memiliki pintu dan dua jendela!
*
Kita semua orang asing di dunia ini
Tanah air tidak bisa direduksi menjadi apa adanya secara obyektif. Untuk puisi
membuka tanah air untuk infinity manusia, asalkan penyair berhasil membawanya
ke sana. Untuk ini, penyair harus menciptakan mitos sendiri. Aku tidak
menengarnya melalui mitos liyan yang sudah dikenal, tetapi yang berasal dari
konstruksi puisi, bentuknya dan alam semesta sendiri. Dia yang mengubah bahasa
konkret menjadi bahasa puitis.
Aku tidak tahu puisi hebat apa pun yang berupa kemenangan seorang bocah
perempuan.
Aku pasti dari pihak yang kalah. Pecundang yang telah dirampas haknya untuk
meninggalkan jejak kekalahan mereka; tetapi tidak ada masalah menyerah.
Adalah hakku sebagai penyair untuk mengumumkan kekalahan, untuk mengenali
dan mengatakan kehilangan.
Tawanan itu bernyanyi karena dia sendirian dengan dirinya sendiri, sementara si
sipir hanya ada bersama yang lain yang dia jaga. Dia mengawasi isolasi tawanan
sehingga dia melupakan kesepiannya sendiri.
Penyair harus menyembunyikan sumber pengetahuannya untuk maju seolah-olah
semuanya datang dari naluri.
Memahami puisi tidak menjadikan seseorang penyair. Hal ini memungkinkan
untuk menulis tesis universitas pada puisi yang patut dicontoh. Tidak lagi.
Politik adalah cara mempersepsi realitas. Siapa yang bisa mengatakan bahwa kita
tidak memiliki hubungan dengannya?
Penyair tidak wajib memberikan program politik kepada pembacanya.
Dalam sebuah puisi, hubungan antara citra, irama, dan komponen lainnya harus
dikontrol dengan sempurna. Tidak ada resep yang menentukan sebelumnya apa
garam, bulan atau langit diperlukan untuk menulis puisi.
Apa yang melegitimasi ayat bebas adalah bahwa ia mengusulkan untuk
mematahkan irama standar, untuk menciptakan orang lain. Dengan ini dia
menyampaikan kepekaan baru, rasa baru. Itu membuat kita merasakan bagaimana
meter konvensional dapat distandarisasi tanpa orisinalitas.
Puisi mungkin memiliki keefektifan yang tidak biasa, tetapi kekuatannya berasal
dari pengakuan kelemahan manusia.
Puisi adalah dan akan tetap memberontak terhadap kritik sastra, dan semua
pengetahuan rasional.
Tingkat kesadaran puitis umum adalah karya dari hanya penyair.
Penyair memberi kehidupan pada puisi, mereka juga membunuhnya.
Kebingungan antara naluri puitis dan puisi itu sendiri telah membawa kita pada
kesalahpahaman yang serius. Naluri puitis juga ada dalam novel, dalam teks
agama kuno, dalam legenda gua. Itu muncul dari kanvas, musik, film, alam,
keanggunan perilaku manusia, yang tidak membuatnya menjadi puisi. Mengubah
naluri puitis menjadi sebuah puisi adalah operasi yang sama sekali berbeda,
karena setiap ciptaan memiliki kanonnya sendiri. Dan kita tidak perlu takut akan
hal itu. Kanon puitis bukanlah pedang yang tergantung di atas kepala penyair.
Keahlian seniman terletak pada kemampuannya untuk memberikan kebebasan
pada kreativitasnya tanpa melanggar prinsip-prinsip dasar seninya, untuk
menjinakkan dan mengatasi berat badan mereka berkat penguasaan sempurna
mereka. Ini adalah ambang batas yang harus dicapai untuk dapat melampaui
tatanan yang ditetapkan yang tidak sesuai dengan kehidupan dan untuk
menghidupkan kembali pengalaman kreatif.
Puisi tidak dapat didamaikan dengan kekuatan, karena dihuni oleh tugas untuk
menciptakan kekuatannya sendiri, dengan mendirikan ruang vital untuk membela
hak, keadilan dan korban. Puisi adalah sekutu yang tak tergoyahkan dari korban,
dan dia dapat menemukan landasan bersama dengan sejarah hanya atas dasar
asas fundamental ini.
Konsekrasi konsep Barat telah mengharuskan penghilangan tujuh puluh juta
manusia, serta perang budaya yang agresif melawan filsafat yang secara intrinsik
bercampur dengan bumi dan sifatnya, pepohonan, kerikil, gambut , dan untuk air.
Dari masa-masa awal, dari gagap pertama puisi sampai hari ini, ekspresi oleh
indera telah menjadi salah satu kondisi utama kehidupan. Dan ketika teks puitis
bergerak menjauh dari obsesi indrawi, teks itu berubah menjadi genre sastra lain,
bentuk ekspresi lain.
Menulis adalah proses akumulasi, yang tidak pernah datang dari ketiadaan. Tidak
ada gelar nol dalam literatur, dan setiap tulisan mencakup yang lain.
Penyair tidak mewakili penyebab, maupun orang, atau kelompok; dia hanya
mewakili dirinya sendiri.
Konsep “penyair terbesar” sudah usang. Tidak ada penyair pertama atau kedua.
Hanya ada suara yang pergi bersama dan hidup berdampingan. Hidup
mengandung cukup puisi untuk banyak penyair untuk menceritakan kisah-kisah
mereka dan kemanusiaan mereka.
Pengasingan tidak pernah berakhir, apakah seseorang jauh dari negara seseorang
atau satu tinggal di sana.
Tingkat, aspek, status status asing banyak. Seseorang dapat diasingkan dalam
bahasa, dalam cinta, dalam sikap terhadap keadilan, visi kehidupan yang berbeda.
Sama seperti itu bisa karena pekerjaan atau kurungan. Pengasingan yang benar
adalah apa yang dirasakan seseorang di tanah airnya, pengasingan dalam.
Pria yang selaras sempurna dengan masyarakatnya, budayanya, dengan dirinya
sendiri, tidak bisa menjadi pencipta.
Fungsi puisi seharusnya hanya muncul begitu puisi selesai, karena kebutuhan
untuk menulis harus tidak bersalah, bebas dari ideologis atau simbol yang
berlebihan.
Penyair dan intelektual terkadang ditempatkan di depan tanggung jawab yang
membuat mereka tidak dapat berpaling.
Setiap puisi harus muncul sebagai teks pertama yang Anda tulis. Spontan, mampu
mengubah anorganik menjadi organik, seperti gelombang yang muncul dari laut,
mengendap di pantai, namun tetap menjadi gelombang. Keajaiban sangat
diperlukan. Dan sebuah predisposisi untuk mengagumi. Kalau tidak semua orang
akan menjadi seorang penyair. Akademisi dan profesor tahu lebih banyak tentang
puisi daripada semua penyair digabungkan, namun mereka tidak dapat menulis
tentang hal itu. Karena mereka kurang predisposisi ini, yang mungkin merupakan
rahmat ilahi!
“Nubuat” adalah kemampuan untuk membaca gerakan tanda-tanda dalam
kenyataan. Ini secara alami membutuhkan intuisi, yang tanpanya puisi akan tetap
dirampas imajinasi.
Politik, tanpa pendekatan budaya atau imajinasi puitis, tetap merupakan tatanan
konjungtur.
Di planet ini, kita semua tetangga, semua diasingkan, takdir manusia yang sama
menanti kita, dan apa yang menyatukan kita adalah kebutuhan untuk menceritakan
kisah pengasingan ini.
Tidak ada batasan. Tidak ada puisi terakhir. Cakrawala terbuka. Jalan menuju
puisi adalah puisi.
Puisi adalah upaya untuk menemukan puisi. Jika kami tahu apa puisi ini, kami
akan menulisnya dan itu akan berakhir.
Jika puisi tidak memiliki ruang humanistik – jika tidak menyentuh manusia – teks
itu mati.
Jika engkau ingin menjadi revolusioner dalam puisi, engkau tidak dapat menjadi
reaksioner dalam kehidupan.
Diperkirakan bahwa puisi berpartisipasi dalam pemogokan, demonstrasi, dan
memecahkan masalah. Hari ini sudah menjadi spesialisasi dan bisa jadi suatu hari
berubah menjadi institusi yang tertutup seperti pembangkit tenaga nuklir. Tetapi
untuk saat ini, selama kita belum mencapai tahap berbahaya ini, lebih baik bagi
puisi untuk menjaga dirinya sendiri dan menjadi independen dari kenyataan. Ada
banyak penyair hari ini dan sedikit puisi.
Orang tanpa puisi adalah orang yang kalah.
Titik puisi tanpa asal-usul, karena jika menyimpang dari momen pertama dari kata
kerja, puisi akan berubah menjadi pemikiran.
*
Tanah airku, sebuah koper,
Koperku, tanah airku.
Tapi … tidak ada trotoar,
Tidak ada dinding,
Tidak ada tanah di bawah kakiku
Untuk mati seperti yang kuinginkan,
Tidak ada surga di sekitarku
Untuk membuatnya lubang
Dan masuklah ke tenda para nabi.

Anda mungkin juga menyukai