Sindroma Metabolik - Aria PDF
Sindroma Metabolik - Aria PDF
Oleh :
dr. Ariadri Hafian Wulandaru Hakim
Pembimbing:
dr. Arprillia Maya Putri, Mars
1
Daftar Isi
BAB I ......................................................................................................................................1
ILUSTRASI KASUS
BAB II ..................................................................................................................................13
TINJAUAN PUSTAKA
PENGKAJIAN
BAB I
ILUSTRASI KASUS
1.2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada tanggal 19 Oktober 2017 secara autoanamnesis
Keluhan Utama
Sakit kepala sejak 2 hari yang lalu
1
pasien hanya berobat menggunakan obat warung dan sakit kepala hilang. Sejak
saat itu sakit kepala pasien tidak pernah timbul sampai satu hari yang lalu.
Pasien memiliki riwayat tekanan darah tinggi sejak 1 tahun yang lalu, terakhir
diperiksa tekanan darah mencapai 150/90 satu bulan yang lalu. Pasien mengaku
tidak pernah mengeluhkan nyeri kepala setiap tekanan darahnya tinggi. Pasien
sebelumnya sempat mendapatkan obat kaptopril 12,5 mg sehari satu kali,
namun tidak rutin dikonsumsi sampai sekarang.
Riwayat Keluarga
Orang tua pasien sudah meninggal. Pasien tidak ingat penyebab meninggalnya
orang tua pasien. Ayah dan ibu dari pasien meninggal diatas usia 60. Ibu dari
pasien dikatakan tampak gemuk.
Pasien makan 4x/hari termasuk makanan riang pada malam hari. Pagi hari pukul
07.00 pasien sarapan dengan satu gelas kopi, gorengan (bakwan goreng), dan
bihun goreng satu piring. Pada pukul 12.00 pasien makan siang dengan dua
centong nasi, tumis sayur sawi satu setengah centong, telur satu butir, dan tahu
goreng satu sampai dua potong. Pada pukul 15.00 pasien makan sore dengan
menu yang kurang lebih sama dengan menu makan siang. Pukul 19.00 pasien
2
biasa mengkonsumsi teh manis satu gelas dan pada pukul 21.00 pasien
mengkonsumsi roti manis satu potong. Pasien jarang mengkonsumsi buah-
buahan, dan pasien sering nyemil bakwan dan tempe goreng. Pasien tidak
memiliki alergi makanan.
Analisa Keuangan
a. Riwayat pekerjaan : IRT
b. Sumber dan jenis penghasilan : Suami (gaji per bulan)
c. Jumlah pengeluaran perbulan : Rp 800.000,00 – Rp1.000.000,00
3
g. Tinja berdarah g. Tidak
h. Pembuangan tinja tiap hari h. Ya
Saluran kemih
a. Gangguan berkemih (termasuk IU) a. Tidak
b. Nyeri waktu berkemih b. Tidak
c. Pancaran air kemih kurang c. Tidak
d. Air kemih menetes d. Tidak
e. Bangun malam untuk berkemih e. Ya, sekali
Darah
a. Mudah timbul lebam di kulit a. Tidak
b. Bila luka, perdarahan lambat berhenti b. Tidak
c. Kelenjar getah bening bengkak c. Tidak
Sendi-otot
a. Kekakuan sendi a. Tidak
b. Bengkak sendi b. Tidak
c. Nyeri otot c. Tidak
Endokrin
a. Benjolan di leher (depan/samping) a. Tidak
b. Gemetaran b. Tidak
c. Lebih suka udara dingin c. Tidak
d. Banyak keringat d. Tidak
e. Lekas lelah/lemas e. Tidak
f. Berat badan turun f. Tidak
g. Operasi gondok g. Tidak
h. Rasa haus bertambah h. Tidak
i. Mudah mengantuk i. Tidak
j. Tidak tahan dingin j. Tidak
k. Sering lupa, sulit konsentrasi, lambat k. Tidak
berpikir l. Tidak
l. Mudah tersinggung
Saraf
a. Pusing/sakit kepala (rasa berputar, tanpa a. Ya
rasa berputar) b. Tidak
4
b. Kesulitan mengingat sesuatu, konsentrasi c. Tidak
c. Pingsan sesaat d. Tidak
d. Gangguan penglihatan e. Tidak
e. Gangguan pendengaran f. Tidak
f. Rasa baal/kesemutan anggota badan g. Tidak
g. Kesulitan tidur h. Tidak
h. Kelemahan anggota tubuh i. Tidak
i. Lumpuh j. Tidak
j. Kejang-kejang
Jiwa
a. Sering lupa a. Tidak
b. Kelakuan aneh b. Tidak
c. Mengembara c. Tidak
d. Murung d. Tidak
e. Sering menangis e. Tidak
2,5 m
a
b
5 m2 2 m
c
d
Orientasi:
a : Rak (TV, kompor, dan peralatan masak)
b : Dispenser dan penanak nasi
c : Lemari baju
d : Bantal, guling, selimut, keranjang baju
Kamar Mandi/Toilet
e f
Orientasi:
e : Bak air
6
f : Kloset jongkok
1.5. Genogram
7
Indeks Massa Tubuh : 30,1 kg/m2
Status Generalis
Kulit : warna sawo matang, turgor kulit baik, tidak ada ikterus
Kepala : normosefal, tidak ada deformitas, tidak ada nyeri tekan
Rambut : rambut hitam, persebaran merata dan tidak mudah tercabut
Mata : konjungtiva pucat tidak ada; sklera ikterik tidak ada, diameter
pupil 3 mm/3 mm, refleks cahaya langsung dan tak langsung
positif
Telinga : normotia, tidak tampak sekret, tidak hiperemis, dan tidak
edema
Hidung : tidak ada deviasi septum, tidak tampak sekret, tidak
hiperemis, tidak hipertrofi/edema
Tenggorok : arkus faring simetris, uvula di tengah, tidak hiperemis dan
tidak edema; tonsil T1/T1, tidak ada detritus
Gigi dan mulut : mulut tampak basah, tak ada karies gigi, tak ada gigi
berlubang, tak tampak oral trush
Leher : tak teraba pembesaran kelenjar getah bening dan tiroid
normal; trakea di tengah, tidak ada deviasi, bruit karotis negatif,
tidak ada kaku kuduk.
Paru
Inspeksi : tidak tampak sesak, tidak tampak penggunaan otot bantu
napas, bentuk dada normal, tidak terdengar serak, mengi, dan
stridor, tidak ada retraksi interkostal, diameter AP dan lateral
1:2, tidak ada penyempitan dan pelebaran sela iga, pergerakan
dada statis dan dinamis simetris; RR 12/menit, reguler,
torakoabdominal.
Palpasi : trakea di tengah, perabaan seluruh dada normal, ekspansi dada
normal, fremitus simetris kanan-kiri pada dada depan dan dada
belakang
8
Perkusi : Dada depan: sonor di kedua lapang paru.
Dada belakang: sonor di kedua lapang paru.
Auskulasi : dada depan dan belakang vesikuler pada kedua lapang paru,
tidak ada ronkhi, tidak ada wheezing
Abdomen
Inspeksi : tampak buncit, supel, tak tampak jaringan parut maupun
venektasi, tampak striae
Palpasi : tidak terdapat nyeri tekan, hati, limpa, dan ginjal tidak teraba,
nyeri ketok CVA negatif
Perkusi : tidak ada asites
Auskultasi : terdapat bising usus normal 8x/menit
HDL-c 34 35 – 55 mg/dL
9
1.9. Tatalaksana
1.9.1. Non-farmakologis
1.9.2. Farmakologis
• Amlodipine 1x5 mg
• Paracetamol 3x500 mg
1.10. Prognosis
Ad vitam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam
Ad sanactionam : dubia ad bonam
10
1.11. Resume
Ny. R, perempuan, usia 41 tahun datang dengan keluhan nyeri kepala pada seluruh
kepala terasa terikat sampai menjalar ke leher belakang sejak satu hari yag lalu, Sejak
satu tahun yang lalu pasien pernah didiagnosa darah tinggi namun tidak melanjutkan
mengkonsumsi pengobatan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 160/100, nadi 82x/menit,
pernapasan 12x/menit, dan suhu 36,1oc. Berat badan pasien 80 kg dengan tinggi
badan 163 cm dan indeks massa tubuh pasien 30,1 kg/m2.
1.12. Follow-Up
20/10/2017
S: Nyeri kepala berkurang, pasien datang untuk membaca hasil lab.
O: TD 160/100
A: Obese I + Hipertensi tidak terkontrol + dislipidemia + sefalgia ec. tension type
headache
P: Lanjutkan terapi
20/11/2017
S: Pasien merasa pusing disertai dengan tengkuk terasa berat, pasien membeli obat
darah tinggi diluar
O: TD : 140/70
A: Obese I + Hipertensi terkontrol obat + dislipidemia + sefalgia ec. tension type
headache
P: Parasetamol 3x500 mg, amlodipine 1x5 mg
31/11/2017
S: Nyeri pinggang belakang sejak 2 hari, hilang timbul, BAK tidak nyeri, keringat
dingin, nyeri tidak menjalar.
O: TD : 131/80
A: Kolik renal ec susp urolitiasis dd/ myalgia ec. susp spasme otot + hipertensi
terkontrol dengan obat + dislipidemia
P: Meloxicam 1x15 mg, amlodipin 1x5 mg, Pro Urinalisa
11
15/12/2017 (Kunjungan Rumah)
S: Pasien tidak ada keluhan, nyeri pinggang sudah hilang
O: TD : 140/90
A: Hipertensi terkontrol dengan obat + dislipidemia
P: Lanjutkan terapi
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Tension-Type Headache
Tension-type headache atau sakit kepala terikat adalah salah satu dari jenis sakit
kepala primer yang tersering. Patofisiologi dari sakit kepala terikat meliputi eksitasi
dari sistem saraf pusat yang disebabkan oleh peningkatan nitric oxide sehingga terjadi
spasme otot perikranial.1
Gejala dari sakit kepala terikat berupa nyeri pada seluruh kepala yang terkadang
menjalar ke leher belakang sehingga menyebabkan kekakuan pada leher. Berbeda
dengan jenis sakit kepala primer lainnya seperti sakit kepala migraine dan cluster
yang memiliki tanda gejala lainnya, nyeri kepala terikat tidak memiliki tanda atau
gejala yang menjadi ciri khas.1
Berikut perbedaan tanda dan gejala dari tiga sakit kepala primer:
Untuk menegakan diagnosis TTH (tension-type headache), terlebih dulu harus digali
secara menyeluruh penyebab dari nyeri kepala tersebut melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, atau pemeriksaan penunjang. Penyebab yang dapat mengakibatkan
nyeri kepala pada pasien antara lain tumor (onset kronik progresif), sinusitis, penyakit
infeksi tropis, nyeri kepala pasca trauma. Jika salah satu penyebab tersebut
ditemukan, maka diagnosa TTH tidak dapat ditegakan.Tata laksana pada TTH pada
13
onset akut berupa analgesik seperti acetaminophen (paracetamol) maupun NSAIDs
(ibuprofen, asam mefenamat, sodium diklofenak, meloxicam).1
Pada pasien Ny. R, gejala dikeluhakan berupa nyeri pada seluruh kepala dan terasa
diikat. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan penyebab dari
nyeri kepala yang pasien keluhkan sehingga diagnosa tension-type headche dapat
ditegakan.
2. Sindroma Metabolik
Sindroma metabolik merupakan kumpulan tanda dan gejala yang meliputi obesitas
(abdominal obesity), peningkatan tekanan darah, dislipidemia, dan intoleransi glukosa
(peningkatan glukosa plasma), yang secara keseluruhan merubah metabolisme tubuh
dan memiliki resiko untuk terbentuknya aterosklerosis.2
WHO menjadi badan pendahulu yang membuat kriteria tersebut yang berisi tekanan
darah diatas 140/90 mmHg, plsama triglycerides diatas 150 mg/dL, HDL dibawah 35
mg/dL pada pria dan 39 mg/dL pada wanita, rasio albumin-kreatin diatas 30 mg/g,
dan adanya insulin resisten. Pengkajian terhadap insulin resisten inilah yang menjadi
salah satu perbedaan terhadap kriteria diagnostik yang dibuat oleh badan lainnya.
14
Kriteria diagnostik yang dicanangkan oleh ATP III meliputi lingkar pinggang
(abdominal obesity), peningkatan triglycerides, penurunan HDL, peningkatan tekanan
darah dan gula darah puasa yang tersaji dalam tabel berikut.3
Lingkar pinggang
Wanita > 88 cm
HDL-c
2.2. Patofisiologi
Prevalensi obesitas sendiri memperlihatkan peningkatan dua kali lipat dalam dua
dekade. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya obesitas seperti genetik dan
lingkungan (pola hidup). Namun faktor lingkunganlah yang berperan banyak dalam
peningkatan prevelansi obesitas seperti pola hidup pasif (sedentary) dan asupan kalori
yang berlebih sesuai dengan teori yang dicetuskan oleh H.L Blum.
15
Figur 1. Teori Blum
Obesitas berhubungan erat dengan perubahan profil lipid seperti triglycerides, LDL-c,
HDL-c, VLDL, IDL-c, tekanan darah, gula darah puasa, dan juga terjadinya resistensi
insulin yang berujung mempercepat proses aterosklerosis. Profil lipid pada pasien
dengan sindroma metabolik ditandai dengan peningkatan kadar triglycerides, LDL-c,
VLDL, dan IDL-c dan penurunan kadar HDL-c. Secara patofisiologi, visceral adiposit
yang berlebih pada pasien dengan sindroma metabolik mengakibatkan proses lipolitik
oleh glukokortikoid dan katekolamin dimana asam lemak bebas dapat berakhir di
sistem portal sehingga triglycerides dan VLDL dapat disintesis di hepar dari asam
lemak bebas tersebut. VLDL dan triglycerides melalui proses hidrolisis oleh
lipoprotein lipase untuk menjadi IDL dan LDL di jaringan yang dapat meningkatkan
resiko terjadinya aterosklerosis. Tingginya kadar asam lemak bebas pada pasien obese
dari proses lipolisis yang berlebih dapat menginhibisi sekresi insulin sehingga
menyebabkan peningkatan kadar glukosa plasma. Jika proses tersebut berlangsung
kronik dapat mengakibatkan gangguan makrovaskular dan mikrovaskular.2,4
Sebagian besar pasien obesitas (abdominal obesity) memiliki diabetes mellitus tipe 2
atau setidaknya memiliki deficiency insulin atau kerusakan pada sekresi insulin
terhadap glukosa. Jika tidak diatasi, kadar gula yang tinggi dalam rentan waktu yang
kronik dapat berakibat pada inhibisi dari gen penghasil insulin dan memperburuk
sekresi insulin terhadap glukosa. Peningkatan asam lemak bebas dari hasil proses
lipolisis pada pasien dengan obesitas (abdominal obesity) dapat memperburuk sekresi
insulin. Sebaliknya, resistensi insulin berpengaruh terhadap peningkatan proses
16
lipolisis pada jaringan adiposa yang meningkatkan kadar asam lemak bebas dalam
darah.2,4
Dapat dikatakan obesitas merupakan kondisi inflamasi dengan onset kronik. Jaringan
adiposa menyimpan adipocytokines (inflammatory cytokines) yang berisi TNF-alfaa,
IL-6, dan adiponectin. Fungsi yang sudah diketahui dari TNF-alfa adalah merubah
profil lipid, membantu dalam kerusakan sel beta beta pada pankreas sehingga sekresi
insulin berkurang, dan merusak sel endotel pada pembuluh darah. Sebaliknya
adiponectin merupakan protein dengan fungsi anti-trombotik ditemukan lebih rendah
pada pasien obese. Pada pasien dengan lingkar pinggang yang lebar, akan semakin
tinggi pula kadar CRP (C-reactive protein) yang memacu proses inflamasi terutama
pada dinding pembuluh darah.4
17
2.3. Faktor Resiko
Tujuan tatalaksana pasien dengan sindroma metabolik adalah menurunkan resiko
terjadinya penyakit jantung yang disebabkan oleh proses aterosklerosis. Terdapat
kumpulan resiko yang perlu diketahui dan instrumen penilaian resiko. ATP III
menstratifikasi resiko terhadap penyakit jantung koroner dari perhitungan faktor
resiko dan resiko 10 tahun menggunakan perhitungan resiko Framingham. Berikut
adalah kumpulan faktor resiko dari penyakit jantung koroner yang dibagi menjadi 3
strata yaitu major risk factors, additional risk factors, dan traditional risk factors.2
Studi yang dilakukan oleh The Framingham Heart Study mempunyai hasil bahwa
85% kasus penyakit jantung koroner memiliki setidaknya faktor rasiko dari strata
mayor. Sementara penelitian yang dilakukan the INTERHEART menyatakan 5 dari
faktor resiko major memprediksi 80% kemungkinan kejadian penyakit jnatung
koroner.2
Hubungan antara tingginya kadar LDL-c dengan kejadian penyakit jantung koroner
yang dilakukan oleh the CARE TRIAL menyatakan hubungan yang tidak linear namun
meningkat progresif. Kemungkinan kejadian penyakit jantung koroner akan
meningkat drastis seiring meningkatnya kadar LDL-c.2
18
Kadar HDL-c yang rendah berhubungan dengan hipertriglyceridemia, DM tipe 2,
obesitas, pola hidup pasif, asupan karbohidrat yang tinggi, dan genetik. Interaksi
antara HDL-c dan kolesterol total, LDL-c, atau triglecyride dapat meningkatkan
resiko penyakit jantung koroner. Ratio terhadap ke dua jenis lipid tersebut berguna
untuk memprediksi resiko. Sebagai contoh rasio HDL-c terhadap triglyceride 2,4 atau
diatasnya sangat berhubungan dengan adanya resistensi insulin. Sebagai pengecualian
kadar HDL-c yang rendah terkadang dan profil lipid lain yang tinggi bukan menjadi
sebuah prediktor terhadap penyakit jantung koroner jika hal tersebut terjadi karena
pengaruh genetik bukan lingkungan.2
19
2.4. Pemeriksaan Diagnostik
Salah satu kriteria diagnostik pada sindroma metabolik adalah profil lipid.
Pemeriksaan yang disarankan adalah profil lipid puasa yang terdiri dari kolesterol
total, LDL-c, HDL-c, dan triglyceride untuk meminimalisir efek makanan terhadap
kadar lipid. LDL-c sendiri bukan menjadi salah satu kriteria diagnostik sindroma
metabolik tetapi berguna untuk memprediksi resiko yang ada dan follow up terapi.
Cara lain yang dapat dilakukan untuk mengukur kadar LDL-c jika tidak dapat
dikerjakan melalui pemeriksaan laboratorium adalah melalui perhitungan seperti:
𝑇𝐴𝐺
𝐿𝐷𝐿𝑐 = 𝐾𝑜𝑙𝑒𝑠𝑡𝑒𝑟𝑜𝑙 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 − 𝐻𝐷𝐿𝑐 −
5
Akan tetapi rumus perhitungan tersebut tidak akurat jika kadar triglyceride mencapai
200 mg/dL dan tidak valid jika diatas 400 mg/dL. Oleh karena itu pemeriksaan LDL-c
menjadi sangat disarankan jika kadar triglyceride mencapai diatas 200 mg/dL.2
Pemeriksaan profil lipid terutama kadar triglyceride pada keadaan tidak puasa tidak
direkomendasikan walaupun peningkatan post-prandial triglycerides (>150 mg/dL)
dan lipoprotein merupakan aterogenik dan memprediksi adanya resistensi insulin.
Pemeriksaan kadar lipid post-prandial belum terstandardisasi sehingga tidak dapat
menjadi pemeriksaan yang rutin.2
2.5. Tatalaksana
Tujuan tata laksana sindroma metabolik adalah menurunkan resiko terjadinya
penyakit jantung koroner. Resiko tersebut diditurunkan melalui aktifitas fisik, asupan
nutrisi, menurunkan tekanan darah, menurunkan kadar gula darah, dan menurunkan
kadar lipid.
20
Profil Lipid
Dalam praktiknya acuan yang dapat dipakai dalam menurunkan kadar lipid berupa
penurunan kadar triglyceride, LDL-c, dan total kolesterol dan peningkatan kadar
HDL-c secara keseluruhan. HDL-c sendiri tidak dijadikan target terapi karena belum
ada bukti ilmiah yang menyatakan peningkatan kadar HDL-c sendiri dapat
menurunkan resiko kejadian penyakit jantung koroner.2
Sebaliknya kadar LDL-c menjadi salah satu target utama tata laksana dislipidemia,
namun tidak menjadi target satu-satunya dalam tata laksana. Triglyceride sebagai
target utama dalam terapi dislipidemia pada sindroma metabolik masih kontroversial,
namun beberapa studi (kohort prospektif 18 tahun) seperti yang dilakukan oleh
HELSINKI HEART STUDI (HHS) menemukan bahwa penurunan triglyceride dengan
menggunakan obat golongan fibrat menurunkan angka mortalitas dari penyakit
jantung koroner. Selain dari itu kombinasi fibrat dan statin dapat digunakan jika
ditemukan kadar HDL-c yang rendah.2
Jika kadar triglyceride jatuh diantara 150 – 199 mg/dL dikatakan borderline
hypertriglyceridemia dan disarankan untuk melakukan pencegahan primer. Namun
jika disertai dengan penurunan kadar HDL-c, dapat menggunakan farmakoterapi.2
21
Aktivitas fisik terbukti berguna untuk merubah profil lipid seperti menurunkan
VLDL-c, LDL-c, dan meningkatkan HDL-c. AACE merekomendasikan olah raga
selama 30 menit dengan intensitas sedang empat sampai enam hari per minggu.
Contoh olah raga seperti jalan cepat, berenang, sepeda statis, atau melakukan
pekerjaan rumah. Durasi aktifitas fisik berbanding lurus dengan penurunan kadar
profil lipid. Jenis olah raga aerobik atau anaerobik memiliki efektifitas yang sama
terhadap profil lipid.2
22
untuk menurunkan triglyceride dan meningkatkan HDL-c seperti pada kombinasi
antara golongan statin dan fibrat.2
Hipertensi
Tujuan menurunkan tekanan darah pada pasien dengan sindroma metabolik adalah
untuk mencegah komplikasi berupa komplikasi mikrovaskular atau makrovaskular
khususnya penyakit jantung koroner. Khusus pasien dengan komorbiditas lain seperti
hipertensi, diabetes, dan penyakit ginjal, target terapi tekanan darah adalah dibawah
130/80 mmHg.6,7
Pencegahan primer seperti menurunkan berat badan melalui aktifitas fisik, diet DASH
(Dietary Approach to Stop Hypertension), dan pencegahan sekunder memakai
golongan anti-hipertensi dilakukan untuk menurunkan tekanan darah sesuai target.6,7
Direkomendasikan aktifitas fisik dengan akumulasi 150 – 300 menit intensitas sedang
dalam satu minggu, disertai latian penguatan otot setidaknya dua hari per minggu.
Pembatasan asupan garam sebesar kurang dari 6 g/hari pada pencegahan primer atau
4 g/hari pada pencegahan sekunder. Untuk pasien dengan fungsi ginjal yang baik,
meningkatkan asupan potassium dapat menurunkan tekanan darah sebesar 4 – 8
mmHg dengan menambahkan buah, sayur, dan kacang-kacangan ke dalam menu
diet.6,7
23
digunakan untuk mencegah penyakit jantung koroner pada pasien dengan resiko
tinggi penyakit jantung koroner. Sementara ARBs lebih efektif digunakan untuk
mencegah kerusakan ginjal pada pasien dengan nefropati diabetikum. Menurut JNC 9,
thiazide dieretics, calcium chanel blockers, ACE inhibitors atau ARBs dapat
digunakan sebagai lini pertama dalam monoterapi ataupun kombinasi. Namun pada
pengobatan kombinasi, ACE inhibitor dan CCB lebih superior dibanding kombinasi
lainnya dalam mencegah komplikasi kardiovaskular.7
24
BAB III
PENGKAJIAN
Pasien Ny. R, usia 41 tahun datang dengan keluhan nyeri kepala sejak dua hari yang
lalu. Penegakan diagnosis tension-type headache pada pasien didapatkan berdasarkan
anamnesis. Pada anamnesis didapatkan keluhan nyeri kepala hilang timbul sejak dua
hari yang lalu. Durasi nyeri kepala sekitar 15 menit dan membaik dengan sendirinya.
Nyeri kepala dirasa seperti terikat di seluruh kepala dan menjalar ke bagian belakang
leher. Pasien tidak mengeluh nyeri pada muka, tidak demam, dan tidak ada riwayat
trauma. Tiga bulan yang lalu pasien mengeluhkan keluhan serupa yang membaik
setelah pasien mengkonsumsi obat warung. Pada pasien ini dapat dipikirkan diagnosis
sakit kepala primer yang berupa tension-type headache karena sesuai dengan tanda
dan gejala TTH pada umumnya, dan penyebab lain dari sakit kepala pasien dapat
disingkirkan. Tatalaksana pada pasien ini berupa terapi simtomatis dengan pemberian
analgesik (paracetamol).
Sindroma metabolik pada pasien ini dapat ditegakan berdasarkan adanya hipertensi,
obesitas, dan dislipidemia yang didapatkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan tekanan darah 150/90 satu bulan
yang lalu. Pasien sempat mendapatkan captopril 12,5 mg namun tidak rutin
dikonsumsi sampai sekarang. Pada pemeriksaan fisik pasien didapatkan tekanan darah
160/100. Dengan adanya peningkatan tekanan darah lebih dari 120/80 dalam dua kali
pengecekan dan riwayat pengobatan darah tinggi, diagnosis hipertensi tidak terkontrol
dapat ditegakan.
Pada pasien ini didapatkan obesitas derajat I atas dasar pemeriksaan antropometri
indeks massa tubuh (IMT). Pasien memiliki berat badan 80 kg dan tinggi badan 163
cm, dan IMT 30,1 kg/m2. Dari perhitungan IMT tersebut pasien dikategorikan ke
dalam obesitas derajat I. Berdasarkan pemeriksaan penunjang didapatkan mixed-
dyslipidemia pada pasien ini. Hasil pemeriksaan profil lipid pasien menunjukan
adanya peningkatan pada kadar kolesterol total (263), triglyceride (261), LDL-c
(169), dan penurunan kadar HDL-c (34).
25
Sindrom metabolik adalah sekumpulan tanda dan gejala yang meliputi obesitas,
peningkatan tekanan darah, perubahan profil lipid, dan peningkatan glukosa plasma.
Pada pasien ini ditemukan 3 dari sekumpulan tanda tersebut, sehingga pasien ini dapat
dikatakan memiliki sindrom metabolik.
Tatalaksana pada pasien ini bertujuan untuk mengurangi resiko penyakit jantung
koroner (ASCVD) melalui pencegahan primer dan sekunder. Pencegehan primer pada
pasien ini meliputi edukasi mengenai perubahan pola hidup seperti aktifitas fisik dan
diet.
Aktivitas fisik yang diperlukan pada pasien ini berupa aktifitas fisik dengan intensitas
sedang seperti jalan cepat, senam pagi di komunitas, dan melakukan pekerjaan rumah
tangga dengan durasi minimal 30 menit/hari selama lima hari setiap minggunya. Jika
pasien mengeluh tidak memiliki waktu untuk beraktifitas fisik, durasi aktifitas fisik
tiap hari nya dapat dibagi menjadi per 10 menit.
Asupan kalori perlu dibatasi mengingat kondisi obesitas pada pasien. Asupan kalori
dihitung berdasarkan kalori basal dan berat badan ideal pasien. Dengan berat badan
80 kg dan tinggi badan 163 cm, berat badan ideal pasien adalah 56,7 kg yang dihitung
dari:
Dengan berat badan ideal 56,7 kg, didapatkan kalori basal pasien adalah 1417,5 kal
yang dihitung menggunakan rumus:
26
Setelah dikurangi faktor-faktor tersebut, kebutuhan kalori pasien per hari berjumlah
sekitar 1400 samapi 1500 kalori.
Besarnya kalori tersebut dibagi menjadi makan pagi (20%), siang (30%), dan malam
(25%). Serta 2 – 3 porsi makanan ringan diantaranya (10 – 15%). Asupan karbohidrat
sebaiknya sekitar 45-65% dari asupan energi dan diutamakan dengan serat tinggi.
Asupan lemak sekitar 20-25% dari kebutuhan kalori dan menghindari asupan lemak
jenuh. Asupan protein berkisar antara 10-20% dari asupan total. Pasien juga perlu
membatasi asupan garam sebesar 4-6 g setiap hari dan meningkatkan asupan potasium
dan kalsium dengan mengkonsumsi sayur, buah, dan kacang-kacangan (unsalted).
Prognosis vitam dan functionam pasien ini adalah bonam karena berdasarkan prediksi
kejadian penyakit jantung koroner menurut Framingham Risk Model adalah 3,9%
yang tergolong dalam resiko rendah. Prognosis sanctionam adalah dubia ad bonam.
27
DAFTAR PUSTAKA
3. Grundy SM, Cleeman JI, Daniels SR, Donato KA, Eckel RH, Franklin BA, et al.
Diagnosis and management of the metabolic syndrome. Circulation. 2005 Oct
18;112:2735-52.
28
LAMPIRAN
29
30