Anda di halaman 1dari 7

TOKO BIDANG ILMU ASTRONOMI

Al-Farazi

AL-FAZARI yang bernama lengkap Abu Abdallah Muhammad ibn Ibrahim al-Fazari,
belum terdeteksi tempat kelahirannya. Ada sumber mengatakan orang Arab hijrah ke Persia ada
juga mengatakan orang Persia. Akan tetapi di dalam ensiklopedia ia dikategorikan sebagai
ilmuwan Persia. Tanggal kelahirannya juga belum disepakati dan tahun wafatnya ada dua versi.
Yang pertama menganggap ia wafat pada 796 M dan lainnya 806 M.
Ia termasuk salah seorang ilmuan muslim abad pertengahan yang menggores sejarah
keilmuan, terutama dengan penemuannya yang sangat menakjubkan, yaitu Astrolabe, sebuah
alat pengukuran secara spesifik dengan menggunakan sistem peralatan tertentu dalam
menyelesaikan problem yang berhubungan dengan waktu dan posisi matahari, bulan, dan
bintang.
Astrolabe sesungguhnya bagian dari astronomi, bidang kajiannya hampir sama, hanya
saja astrolabe lebih spesifik dan dapat dikatakan bagian dari astronomi dalam arti umum.
Astrolabe lebih operasional dan lebih praktis. Astrolabe ini kemudian dikembangkan dalam
program ilmu komputer yang sekarang ini semakin canggih, seperti Astrolabe Planispheris.
Sebuah sumber menyebutkan jumlah Astrolabe pada abad ke 12 sudah berjumlah 800
bertebaran di sejumlah negeri muslim. Konon salah satu di antaranya dimiliki seorang
pengembara sekaligus ilmuwan Bugis Makassar bernama Karaeng Pattingalloang. Sayang alat
ini hancur dalam perang saudara antara kerajaan Bugis dan kerajaan Makassar.
Bisa dibayangkan betapa hebatnya Al-Fazari, 1500 tahun lalu sudah mampu menemukan
sistem dan sekaligus membuat alat Abstrolabe yang tingkat akurasinya sangat tajam dan rigid.
Astrolabe yang ada saat ini hanya pengembangan-pengembangan dalam bentuk asessoris, yang
sesungguhnya prinsip dan system kerjanya sama dengan temuan Al-Fazari. Temuan Astrolabe
Al-Fazari membantah teori Barat yang mengatakan Zaman Renaisans adalah zaman pencerahan
(enlightenment) yang seolah-olah sebelumnya abad kegelapan dan abad identik kebodohan,
miskin peradaban. Kalau itu dibatasi di Barat, mungkin itu benar. Akan tetapi kalau digeneralisir
tidak benar, karena sebelum Renaissans dunia Islam sudah mencapai peradaban tinggi,
sebagaimana disebutkan dalam beberapa artikel terdahulu. Bahkan bisa dikatakan bahwa roh
renaissans sesungguhnya adalah roh Islam, karena lahirnya renaissans disemangati kemajuan
Timur (Islam) dan masih gelapnya peradaban Barat saat itu.
Perbedaan mendasar antara peradaban Islam (abad pertengahan) dengan Renaissans
Barat terletak pada kenyataan bahwa dalam peradaban Islam disemangati unsur spiritual tauhid,
sedangkan Renaissans disemangati rasionalisme. Peradaban yang disemangati oleh spiritualitas
tentu akan lebih dirasakan manfaatnya oleh manusia dan dunia kemanusiaan.
Akan tetapi peradaban yang disemangati oleh rasionalisme akan terjebak pada faham
antropocentris, yang hanya akan memenuhi harapan dan kebutuhan matrial mahusia, tidak
wilayah spiritualnya. Tidak heran jika zaman positivisme di Barat berlalu dengan cepat, karena
terbuti teriakan Enstein bahwa: Ilmu tanpa agama buta dan agama tanpa ilmu lumpuh. Ini
artinya peradaban yang benar ialah: Iqra bi ismi Rabbik, peradaban yang berketuhanan.
Al-Fazari termotivasi untuk mengembangkan Astrolabe oleh pandangan hidupnya
sebagai seorang mulim, yang setiap saat harus menunaikan shalat kapan pun dan di manapun.
Karena itu, untuk menentukan arab kiblat, penentuan waktu-waktu shalat, dan menentukan 1
Ramadhan untuk mulai berpuasa, dll, diperlukan alat-alat yang canggih seperti Astrolabe,
meskipun kegunaannya bukan sekadar itu.
Al-Farghoni

Al-Farghani adalah seorang ahli astronomi muslim yang sangat berpengaruh. Nama
lengkapnya adalah Abu al-Abbas bin Muhammad bin Kalir al-Farghani. Di Barat, para ahli
astronomi abad pertengahan mengenalnya dengan sebutan al-Farghanus.
Al-Farghani berasal dari Farghana, Transoxania. Farghana adalah sebuah kota di tepi
sungai Sardaria, Uzbekistan. Ia hidup di masa pemerintahan khalifah al-Ma'mun (813-833)
hingga masa kematian al-Mutawakkil (847-881). Al-Farghani sangat beruntung hidup di dua
masa tersebut karena pemerintah kekhalifahan memberi dukungan penuh bagi perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Buktinya, sang khalifah membangun sebuah lembaga kajian
yang disebut Akademi al-Ma'mun, dan mengajak al-Farghani untuk bergabung. Bersama para
ahli astronomi lain, ia diberi kesempatan menggunakan peralatan kerja yang sangat canggih
pada masa itu. Ia memanfaatkan fasilitas yang ada untuk mengetahui ukuran bumi, meneropong
bintang, dan menerbitkan laporan ilmiah. Pada tahun 829, al-Farghani melakukan penelitian di
sebuah observatorium yang didirikan oleh khalifah al-Ma'mun di Baghdad. Ia ingin mengetahui
diameter bumi, jarak, dan diameter planet lainnya. Pada akhirnya, ia berhasil menyelesaikan
penelitian tersebut dengan baik.
Al-Farghani juga termasuk orang yang turut memperindah Darul Hikmah al-Ma'mun dan
mengambil bagian dalam proyek pengukuran derajat garis lintang bumi. Al-Farghani juga
berhasil menjabarkan jarak dan diameter beberapa planet. Pada masa itu, hal tersebut merupakan
pencapaian yang sangat luar biasa.
Hasil penelitian al-Farghani di bidang astronomi ditulisnya dalam berbagai buku.
Harakat as-Samawiyya wa Jawami Ilm an-Nujum (Asas-Asas Ilmu Bintang) adalah salah satu
karya utamanya yang berisi kajian bintang-bintang. Sebelum masa Regiomontanus, Harakat as-
Samawiyya wa Jawami Ilm an-Nujum adalah salah satu buku yang sangat berpengaruh bagi
perkembangan astronomi di Eropa.
Di dalam buku tersebut, al-Farghani memang mengadopsi sejumlah teori Ptolemaeus,
tapi ia mengembangkanya lebih lanjut hingga membentuk teorinya sendiri. Tak heran, Harakat
a-Samawiyya wa Jawami Ilm an-Nujum mendapatkan respon yang positif dari para ilmuwan
muslim dan non muslim. Buku ini pun diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Harakat as-
Samawiyya wa Jawami Ilm an-Nujum yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris mengalami
perubahan judul menjadi The Elements of Astronomy. Pada abad XII, buku ini diterjemahkan
pula dalam dua versi bahasa Latin. Salah satunya diterjemahkan oleh John Seville pada tahun
1135, sebelum kemudian direvisi oleh Regiomontanus pada tahun 1460-an. Sebelum tahun
1175, karya ini juga sempat diterjemahkan oleh Gerard Ceremona.
Selanjutnya, Dante melengkapi karya al-Farghani ini dengan menambahkan pendapatnya
tentang astronomi dan memasukkan karyanya yang berjudul La Vita Nuova. Seorang ilmuwan
Yahudi yang bernama Jacob Anatoli juga menerjemahkan karya ini dalam bahasa Yahudi, dan
menjadi terjemahan latin versi ketiga (1590). Pada tahun 1669, Jacob Golius menerbitkan teks
Latin yang baru. Bersamaan dengan itu, sejumlah ringkasan karya al-Farghani telah beredar di
kalangan para ilmuwan. Di kemudian hari, The Elements of Astronomy diakui sebagai sebuah
karya yang sangat berpengaruh bagi para ilmuwan masa itu.
Tidak hanya aktif di bidang astronomi, al-Farghani juga aktif di bidang lain, seperti
teknik. Seorang ilmuwan yang bernama Ibnu Tughri Birdi berkata bahwa al-Farghani pernah
ikut melakukan pengawasan pada proyek pembangunan Great Nilometer di Kairo Lama (861).
Nilometer adalah sebuah alat pengukur pasang-surut air sungai Nil. Alat ini dibangun di pulau
Roda, sebuah pulau yang terletak di sebelah selatan Kairo. Nilometer berbentuk tiang yang
mampu mencatat ketinggian air. Bangunan tersebut berhasil diselesaikan bersamaan dengan
meninggalnya khalifah al-Mutawwakil, sang pencetus pembagunan Nilometer.
Al-Farghani juga pernah ditugaskan melakukan pengawasan pada sebuah proyek
penggalian kanal di kota baru, al-Ja'fariyya, yang terletak berdekatan dengan Samaran di daerah
Tigris. Proyek tersebut bernama Kanal al-Ja'fari. Saat itu, al-Farghani memerintahkan para
pekerja untuk membuat bagian hulu kanal lebih dalam dari pada bagian yang lain. Dengan
begitu, tidak akan ada air yang mengaliri kanal tersebut, kecuali jika permukaan air sungai Tigris
sedang pasang. Kebijakan al-Farghani ini sempat membuat khalifah marah, namun hitungan al-
Farghani kemudian dibenarkan oleh seorang pakar teknik yang berpengaruh, Sind bin Ali.
Akhirnya, sang khalifah mau menerima kebijakan tersebut. Dalam bidang teknik, al-Farghani
juga membuat karya dalam bentuk buku, yaitu Kitab al-Fusul, Ikhtiyar al-Majisti, dan Kitab
'Amal al-Rukhamat.
Karya utama al-Farghani yang berbahasa Arab masih tersimpan baik di Oxford, Paris,
Kairo, dan di perpustakaan Universitas Princeton. Atas karya dan jasanya yang begitu banyak,
nama al-Farghani dikenal sebagai salah satu perintis astronomi modern. Al-Farghani adalah
tokoh yang memperkenalkan sejumlah istilah astronomi asli Arab pada dunia, seperti azimuth,
nadir, dan zenith.
TOKOH BIDANG TAFSIR

Ibnu Jarir Al-Thabari


Nama Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah tidak asing di telinga kaum Muslim saat ini.
Ya, karena ia seorang ulama besar yang warisan kitabnya masih dirujuk hingga kini. Ibnu Jarir
memiliki nama lengkap Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Khalib ath-
Thabari rahimahullah. Ia dilahirkan pada 224 H di Amol, Thabaristan, Persia (selatan Laut
Kaspia). Setelah menapaki beberapa negeri guna menuntut ilmu, ia kemudian menetap di
“gudang ilmu” Baghdad hingga wafat.
Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah tumbuh di alam keilmuan yang mengantarkannya
menjadi seorang sejarawan dan pemikir Muslim ampuh Persia. Perjalanan menutut ilmu
dimulainya setelah 240 H. Ia sempat mengenyam pendidikan di Rayy, Syam, Mesir, dan
Baghdad. Semangatnya yang menggelora tak saja dalam aktivitas menimba ilmu, dalam
“mangikat” ilmu yang telah dikuasainya pun juga begitu. Ada riwayat mengatakan, sejarawan
yang juga mufasir ini mampu menulis 40 halaman dalam sehari.
Benarlah, Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berhasil melahirkan karya-karya
monumental selama hidupnya. Di antara kitabnya yang masyhur adalah Tarikh ar-Rusul wa al-
Muluk (Sejarah Para Nabi dan Raja), atau lebih dikenal dengan Tarikh ath-Thabari. Kitab ini
memuat sejarah dunia sampai 915 M dengan akurasi tingkat tinggi dalam mencatat sejarah Arab
dan Muslim.
Karya monumental lainnya adalah Tafsir ath-Thabari, yang sering dijadikan rujukan oleh
para pemikir Muslim lain, seperti al-Baghawi, as-Suyuthi, dan Ibnu Katsir rahimahumullah.
Penulisan kitab ini melalui proses spiritual yang tak sederhana. Dikatakannya, “Tiga tahun
lamanya aku memohon pilihan terbaik kepada Allah dan meminta pertolonganNya atas
penulisan karya tafsir yang aku niatkan, sebelum aku mengerjakannya. Lantas Dia memberikan
pertolonganNya kepadaku.”
Ibnu Jarir juga menulis kitab perihal hadits, yakni Tahdzibul Atsar. Di sini termuat hadist
beserta illatnya, jalan-jalannya, hukum-hukum yang terkandung, serta perbedaan pendapat para
ahli fiqih beserta dalil-dalilnya, yang juga diterangkan dari segi bahasa. Sayangnya, kitab ini
tidak sempat disusun sampai tuntas. Namun ada kitab hadits yang sempurna disusunnya, yakni
Musnad Ibnu Abbas. Bahkan ia menjadi kitab terbaik di masanya.
Menurut al-Khathib al-Baghdadi rahimaullah, Ibnu Jarir adalah salah satu ulama yang
perkataannya dijadikan putusan hukum dan pendapatnya dijadikan rujukan. Ia juga hafal al-
Qur’an, menguasai qira’at, paham akan makna, faqih dalam hukum, paham hadits beserta serba-
serbinya, paham atsar shahabat dan tabi’in, serta menguasai sejarah.
Dunia keilmuan rupanya telah menjadi pilihan hidupnya. Agar lebih fokus sebagai
intelektual, Ibnu Jarir rahimahullah memilih tidak mau menerima jabatan di pemerintahan. Di
masa itu memang sudah menjadi kebiasaan ulama menjauhi kekuasaan. Ia pernah ditawari
jabatan Qadhi, tetapi ditolaknya. Demikian juga jabatan sebagai al-Mazalim (lembaga
pengaduan atas tindak kezaliman).
Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah wafat pada hari Ahad di bulan Syawal 310 H dalam
usia 86 tahun. Menjelang wafat, seseorang memintanya agar berwasiat. Lalu ia berkata, “Hal
yang aku jadikan agamaku kepada Allah dan aku wasiatkan adalah apa yang sudah valid (dalil
yang shahih) di dalam kitab-kitab karyaku. Amalkanlah itu!” Ia wafat di Baghdad dan
dimakamkan di sana. Wallahu a’lam.
Ibnu Atiyah al-Andalusy

Nama lengkapnya adalah al-Qadhi Abu Muhammad Abd al-Haq ibn Ghalib ibn
Abdurrahman ibn Ghalib ibn Athiyyah al-Muharibi. Ia lahir di Granada pada tahun 481 H. Ia
dibesarkan di tengah keluarga yang sangat mencintai ilmu pengetahuan. Ayahnya adalah
seorang ulama hadis terkemuka yang hafal beribu-ribu hadis. Dari ayah inilah ia mendapat
pendidikan dasar agama Islam.
Ibnu Athiyyah dianugerahi kecerdasan yang luar biasa. Karena itu, pelajaran yang
diterimanya dengan mudah dihafalkan. Tentang hal ini, Imam as-Sayuthi dalam kitab Bughya
al-Wu’ad berkata, “Ia orang yang mulia. Terlahir dari keluarga yang berilmu. Otaknya sangat
cerdas. Bagus pemahamannya dan terpuji budi pekertinya.”
Riwayat hidup Ibnu Athiyyah tak pernah sepi dari pengembaraan menuntut ilmu. Kota-
kota seperti Qurthubah, Isybiliyyah, Marsiyah, dan Balansiyah adalah sedikit kota yang pernah
dikunjungi. Beragam disiplin ilmu ia pelajari dari sejumlah ulama. Misalnya, Abu Ali Husin ibn
Muhammad al-Ghassani. Ulama ini adalah gurunya yang utama. Namun sayang, ia berguru tak
lama sebab al-Ghassani wafat pada tahun 498 H.
Setelah itu, Ibnu Athiyyah berguru kepada al-Faqih Abu Abdullah Muhammad ibn Ali
ibn Muhammad at-Taghlibi. Sebagaimana al-Ghassani, ia juga belajar hingga at-Taghlibi wafat
pada tahun 508 H. Demikian juga kepada Abu Ali al-Husin ibn Muhammad ash-Shadafi hingga
ash-Shadafi wafat pada tahun 514 H. Hatta, pada tahun 542 H Ibnu Athiyyah meninggal dunia
di Andalus.
Salah satu karyanya yang berupa tafsir diberi nama al-Muharrir al-Wajiz fi Tafsir Al-
Qur’an al-Aziz yang mampu membangkitkan nasionalisme Arab. Melalui tafsir itu, ia tak henti-
hentinya memberi semangat kepada generasi muda untuk bersatu dan memandang kehidupan
dengan penuh optimistis.

Anda mungkin juga menyukai