Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

PENDAHULUAN

Dalam memecahkan persoalan-persoalan Fisika atau untuk menerangkan


makna fisis dari suatu fenomena, pemilihan sistem koordinat merupakan salah
satu tahapan yang paling menentukan. Hal ini disebabkan karena ketepatan dalam
memilih suatu sistem koordinat dapat memberikan kemudahan bagi kita, yakni
dengan membuat permasalahan menjadi terlihat lebih sederhana. Sebagai contoh
sederhana adalah mengenai pembahasan gerak melingkar. Jika kita memilih
menggunakan sistem koordinat siku atau kartesis, maka probelm yang
kelihatannya sederhana tersebut berubah menjadi relatif rumit dan sebaliknya,
persoalan tersebut akan menjadi jauh lebih sederhana jika kita bekerja dengan
menggunakan sistem koordinat kutub atau polar. Tetapi hal ini berbeda jika kita
meninjau kasus partikel yang jatuh bebas dalam bidang dua dimensi misalnya.
Penggunaan koordinat polar justru akan memperumit masalah dan akan jauh lebih
mudah jika diselesaikan dengan menggunakan sistem koordinat kartesis.
Di lain pihak, untuk memodelkan suatu persoalan secara umum, misalnya
dengan memformulasikan persamaan diferensial yang terkait, kadang kita masih
memanfaatkan sistem koordinat yang lazim digunakan, seperti sistem koordinat
kartesis. Tetapi, sebagaimana dicontohkan di atas, ketika kita dihadapkan dengan
suatu persoalan dengan simetri tertentu maka kita dituntut untuk mengubah sistem
kartesis ke sistem lainnya. Operasi untuk mengubah sistem koordinat tersebut
dinamakan sebagai ”transformasi koordinat”.

1
BAB II
PEMBAHSAN

2.1 Transformasi Linear


Misalkan kita memiliki sebuah vektor dalam sistem koordinat dua
dimensi komponen sebut saja (x, y). Sebuah transformasi dikatakan linier jika
kita melakukan perubahan komponen

(𝑥, 𝑦) → (𝑥 ′ , 𝑦 ′ ) (1)

dengan (x′, y′) adalah komponen dalam sistem koordinat baru yang dapat
diperoleh sedemiki(an rupa melalui superposisi linier dari koordinat yang lama
sebagai berikut:

𝑦 ′ = 𝑎11 𝑥 + 𝑎12 𝑦

𝑥 ′ = 𝑎21 𝑥 + 𝑎22 𝑦 (2)

Atau dalam bentuk matriks dituliskan sebagai :

𝑥′ 𝑥
( ′ ) = 𝑀 (𝑦) (3)
𝑦

Dengan inversnya diberikan oleh :

𝑥 𝑥′
(𝑦) = 𝑀−1 ( ′ ) (4)
𝑦

Dimana

𝑎11 𝑎12
M=(𝑎
21 𝑎22 ) (5)

Misalkan vektor yang terkain dalam komponen-komponen tersebut adalah :

𝑟⃗ =𝑥𝑒̂𝑥 + 𝑦𝑒̂𝑦 (6)

Dimana 𝑒̂𝑥 dan 𝑒̂𝑦 merupakan vektor-vektor basis dalam arah x dan y. Selanjutnya
untuk mengetahui bagaimana basis-basis tersebut bertransformasi, tuliskan
kembali vektor (5) dalam bentuk matriks berikut

2
𝑥
𝑟⃗ = (𝑒̂𝑥 𝑒̂𝑦 ) ( )
𝑦 (7)

Subtitusikan persamaan (4) ke dalam persamaan (6) sehingga :

𝑥′ 𝑥′
𝑟⃗ = (𝑒̂𝑥 𝑒̂𝑦 )𝑀−1 ( ′ ) (𝑒̂𝑥′ 𝑒̂𝑦′ ) ( ′ ) =𝑟⃗ ′ (8)
𝑦 𝑦

Jelas terlihat disini bahwa :

𝑒̂𝑥
𝐶 = (𝑀−1 )𝑇 ( ) (9)
𝑒̂𝑦

Contoh 2.1 misalkan berdasarkan sistem koordinat kartesis, sebuah vektor


𝑟⃗ =2𝑒̂𝑥 + 𝑒̂𝑦 . Jika vektor tersebut ditransformasikan ke dalam suatu sistem
koordinat baru melalui matriks :

1 −1
𝑀=( ) (i)
0 1

Dengan

1 1
𝑀−1=( ) (ii)
0 1

Berdasarkan persamaan (3), komponen vektor dalam koordinat baru diberikan


oleh :

1 1 −1 2
( )=( )( ) (iii)
1 0 1 1

Sehingga vektor tersebut dalam koordinat yang baru yang dinyatakan dalam basis
lama diberikan oleh 𝑟⃗ ′ = 𝑒̂𝑥′ +𝑒̂𝑦′ . Berdasarkan persamaan (9), diperoleh basis
yang baru yang dinyatakan dalam basis lama diberikan oleh :

𝑒̂𝑥′ 1 0 𝑒̂𝑥
( ′)=( )( ) (iv)
𝑒̂𝑦 1 1 𝑒̂𝑦

Atau 𝑒̂𝑥′ = 𝑒̂𝑥 dan 𝑒̂𝑦′ = 𝑒̂𝑥 + 𝑒̂𝑦 . Ilustrasi kedua sistem koordinat tersebut
diberikan dalam Gambar 1a. Perhatikan bahwa sistem koordinat yang baru

3
mengalami deformasi dan tidak ortogonal. Perlu dicatat, bahwa terhadap
koordinat yang lama, basis baru tidak harus memiliki panjang satu.
Apa yang telah diuraikan di atas merupakan salah satu cara pandang
terhadap transformasi linier yang dimaksud, dimana dalam hal ini yang
bertransformasi adalah vektor-vektor basis. Cara pandang lain adalah dengan
melihat bahwa transformasi tersebut berlangsung pada sistem koordinat yang
sama sehingga hanya komponennya yang bertransformasi, sedangkan vektor-
vektor basisnya tetap. Kembali ke contoh 2.1., berdasarkan cara pandang ini
vektor 𝑟⃗ ′ diberikan oleh 𝑟⃗ ′ = 𝑒̂𝑥 + 𝑒̂𝑦 yang jelas terlihat mengalami bentuk dan
perubahan arah sehingga𝑟⃗ ≠ 𝑟⃗ ′ , sebagaimana diberikan dalam gambar 1b

2.2 Transformasi Ortogonal


Telah diperlihatkan bahwa secara umum transformasi (3) dan (9) tidak
menjamin bahwa sistem koordinat yang baru merupakan sistem ortogonal. Untuk
menghasilkan koordinat baru juga bersifat ortogonal, maka transformasi linier
yang dimaksud harus bersifat rotasional dan secara khusus matriks M terkait dapat
dituliskan dalam bentuk berikut:
𝑐𝑜𝑠 𝜃 𝑠𝑖𝑛 𝜃
𝑀=( ) (10)
−𝑠𝑖𝑛 𝜃 𝑐𝑜𝑠 𝜃

Untuk memperoleh matriks tersebut tinjau rotasi yang diberikan dalam Gambar 2.
Jelas terlihat dari gambar tersebut bahwa:

𝑥 = 𝑥 ′ 𝑐𝑜𝑠 𝜃 − 𝑦 ′ 𝑠𝑖𝑛 𝜃

𝑦 = 𝑥 ′ 𝑠𝑖𝑛 𝜃 − 𝑦 ′ 𝑐𝑜𝑠 𝜃 (11)

Berdasarkan persamaan (4) dapat dituliskan sebagai:

𝑥 𝑐𝑜𝑠 𝜃 −𝑠𝑖𝑛 𝜃 𝑥 ′ 𝑥′
(𝑦 ) = ( ) ( ′ ) = 𝑀−1 ( ′ ) (12)
𝑠𝑖𝑛 𝜃 𝑐𝑜𝑠 𝜃 𝑦 𝑦

4
Gambar 2
Dengan melakukan proses inversi, dapat dengn mudah dibuktikan bahwa matriks
M diberikan oleh persamaan (100 dan jelas bahwa
𝑀−1 = 𝑀𝑇 (13)
atau dengan kata lain M merupakan sebuah matriks ortogonal, sehingga dengan
demikian jelas bahwa transformasi tersebut dapat dinamakan sebagai transformasi
linier ortogonal atau disingkat transformasi ortogonal.
` Selanjutnya, tinjau panjang vektor 𝑟⃗ = 𝑥𝑒̂𝑥 + 𝑦𝑒̂𝑦 dalam sistem koordinat
lama yang diberikan oleh :
|𝑟⃗|2 = 𝑥 2 + 𝑦 2 (14)

Dan panjang vektor 𝑟⃗ ′ = 𝑥 ′ 𝑒̂𝑥′ +𝑦 ′ 𝑒̂𝑦′

|𝑟⃗ ′ |2 = 𝑥 ′2 + 𝑦 ′2 (15)

Dengan melakukan subtitusi 𝑥 ′ = 𝑥 cos 𝜃 + 𝑦 sin 𝜃 dan 𝑦 ′ =−𝑥 sin 𝜃 + 𝑦 cos 𝜃 ke


dalam prsamaan (15)

𝑥 ′2 + 𝑦 ′2 = (𝑥 cos 𝜃 + 𝑦 sin 𝜃)2 + (−𝑥 sin 𝜃 + 𝑦 cos 𝜃)2

= 𝑥2 ⏟
(𝑐𝑜𝑠 2 𝜃 + 𝑠𝑖𝑛2 𝜃)+2𝑥𝑦𝑐𝑜𝑠
⏟ (𝑐𝑜𝑠 2 𝜃 + 𝑠𝑖𝑛2 𝜃)
𝜃 − 2𝑥𝑦 cos 𝜃 sin 𝜃 + ⏟
=1 =0 =1

5
=𝑥 2 + 𝑦 2 (16)

diperoleh bahwa panjang vektor tersebut tidak berubah, sedangkan berdasarkan


transformasi (9) untuk baris-baris dalam koordinat yang baru diberikan oleh :

eˆ′x = eˆx cosθ + eˆy sinθ

eˆ′y = −eˆx sinθ + eˆy cosθ (17)

berbeda dengan dengan contoh 2.1 untuk kasus transformasi linear non ortogonal,
dalam kasus ini kembali dapat dibuktikan pula dengan mudah bahwa panjang
|𝑒̂𝑥′ | = |𝑒̂𝑦′ | = 1.
Misalnya kita melakukan dua atau lebih transformasi ortogonal dengan
sudut 𝜃 𝑑𝑎𝑛 𝛹 berturut –turut dengan masing –masing matriks transformasi
diberikan olen 𝑀𝜃 𝑑𝑎𝑛 𝑀𝜓 , maka transformasi totalnya diberikan oleh :
𝑥′ 𝑥
( ′ ) = 𝑀𝜃 (𝑦) (18a)
𝑦

𝑥 ′′ 𝑥′
( ′′ ) = 𝑀𝜓 ( ′ ) (18b)
𝑦 𝑦

Sehingga

𝑥 ′′ 𝑥
( ′′ ) = 𝑀𝜓 𝑀𝜃 (𝑦) (19)
𝑦
Perumusan mengenai transformasi ortogonal dalam bidang dua dimensi dapat
diperluas ke ruang tiga dimensi. Misalkan kita melakukan rotasi dengan sumbu z
sebagai sumbu putar sebagai berikut:
𝑥′ 𝑥

(𝑦 ) = 𝑀,𝜙 (𝑦) (20)
𝑧′ 𝑧

Dengan

cos 𝜙 sin 𝜙 0
𝑀,𝜙 = (− sin 𝜙 cos 𝜙 0) (21)
0 0 1

6
Misalkan selanjutnya dilakukan rotasi dengan sumbu y′ sebagai sumbu putar
diberikan oleh:
𝑥 ′′ 𝑥′
(𝑦 ′′ ) = 𝑀𝜓 (𝑦 ′ ) (22)
𝑧 ′′ 𝑧′
Dengan
cos 𝜓 0 sin 𝜓
𝑀𝜓 = ( 0 1 0 ) (23)
− sin 𝜓 0 cos 𝜓
dan terakhir dilakukan rotasi dengan x′′ sebagai sumbu putar berikut:
𝑥 ′′ 𝑥′
(𝑦 ′′ ) = 𝑀𝜃 (𝑦 ′ ) (24)
𝑧 ′′ 𝑧′
Dengan
1 0 0
𝑀𝜃 = (0 cos 𝜃 sin 𝜃 ) (25)
0 − sin 𝜃 cos 𝜃
Berdasarkan transformasi tersebut maka secara umum rotasi tiga dimensi terkait
dapat dinyatakan dalam bentuk:
𝑥′ 𝑥

(𝑦 ) = 𝑀𝜃,𝜓,𝜙 (𝑦) (26)
𝑧′ 𝑧
Dengan 𝑀𝜃,𝜓,𝜙 = 𝑀𝜃 , 𝑀𝜓 , 𝑀,𝜙 , diberikan oleh (buktikan)

𝑀𝜃,𝜓,𝜙 =
𝑐𝑜𝑠𝜙 𝑐𝑜𝑠𝜓 sin 𝜙𝑐𝑜𝑠 𝜃 − 𝑐𝑜𝑠𝜙𝑠𝑖𝑛𝜓 sin 𝜃 sin 𝜙 𝑠𝑖𝑛 𝜃 + 𝑐𝑜𝑠𝜙𝑠𝑖𝑛𝜓 sin 𝜃
(− sin 𝜙 𝑐𝑜𝑠𝜓 cos 𝜙𝑐𝑜𝑠 𝜃 + 𝑐𝑜𝑠 𝜙𝑠𝑖𝑛𝜓 sin 𝜃 cos 𝜙 𝑠𝑖𝑛 𝜃 + 𝑠𝑖𝑛 𝜙𝑠𝑖𝑛𝜓 sin 𝜃 ) (27)
−𝑠𝑖𝑛𝜓 − 𝑐𝑜𝑠𝜓 sin 𝜃 𝑐𝑜𝑠𝜓 sin 𝜃

−1 𝑇
Yang memenuhi kondisi ortogonalitas 𝑀𝜃,𝜓,𝜙 = 𝑀𝜃,𝜓,𝜙 sedangkan panjang vektor
juga invarian :

𝑥 ′2 + 𝑦 ′2 + 𝑧 ′2 = 𝑥 2 + 𝑦 2 + 𝑧 2 (28)

7
2.3 Diagonalisasi Matriks

Kembali kita tuliskan sistem persamaan yang terkait dengan masing-


masing harga eigen sebagai berikut:

5𝑥1 − 2𝑦1 = 6𝑥1

−2𝑥1 − 2𝑦1 = 6𝑦1


(40a)

5𝑥2 − 2𝑦2 = 𝑥2

−2𝑥2 − 2𝑦2 = 𝑦2 (40b)


dengan indeks bawah 1 dan 2 menyatakan komponen vektor eigen yang
terkait dengan λ1 dan λ2 berturut-turut. Bentuk persamaan (40) dapat kembali
dituliskan dalam bentuk yang lebih sederhana sebagai berikut:
5 −2 𝑥1 𝑥2 𝑥1 𝑥2 1 0
( ) (𝑦 𝑦 ) = (𝑦 𝑦 ) ( ) (41)
−2 2 1 2 1 2 0 6

Kembali dengan memakai vektor (iii) dan (iv) pada contoh 2.2., kita
dapatkan bahwa:
2 1 2 1
5 −2 √5 √5 √5 √5 1 0
( ) (−1 2) = (−1 2 ) (0 ) (42)
−2 2 6
√5 √5 √5 √5

Segera terlihat bahwa persamaan (43) dapat dimanipulasi sehingga menjadi:

−1
2 1 2 1
√5 √5 5 −2 √5 √5 1 0
( ) =( ) (43)
−1 2 −2 2 −1 2 0 6
( √5 √5) ( √5 √5)

Secara umum bentuk persamaan (43) dapat dituliskan dalam bentuk:

𝐷−1 𝑀𝐷 = ᴧ (44)

dimana Λ merupakan sebuah matriks diagonal.

8
Proses yang dibahas di atas merupakan proses diagonalisasi sebuah
matriks dengan matriks D merupakan matriks pendiagonal yang kolom-kolomnya
berisi komponen vektor-vektor eigen matriks M , sedangkan Λ merupakan
matriks diagonal terkait dimana entri diagonalnya adalah harga-harga eigen

terkait. Jelas bahwa syarat agar dapat dilakukan diagonalisasi adalah det(D) ≠ 0
atau D merupakan matriks non-singular. Secara khusus transformasi (44)
dinamakan sebagai transformasi similaritas.
Untuk memahami arti geometri dari proses diagonalisasi ini, misalkan
matriks D yang kolom-kolomnya berisikan vektor-vektor eigen satuan dapat
dipandang sebagai sebuah matriks rotasi dengan, yang merotasikan dengan sudut
θ sistem koordinat baru ke lama sebagai berikut:
𝑟⃑ = D𝑟⃑ ′ (45)
𝑐𝑜𝑠 𝜃 −𝑠𝑖𝑛 𝜃
Dengan D = ( ), dan juga merotasikan vektor yang
𝑠𝑖𝑛 𝜃 𝑐𝑜𝑠 𝜃
terdeformasi melalui :
𝑅⃑⃑ = D𝑅⃑⃑ ′ (46)

Mengingat matriks M dalam sistem koordinat lama berperan dalam


mendeformasikan vektor dalam sistem koordinat yang sama melalui hubungan 𝑅⃑⃑
=M 𝑟⃑, maka diperoleh :

𝑅⃑⃑ ′ =𝐷 −1 𝑀D𝑟⃑ ′ (47)

Hubungan 𝑅⃑⃑ ′ = Λ′𝑟⃑ ′ pada persamaan (47) menunjukkan bahwa dalam


sistem koordinat baru, deformasi hanya bersifat mengubah panjang dari masing-
masing komponen tanpa mengubah orientasinya dan ini selaras dengan konsep
mengenai vektor eigen. Hal penting yang perlu dipahami adalah, bahwa dengan
membentuk matriks pendiagonal D , kita dapat memperoleh suatu sistem
koordinat baru dimana vektor tidak mengalami perubahan orientasi.

9
2.4 Koordinat Kurvilinier
Sistem koordinat bola dan silinder. Telah ditunjukkan pula bahwa elemen
garis, permukaan dan volume pada dasarnya berturut-turut tidak berbentuk garis
lurus, permukaan datar dan kotak persegi panjang. Untuk sistem koordinat silinder
(r,θ , z) dengan panjang elemen infinitesimal dalam arah r , θ dan z diberikan oleh
dr , rdθ dan dz . Dipihak lain, transformasi antara (x, y, z) dengan (r,θ , z)
diberikan oleh:
𝑥 = 𝑟 cos 𝜃 (47a)
Y= r sin 𝜃 (47b)
z=z (47c)
sehingga elemen garis untuk masing-masing arah diberikan oleh:
𝑑𝑥 = 𝑐𝑜𝑠 𝜃 𝑑𝑟 − 𝑟 sin 𝜃 𝑑𝜃 (48a)
𝑑𝑦 = 𝑠𝑖𝑛 𝜃𝑑𝑟 + 𝑟𝑐𝑜𝑠𝜃 𝑑𝜃 (48b)
𝑑𝑧 = 𝑑𝑧 (48c)
Kini tinjau panjang vektor elemen garis ds berikut untuk koordinat kartesis:
𝑑𝑠⃑𝑘𝑎𝑟 = 𝑑𝑥𝑒̂𝑥 + 𝑑𝑦𝑒̂𝑦 + 𝑑𝑥𝑒̂𝑧 (49)
dan
𝑑𝑠⃑𝑠𝑖𝑙 = 𝑑𝑟𝑒̂𝑟 + 𝑟𝑑𝜃𝑒̂𝑦 + 𝑑𝑧𝑒̂𝑧 (50)

untuk koordinat silinder dimana eˆr , eˆθ dan eˆz adalah vektor satuan yang

ortogonal satu sama lainnya. Sementara itu, berdasarkan persamaan (48), panjang
elemen untuk masing-masing sistem adalah:
2
𝑑𝑠𝑘𝑎𝑟 = 𝑑𝑥 2 + 𝑑𝑦 2 + 𝑑𝑧 2 =(𝑐𝑜𝑠 𝜃 𝑑𝑟 − 𝑟 sin 𝜃 𝑑𝜃)2 + (𝑠𝑖𝑛 𝜃 𝑑𝑟 − 𝑟 cos 𝜃 𝑑𝜃)2
⏟ 2 𝜃 + 𝑠𝑖𝑛2 𝜃)
= (𝑐𝑜𝑠
=1

𝑑𝑟 2 +(𝑐𝑜𝑠
⏟ 2 𝜃 + 𝑠𝑖𝑛2 𝜃) 𝑟 2 𝑑𝜃 2
=1

(−2 cos 𝜃 sin 𝜃 𝑑𝜃 2 + 2 cos 𝜃 sin 𝜃 𝑑𝜃 2 )+𝑑𝑧 2


=⏟
=0
2
=𝑑𝑟 2 +d𝑟 2 𝑑𝜃 2 + 𝑑𝑧 2 = 𝑑𝑠𝑠𝑖𝑙 (51)

10
Terlihat bahwa ungkapan bagi panjan elemen ds untuk koordinat kartesis
dengan silinder memiliki kesamaan bentuk. Dapat dibuktikan bahwa elemen
permukaan dan volumenya juga memiliki kesamaan bentuk.
Berdasarkan ciri (i) elemen garis, permukaan dan volume yang secara
umum membentuk kurva, maka sistem-sistem koordinat dengan ciri tersebut
dinamakan sebagai ”sistem koordinat kurvilinier”. Khusus jika terdapat pula ciri-
ciri tambahan (ii) panjang elemen garis, luas permukaan dan volume memiliki
kesamaan dengan koordinat kartesis dan (iii) vektor-vektor satuannya saling
ortogonal, maka dinamakan sebagai ”sistem koordinat kurvilinier ortogonal”.
Perlu dicatat bahwa koordinat kartesis pun termasuk dalam kategori koordinat
kurvilinier ortogonal.
Dalam ungkapan vektor elemen garis 𝑠⃗ , secara umum untuk sebuah

sistem koordinat kurvilinier (x1, x2 , x3 ) dituliskan sebagai:

𝑑𝑠⃗ =𝑒̂1 ℎ1 𝑑𝑥1 + 𝑒̂2 ℎ2 𝑑𝑥2 + 𝑒̂3 ℎ3 𝑑𝑥3 (52)

dengan hi , i = 1, 2,3 merupakan koefisien yang dapat berupa fungsi (x1, x2 , x3 )

untuk sistem yang tidak ortogonal, elemen panjangnya diberikan oleh:


𝑑𝑠 2 = 𝑔11 𝑑𝑥12 + 𝑔12 𝑑𝑥1 𝑑𝑥2 + 𝑔13 𝑑𝑥1 𝑑𝑥3

𝑔21 𝑑𝑥2 𝑑𝑥1 +𝑔22 𝑑𝑥22 + 𝑔23 𝑑𝑥2 𝑑𝑥3

𝑔31 𝑑𝑥3 𝑑𝑥1 + 𝑔32 𝑑𝑥3 𝑑𝑥2 +𝑔33 𝑑𝑥32 (53)

dengan gij = hi h j eˆi • eˆ j . Dalam notasi dengan menggunakan indeks boneka

(yang akan secara khusus dijelaskan dalam Bab 11), ungkapan (53) dapat
dituliskan sebagai:
𝑑𝑠 2 = ∑3𝑖=1 ∑3𝑗=1 𝑔𝑖𝑗 𝑑𝑥𝑖 𝑑𝑥𝑗 (54)

Sedangkan dalam bentuk matriks diberikan oleh:


𝑔11 𝑔12 𝑔13 𝑥1
𝑑𝑠 = (𝑥1 𝑥2 𝑥3 ) (𝑔21 𝑔22 𝑔23 ) (𝑥2 )
2
(55)
𝑔31 𝑔32 𝑔33 𝑥3

11
Untuk sistem yang ortogonal dengan mudah dapat dibuktikan bahwa eˆi •

eˆ j = δij , dimana δij merupakan simbol kronecker delta, sehingga gij = 0 untuk i

≠ j dan mengakibatkan ungkapan (53) tereduksi menjadi:

𝑑𝑠 2 = 𝑔11 𝑑𝑥12 + 𝑔22 𝑑𝑥22 + 𝑔33 𝑑𝑥32 (56)

2
dengan g11 = h12 , g22 = h22 dan g33 = h3 .

2.5 Operator Vektor dalam Sistem Koordinat Kurvilinier Ortogonal

kita telah mempelajari mengenai bentuk operator gradient, divergensi,


Laplacian dan rotasi dalam sistem koordinat kartesis. Dalam sistem koordinat
⃑⃗ yang bekerja pada sebuah fungsi
kurvilinier yang ortogonal, operator gradien∇
skalar U memiliki bentuk sebagai berikut:
⃑∇⃗𝑈 = 𝑒̂1 1 𝜕𝑈
+ 𝑒̂2 ℎ
1 𝜕𝑈 1 𝜕𝑈
+ 𝑒̂1 ℎ
1 𝜕𝑈
= ∑3𝑖=1 𝑒̂𝑖 ℎ (57)
ℎ 1 𝜕𝑥1 2 𝜕𝑥2 3 𝜕𝑥3 𝑖 𝜕𝑥𝑖

Contoh 2.3. Tinjau operator gradien untuk sistem koordinat silinder. Karena x1 =

r , x2 = θ dan x3 = z sedangkan h1= 1 , h2 = r dan h3 = 1 , maka diperoleh:

𝜕𝑈 1 𝜕𝑈 𝜕𝑈
⃑∇⃗𝑈 = 𝑒̂1 + 𝑒̂𝜃 + 𝑒̂𝑧
𝜕𝑟 𝑟 𝜕𝑟 𝜕𝑧
Selanjutnya, misalkan V merupakan sebuah fungsi vektor:
⃑∇⃗⦁𝑉
⃑⃗ = 𝑒̂1 𝑉1 (𝑥1 , 𝑥2 , 𝑥3 )+𝑒̂2 𝑉2 (𝑥1 , 𝑥2 , 𝑥3 ) + 𝑒̂3 𝑉3 (𝑥1 , 𝑥2 , 𝑥3 ) (58)
maka divergensi dari fungsi tersebut diberikan oleh:
1 𝜕 𝜕 𝜕
⃑⃗⦁𝑉
∇ ⃑⃗ = ⌈𝜕𝑥 (ℎ1 ℎ3 𝑉1 ) + 𝜕𝑥 (ℎ1 ℎ3 𝑉2 ) + 𝜕𝑥 (ℎ1 ℎ2 𝑉3 )⌉ (59)
ℎ 1 ℎ2 ℎ3 1 2 1

Contoh 2.4. Tinjau divergensi fungsi untuk sistem koordinat bola. Karena x1 = r,

x2 = θ dan x3 = φ sedangkan h1 = 1 , h2 = r dan h3 = r sinθ (buktikan!), maka

diperoleh:

1 𝜕 2 𝜕 𝜕
⃑∇⃗⦁𝑉
⃑⃗ = [ (𝑟 𝑠𝑖𝑛𝜃𝑉𝑟 ) + (𝑟 𝑠𝑖𝑛𝜃𝑉𝜃 ) (𝑟𝑉𝜙 )]
𝑟 2 𝑠𝑖𝑛𝜃 𝜕𝑟 𝜕𝜃 𝜕𝜙

12
1 𝜕 1 𝜕 𝜕
=𝑟 2 𝜕𝑟 (𝑟 2 𝑉𝑟 ) + 𝑟 sin 𝜃 [𝜕𝜃 (𝑟 𝑠𝑖𝑛𝜃𝑉𝜃 𝜕𝜙 (𝑉𝜙 ))]

Sementara itu, untuk Laplacian yang bekerja pada fungsi skalar U diberikan oleh:

1 𝜕 ℎ2 ℎ3 𝜕𝑈 𝜕 ℎ1 ℎ3 𝜕𝑈 𝜕 ℎ1 ℎ2 𝜕𝑈
∇2 𝑈 = ℎ ⌈𝜕𝑥 ( ) + 𝜕𝑥 ( ) + 𝜕𝑥 ( )⌉ (60)
1 ℎ2 ℎ3 1 ℎ1 𝜕𝑥1 2 ℎ2 𝜕𝑥1 3 ℎ3 𝜕𝑥1

Contoh 2.5. Tinjau operator gradien untuk sistem koordinat silinder. Karena x1 =

r , x2 = θ dan x3 = z sedangkan h1 = 1 , h2 = r dan h3 = 1 , maka diperoleh:

2
1𝜕 𝜕𝑈 1 𝜕 2𝑈 𝜕 2𝑈
∇ 𝑈= (𝑟 ) + 2 2 + 2
𝑟 𝜕𝑟 𝜕𝑟 𝑟 𝜕𝜃 𝜕𝑧

⃑⃗ × 𝑉
Terakhir untuk operator rotasi yang bekerja pada fungsi vektor (58) ∇ ⃑⃗
bentuk ungkapannya diberikan oleh :

ℎ1 𝑒̂1 ℎ2 𝑒̂2 ℎ3 𝑒̂3


1 𝜕 𝜕 𝜕
⃑⃗ × 𝑉
∇ ⃑⃗ = | | (61)
ℎ 1 ℎ2 ℎ3 𝜕𝑥1 𝜕𝑥2 𝜕𝑥3
ℎ1 𝑉1 ℎ2 𝑉2 ℎ2 𝑉2

Untuk sistem koordinat silinder bentuknya adalah (buktikan!):

∇ ⃑⃗ = 𝑒̂1 (1 𝜕𝑉𝑧 − 𝜕𝑉𝜃 ) + 𝑒̂𝜃 (𝜕𝑉𝑟 − 𝜕𝑉𝑧 ) + 𝑒̂𝑧 (𝜕(𝑟𝑉𝜃 ) − 𝜕𝑉𝑟 )


⃑⃗ × 𝑉 (62)
𝑟 𝜕𝑧 𝜕𝑧 𝜕𝑧 𝜕𝑟 𝜕𝑟 𝜕𝜃

2.6 Sistem Koordinat Silinder dan Bola

1. Koordinat silinder (r, 𝝓, 𝒛)

Hubungan antara koordinat kartesian dengan koordinat silinders :

x = r cos 𝜙 y = sin 𝜙 z=z

vektor kedudukannya adalah 𝑠⃗ = xi+yj+zk

𝑠⃗ = 𝑟 cos 𝜙 𝑖 + 𝑟 sin 𝜙𝑗 + 𝑧𝑘

𝜕𝑠 𝜕𝑠 𝜕𝑠
ds =𝜕𝑟 𝑑𝑟 + 𝜕𝜙 𝑑𝜙 + 𝜕𝑧 𝑑𝑧

13
ds=(cos 𝜙 𝑖 + 𝑟 sin 𝜙𝑗)𝑑𝑟 + (− r sin 𝜙 𝑖 + 𝑟 cos 𝜙𝑗)𝑑𝜙 + 𝑘 𝑑𝑧

ds=(cos 𝜙 𝑑𝑟 − 𝑟 sin 𝜙 𝑑 𝜙)𝑖 + (sin 𝜙 𝑑𝑟 + 𝑟 cos 𝜙𝑑 𝜙𝑗)𝑗 + 𝑑𝑧 𝑘

jadi kuadrat elemen panjang busur adalah :

𝑑𝑠 2 = ds. ds

𝑑𝑠 2 = 𝑐𝑜𝑠 2 𝜙 𝑑𝑟 2 − 2𝑟 𝑠𝑖𝑛 𝜙 cos 𝜙 𝑑𝑟 𝑑𝜙 + 𝑟 2 𝑠𝑖𝑛2 𝜙𝑑𝜙 2 + 𝑠𝑖𝑛2 𝜙𝑑𝑟 2


+2𝑟 sin 𝜙 cos 𝜙 𝑑𝑟 𝑑𝜙 + 𝑟 2 𝑐𝑜𝑠 2 𝜙𝑑𝜙 2 + 𝑑𝑧 2

𝑑𝑠 2 = (𝑠𝑖𝑛2 𝜙 + 𝑐𝑜𝑠 2 𝜙)𝑑𝑟 2 + 𝑟 2 (𝑠𝑖𝑛2 𝜙 + 𝑐𝑜𝑠 2 𝜙)𝑑𝜙 2 + 𝑑𝑧 2

𝑑𝑠 2 = 𝑑𝑟 2 + 𝑟 2 𝑑𝜙 2 + 𝑑𝑧 2

𝑑𝑠 2 = ℎ12 𝑑𝑟 2 + ℎ22 𝑑𝜙 2 + ℎ32 𝑑𝑧 2

Maka :

ℎ1 = 1 ℎ2 = r ℎ2 = r

Misalkan V adalah fungsi skalar

1 𝜕𝑉 1 𝜕𝑉 1 𝜕𝑉
Grad V=∇𝑉 = ℎ +ℎ +
1 𝜕𝑟 2 𝜕𝜙 ℎ 3 𝜕𝑧

𝜕 1 𝜕 𝜕
∇𝑉 = + +
𝜕𝑟 𝑟 𝜕𝜙 𝜕𝑧

1 𝜕 𝜕 1 𝜕2 𝜕2
Operator laplacian ∇2 =𝑟 𝜕𝑟 (𝑟 𝜕𝑟) + 𝑟 2 𝜕𝜙2+𝜕𝑧 2

2. koordinat Bola

Hubugan antara koordinat kartesian dengan koordinat bola

x = r sin 𝜃 cos 𝜙

y == r sin 𝜃 sin 𝜙

z = r cos 𝜃

14
vektor kedudukan adalah 𝑠⃗ = xi+yj+zk

𝑠⃗ = 𝑟 sin 𝜃 cos 𝜙 𝑖 + 𝑟 sin 𝜃 𝑠𝑖𝑛 𝜙𝑗 + 𝑟 cos 𝜃 𝑘

𝜕𝑠 𝜕𝑠 𝜕𝑠
ds =𝜕𝑟 𝑑𝑟 + 𝜕𝜃 𝑑𝜃 + 𝜕𝜙 𝑑𝜙

𝑑𝑠 = (sin 𝜃 cos 𝜙 𝑖 + sin 𝜃 𝑠𝑖𝑛 𝜙𝑗 + 𝑟 cos 𝜃 𝑘)𝑑𝑟 +

(r cos 𝜃 cos 𝜙 𝑖 + r cos 𝜃 𝑠𝑖𝑛 𝜙𝑗 − 𝑟 sin 𝜃 𝑘)𝑑𝜃 +

(−𝑟 sin 𝜃 sin 𝜙 𝑖 + r sin 𝜃 𝑐𝑜𝑠 𝜙𝑗)𝑑𝜙

𝑑𝑠 = (sin 𝜃 cos 𝜙 𝑑𝑟 + r cos 𝜃 𝑐𝑜𝑠 𝜙𝑑𝜃 − 𝑟 sin 𝜃 𝑠𝑖𝑛 𝜙 𝑑𝜙)𝑖 +

(sin 𝜃 sin 𝜙 𝑑𝑟 + r cos 𝜃 𝑠𝑖𝑛 𝜙𝑑𝜃 + 𝑟 sin 𝜃 𝑐𝑜𝑠 𝜙 𝑑𝜙)𝑗 +

(r cos 𝜃 𝑑𝑟 − 𝑟 sin 𝜃 𝑑𝜃) k

Jadi kuadrat elemen panjang bususr adalah :

𝑑𝑠 2 = ds. ds

𝑑𝑠 2 = 𝑠𝑖𝑛2 𝜃𝑐𝑜𝑠 2 𝜙 𝑑𝑟 2 + 𝑟 𝑠𝑖𝑛


𝜃 cos 𝜃 𝑐𝑜𝑠 2 𝜙 𝑑𝜃 𝑑𝑟 − 𝑟 𝑠𝑖𝑛2 𝜃 𝑠𝑖𝑛 𝜙 𝑐𝑜𝑠 𝜙 𝑑𝑟 𝑑𝜙 +

𝑟 𝑠𝑖𝑛 𝜃 cos 𝜃 𝑐𝑜𝑠 2 𝜙 𝑑𝜃 𝑑𝑟 + 𝑟 2 𝑐𝑜𝑠 2 𝜃 𝑐𝑜𝑠 2 𝜙𝑑𝜃 2 − 𝑟 2 𝑠𝑖𝑛


𝜃 cos 𝜃 𝑠𝑖𝑛 𝜙 𝑐𝑜𝑠 𝜙𝑑𝜃 𝑑𝜙 +

𝑟 2 𝑠𝑖𝑛2 𝜃𝑠𝑖𝑛2 𝜙 𝑑𝜙 2 + 𝑠𝑖𝑛2 𝜃𝑠𝑖𝑛2 𝜙 𝑑𝑟 2+ 𝑠𝑖𝑛2 𝜃 cos 𝜃 𝑠𝑖𝑛2 𝜙 𝑑𝑟 𝑑𝜃 +

𝑟 2 𝑐𝑜𝑠 2 𝜃𝑠𝑖𝑛2 𝜙𝑑𝜃 2 + 𝑟 2 𝑠𝑖𝑛 𝜃 cos 𝜃 𝑠𝑖𝑛 𝜙 𝑐𝑜𝑠 𝜙𝑑𝜃 𝑑𝜙 +


𝑟 2 𝑠𝑖𝑛2 𝜃𝑐𝑜𝑠 2 𝜙 𝑑𝜙 2 +

𝑐𝑜𝑠 2 𝜃 𝑑𝑟 2 − 𝑟 𝑠𝑖𝑛 𝜃 cos 𝜃 𝑑𝜃 𝑑𝑟 − 𝑟 𝑠𝑖𝑛 𝜃 cos 𝜃 𝑑𝜃 𝑑𝑟 + 𝑟 2 𝑠𝑖𝑛2 𝜃𝑑𝜃 2

𝑑𝑠 2 = 𝑠𝑖𝑛2 𝜃(𝑐𝑜𝑠 2 𝜙 + 𝑠𝑖𝑛2 𝜙)𝑑𝑟 2 + 𝑟 𝑠𝑖𝑛 𝜃 cos 𝜃 (𝑐𝑜𝑠 2 𝜙 + 𝑠𝑖𝑛2 𝜙)𝑑𝜃 𝑑𝑟 +

𝑟 𝑠𝑖𝑛 𝜃 cos 𝜃 (𝑐𝑜𝑠 2 𝜙 + 𝑠𝑖𝑛2 𝜙) 𝑑𝑟𝑑𝜃 + 𝑟 2 𝑐𝑜𝑠 2 𝜃 (𝑐𝑜𝑠 2 𝜙 + 𝑠𝑖𝑛2 𝜙)𝑑𝜃 2 +

15
𝑟 2 𝑠𝑖𝑛2 𝜃 (𝑐𝑜𝑠 2 𝜙 + 𝑠𝑖𝑛2 𝜙) 𝑑𝜙 2 + 𝑐𝑜𝑠 2 𝜃 𝑑𝑟 2 − 𝑟 𝑠𝑖𝑛 𝜃 cos 𝜃 𝑑𝜃 𝑑𝑟 −

𝑟 𝑠𝑖𝑛 𝜃 cos 𝜃 𝑑𝜃 𝑑𝑟 + 𝑟 2 𝑠𝑖𝑛2 𝜃𝑑𝜃 2

𝑑𝑠 2 =𝑠𝑖𝑛2 𝜃𝑑𝑟 2 + 𝑟 𝑠𝑖𝑛 𝜃 cos 𝜃 𝑑𝜃 𝑑𝑟 + 𝑟 𝑠𝑖𝑛 𝜃 cos 𝜃 𝑑𝜃 𝑑𝑟 𝑟 2 𝑐𝑜𝑠 2 𝜃 𝑑𝑟 2 +

𝑟 2 𝑠𝑖𝑛2 𝜃 𝑑𝜙 2 +𝑐𝑜𝑠 2 𝜃 𝑑𝑟 2 − 2𝑟 𝑠𝑖𝑛 𝜃 cos 𝜃 𝑑𝜃 𝑑𝑟 + 𝑟 2 𝑠𝑖𝑛2 𝜃𝑑𝜃 2

𝑑𝑠 2 =(𝑠𝑖𝑛2 𝜃 + 𝑐𝑜𝑠 2 𝜃)𝑑𝑟 2 + 2𝑟 𝑠𝑖𝑛 𝜃 cos 𝜃 𝑑𝜃 𝑑𝑟 − 2𝑟 𝑠𝑖𝑛 𝜃 cos 𝜃 𝑑𝜃 𝑑𝑟 + 𝑟 2

=(𝑠𝑖𝑛2 𝜃 + 𝑐𝑜𝑠 2 𝜃)𝑑𝜃 2 +𝑟 2 𝑠𝑖𝑛2 𝜃 𝑑𝜙 2

𝑑𝑠 2 = 𝑑𝑟 2 + 𝑟 2 𝑑𝜃 2 +𝑟 2 𝑠𝑖𝑛2 𝜃 𝑑𝜙 2

𝑑𝑠 2 = ℎ12 𝑑𝑟 2+ℎ22 𝑑𝜃 2 + ℎ32 𝑠𝑖𝑛2 𝜃 𝑑𝜙 2

Maka :

ℎ1 = 1

ℎ2 = r

ℎ3 = r sin 𝜃

Misalkan V adalah fungsi skalar

1 𝜕𝑉 1 𝜕𝑉 1 𝜕𝑉
Grad V=∇𝑉 = ℎ +ℎ +ℎ
1 𝜕𝑟 2 𝜕𝜃 3 𝜕𝜙

𝜕𝑉 1 𝜕 1 𝜕
∇𝑉 = + +
𝜕𝑟 𝑟 𝜕𝜃 𝑟 𝑠𝑖𝑛𝜃 𝜕𝜙

Maka operator grad ∇ dalam koordinat bola adalah ∶

𝜕 1 𝜕 1 𝜕
∇= + +
𝜕𝑟 𝑟 𝜕𝜃 𝑟 𝑠𝑖𝑛𝜃 𝜕𝜙

1 𝜕 𝜕 1 𝜕 𝜕 1 𝜕2
Operator laplacian ∇2 =𝑟 2 𝜕𝑟 (𝑟 2 𝜕𝑟) + 𝑟 𝑠𝑖𝑛𝜃 𝜕𝜃 (𝑠𝑖𝑛𝜃 𝜕𝜃) + 𝑟 2 𝑠𝑖𝑛2 𝜃 𝜕𝜙2

16
Contoh soal

Sebuah volume benda dibatasi oleh permukaan kerucut 𝑥 2 + 𝑦 2 = 𝑝2 𝑧 2 dan


permukaan bola 𝑥 2 + 𝑦 2 + 𝑧 2 = 𝑎2 . Dengan menggunakan sistem koordinat,
hitunglah :

a. Volumenya
b. Koordinat z pada pusat massanya jika massa jenisnya 𝜌 = 𝑐, sebuah tetapan
Penyelesaian :

Gambar benda dalam volume bagian V

a. Volumenya diperoleh :
2𝜋 𝛼 𝛼 2𝜋𝑎3
V=∭ 𝑑𝑉 = ∫∅=0 ∫𝜃=0 ∫𝑟=0 𝑟 2 𝑠𝑖𝑛𝜃 𝑑𝑟𝑑𝜃𝑑∅ = (1 − 𝑐𝑜𝑠 𝛼)
3
𝜋
Bola 2 , maka bendanya berbentuk separuh volume bola. Volume geometrinya
2𝜋𝑎3
sesuai dengan hasil di atas.
3

b. Koordinat Z pusat massa benda diberikanoleh Z= Mxy/M.Mxy adalah momen


massa terhadap bidang xy:
2𝜋 𝛼 𝛼
𝑀𝑥𝑦 = ∭ 𝑧𝜌𝑑𝑥𝑑𝑦𝑑𝑧 = 𝑐 ∫ ∫ ∫ (𝑟𝑐𝑜𝑠 𝜃)𝑟 2 𝑠𝑖𝑛𝜃 𝑑𝑟𝑑𝜃𝑑∅
∅=0 𝜃=0 𝑟=0
𝜋
= 4 𝛼 4 (1 − 𝑐𝑜𝑠 2 𝛼)

Sedangkan M adalah massa total benda :

𝑀 = ∭ 𝜌𝑑𝑥𝑑𝑦𝑑𝑧
2𝜋 𝛼 𝛼
2𝜋𝑎3 𝑐
= 𝑐∫ ∫ ∫ (𝑟 2 𝑠𝑖𝑛 𝜃)𝑑𝑟𝑑𝜃𝑑∅ = (1 − 𝑐𝑜𝑠 𝛼)
∅=0 𝜃=0 𝑟=0 3
Maka Mxy/M = 3a (1- cos 𝛼)/8

17
3.7 Contoh Penerapan Dalam Fsika
Tinjau dua buah partikel dengan massa m1 dan m2 terikat secara mendatar
pada tiga buah pegas pada konstanta k,sebagaimana diilustrasikan pada gambar 3

Misalnya x1 dan x2 merupakan koordinat bagi partikel dengan masa m, sehingga


energi kinetik sistem tersebut diberikan oleh
1 2 1 2
𝑇= 𝑚𝑥𝑖 + 2 𝑚𝑥2 (63)
2

Untuk menentukan energi potensialnya dapat dilakukan dengan meninjau masing-


masing pegas. Pegas disebelah kiri mengalami perenganggan sebesar x1 sehingga
1
energi potensial yang ditimbulkan sebesar kx12 demikian juga dengan pegas
2
1 2
sebelah kanan yang tertekan sebesar x2 sebenarnya energi potensial adalah kx2
2

sedangkan pegas yang ditengah renggang nya adalh sebesar |x 1-x2|, sedangkan
1
energi potensial yang ditimbulkan nya adalah sebesar k (x1-x2)2 dengan
2

demikian total energi potensial nya diberikan oleh

1 1 2 1 1
V= 2kx12 + 2kx2 + 2k (x1-x2)2 = 2k(2x2 + 2y2 – 2xy) (64)

Dan Lagrangian yang terkaitnya adalah

1 1 2 1 1
L = 2 mx12 + 2 mx2 - 2 kx12 - 2 k(2x2 + 2y2 – 2xy) (64)

Bentuk Lagranggian (64) dapat dituliskan dalam bentuk matriks sebagai berikut:

1 1 0 𝑥1 1 2 −1 𝑥1
L = 2m(x1 x2 ( ) (𝑥 ) - 2k(x1 x2)( ) (𝑥 ) (65)
0 1 2 −1 2 2

Selanjutnya untuk menyederhanakan permasalahan kita cari harga eigen bagi


persamaan linier

18
2 −1 𝑥
( ) (𝑦)= ℷ (𝑦𝑥 ) (66)
−1 2

Dengan memecahkan persamaan karakteristik terkait diperoleh harga-harga


eigena terkaitnya adalah ℷ1 = 1 dan ℷ2 = 3. melalui cara yang persis sama
dengan yang telah digunakan pada pasal 5, diperoleh vektor eigen satuan untuk
ℷ1 = 1 sebagai berikut :

1 1
(𝑥𝑦1 ) = ( ) (66)
1 √2 1

sedangkan untuk ℷ1 = 3 adalah :


1
(𝑥𝑦2 ) = (1) (67)
2 √2 −1

Sehingga dengan demikian diperoleh matriks pendiagonalan adalah :

1 1 1
D= ( ) (68)
√2 1 −1

Sedangkan matriks diagonalnya diberikan oleh :

1 0
A= ( ) (69)
0 3

Dari sini dapat dicari sistem koordinat (x’1 – x’2 ) melalui transformasi berikut :

𝑥′1 1 1 1
(𝑦′ )= ( ) (𝑥′1 ) (70)
2 √2 1 −1 𝑦′2

Dan

𝑥′1 1 1 1
(𝑦′ )= ( ) (𝑥′1 ) (71)
2 √2 1 −1 𝑦′2

Sehingga dengan demikian diperoleh lagrangian dalam sistem koordinat baru


sebagai berikut :
1 1 0 𝑥′1 1 1 0 𝑥′1
L’ = 2m(x’1 x’2 ( ) ( ) - k(x’1 x’2)( )( ) (62)
0 1 𝑥′2 2 0 3 𝑥′2

Perhatikan bahwa transformasi similar yang melibatkan matriks D terhadap


matriks identitas pada suku energi kinetik tidak mengubah bagian tersebut.

19
Selanjutnya dengan menggunakan persamaan Euler-Lagrange.

𝜕𝐿 𝑑 𝜕𝐿
− 𝑑𝑡 = (𝜕𝑥 ) = 0 (71)
𝜕𝑥1 1

Dimana i =1,2 diperoleh persamaan geraknya adalah :

1 0 𝑥1 1 0 𝑥′1
𝑚( ) (𝑥 ) = −𝑘 ( )( ) = 0 (72)
0 1 2 0 1 𝑥′2

Solusi bagi persamaan (72) diberikan oleh :


𝑘
𝑥′1 = A1 cos(√𝑚 𝑡 + 𝛼1 ) (73a)

3𝑘
𝑥′2 = A2 cos (√ 𝑚 𝑡 + 𝛼2 ) (74b)

Dengan Ai dan 𝛼 i merupakan konstanta yang tergantung pada kondisi awal.


Kedua solusi merupakan modus normal dan vibrasi yang mungkin bagi sistem
pegas yang dimaksud. Solusi (73a) terkait dengan vibrasi dengan frekuensi
𝑘 3𝑘
normal 𝜔′1 = √𝑚 sedangkan solusi 𝜔′2 = √ 𝑚 jika solusi xi dan x2 dikembalikan

ke koordinat semula melalui transformasi rotasi (70) dimana D-1 = D maka


diperoleh :

1
x1 = (x’1 + x’2) (75)
√2
1
x2 = (x’1 - x’2)
√2

berdsarkan persamaan (75) jelas terlihat bahwa dalam kondisi asal, secara umum
gerak partikel yang dimaksud merupakan superposisi dari dua gerak yang
berbeda. Terlihat bahwa untuk vibrasi dengan 𝜔1 bergerak dengan fase yang sama
sedangkan untuk vibrasi dengan frekuensi 𝜔2 bergerak dengan fase yang
berlawanan.

20
BAB III
PENUTUP

Adapun kesimpulan dalam makalah ini adalah :


1. Koordinat adalah pernyataan besaran geometrik yang menentukan posisi
satu titik dengan mengukur besar vektor terhadap satu Posisi Acuan yang
telah didefinisikan. Posisi acuan dapat ditetapkan dengan asumsi atau
ditetapkan dengan suatu kesepakatan matematis yang diakui secara
universal dan baku. Jika penetapan titik acuan tersebut secara asumsi,
maka sistim koordinat tersebut bersifat Lokal atau disebut Koordinat
Lokal dan jika ditetapkan sebagai kesepakatan berdasar matematis maka
koordinat itu disebut koordinat yang mempunyai sistim kesepakatan dasar
matematisnya.
2. Transformasi koordinat ialah transformasi (perubahan) suatu sistem
koordinat ke sistem koordinat yang lain.
3. Transformasi koordinat umumnya digunakan untuk merubah model
terain/foto/citra dari sistem koordinat mesin (digitizer, scanner, camera) ke
sistem koordinat peta tertentu. Peta merepresentasikan real-world dalam
sistem koordinat yang dibangun melalui proses proyeksi tertentu. Dalam
proyeksi peta ini koordinat geografik titik di permukaan bumi (lintang,
bujur) diproyeksikan ke koordinat kartesian (x, y).

21
DAFTAR PUSTAKA

Anonim .2013 . Fisika Matematika. (Diakses pada Jum’at, 16 November 2018,


https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_dir/f6ff7b16309254c676854
2108e531202.pdf

Alatas, Husin. Fisika Matematika Edisi I. Bogor: Fakultas MIPA Institut


Pertanian Bogor.

Anugraha, Eng.Rinto. 2011. Pengantar Fisika Matematik. Yogyakarta: Jurusan


Fisika FMIPA UGM.
Mary, L.Boas. 1986. Mathematical Methods in The Physical Sciences Second
Edition. Canada: John Wiley and Sons, Inc.

22

Anda mungkin juga menyukai