Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

INFERTILITAS PADA PRIA

Oleh
Alfred H L Toruan

Pembimbing :
Dr. Heru Prasetya, SpB, SpU

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN


RSUP HASAN SADIKIN/RSUD ULIN
BANJARMASIN
2014
BAB I
PENDAHULUAN

Lebih kurang 10-15% istri dari pasangan suami istri atau pasutri yang
berhubungan seksual tanpa mempergunakan alat kontrasepsi belum hamil pada
tahun pertama perkawinan. Kegagalan pasutri dalam memperoleh keturunan itu,
30% disebabkan oleh faktor yang berasal dari suami, 20% disebabkan oleh faktor
yang berasal dari suami dan isteri. Jadi paling sedikit terdapat 50% penyebab
infertilitas yang berasal dari pria.1
Meskipun pada tahun-tahun berikutnya kemungkinan untuk mendapatkan
kehamilan masih tetap ada, tetapi pasutri yang belum berhasil pada saat itu
kemungkinan untuk tetap infertil (mandul) cukup besar sehingga evaluasi
medik harus sudah mulai dilakukan.1
Mengingat kemungkinan infertilitas yang disebabkan oleh isteri juga
cukup besar maka evaluasi infertilitas pada pasutri harus dilakukan secara
komprehensif bersama-sama dengan seorang spesialis ginekologi.1
Infertilitas didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk menjadi hamil
setelah paling sedikit selama 1 tahun melakukan hubungan seksual tanpa
perlindungan. Infertilitas menyebabkan masalah pada individual dan sosial untuk
pasangan. Pengobatan pada infertilitas pria merupakan hal yang sulit, khususnya
pada negara berkembang. Pada negara berkembang, pola dari infertilitas berbeda
dengan negara maju. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh WHO telah
menunjukkan 47% wanita dan 30,7% laki-laki menderita infertilitas sekunder dan
karenanya terdapat penyebab yang dapat dilakukan pencegahan pada kasus
infertilitas.2
BAB II
REPRODUKSI FISIOLOGIS PRIA

Kemampuan seorang pria untuk memberikan keturunan tergantung pada


kualitas sperma yang dihasilkan oleh testis dan kemampuan organ reproduksinya
untuk menghantarkan sperma bertemu dengan ovum. Kualitas sperma yang baik
dapat dihasilkan oleh testis yang sehat setelah mendapatkan rangsangan dari
organ-organ pretestikuler melalui sumbu hipotalamo-hipofisis-gonad.
Kemampuan sperma untuk melakukan fertilisasi ditentukan oleh patensi organ-
organ pasca testikuler dalam menyalurkan sperma untuk bertemu dengan ovum.1

Anatomi
1) Testis
Testis adalah organ genitalia pria yang pada orang normal jumlahnya ada
dua yang masing-masing terletak di dalam skrotum kanan dan kiri.
Bentuknya ovoida dan pada orang dewasa ukurannya adalah 4 x 3 x 2,5 cm,
dengan volume 15 – 25 ml. Kedua buah testis terbungkus oleh jaringan tunika
albuginea yang melekat pada testis. Di luar tunika albuginea terdapat tunika
vaginalis yang terdiri atas lapisan viseralis dan parietalis, serta tunika dartos.
Otot kremaster yang berada di sekitar testis memungkinkan testis dapat
digerakkan mendekati rongga abdomen untuk mempertahankan temperatur
testis agar tetap stabil.1
Secaa histopatologis, testis terdiri atas 250 lobuli dan tiap lobulus terdiri
atas tubuli seminiferi. Di dalam tubulus semminiferus terdapat sel
spermatogonia dan sel Sertoli, sedangkan di antara tubuli seminiferi terdapat
sel Leydig. Sel spermatogonium pada proses spermatogenesis menjadi sel
spermatozoa. Sel Sertoli berfungsi memberi makan pada bakal sperma,
sedangkan sel Leydig atau disebut sel interstitial testis berfungsi dalam
menghasilkan hormon testosteron.1
Sel spermatozoa yang diproduksi di tubulus seminiferus testis disimpan
dan mengalami pematangan/maturasi di epididimis. Setelah dewasa, sel
spermatozoa bersama-sama dengan getah epididimis dan vas deferens
disalurkan menuju ke ampula vas deferens, vesika seminalis, serta cairan
prostat membentuk cairan semen.1
Testis mendapatkan arah dari beberapa cabang arteri, yaitu 1) arteri
spermatika interna yang merupakan cabang dari aorta, (2) arteri deferensialis
cabang dari arteri vesikalis inferior, dan (3) arteri kresmatika yang merupakan
cabang arteri epigastrika. Pembuluh vena yang meninggalkan testis
berkumpul membentuk pleksus Pampiniformis. Pleksus ini pada beberapa
orang mengalami dilatasi dan dikenal sebagai varikokel.1
2) Epididimis
Epididimis adalah organ yang berbentuk seperti sosis terdiri atas kaput,
korpus, dan kauda epididimis. Korpus epididimis dihubungkan dengan testis
melalui duktuli deferentes. Vaskularisasi epididimis berasal dari arteri
testikularis dan arteri deferensialis. Di sebelah kaudal, epididimis
berhubungan dengan vasa deferens.1
Sel spermatozoa setelah diproduksi di dalam testis dialirkan ke
epididimis. Disini spermatozoa mengalami maturasi sehingga menjadi motil
(dapat bergerak) dan disimpan di dalam kauda epididimis sebelum dialirkan
ke vas deferens.1
Gambar 1. Anatomi testis dan epididimis
3) Vas deferens
Vas deferens adalah organ berbentuk tabung kecil dan panjangnya 30-35
cm, bermula dari kauda epididimis dan berakhir pada duktus ejakulatorius di
uretra posterior. Duktus deferens dibagi dalam beberapa bagian, yaitu (1)
parts tunika vaginalis, (2) pars skrotalis, (3) pars inguinalis, (4) pars
pelvikum, (5) pars ampularis. Pars skrotalis ini merupakan bagian yang
dipotong dan diligasi saat vasektomi. Duktus ini terdiri atas otot polos yang
mendapatkan persarafan dari sistem simpatetik sehingga dapat berkontraksi
untuk menyalurkan sperma dari epididimis ke uretra posterior.1
4) Vesikula seminalis
Vesikula seminalis terletak di dasar buli-bli dan di sebelah kranial dari
kelenjar prostat. Panjangnya kurang lebih 6 cm berbentuk sakula-sakula.
Vesikula seminalis menghasilkan cairan yang merupakan bagian dari semen.
Cairan ini diantaranya adalah fruktosa, berfungsi dalam memberi nutrisi pada
sperma. Bersama-sama dengan vas deferens, vesikula seminalis bermuara di
dalam duktus ejakulatorius.1
5) Kelenjar prostat
Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-
buli, di depan rektum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti
buah kemiri dengan ukuran 4x3x2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram.
Kelenjar ini terdiri dari jaringan fibromuskular dan glandular yang terbagi
dalam beberapa daerah atau zona, yaitu zona perifer, zona sentral, zona
transisional, zona preprostatik sfingter, dan zona anterior. Secara
histopatologik, kelenjar prostat terdiri atas komponen kelenjar dan stroma.
Komponen stroma ini terdiri atas otot polos, fibroblas, pembuluh darah, saraf,
dan jaringan penyangga yang lain.1
Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen
dari cairan semen atau ejakulat. Cairan ini dialirkan melalui duktus
sekretorius dan bermuara di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan
bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Volume cairan prostat
merupakan 25% dari seluruh volume ejakulat.1
Prostat mendapatkan inervasi otonomik simpatetik dan parasimpatetik
dari pleksus prostatikus atau pleksus pelvikus yang menerima masukan
serabut parasimpatetik dari korda spinalis S2-S4 dan simpatetik dari nervus
hipogastrikus (T10-L2). Rangsangan parasimpatetik meningkatkan sekresi
kelenjar pada epitel prostat, sedangkan rangsangan simpatetik menyebabkan
pengeluaran cairan prostat ke dalam uretra posterior, seperti pada saat
ejakulasi. Sistem simpatetik memberikan inervasi pada otot polos prostat,
kapsula prostat, dan leher buli-buli. Di tempat itu banyak terdapat reseptor
adrenergik-α. Rangsangan simpatetik menyebabkan dipertahankan tonus otot
polos tersebut. Pada usia lanjut sebagian pria akan mengalami pembesaran
kelenjar prostat akibat hiperplasi jinak sehingga dapat menyebabkan
penyempitan uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran
kemih. 1
6) Penis
Penis terdiri atas 3 buah korpora berbentuk silindris, yaitu 2 buah korpora
kavernosa yang saling berpasangan dan sebuah korpus spongiosum yang
berada di sebelah ventralnya. Korpora kavernosa dibungkus oleh jaringan
fibroelastik tunika albuginea sehingga merupakan suatu kesatuan, sedangkan
di sebelah proksimal terpisah menjadi dua sebagai krura penis. Setiap krus
penis dibungkus oleh otot ishio-kavernosus yang kemudian menempel pada
rami osis ischii. 1
Korpus spongiosum membungkus uretra mulai dari diafragma
urogenitalis hingga muara uretra eksterna. Sebelah proksimal korpus
spongiosum dilapisi oleh otot bulbo-kavernosus. Korpus spongiosum ini
berakhir pada sebelah distal sebagai glans penis. Ketiga korpora, yakni dua
buah korpora kavernosa dan sebuah korpus kavernosum dibungkus oleh fasia
Buck dan lebih ke superfisial lagi oleh fasia Colles atau fasia Dartos yang
merupakan kelanjutan dari fasia Scarpa. 1
Di dalam setiap korpus yang terbentuk oleh tunika albuginea terdapat
jaringan erektil yang berupa jaringan kavernus (berongga) seperti spon.
Jaringan ini terdiri atas sinusoid atau rongga lakuna yang dilapisi oleh
endotelium dan otot polos kavernosus. Rongga lakuna ini dapat menampung
darah yang cukup banyak sehingga menyebabkan ketegangan batang penis. 1
Gambar 2. Penis

Aksis reproduksi pada pria


Fungsi reproduksi pada laki-laki dikontrol oleh aksis reproduksi, dimana
memiliki 3 urutan utama dalam pengelolaannya, yaitu hipotalamus, kelenjar
pituitari, dan testis (gonad). Masing-masing dari dua urutan teratas dari aksis
memproduksi sebuah molekul sinyal endokrin yang berfungsi sebagai sebuah
pemicu sekret untuk sekresi hormon pada tingkat dibawahnya. Saraf hipotalamus
yang berlokasi di dalam area preoptik dengan akson-akson yang diproyeksikan ke
median utama dari gonadotropin-releasing hormone (GnRH) ke sistem portal
pembuluh darah yang mengarah ke pituitari, melalui saluran hipotala-hipofisial.
Kelenjar pituitari anterior mengandung gonadotrop, atau sel-sel yang mempunyai
kekhususan untuk sekresi dari gonadrotopin. Aktifitas sekretori dari gonadotrop
distimulasi oleh GnRH. Dua gonadotropin yang disekresi oleh gonadotrop
pituitari adalah luteinizing hormone (LH) dan follicle-stimulating hormone (FSH).
Kemudian, dua gonadotropin tersebut memasuki aliran darah dan berhenti pada
testis, dimana LH menstimulasi produksi testosteron melalui sel Leydig didalam
interstition sewaktu FSH, melalui stimulasi dari sel Sertoli, mendukung
spermatogenesis di dalam epitelium seminiferus. Tingkat dari sekresi testosteron
dan produksi sperma diatur dengan baik melalui sebuah jaringan dari hubungan
umpan balik negatif (feedback negatif mechanism) antara testis dan tingkat yang
lebih tinggi pada aksis reproduktif. Testosteron dan metabolismenya, estradiol,
menekan aktivitas pelepasan oleh GnRH dan gonadotrop. Mekanisme feedback
negatif diketahui dengan adanya penurunan sekresi FSH dan LH apabila terdapat
kenaikan testosteron. Efek inhibisi testosteron terhadap FSH dan LH dapat
terjadi:3
- Secara tidak langsung dengan mempengaruhi hipotalamus sehingga terjadi
penurunan frekurnsi sekresi GnRH yang kemudian berpengaruh pada
hipofisis.
- Secara langsung dengan mempengaruhi pars anterior hipofisis, sehingga
terjadi penurunan sekresi hormon FSH dan LH.

Terdapat pula mekanisme inhibisi dari testis terhadap sekresi FSH yaitu
adanya hormon yang diproduksi oleh sel Sertoli. Inhibin, sebuah glikoprotein 32-
kD yang disekresi oleh sel Sertoli, menekan sekresi FSH oleh gonadotrop.
Bentukan dari inhibin yang disekresi oleh sel Sertoli, disebut inhibin B, diberikan
nama tersebut karena merupakan komposisi heterodimer dari subunit α dan β dan
memiliki varian B dari subunit β. Inhibin B secara selektif menghambat sekresi
FSH pada gonadrotrop dengan cara menghambat transkripsi dari pengkodean gen
subunit β dari FSH. Penggunaan secara klinis dari inhibin B sebagai sebuah
marker dari kegagalan fungsi testis masih kontroversial. Beberapa penelitian lain
menunjukkan inhibin B dan FSH telah disarankan menjadi prediktor dari
keberadaan sperma pada testis dari laki-laki infertil.3
Gambar 3. Aksis hipotalamus-hipofisis-hipogonad

Hipotalamus
Sebagai pusat terintegrasi dari aksis dari HPG (hipotalamus-hipofisis-
gonad), hipotalamus menerima input neuronal dari banyak pusat otak, termasuk
diantaranya amigdala, talamus, pons, retina, dan korteks, dan sebagai pengerak
denyut untuk sekresi dari hormon pituitari dan gonadal. Secara anatomi,
hipolatamus terhubung dengan kelenjar pituitari dengan sistem vaskular portal
dan jalur neuronal. Dengan menghindari sirkulasi sistemik, sistem vaskular portal
menyediakan mekanisme langsung untuk pengiriman dari hormon hipotalamus ke
anterior pituitari. Dari beberapa hormon hipotalamus yang bekerja pada kelenjar
pituitari, satu diantaranya yang terpenting untuk reproduksi adalah gonadotropin-
releasing atau LH-releasing hormone (GnRH atau LHRH), merupakan sebuah
asam amino peptida yang disekresi dari sel tubuh neuronal di dalam nukleus
preoptik dan arkuata. Sekarang, fungsi yang diketahui dari GnRH adalah untuk
stimulasi dari sekresi dari LH dan FSH dari pituitari anterior. Sekali disekresikan
ke sirkulasi portal pituitari, GnRH memiliki waktu paruh kira-kira 5-7 menit,
sebagian besar dikeluarkan pada aliran pertama melalui pituitari dengan bantuan
internalisasi reseptor atau degradasi enzim. GnRH yang disekresi oleh
hipotalamus dihasilkan dari berbagai macam pengaruh, termasuk efek dari stres,
latihan, dan diet dari pusat yang otak yang lebih tinggi, gonadotropin yang
dihasilkan dari pituitari, dan pengaliran hormon gonadal. Sekresi GnRH
berbentuk denyutan. Pola sekresi memerintahkan pelepasan siklus secara
bersamaan dari gonadotropin LH dan FSH dari pituitari. Frekuensi denyutan
ditunjukan bermacam-macam, dari sekali dalam sejam atau menjadi jarang seperti
sekali atau dua kali dalam 24 jam.4

Pituitari anterior
Kelenjar pituitari anterior, berlokasi pada tulang daerah sella tursica dari
kranial, merupakan tempat dari aksi GnRH. GnRH menstimulasi dari produksi
dan pelepasan dari FSH dan LH dengan melalui mekanisme flux-dependent
kalsium. Sensitivitas dari gonadotrop untuk GnRH bervariasi pada pasien
dihubungkan dengan umur dan status hormonal. FSH dan LH merupakan hormon
pituitari utama yang mengatur dari fungsi testis. Mereka berdua merupakan
glikoprotein yang terdiri dari 2 subunit rantai polipeptida, dinamakan α dan β,
masing-masing memiliki pengkodean dengan gen terpisah. Denyutan sekresi dari
LH bervariasi dari 8-16 denyutan dalam 24 jam dan dengan amplitudo yang
bervariasi yaitu 1-3 ikatan. Denyutan ini secara umum menggambarkan pelepasan
dari GnRH. Kedua androgen dan estrogen mengatur dari sekresi LH melalui
mekanisme umpan balik negatif. Rata-rata, denyutan FSH terjadi kurang lebih
setiap 1,5 jam dan variasi amplitudo 2%.4
Efek dari FSH dan LH terletak pada gonad. Mereka mengaktivasi dari
adenylate cyclase, dimana mengarah pada peningkatan pada intraselular cAMP.
Pada testis, LH menstimulasi steroidogenesis didalam sel Leydig dengan
menginduksi konversi dari kolesterol ke pregnenolon dan testosteron. FSH
mengikat sel Sertoli dan membran spermatogonial di dalam testis dan merupakan
stimulator utama dari perumbuhan tubulus seminiferus selama perkembangan.
FSH penting untuk inisiasi dari spermatogenesis pada pubertas. Pada orang
dewasa, peran fisiologis utama dari FSH adalah menstimulasi terbentuknya
sperma secara normal selama spermatogenesis.4

Testis
Virilitas dan fertilitas dari pria nomal membutuhkan kolaborasi dari testis
eksokrin dan endokrin. Kedua unit tersebut berada dibawah kendali dari aksis
HPG. Kompartemen interstitial terdiri dari sel Leydig yang bertanggung jawab
untuk steroidogenesis. Tubulus seminiferus memiliki fungsi eksokrin dengan
spermatozoa sebagai produknya.4
- Testis endokrin
Produksi testosteron pada pria normal berkisar 5g/hari, dan sekresi terjadi
dalam cara yang basah, iregular dan pulsatil. Pada pria normal, 2% dari
testosteron tidak terikat atau bebas dan merupakan fraksi aktif secara
biologi. Sebagian sisanya berikatan dengan albumin atan sex hormone
binding globulin (SHBG) didalam darah. SHBG dapat juga berikatan
dengan estradiol didalam darah perifer, tetapi afinitas ikatan lebih rendah
daripada testosteron. Beberapa kondisi patologik dapat mengubah level
SHBG dan sebagai konsekuensinya mengubah jumlah testosteron yang
aktif yang tersedia untuk jaringan. Testosteron dimetabolisme menjadi 2
metabolit aktif utama di dalam jaringan target: 1) androgen utama
dihydrotestosteron (DHT) dari aksi dari 5α-reduktase dan 2) estogen
estradiol melalui aksi dari aromatase. DHT merupakan androgen potensial
yang lebih besar daripada testosteron. Pada sebagian besar jaringan
perifer, reduksi testosteron menjadi DHT diperlukan untuk aksi dari
androgen, tetapi pada testis dan mungkin pada otot skeletal, konversi ke
DHT menjadi tidak penting untuk aktivitas hormonal.4
- Testis eksokrin
Tempat utama dari aksi FSH adalah sel Sertoli di dalam tubulus
seminiferus. Sebagai respon ikatan FSH, sel Sertoli distimulasi untuk
membuat inang dari produk sekret yang penting untuk pertumbuhan sel
germ, termasuk androgen yang terikat protein, transferin, laktat,
seruloplasmin, clusterin, aktivator plasminogen, prostaglandin dan
beberapa growth factor. Melalui aksi yang dimediasi FSH, pertumbuhan
dari tubulus seminiferus distimulasi selama perkembangan dan produksi
sperma diinisiasi selama pubertas. Pada dewasa, FSH diperlukan untuk
spermatogenesis normal.4
- Inhibin dan aktivin
Inhibin adalah sebuah protein 32-kDa berasal dari sel Sertoli yang
memiliki kekhususan untuk menghambat pelepasan FSH dari pituitari.
Didalam testis, produksi inhibin distimulasi oleh FSH dan bekerja dengan
cara feedback negatif pada pituitari atau hipotalamus. Aktivin, sebuah
hormon protein dengan struktur yang hampir sama secara homolog dengan
growth factor-β, menunjukkapan penggunaannya untuk memacu efek pada
sekresi FSH.4

Spermatogenesis
Spermatogenesis merupakan sebuah proses komplek dimana secara
primitif, sel stem totipotent dibagi untuk memperbaharui diri mereka sendiri atau
produksi sel untuk menjadi spermatozoa. Proses ini terjadi didalam tubulus
seminiferus dari testis. Pada kenyataannya, 90% dari volume testis ditentukan
oleh tubulus seminiferus dan sel germinal pada berbagai tahapan perkembangan.4
a. Sel Sertoli
Tubulus seminiferus terkait dengan sel Sertoli yang beristirahat pada dasar
membran tubular dan meluas ke lumen dengan sitoplasma kompleks. Sel
Sertoli dihubungkan dengan tight junction, barier terkuat interselular di
dalam tubuh. Kompleks hubungan ini membagi rongga tubulus
seminiferus menjadi basal (dasar membran) dan bagian lumen. Pengaturan
anatomi ini membentuk dasar dari barier darah-testis, memungkinkan
spermatogenesis terjadi dalam sebuah tempat yang istimewa secara
imunologi. Kepentingan dari efek perlindungan menjadi nyata apabila
mengingat spermatozoa diproduksi pada pubertas dan dapat menjadi benda
asing bagi sistem imun yang mengembangkan pengenalan sendiri selama
tahun pertama dari kehidupan. Sel sertoli berkerja seperti sel “perawat”
bagi spermatogenesis, memelihara sel germinal selama mereka
berkembang.4
b. Sel Germinal
Didalam tubulus, sel germinal diatur dalam sebuah perintah berurutan dari
membran dasar ke lumen. Spermatogonia berjalan langsung pada
membran dasar, diikuti oleh spermatosit primer, spermatosit sekunder, dan
spermatid mengarah ke lumen. Secara keseluruhan, 13 tahap sel germinal
yang berbeda telah diidentifikasi pada manusia. Barier tight junction
menyokong spermatogoni dan spermatosit awal di dalam kompartemen
basal dan smua sel germinal lanjutan yang berada di dalam kompartemen
lumen.4
c. Siklus dan gelombang
Siklus dari spermatogenesis mengembangkan pembuahan dari sel stem
spermatogonial primitif menjadi sel germinal lanjutan. Durasi dari siklus
secara keseluruhan dari spermatogenik di dalam manusia adalah 74 hari.
Selama spermatogenesis, pengikut dari sel germinal pada titik yang sama
saat perkembangan terhubung oleh jembatan sitoplasmik dan melewati
proses secara bersama-sama. Terdapat pula organisasi spesifik dari
langkah-langkah siklus spermatogenik di dalam rongga tubulus,
dinamakan dengan gelombang spermatogenik. Pada manusia, hal ini
tampak seperti pengaturan sel spiral, dimana memungkinkan produksi
sperma merupakan suatu produksi yang berkelanjutan dan bukan
merupakan suatu proses pulsatil.4

Transportasi spermatozoa
Setelah pemanjangan spermatid sempurna, sitoplasma di dekatnya
mengalami retraksi dan spermatid dilepas ke dalam lumen tubulus seminiferus,
dilingkupi cairan dalam lumen. Pergerakan spermatozoa dari testis ke epididimis
disebabkan oleh empat faktor: 1
1. Tekanan cairan dalam tubulus seminiferus
2. Kontraksi mioepitel tubuli seminiferus
3. Kontraksi tunika albuginea testin
4. Gerakan silia dan kontraksi duktus aferen
Spermatozoa di dalam testis memiliki motilitas yang sangat sedikit atau
tidak ada dan tidak memiliki kemampuan dalam pembuahan sebuah telur. Mereka
menjadi berfungsi hanya setelah melintasi epididimis dan proses maturasi
tambahan. Secara anatomis, epididimis secara klasik dibagi menjadi 3 daerah:
caput, corpus, dan cauda. Bagian-bagian yang melintasi dari epididimis
menginduksi banyak perubahan pada sperma yang baru terbentuk, termasuk
perubahan pada permukaan, komposisi protein membran, imunoreaktivitas,
fosfolipid dan kandungan asam lemak, dan aktivitas adenilat siklase. Perubahan-
perubahan ini diperlukan untuk meningkatkan intregitas struktural membran dan
meningkatankan kemampuan pembuahan. Waktu transit dari sperma melalui
tubulus epididimis diperkirakan 10-15 hari. Sperma dikeluarkan dari organ
reproduksi pria melalui proses ejakulasi. Proses ini diawali dari fase emisi yaitu
terjadinya kontraksi otot vas deferens dan penutupan leher buli-buli dibawah
kontrol saraf simpatetik. Proses itu menyebabkan sperma beserta cairan vesikula
seminalis dan cairan prostat terkumpul di dalam uretra posterior dan siap untuk
disemprotkan keluar dari uretra. Proses ejakulasi terjadi karena adanya dorongan
ritmik dari kontraksi otot bulbo kavernosus.4
Komposisi cairan yang diejakulasikan atau disebut mani/cairan semen
terdiri atas, spermatozoa (1%), cairan vesikula seminalis (50-55%), cairan prostat
(15-20%), dan cairan-cairan dari epididimis dan vas deferens. 1
Setelah dideposit di dalam vagina, sperma masih dapat hidup hingga 36-72
jam. Dalam waktu 5 menit sperma dapat bergerak mencapai ampula tuba falopi
dan setelah mengalami perubahan fisiologis bertemu dengan ovum dan terjadilah
fertilisasi. 1

Spermatozoa
Spermatozoa matur disimpan di dalam cauda epididimis dan duktus
deferens merupakan sel yang berdiferensiasi cepat. Spermatozoon manusia
berkisar 60 µm pada panjang. Kepala sperma berbentuk oval, berkisar panjangnya
4,5 µm dan lebar 3 µm, secara dasar terdiri dari nukleus, dimana mengandung
material kromatin yang tersusun rapat, dan sebuah akrosom, sebuah organela yang
terikat membran yang mengandung enzim yang diperlukan untuk penetrasi bagian
terluar dari telur sebelum fertilisasi. Bagian tengah dari spermatozon adalah
segmen yang terorganisasi dengan baik yang mengandung mitokondria yang
tersusun secara helix dan mengelilingi sekumpulan dari serat terluar dan
karakteristik dari 9+2 struktur mikrotubuler dari akson sperma. Serat tebal yang
terluar kaya akan ikatan disulfida, yang diperlukan untuk menyokong ekor
sperma (mempunyai panjang 60 µm) dengan rigiditas yang diperlukan untuk
motilitas yang progresif.3
BAB III
INFERTILITAS PADA PRIA

Etiologi
Infertilitas pria dapat disebabkan oleh karena kelainan-kelainan yang
terdapat pada fase: (1) pre-testikuler yaitu kelaina pada rangsangan proses
spermatogenesis, (2) testikuler yaitu kelainan dalam proses spermatogenesis, (3)
pasca testikuler yaitu kelainan pada proses transportasi sperma hingga terjadi
fertilisasi. Selain itu 40% penyebab infertilitas pria adalah idiopatik yaitu
infertilitas yang masih belum dapat diketahui penyebabnya. 1
Etiologi infertilitas pada pria, dijabarkan berikut ini : 1
1) Pre Testikuler
- Kelainan pada hipotalamus
- Defisiensi hormon gonadotropin yaitu LH, dan FSH
- Kelainan pada hipofisis
- Insufisiensi hipofisis oleh karena tumor, radiasi, atau operasi
- Hiperprolaktinemia
- Hemokromatosis
- Subtitusi/terapi hormon yang berlebihan
2) Testikuler
- Anomali kromosom, contohnya sindrom Klinefelter, sindrom XX Male,
sindrom XYY
- Anorkhismus bilateral
- Gonadotoksin : obat-obatan, radiasi
- Orkitis
- Trauma testis
- Penyakit sistemik : gagal ginjal, gagal hepar, anemi bulan sabit
- Kriptorkismus
- Varikokel
3) Pasca testikuler
- Gangguan transportasi sperma
- Kelainan bawaan: vesikula seminalis atau vas deferens tidak terbentuk
yaitu pada keadaan Congenital Bilateral Absent of the Vas Deferens
(CBAVD)
- Obstruksi vas deferens/epididimis akibat infeksi atau vasektomi
- Disfungsi ereksi, gangguan emisi, dan gangguan ejakulasi (ejakulasi
retrograd)
- Kelainan fungsi dan motilitas sperma
- Kelainan bawaan ekor sperma
- Gangguan maturasi sperma
- Kelainan imunologik
- Infeksi

Evaluasi dan Diagnosis


Evaluasi pasangan suami istri yang menderita infertilitas harus dilakukan
secara komprehensif bersama ahli obstetri dan ginekologi, yang bertujuan untuk
mencari kemungkinan adanya kelainan dari pihak istri. Evaluasi dari pihak pria
meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan penunjang
yang mungkin dapat menemukan penyebab infertilitas. 1
Tujuan dari evaluasi dari infertilitas pria adalah untuk (1) kondisi yang
reversibel; (2) penyebab ireversibel yang dapat diatur dengan ART (assisted
reproductive technique) menggunakan sperma pasangan laki-laki; (3) kondisi
irreversibel yang tidak dapat ditatalaksana dengan menggunakan teknik di atas
dan dimana pasangan diarahkan untuk mengejar inseminasi donor atau adopsi; (4)
patologi medis yang mendasari secara signifikan; (5) genetik dan /atau
abnormalitas kromosomal yang dapat memberian efek kepada pasien atau
keturunannya.3

Anamnesis
Pada anamnesis, ditanyakan mengenai riwayat seksual, riwayat penyakit
yang pernah diderita, dan riwayat reproduksi sang isteri.1,3
1. Riwayat seksual
Durasi dari hubungan seksual dengan dan tanpa kontrol kelahiran
Metode dari kontrol kelahiran
Teknik seksual : potensi, penggunaan lubrikan (beberapa merupakan
spermicidal)
Frekuensi dan waktu dari melakukan hubungan seksual
2. Riwayat penyakit dahulu
a) Developmental
- Sejarah kriptokidisme
- Usia saat pubertas
- Ginekomastia
- Abnormalitas kongenital dari traktus urinarius atau sistem saraf pusat
b) Pembedahan
- Orchidopexy
- Pembedahan pada pelvis, skrotal, inguinal, atau retroperitoneal
- Herniorrhaphy
- Sympathectomy
- Vasectomy
- Trauma pada skrotum
- Spinal cord injury
- Torsio testis
c) Medikal
- Infeksi urinarius
- Sexually transmitted diseases
- Orkitis yang disebabkan virus
- Penyakit ginjal
- Diabetes
- Radioterapi
- Penyakit demam terbaru
- Epididimitis
- Tuberkulosis atau penyakit kronis lainnya
- Anosmia
- Defek pada garis tengah tubuh
d) Obat-obatan
- Daftar lengkap semua pengobatan masa lalu dan sekarang. Obat-obatan
yang berhubungan dengan spermatogenesis, ereksi, dan ejakulasi
e) Pekerjaan dan kebiasaan
Hubungan dengan terpapar pada bahan kimia dan panas, mandi air
panas, mandi uap, radiasi, rokok, alkohol, dan steroid anabolik
f) Sejarah reproduksi sebelumnya
Termasuk kehamilan dan keturunan dengan pasangannya
3. Sejarah keluarga
- Hipogonadisme
- Kriptokidisme
- Congenital midline defects
- Cysctic fibrosis
4. Sejarah reproduksi pasangan
- Sejarah sebelumnya termasuk kehamilan dan keturunan dengan
pasangannya masing-masing
- Sejarah menstruasi
- Evaluasi infertilitas berdasarkan tanggal
Libido maupun potensi seksual yang lemah mengurangi kemampuan
sperma mengumpul di vagina, sedangkan penggunaan pelicin sewaktu senggama
dapat mengurangi motilitas sperma seperti pada pemakaian air ludah/saliva, dan
bahkan dapat membunuh sperma seperti pada pemakaian jeli KY. 1
Sejarah perkembangan dari pasien juga harus dieksplorasi lebih dalam.
Kriptokidisme unilateral akan mengurangi fertilias secara ringan, dan
kriptokidisme bilateral menghasilkan pengurangan yang signifikan pada fertilitas.
Penelitian dan bukti klinis menunjukkan waktu dari orkidopeksi tidak
menunjukkan efek pada abnormalitas spermatogenesis selama testis ditarik ke
bawah sebelum terjadinya pubertas. Riwayat dari tertundanya atau ketidakadaan
pubertas dihubungkan dengan sebuah endokrinopati atau abnormalitas reseptor
androgen.3
Tindakan pembedahan yang pernah dijalani masa lalu dapat pula
mempengaruhi sistem reproduksi, antara lain: herniorafi dapat merusak pembuluh
darah vas deferens, pembedahan pada pelvis dan rongga retroperitoneal dapat
mempengaruhi fungsi seksual. 1
Penyakit sistemik (kencing manis, gagal ginjal, gagal liver, anemia bulan
sabit, dan disfungsi tiroid) dapat menurunkan kualitas testis dan mengurangi
potensi seksual. Infeksi gonore atau tuberkulosis pada masa lalu menyebabkan
pembuntuan vas deferens, epididimis, maupun duktus ejakulatorius. Demikian
pula serangan parotitis akut (mump) yang diderita pada usia pubertas dapat
menyebabkan kerusakan testis. 1
Obesitas merupakan tampilan kardinal dari sindrom metabolik. Efek
merugikan yang disebabkan oleh obesitas pada infertilitas pria dapat terjadi
melalui beberapa mekanisme. Pertama, konversi perifer dari testosteron ke
estrogen pada jaringan adiposa perifer yang berlebihan dapat menybabkan
hipogonadisme sekunder melalui inhibisi aksis hipotalamus-pituitari-gonad.
Kedua, stres oksidasi pada tingkat lingkungan mikro dapat menyebabkan
penurunan dari spermatogenesis dan kerusakan sperma. Ketiga, akumulasi dari
lemak pada paha dan suprapubik dapat meningkatkan temperatur scrotum
khususnya pada laki-laki obesitas berat.5
Testis yang pernah mengalami torsio, trauma serta didapatkannya
varikokel atau kriptokirmus dapat mempengaruhi spermatogenesis. Di samping
itu torsio atau trauma pada testis dapat menyebabkan reaksi imunitas testis akibat
rusaknya blood testis barier. 1
Pemakaian obat-obatan nitrofurantoin, simetidin, kokain, nikotin, dan
marijuana dapat menurunkan kemampuan spermatogenesis. Pada pemakaian
steroid dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan hipogonadotropik
hipogonadisme yang menghambat spermatogenesis. 1
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisis dicari kemungkinan adanya kelainan sistemik atau
kelainan endokrinologi yang mempengaruhi proses spermatogenesis dan proses
transportasi sperma. 1
Diperhatikan penampilan pasien, apakah tampak feminin atau seperti
orang yang telah dikebiri (orang kasim atau eunuchoidism) yaitu badannya
tumbuh besar, pertumbuhan rambut pada ketiak, pubis, dan badan sangat jarang,
dan organ genitalia ukurannya kecil. Dicari kemungkinan adanya ginekomasti,
anosmia (pada sindroma Kallmann), galaktore, dan gangguan lapangan
penglihatan yang terdapat pada tumor hipofisis. 1
Pemeriksaan genitalia pria meliputi testis, epididimis, vas deferens,
vesikula seminalis, prostat, dan penis. Pada palpasi testis, diperhatikan konsistensi
dan ukurannya. Panjang testis diukur dengan kapiler, sedangkan volume testis
diukur dengan orkidometer atau ultrasonografi. Panjang testis normal orang pada
dewasa adalah 4 cm dengan volume 20 ml. Testis yang mengecil merupakan
tanda adanya kerusakan tubulus seminiferus. Dicari pula kemungkinan adanya
varikokel yang dapat mempengaruhi kualitas maupun kuantitas sperma. 1
Epididimis diperiksa mulai dari kaput, korpus, dan kauda. Adanya
obstruksi pada epididimis ditandai dengan adanya jaringan fibrosis yang teraba
seperti tasbih akibat infeksi kuman tuberkulosis. 1
Tidak didapatkannya vas deferens pada kedua sisi perlu dikaitkan adanya
kelainan bawaaan pada vas deferens atau congenital bilateral absent of the vas
deferens (CBAVD), yang menyebabkan kegagalan pada transportasi vena. 1
Berikut ini merupakan pemeriksaan infertilitas pada pria : 1
I. Pemeriksaan umum
Fisik tubuh kekar, ginekomasti, galaktore, anosmia, atau penyempitan
lapangan pandang
II. Pemeriksaan genitalia
Jaringan parut (bekas herniotomi atau bekas orkidopesi/orkidektomi).
Keadaan testis (jumlah, ukuran, dan konsistensinya), varikokel, epididimis,
atau vas deferens menebal atau tak teraba, adanya hipospadi, atau
penyempitan muara uretra
III. Colok dubur
Menilai pembesaran/nyeri pada prostat, keadaan vesikula seminalis dan
reflek bulbokavernosus.
Untuk mencari keberadaan dan adanya kelainan pada vesikula seminalis
serta kelenjar prostat, dilakukan colok dubur atau ultrasonografi transrektal. Tidak
didapatkannya vesikula seminalis mungkin disebabkan karena kelainan bawaan.
Prostat yang teraba keras, besar, dan nyeri merupakan tanda dari prostatitis. Pada
penis diperhatikan adanya hipospadi atau korde yang keduanya dapat
mempengaruhi kemampuan pengumpulan sperma di vagina. 1
Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan kimia klinik rutin untuk
mencari kemungkinan adanya kelainan sistemik, pemeriksaan analisis semen,
pemeriksaan hormon untuk menilai fungsi sumbu hipotalamus-hipofisis-gonad
(FSH, LH, testosteron, dan prolaktin), uji fungsi sperma, biopsi testis, dan
beberapa pemeriksaan imunologik yang mungkin diperlukan untuk membantu
mencari penyebab infertilitaas. 1
Kadang-kadang dibutuhkan pemeriksaan pencitraan antara lain :
ultrasonografi doppler guna membantu mencari adanya varikokel, vasografi untuk
menilai patensi saluran vas deferens/duktus ejakulatorius, dan ultrasonografi
transrektal untuk mencari keberadaan vesikula seminaalis. 1

Analisis Semen
Pemeriksaan analisis semen dilakukan setelah 2-3 hari pasangan suami
istri menjalani abstinensi (tidak berhubungan seksual). Contoh ejakulat ditampung
di dalam tabung yang tidak mengandung spermisidal dan paling lambat analisis
dilakukan 2 jam setelah ejakulasi. Pada pemeriksaan ini dihitung beberapa
parameter, antara lain: volume ejakulat, jumlah (konsentrasi) sperma, motilitas,
dan morfologinya. 1
Kecuali itu diperhatikan pula konsentrasi fruktose yang dihasilkan oleh
vesikula seminalis. Jika didapatkan adanya leukosit pada analisis semen atau
diduga terdapat infeksi pada genitalia harus dicari kuman penyebab infeksi
dengan melakukan kultur cairan semen. 1

Tabel 1. Analisis semen

Pemeriksaan Hormon
Pemeriksaan hormon dilakukan jika penyebab infertilitas adalah karena
kelainan endokrin. Kecurigaan adanya kelainan hormonal adalah jika pada
analisis semen didapatkan densitas sperma yang sangat rendah (kurang dari 5 juta
sperma per ml) atau oligospermia ekstrem. Keadaan ini terdapat pada 3% dari
infertilitas pria. Hormon yang diperiksa meliputi FSH, LH, prolaktin, dan
testosteron. 1
Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa hipotiroidisme memberikan
efek kepada fungsi ereksi dan parameter sperma, termasuk didalamnya jumlah
sperma, morfologi, dan motilitas. Oleh karena itu dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan terhadap hormon tiroid.6

Tabel 2. Karakteristik Profil Endocrine pada Infertilitas Pria


Pemeriksaan Imunologik
Antibodi antisperma terdapat pada 3-7% pria infertil. Terbentuknya
antibodi ini ada hubungannya dengan inflamasi pada genitalia, torsio testis,
pernah mengalami cedera testis, dan setelah menjalani vasektomi. 1

Biopsi testis
Biopsi testis dikerjakan untuk membedakan antara kelainan primer pada
proses spermatogenesis dengan kelainan obstruksi transportasi spermaa. Kedua
kelainan itu menunjukkan adanya oligospermia yang berat atau azoospermia
tetapi pada pemeriksaan hormon FSH normal. Jaringan testis hasil biopsi tidak
boleh diawetkan dalam larutan formalin melainkan dalam larutan Boulin, Aenker,
atau Conroy. 1
Untuk melihat patensi vas deferens, duktus ejakulatorius, dan vesikula
seminalis biasanya dilanjutkan dengan pemeriksaan vasografi atau seminal
vesikulografi uyaitu dengan menyuntikkan bahan kontra melalui vas deferens dan
mengikuti jalannya kontras sampai ke uretra posterior. 1

Uji Fungsi Sperma


Sekarang banyak sekali pemeriksaan untuk menilai kemampuan fungsi
sperma dalam menembus organ genitalia wanita hingga bertemu dengan sel telur
dan terjadinya pembuahan. Beberapa pengujian itu adalah: inteaksi sperma
dengan mukus (getah) serviks, uji penetrasi speerma, hemizona assay, dan
hypoosmotic swelling test. 1

Terapi
a. Medikamentosa
Kelainan-kelainan yang mungkin masih dapat dikoreksi secara
medikamentosa adalah defisiensi hormon, reaksi imunologik, antibodi,
antisperma, infeksi, dan ejakulasi retrograd. 1
Pada hipogonadotropik-hipogonadismus (hipogonadismus sekunder) dapat
dicoba diberikan LH untuk merangsang sel Leydig memproduksi testosteron;
kemudian diberikan hormon human chorionic gonadotropin atau hCG (misalkan
dengan Pregnyl atau Profasi). 1
Adanya antibodi antisperma yang didapatkan pada pemeriksaan
imunologik dapat dicoba dengan pemberian kortikosteroid. Ejakulasi retrograd
dapat diberikan golongan adrenergik alfa atau trisiklik antidepresan (imipramin)
yang dapat menyebabkan kontraksi leher-leher buli pada saat emisi sperma pada
uretra posterior. 1

Tabel 3. Terapi Kortikosteroid

b. Pembedahan
Usaha pembedahan yang dilakukan ditujukan pada tempat kelainan
penyebab infertilitas, yaitu mungkin operasi pada organ pretestikuler, koreksi
terhadap penyebab kerusakan testis, dan koreksi saluran yang membuntu
penyaluran sperma. Tindakan itu bisa berupa: 1
1. Adenomektomi hipofisis pada adenoma hipofisis
2. Varikokel yang dapat menyebabkan teradinya kerusakan pada
spermatogonium dilakukan operasi vasoligasi tinggi atau varikokelektomi.
3. Jika terdapat penyumbatan pada vas deferens karena infeksi atau setelah
menjalani vasektomi dilakukan penyambungan kembali vas deferens atau
vaso-vasostomi, sedangkan pada penyumbatan yang lebih proksimal yaitu
pada epididimis dilakukan penyambungan epididimo-vasostomi yaitu
penyambungan epididimis dengan vas deferens. Melalui teknik bedah
mikroskopik angka keberhasilan penyambungan vas deferens (yang
ditandai dengan terdapatnya sperma pada ejakulat) 80-90% sedangkan
angka keberhasilan fungsional (pasangan menjadi hamil) 50-60%.
4. Penyumbatan pada duktus ejakulatoriu
5. Penyumbatan pada duktus ejakulatorius dilakukan rekseksi transuretral.

Gambar 4. Transurethral resection of the ejaculatory ducts

Teknik reproduksi artifisial


Pada klinik infertilitas modern, saat ini telah dikembangkan teknik untuk
mengatasi hambatan dalam proses fertilisasi (pertemuan antara sel sperma dengan
ovum) melalui inseminasi buatan. Teknik itu antara lain adalah inseminasi intra
uterin (IUI), fertilisasi in vitro (IVF), gamette intrafallopian tube transfer (GIFT),
dan mikromanipulasi. 1
Dengan diketemukan teknik mikromanipulasi pada gamet melalui teknik
intracyto-plasmic sperm injection (ICSI) sat ini dikembangkan fertilisasi in vitro
semakin bertambah maju. Pada teknik ICSI, satu sperma disuntikkan ke dalam sel
telur (yang telah mengalami prosesing) sehingga hambatan fertilisasi berupa
ketidak mampuan sperma untuk menembus zona prelusida sel telur sudah tidak
ada lagi. 1
Sperma diambil dari ejakulat, epididimis, ataupun langsung dari testis.
Pengambilan sperma dari epididimis/testis dilakukan pada pasien azoospermia
obstruktif (pasca testikuler). Pasien yang menderita kelainan bawaan karena tidak
mempunyai vas deferens pada kedua sisi (CBVAD) dibuatlan lubang pada
epididimis (spermatokel aloplastik) sehingga dapat dilakukan aspirasi sperma
langsung dari epididimis. Teknik aspirasi sperma ini dapat dilakukan melalui
bedah mikroskopik yang disebut dengan microsurgical epididymal sperm
aspiration (MESA) atau melalui perkutan yang disebut percutaneous epididymal
sperm aspiration (PESA). 1

VARIKOKEL
Varikokel adalah dilatasi abnormal dari vena pada pleksus pampiniformis
akibat gangguan aliran darah balik vena spermatika interna. Kelainan ini terdapat
pada 15% pria. Varikokel ternyata merupakan salah satu penyebab infertilitas
pada pria. Dari beberapa penelitian didapatkan bahwa 21-41% pria yang mandul
menderita varikokel.1,7

Etiologi dan anatomi


Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab varikokel,
tetapi dari pengamatan membuktikan bahwa varikokel sebelah kiri lebih sering
dijumpai daripada sebelah kanan (varikokel sebelah kiri 70-93%). Hal ini
disebabkan karena vena spermatika interna kiri bermuara pada vena renalis kiri
dengan arah tegak lurus, sedangkan yang kanan bermuara pada vena kava dengan
arah miring. Di samping itu vena spermatika interna kiri lebih panjang daripada
yang kanan dan katupnya lebih sedikit dan inkompeten. 1
Jika terdapat variokokel di sebelah kanan atau varikokel bilateral patut
dicurigai adanya: kelainan pada rongga retroperitoneal (terdapat obstruksi vena
karena tumor), muara vena spermatika kanan pada vena renalis kanan, atau
adanya situs inversus. 1
Patogenesis
Varikokel dapat menimbulkan gangguan proses spermatogenesis melalui
beberapa cara, antara lain: 1
1. Terjadi stagnasi darah balik pada sirkulasi testis sehingga testis mengalami
hipoksia karena kekurangan oksigen
2. Refluks hasil metabolit ginjal dan adrenal (antara lain katekolamin dan
prostaglandin) melalui vena spermatika interna ke testis.
3. Peningkatan suhu testis
4. Adanya anastomosis antara pleksus pampiniformis kiri dan kanan,
memungkinkan zat-zat hasil metabolit tadi dapat dialirkan dari testis kiri
ke testis kanan sehingga menyeabkan gangguan spermatogenesis testis
kanan dan pada akhirnya terjadi infertilitas.

Gambaran klinis dan diagnosis


Pasien datang ke dokter biasanya mengeluh belum mempunyai anak
setelah beberapa tahun menikah, atau kadang-kadang mengeluh adanya benjolan
di atas testis yang terasa nyeri. 1
Pemeriksaan dilakukan dalam posisi berdiri, dengan memperhatikan
keadaan skrotum kemudian dilakukan palpasi. Jika diperlukan, pasien diminta
untuk melakukan manuver valsalva atau mengedan. Jika terdapat varikokel, pada
inspeksi dan palpasi terdapat bentukan seperti kumpulan cacing-cacing di dalam
kantung yang berada di sebelah kranial testis. 1
Secara klinis varikokel dibebedakan dalam 3 tingkatan/derajat: 1
1. Derajat kecil, adalah varikokel yang dapat dipalpasi setelah pasien
melakukan manuver valsalva
2. Derajat sedang, adalah varikokel yang dapat dipalpasi tanpa melakukan
manuver valsalva
3. Derajat besar, adalah varikokel yang sudah dapat dilihat bentuknya tanpa
melakukan manuver valsalva
Kadangkala sulit untuk menemukan adanya bentukan varikokel secara
klinis meskipun terdapat tanda-tanda lain yang menunjukkan adanya varikokel.
Untuk itu pemeriksaan auskultasi dengan memakai stetoskop Doppler sangat
membantu, karena alat ini dapat mendeteksi adanya peningkatan aliran darah pada
pleksus pampiniformis. Varikokel yang sulit diraba secara klinis sepert ini disebut
variokokel subklinik. 1
Diperhatikan pula konsistensi testis maupun ukurannya, dengan
membandingkan testis kiri dengan testis kanan. Untuk lebih objektif dalam
menentukan besar atau volume testis dilakukan pengukuran dengan alat
orkidometer. Pada beberapa keadaan mungkin kedua testis teraba kecil dan lunak,
karena telah terjadi kerusakan pada sel-sel germinal. 1
Untuk menilai seberapa jauh varikokel telah menyebabkan kerusakan pada
tubuli seminiferi dilakukan pemeriksaan analisis semen. Menurut McLeod, hasil
analisis semen pada varikokel menunjukkan pola stress yaitu menurunnya
motilitas sperma, meningkatnya jumlah sperma muda (immature), dan terdapat
kelainan bentuk sperma (tapered). 1
Terapi
Masih terjadi silang pendapat di antara para ahli tentang perlu tidaknya
melakukan operasi pada varikokel. Di antara mereka berpendapat bahwa
varikokel yang telah menimbulkan gangguan fertilitas atau gangguan
spermatogenesis merupakan indikasi untuk mendapatkan suatu terapi. 1
Tindakan yang dikerjakan adalah: (1) ligasi tinggi vena spermatika interna
secara Palomo melalui operasi terbuka atau bedah laparoskopi, (2)
varikokelektomi cara Ivanisevich, (3) atau secara perkutan dengan memasukkan
bahan sklerosing ke dalam vena spermatika interna. 1

Evaluasi
Pasca tindakan dilakukan evaluasi keberhasilan terapi, dengan melihat
beberapa indikator antara lain: (1) bertambahnya volume testis, (2) perbaikan hasil
analisis semen (yang dikerjakan setiap 3 bulan), atau (3) pasangan itu menjadi
hamil. 1
Pada kerusakan testis yang belum parah, evaluasi pasca bedah vasoligasi
tinggi dari Palomo didapatkan 80% terjadi perbaikan volume testis, 60-80%
terjadi perbaikan analisis semen, dan 50% pasangan menjadi hamil. 1
DAFTAR PUSTAKA

1. Purnomo, Basuki B. Dasar-dasar Urologi Edisi Ketiga. Jakarta : Sagung


Seto, 2012

2. Mahboubi, Mohammad, et al. A cas-control study of the factors affecting


male infertility. Turkish Journal of Medical Sciences, 2014;44;1-4

3. Wein, Alan J. Campbell-Walsh Urology Ninth edition. Philadelphia:


Saunders Elseviers, 2007

4. Tanagho, Emil A., McAninch, Jack W. Male Infertility: Smith’s General


Urology Sixteenth Edition. New York: Lange Medical Book/Mcgraw-Hill,
2000

5. Kasturi, Sanjay S., Tannir, Justin, Brannigan, Robert E. The Metabolic


Syndrome and Male Infertility. Journal of Andrology, 2008;29; 251-259

6. Nikoobakht, Mohammad Reza, et al. The Role of Hypothyroidism in Male


Infertility and Erectile Dysfunction. Urology Journal, 2012; 9; 405-409

7. Miyaoka, Ricardo, Esteves, Sandro C. A Critical Appraisal on the Role of


Varicocele In Male Infertility. Advances in Urology, 2012; 2012; 1-9

Anda mungkin juga menyukai