Anda di halaman 1dari 22

TUGAS MAKALAH PERENCANAAN PERPAJAKAN MENGENAI

TRANSFER PRICING

Diajukan untuk Melengkapi


Tugas-Tugas Matakuliah
Perencanaan Perpajakan

Oleh

Putri Sesti Maulidya 1201103010113

FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM-BANDA ACEH
2015
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perusahaan yang melakukan pengembangan bisnisnya secara pesat, selalu melakukan


diversivikasi usahanya untuk memasuki berbagai pasar.Diversivikasi merupakan sutu usaha
manajemen puncak untuk menghadapi ketidakpastiaan yang semakkin tinggi dalam lingkungan
bisnis yang semakin kompleks. Semakin luas proses diversivikasi yang dilakukan oleh
manajemen puncak, semakin diperlukan metode-metode untuk mengintegrasi unit-unit
organisasi yang telah dibentuk. Harga transfer merupakan salah satu alat untuk menciptakan
mekanisme integrasi dalam perusahaan yang mendiversisifikasi.

Masalah penentuan Harga Transfer dijumpai dalam perusahaan yang organisasinya


disusun menurut pusat – pusat laba, dan antara pusat laba yang dibentuk terjadi transfer barang
atau jasa. Latar belakang timbulnya masalah harga transfer dapat dihubungkan dengan proses
diferensiasi bisnis dan perluna integrasi dalam organisasi yang telah melakukan diferensiasi
bisnis
BAB II

ISI

2.1 Definisi Transfer Pricing

Ada beberapa pengertian tentang Transfer Pricing yang di kemukakan oleh para ahli,
diantaranya:
1. Gunadi
Transfer pricing merupakan jumlah harga atas penyerahan barang atau imbalan atas
penyerahan jasa yang telah di sepakati oleh kedua belah pihak dalam transaksi bisnis
finansial maupun transaksi lainnya.
2. Darussalam dan Danny Septriadi
Transfer pricing merupakan bagian dari suatu kegiatan usaha dan perpajakan yang
bertujuan untuk memastikan apakah harga yang diterapkan dalam transaksi antara
perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa telah didasarkan atas prinsip harga
pasar wajar (arm’s length price principle)
3. Mohammad Zain
Harga transfer merupakan harga yang diperhitungkan untuk mengendalian manajemen
atas transfer barang dan jasa antar-pusat pertanggungjawaban laba atau biaya, termasuk
determinasi harga untuk barang, imbalan atas jasa, tingkat bunga pinjaman, beban atas
persewaan dan metode pembayaran serta pengiriman uang.

Dari ketiga definisi tentang transfer pricing di atas, dapat kita ambil persamaannya
bahwa transfer pricing merupakan harga yang ditimbulkan atas penyerahan barang, jasa atau
harta tak berwujud lainnya dari satu perusahaan ke perusahaan lain yang masih terikat dalam
hubungan kepemilikan.
Transfer pricing dapat terjadi dalam satu grup perusahaan dan antar perusahaan yang
terikat dalam hubungan istimewa.
Dalam suatu grup perusahaan, transfer pricing sering disebut dengan istilah
intracompany pricing, intercorporate pricing, interdivisional pricing, dan internal pricing.Istilah
tersebut menunjukkan bahwa pengaturan harga tersebut tidak sebatas kepada pengaturan harga
antar-perusahaan dalam satu grup perusahaan saja, tetapi dapat pula terjadi pengaturan harga
antara-divisi pada satu perusahaan.
Pengertian transfer pricing sebagai harga yang ditimbulkan akibat penyerahan barang,
jasa dan harta tak berwujud, seperti yang telah disebutkan di atas merupakan pengertian yang
netral. Akan tetapi, istilah transfer pricing sering dikonotasikan sebagai sesuatu yang tidak baik
(abuse of transfer pricing), yaitu pengalihan atas penghasilan kena pajak (taxation income) dari
suatu perusahaan multi-nasional ke negara-negara yang tarif pajaknya rendah dalam rangka
untuk mengurangi total beban pajak dari grup perusahaan nasional tersebut.Adapun pengertian
transfer pricing manipulation sendiri diartikan sebagai suatu kegiatan untuk memperbesar biaya
atau merendahkan tagihan yang bertujuan untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang.
Dengan demikian, manipulasi transfer pricing dapat dilakukan dengan cara memperbesar
biaya atau memperkecil penjualan melalui mekanisme harga transfer dengan tujuan untuk
mengurangi pembayaran pajak. Sehingga, manipulasi transfer pricing terjadi dengan cara
menetapkan harga transfer menjadi “terlalu besar atau terlalu kecil” dengan maksud untuk
memperkecil jumlah pajak yang terutang.8 Karena dengan memperkecil jumlah pajak yang
terutang, keuntungan yang diterima oleh perusahaan multi-nasional akan semakin besar

Dampak dari praktek transfer pricing adalah harga yang menjadi terlalu tinggi
(overpricing) atau harga yang menjadi terlalu rendah (underpricing). Hal ini mendorong
pemerintah untuk menetapkan regulasi tertentu terhadap harga transfer, termasuk perhitungan
kembali laba usaha. Dengan maksud mencegah erosi basis pajak dan netralitas pemajakan. Di
Indonesia regulasi tersebut tertuang dalam pasal 18 ayat (2) undang-undang pajak penghasilan
(UU PPh).
Ayat (2)

(2) Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak
dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang
menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling rendah 50%
(lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau
b. Secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan
modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor

Contoh:
PT A dan PT B masing-masing memiliki saham sebesar 40% dan 20% pada X Ltd yang
bertempat kedudukan di negara Q. Saham X Ltd tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek.
Pada tahun 2009, X Ltd memperoleh laba setelah pajak sejumlah Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah). Dalam hal demikian, Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat
diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya.

2.2 Perusahaan Multinasional


Perusahaan Multinasional (Multinational Corporation/MNC) adalah perusahaan yang
beroperasi melewati lintas batas antarnegara, yang terikat hubungan istimewa, baik karena
penyertaan modal saham, pengendalian manajemen atau penggunaan teknologi; dapat berupa
anak perusahaan, cabang perusahaan, agen, dan sebagainya dengan berbagai motif.

Ada tiga motif utama berdirinya MNC :


 Bermotif memperluas usahanya dalam rangka mencari bahan baku (raw material seeker) dan
menjual produknya ke luar negeri. Bahkan, pemerintah tidak tahu berapa banyak dan apa saja
yang dihasilkan oleh perusahaan asing tersebut (seperti PT Freeport (timah dan emas) di Irian
Jaya, PT Caltex (minyak) di Riau, dan PT Port Newman (minyak) di Batu Binjai NTB).
 Bermotif mencari pasar (market seeker). Setelah terpenuhinya pasar dalam negara tersebut,
perusahaan multinasional ini berusaha mencari pasar-pasar baru untuk memasarkan
produknya. Hal ini dapat memperluas jangkauan pemasaran barang tersebut.
 Bermotif menimumkan biaya (cost minimazer), seperti keringanan pajak, tenaga kerja
murah, harga tanah murah, biaya pengolahan limbah dengan syarat ringan, menghindari
adanya batasan kuota di negaranya, dan pelayanan purnajual cepat.

2.3 Hubungan Istimewa

Terdapat hubungan istimewa antara induk perusahaan dengan anak perusahaannya atau
cabang-cabangnya atau perwakilannya yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri, di
Indonesia diatur dalam Pasal 18 ayat (3), (3a), dan (4) UU PPh, yang menyatakan sebagai
berikut:
(3) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan
pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan
Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi
oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak
yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya.
(3a) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja
sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-
pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang
berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan
renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.
(4) Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3)sampai dengan ayat (3d), Pasal 9
ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah
25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak
dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak
atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di
bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
c. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus
dan/atau ke samping satu derajat.

2.4 Transfer Pricing

Pengertian Harga Transfer

Harga transfer sering disebut intracompany pricing, intercorporate pricing, interdivisional


pricing, atau internal pricing. Pengertian harga transfer bisa dibagi menjadi dua, yaitu pengertian
yang bersifat netral dan pengertian yang bersifat peyoratif.
 Pengertian Netral

Dengan asumsi bahwa transfer pricing merupakan murni strategi dan taktik bisnis tanpa
motif pengurangan beban pajak. Menurut Dr. Gunandi, M.Sc., Ak., harga transfer adalah
penentuan harga atau imbalan sehubungan dengan penyerahan barang, jasa, atau
pengalihan teknologi antarperusahaan yang mempunyai hubungan istimewa.
 Pengertian Peyoratif

Dengan asumsi bahwa transfer pricing sebagai upaya untuk menghemat beban pajak
dengan taktik, antara lain menggeser laba ke negara yang tarif pajaknya rendah. Menurut
Prof. Dr. Rochmat Soemitrro, S.H., transfer pricing adalah suatu perbuatan pemberian
harga faktur (invoice) pada barang-barang (juga jasa-jasa) yang diserahkan antarbagian/
cabang suatu perusahaan multinasional.

Tujuan Harga Transfer

Transfer pricing multinasional berhubungan dengan transaksi antardivisi dalam satu unit
hukum (entitas) atau antarentitas dalam satu kesatuan ekonomi yang meliputi berbagai wilayah
kedaulatan negara.

Tujuan yang ingin dicapai dalam harga transfer antara lain sebagai berikut:
1. Memaksimalkan penghasilan global
2. Mengamankan posisi kompetitif anak/ cabang perusahaan dan penetrasi pasar
3. Evaluasi kinerja anak/ cabang perusahaan mancanegara
4. Menghindarkan pengendalian devisa
5. Mengatrol kreditabel asosiasi
6. Mengurang resiko moneter
7. Mengatur cash flow anak/ cabang yang memadai
8. Membina hubungan baik dengan administrasi setempat
9. Mengurangi beban pengenaan pajak dan bea masuk
10.Mengurangi resiko pengambilalihan oleh pemerintah

Metode Harga Transfer


Beberapa metode harga transfer yang sering digunakan oleh perusahaan-perusahaan
multinasional dan divisionalisasi/ departementasi dalam melakukan aktifitas keuangannya
adalah:
1. Harga Transfer Dasar Biaya (Cost-Based Transfer Pricing)
Perusahaan yang menggunakan metode transfer atas dasar biaya menetapkan harga transfer
atas biaya variabel dan tetap yang bisa dibagi dalam tiga pemilihan bentuk, yaitu biaya penuh
(full cost), biaya penuh ditambah mark-up (full cost plus markup), dan gabungan antara biaya
variabel dan tetap (variable cost plus fixed fee).
2. Harga Transfer atas Dasar Harga Pasar (Market Basis Transfer Pricing)
Apabila ada suatu pasar yang sempurna, metode transfer pricing atas dasar harga pasar inilah
merupakan ukuran yang paling memadai karena sifatnya yang independen. Namun
keterbatasan informasi pasar terkadang menjadi kendala dalam mengunakan transfer pricing
yang berdasarkan harga pasar.
3. Harga Transfer Negosiasi (Negotiated Transfer Prices)
Dalam ketiadaan harga, beberapa perusahaan memperkenankan divisi-divisi dalam
perusahaan yang berkepentingan dengan transfer pricing untuk menegosiasikan harga transfer
yang diinginkan. Harga transfer negosiasian mencerminkan prespektif kontrolabilitas yang
inheren dalam pusat-pusat pertanggungjawaban karena setiap divisi yang berkepentingan
tersebut pada akhirnya yang akan bertanggung jawab atas harga transfer yang dinegosiasikan.
4. Penentuan Harga Berdasarkan Arbitrase
Pendekatan ini menekankan pada harga transfer berdasarkan interaksi kedua divisi dan pada
tingkat yang dianggap terbaik bagi kepentingan perusahaan tanpa adanya pemaksaan oleh
salah satu divisi mengenai keputusan akhir. Pendekatan ini mengesampingkan tujuan konsep
pusat pertanggungjawaban laba.

Berikut ini akan diberikan sebuah ilustrasi untuk memperjelas praktek transfer pricing yang
biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Perusahaan induk (parent
company) yang terletak di Belgia memproduksi suatu produk dengan harga pokok Rp 100. Tarif
pajak yang berlaku di negara tersebut adalah 42%. Untuk menghindari pengenaan pajak dengan
tarif yang tinggi, perusahaan induk memutuskan untuk menjual produk tersebut ke anak
perusahaan yang ada di Puerto Rico dengan harga transfer yang sama dengan harga pokok yaitu
Rp 100, sehingga pajak yang terutang atas transaksi penjualan antara perusahaan induk dan anak
perusahaan adalah Rp 0.
Hal ini disebabkan karena harga transfer yang digunakan sama dengan harga pokok produk,
sehingga atas transaksi ini tidak menimbulkan laba yang akan dikenakan pajak. Rekayasa atas
harga transfer ini dibuat untuk menghindari pajak dengan tarif yang tinggi yang berlaku di
negara tempat perusahaan induk berada. Kemudian barang yang sudah dibeli, dijual oleh anak
perusahaan di Puerto Rico ke anak perusahaan lain yang ada di Amerika dengan harga transfer
Rp 200. Tarif pajak yang berlaku di negara Puerto Rico adalah 0%. Transaksi penjualan ini
menimbulkan laba sebesar Rp 100. Atas laba yang timbul, seharusnya terutang pajak. Akan
tetapi, karena tarif pajak yang berlaku di negara tersebut 0%, maka pajak yang terutang atas laba
yang dihasilkan adalah sebesar Rp 0. Kemudian barang yang sudah dibeli oleh anak perusahaan
yang ada di Amerika dijual kembali ke perusahaan yang tidak mempunyai hubungan istimewa di
negara yang sama, dengan harga jual Rp 200. Kebijaksanaan menetapkan harga jual ini
dimaksudkan untuk menghindari pajak dengan tarif yang tinggi yang berlaku di negara yang
bersangkutan. Asumsi tarif pajak yang berlaku di negara Amerika 35%. Selanjutnya dapat
dihitung bahwa pajak terutang atas transaksi penjualan ini adalah sebesar Rp 0.
Hal ini disebabkan karena harga jual atas produk tersebut sama dengan harga pokok
pembelian barang, sehingga laba yang timbul atas transaksi ini adalah Rp 0. Kesimpulan yang
dapat ditarik dari transaksi-transaksi di atas adalah betapa pentingnya mengetahui tarif pajak
yang berlaku di suatu negara sebelum mengambil keputusan untuk melakukan transaksi
penjualan dan pembelian barang. Tabel di bawah ini akan memperjelas ilustrasi di atas.

Tabel Praktik Transfer Pricing pada Perusahaan Multinasional


Perusahaan Induk Anak Perusahaan di Anak Perusahaan
di Belgia Puerto Rico di Amerika
Penjualan $ 100 $ 200 $ 200
Harga Pokok Penjualan $ 100 $ 100 $ 200

Laba $ 0 $ 100 $ 0

Tarif Pajak 42% 0% 35%

Pajak Terutang $ 0 $ 0 $ 0

Masalah transfer pricing ini perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut dari pemerintah
setempat, karena terkadang anak perusahaan yang didirikan dalam suatu negara hanya bersifat
sebagai transit place atau tempat persinggahan semata. Suatu survey yang dilakukan oleh Ernst
& Young LLp, 1999 menemukan bahwa masalah transfer pricing merupakan masalah utama
dalam bidang perpajakan selama kurun waktu dua tahun terakhir yang terjadi pada perusahaan-
perusahaan multinasional di seluruh dunia. Oleh karena itu, banyak kantor akuntan publik
melakukan audit compliance, untuk melakukan pemeriksaan atas masalah transfer pricing ini
yang memang berpengaruh terhadap jumlah pajak yang harus dibayarkan.
Biasanya cegah tangkal yang dilakukan oleh negara-negara dengan adanya transfer
pricing adalah membuat suatu kewenangan, di mana pemerintah diberikan wewenang untuk
menentukan kembali dengan cara me-realokasikan kembali jumlah laba dan biaya-biaya yang
timbul di perusahaan multinasional yang notabene punya beberapa divisi, sehingga laba dan
biaya-biaya yang timbul sebagai hasil transaksi antardivisi tersebut yang ditengarai sebagai suatu
praktek transfer pricing yang bisa meminimalkan pajak terutang dapat dicegah. U.S.- Based
multinationals are subject to Internal Revenue Code Section 482 on the pricing of intercompany
transactions. This section gives the IRS the authority to reaalocate income and deductions
among divisions if it believes that such reallocation will reduce potentiak tax evasion (Hansen
and Mowen, 1996:543). Lebih lanjut ditegaskan bahwa dalam IRS, apabila terjadi transaksi
antardivisi dalam perusahaan multinasional atau terjadi transaksi dalam perusahaan yang
mempunyai hubungan istimewa, maka harga yang berlaku adalah harga yang timbul apabila
transaksi tersebut dilakukan dengan pihak-pihak di luar perusahaan, atau dengan kata lain,
transaksi dilakukan dengan pihak-pihak yang tidak punya hubungan istimewa. That is, the
transfer pricing set should match the price that would be set if the transfer were being made by
unrelated parties, adjusted for diffrences that have a measurable effect on the price (Hansen and
Mowen, 1996:543). (http://muttaqinhasyim.wordpress.com/2009/05/17/transfer-pricing-dalam-
praktek-perpajakan-internasional/)

Di Indonesia sendiri, kasus yang terjadi di PT Adaro Indonesia yang terkait dengan
praktik transfer pricing masih tersimpan dalam ingatan kita. PT Adaro dituduh menjual batu bara
jauh di bawah harga pasar kepada perusahaan afiliasinya di Singapura, yakni Coaltrade Services
International Pte, Ltd. Harga jual yang ditetapkan yakni sebesar $25 pada tahun 2005 dan $29
pada tahun 2006, padahal pada akhir 2007 harga batu bara menembus harga $95 per ton.
Coaltrade merupakan semacam perusahaan boneka, karena struktur kepemilikannya pun sama
dengan Adaro. Setelah membeli dengan harga murah, kemudian Coaltrade menjual batu bara
tersebut dengan harga pasar, dan mendulang untung besar. Sehingga, dengan transfer pricing
tersebut grup mereka diuntungkan, karena Coaltrade hanya terkena pajak penghasilan Singapura
sebesar 10%, jauh lebih kecil dibandingkan dengan Indonesia yakni 45%. Praktik-praktik seperti
inilah yang diperkirakan juga marak terjadi pada perusahaan multinasional lainnya, yakni
melakukan transfer pricing demi menghindari pajak dengan memanfaatkan tax heaven countries.
(http://nazrulfestive77.wordpress.com/2011/01/20/transfer-pricing-hubungan-istimewa-dan-
metode-identifikasi-transfer-pricing/)

Pada tahun 2005, Adaro menjual batu bara ke perusahaan Coaltrade dari Singapura
sebesar US$26 per ton, sementara harga pasar US$48 per ton. Sedangkan pada 2006, Adaro
menjual batu bara ke Coaltrade US$29 per ton, sementara harga internasional mencapai US$40
per ton. Dengan volume penjualan 2005 mencapai 26 juta ton lebih dan 2006 mencapai 34 juta
ton, terdapat selisih antara harga jual ke Coaltrade dan harga jual internasional masing-masing
US$589,9 juta (Rp5,8 triliun dengan kurs rata-rata 2005 sebesar Rp9.800/US$) tahun 2005 dan
US$363,1 juta (Rp3,3 triliun dengan kurs rata-rata 2006 Rp9.096/US$) tahun 2006.
Jika dihitung berdasarkan harga pasar, total pendapatan pada 2005 mestinya berjumlah
US$ 1,287 miliar dan 2006 US$ 1,371 miliar. Berarti, ada selisih penjualan Adaro dengan
penjualan berdasarkan harga pasar. Jika dirupiahkan mencapai Rp 9,121 triliun. Belum lagi
kerugian negara dari potensi royalti 13,5% yang nilai berkisar Rp 1,231 triliun.
Akibat transfer pricing yang terjadi pada tahun 2005-2006 lalu diperkirakan ada Rp 9
triliun dari hasil penjualan yang disembunyikan. Sehingga kerugian negara terkait pajak dan
royalti diperkirakan mencapai Rp 4-5 triliun. Royalti adalah nilai yang harus dibayar sesuai
harga jual. Adanya dugaan transfer pricing yang memperkecil nilai jual mengakibatkan royalti
yang harus dibayarkan juga turun.
Jika di lihat dari sisi hukum, penggelapan pajak karena transfer pricing itu telah
menyimpang dari ketentuan perpajakan yang berlaku, karena secara substansi negara seharusnya
dapat mempajaki perusahaan multinasional tersebut dalam jumlah yang lebih besar. Sehingga
dengan demikian perusahaan yang melakukan hal tersebut akan dikenai sanksi pidana
perpajakan, untuk Indonesia sesuai dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 diatur dalam
Pasal 39, bahwa perbuatan kriminal pajak akan dikenai sanksi pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar. Perbedaan antara penghindaran pajak dengan penggelapan pajak sangat tipis dan
dari sisi etika bisnis praktik transfer pricing dapat menimbulkan moral hazard, karena
bertentangan dengan ketentuan yang berlaku.
Selain tu, pengadilan perpajakan dinilai menjadi solusi komprehensif dalam
menyelesaikan kasus-kasus perpajakan, termasuk dugaan adanya transfer pricing-manipulasi
pajak yang dilakukan sejumlah perusahaan, juga kelompok usaha Asian Agri. Sebab masalah
transfer pricing belum pernah diadili secara pidana, karena sebenarnya tujuan pajak itu bukan
menghukum orang, melainkan agar uang atau hak negara tidak dimanipulasi. Di dalam Undang-
Undang Perpajakan pasal 18 ayat 3 juga ditegaskan masalah perpajakan bukan masuk dalam
ranah pidana.
Di dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.7/1993 tanggal 9 Maret
1993 berisi panduan bagi aparat pajak untuk menangani transaksi transfer pricing atau yang
mengandung indikasi adanya transfer pricing dan bagaimana perlakuan perpajakannya.

Surat edaran ini memuat berbagai bentuk kekurangwajaran harga, biaya atau imbalan lain
yang direalisasikan dalam suatu transaksi usaha, seperti dalam penentuan:
• Harga penjualan
• Harga pembelian
• Alokasi biaya administrasi dan umum (overhead cost)
• Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham (share holder loan)
• Pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen,
imbalan atas jasa teknik dan imbalan atas jasa lainnya
• Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham (pemilik) atau pihak yang
mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar
• Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/ tidak mempunyai
substansi usaha (misalnya dummy company, letter box company atau reinvoicing center)
Selain kasus transfer pricing, Adaro pun terlilit gugatan pengalihan saham yang
dijaminkan ke Deustche Bank untuk mendapatkan pinjaman US$ 100 juta. Berkaitan dengan itu,
Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral meminta direksi Adaro tidak melakukan
pengalihan saham sampai gugatan tersebut selesai.
Sebelumnya, kuasa hukum Beckkett Pte Ltd menuntut Bapepam-LK membatalkan
penawaran umum saham perdana (IPO) PT Adaro Energy Tbk, holding PT Adaro Indonesia.
Tim kuasa hukum Beckett berargumen, proses itu tidak layak karena kepemilikan saham PT
Adaro Indonesia masih dipersengketakan. Karena itu, pantaslah jika Bapepam mengerem
langkah Adaro untuk menjual sahamnya di lantai bursa. Sebab, jika dugaan itu terbukti dan
Adaro harus membayar, para investorlah yang akan dirugikan.
(http://rosaryoma.blogspot.com/2009/12/kasus-transfer-pricing.html/)

2.5 Harga Transfer Berganda

Untuk memenuhi disparitas pertanggungjawaban dari dua divisi, dikenal juga harga
transfer ganda. Misalnya, divisi penerima dapat mempertimbangkan penerapan harga transfer
berdasarkan biaya diferensial. Sebaliknya, divisi yang melakukan transfer dapat
mempertimbangkan unsur laba dalam penentuan harga transfer dan memungkinkan kinerja
divisi.
Prosedur aplikasi pendekatan ini dapat berupa:
1. Pemakaian harga transfer berdasarkan harga pasar, negosiasi, atau arbitrase oleh divisi
yang melakukan transfer dalam menghitung penghasilan dari penyerahan antar
perusahaan.
2. Biaya variabel divisi yang melakukan transfer plus margin kontribusi atas beban tetap,
ditransfer kepada divisi penerima.
3. Total laba per divisi akan lebih besar daripada laba perusahaan, dan laba divisi produksi
akan dieliminasi dalam penysunan laporan keuangan.
2.6 Isu-isu Internasional

Penelitian akhir-akhir ini telah menemukan bahwa lebih dari 80% perusahaan-perusahaan
multinasional (MNC) melihat transfer pricing sebagai suatu isu pajak internasional utama, dan
lebih dari setengah dari perusahaan ini mengatakan bahwa isu ini adalah isu yang paling penting.
Sebagian besar negara sekarang menerima perjanjian modal Organization of Economic
Cooperation and Development (OECD), yang menyatakan bahwa harga-harga transfer sebaiknya
disesuaikan dengan menggunakan standar arm’s-length, artinya pada suatu harga yang akan
dicapai oleh pihak-pihak yang independen. Sementara perjanjian model tersebut diterima secara
luas, terdapat perbedaan-perbedaan dalam cara negara-negara menerapkannya. Meskipun
demikian, terdapat dukungan yang kuat di seluruh dunia terhadap suatu pendekatan untuk
membatasi usaha-usaha oleh MNC untuk mengurangi kewajiban pajak dengan menetapkan
harga-harga transfer yang berbeda dengan arm’s-length standard tersebut. (Edward J. Blocher,
Kun H. Chen, dan Thomas W. Lin., 1999)

Arm’s-length Standard

Menurut Arm’s-length standard, harga-harga transfer seharusnya ditetapkan supaya dapat


mencerminkan harga yang akan disusun oleh pihak-pihak yang tidak terkait yang bertindak
secara bebas. Arm’s-length standard diterapkan dalam banyak cara, tetapi metode yang paling
banyak digunakan adalah sebagai berikut:
1. Comparable uncontrolled pricing method
Metode ini mengevaluasi kewajaran harga transfer dengan mengacu kepada tingkat harga yang
terjadi antara unit yang independen atau antara perusahaan multinasional dengan unit yang
independen. Secara teoritis metode ini termasuk yang paling baik, namun dalam pelaksanaannya
terdapat beberapa kendala, misalnya perbedaan kuantitas, kualitas, kondisi, waktu penjualan,
merek dagang, pangsa pasar, dan geografis pasar.
2. Resale pricing method
Metode ini ditetapkan untuk produk yang ditransfer ke anggota group lainnya untuk dijual
kembali. Kewajaran harga transfer didekati dengan pengurangan harga penjualan kepada pihak
independen dengan suatu mark up yang wajar (sebanyak laba dan biaya si penjual).
3. Cost plus pricing method
Metode ini mendekati kewajaran harga transfer dengan menambahkan markup yang wajar pada
harga pokok pihak yang mentransfer. Pendekatan ini umumnya dipakai dalam hal penyerahan
barang setengah jadi (semifinished product) atau salah satu anggota group sebagai subkontaktor
dari yang lainnya.
4. Other method
Dalam keadaan tertentu, kombinasi ketiga metode diatas perlu diterapkan atau mungkin
menggunakan metode lain, misalnya alokasi laba yang diperoleh grup perusahaan dalam
transaksi tertentu, kalkulasi tingkat keuntungan yang pantas pada investasi wajib pajak
(Frederick D. S. Choi dan Genhard G. Mueller, 1985).

PERUSAHAAN MULTINASIONAL DAN ASPEK PAJAKNYA

Perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia dalam arti perusahaan-perusahaan


multinasional Indonesia yang mempunyai unit (anak perusahaan/ cabang/ perwakilan) di luar
negeri maupun perusahaan-perusahaan multinasional di luar negeri yang mempunyai unit (anak
perusahaan/ cabang/ perwakilan) di Indonesia pada umumnya akan senantiasa berusaha dengan
instrumen harga transfer, mencapai salah satu tujuannya memaksimalkan keuntungan dengan
berupaya meminimalkan beban pajaknya, terutama pajak penghasilan badan (corporation income
tax).
Upaya yang dilakukan dengan pergeseran harga dari negara yang beban pajaknya tinggi
ke negara yang beban pajaknya rendah atau nihil. Selain itu, diadakan pula perjanjian bilateral di
bidang perpajakan, dengan maksud antara lain untuk menghindarkan pengenaan pajak berganda,
sehingga beban pajak dapat ditekan.

Gambar
Penentuan Harga Transfer Domestik dan Internasional

Sebagai contoh, pembebanan harga transfer yang rendah untuk anak perusahaan asing
mungkin akan mengurangi pembayaran bea cukai sebagai akibat dari batas-batas internasional,
atau mungkin membantu anak perusahaan untuk bersaing dalam pasar asing dengan
mempertahankan biaya anak perusahaan yang rendah. Di sisi lain, membebankan suatu harga
transfer yang tinggi mungkin membantu MNC mengurangi laba pada negeri yang telah
memperketat kendali pengiriman uang asing, atau mungkin memberikan kemudahan bagi MNC
memindahkan pendapatan dari suatu negara yang memiliki tingkat pajak pendapatan yang tinggi
ke suatu negara dengan tingkat pajak rendah (tax haven country).

2.7 Perlakuan Harga di Indonesia

Harga transfer dapat terjadi baik antarwajib pajak dalam negeri maupun antara wajib
pajak dalam negeri dengan pihak luar negeri. Terhadap transaksi antara wajib pajak yang
mempunyai hubungan istimewa, undang-undang perpajakan Indonesia menganut asas material
(substance over form rule). Hubungan istimewa tersebut dapat mengakibatkan kekurangwajaran
harga, biaya, atau imbalan lain yang direalisasikan dalam suatu transaksi usaha.
Kekurangwajaran tersebut dapat terjadi pada:
• harga penjualan
• harga pembelian
• alokasi biaya administrasi dan umum (biaya overhead)
• pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham
• pembayaran komisi, lisensi, waralaba, sewa, royalti, imbalan jasa manajemen, imbalan
jasa teknik, dan imbalan jasa lainnya

Selain itu, ada pula indikator dari manipulasi harga transfer, yaitu antara lain:
• SPT Tahunan PPh Badan melaporkan rugi dalam beberapa tahun berturut-turut
• Peredaran usaha tinggi tapi laba yang diperoleh kecil
• Transaksi hubungan istimewa yang cukup besar
• Rugi yang tidak dapat dijelaskan

Untuk meminimalkan atau mengurangi praktik penghindaran pajak, Direktur Jenderal Pajak
mengeluarkan peraturan baru yang dituangkan dalam Peraturan Dirjen Pajak No. PER-
32/PJ/2011 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara
Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa sebagai perubahan atas PER-
43/PJ/2010. rrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr

2.8 Penangkal Harga Transfer

Ada beberapa prosedur yang dapat ditempuh untuk menanggulangi manuver pajak melalui
harga transfer sebagai berikut.
• Menyingkap praktik bisnis antarperusahaan secara lengkap sehingga dapat dievaluasi
keinginan harga transfer.
• Harmonisasi pemajakan internasional untuk meniadakan disparitas beban pajak.
• Kerja sama internasional.
• Advanced Pricing Agreement (APA)

2.9 Advanced Pricing Agreement


Advanced Pricing Agreement (APA) adalah persetujuan di antara Internal Revenue
Service (IRS) dan perusahaan dengan menggunakan harga-harga transfer, untuk menetapkan
harga transfer yang disepakati. APA biasanya diperoleh sebelum perusahaan terikat dalam
transfer. Maksud dari program APA adalah memecahkan masalah perselisihan harga transfer
dengan cara tepat dan menghindari proses pengadilan yang menghabiskan banyak biaya.
Kesepakatan yang dibuat dalam APA terjadi antara wajib pajak dengan otoritas pajak,
bisa terjadi dengan satu otoritas pajak dan juga dengan dua otoritas pajak dari negara yang
berbeda. Apabila APA dilakukan antara wajib pajak dengan otoritas pajak dalam satu negara
maka disebut unilateral APA, sedangkan apabila APA dibuat oleh wajib pajak dengan dua atau
lebih otoritas pajak dari negara yang berbeda maka disebut multilateral APA.

Manfaat APA

Beberapa manfaat dari diselenggarankannya APA adalah sebagai berikut :


• Memberikan kepastian kepada wajib pajak atas semua penghitungan mengenai harga
transaksi dengan menggunakan metode yang disetujui.
• Memberikan kepastian terhadap kegiatan wajib pajak termasuk kepastian mengenai
kewajiban pajak yang berkaitan dengan harga transfer.
• Mengurangi biaya dan waktu pada saat diaudit, karena selama periode APA berlaku
harga transaksi yang telah disepakati oleh wajib pajak dan otoritas pajak.
• Dapat mencegah praktik harga transfer yang tidak benar dan semata-mata hanya untuk
menghindari pajak.

Masalah dalam Penyelenggaraan APA

Hal yang harus dipertimbangkan dalam penyelenggaraan APA yaitu kemungkinan adanya
potensi kerugian, yaitu:
• Pengorbanan waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan APA.
• Wajib pajak harus mengungkapkan informasi yang mungkin merupakan rahasia
perusahaan kepada otoritas pajak.
Yang perlu diperhatikan, bahwa APA tidak menjamin wajib pajak untuk tidak diaudit
olehotoritas pajak. Masalah-masalah yang tidak tercakup dalam APA masih dapat diaudit dalam
kriteria audit yang biasa dilakukan. APA tidak berlaku retroaktif sehingga masalah hargatransfer
yang ada sebelum APA disepakati tidak dapat diselesaikan dengan APA.
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Globalisasi telah membawa dampak semakin meningkatnya transaksitransnasional
atau cross border transaction. Arus barang, jasa, modal, dan tenagakerja juga semakin mudah dan
lancar antar negara. Belum lagi dengan kehadiran WTO (World Trade Organization) yang
memfasilitasi perdagangan transnasional tersebut.

Transfer Pricing Organization for Economic Co-operation and Development (OECD)


mendefinisikan transfer pricing sebagai harga yang ditentukan dalam transaksi antar anggota
grup dalam sebuah perusahaan multinasional dimana harga transfer yang ditentutkan tersebut
dapat menyimpang dari harga pasar wajar sepanjang cocok bagi grupnya. Mereka dapat
menyimpang dari harga pasar wajar karena posisi mereka yang berada dalam keadaan bebas
untuk mengadopsi prinsip apapun yang tepat bagi korporasinya

Tujuan transfer pricing yang ingin dicapai perusahaan multinasional adalah :

a. Performance evaluation
Salah satu alat yang dipakai oleh banyak perusahaan dalam menilai kinerjanyaadalah
menghitung tingkat Return On Investment.Terkadang tingkat ROIuntuk satu divisi
berbeda dengan divisi lainnya. Yeni Mangonting,op. cit., hal.71. Misalnya, divisi penjual
menginginkan harga transfer yang tinggi yang akan meningkatkanincome yang secara
otomatis akan meningkatkan ROI-nya tetapi di sisi lain, divisi pembeli menuntut harga
transfer yang rendah yangnantinya akan berakibat pada peningkatan income yang berarti
juga penigkatandalam ROI. Hal semacam inilah yang terkadang membuattransfer
pricing berada di posisi terjepit. Oleh karena itu, induk perusahaan akan
sangat berkepentingan dalam penetuan harga transfer.
b. Optimal Determination of Taxes
Tarif pajak antara satu negara dengan negara lainnya berbeda-beda. Perbedaanini
disebabkan oleh linkungan ekonomi, soisal, politik, dan budaya yang berlaku dalam
negara tersebut. Dengan penentuan harga transfer ini,diharapkan pajak dapat dimanage
sedemikian rupa sehingga pengenaan pajak tidak akan terlalu tinggi. Hal inilah yang pada
akhirnya menimbulkanmanipulasi dan praktek curang dalamtransfer pricing. OECD
melaporkan,factor pajak dapat menjadi pemicu dilakukannya transfer pricing terutama
jikatujuan mereka lebih terfokus pada jumlah total laba setelah pajak daripada bentuk
darimana mereka mendapatkan laba tersebut apakah berbentuk royalty, biaya, imbalan
jasa, keuntungan penjualan antardivisi atau dividendari afiliasinya,dll. ‘

Transfer pricing ini memberikan dampak terhadap divisi-divisi yangterlibat dalam transfer
pricing, antara lain :

1. Dampak Terhadap Ukuran Kinerja Divisi


Harga yang dikenakan untuk barang yang ditransfer memengaruhi biaya divisi pembeli
dan pendapatan divisi penjual. Artinya, laba kedua divisi tersebut sebagaimana juga
evaluasi dan kompensasi para menejer mereka, diperngaruhi oleh harga transfer.
2. Dampak Terhadap Keuntungan Perusahaan
Meskipun harga transfer actual tidak memengaruhi perusahaan sebagai satu kesatuan,
penetapan harga transfer ternyata mampu memengaruhi tingkatlaba yang dihasilkan oleh
perusahaan. Jika ia memengaruhi perilaku divisi dania memengaruhi pajak penghasilan,
divisi-divisi yang bertindak secarain dependent mungkin menetapkan harga transfer yang
memaksimalkan laba devisi, tetapi menimbulkan pengaruh sebaliknya bagi laba
perusahaan secarakeseluruhan.
DAFTAR PUSTAKA

Suandy, Erly. (2011). Perencanaan Pajak (Edisi 5). Jakarta: Salemba Empat

http://mychandis.blogspot.co.id/2013/11/tugas-makalah-transfer-pricing.html

muttaqinhasyim.wordpress.com/2009/05/17/transfer-pricing-dalam-praktek-perpajakan-
internasional/

nazrulfestive77.wordpress.com/2011/01/20/transfer-pricing-hubungan-istimewa-dan-metode-
identifikasi-transfer-pricing/

pajak.go.id/dmdocuments/UU-36-2008.pdf/

politik.kompasiana.com/2010/04/01/lika-liku-transfer-pricing-mengendus-penghindaran-pajak-
melalui-manipulasi-transfer-pricing-107419.html/

rosaryoma.blogspot.com/2009/12/kasus-transfer-pricing.html/

Anda mungkin juga menyukai