Anda di halaman 1dari 6

ANALISIS KASUS LINGKUNGAN LUMPUR LAPINDO SIDOARJO DI

LOKASI PENGEBORAN LAPINDO BRANTAS INC

A. Gambaran Awal Kasus Lumpur Lapindo Sidoarjo


Kasus lumpur lapindo Sidoarjo, adalah peristiwa menyemburnya lumpur panas di
lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc di Dusun Balongnongo Desa Renokenongo,
Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sejak tanggal 29 Mei 2006. Semburan
lumpur panas selama ini menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan
perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta memengaruhi aktivitas perekonomian di
Jawa Timur. Lokasi semburan lumpur ini berada di Porong, yakni kecamatan di bagian
selatan Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 km sebelah selatan kota Sidoarjo. Kecamatan ini
berbatasan dengan Kecamatan Gempol (Kabupaten Pasuruan) di sebelah selatan. Lokasi
pusat semburan hanya berjarak 150 meter dari sumur Banjar Panji-1 (BJP-1), yang
merupakan sumur eksplorasi gas milik Lapindo Brantas Inc sebagai operator blok Brantas.
Oleh karena itu, hingga saat ini, semburan lumpur panas tersebut diduga diakibatkan aktivitas
pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas di sumur tersebut. Pihak Lapindo Brantas
sendiri punya dua teori soal asal semburan. Pertama, semburan lumpur berhubungan dengan
kesalahan prosedur dalam kegiatan pengeboran. Kedua, semburan lumpur kebetulan terjadi
bersamaan dengan pengeboran akibat sesuatu yang belum diketahui. Lokasi semburan
lumpur tersebut merupakan kawasan pemukiman dan di sekitarnya merupakan salah satu
kawasan industri utama di Jawa Timur. Tak jauh dari lokasi semburan terdapat jalan tol
Surabaya-Gempol, jalan raya Surabaya-Malang dan Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi (jalur
pantura timur), serta jalur kereta api lintas timur Surabaya-Malang dan Surabaya-
Banyuwangi,Indonesia
Pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga kedalaman 8500 kaki (2590 meter)
untuk mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan dipasang selubung bor
(casing ) yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk mengantisipasi potensi
circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dan kick (masuknya fluida formasi
tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung. Sesuai dengan
desain awalnya, Lapindo “sudah” memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150 kaki,
casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2385 kaki dan casing 13-3/8
inchi pada 3580 kaki (Lapindo Press Rilis ke wartawan, 15 Juni 2006). Ketika Lapindo
mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka “belum”
memasang casing 9-5/8 inchi yang rencananya akan dipasang tepat di kedalaman batas antara
formasi Kalibeng Bawah dengan Formasi Kujung (8500 kaki).
Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak awal merencanakan kegiatan pemboran ini
dengan membuat prognosis pengeboran yang salah. Mereka membuat prognosis dengan
mengasumsikan zona pemboran mereka di zona Rembang dengan target pemborannya adalah
formasi Kujung. Padahal mereka membor di zona Kendeng yang tidak ada formasi Kujung-
nya. Alhasil, mereka merencanakan memasang casing setelah menyentuh target yaitu batu
gamping formasi Kujung yang sebenarnya tidak ada. Selama mengebor mereka tidak meng-
casing lubang karena kegiatan pemboran masih berlangsung. Selama pemboran, lumpur
overpressure (bertekanan tinggi) dari formasi Pucangan sudah berusaha menerobos (blow
out) tetapi dapat di atasi dengan pompa lumpurnya Lapindo (Medici). Setelah kedalaman
9297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu gamping. Lapindo mengira target formasi
Kujung sudah tercapai, padahal mereka hanya menyentuh formasi Klitik.
Batu gamping formasi Klitik sangat porous (bolong-bolong). Akibatnya lumpur yang
digunakan untuk melawan lumpur formasi Pucangan hilang (masuk ke lubang di batu
gamping formasi Klitik) atau circulation loss sehingga Lapindo kehilangan/kehabisan lumpur
di permukaan. Akibat dari habisnya lumpur Lapindo, maka lumpur formasi Pucangan
berusaha menerobos ke luar (terjadi kick). Mata bor berusaha ditarik tetapi terjepit sehingga
dipotong. Sesuai prosedur standard, operasi pemboran dihentikan, perangkap Blow Out
Preventer (BOP) di rig segera ditutup & segera dipompakan lumpur pemboran berdensitas
berat ke dalam sumur dengan tujuan mematikan kick. Kemungkinan yang terjadi, fluida
formasi bertekanan tinggi sudah terlanjur naik ke atas sampai ke batas antara open-hole
dengan selubung di permukaan (surface casing) 13 3/8 inchi. Di kedalaman tersebut,
diperkirakan kondisi geologis tanah tidak stabil & kemungkinan banyak terdapat rekahan
alami (natural fissures) yang bisa sampai ke permukaan. Karena tidak dapat melanjutkan
perjalanannya terus ke atas melalui lubang sumur disebabkan BOP sudah ditutup, maka
fluida formasi bertekanan tadi akan berusaha mencari jalan lain yang lebih mudah yaitu
melewati rekahan alami tadi & berhasil. Inilah mengapa surface blowout terjadi di berbagai
tempat di sekitar area sumur, bukan di sumur itu sendiri.
Perlu diketahui bahwa untuk operasi sebuah kegiatan pemboran MIGAS di Indonesia
setiap tindakan harus seijin BP MIGAS, semua dokumen terutama tentang masangan casing
sudah disetujui oleh BP MIGAS. Dalam AAPG 2008 International Conference & Exhibition
dilaksanakan di Cape Town International Conference Center, Afrika Selatan, tanggal 26-29
Oktober 2008, merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh American Association
of Petroleum Geologists (AAPG) dihadiri oleh ahli geologi seluruh dunia, menghasilan
pendapat ahli: 3 (tiga) ahli dari Indonesia mendukung gampa Yogyakarta sebagai penyebab,
42 (empat puluh dua) suara ahli menyatakan pemboran sebagai penyebab, 13 (tiga belas)
suara ahli menyatakan kombinasi Gempa dan Pemboran sebagai penyebab, dan 16 (enam
belas suara) ahli menyatakan belum bisa mengambil opini. Laporan audit Badan Pemeriksa
Keuangan tertanggal 29 Mei 2007 juga menemukan kesalahan-kesalahan teknis dalam proses
pemboran.
Dampak kerusakan dan kerugian akibat lumpur Lapindo di Sidoarjo yang dilakukan
Bappenas dengan melibatkan Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang, Jawa Timur,
memperkirakan kerugian total mencapai Rp27,4 triliun selama sembilan bulan terakhir, yang
terdiri atas kerugian langsung sebesar Rp11,0 triliun dan kerugian tidak langsung Rp16,4
triliun. Laporan awal penilaian kerusakan dan kerugian akibat bencana semburan lumpur
panas di Sidoarjo yang diperoleh ANTARA News, Rabu (10/4), menyebutkan bahwa angka
kerugian itu berpotensi meningkat menjadi Rp44,7 triliun, sedangkan akibat potensi kenaikan
kerugian dampak tidak langsung menjadi Rp33,7 triliun.sedangkan dampak sosial,
pemerintah melakukan, antara lain, meminta untuk menuntaskan pembayaran uang muka
cash and carry 20 persen kepada korban di empat desa (Siring, Jatirejo, Kedungbendo, dan
Renokenongo) yang masuk dalam peta dampak lumpur 4 Desember 2006. Setelah itu
menuntaskan pembayaran kepada seluruh warga yang masuk peta terdampak lumpur 22
Maret 2007 (warga Perum TAS I, Desa Gempolsari, Kalitengah, sebagian Kedungbendo).
Kondisi tersebut di atas, akibat pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo Brantas Inc
berdasarkan undang-undang 32 tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan hidup pasal 20 :
Baku Mutu Lingkungan, dan pasal 21 : Kriteri Baku Kerusakan Lingkungan Hidup
dinyatakan telah merusak lingkungan hidup berupa berubahnya kondisi tanah, air, udara, dan
ekosistem pada lokasi pengeboran tersebut. Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah
nomor 18 tahun 1999 tentang baku mutu dan hasil pemeriksaan laboratorium terhadap unsur-
unsur kimiawi telah melampaui nilai ambang batas yang telah ditetapkan. Pada 27
November 2007, Pengadilan Jakarta Selatan menolak gugatan legal standing Wahana
Lingkungan Hidup (Walhi) terhadap pihak-pihak yang dinilai bertanggung jawab atas
menyemburnya lumpur panas. Hakim menyatakan munculnya lumpur akibat fenomena alam.
Pengadilan Jakarta Pusat menolak gugatan korban yang diajukan Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia (YLBHI). Hakim beralasan, Lapindo sudah mengeluarkan banyak dana
untuk mengatasi semburan lumpur dan membangun tanggul. Terakhir, Mahkamah Agung
juga menolak permohonan uji materi atas Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007.
B. Analisis dari Kasus Lumpur Lapindo Sidoarjo Berdasarkan Undang – undang No. 32
Tahun 2009
Kasus ini termasuk salah satu bencana nasional di Indonesia. Menurut analisis saya
berdasarkan data yang ada, ditinjau dari Undang – undang No. 32 Tahun 2009, begitu banyak
pelanggaran yang terjadi terhadap ketentuan hukum lingkungan. Seperti yang diuraikan
dibawah ini :
1. Pemanfaatan Sumber Daya Alam ( SDA ) tidak memperhatikan Lingkungan Hidup
Mengingat Lapindo Brantas Inc. tidak memiliki AMDAL maka berdasarkan UU No. 32
Tahun 2009 pasal 12 ayat ( 1 ), pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan
RPPLH. Dan dalam pasal 12 ayat ( 2 ) dikatakan bahwa dalam hal RPPLH sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) belum tersusun, pemanfaatan sumber
daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
dengan memperhatikan keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup, keberlanjutan
produktivitas lingkungan hidup, keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat.
Sedangkan kasus ini telah membuktikan bahwa Lapindo Brantas Inc. karena kelalaiannya
telah menyebabkan pencemaran.
2. Tidak Adanya Pengendalian Baik Oleh Pemerintah Maupun Penanggungjawab Usaha
Dalam UU No. 32 Tahun 2009 pasal 13 ayat ( 1 ), pengendalian pencemaran dan/atau
kerusakanlingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Dan dalam ayat ( 2 ) tertulis bahwa pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pencegahan, penanggulangan, dan
pemulihan. Dalam ayat (3) dikatakan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan
kewenangan, peran, dan tanggung jawab masing-masing. Lapindo Brantas Inc. tidak
melakukan pengendalian ini dan pemerintah sebelum terjadi semburan juga tidak melakukan
upaya pengendalian yang maksimal hingga Lapindo Brantas Inc. yang tidak memiliki
AMDAL dapat melakukan eksplorasi sumber daya alam di Sidoarjo saat itu.
3. Lapindo Brantas Inc. Tidak Memiliki AMDAL
Berdasarkan hasil investigasi Wahana Lingkungan Hidup ( WALHI ), selama melakukan
usaha pertambangannya, Lapindo Brantas Inc. tidak memiliki AMDAL. Hal tersebut tentu
saja bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu pasal 14 dan 22
UU No. 32 Tahun 2009. Mengingat bahwa AMDAL merupakan prasyarat mutlak dalam
memperoleh izin usaha, dalam hal ini adalah kuasa pertambangan.
4. Lapindo Brantaas Inc. Berperan Dalam Pencemaran Lingkungan Hidup
Lumpur sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Kandungan logam berat (Hg) air
raksa, misalnya, mencapai 2,565 mg/liter Hg, padahal baku mutunya hanya 0,002 mg/liter
Hg. Hal ini menyebabkan infeksi saluran pernapasan, iritasi kulit dan kanker. Kandungan
fenol bisa menyebabkan sel darah merah pecah (hemolisis), jantung berdebar (cardiac
aritmia), dan gangguan ginjal. Ini tidak sesuai dengan Pasal 20 UU No. 1 Tahun 2009
mengenai baku mutu lingkungan hidup.
5. Tidak Maksimalnya Usaha Pemulihan Karena Putusan Pengadilan Yang Tidak Sesuai
Dengan Aspek Kebenaran Hukum
Gugatan WALHI ditolak seluruhnya oleh Putusan PN Jakarta Selatan, kemudian di
tingkat banding juga ditolak berdasarkan Putusan PT Jakarta yang menguatkan Putusan PN
Jakarta Selatan yang menyatakan bahwa semburan lumpur panas Lapindo disebabkan karena
bencana alam. WALHI tidak mengajukan kasasi atas putusan PT Jakarta sehingga dianggap
bahwa Putusan PT Jakarta telah in kracht. Selain WALHI, YLBHI juga mengajukan
gugatannya kepada PN Jakarta Pusat, 27 November 2007, namun Putusan PN Jakarta Pusat
mengatakan bahwa Pemerintah dan PT. Lapindo Brantas tidak melakukan Perbuatan
Melawan Hukum. YLBHI mengajukan banding dan kasasi, yang masing-masing hasil
putusannya juga menolak gugatan pihak YLBHI dan menyatakan bahwa Pemerintah dan PT.
Lapindo Brantas tidak bersalah.
Dari putusan itu, dipertanyakan bagaimana identifikasi dari bencana alam dan bukan
bencana alam. Kebenaran umum banyak membuktikan bahwa ini disebabkan kelalaian dari
Lapindo Brantas Inc., namun apabila ini diputus sebagai bencana alam maka
pertanggungjawabannya serta pemulihan menjadi dialihkan kepada Negarasesuai pasal 54
UU No. 32 Tahun 2009. Dengan itu apabila memang Lapindo Brantas Inc. yang menjadi
penyebab dari pencemaran, ini berarti ia bebas untuk tidak bertanggungjawab atas
kelalaiannya
6. Pembuangan Lumpur Ke Laut Tidak Sesuai Dengan Pengelolaan Limbah B3
Lumpur yang menyembur di Sidoarjo, bukan lumpur biasa melainkan lumpur panas yang
mengandung banyak bahan berbahaya. Apabila dibuang kelaut maka dapat mencemari
ekosistem laut. Selain itu ini melanggar pasal 59 Undang – undang No. 32 Tahun 2009.
7. Pemerintah tidak melaksanakan PPLH dalam pasal 63, Lapindo Brantas Inc melanggar hak –
hak dalam pasal 65, tidak melaksanakan kewajiban pada pasal 67 – 69, Pemerintah tidak
melakukan pengawasan dan sanksi administrative.
C. Saran Atas Kasus Lumpur Lapindo Sidoarjo
1. Meskipun berbagai upaya penanggulangan telah dilakukan seperti pembangunan tanggul
penahan lumpur, pelaksanaan kajian sosial, ekonomi, dan kelembagaan. Namun, dinilai
kurang efektif untuk menanggulangi dampak semburan yang kian hari kian meluas.
Sebaiknya, coba kita pandang sisi analisis ilmiah yang sifatnya progresif daripada kandungan
unsur-unsur yang terkandung didalam lumpur lapindo ini, sehingga diperlukan kajian
mendalam yang bisa menggali kandungan apa saja yang terdapat pada lumpur tersebut,
barulah setelah itu dicari tahu sisi efektif untuk mengatasinya secara ilmiah dan kontruktif
yang memiliki tingkat resiko yang cukup rendah bagi setiap elemen tergabung didalamnya.
2. Pemerintah selaku pihak yang bertanggung jawab, dalam hal ini perlu memberikan dukungan
penuh secara finansial serta non finansial, salah satunya perihal alokasi dana anggaran untuk
progres proses penanggulangan lumpur lapindo, pemerintah pun perlu berkonsilidasi dengan
beberapa pakar ahli dibidang ini, serta pembayaran pelunasan ganti rugi harta serta tempat
tinggal korban, namun dalam hal pelunasan ganti rugi korban pemerintah perlu cermat dan
selektif memilah korban yang sungguh dirugikan sesuai dengan nominal yang dibuktikan
serta bukti administrasi yang kompleks dan jelas.
3. Dalam pemberian ganti rugi, diperlukan pengawasan terinci dari pihak aparat yang
bertanggungjawab untuk hal ini dan bekerja secara professional supaya tersalurkan secara
cepat dan tepat sasaran.
4. Pemerintah harus memikirkan jalan keluar dari dampak yang ditimbulkan karena adanya
semburan ini. Seperti dampak social, masalah kesehatan, pendidikan, perekonomian, dsb.
5. Untuk selanjutnya pemerintah diharapkan lebih ketat dalam perizinan. Sehingga izin ke
perusahaan yang tidak Qualited fight (tidak mumpuni) instansi pemerintah daerah maupun
pusat perlu mengetahui resikonya maka pihak pemberi izin pun harus tahu juga seberapa
besar kekuatan perusahaan tersebut bila terjadi dampak negatif.
6. Meskipun tidak terbukti dalam persidangan bahwa Lapindo Brantas Inc. bersalah dalam
kasus ini. Namun pemerintah harus tetap melakukan sanksi administrative sesuai dengan
pasal 76 UU No. 32 Tahun 2009, bahwa “Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika
dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan”.

Anda mungkin juga menyukai