Anda di halaman 1dari 28

Laporan Kasus

Angifibroma Nasofaring Juvenil

Oleh

Lisa Ariyani I1A009005


Krisna Augustian N I1A009097

Pembimbing
dr. Alex Syamsuddin Sp.THT

BAGIAN/SMF THT
FK UNLAM – RSUD ULIN
BANJARMASIN
JUNI,2014
BAB I

PENDAHULUAN

Angifibroma nasofaring juvenil merupakan tumor jinak hipervaskuler di nasofaring

dengan gambaran epidemiologi dan pola pertumbuhan yang khas. Tumor secara khas

mengenai remaja laki-laki pada masa pubertas, dengan gejala klinis yang khas epistaksis

berulang dan sumbatan hidung unilateral. 1,2

Angifibroma nasofaring juvenil merupakan tumor jarang di kepala dan leher, tetapi

merupakan tumor yang paling sering di nasofaring. Meskipun secara histologi termasuk

tumor jinak, tetapi tumor sering menunjukkan perilaku destruktif lokal dan agresif,

mempunyai kecenderungan kuat untuk berdarah dan mempunyai angka kekambuhan yang

tinggi. Biopsi merupakan hal yang berbahaya karena potensi terjadi pe rdarahan besar.3,4

Pemeriksaan radiologi mempunyai peranan yang penting dalam diagnosis, penentuan

stadium dan penatalaksanaan angifibroma nasofaring juvenil. Pemeriksaan radiologi dapat

dilakukan dengan foto polos, CT scan, MRI maupun arteriografi. Gambaran radilogi yang

khas adalah adanya adanya massa di nasofaring, destruksi tulang, dengan gambaran bowing

di dinding posterior sinus maksilaris (Hofman-Miller sign), yang ada pemeberian kontras

tampak penyangatan kuat dan homogen. Pemeriksaan arteriografi dapat menentukan feeding

vessel dari tumor, dan mempunyai nilai diagnostik dan terapetik.4,5

Walapun angiofibroma merupakan tumor jinak yang paling sering pada nasofaring, tetapi

jumlahnya kurang dari 0,05% dari tumor kepala danleher.Insiden dari angiofibroma tinggi

dibeberapa bagian dari belahan dunia, seperti pada Timur Tengah dan Amerika. Martin, Ehrlich

dan Abels (1948) melaporkan rata-rata setiap tahunnya dari satu atau dua pasien untuk 2000

pasien yang diobati pada Head and Neck Service of The Memorial Hospital, New York. Di

London, Harrison (1976) mencatat status dari satu per 15000 pasien pada Royal
National Throat, Nose and Ear Hospital dimana didapat kesimpulan bahwa lebih sedikit

angiofibroma di London dibanding di New York. Dilaporkan insiden JNA banyak terjadi di

Mesir dan India. Insiden rata-rata JNA adalah 1 dari 5000-60.000 kasus THT.

Tumor ini tidak berkapsul dan sangat vaskuler namun tidak bermetastasis. Eksisi JNA

yang tidak sempurna dapat menyebabkan rekurensi. Walaupun begitu pada eksisi yang

sempurnapun masih meninggalkan sisa jaringan tumor mikroskopik.

Beberapa hipotesis tentang asal usul tumor ini sudah dikemukakan tetapi belum ada yang

benar-benar bisa menjelaskan dengan baik. 1,3

Penatalaksanaan yang direkomendasikan adalah dengan pemebedahan. Tetapi,

pembedahan sendiri mempunyai resiko perdarahan yang besar akibat tingginya vaskularisasi

tumor. Embolisasi preoperatif direkomendasikan sebagai prosedur standar untuk mengurangi

kehilangan darah selama operasi, sehingga memungkinkan eksisi total, mengurangi

komplikasi dan meminimalkan residu tumor.1,3

Berikut ini akan dilaporkan sebuah kasus Angifibroma Nasofaring Juvenil pada

remaja berusia 17 tahun yang dirawat di RSUD Ulin Banjarmasin.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi
Nasofaring
Nasofaring merupakan suatu rongga yang berbentuk mirip kubus, terletak dibelakang

rongga hidung, diatas tepi palatum molle dengan diameter anterior-posterior 2-4 cm, lebar 4

cm yang berhubungan dengan rongga hidung serta telinga tengah melalui koana dan tuba

eustachius. Atap nasofaring dibentuk oleh dasar tengkorak, tempat keluar dan masuknya saraf

otak dan pembuluh darah.6

Batas-batas nasofaring

Dinding depan (anterior) dibentuk oleh kavum nasi posterior atau disebut juga dengan

koana. Dinding depan ini merupakan lubang yang berbentuk oval yang berhubungan dengan

kavum nasi dan dipisahkan pada garis-garis tengah oleh septum nasi. Dinding atas (superior)

dan belakang (posterior) sedikit menonjol, dinding atas dibentuk oleh basis sfenoid dan basis

oksiput, dinding belakang dibentuk oleh fasia faringobasilaris yang menutup vertebra

servikalis pertama (tulang atlas) dan kedua. Kelenjar limfoid adenoid terletak pada batas

dinding posterior dan atap nasofaring, tetapi kadang-kadang kelenjar adenoid ini dapat

meluas sampai ke muara tuba eustachius.6

Pada bagian tengah kelenjar ini yang tepatnya di bagian atas muskulus konstriktor

superior terdapat lekukan berbentuk kantong kecil yang disebut bursa faring.Kantong ini

sering membentuk kista dan meradang dan dikenal dengan bursitis dari Thornwaldt. Pada

usia 2 tahun adenoid sering mengalami hipertrofi dan hiperplasia, pertumbuhan ini menjadi

lebih cepat pada usia 3-5 tahun dan sering menyebabkan sumbatan pernafasan melalui hidung

dan tuba eustachius. Setelah usia 5 tahun besarnya relatif menetap dan akan mengalami

involusi setelah masa pubertas, akan tetapi jaringan limfoid masih tetap ada.6
Dinding bawah (inferior), merupakan permukaan atas palatum molle dan

berhubungan dengan orofaring melalui bagian bawah nasofaring yang menyempit yang

disebut dengan istmus faring. Dinding lateral nasofaring merupakan bagian yang terpenting,

dibentuk oleh lamina faringobasilaris dari fasia faringeal dan muskulus konstriktor faring

superior. Pada dinding lateral ini terdapat muara tuba Eustachius, tepi posterior merupakan

tonjolan tulang rawan yang dikenal sebagai torus tubarius, sedangkan fossa Rosenmuller atau

resesus lateralis terdapt pada supero-posterior dari tuba. Jaringan lunak yang menyokong

struktur nasofaring adalah fasia faringobasilar dan muskulus konstriktor faringeus superior

yang dimulai dari basis oksiput tepat di bagian anterior foramen magnum. Fasia ini

mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale, foramen spinosum,

foramen jugularis, kanalis karotis,dan kanalis hypoglosus. Struktur ini penting diketahui

karena merupakan tempat penyebaran tumor ke intrakranial.6

Gambar 1. Anatomi nasofaring (dikutip dari Netter)


2. Definisi Angiofibroma Nasofaring

Angiofibroma nasofaring merupakan salah satu tumor jinak pembuluh darah di

nasofaring yang secara histologis jinak namun secara klinis bersifat ganas karena dapat

mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya.Adapun jaringan disekitarnya yang

dapat didesktruksi seperti sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak. Tumor ini sangat

mudah berdarah dan pendarahannya sulit untuk dihentikan.7

3. Epidemiologi

Angiofibroma merupakan tumor jinak yang paling sering terdapat pada nasofaring,

tetapi jumlahnya kurang dari 0.05% dari tumor kepala dan leher.Tumor ini biasanya paling

banyak terjadi pada laki-laki decade ke-2 antara umur 7-19 tahun. Tumor ini jarang pada usia

lebih dari 25 tahun.7

4. Etiologi

Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak diajukan. Teori –
teori ini secara besar mengklasifikasikannya menjadi dua, yaitu berdasarkan jaringan tempat
asal tumbuh tumor dan adanya gangguan hormonal.8

Pada teori jaringan asal, dinyatakan bahwa angiofibroma nasofaringterjadi karena

pertumbuhan abnormal jaringan fibrokartilago embrional atauperiosteum di daerah oksipitalis

os sfenoidalis.Diperkirakan bahwa kartilagoatau periosteum tersebut merupakan matriks dari

angiofibroma.Padaakhirnya didapatkan gambaran lapisan sel epitelial yang mendasari

ruangvaskular pada fasia basalis dan dikemukakan bahwa angiofibroma berasaldari jaringan

tersebut. Sehingga dikatakan bahwa tempat perlekatan spesifikangiofibroma adalah di

dinding posterolateral atap rongga hidung.4,5

Sedangkan teori ketidakseimbangan hormonal menyatakan bahwa terjadinya

angiofibroma diduga karena adanya perubahan aktivitas pituitari.Hal ini menyebabkan

ketidakseimbangan hormonal yaitu adanya kekurangan hormon androgen dan atau kelebihan
hormon estrogen. Teori ini didasarkan adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis

kelamin dan usia penderita serta adanya hambatan pertumbuhan pada semua penderita

angiofibroma nasofaring. Diduga tumor berasal dari periosteum nasofaring dikarenakan tidak

adanya kesamaan pertumbuhan pembentukkan tulang dasar tengkorak menyebabkan

terjadinya hipertropi di bawah periosteum sebagai reaksi terhadap hormonal.4,5

5. Patogenesis

Tumor awalnya tumbuh di bawah mukosa ditepi sebelah posterior dan lateral koana

diatap nasofaring. Tumor yang kaya akan aliran darah ini memperoleh aliran darah dari arteri

faringeal asenden atau arteri maksilaris interna. Tumor akan tumbuh besar dan meluas kearah

anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong septum yang ke sisi kontralateral dan dapat

memipihkan konka. Perluasan kearah lateral, tumor melebar kearah foramen sfenopalatina,

masuk ke fisura pterigomaksila dan akan mendesak dinding posterior sinus maksila. Bila

tumor meluas terus, tumor akan masuk ke fossa intra temporal dan masuk ke intra kranial

melalui fossa infra temporalis dan pterigomaksila. Apabila tumor telah mendorong salah satu

atau kedua bola mata maka tampak gejala yang khas pada wajah yaitu “muka kodok”.

Selanjutnya tumor kemudian akan meluas dan masuk ke fossa serebri media.8

Gambar 2.Perjalanan penyebaran angiofibroma nasofaring

6. Manifestasi Klinis
a. Gejala

Gejala hidung tersumbat merupakan gejala awal yang paling sering ditemukan pada

angiofibroma nasofaring juvenile. Adanya obstruksi hidung ini akan dapat memudahkan

terjadinya penimbunan sekret sehingga akan timbul rinorea yang bersifat kronis dan diikuti

dengan gangguan penciuman baik berupa hiposmia sampai dengan anosmia. Pada perluasan

tumor ke tuba eustachius akan tampak gejala–gejala pada telinga seperti penurunan

pendengaran sampai dengan sakit pada telinga. Perkembangan perluasan tumor lebih lanjut

yang telah mengenai tuba eustachius akhirnya dapat juga menimbulkan gejala – gejala pada

mata dan saraf.8

Epistaksis yang massif dan berulang merupakan tanda – tanda nasofaring paling dini

yang mengindikasikan penyakit ini.Mata menonjol (proptosis), pembengkakan pada wajah,

pembengkakan pada langit–langit mulut dan trismus merupakan tanda – tanda bahwa tumor

telah menyebar ke fossa infratemporal.Tuli konduktif dan otalgia diakibatkan karna obstruksi

tuba eustachius.Perluasan ke rongga kranial dapat dikoreksi dengan adanya penglihatan dobel

(diplopia) yang dikeluhkan oleh pasien karena tumor telah mulai menekan kiasma optik.

Sakit kepala yang berat dapat menunjukkan bahwa tumor sudah meluas ke intracranial.8

b. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dengan menggunakan rinoskopi anterior dapat dilakukan untuk

mengkoreksi tumor dari luar. Pada pemeriksaan ini akan dapat melihat massa tumor, warna

yang bervariasi mulai dari abu-abu hingga sampai merah muda. Bagian tumor yang terlihat di

nasofaring biasanya diliputi oleh selaput lender bewarna keunguan dan yang meluas keluar

nasofaring bewarna pitih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya merah muda, pada usia

yang lebih tua warnanya lebih kebiruan. Hal ini dikarenakan komponen fibroma yang

terkandung didalamnya.Mukosanya mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang

ditemukan adanya ulserasi.8


c. Pemeriksaan Penunjang

Angiofibroma merupakan tumor yang mudah berdarah sehingga sebagai pemeriksaan

penunjang diagnosisnya dilakukan pemeriksaan radiologik konvensional CT Scan serta

pemeriksaan arteriografi. Pada pemeriksaan CT Scan akan terlihat gambaran klasik yang

disebut dengan “Holman Miller” yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang

sehingga fisura pterigo-palatina melebar.7

Pada pemeriksaan ateriografi arteri karotis eksterna akan memperlihatkan

vaskularisasi tumor yang biasanya berasal dari cabang a.maksila interna homolateral. Arteri

maksilaris interna akan terdorong kedepan sebagai akibat dari pertumbuhan tumor dari

posterior ke anterior dan dari nasofaring kearah fossa pterigimaksila. Selain itu, masa tumor

akan terisi oleh kontras pada fase kapiler dan akan mencapai maksimum setalah 3-6 detik zat

kontras disuntikkan. Pemeriksaan patologik anatomik tidak dapat dilakukan, karena biopsi

merupakan kontraindikasi.Hal ini dikarenakan tindakan ini dapat menyebabkan perdarahan

yang masif. Pada kasus ini diperlukan pemeriksaan Hb untuk mengoreksi anemia yang

kronis.7

Gambar 3. Gambaran Holman Miller CT Scan


7. Diagnosis

Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang.Untuk menentukan derajat atau stadium tumor umumnya digunakan

klasifikasi Session dan Fisch. Hal ini penting guna untuk menentukan jenis penatalaksanaan

seperti apa yang akan diberikan pada pasien.9

8. Diagnosis banding

Diagnosis banding angiofibroma nasofaring juvenil yaitu polip hidung, polip

antrokoanal, teratoma, ensefalokel, kista dermoid, inverted papiloma, rhabdomiosarkoma dan

karsinoma sel skuamosa.9

9. Stadium

Klasifikasi menurut Session sebagai berikut :7

 Stadium IA : Tumor terbatas di nares posterior dan atau nasofaringeal


voult
 Stadium IB : Tumor meliputi nares posterior dan atau nasofaringeal voult
dengan meluas sedikitnya satu sinus paranasal
 Stadium IIA : Tumor meluas sedikit ke fossa pterigomaksila
 Stadium IIB : Tumor memenuhi fossa pterigomaksila tanpa mengerosi
tulang orbita
 Stadium IIIA : Tumor telah mengerosi dasar tengkorak dan meluas sedikit
ke intrakranial
 Stadium IIIB : Tumor telah meluas ke intra kranial dengan atau tanpa

meluas ke sinus kavernosus


Klasifikasi menurut Fisch sebagai berikut :7

 Stadium I : Tumor terbatas di rongga hidung, nasofaring tanpa


mendestruksi tulang
 Stadium II : Tumor menginvasi fossa pterigomaksila, sinus paranasal
dengan destruksi tulang
 Stadium III : Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dengan atau
region paraselar
 Stadium IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, region kiasma optik

dan fossa pituitari

Klasifikasi menurut Chandler sebagai berikut :7

 Stadium I : Tumor di nasofaring


 Stadium II : Tumor meluas ke rongga hidung atau sinus sphenoid
 Stadium III : Tumor meluas kedalam antrum, sinus eitmoid, fossa
pterigomaksila, fossa infratemporalis, orbita dan atau pipi
 Stadium IV: Tumor meluas ke rongga intrakranial

10. Penatalaksanaan
Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi hormonal, radioterapi.

Operasi harus dilakukan dengan hati – hati mengingat komplikasi perdarahan yang hebat

akan terjadi.Terapi hormonal yang biasa diberikan yaitu dietilstilbestrol yang dosisnya 5 mg

peroral yang makan 6 minggu.11


Embolisasi pada pembuluh darah tumor mengakibatkan terjadiny atrombosis

intravaskuler, sehingga suplai darah ke tumor berkurang dan mempermudah pengangkatan

tumor. Embolisasi dilakukan dengan memasukkan suatu zat melalui arteri karotis eksterna

lalu ke arteri maksilaris interna.7,12


Sebelum dilakukan operasi pengangkatan tumor selain embolisasi untuk mengurangi

perdarahan yang banyak dapat dilakukan ligasi arteri karotis eksterna dan anastesi dengan

teknik hipoestesi. Berbagai pendekatan operasi dapat dilakukan sesuai dengan lokasi tumor

dan perluasanya seperti melalui transpalatal, rinotomi lateral, rinotomi sublabial atau
kombinasi dengan kraniotomi frontotemporal bila diduga tumor telah meluas ke ruang
intrakranial.7
Untuk tumor yang sudah meluas ke jaringan sekitarnya dan telah mendestruksi dasar

tengkorak sebaiknya diberikan radioterapi prabedah atau dapat pula diberikan terapi

hormonal dengan preparat testosterone reseptor bloker (flutamid) 6 minggu sebelum operasi

meskipun hasilnya tidak sebaik radioterapi.7,13

11. Prognosis

Pembedahan untuk tumor yang masih berada diekstra kranial memberikan hasil yang

lebih optimal dibandingkan untuk tumor yang telah berada diintra kranial.Angka

kesembuhannya turun 30%. Resiko rekurensi untuk angiofibroma untuk semua kasus ±20.14

BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama: Ronaldo
Umur : 17 tahun
No. RMK : 1109588
Bangsa : Indonesia
Suku : Banjar
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Teweh Pupuh
MRS : 16 Juni 2014

II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Hidung tersumbat
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
± 3 bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluhkan kedua hidung tersumbat

diiringi mimisan dari kedua hidung yang muncul tiba-tiba tanpa penyebab. Mimisan

berhenti sendiri jika hidung dipencet. Mimisan hilang timbul dan dapat muncul

tanpa ada provokasi. Keluhan mimisan berkurang sejak 1 bulan sebelum masuk

rumah sakit. Keluhan hidung tersumbat juga diikuiti dengan menurunnya fungsi

penghidu. Keluhan tidak disertai dengan nyeri telinga,keluar cairan dari telinga

maupun hidung. Pasien menyangkal keluhan nyeri menelan, penglihatan

terganggu,pembengkakan pipi dan rahang susah dibuka (trismus).Pasien sudah di

bawa ke RS Tamiyang Layang Kalimantan Tengah lalu dirujuk ke RSUD Tanjung

dan dirujuk lagi ke RS Kandangan. Di sana pasien diperiksa laboratorium di

dapatkan hasil HbsAg postif.Oleh dokter Kandangan pasien di duga menerita ANJ

dan disarankan untuk CT scan sehingga di rujuk ke RSUD Ulin Banjarmasin.


Riwayat Penyakit Dahulu :
Penyakit serupa (-), congek (-), tumor leher dan wajah (-), Hipertensi (-), DM (-),
asma (-), trauma (-).
3. Riwayat Penyakit Keluarga :
Penyakit serupa (-),tumor leher dan wajah (-), Hipertensi (-), DM (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Pemeriksaan Umum

III.

JJJ. M
KKK.
Leher

1. Keadaan Umum : Baik


2. Kesadaran : Composmentis, GCS : 4-5-6
3. Tanda Vital
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Respirasi rate : 28 x/menit
Nadi : 88 x/menit
Suhu : 37,2o C

Umum : Bentuk mesosefali


Rambut : Warna hitam, distribusi merata

Mata :
- konjungtiva pucat (-/-)
- sklera ikterik (-/-)
- refleks cahaya (+/+)
- diplopia (-/-)
: mukosa lembab, pucat (-)
:
- tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
- Jugular venous pressure tidak meningkat
C. Pemeriksaan
Thoraks Paru
Inspeksi : Gerakan nafas simetris, retraksi (-)
Palpasi : Fremitus vokal simetris, nyeri tekan tidak ada
Perkusi : Sonor (+/+), nyeri ketuk tidak ada
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus dan pulsasi tidak terlihat
Palpasi : Apeks teraba pada ICS V LMK kiri, Thrill (-)
Perkusi : Batas kanan ICS II-IV LPS Dextra
Batas kiri ICS II-IV LMK Sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II tunggal
Murmur tidak ada

D. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Tampak datar, vena kolateral (-), scar (-), distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Hepar, lien, massa tidak teraba,
Perkusi : Timpani
E. Pemeriksaan Ekstremitas
Atas : Akral hangat, edem (-/-), parese (-/-)
Bawah : Akral dingin, edem (-/-), parese (-/-)
F. Pemeriksaan Tulang Belakang
Dalam batas normal, nyeri (-), tidak tampak skoliosis, kifosis, lordosis.
G. Status Lokalis
 Telinga
Inspeksi : bentuk normal, hiperemis (-/-), hematoma (-/-), edem (-/-),
abses (-/-), sekret (-/-),
Palpasi : tragus pain (-/-), mastoid pain (-/-), pembesaran KGB (-/-)
Otoskopi: membran timpani intake, refleks cahaya (+/+)
Tes pendengaran :
Rinne : +
Weber : lateralisasi (-)
Swabach : sama dengan pemeriksa

 Hidung
Inspeksi : bentuk normal, deformitas (-), hiperemis (-),
RA : deviasi septum (-/-), massa (+/+) keabu-abuan., sekret (-/-)
RP : sulit dievaluasi

 Tenggorokan
Inspeksi : mukosa bibir lembab, mukosa bukal lembab, edema (-),
hiperemi (-), uvula simetris posisi tengah, tonsil ukuran
normal, detritus (-)
 Kelenjar getah bening : pembesaran kelenjar getah bening (-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tabel 3.1. Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 16 Juni 2014

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


HEMATOLOGI

Hemoglobin 11,5 14,0-18,0 g/dl

Leukosit 8 4,0-10,5 ribu/ul

Eritrosit 4,56 4,50-6,00 Juta/ul

Hematokrit 36,3 42,00-52,00 Vol%

Trombosit 330 150-450 Ribu/ul

RDW-CV 17 11,5-14,7 %

MCV-MCH-MCHC

MCV 79,8 80,0-97,0 Fl

MCH 25,2 27,0-32,0 Pg

MCHC 31,6 32,0-38,0 %

Hitung Jenis

Basofil % 0,4 0,0-1,0

Eosinofil % 2,7 1,0-3,0


Gran % 67,3 50,0-70,0 %
Limfosit % 24,9 25,0-40,0 %

Monosit % 4,7 3,0-9,0 %

Basofil # 0,04 <1

Eosinofil # 0,30 <3

Gran # 7,54 2,50-7,00 Ribu/ul

Limfosit # 2,8 1,25-4,00 Ribu/ul

Monosit # 0,53 0,30-1,00 Ribu/ul

PROTHROMBIN TIME

Hasil PT 10,2 0,0-13,5 Detik

INR 0,90 -

Control Normal PT 11,4 - -

Hasil APTT 23,8 22,2-37,0 Detik

Control Normal APTT 26,1 -

KIMIA

GULA DARAH

Glukosa Darah Puasa 98 70-105 mg/dL

HATI

SGOT 61 0 – 46 U/l

SGPT 74 0 – 45 U/l

GINJAL

Ureum 15 10 – 50 mg/dL

Creatinin 1,1 0,7 – 1,4 mg/dL

Hbs Ag Positif 135-146


a. Foto Thorax tanggal 16 Juni 2014

Kesimpulan: Foto thorax normal

b. Foto Waters tanggal 18 Juni 2014


Sinus frontalis kanan kiri normal
Sinus ethmoidalis kanan kiri normal
Tampak perselubungan di sinus maksilaris kanan kiri
Sinus sphenoidalis kanan kiri normal
Septum nasi di tengah
Kesimpulan : Sinusitis maksilaris bilateral, kiri > berat. Adanya massa belum dapat

disingkirkan.
Saran : MSCT Head

c. Foto CT scan kepala tanggal 18 Juni 2014


Hasil :
Tampak massa jaringan lunak, batas tidak tegas, irregular yang menempati daerah

foramen sphenopalatina kanan yang meluas ke dalam cavum nasi posterior,

nasopharyng, fossa pterygopalatina, dan sinus maksilaris kanan, sphenoidalis dan

etmoidalis, berukuran 4x3x4 cm. Pada post contras memebrikan enhancemenet kuat

(HU pre 40, post 100). Tampak tulang sphenoid wing kanan erosi, tidak tampak
fraktur. Daerah orofaring dan hipofaring terbuka
Kelenjar parotis dan tiroid kanan kiri tidak tampak nodul
Tidak tampak pemebesaran KGB colli kanan/kiri Tidak
tampak lesi densitas patologis intracranial Kesimpulan :
Sugestif Juvenil Angiofibroma
V. DIAGNOSA BANDING
Angifibroma nasofaring juvenil
Karsinoma nasofaring
Polip angiomatosa

VI. DIAGNOSA
Susp.Angiofibroma nasofaring juvenil

VII. PENATALAKSANAAN
Operatif

I. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam

VIII. FOLLOW UP

17 Juni 2014 (HP-1)

S : hidung tersumbat (+/+), bernafas lewat mulut (+), mimisan (+)

O : TD : 110/80 N : 84 kali/menit

RR : 26 kali/menit T : 36,7ºC

A : Angiofibroma nasofaring juvenil

P : IVFD Rl 20 tpm

Injeksi Ceftriaxon 2x1 gram

Injeksi Asam Traneksamat 3x1 ampul

18 Juni 2014 (HP-2)

S : hidung tersumbat (+/+), bernafas lewat mulut (+), mimisan (-)

O : TD : 120/80 N : 76 kali/menit

RR : 26 kali/menit T : 36,5ºC

A : Angiofibroma nasofaring juvenil

P : IVFD Rl 20 tpm

Injeksi Ceftriaxon 2x1 gram

Injeksi Asam Traneksamat 3x1 ampul

19 Juni 2014 (HP-2)

S : hidung tersumbat (+/+), bernafas lewat mulut (+), mimisan (-)

O : TD : 120/80 N : 80 kali/menit

RR : 26 kali/menit T : 36,5ºC
A : Angiofibroma nasofaring juvenil

P : IVFD Rl 20 tpm

Injeksi Ceftriaxon 2x1 gram

Injeksi Asam Traneksamat 3x1 ampul

20 Juni 2014 (HP-2)

S : hidung tersumbat (+/+), bernafas lewat mulut (+), mimisan (-)

O : TD : 110/80 N : 88 kali/menit

RR : 27 kali/menit T : 37 ºC

A : Angiofibroma nasofaring juvenil

P : Po : As Traneksamat 3x1 tab

21 Juni 2014 (HP-2)

S : hidung tersumbat (+/+), bernafas lewat mulut (+), mimisan (-)

O : TD : 110/80 N : 80kali/menit

RR : 26 kali/menit T : 37,5ºC

A : Angiofibroma nasofaring juvenil

P : Po : As Traneksamat 3x1 tab

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus ini dilaporkan, laki-laki berusia 17 tahun mendapatkan perawatan di ruang

Kemuning RSUD Ulin Banjarmasin.Pasien dirawat dari tanggal 16Juni 2014 hingga tanggal

20 Juni 2014. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien

didiagnosis Angiofibroma nasofaring juvenil dan direncanakan dirujuk ke luar kota untuk

dilakukan operasi.
Pada anamnesis didapatkan ± 3 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien

mengeluhkan kedua hidung tersumbat diiringi mimisan dari kedua hidung yang muncul tiba-

tiba tanpa penyebab.Mimisan berhenti sendiri jika hidung dipencet.Mimisan hilang timbul

dan dapat muncul tanpa ada provokasi. Keluhan mimisan berkurang sejak 1 bulan sebelum

masuk rumah sakit. Keluhan hidung tersumbat juga diikuiti dengan menurunnya fungsi

penghidu. Keluhan tidak disertai dengan nyeri telinga,keluar cairan dari telinga maupun

hidung. Pasien menyangkal keluhan nyeri menelan, penglihatan terganggu,pembengkakan

pipi dan rahang susah dibuka (trismus).Pasien sudah di bawa ke RS Tamiyang Layang

Kalimantan Tengah lalu dirujuk ke RSUD Tanjung dan dirujuk lagi ke RS Kandangan. Di

sana pasien diperiksa laboratorium di dapatkan hasil HbsAg postif. Oleh dokter Kandangan

pasien di duga menderita ANJ dan disarankan untuk CT scan sehingga di rujuk ke RSUD

Ulin Banjarmasin.

Gejala-gejala dan tanda-tanda klinis yang dapat ditemukan pada angiofibroma

nasofaring juvenil antara lain:gejala hidung tersumbat merupakan gejala awal yang paling

sering ditemukan pada angiofibroma nasofaring juvenile. Adanya obstruksi hidung ini akan

dapat memudahkan terjadinya penimbunan sekret sehingga akan timbul rinorea yang bersifat

kronis dan diikuti dengan gangguan penciuman baik berupa hiposmia sampai dengan

anosmia. Pada perluasan tumor ke tuba eustachius akan tampak gejala–gejala pada telinga

seperti penurunan pendengaran sampai dengan sakit pada telinga. Perkembangan perluasan

tumor lebih lanjut yang telah mengenai tuba eustachius akhirnya dapat juga menimbulkan

gejala – gejala pada mata dan saraf.8

Epistaksis yang massif dan berulang merupakan tanda – tanda nasofaring paling dini

yang mengindikasikan penyakit ini.Mata menonjol (proptosis), pembengkakan pada wajah,

pembengkakan pada langit–langit mulut dan trismus merupakan tanda – tanda bahwa tumor

telah menyebar ke fossa infratemporal.Tuli konduktif dan otalgia diakibatkan karna obstruksi
tuba eustachius.Perluasan ke rongga kranial dapat dikoreksi dengan adanya penglihatan dobel

(diplopia) yang dikeluhkan oleh pasien karena tumor telah mulai menekan kiasma optik.

Sakit kepala yang berat dapat menunjukkan bahwa tumor sudah meluas ke intracranial.8

Pada pasien ini didapatkan gejala berupa hidung tersumbat sejak 3 bulan yang lalu

disertai epistaksis berulang dan penurunan fungsi penghidu yang terjadi tiba-tiba tanpa

adanya riwayat trauma. Pada pemeriksaan fisik pada hidung didapatkan massa dikedua

rongga hidung bewarna keabu-abuan, tidak nyeri, dan mudah berdarah. Hal ini sesuai dengan

gejala dan tanda yang ada pada angifibroma nasofaring.

Dari hasil laboratoriumdarah pada tanggal 16 Juni 2014, didapatkan nilai hemoglobin

11,5 g/dl, leukosit 8000 ribu/ul,4,56 juta/ul, hematokrit 36,3 vol%, trombodit 330 ribu/ul, PT

10,2 detik, APTT 23,8 detik, INR 0,90, SGOT 61 U/l, SGPT 74 U/l, ureum 15 mg/dl, kreatini

1,1 mg/dl, serta Hbs Ag positif. Dari hasil laboratoriumdarah tersebut dapat disimpulkan

bahwa keaadaan umum pasien baik karena kadar hemoglobin yang rendah menggambarkan

berat nya epistaksis yang terjadi. Hal ini berhubungan dengan gejala yang paling sering

ditemukan (lebih dari 80%) pada angiofibroma nasofaring juvenil ialah hidung tersumbat

yang progresif dan epistaksis berulang yang massif yang bisa menurunkan kadar hemoglobin

dalam darah.

Gejala hidung tersumbat dan mimisan dapat terjadi pada polip nasi maupun

angiofibroma nasofaring. Polip nasi angiomatosa mempunyai gejala dan tanda yang mirip

dengan angiofibroma nasofaring. Perbedaan antara keduanya terletak pada predileksi umur

dan jenis kelamin, dan letak serta perluasan lesi. Polip nasi angiomatosa tidak mempunyai

predileksi jenis kelamin. Hal ini berbeda dengan angiofibroma nasofaring, yang mempunyai

predileksi jenis kelamin laki-laki dan umur remaja. Selain dari epidemiologi, perbedaan polip

angiomatosa dengan angiofibroma nasofaring adalah letak terutama polip angiomatosa di


fossa nasalis, bukan di nasofaring, tidak meluas ke fossa pterigopalatina, sinus sphenoidalis,

maupun ke intrakranial.15,16

Pada CT scan polip angiomatosa tidak menyangat atau hanya menyangat minimal,

sedangkan pada angiofibroma nasofaring menyangat kuat. Letak lesi yang berada di

nasofaring juga menyingkirkan diagnosa polip.Pada CT scan pasien ini tampak massa

jaringan lunak, batas tidak tegas, irregular yang menempati daerah foramen sphenopalatina

kanan yang meluas ke dalam cavum nasi posterior, nasopharyng, fossa pterygopalatina, dan

sinus maksilaris kanan, sphenoidalis dan etmoidalis, berukuran 4x3x4 cm. Pada post contras

memberikan enhancemenet kuat (HU pre 40, post 100). Tampak tulang sphenoid wing kanan

erosi, tidak tampak fraktur.Daerah orofaring dan hipofaring terbuka.Kelenjar parotis dan

tiroid kanan kiri tidak tampak nodul.Tidak tampak pemebesaran KGB colli kanan/kiri.Tidak

tampak lesi densitas patologis intracranial. Dari hasil CT scan tersebut maka diagnosa yang

lebih mungkin adalah angifibroma nasofaring daripada polipnasi.

Dari sifatdedtruksinya, kemungkinan diagnosa yang lain adalah kegananasan, yang

paling sering karsinoma nasofaring. Karsinoma nasofaring dapat terjadi pada semua usia,

walaupun lebih sering terjadi pada dekade kelima dan keenam. Gambaran radiologi

karsinoma nasofaring adalah asimetri fossa Rosenmuller, hilangnya lapisan lemak di

parapharyngeal space, destruksi tulang, penebalan preoccipital space dan pembesaran

limfonodi servikal.

Angiofibroma nasofaring merupakan tumor jinak yang mempunyai vaskularisasi yang

banyak. Karena hipervaskularisasi dari tumor ini maka biopsi tidak dianjurkan, karena dapat

menyebabkan perdarahan yang banyak dan sulit berhenti. Angiofibroma nasofaring

mempunyai predileksi yang khas pada remaja laki-laki sehingga disebut angiofibroma

nasofaring juvenil.3,4
Etiologi angifibroma nasofaring juvenil tidak diketahui tetapi diduga berhubungan

dengan hormon seks. Pengamatan yang menunjukkan tumor secara khas muncul pada remaja

laki-laki, dan bahwa lesi sering regresi setelah perkembangan lengkap karakteristik seks

sekunder memberikan bukti pengaruh hormonal pada pertumbuhan tumor. Terdapat bukti

peningkatan reseptor androgen dan regresi tumor setelah terapi anti-androgen.1,4,7

Dari hasil laboratoriumdarah pada tanggal 16 Juni 2014, didapatkan nilai hemoglobin

11 g/dl, leukosit 8000 ribu/ul,4,56 juta/ul, hematokrit 36,3 vol%, trombodit 330 ribu/ul, PT

10,2 detik, APTT 23,8 detik, INR 0,90, SGOT 61 U/l, SGPT 74 U/l, ureum 15 mg/dl, kreatini

1,1 mg/dl, serta Hbs Ag positif. Dari hasil laboratoriumdarah tersebut dapat disimpulkan

bahwa keaadaan umum pasien baik karena kadar hemoglobin yang rendah menggambarkan

berat nya epistaksis yang terjadi. Hal ini berhubungan dengan gejala yang paling sering

ditemukan (lebih dari 80%) pada angiofibroma nasofaring juvenil ialah hidung tersumbat

yang progresif dan epistaksis berulang yang massif yang bisa menurunkan kadar hemoglobin

dalam darah.

Pada pemeriksaan arteriografi tampak gambaran blushing di proyeksi sinus maksilaris

sinistra dan nasofaring sinistra. Gambaran blushing merupakan ciri khas angiofibroma. Polip

angiomatosa mempunyaitampilan hipovaskular atau avaaskular. Arteriografi sebelum

pembedahan diindikasikan untuk menentukan luas lesi, jumlah vaskularisasi dan asal feeding

vessel. Identifikasi suplai darah preoperatif merupakan hal yang penting untukmenentukan

strategi pembedahan yang tepat.3,4 Pada pasien ini belum dilakukan pemeriksaan arteriografi.

Pembedahan merupakan penatalaksaan yang dianjurkan, tetapi terdapat risiko

perdarahan yang besar akibat tingginya vaskularisasi tumor, seringkali lebih besr dari 2000

ml. Embolisasi preoperatif direkomendasikan sebagai prosedur standar untuk mengurangi

kehilangan darah selama operasi, sehingga memungkinkan eksisi total, mengurangi


komplikasi dan meminimalkan residu tumor.1,3,17 Pada pasien ini akan dilakukan rencana

operasi di RS yang berada di wilayah pulau Jawa.

BAB V

PENUTUP

Telah dilaporkan sebuah kasus seorang laki-laki usia 17 tahunyang dirawat di ruang

Kemuning RSUD Ulin Banjarmasin mulai tanggal 16 Mei 2014 sampai dengan 20 Mei 2014.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan

penunjang pasien didiagnosis menderita Susp.Angifibroma nasofaring


juvenildan dirujuk ke luar kota untuk dilakukan operasi. Pasien dirawat selama 5 hari dan

pada hari keenam pasien keluar dari rumah sakit Ulin untuk persiapan operasi di luar kota.

DAFTAR PUSTAKA

1. Nicolai P, Schreiber A, Villaret AB. Juvenil Angiofibroma: Wvolution of Management.

International Journal of Pediatric.2012: 1-11


2. Garca MF, Yuca SA, Yuca K. Juvenil Nasopharyngeal Angiofibroma. Eur J Gen Med.

2010;7(4): 419-25
3. Roberson GH, Price AC, Davis JM, Gulati A. Therapeutic Embolization of Juvenil
Angiomatosa. AJR. 1979;133: 657-63
4. Atalar M, Solak O, Muderris S. Juvenil Nasopharyngeal Angiofibroma: Radiologic

evaluation and Pre-operative embolization. KBB-Forum. 2006; 5(1): 58-61


5. Davis RK. Embolization of Epistaksis and Juvenil Nasopharyngeal Angiofibroma. AJR.
1987;148: 209-18
6. Grooves j.Gray RF. Nasopharynx in : A Synopsis of Otolaringology. Fourth edition.
England:John Wright and Sons Ltd.1985:249
7. Roezin A, Dharmabakti US. Angiofibroma Nasofaring Belia.Dalam : Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Hidung Telinga Tenggorok Kepala dan Leher.Edisi Ke-5 Jakarta:Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.2003:151-2
8. Mashari, Wiyanto BH, Subroto DS. Angiofibroma nasofaring dengan perluasan intra
kranial. Dalam: Soepardjo H, Soenarso BS, Suprihati, dkk, ed. Kumpulan naskah ilmiah
Kongres Nasional XII Perhati. Semarang 2001: 1033 – 37
9. Chew CT.Nasopharynx.In:Scott-Browns Otolaryngology, Fifth
Edition.London:Butterworth International Edition.1987;330-4
10. Radkowski D, McGill T, Healy GB, et al. Angiofibroma. Arch Otolaryngol Head Neck

Surg1996; 122(2):122-129
11. Montag AG, Tretiakova M, Richardson M. Steroid hormone receptor expression in

nasopharyngeal angiofibromas. Consistent expression of estrogen receptor beta. Am J Clin

Pathol2006; 125(6):832-837
12. Moulin G, Chagnaud C, Gras R, et al. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma:

comparison of blood loss during removal in embolized group versus nonembolized group.

Cardiovasc Intervent Radiol1995; 18(3):158-161


13. Reddy KA, Mendenhall WM, Amdur RJ, et al. Long-term results of radiation therapy for

juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Am J Otolaryngol2001; 22(3):172-175


14. Becker W,Naumann HH,Pfalt CR.Ear Nose and Throat Disease. Second Revised

Edition.New York:Thieme Medical Publisher Inc.1994;385-6


15. Verma N, Kumar N, Azad R, Sharma N. Angiomatosa Polyp : A Condition Difficult to

Diagnose. Otorrhinolaryngology Clinics: An International Journal. 2011; 3(2): 93-7


16. Kumar B, Pant B, Jeppu S. Infarcted Angiectatic Nasal Polyp with Bone Erosion and

Pterygopalatine Fossa Involvment-Simulating Malignancy. Case Report and Literature

Review. The Internet Journal of Pathology. 2012; 13(2): 1-10


17. Naz N, Ahmed Z, Shaikh SM, Marfani MS. Juvenil Nasopharyngeal Angiofibroma Role

of Imaging in Diagnosis, Staging and Recurrence. Pakistan Journal Surgery. 2009; 25 (3):

185-9

Anda mungkin juga menyukai