Oleh
Pembimbing
dr. Alex Syamsuddin Sp.THT
BAGIAN/SMF THT
FK UNLAM – RSUD ULIN
BANJARMASIN
JUNI,2014
BAB I
PENDAHULUAN
dengan gambaran epidemiologi dan pola pertumbuhan yang khas. Tumor secara khas
mengenai remaja laki-laki pada masa pubertas, dengan gejala klinis yang khas epistaksis
Angifibroma nasofaring juvenil merupakan tumor jarang di kepala dan leher, tetapi
merupakan tumor yang paling sering di nasofaring. Meskipun secara histologi termasuk
tumor jinak, tetapi tumor sering menunjukkan perilaku destruktif lokal dan agresif,
mempunyai kecenderungan kuat untuk berdarah dan mempunyai angka kekambuhan yang
tinggi. Biopsi merupakan hal yang berbahaya karena potensi terjadi pe rdarahan besar.3,4
dilakukan dengan foto polos, CT scan, MRI maupun arteriografi. Gambaran radilogi yang
khas adalah adanya adanya massa di nasofaring, destruksi tulang, dengan gambaran bowing
di dinding posterior sinus maksilaris (Hofman-Miller sign), yang ada pemeberian kontras
tampak penyangatan kuat dan homogen. Pemeriksaan arteriografi dapat menentukan feeding
Walapun angiofibroma merupakan tumor jinak yang paling sering pada nasofaring, tetapi
jumlahnya kurang dari 0,05% dari tumor kepala danleher.Insiden dari angiofibroma tinggi
dibeberapa bagian dari belahan dunia, seperti pada Timur Tengah dan Amerika. Martin, Ehrlich
dan Abels (1948) melaporkan rata-rata setiap tahunnya dari satu atau dua pasien untuk 2000
pasien yang diobati pada Head and Neck Service of The Memorial Hospital, New York. Di
London, Harrison (1976) mencatat status dari satu per 15000 pasien pada Royal
National Throat, Nose and Ear Hospital dimana didapat kesimpulan bahwa lebih sedikit
angiofibroma di London dibanding di New York. Dilaporkan insiden JNA banyak terjadi di
Mesir dan India. Insiden rata-rata JNA adalah 1 dari 5000-60.000 kasus THT.
Tumor ini tidak berkapsul dan sangat vaskuler namun tidak bermetastasis. Eksisi JNA
yang tidak sempurna dapat menyebabkan rekurensi. Walaupun begitu pada eksisi yang
Beberapa hipotesis tentang asal usul tumor ini sudah dikemukakan tetapi belum ada yang
pembedahan sendiri mempunyai resiko perdarahan yang besar akibat tingginya vaskularisasi
Berikut ini akan dilaporkan sebuah kasus Angifibroma Nasofaring Juvenil pada
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi
Nasofaring
Nasofaring merupakan suatu rongga yang berbentuk mirip kubus, terletak dibelakang
rongga hidung, diatas tepi palatum molle dengan diameter anterior-posterior 2-4 cm, lebar 4
cm yang berhubungan dengan rongga hidung serta telinga tengah melalui koana dan tuba
eustachius. Atap nasofaring dibentuk oleh dasar tengkorak, tempat keluar dan masuknya saraf
Batas-batas nasofaring
Dinding depan (anterior) dibentuk oleh kavum nasi posterior atau disebut juga dengan
koana. Dinding depan ini merupakan lubang yang berbentuk oval yang berhubungan dengan
kavum nasi dan dipisahkan pada garis-garis tengah oleh septum nasi. Dinding atas (superior)
dan belakang (posterior) sedikit menonjol, dinding atas dibentuk oleh basis sfenoid dan basis
oksiput, dinding belakang dibentuk oleh fasia faringobasilaris yang menutup vertebra
servikalis pertama (tulang atlas) dan kedua. Kelenjar limfoid adenoid terletak pada batas
dinding posterior dan atap nasofaring, tetapi kadang-kadang kelenjar adenoid ini dapat
Pada bagian tengah kelenjar ini yang tepatnya di bagian atas muskulus konstriktor
superior terdapat lekukan berbentuk kantong kecil yang disebut bursa faring.Kantong ini
sering membentuk kista dan meradang dan dikenal dengan bursitis dari Thornwaldt. Pada
usia 2 tahun adenoid sering mengalami hipertrofi dan hiperplasia, pertumbuhan ini menjadi
lebih cepat pada usia 3-5 tahun dan sering menyebabkan sumbatan pernafasan melalui hidung
dan tuba eustachius. Setelah usia 5 tahun besarnya relatif menetap dan akan mengalami
involusi setelah masa pubertas, akan tetapi jaringan limfoid masih tetap ada.6
Dinding bawah (inferior), merupakan permukaan atas palatum molle dan
berhubungan dengan orofaring melalui bagian bawah nasofaring yang menyempit yang
disebut dengan istmus faring. Dinding lateral nasofaring merupakan bagian yang terpenting,
dibentuk oleh lamina faringobasilaris dari fasia faringeal dan muskulus konstriktor faring
superior. Pada dinding lateral ini terdapat muara tuba Eustachius, tepi posterior merupakan
tonjolan tulang rawan yang dikenal sebagai torus tubarius, sedangkan fossa Rosenmuller atau
resesus lateralis terdapt pada supero-posterior dari tuba. Jaringan lunak yang menyokong
struktur nasofaring adalah fasia faringobasilar dan muskulus konstriktor faringeus superior
yang dimulai dari basis oksiput tepat di bagian anterior foramen magnum. Fasia ini
foramen jugularis, kanalis karotis,dan kanalis hypoglosus. Struktur ini penting diketahui
nasofaring yang secara histologis jinak namun secara klinis bersifat ganas karena dapat
dapat didesktruksi seperti sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak. Tumor ini sangat
3. Epidemiologi
Angiofibroma merupakan tumor jinak yang paling sering terdapat pada nasofaring,
tetapi jumlahnya kurang dari 0.05% dari tumor kepala dan leher.Tumor ini biasanya paling
banyak terjadi pada laki-laki decade ke-2 antara umur 7-19 tahun. Tumor ini jarang pada usia
4. Etiologi
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak diajukan. Teori –
teori ini secara besar mengklasifikasikannya menjadi dua, yaitu berdasarkan jaringan tempat
asal tumbuh tumor dan adanya gangguan hormonal.8
ruangvaskular pada fasia basalis dan dikemukakan bahwa angiofibroma berasaldari jaringan
ketidakseimbangan hormonal yaitu adanya kekurangan hormon androgen dan atau kelebihan
hormon estrogen. Teori ini didasarkan adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis
kelamin dan usia penderita serta adanya hambatan pertumbuhan pada semua penderita
angiofibroma nasofaring. Diduga tumor berasal dari periosteum nasofaring dikarenakan tidak
5. Patogenesis
Tumor awalnya tumbuh di bawah mukosa ditepi sebelah posterior dan lateral koana
diatap nasofaring. Tumor yang kaya akan aliran darah ini memperoleh aliran darah dari arteri
faringeal asenden atau arteri maksilaris interna. Tumor akan tumbuh besar dan meluas kearah
anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong septum yang ke sisi kontralateral dan dapat
memipihkan konka. Perluasan kearah lateral, tumor melebar kearah foramen sfenopalatina,
masuk ke fisura pterigomaksila dan akan mendesak dinding posterior sinus maksila. Bila
tumor meluas terus, tumor akan masuk ke fossa intra temporal dan masuk ke intra kranial
melalui fossa infra temporalis dan pterigomaksila. Apabila tumor telah mendorong salah satu
atau kedua bola mata maka tampak gejala yang khas pada wajah yaitu “muka kodok”.
Selanjutnya tumor kemudian akan meluas dan masuk ke fossa serebri media.8
6. Manifestasi Klinis
a. Gejala
Gejala hidung tersumbat merupakan gejala awal yang paling sering ditemukan pada
angiofibroma nasofaring juvenile. Adanya obstruksi hidung ini akan dapat memudahkan
terjadinya penimbunan sekret sehingga akan timbul rinorea yang bersifat kronis dan diikuti
dengan gangguan penciuman baik berupa hiposmia sampai dengan anosmia. Pada perluasan
tumor ke tuba eustachius akan tampak gejala–gejala pada telinga seperti penurunan
pendengaran sampai dengan sakit pada telinga. Perkembangan perluasan tumor lebih lanjut
yang telah mengenai tuba eustachius akhirnya dapat juga menimbulkan gejala – gejala pada
Epistaksis yang massif dan berulang merupakan tanda – tanda nasofaring paling dini
pembengkakan pada langit–langit mulut dan trismus merupakan tanda – tanda bahwa tumor
telah menyebar ke fossa infratemporal.Tuli konduktif dan otalgia diakibatkan karna obstruksi
tuba eustachius.Perluasan ke rongga kranial dapat dikoreksi dengan adanya penglihatan dobel
(diplopia) yang dikeluhkan oleh pasien karena tumor telah mulai menekan kiasma optik.
Sakit kepala yang berat dapat menunjukkan bahwa tumor sudah meluas ke intracranial.8
b. Pemeriksaan Fisik
mengkoreksi tumor dari luar. Pada pemeriksaan ini akan dapat melihat massa tumor, warna
yang bervariasi mulai dari abu-abu hingga sampai merah muda. Bagian tumor yang terlihat di
nasofaring biasanya diliputi oleh selaput lender bewarna keunguan dan yang meluas keluar
nasofaring bewarna pitih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya merah muda, pada usia
yang lebih tua warnanya lebih kebiruan. Hal ini dikarenakan komponen fibroma yang
pemeriksaan arteriografi. Pada pemeriksaan CT Scan akan terlihat gambaran klasik yang
vaskularisasi tumor yang biasanya berasal dari cabang a.maksila interna homolateral. Arteri
maksilaris interna akan terdorong kedepan sebagai akibat dari pertumbuhan tumor dari
posterior ke anterior dan dari nasofaring kearah fossa pterigimaksila. Selain itu, masa tumor
akan terisi oleh kontras pada fase kapiler dan akan mencapai maksimum setalah 3-6 detik zat
kontras disuntikkan. Pemeriksaan patologik anatomik tidak dapat dilakukan, karena biopsi
yang masif. Pada kasus ini diperlukan pemeriksaan Hb untuk mengoreksi anemia yang
kronis.7
klasifikasi Session dan Fisch. Hal ini penting guna untuk menentukan jenis penatalaksanaan
8. Diagnosis banding
9. Stadium
10. Penatalaksanaan
Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi hormonal, radioterapi.
Operasi harus dilakukan dengan hati – hati mengingat komplikasi perdarahan yang hebat
akan terjadi.Terapi hormonal yang biasa diberikan yaitu dietilstilbestrol yang dosisnya 5 mg
tumor. Embolisasi dilakukan dengan memasukkan suatu zat melalui arteri karotis eksterna
perdarahan yang banyak dapat dilakukan ligasi arteri karotis eksterna dan anastesi dengan
teknik hipoestesi. Berbagai pendekatan operasi dapat dilakukan sesuai dengan lokasi tumor
dan perluasanya seperti melalui transpalatal, rinotomi lateral, rinotomi sublabial atau
kombinasi dengan kraniotomi frontotemporal bila diduga tumor telah meluas ke ruang
intrakranial.7
Untuk tumor yang sudah meluas ke jaringan sekitarnya dan telah mendestruksi dasar
tengkorak sebaiknya diberikan radioterapi prabedah atau dapat pula diberikan terapi
hormonal dengan preparat testosterone reseptor bloker (flutamid) 6 minggu sebelum operasi
11. Prognosis
Pembedahan untuk tumor yang masih berada diekstra kranial memberikan hasil yang
lebih optimal dibandingkan untuk tumor yang telah berada diintra kranial.Angka
kesembuhannya turun 30%. Resiko rekurensi untuk angiofibroma untuk semua kasus ±20.14
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama: Ronaldo
Umur : 17 tahun
No. RMK : 1109588
Bangsa : Indonesia
Suku : Banjar
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Teweh Pupuh
MRS : 16 Juni 2014
II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Hidung tersumbat
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
± 3 bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluhkan kedua hidung tersumbat
diiringi mimisan dari kedua hidung yang muncul tiba-tiba tanpa penyebab. Mimisan
berhenti sendiri jika hidung dipencet. Mimisan hilang timbul dan dapat muncul
tanpa ada provokasi. Keluhan mimisan berkurang sejak 1 bulan sebelum masuk
rumah sakit. Keluhan hidung tersumbat juga diikuiti dengan menurunnya fungsi
penghidu. Keluhan tidak disertai dengan nyeri telinga,keluar cairan dari telinga
dapatkan hasil HbsAg postif.Oleh dokter Kandangan pasien di duga menerita ANJ
III.
JJJ. M
KKK.
Leher
Mata :
- konjungtiva pucat (-/-)
- sklera ikterik (-/-)
- refleks cahaya (+/+)
- diplopia (-/-)
: mukosa lembab, pucat (-)
:
- tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
- Jugular venous pressure tidak meningkat
C. Pemeriksaan
Thoraks Paru
Inspeksi : Gerakan nafas simetris, retraksi (-)
Palpasi : Fremitus vokal simetris, nyeri tekan tidak ada
Perkusi : Sonor (+/+), nyeri ketuk tidak ada
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus dan pulsasi tidak terlihat
Palpasi : Apeks teraba pada ICS V LMK kiri, Thrill (-)
Perkusi : Batas kanan ICS II-IV LPS Dextra
Batas kiri ICS II-IV LMK Sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II tunggal
Murmur tidak ada
D. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Tampak datar, vena kolateral (-), scar (-), distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Hepar, lien, massa tidak teraba,
Perkusi : Timpani
E. Pemeriksaan Ekstremitas
Atas : Akral hangat, edem (-/-), parese (-/-)
Bawah : Akral dingin, edem (-/-), parese (-/-)
F. Pemeriksaan Tulang Belakang
Dalam batas normal, nyeri (-), tidak tampak skoliosis, kifosis, lordosis.
G. Status Lokalis
Telinga
Inspeksi : bentuk normal, hiperemis (-/-), hematoma (-/-), edem (-/-),
abses (-/-), sekret (-/-),
Palpasi : tragus pain (-/-), mastoid pain (-/-), pembesaran KGB (-/-)
Otoskopi: membran timpani intake, refleks cahaya (+/+)
Tes pendengaran :
Rinne : +
Weber : lateralisasi (-)
Swabach : sama dengan pemeriksa
Hidung
Inspeksi : bentuk normal, deformitas (-), hiperemis (-),
RA : deviasi septum (-/-), massa (+/+) keabu-abuan., sekret (-/-)
RP : sulit dievaluasi
Tenggorokan
Inspeksi : mukosa bibir lembab, mukosa bukal lembab, edema (-),
hiperemi (-), uvula simetris posisi tengah, tonsil ukuran
normal, detritus (-)
Kelenjar getah bening : pembesaran kelenjar getah bening (-)
RDW-CV 17 11,5-14,7 %
MCV-MCH-MCHC
Hitung Jenis
PROTHROMBIN TIME
INR 0,90 -
KIMIA
GULA DARAH
HATI
SGOT 61 0 – 46 U/l
SGPT 74 0 – 45 U/l
GINJAL
Ureum 15 10 – 50 mg/dL
disingkirkan.
Saran : MSCT Head
etmoidalis, berukuran 4x3x4 cm. Pada post contras memebrikan enhancemenet kuat
(HU pre 40, post 100). Tampak tulang sphenoid wing kanan erosi, tidak tampak
fraktur. Daerah orofaring dan hipofaring terbuka
Kelenjar parotis dan tiroid kanan kiri tidak tampak nodul
Tidak tampak pemebesaran KGB colli kanan/kiri Tidak
tampak lesi densitas patologis intracranial Kesimpulan :
Sugestif Juvenil Angiofibroma
V. DIAGNOSA BANDING
Angifibroma nasofaring juvenil
Karsinoma nasofaring
Polip angiomatosa
VI. DIAGNOSA
Susp.Angiofibroma nasofaring juvenil
VII. PENATALAKSANAAN
Operatif
I. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
VIII. FOLLOW UP
O : TD : 110/80 N : 84 kali/menit
RR : 26 kali/menit T : 36,7ºC
P : IVFD Rl 20 tpm
O : TD : 120/80 N : 76 kali/menit
RR : 26 kali/menit T : 36,5ºC
P : IVFD Rl 20 tpm
O : TD : 120/80 N : 80 kali/menit
RR : 26 kali/menit T : 36,5ºC
A : Angiofibroma nasofaring juvenil
P : IVFD Rl 20 tpm
O : TD : 110/80 N : 88 kali/menit
RR : 27 kali/menit T : 37 ºC
O : TD : 110/80 N : 80kali/menit
RR : 26 kali/menit T : 37,5ºC
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini dilaporkan, laki-laki berusia 17 tahun mendapatkan perawatan di ruang
Kemuning RSUD Ulin Banjarmasin.Pasien dirawat dari tanggal 16Juni 2014 hingga tanggal
20 Juni 2014. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien
didiagnosis Angiofibroma nasofaring juvenil dan direncanakan dirujuk ke luar kota untuk
dilakukan operasi.
Pada anamnesis didapatkan ± 3 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien
mengeluhkan kedua hidung tersumbat diiringi mimisan dari kedua hidung yang muncul tiba-
tiba tanpa penyebab.Mimisan berhenti sendiri jika hidung dipencet.Mimisan hilang timbul
dan dapat muncul tanpa ada provokasi. Keluhan mimisan berkurang sejak 1 bulan sebelum
masuk rumah sakit. Keluhan hidung tersumbat juga diikuiti dengan menurunnya fungsi
penghidu. Keluhan tidak disertai dengan nyeri telinga,keluar cairan dari telinga maupun
pipi dan rahang susah dibuka (trismus).Pasien sudah di bawa ke RS Tamiyang Layang
Kalimantan Tengah lalu dirujuk ke RSUD Tanjung dan dirujuk lagi ke RS Kandangan. Di
sana pasien diperiksa laboratorium di dapatkan hasil HbsAg postif. Oleh dokter Kandangan
pasien di duga menderita ANJ dan disarankan untuk CT scan sehingga di rujuk ke RSUD
Ulin Banjarmasin.
nasofaring juvenil antara lain:gejala hidung tersumbat merupakan gejala awal yang paling
sering ditemukan pada angiofibroma nasofaring juvenile. Adanya obstruksi hidung ini akan
dapat memudahkan terjadinya penimbunan sekret sehingga akan timbul rinorea yang bersifat
kronis dan diikuti dengan gangguan penciuman baik berupa hiposmia sampai dengan
anosmia. Pada perluasan tumor ke tuba eustachius akan tampak gejala–gejala pada telinga
seperti penurunan pendengaran sampai dengan sakit pada telinga. Perkembangan perluasan
tumor lebih lanjut yang telah mengenai tuba eustachius akhirnya dapat juga menimbulkan
Epistaksis yang massif dan berulang merupakan tanda – tanda nasofaring paling dini
pembengkakan pada langit–langit mulut dan trismus merupakan tanda – tanda bahwa tumor
telah menyebar ke fossa infratemporal.Tuli konduktif dan otalgia diakibatkan karna obstruksi
tuba eustachius.Perluasan ke rongga kranial dapat dikoreksi dengan adanya penglihatan dobel
(diplopia) yang dikeluhkan oleh pasien karena tumor telah mulai menekan kiasma optik.
Sakit kepala yang berat dapat menunjukkan bahwa tumor sudah meluas ke intracranial.8
Pada pasien ini didapatkan gejala berupa hidung tersumbat sejak 3 bulan yang lalu
disertai epistaksis berulang dan penurunan fungsi penghidu yang terjadi tiba-tiba tanpa
adanya riwayat trauma. Pada pemeriksaan fisik pada hidung didapatkan massa dikedua
rongga hidung bewarna keabu-abuan, tidak nyeri, dan mudah berdarah. Hal ini sesuai dengan
Dari hasil laboratoriumdarah pada tanggal 16 Juni 2014, didapatkan nilai hemoglobin
11,5 g/dl, leukosit 8000 ribu/ul,4,56 juta/ul, hematokrit 36,3 vol%, trombodit 330 ribu/ul, PT
10,2 detik, APTT 23,8 detik, INR 0,90, SGOT 61 U/l, SGPT 74 U/l, ureum 15 mg/dl, kreatini
1,1 mg/dl, serta Hbs Ag positif. Dari hasil laboratoriumdarah tersebut dapat disimpulkan
bahwa keaadaan umum pasien baik karena kadar hemoglobin yang rendah menggambarkan
berat nya epistaksis yang terjadi. Hal ini berhubungan dengan gejala yang paling sering
ditemukan (lebih dari 80%) pada angiofibroma nasofaring juvenil ialah hidung tersumbat
yang progresif dan epistaksis berulang yang massif yang bisa menurunkan kadar hemoglobin
dalam darah.
Gejala hidung tersumbat dan mimisan dapat terjadi pada polip nasi maupun
angiofibroma nasofaring. Polip nasi angiomatosa mempunyai gejala dan tanda yang mirip
dengan angiofibroma nasofaring. Perbedaan antara keduanya terletak pada predileksi umur
dan jenis kelamin, dan letak serta perluasan lesi. Polip nasi angiomatosa tidak mempunyai
predileksi jenis kelamin. Hal ini berbeda dengan angiofibroma nasofaring, yang mempunyai
predileksi jenis kelamin laki-laki dan umur remaja. Selain dari epidemiologi, perbedaan polip
maupun ke intrakranial.15,16
Pada CT scan polip angiomatosa tidak menyangat atau hanya menyangat minimal,
sedangkan pada angiofibroma nasofaring menyangat kuat. Letak lesi yang berada di
nasofaring juga menyingkirkan diagnosa polip.Pada CT scan pasien ini tampak massa
jaringan lunak, batas tidak tegas, irregular yang menempati daerah foramen sphenopalatina
kanan yang meluas ke dalam cavum nasi posterior, nasopharyng, fossa pterygopalatina, dan
sinus maksilaris kanan, sphenoidalis dan etmoidalis, berukuran 4x3x4 cm. Pada post contras
memberikan enhancemenet kuat (HU pre 40, post 100). Tampak tulang sphenoid wing kanan
erosi, tidak tampak fraktur.Daerah orofaring dan hipofaring terbuka.Kelenjar parotis dan
tiroid kanan kiri tidak tampak nodul.Tidak tampak pemebesaran KGB colli kanan/kiri.Tidak
tampak lesi densitas patologis intracranial. Dari hasil CT scan tersebut maka diagnosa yang
paling sering karsinoma nasofaring. Karsinoma nasofaring dapat terjadi pada semua usia,
walaupun lebih sering terjadi pada dekade kelima dan keenam. Gambaran radiologi
limfonodi servikal.
banyak. Karena hipervaskularisasi dari tumor ini maka biopsi tidak dianjurkan, karena dapat
mempunyai predileksi yang khas pada remaja laki-laki sehingga disebut angiofibroma
nasofaring juvenil.3,4
Etiologi angifibroma nasofaring juvenil tidak diketahui tetapi diduga berhubungan
dengan hormon seks. Pengamatan yang menunjukkan tumor secara khas muncul pada remaja
laki-laki, dan bahwa lesi sering regresi setelah perkembangan lengkap karakteristik seks
sekunder memberikan bukti pengaruh hormonal pada pertumbuhan tumor. Terdapat bukti
Dari hasil laboratoriumdarah pada tanggal 16 Juni 2014, didapatkan nilai hemoglobin
11 g/dl, leukosit 8000 ribu/ul,4,56 juta/ul, hematokrit 36,3 vol%, trombodit 330 ribu/ul, PT
10,2 detik, APTT 23,8 detik, INR 0,90, SGOT 61 U/l, SGPT 74 U/l, ureum 15 mg/dl, kreatini
1,1 mg/dl, serta Hbs Ag positif. Dari hasil laboratoriumdarah tersebut dapat disimpulkan
bahwa keaadaan umum pasien baik karena kadar hemoglobin yang rendah menggambarkan
berat nya epistaksis yang terjadi. Hal ini berhubungan dengan gejala yang paling sering
ditemukan (lebih dari 80%) pada angiofibroma nasofaring juvenil ialah hidung tersumbat
yang progresif dan epistaksis berulang yang massif yang bisa menurunkan kadar hemoglobin
dalam darah.
sinistra dan nasofaring sinistra. Gambaran blushing merupakan ciri khas angiofibroma. Polip
pembedahan diindikasikan untuk menentukan luas lesi, jumlah vaskularisasi dan asal feeding
vessel. Identifikasi suplai darah preoperatif merupakan hal yang penting untukmenentukan
strategi pembedahan yang tepat.3,4 Pada pasien ini belum dilakukan pemeriksaan arteriografi.
perdarahan yang besar akibat tingginya vaskularisasi tumor, seringkali lebih besr dari 2000
BAB V
PENUTUP
Telah dilaporkan sebuah kasus seorang laki-laki usia 17 tahunyang dirawat di ruang
Kemuning RSUD Ulin Banjarmasin mulai tanggal 16 Mei 2014 sampai dengan 20 Mei 2014.
pada hari keenam pasien keluar dari rumah sakit Ulin untuk persiapan operasi di luar kota.
DAFTAR PUSTAKA
2010;7(4): 419-25
3. Roberson GH, Price AC, Davis JM, Gulati A. Therapeutic Embolization of Juvenil
Angiomatosa. AJR. 1979;133: 657-63
4. Atalar M, Solak O, Muderris S. Juvenil Nasopharyngeal Angiofibroma: Radiologic
Surg1996; 122(2):122-129
11. Montag AG, Tretiakova M, Richardson M. Steroid hormone receptor expression in
Pathol2006; 125(6):832-837
12. Moulin G, Chagnaud C, Gras R, et al. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma:
comparison of blood loss during removal in embolized group versus nonembolized group.
of Imaging in Diagnosis, Staging and Recurrence. Pakistan Journal Surgery. 2009; 25 (3):
185-9