Anda di halaman 1dari 12

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/305188224

KENYAMANAN TERMAL DAN PENGHEMATAN ENERGI: TEORI DAN


REALISASI DALAM DESAIN ARSITEKTUR

Article · March 2010

CITATION READS

1 2,812

2 authors, including:

Tri Harso Karyono


Tanri Abeng University
77 PUBLICATIONS   273 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Air conditioning and the neutral temperature of the Indonesian university students View project

All content following this page was uploaded by Tri Harso Karyono on 12 July 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


KENYAMANAN TERMAL DAN PENGHEMATAN ENERGI: TEORI DAN
REALISASI DALAM DESAIN ARSITEKTUR

Tri Harso Karyono

Paper dalam acara Seminar dan Pelatihan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Gedung Jakarta
Desain Center, Jakarta, 20 Maret 2010

Abstrak
Tiga di antara sasaran yang perlu dipenuhi oleh suatu karya arsitektur adalah: pemenuhan
tuntutan estetika, pemenuhan tuntutan kenyamanan (psikis maupun fisik) dan pemenuhan
tuntutan hemat energi. Aspek estetika perlu dipenuhi karena arsitektur merupakan bagian dari
ilmu seni. Apek kenyamanan perlu dipenuhi karena arsitektur juga merupakan bagian dari ilmu
desain. Sedangkan aspek penghematan energi perlu dipenuhi karena arsitektur juga
merupakan bagian dari ilmu teknik dan lingkungan. Dalam aspek kenyamanan tercakup di
dalamnya kenyamanan psikis dan fisik. Kenyamanan psikis terkait dengan hal-hal yang tidak
terukur atau cenderung subyektif di mana tuntutannya berbeda antara satu individu dengan
individu lain. Di lain pihak, kenyamanan fisik lebih bersifat obyektif dan terukur. Kenyamanan
fisik meliputi kenyamanan spasial (ruang), visual (penglihatan), auditorial (pendengaran),
termal(suhu) dan olfaktual (penciuman-bau). Dalam kaitan dengan konsumsi energi bangunan,
aspek kenyamanan visual dan termal terkait langsung dengan jumlah energi yang dikonsumsi
bangunan. Bagaimana menerangi ruang dengan meminimalkan penggunaan lampu, dan
bagaimana membuat ruang nyaman (tidak panas atau tidak dingin) dengan meminimalkan
penggunaan mesin AC atau pemanas ruang. Secara umum, konsumsi energi terbesar di
bangunan (di luar bangunan pabrik dan industri) sangat terkait dengan pemenuhan aspek
kenyamanan termal. Arsitektur yang baik adalah arsitektur yang dirancang sedemikian rupa
sehingga mampu memodifikasi iklim luar yang tidak nyaman menjadi nyaman dengan
menggunakan bantuan peralatan listrik atau mekanik seminimal mungkin . Dengan kata lain,
karya arsitektur yang baik adalah arsitektur yang dalam pencapaian kenyamanan termal minim
mengkonsumsi energi. Makalah ini membahas bagaimana desain arsitektur akan menentukan
tingkat keberhasilan pencapaian kenyamanan termal dalam suatu bangunan.
Kata kunci: estetika, iklim tropis lembab, kenyamanan fisik, kenyamanan termal, konsumsi
energi, desain arsitektur

1. Pendahuluan: Desain Arsitektur


Secara mendasar arsitektur merupakan suatu produk desain, di mana aspek kenyamanan fisik
pengguna bangunan merupakan aspek penting tidak dapat dikesampingkan. Ada
kecenderungan bahwa karya arsitektur yang direpresentasikan melalui gambar atau maket
pada umumnya hanya dinilai dari aspek tertentu saja, yakni aspek estetika bentuk. Cara
menilai semacam ini tidak ubahnya seperti ketika seorang pematung menyaksikan gambar
atau maket karya seni tiga dimensi (sculpture).
Patung atau sculpture tidak perlu nyaman untuk digunakan, karena dia merupakan benda
seni yang tidak difungsikan untuk mewadahi aktifitas manusia. Patung bukan karya desain.
Dia merupakan karya seni murni yang cukup diapresiasi dari sudut pandang estetika (bentuk).
Karya patung akan dinilai baik ketika ia memiliki nilai estetika baik. Patung besar akan
diapresiasi sebagai karya yang diperhitungkan ketika dia memiliki estetika bentuk yang baik
serta kokoh (kuat dan kaku) – tidak roboh terhempas angin atau runtuh memikul beratnya
sendiri - ketika diletakkan di suatu tempat tertentu. Dalam menilai sebuah karya patung
(sculpture), hanya tolok ukur esetetika semata yang dijadikan kriteria (Karyono, 2006).
Barangkali kita dapat mencoba untuk mengapresiasi suatu karya yang disebut sebagai
’karya desain’ dan bukan ’karya seni murni’. Ambil contoh desain sebuah kursi kerja kantor.
Sebuah kursi kantor dibuat dengan maksud untuk digunakan (diduduki) oleh seseorang yang
melakukan kerja kantor. Selain perlu memenuhi kriteria keindahan atau esetika bentuk dan
esetetika detil, kursi tersebut juga harus memenuhi kriteria kokoh (kaku dan kuat) untuk
menopang beban manusia yang duduk di atasnya sehingga tidak roboh atau patah. Dia harus
dibuat dengan bentuk sedemikian rupa sehingga tidak bertentangan dengan ilmu statika gaya,
dengan kata lain harus dibuat dengan material tertentu dan dimensi tertentu agar tidak patah.
Di luar kriteria itu, kursi tersebut juga harus memenuhi kriteria ‘nyaman’ untuk diduduki
atau digunakan. Untuk maksud itu kursi perlu dibuat dengan dimensi tertentu sesuai dengan
antropometri bagian tubuh manusia yang akan melekat pada kursi (punggung hingga bagian
paha bawah), dan secara ergonomi sesuai dengan pergerakan bagian-bagian tubuh manusia
yang melekat tersebut. Sebaik apapun bentuk kursi tersebut, dia tidak pernah dinilai sebagai
karya yang baik ketika kursi tersebut ‘tidak nyaman’ untuk diduduki, ketika dimensinya tidak
sesuai dengan antropometri dan ergonomi bagian tubuh manusia yang melekat di atasnya.
Seliar atau se-ekstrim apapun bentuk dari desain kursi, dia tetap akan dibatasi oleh tuntutan
antropometri-ergonomi manusia yang menggunakan, tuntutan kekuatan untuk menahan
beban manusia yang duduk di atasnya (Karyono. 2006).
Tanpa memenuhi kriteria itu kursi tidak akan pernah difungsikan. Dengan kata lain kursi
tersebut hanya akan digunakan sebagai benda hiasan hanya sekadar untuk dilihat, bukan alat
untuk duduk. Jika hal terakhir ini yang terjadi, maka kursi tersebut bukan lagi merupakan
produk ‘desain’, dia akan merupakan produk ‘seni murni’, di mana tidak ada lagi tuntutan
fungsi – kenyamanan - yang harus dipenuhi.
Bergeser lebih lanjut, coba kita teropong karya arsitektur. Saya ingin menekankan bahwa
karya arsitektur sama sekali ‘bukan’ karya seni murni. Karya arsitektur adalah karya ‘desain’.
Sebagai produk desain, karya arsitektur harus indah – memenuhi kaidah estetika, demikian
juga harus dapat ‘difungsikan’ secara baik sesuai dengan kebutuhan aktifitas manusia yang
harus diwadahi di dalamnya. Pengertian ‘difungsikan’ secara lebih luas adalah dapat
digunakan ‘secara nyaman’. Produk bangunan yang hanya memenuhi kriteria indah, tapi tidak
nyaman secara spasial (ruang), tidak nyaman secara visual (terlalu gelap atau terlalu silau),
tidak nyaman secara auditorial (bising, bergaung, dsb), tidak nyaman secara termal (terlalu
panas atau terlalu dingin) sehingga tidak dapat difungsikan, maka dia akan dikategorikan
sebagai produk ‘seni murni’, dan bukan produk ‘desain’ arsitektur.
Di luar aspek kenyamanan spasial dan auditorial (bunyi), kenyamanan visual dan termal
secara teori dapat dicapai meskipun dengan desain ruang yang buruk. Dengan rancangan
ruang yang buruk, ruang yang sangat gelap dapat diterangi dengan lampu, ruang yang terlalu
panas dapat didinginkan dengan AC, serta ruang yang terlalu dingin dapat dipanaskan
dengan heater. Semuanya tentu saja dengan konsekuensi boros energi (listrik). Tantangan
bagi arsitek adalah, bagaimana dengan energi rendah dapat dihasilkan produk arsitektur yang
nyaman (spasial, visual, auditorial dan termal), atau dengan kata lain, bagaimana dengan
energi yang rendah dapat dihasilkan karya arsitektur yang memiliki performance tinggi.

2. Keterkaitan Teori dengan Desain Arsitektur


Untuk memenuhi formulasi tentang Arsitektur seperti yang dicanangkan Vitruvius yakni,
fungsional (utility), kokoh (firmness), dan indah (beauty), serta memenuhi tuntutan formulasi
Arsitektur Masa Kini, bahwa karya arsitektur harus memenuhi sasaran: produk karya seni,
nyaman dan hemat energi, perlu adanya dukungan substansi dari teori dan sains arsitektur.
Tabel 1 memperlihatkan kaitan sejumlah ilmu teori dan sains (Arsitektur) dengan
pemenuhan kriteria desain arsitektur (indah, fungsional, kokoh) serta tuntutan karya arsitektur
masa kini (estetis, nyaman dan hemat energi)

3. Kenyamanan dan Karya Arsitektur


Selain untuk pemenuhan aspek kenyamanan psikis, kenyamanan fisik merupakan satu di
antara alasan mengapa manusia perlu membuat bangunan dan mendiaminya. Kenyamanan
fisik terkait dengan aspek spasial (ruang), visual (penglihatan, dapat termasuk estetika),
auditorial (pendengaran) dan thermal (termis, suhu), serta olfactual (bau). Meskipun untuk

2
yang terakhir (kenyamanan bau) tidak pernah dibicarakan lebih lanjut mengingat tidak memiliki
unit ukuran tertentu serta lebih bersifat subyektif (Karyono, 2008).
Dalam melakukan suatu aktifitasnya, misalnya duduk, mengetik, menggambar, tidur, dan
sebagainya, manusia dengan ukuran tubuh tertentu memerlukan ruang gerak dengan ukuran
tertentu yang disebut ruang (space). Agar aktifitasnya dapat berjalan baik, ruang yang
dipergunakan bagi pergerakan tersebut harus memiliki dimensi yang cukup atau sesuai
dengan ukuran tubuh dan ruang geraknya.

Tabel 1. Kaitan Teori dan Desain Arsitektur yang Kokoh, Indah, Fungsional (Nyaman Fisik)
dan Hemat Energi (Karyono, 2006)

FUNGSIONAL
TUNTUTAN KOKOH
ARSITEKTUR (KUAT & KAKU)
(VITRUVIUS) INDAH

PRODUK KARYA
SENI (ESTETIS)
NYAMAN FISIK
TUNTUTAN -Spasial (Ruang)
ARSITEKTUR - Visual
(MASA KINI) (Pencahayaan)
- Auditorial
(Suara)
- Termal (Suhu)
HEMAT
ENERGI

- Pengantar - Sains (Fisika Bangunan): - Teori/ Sejarah - Mekanika


Arsitektur - pencahayaan (lighting) Arsitektur Teknik (Statika
(pengenalan - tata suara (akustik) - Pengantar Gaya)
ruang) - kenyamanan termal Arsitektur - Struktur
- Materi tentang -ventilasi/pengudaraan tentang Elemen Bangunan
Kenyamanan dalam bangunan Estetika: Skala, - Konstruksi
Spasial ini - iklim dalam arsitektur proporsi, ritme, Bangunan
MATA KULIAH diajarkan pada - arsitektur tropis keseimbangan, - Ilmu Bahan
TEORI MK Studio - bangunan hemat energi kesatuan, Bangunan
(PENDUKUNG) Perancangan: - Utilitas bangunan sekuen, hirarki,
penentuan aksentuasi,
dimensi ruang (Untuk kenyamanan Non warna, dsb
(studi Fisik, dukungan materi - Estetika Bentuk
antropometri- diperoleh dari mata kuliah - Nirmana Datar/
ergonomi), semacam Psikologi Nirmana Ruang
pemrograman Arsitektur) - Dsb.
ruang, studi
aktifitas, studi
perabot
Tri H. Karyono, MATA KULIAH TEORI (PENDUKUNG)
2006

Ketika arsitek mulai merancang ruang tertentu bagi keperluan aktifitas tertentu, mula-mula
ia akan memperhitungkan dimensi ruang yang terkait dengan aktifitas pengguna serta dimensi
perabot - perabot yang akan mendukung aktifitasnya. Dalam hal ini arsitek melakukan
tindakan untuk pemenuhan aspek kenyamanan spasial (ruang).
Agar si pemakai ruang dapat melihat secara jelas benda yang ada di dalam ruang, maka
arsitek harus memikirkan besar kecilnya level penerangan yang diperlukan di dalam ruang
tersebut. Untuk ruang yang terkait dengan aktifitas membaca atau melihat obyek kecil,

3
misalnya ruang baca, ruang perpustakaan, ruang kelas, laboratorium, maka diperlukan level
penerangan yang lebih tinggi dibanding ruang lain yang digunakan untuk melihat obyek yang
lebih besar dengan tingkat ketelitian yang lebih rendah, misalnya ruang makan, ruang tidur,
koridor, garasi, dan sebagainya. Dalam kaitan ini, arsitek melakukan tindakan pemenuhan
kenyamanan visual (penglihatan).
Dengan dimensi yang memadai, level penerangan yang cukup, manusia pengguna ruang
belum tentu merasa nyaman dan dapat bekerja dengan konsentrasi baik apabila ada suara-
suara gaduh yang masuk menembus ruang. Untuk itu arsitek perlu memikirkan bagaimana
agar intensitas bunyi yang masuk dapat dibatasi di bawah level tertentu yang tidak
mengganggu pendengaran pengguna ruang tersebut.
Seandainya seluruh aspek di atas dipenuhi: dimensi ruang cukup, cahaya cukup dan
gangguan bunyi dibatasi, pengguna ruang belum tentu dapat bekerja optimal ketika suhu
ruang terlalu tinggi dan menimbulkan panas. Atau, suhu terlalu rendah sehingga menimbulkan
efek dingin yang berlebihan. Permasalahan ruang yang panas atau dingin tidak hanya
disebabkan oleh suhu udara ruang yang tinggi atau rendah, namun juga terkait dengan suhu
radiasi bidang-bidang pembentuk ruang (dinding, langit-langit dan lantai), terkait dengan laju
aliran udara (angin) di dalam ruang, terkait dengan tingkat kelembaban udara ruang. Ketika
arsitek melalui rancangan arsitektur mencoba membuat agar ruang tidak terlalu panas atau
tidak terlalu dingin sehingga pengguna ruang akan merasa nyaman, maka dia melakukan
tindakan pemenuhan kenyamanan termal.
Mata kuliah Sains (Fisika) Bangunan memberikan pengetahuan kepada calon arsitek
bagaimana bangunan dapat nyaman secara visual, auditorial dan termal. Dengan penguasaan
substansi tersebut ditambah dengan pemahaman tentang pengaruh iklim terhadap bangunan,
diharapkan calon arsitek dapat memiliki pengetahuan tentang rancangan bangunan hemat
energi. Sementara itu, aspek kenyamanan spasial pada umumnya dipelajari melalui
pengalaman merancang ruang atau studi ruang, sirkulasi, organisasi ruang, dan membuat
denah.
Melalui penguasaan ilmu Sains (Fisika) Bangunan diharapkan arsitek mampu merancang
lingkungan binaan yang tidak saja indah (secara estetika baik) dan kokoh secara struktur,
namun juga nyaman serta minim dalam penggunaan sumber daya alam (Karyono, 2006).

4. Kenyamanan Termal
Dalam konteks bangunan, kenyamanan didefinisikan sebagai suatu kondisi tertentu yang
mampu memberikan sensasi menyenangkan bagi pengguna bangunan tersebut
(Karyono,2009). Manusia dinyatakan nyaman secara termal ketika ia tidak dapat menyatakan
apakah ia menghendaki perubahan kondisi termal yang lebih panas atau lebih dingin dalam
ruangan tersebut (McIntyre, D.A., 1980). Olgyay (1963) merumuskan suatu ‘daerah nyaman’
sebagai suatu kondisi di mana manusia berhasil meminimalkan pengeluaran energi dari dalam
tubuhnya dalam rangka menyesuaikan (mengadaptasi) terhadap lingkungan termal di
sekitarnya.
Standard ASHRAE 55-56, 1992 mendefinisikan kenyamanan termal sebagai perasaan
dalam pikiran manusia yang mengekspresikan kepuasan terhadap lingkungan termalnya.
Dalam standard ini juga disyaratkan bahwa suatu kondisi dinyatakan nyaman apabila tidak
kurang dari 90% responden yang diukur menyatakan nyaman secara termal. Sementara
Standar Internasional Kenyamanan Termal, ISO - 7730 juga mensyaratkan kondisi yang sama,
yakni tidak lebih dari 10% responden yang diukur diperkenankan berada dalam kondisi tidak
nyaman.
Secara teori ada enam factor yang mempengaruhi tingkat kenyamanan manusia, yakni 4
faktor iklim: suhu udara, suhu radiasi, kelembaban udara, kecepatan angina, serta 2 faktor
individual (personal): jenis aktifitas (terkait dengan laju metabolisme tubuh) dan jenis pakaian
yang dikenakan (terkait dengan tahanan panas pakaian). Meskipun demikian, teori Adaptasi
(Humphreys, 1992) menyatakan bahwa ada factor lain yang memmpengaruhi kenyamanan,
yakni ‘adaptasi’, terkait dengan proses penyesuaian tubuh manusia terhadap kondisi termal
lingkungan di sekitarnya.

4
4.1. Perlunya Suhu Nyaman
Untuk menyelenggarakan aktifitasnya agar terlaksana secara baik manusia memerlukan
kondisi fisik tertentu di sekitarnya yang dianggap nyaman. Seorang sekretaris memerlukan
ruang kerja yang secara spasial memadai, memerlukan meja, kursi, rak arsip serta
perlengkapan kerja lainnya yang secara antropometri - ergonomi sesuai dengan dimensi serta
kebutuhan pergerakan anggota tubuhnya. Dia juga memerlukan intensitas cahaya yang cukup
agar dapat membaca, mengetik, membuat catatan dengan baik. Ada kebutuhan dan
persyaratan lain yang diperlukan oleh si sekretaris agar dia dapat melakukan pekerjaannya
dengan baik. Salah satu persyaratan yang tidak kalah pentingnya adalah persyaratan akan
‘suhu nyaman’, yaitu suatu kondisi termal udara di dalam ruang di mana ia berada, yang ‘tidak
mengganggu’ tubuhnya.
Suhu ruang yang terlalu rendah akan mengakibatkan efek ‘dingin’ di mana sang sekretaris
akan kedinginan atau menggigil, sehingga kemampuan kerjanya menurun. Sementara suhu
ruang yang tinggi akan mengakibatkan efek ‘panas’, yang dapat mengakibatkan tubuh
berkeringat dan tentu mengurangi produktifitas kerja. Dari berbagai penelitian disimpulkan
bahwa produktifitas cenderung menurun atau tidak maksimum pada kondisi udara yang tidak
nyaman. Dengan demikian jelas terlihat bahwa di luar persyaratan-persyaratan lain yang
diperlukan, suhu ruang yang nyaman dalam bangunan sangat diperlukan agar
penyelenggaraan aktifitasnya manusia dapat berjalan dengan baik.
Penelitian yang dilakukan Ellsworth Huntington dikutip Victor Olgyay dalam Design with
Climate (Olgyay, 1963), memperlihatkan bahwa tigkat produktifitas dan kesehatan manusia
sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim setempat. Apabila kondisi iklim - yang berkaitan dengan
suhu udara, kelembaban, radiasi matahari, angin, hujan, salju dan sebagainya - sesuai
dengan kebutuhan fisik manusia, maka tingkat produktifitas manusia mencapai titik maksimum
demikian pula dengan tingkat kesehatan yang akan mencapai kondisi optimal apabila kondisi
iklim juga mendukung pencapaian kondisi tersebut.
Penelitian Huntington (Olgyay, 1963) yang dilakukan di Amerika serta beberapa negara
Eropa ini menunjukkan bahwa puncak produktifitas dan kesehatan manusia dicapai pada iklim
yang berbeda antara tempat satu dengan lainnya di muka bumi ini. Semakin mendekati arah
kutub, seperti halnya Scotlandia, Scandinavia dan Finlandia, manusia akan mencapai tingkat
produktifitasnya pada musim panas, yakni antara bulan July dan September sementara musim
dingin adalah kondisi terburuk di mana produktifitas manusia mencapai titik terendah.
Sementara di Italy, Spanyol dan Yunani yang letaknya menjahui kutub, kondisi musim dingin
tidak memberikan dampak yang terlalu buruk bagi produktifitas dan kesehatan manusia seperti
halnya di Scotlandia. Sementara itu di kawasan Mediterania yang sudah mendekat katulistiwa,
musim dingin merupakan kondisi yang optimal bagi produktifitas manusia dan kesehatan.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa manusia yang berdiam pada kawasan dekat
dengan kutub - yang sedikit sekali menerima sinar matahari, musim panas merupakan kondisi
yang menggairahkan untuk beraktifitas. Sebaliknya, pada kawasan di dekat katulistiwa,
terlebih lagi di daerah tropis, panas matahari yang menyengat membuat manusia mudah lelah,
sehingga produktifitas menurun pada saat musim panas atau kemarau.
Tingkat produktifitas dan daya tahan fisik (kesehatan) manusia berada pada suatu zona
tertentu, sementara di luar zona ini produktifitas dan daya tahan fisik manusia menurun. Zona
ini berkaitan dengan kenyamanan, di mana menurut laporan dari berbagai penelitian berbeda
antara kelompok manusia yang bediam di lokasi iklim berbeda. Penelitian CEP Brookes dikutip
oleh Olgyay (Olgyay, 1963) memperlihatkan bahwa orang Inggris memiliki zona nyaman
antara 15oC hingga 20oC sementara manusia yang berdiam di Amerika Serikat mencapai
o o
tingkat nyaman pada suhu antara 19,5 C hingga 26,7 C, sedangkan mereka yang tinggal
pada kawasan tropis mencapai tingkat nyaman pada suhu udara 23,4 oC hingga 29,4oC,
seluruhnya pada kondisi kelembaban antara 30 hingga 70%.

4.2. Kenyamanan Termal di Daerah Tropis Asia Tenggara


Sejumlah penelitian kenyamanan termal telah dilakukan oleh berbagai peneliti di beberapa
negara di wilayah Asia Tenggara, yakni di Singapura, Thailand, Papua Nugini, dan Indonesia.

5
Penelitian kenyamanan termal dilakukan di Singapura tahun 1952 dan 1953 oleh peneliti
kenyamanan termal Inggris, Webb (Webb, 1952), dilanjutkan oleh Ellis (Ellis, 1952, 1953).
Richard de Dear (de Dear, 1991) dari Australia, melakukan penelitian di negara tersebut tahun
1990. Penelitian kenyamanan termal di Bangkok, Thailand, dilakukan oleh Peneliti Amerika,
John Busch tahun 1988 (Busch, 1990). Penelitian kenyamanan termal di ibu kota Port
Moresby, Papua Nugini dilakukan oleh Ballantyne tahun 1967 dan 1979 (Ballantyne 1967,
1979).
Table 2.
Temperatur Nyaman di sejumlah penelitian di beberapa negara Asia Tenggara

Study by Time Type of Study Country/ Ethnic No. of Comfort


(first author) Regions Subject (oC)
s
Mom 1937 Thermal Bandung, Indonesian 20 26.0 Ta
Chamber Indonesia European
Webb 1950 Field Study Singapore Malay 16 26.2 ET
European
Ellis 1952 Field study Journey between no data 5211 26.1 ET
Singapore-Hong votes (30.0 Ta)
Kong
Ellis 1953 Field study Singapore Eurasian, 118 22-25.5 ET
Chinese, (24.5-27.8 Ta)
Indian,
Ceylonese,M
alay
Ballantyne 1967 Field Study Port Moresby Caucasian 34 25.6 Ta
Ballantyne 1979 Thermal Port Moresby Melanesian 64 26.7 Ta
Chamber Caucasian 28 25.0 Ta
Busch 1988 Field Study Bangkok, Thai 1100 28.5 ET* (NV)
Thailand 24.5 ET*(AC)
25.4 ET*(all)
De Dear 1990 Thermal Singapore 1 Singaporean 32 25.4 Ta
Chamber
De Dear 1990 Thermal Singapore 2 Singaporean 98 upper limit:
Chamber 27.6Ta (70% RH)
27.9Ta (35%RH)
De Dear 1990 Field study Singapore 3 Singaporean 583 28.5 To (NV)
235 24.2 To (AC)
Karyono 1993 Field Study Jakarta, Indonesia Indonesian 596 26.4 Ta
26.7 To
25.3 Teq
Feriady 2001 Field Study Yogyakarta, Indonesia 525 28.75Ta
Indonesia
Karyono 2005 Temporary ITB, Bandung, Indonesian 20 24.7 Ta
Thermal Indonesia 25.4 To
Chamber 25.7 Tg

4.3. Kenyamanan Termal di Indonesia


Beberapa penelitian kenyamanan termal yang pernah dilakukan di Indonesia di antaranya
adalah penelitian yang dilakukan oleh Mom dan Wiesebron (Mom, 1947) antara tahun 1936
hingga 1940 di Bandung, tepatnya di Technische Hoogeschool (sekarang Institut Teknologi
Bandung, ITB). Penelitian tersebut melibatkan tiga kelompok etnis sebagai responden: etnis
Eropa, Tionghoa, dan Indonesia asli (pribumi). Dari penelitian ini diperoleh rentang suhu
nyaman untuk responden Indonesia adalah antara 24oC hingga 28oC suhu udara dengan
kelembaban sekitar 70%. Beberapa penelitian lain juga dilakukan di Yogyakarta oleh Henry
Feriadi (Feriadi, 2002) dari Teknik Arsitektur Universitas Duta Wacana dan Sugini (Sugini,

6
2007) dari Teknik Arsitektur UII terhadap sejumlah responden di kawasan permukiman di kota
tersebut.
Penelitian kenyamanan termal lain dilakukan oleh penulis (Karyono, 2000) pada tahun
1993 di Jakarta melibatkan 596 responden karyawan dan karyawati yang bekerja di tujuh
bangunan kantor menghasilkan suhu nyaman responden, yakni 26,4oC suhu udara dengan
deviasi sekitar 2oC. Dari penelitian ini terungkap bahwa standar suhu nyaman internasional
ISO-7730 dan ASHRAE 55-56, terpaut sekitar 1 hingga 3 oC lebih rendah dari suhu nyaman
yang dibutukan para responden. Ini berkonsekuensi terhadap penggunaan energi yang
berlebih yang semestinya tidak diperlukan.
Hasil penelitian ini telah dipublikasikan secara internasional di beberapa tempat di dunia:
Inggris, Australia, Eropa, Amerika dan Afrika Selatan. Data penelitian ini diambil sebagai salah
satu data base penelitian kenyamanan termal yang pernah dilakukan di dunia oleh Macquarie
University - Australia dan Center for Environmental Design Research, University of California,
Berkeley, USA (de Dear, 1997). Data penelitian di Jakarta ini juga dijadikan salah satu dari
sejumlah data penelitian lain di berbagai tempat di dunia untuk mengkoreksi Standar
Internasional ISO-7730, 1994 dan Standard Amerika ASHRAE 55-56, 1992.
Penelitian kenyamanan termal di Bandung tahun 2005 (Karyono, 2008) yang dilakukan
penulis memperlihatkan bahwa responden merasa nyaman pada suhu udara yang tidak jauh
bebeda dengan suhu udara luar rata-rata bulanan. Temuan ini mengindikasikan bahwa
dengan perancangan arsitektur yang tepat sesuai iklim setempat, secara umum bangunan di
Bandung tidak memerlukan bantuan mesin pengkondisian udara mekanis (AC) untuk
memberikan kenyamanan termal kepada penggunanya.
Dari berbagai penelitian yang dilakukan para peneliti kenyamanan termal, terlihat
bahwa hasil penelitian umumnya hanya tepat digunakan bagi kebutuhan lokal, dan kurang
sesuai untuk diaplikasikan secara universal bagi pemenuhan suhu nyaman kelompok manusia
lain dari bangsa lain, dengan letak geografi, perilaku, dan jenis pakaian setempat yang
berlainan.
Peneliti kenyamanan termal Inggris, Prof Michael Humphreys (Humpreys, 1992, 1996)
mencetuskan teori Adaptasi yang memperlihatkan bahwa kebutuhan suhu nyaman antara satu
kelompok manusia yang tinggal di satu tempat akan berbeda dengan kelompok lain yang
berdiam di tempat lain. Suhu nyaman yang dipilih oleh sekelompok manusia ternyata ada
kaitannya dengan suhu rata-rata bulanan di mana kelompok tersebut tinggal. Dalam batas
tertentu, semakin tinggi suhu udara rata-rata bulanan di suatu tempat, maka manusia yang
berdiam di tempat tersebut akan merasa nyaman pada suhu udara yang lebih tinggi pula.
Meskipun demikian, untuk tujuan praktis, dua buah standar suhu nyaman saat ini banyak
digunakan di negara atau wilayah yang belum memiliki standar suhu nyaman, yakni Standar
Internasional untuk kenyamanan termal, ISO 7730-1994 serta ASHRAE 55-56, 1992.
Dalam penggunaan kedua standar tersebut di Indonesia dijumpai adanya
kekurangsesuaian terhadap kebutuhan suhu nyaman manusia Indonesia pada umumnya.
Banyak ditemukan bahwa dengan menggunakan standar ini sering muncul keluhan terhadap
rendahnya suhu ruang yang mengakibatkan ketidaknyamanan (dingin) (Karyono, 2000).
Karena adanya perbedaan antara angka suhu nyaman dalam standar dengan kebutuhan
suhu nyaman manusia Indonesia, di mana angka standar terlalu rendah, hal ini mendorong
terjadinya pemborosan energi di sektor bangunan di Indonesia. Arsitek dan konsultan M&E di
Indonesia perlu menyadari hal ini. Standar ASHRAE 55-56, 1992 merupakan acuan
kenyamanan termal yang dikembangkan di Amerika melalui penelitian laboratorium di Amerika
terhadap sejumlah manusia yang berdiam di negara tersebut. Sangat sulit diterima apabila
acuan ini juga akan sesuai dengan kebutuhan manusia Indonesia yang telah lama berdiam di
iklim yang berbeda.
Akibat dari penerapan suhu nyaman dari standar asing yang lebih rendah dari
kebutuhan nyata suhu nyaman manusia Indonesia, di satu pihak karyawan/wati yang bekerja
pada gedung-gedung berpengkondisi udara merasakan suhu yang terlalu dingin dari yang
diperlukan, atau dengan kata lain 'dingin-tidak nyaman'. Di lain pihak, terlalu rendahnya setting
suhu di dalam bangunan berkonsekuensi terhadap semakin borosnya energi yang digunakan
oleh bangunan.
7
Bangunan-bangunan berpengkondisi udara di Indonesia dengan setting suhu nyaman
yang mengacu pada standar ASHRAE 55-56 berpotensi memboroskan energi. Secara teori,
penurunan suhu ruang 1 oC akan menaikkan 10% penggunaan energi untuk pendinginan
bangunan. Dengan setting suhu udara sekitar 1 hingga 3 oC lebih rendah dari yang diperlukan,
bangunan memboroskan energi antara 10 hingga 30% dari kebutuhan energi pendinginan
dalam bangunan. Dengan kata lain, jika sumber energi bangunan berasal dari minyak bumi,
maka aspek kenyamanan termal bangunan menyumbang 10 hingga 30% pelepasan CO 2 lebih
banyak ke udara dan membantu terjadinya pemanasan bumi.

5. Desain Arsitektur dan Kenyamanan Termal


Arsitek bertanggung jawab terhadap bangunan dan lingkungan binaan yang dirancangnya.
Salah satu kelemahan rancangan arsitektur dapat mengakibatkan ketidaknyamanan termal
pengguna bangunan. Kekeliruan rancangan bangunan dapat menyebabkan bangunan
menjadi panas, sehingga diperlukan mesin AC dalam kapasitas besar. Mesin pendingin ini
memerlukan energi listrik yang umumnya dibangkitkan dari sumber energi minyak bumi dan
melepaskan sejumlah gas CO2 sebagai pemicu pemanasan bumi.
Kelemahan arsitek dalam merancang kota atau bagian kota, akan mengakibatkan
pemanasan kota, memunculkan fenomena ‘heat urban island’., menyulitkan bangunan untuk
memenuhi kenyamanan termal penghuninya karena suhu ruang menjadi terlalu tinggi. Salah
satu penyebab ketidaknyamanan termal bangunan adalah tingginya suhu udara luar.
Rancangan ruang luar dan ruang terbuka kota (taman, jalan, dan lainnya) perlu vegetasi yang
memadai baik dari segi jumlah maupun penempatan. Vegetasi menyerap CO2 dan
memberikan peneduh, turut membantu menyerap radiasi panas matahari dalam jumlah yang
besar sehingga menurunkan suhu udara di sekitarnya (Akbari, 1990). Hal ini sangat
membantu pencapaian kenyamanan termal manusia di dalam maupun di luar bangunan
Dengan rancangan kota yang tepat, yang mampu mengeliminir fenomena heat urban
island, disertai dengan rancangan bangunan yang tepat sesuai kondisi iklim setempat,
kebutuhan kenyamanan termal pengguna bangunan dapat dipenuhi tanpa, atau sedikit sekali
menggantungkan kepada pengkondisian udara mekanis AC.
Penggunaan sumber-sumber enegi alternatif yang tidak mengemisi CO2 bagi pemenuhan
aspek kenyamanan termal bangunan kiranya perlu mulai dipertimbangkan. Energi surya dalam
bentuk sel surya dan energi angin sudah banyak digunakan sebagai sumber energi alternatif
di sejumlah bangunan di negara-negara maju. Rancangan arsitektur masa depan dituntut
untuk lebih kreatif memanfaatkan sumber-sumber energi terbarukan yang tidak mengemisi
CO2. Kenyamanan termal di dalam bangunan harus dapat dicapai melalui rancangan kota dan
rancangan bangunan yang tidak tergantung dari sumber-sumber energi yang mengemisi CO2
sehingga dapat membantu mencegah proses pemanasan bumi lebih lanjut.

6. Konsep Rumah Rusun Hemat Energi


Suatu proposal konsep rumah susun hijau dikembangkan oleh Balai Besar Teknologi Energi
(B2TE), Serpong. Meskipun diberi nama rumah susun, namun dalam rancangan praktis,
bangunan ini merupakan asrama mahasiswa. Konsep ini merupakan tindak lanjut kerja sama
B2TE dengan Menpera yang pernah disepkatai bersama melalui penandatanganan MOU.
Mempertimbangkan kesulitan yang dihadapi Menpera untuk penyediaan lahan bagi program
seribu tower, lembaga ini menawarkan dana kepada sejumlah perguruan tinggi negeri maupun
swasta di Indonesia untuk memberikan dana pembangunan asrama mahasiswa. Cukup
banyak asrama mahasiswa yang telah dibangun dan digunakan melalui program Menpera ini,
meskipun tetap dengan label ’rumah susun’.
Konsep yang dikembangkan B2TE bukan hanya sekadar mengarah kepada bangunan
hemat energi, namun ditambah dengan konsep penggunaan energi terbarukan, yakni solar
cell-photovoltaic (PV) dan pemanfaatan sumber energi terbarukan lainnya sesuai dengan
potensi wilayah setempat, seperti biomassa, biogas atau air (mikrohidro).
Rumah susun hemat energi adalah suatu hunian massal (bersama) yang hemat dalam
penggunaan (konsumsi) energi tanpa harus mengorbankan kenyamanan fisik penghuni rumah

8
susun. Secara umum, konsep rancangan bangunan ’rumah susun’ ini dapat diuraikan sebagai
berikut (Karyono, 2010):
1. Pengertian Hemat Energi dalam bangunan rumah susun terkait dengan konsumsi energi
untuk: pengudaraan buatan (penggunaan AC) pencahayaan artifisial (lampu)
2. Pengertian Kenyamanan fisik terkait dengan: kenyamanan termal kenyamanan visual
(penglihatan/pencahayaan)
3. Bangunan terdiri atas 3-5 lantai
4. Lantai bangunan terbagi atas dua deret unit hunian dipisahkan oleh ’selasar’ di tengah.
Lebar selasar sekitar 1,5 hingga 2,4m disesuaikan dengan kebutuhan
5. Semakin ke atas, lantai semakin melebar sekitar 80cm. Ini dimaksudkan untuk memberi
peneduhan terhadap dinding/jendela pada lantai di bawahnya, tanpa harus membuat
kanopi tersendiri
6. Sisi memanjang bangunan menghadap utara-selatan untuk mengurangi penyinaran
(radiasi) langsung dari matahari, sehingga diharapkan ruang di dalam bangunan tidak
terlalu panas
7. Pada setiap unit hunian (atau kamar untuk asrama), ketinggian plafon dari lantai minimal
3m, dimaksudkan untuk memberikan volume udara yang memadai bagi penghuni
8. Sepanjang dinding luar bangunan pada ketinggian 20 cm di atas lantai serta 2,20 m di
atas lantai dipasang lubang-lubang ventilasi (’rooster’ atau ’kerawang’) masing-masing
setinggi 20 cm dan 80 cm untuk keperluan ventilasi udara, dan memberikan efek sejuk di
dalam unit hunian/kamar.
9. Untuk wilayah dataran tinggi atau pegunungan yang berhawa sejuk hingga dingin,
bukaan/ lubang ventilasi (rooster atau kerawang) perlu dikurangi atau bahkan dihilangkan
untuk menghindari efek yang terlalu dingin sehingga kenyamanan termal justru tidak
tercapai.
10. Untuk mencegah masuknya binatang/serangga, lubang-lubang tersebut ditutup dengan
kawat ayakan pasir dan kasa nyamuk.
11. Warna bangunan dibuat terang atau putih, untuk meminimalkan penyerapan panas
matahari, sehingga ruang di dalam bangunan diharapkan tidak panas.
12. Dengan konsep rancangan di atas diharapkan ’tanpa menggunakan AC’, unit hunian tidak
akan panas/cukup nyaman bagi penghuni, sehingga konsumsi energi bangunan dapat
ditekan.
13. Untuk pencahayaan, koridor/selasar akan mendapatkan pencahayaan dari sejumlah
’glass box’ yang dipasang di tepi koridor (dua sisi) masing-masing selebar 10cm/ dekat
dinding. Cahaya akan diperoleh dari lantai atap (dak beton) yang juga akan diletakkan
sejumlah glass box tepat di atas koridor lantai di bawahnya.
14. Suplai energi utama tetap dari PLN.
15. Sumber energi terbarukan terdiri atas: sel surya, gas (hasil gasifikasi), biogas, serta
biofuel.
16. Sejumlah sel surya akan diletakkan di atap bangunan pada sisi utara. Jumlah modul yang
dipasang akan disesuaikan dengan ketersediaan dana. Bateri dan inventor diletakkan di
lantai dasar bangunan.
17. Energi listrik sel surya lebih ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan penerangan lampu
(terutama di luar bangunan serta koridor, atau ruang-ruang yang digunakan bersama).
18. Sumber energi gas diperoleh dari hasil gasifikasi sampah organik yang mudah diperoleh
di sekitar lokasi.
19. Peralatan gasifikasi akan diletakkan di lantai dasar bangunan Energi gas akan digunakan
bagi kebutuhan dapur/memasak
20. Sejumlah pipa akan dipasang untuk menyalurkan gas dari sumber pembuatan gas (lantai
dasar) ke ruang-ruang masak/dapur di unit hunian, atau ke dapur umum di setiap lantai.
21. Untuk rumah susun yang dibangun di tempat yang belum mendapat aliran listrik PLN,
perlu dipertimbangkan untuk dibangun generator.
22. Sumber bahan bakar generator diharapkan berasal dari gas hasil gasifikasi, atau dari
minyak nabati yang bahan dasarnya ada di sekitar lokasi, seperti buah jarak, nyamplung,
dsb.
9
23. Biogas juga akan menjadi pertimbangan jangka panjang, di mana bahan dasarnya akan
menggunakan limbah kotoran manusia penghuni rumah susun.

7. Penutup
Untuk pencapaian kenyamanan termal ruang, mesin pengkondisian udara, pemanas atau
pendingin (AC) mengkonsumsi energi sekitar 40 hingga 70% dari total konsumsi energi listrik
bangunan. Sementara bangunan sendiri mengkonsumsi sekitar 35 hingga 50% energi minyak
nasional suatu negara. Dengan kata lain, kebutuhan kenyamanan termal bangunan
mengkonsumsi antara 15 hingga 35% konsumsi minyak nasional suatu negara dan
melepaskan sejumlah gas CO2 dalam proporsi yang sama.
Kelemahan arsitek dalam merancang bangunan akan mengakibatkan ketidaknyamanan
termal bagi pengguna bangunan: terlalu dingin di negara beriklim sub tropis atau terlalu panas
di negara beriklim tropis. Kelemahan ini terutama disebabkan pertama, oleh ketidak perdulian
arsitek dalam merancang bangunan terhadap setting (lokasi) di mana bangunan tersebut
dibangun, sehingga tidak memperdulikan kondisi iklim setempat termasuk posisi matahari
terhadap bangunan. Hal ini akan menghasilkan bangunan dengan suhu udara yang terlalu
rendah untuk wilayah beriklim sub tropis, atau terlalu tinggi untuk wilayah beriklim tropis,
berkonsekuensi terhadap penggunaan mesin pemanas atau pendingin secara berlebihan.
Kelemahan kedua, karena keterbatasan pemahaman arsitek terhadap bangunan hemat
energi, yakni bangunan yang hemat dalam mengkonsumsi energi tanpa harus mengorbankan
kenyamanan fisik manusia, termasuk kenyamanan termal. Sehingga cukup banyak bangunan
diklaim sebagai bangunan hemat energi atau bangunan tropis, namun ternyata tidak nyaman
dan sesungguhnya boros energi. Cukup banyak bangunan mengkonsumsi energi yang
seharusnya tidak diperlukan jika bangunan tersebut dirancang dengan benar sesuai kaidah-
kaidah perancangan bangunan hemat energi, sehingga emisi CO2 dari bangunan dapat
diminimalkan
Dengan rancangan yang tepat disesuaikan dengan kondisi iklim setempat, masih sangat
dimungkinkan merancang bangunan yang nyaman secara termal tanpa harus menggunakan
AC.

Daftar Pustaka
Akbari, H. et al. (1990), Summer Heat Island, Urban Trees and White Surfaces, ASHARE
Transactions, pp.1381-1388.
ANSI / ASHRAE 55-1992, ASHRAE Standard Thermal Environmental Conditions for Human
Occupancy, ASHRAE Inc., Atlanta, USA.
Ballantyne, ER, et al. (1967), Environment Assessment of Acclimatized Caucasian Subjects at
Port Moresby, Papua New Guinea, 3rd Australian Building Research Congress, no 400,
Australia.
Ballantyne, ER, et al. (1979), A Survey of Thermal Sensation in Port Moresby, Papua New
Guinea, Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization, no 32, pp. 1-28,
Australia.
Busch, JF (1990), Thermal Responses to the Thai Office Environment, ASHRAE Transactions,
vol. 96, part 1. pp. 859-872.
de Dear, RJ, et al. (1991), Thermal Comfort in The Humid Tropics - Part 1: Climate Chamber
Experiments on Temperature Preferences in Singapore, ASHRAE Transactions, vol. 97,
part 1.
de Dear, RJ, et al. (1991), Thermal Comfort in The Humid Tropics - Part 2: Climate Chamber
Experiments on Thermal Acceptability in Singapore, ASHRAE Transactions, vol. 97, part 1.
de Dear, RJ, Leow, K.G., and Foo, S.C. (1991), Thermal Comfort in the Humid Tropics: Field
Experiments in Air Conditioned and Naturally Ventilated Buildings in Singapore,
International Journal of Biometeorology, Vol. 34, pp. 259-265.
Ellis, FP (1952), Thermal Comfort in Warm Humid Atmosphere - Observations in a Warship in
the Tropics, Journal of Hygiene, vol. 50, pp. 415-432, Cambridge, UK.

10
Ellis, EP (1953), Thermal Comfort in Warm and Humid Atmosphere, Journal of Hygiene, vol.
51, pp. 386-404.
Feriadi, H, Wong NH (2002), Thermal Comfort for Naturally Ventilated Houses in Indonesia, in
Proceedings of International Conference ‘Building Research and the Sustainability of the
Built Environment in the Tropics’, edited by Tri Harso Karyono, Fergus Nicol and Susan
Roaf, Tarumanagara University, Jakarta, 14-16 October 2002.
Humphreys, MA,(1992), Thermal Comfort Requirements, Climate and Energy, The Second
World Renewable Energy Congress, Reading, UK.
ISO (1994), International Standard 7730 - 1994, Moderate Thermal Environments -
Determination of the PMV and PPD Indices and Specification of the Conditions for Thermal
Comfort, Geneva, ISO.
Karyono, T.H. (1989), Solar Energy and Architecture: A Study of Solar Passive Design for
Hospital Wards in Indonesia, MA dissertation, Institute of Advanced Architectural Studies,
University of York, UK.
Karyono, TH (1996), Thermal Comfort in the Tropical South East Asia Region, Architectural
Science Review, vol. 39, no. 3, September, pp. 135-139, Australia.
Karyono, TH (2000), Report on Thermal Comfort and Building Energy Studies in Jakarta,
Journal of Building and Environment, vol. 35, pp 77-90, Elsevier Science Ltd., UK.
Karyono, TH, et al (2006): Report on thermal comfort study in Bandung, Proceedings of
International Conference ‘Comfort and Energy Use in Building Getting Them Right’,
Cumberland Lodge, Windsor Park, United Kingdom, 27-30 April 2006.
Karyono, TH (2006), Pengajaran Sains (Fisika) Bangunan dan Tuntutan Formulasi Arsitektur
terhadap Kenyamanan dan Hemat Energi, Prosidings Seminar Nasional Pengelolaan dan
Pendidikan Arsitektur, Universitas Bina Nusantara, Jakarta, 13 Desember
Karyono, TH (2008), Pembelajaran studio Perancangan Arsitektur (SPA) dan Penekanan
Aspek Kenyamanan serta Energi, Prosidings Seminar Pendidikan Arsitektur, Jurusan
Arsitektur, Universitas Udayana, Bali, 6 Februari
Karyono, TH (2008), Bandung Thermal Comfort Study: Assessing the Applicability of an
Adaptive Model in Indonesia, Architectural Science Review, vol. 51.1, March, pp. 59-64,
Australia.
Karyono, TH (2010), Applikasi PV dalam Arsitektur, Seminar ”PV Technology for Economic
Scale Power Plant”, PT LEN Industry, Hotel Gran Melia, 23 Februari 2010
McIntyre, D.A., (1980), Indoor Climate, Applied Science, UK
Mom, CP, et al. (1947), The Application of the Effective Temperature Scheme to the Comfort
Zone in the Netherlands Indies, Chronica Naturae, vol. 103.
Olgyay, V (1963), Design with Climate: Bioclimatic Approach to Architectural Regionalism,
Princenton University Press, Princenton
Sugini (2007), Indoor Climatic Variables and the Bias of Thermal Comfort Index of PMV in
Warm Humid Climate with A Specific Reference of Yogyakarta, Indonesia, proceedings of
th
the 8 International Conference ‘Sustainable Environmental Architecture: Sustainablity in
Rain, Sun and Wind’, Petra University, Surabaya, 23-14 August 2007.
de Dear, R, Brager, G, Cooper, D (1997), Developing an Adaptive Model of Thermal Comfort
and Preference: Final Report on RP-884, Macquarie University and Center for the
Environmental Design Research, University of California Berkeley, Macquarie Research
Ltd., Australia.
st
Roaf, S, Crichton, D, Nicol, F (2005), Adapting Buildings and Cities for Climate Change A 21
Century Survival Guide, Architectural Press – Elsevier, UK
Webb C.G. (1952): On Some Observation of Indoor climate in Malaya, Journal of the
Institution of Heating and Ventilating Engineers, August, pp. 189-195

11

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai