Anda di halaman 1dari 48

Tugas Makalah

HIGHER ORDER THINKING SKILL (HOTS)


KEMAMPUAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI

Mata Kuliah : Evaluasi Pembelajaran IPS


Dosen Pengampu : Dr. Ramly, M.Pd.

OLEH:
KELOMPOK 5

1. HADRIANTI BADU : G2G1 21 060


2. FATMAWATY S. : G2G1 21 064
3. NURFATANAH IDRIS : G2G1 21 069
4. BENIMAN : G2G1 22 014
5. SUMI SUSENI : G2G1 22 016
6. HASTUTI PALUDIN : G2G1 22 017
7. JUMADIL : G2G1 22 018
8. SARI TAPASI : G2G1 22 019

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT. karena berkat rahmat dan
hidayahNya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Higher
Order Thingking Skill (HOTS)” tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari
pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Evaluasi
Pembelajaran IPS. Makalah ini telah kami susun melalui diskusi dan sitasi buku
maupun jurnal.
Kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang terlah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari itu semua, kami
menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari susunan kalimat
maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan senang hati kami menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah perkembangan peserta didik
tentang “Higher Order Thingking Skill (HOTS)” ini dapat memberikan
manfaat serta memberi informasi terhadap pembaca.

Kendari, 20 Oktober 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR..............................................................................................
...................................................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................
..................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................
....................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................
....................................................................................................................6
C. Tujuan Penulisan..........................................................................................
....................................................................................................................6
D. Manfaat Penulisan........................................................................................
....................................................................................................................7
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi (KBTT)..............................
....................................................................................................................8
B. Faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi
(KBTT).........................................................................................................
..................................................................................................................11
C. Berpikir Kritis dalam Mempengaruhi Kemampuan Berpikir Tingkat
Tinggi (KBTT) ............................................................................................
..................................................................................................................15
D. Berpikir Kreatif dalam Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi (KBTT)......
..................................................................................................................18
E. Asesmen Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi (KBTT) ...........................
..................................................................................................................21
F. Model-Model Pembelajaran yang Berbasis Keterampilan Berpikir
Tingkat Tinggi (KBTT) ..............................................................................

iii
..................................................................................................................22
G. Asesmen Pembelajaran yang Berbasis Keterampilan Berpikir Tingkat
Tinggi (KBTT) ............................................................................................
..................................................................................................................26
BAB III PENUTUP
A. Simpulan......................................................................................................
..................................................................................................................37
B. Saran.............................................................................................................
..................................................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
................................................................................................................................38

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa kurikulum pendidikan


yang saat ini diterapkan di Indonesia adalah kurikulum 2013. Menurut
Kemendikbud dalam kurikulum 2013, pola pembelajaran kurikulum 2013
menekankan kepada high order thinking skill. Berpikir tingkat tinggi adalah
keterampilan berpikir yang mengkombinasikan antara berpikir kritis dan berpikir
kreatif. Sawaluddin (2020), mengungkapkan seorang calon guru nantinya akan
benar-benar dituntut profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang
pendidik. Di dalam mengajar nantinya seorang guru dituntut untuk bisa
memberikan pendidikan yang terbaik sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan
yang diinginkan.

Keterampilan berpikir tingkat tinggi atau dalam bahasa


inggrisnya Higher Order Thinking Skill adalah pola berpikir siswa dengan
mengandalkan kemampuan untuk menganalisis, mencipta, dan mengevaluasi
semua aspek dan masalah. Yunistika (2016) menambahkan bahwa keterampilan
berpikir tingkat tinggi merupakan salah satu modal utama bagi peserta didik
dalam mempelajari sains (Alfiatin & Oktiningrum, 2019). Peserta didik
membutuhkan keterampilan berpikir tertentu untuk memecahkan
masalah/fenomena yang terdapat dalam persoalan yang ditemukan dalam mata
pelajaran sains. Hal ini dikarenakan konsep-konsep sains erat kaitannya dengan
berbagai sistem kehidupan dan lingkungan yang kompleks.

Menurut taksonomi Bloom yang telah direvisi proses kognitif terbagi


menjadi kemampuan berpikir tingkat rendah (Lower Order Thinking) dan
kemampuan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking). Kemampuan yang
termasuk LOT adalah kemampuan C1: mengingat (remember), C2: memahami
(understand), dan C3: menerapkan (apply), sedangkan HOT meliputi kemampuan

1
C4: menganalisis (analyze), C5: mengevaluasi (evaluate), dan C6: menciptakan
(create) (Amirono & Daryanto, 2016).
Berdasarkan tingkat berpikir tersebut maka diperlukan teknik penilaian
yang terperinci sesuai dengan indikator keterampilan berpikir tingkat tingkat
(KBTT) pada masing-masing domain taksonomi Bloom.

HOTS (Higher Order Thinking Skill) atau yang sering disebut sebagai
kemampuan keterampilan atau konsep berpikir tingkat tinggi merupakan suatu
konsep reformasi pendidikan berdasarkan pada taksonomi bloom yang dimulai
pada awal abad ke-21. Konsep ini dimasukkan ke dalam pendidikan bertujuan
untuk menyiapkan sumber daya manusia dalam menghadapi revolusi industri.
Pada abad 21 ini sumber daya manusia diharapkan tidak hanya menjadi pekerja
yang mengikuti pemerintah, tetapi memiliki keterampilan abad ke 21. Kewajiban
untuk mendidik anak bangsa menjadi manusia yang kreatif dan cakap dinyatakan
secara eksplisit dalam pasal 3 Undang – undang Republik Indonesia tentang
sistem pendidikan Nasional, yakni:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan


membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermatabat dalam rangka
mencerdaskaan kehidupaan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang berimaan dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esaa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab”.

Keterampilan berpikir tingkat tinggi adalah operasi kognitif yang


banyak dibutuhkan pada proses-proses berpikir yang terdiri dalam shortterm
memory. Jika dikaitkan dengan taksonomi Bloom, berpikir tingkat tinggi meliputi
analisis, sintesis, dan evaluasi. Selain itu, bahwa keterampilan berpikir tingkat
tinggi (High Order Thingking) tersebut jauh lebih dibutuhkan di masa kini
daripada di masa-masa sebelumnya (Anggraini dkk, 2019).

Pengembangan pembelajaran berorientasi pada keterampilan berpikir


tingkat tinggi atau Higher Order Thinking Skill (HOTS) merupakan program yang
dikembangkan sebagai upaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui

2
Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK) dalam upaya
peningkatan kualitas pembelajaran dan meningkatkan kualitas lulusan.Program ini
dikembangkan mengikuti arah kebijakan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan yang pada tahun 2018 telah terintegrasi Penguatan Pendidikan
Karakter dan pembelajaran berorientasi pada Keterampilan Berpikir Tingkat
Tinggi atau Higher Order Thinking Skill (HOTS). Konsep (HOTS) merupakan
kemampuan berpikir yang tidak sekadar mengingat (recall), menyatakan kembali
(restate), atau merujuk tanpa melakukan pengolahan (recite). HOTS pada konteks
asesmen mengukur kemampuan:

1) transfer satu konsep ke konsep lainnya


2) memproses dan menerapkan informasi
3) mencari kaitan dari berbagai informasi yang berbeda-beda
4) menggunakan informasi untuk menyelesaikan masalah
5) menelaah ide dan informasi secara kritis
HOTS dalam pembelajaran bukan berperan sebagai sebuah metode
pembelajaran tetapi HOTS disini dimaksudkan pembelajaran yang mampu
menciptakan peserta didik untuk berpikir HOTS seperti kemampuan memahami,
menganalisis, mengevaluasi, menciptakan, mengidentifikasi suatu pelajaran atau
soal-soal dalam pembelajaran. Sebelum melaksanakan pembelajaran yang
berbasis HOTS disini guru juga harus menguasai dan faham tentang pembelajaran
HOTS itu seperti apa (Annuru & Ali, 2017).

Guru juga harus mendesain dan mempunyai gambaran metode yang


cocok untuk mengembangkan pembelajaran HOTS sesuai dengan peserta didik
yang akan dihadapi sehingga pembelajaran dapat berjalan secara optimal dan
sesuai dengan tujuan pembelajaran. dengan begini peserta didik akan terbiasa
berpikir HOTS.

Secara teoritis menurut Brookhart HOTS merupakan aspek yang


penting untuk dikembangkan dalam pembelajaran.tujuan pembelajaran
yang mengembangkan HOTS adalah untuk membekali siswa terampil
memberi alasan dan membuat keputusan. Dari hasil penelitian Murray,
yang menyebutkan bahwa ketika siswa menggunakan HOTS maka

3
siswa memutuskan apa yang harus dipercayai dan apa yang harus
dilakukan, menciptakan ide-ide baru, membuat prediksi dan
memecahkan masalah.
HOTS mengharuskan pembelajaran untuk memanfaatkan informasi dan
gagasan dengan cara mengubah makna dan implikasinya. Hal ini seperti ketika
pembelajaran menggabungkan fakta dan gagasan kemudian mensintesis,
menggeneralisasi, menjelaskan, memberi hipotesis, atau menyimpulkan. Oleh
karena itu dalam pembelajaran peserta didik harus bisa memahami, menafsirkan,
menganalisis, serta menginterpretasi informasi yang diterima (Arifin, 2018).

HOTS juga mengajarkan peserta didik untuk berpikir kritis dalam


mengevaluasi informasi, membuat simpulan, serta membuat generalisasi.Dalam
Taksonomi Bloom revisi, HOTS merupakan kemampuan kognitif pada tingkat
penerapan, analisis, evaluasi, dan inovasi. Pembelajaran HOTS biasanya
berkarakteristik dengan pembelajaran abad 21 karena di era globalisasi atau era
informasi telah adanya proses perubahan antar negara, antar bangsa, antar budaya,
tanpa mengenal batas. Selo Sumardjan menyebutkan bahwa budaya yang kuat dan
agresif adalah budaya yang bersifat progresif dengan ciri-ciri: cara berpikir yang
rasional dan realistik, kebiasaan membaca yang tinggi, kemampuan
mengembangkan dan menyerap ilmu pengetahuan, terbuka untuk inovasi,
pandangan hidup yang berdimensi lokal, nasional, dan universal, mampu
memprediksi dan merencanakan masa depan, dan teknologi yang senantiasa
berkembang dan digunakan (Arthur & David, 1993).

Pendidikan di abad 21 harus menjadi pondasi utama dan tempat


bersemainya kebaikan untuk mentransformasi individu dan memperbaharui
masyarakat. Oleh karena itu dibutuhkan kompetensi masa depan antara lain:
kemampuan berkomunikasi, kemampuan berfikir jernih dan kritis. Pada abad
pengetahuan (abad 21) diperlukan sumber daya manusia berkualitas tinggi yakni
memiliki kemampuan bekerja sama dan berpikir tinggi (berpikir kritis dan
kreatif). Menurut Bloom berpikir tinggi mencakup analisis, dan evaluasi. Dalam
perkembangannya, taksonomi Bloom mengalami modifikasi dalam strukturnya
sebagai hasil revisi Anderson & Krathwohl yakni analisis, evaluasi, dan mencipta.

4
Saavedra dan Opfer mendefinisikan keterampilan abad 21 sesuai
dengan pembelajaran HOTS ke dalam empat kategori berikut: (1) cara berpikir:
kreativitas dan inovasi, berpikir kritis, pemecahan masalah, pengambilan
keputusan, dan belajar bagaimana belajar (metakognisi), (2) cara kerja:
komunikasi dan kerja sama dalam kelompok, (3) alat untuk kerja: pengetahuan
umum dan literasi teknologi komunikasi informasi (ITC), (4) hidup sebagai
warganegara: kewarganegaraan, kehidupan dan karir, dan tanggung jawab pribadi
dan sosial, termasuk kesadaran budaya dan kompetensi (Brookhart, 2010).

Semua peserta didik harus aktif berpikir dalam pelaksanaan proses


pembelajaran dan diharapkan peran peserta didik lebih dominan daripada guru.
Guru hanya sebagai fasilitator untuk mempermudah dan mengarahkan jalannya
proses pembelajaran dengan begini peserta didik lebih mudah dalam
mengembangakan keterampilan berpikir kreatif, inovatif, aktif sesuai dengan
pembelajaran yang diarahkan oleh guru. Dan guru lebih banyak memberikan
kesempatan peserta didik untuk mencari, merumuskan dan menemukan sendiri
apa saja yang akan dipelajarinya. Sebelumnya guru juga harus menyiapkan tugas-
tugas atau soal permasalahan yang dapat mengasah keterampilan peserta didik
dalam berpikir kreatif, kritis, dan menyelesaikan masalah.

Peningkatan kualitas peserta didik salah satunya dilakukan oleh guru


yang berfokus pada peningkatan kualitas pembelajaran di kelas dengan
berorientasi pada keterampilan berpikir tingkat tinggi. Desain peningkatan
kualitas pembelajaran ini merupakan upaya peningkatan kualitas peserta didik
yang pada akhirnya meningkatkan kualitas Pendidikan di Indonesia.Pembelajaran
ini mengharapkan para peserta didik mencapai berbagai kompetensi dengan
penerapan HOTS atau Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi. Kompetensi
tersebut yaitu berpikir kritis (criticial thinking), kreatif dan inovasi (creative and
innovative), kemampuan berkomunikasi (communication skill), kemampuan
bekerja sama (collaboration) dan kepercayaan diri (confidence).

5
Berdasarkan latar belakang di atas maka dirasa perlu untuk memahami
tentang keterampilan berpikir tingkat tingkat (KBTT) yang meliputi definisi,
prinsip, teori dan penilaian KBTT agar sebagai pendidik mampu menjalankan
tuntutan dari kurikulum yang digunakan khususnya kurikulum saat ini yaitu
kurikulum 2013.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis menarik rumusan masalah
sebagai berikut.
1. Apakah definisi Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi (KBTT)?
2. Apa saja faktor yang mempengaruhi Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi
(KBTT)?
3. Bagaimana peran berpikir kritis dalam Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi
(KBTT)?
4. Bagaimana peran berpikir kreatif dalam Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi
(KBTT)?
5. Bagaimana asesmen Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi (KBTT)?

C. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari tulisan ini adalah mengetahui hal-hal
sebagai berikut.
1. Definisi Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi (KBTT)
2. Faktor yang mempengaruhi Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi
(KBTT)
3. Berpikir kritis dalam Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi (KBTT)
4. Berpikir kreatif dalam Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi (KBTT)
5. Asesmen Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi (KBTT)

6
D. Manfaat
Adapun manfaat yang diharapkan melalui makalah ini adalah menjadi
salah satu sumber informasi yang dapat digunakan sebagai referensi dalam
pemahaman mengenai keterampilan berpikir tingkat tinggi (KBTT) dan asesmen
yang digunakan pada KBTT tersebut sebelum menerapkannya di lapangan dan
sebagai referensi dalam meningkatkan cara mengukur peningkatan prestasi
peserta didik sesuai dengan tuntutan kurikulum 2013 tentang pola
pembelajaran high order thinking skill.

7
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi (KBTT)

Keterampilan HOTS (Higher Order Thinking Skills) atau biasa disebut


dengan keterampilan berpikir tingkat tinggi adalah proses berpikir yang
mengharuskan murid untuk mengembangkan ide-ide dalam cara tertentu yang
memberi mereka pengertian dan implikasi baru. Limpan menggambarkan berpikir
tingkat tinggi melibatkan berpikir kritis dan kreatif yang dipandu oleh ide-ide
kebenaran yang masing-masing mempunyai makna. Berpikir kritis dan kreatif
saling ketergantungan, seperti juga kriteria dan nilai-nilai, nalar dan emosi
(Budiarta dkk, 2018).

HOTS pertama kali dikemukakan oleh Brookhart, dia mendefinisikan:

“Model ini sebagai metode untuk mentransfer pengetahuan, berpikir kritis, dan
memecahkan masalah. HOTS bukan sekedar model soal, tetapi juga mencakup
model pembelajaran. model pengajaran harus mencakup kemampuan berpikir,
sedangkan model penilaian dari HOTS yang mengharuskan siswa tidak familiar
dengan pertanyaaan atau tugas yang diberikan”.

Menurut Lewis dan Smith, berpikir tingkat tinggi akan terjadi jika
seseorang memiliki informasi yang disimpan dalam ingatan dan memperoleh
informasi baru, kemudian menghubungkan dan menyusun dan mengembangkan
informasi tersebut untuk mencapai suatu tujuan atau memperoleh jawaban solusi
yang mungkin untuk suatu situasi yang membingungkan dan keterampilan
berpikir tingkat tinggi (HOTS) mencakup berpikir kritis, berpikir kreatif, problem
solving, dan membuat keputusan (Chinedu & Kamin, 2015). Anderson &
Krathwohl (Jailani, 2017) HOTS mengasosiasikan siswa untuk menerapkan dan
menghubungkan pengetahuan yang akan mereka pelajari dan pengetahuan yang
telah mereka pelajari dimensi kognitif, HOTS ditandai oleh tiga tingkat yang lebih
tinggi di taksonomi Bloom yaitu analisis, evaluasi, dan kreasi.

8
Chalkiadaki (Ichsan dkk, 2019) juga mengemukakan bahwa Higher
Order Thinking Skills (HOTS) adalah kemampuan siswa untuk berpikir pada
tingkat yang lebih tinggi mampu menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan
inovasi dalam memecahkan masalah lingkungan. Kebutuhan HOTS dalam sains
dan pembelajaran lingkungan, karena banyak masalah lingkungan yang dapat
diselesaikan dengan menggunakan kemampuan HOTS, siswa harus memiliki
kemampuan HOTS yang baik dalam analitis (C4) sehingga dapat memberikan
evaluasi (C5). Setelah mereka dapat memberikan evaluasi, langkah selanjutnya
adalah membuat menciptakan solusi (C6) yang pada HOTS merupakan
kemampuan tertinggi yang harus dimiliki siswa di abad 21.

Terdapat tiga istilah yang berkaitan dengan keterampilan berpikir, yang


sebenarnya cukup berbeda menurut Dinni (2018); yaitu berpikir tingkat tinggi
(higher order thinking), berpikir kompleks (complex thinking), dan berpikir
kritis (critical thinking). Berpikir tingkat tinggi adalah operasi kognitif yang
banyak dibutuhkan pada proses-proses berpikir yang terjadi dalam short-term
memory. Berpikir kompleks Berpikir kritis merupakan salah satu jenis berpikir
yang konvergen, yaitu menuju ke satu titik. Lawan dari berpikir kritis adalah
berpikir kreatif, yaitu jenis berpikir divergen, yang bersifat menyebar dari suatu
titik adalah proses kognitif yang melibatkan banyak tahapan atau bagian-bagian
(Driana, 2019).

Kemampuan berpikir tingkat tinggi didefinisikan sebagai penggunaan


pikiran secara lebih luas untuk menemukan tantangan baru. Kemampuan berpikir
tingkat tinggi ini menghendaki seseorang untuk menerapkan informasi baru atau
pengetahuan sebelumnya dan memanipulasi informasi untuk menjangkau
kemungkinan jawaban dalam situasi baru (Faridah, 2019). Berpikir tingkat tinggi
adalah berpikir pada tingkat lebih tinggi daripada sekedar menghafalkan fakta
atau mengatakan sesuatu kepada seseorang persis seperti sesuatu itu disampaikan
kepada kita. Farida (2017) mengatakan bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi
adalah proses berpikir yang melibatkan aktivitas mental dalam usaha
mengeksplorasi pengalaman yang kompleks, reflektif dan kreatif yang dilakukan

9
secara sadar untuk mencapai tujuan, yaitu memperoleh pengetahuan yang meliputi
tingkat berpikir analitis, evaluatif, dan mencipta.

Febrian (2018) mengemukakan definisi keterampilan berpikir tingkat


tinggi didapatkan dari hasil investigasi terhadap tiga area yang memberikan
kontribusi dalam memahami keterampilan berpikir tingkat tinggi dengan lebih
baik. Adapun ketiga area tersebut antara lain yaitu: (a) pandangan yang berbeda
dari filsuf dan psikolog terhadap keterampilan berpikir tingkat tinggi; (b) usaha
untuk membedakan antara keterampilan berpikir tingkat rendah dengan
keterampilan berpikir tingkat tinggi, dan (c) sebuah gambaran yaitu mengenai
hubungan antara berpikir kritis dan berpikir pemecahan masalah dengan istilah
keterampilan berpikir tingkat tinggi.

Menurut Piaget dalam Hanifah (2019), keterampilan berpikir tingkat


tinggi bersifat abstrak dan logis. Abstrak yang dimaksud oleh Piaget adalah
“terlepas dari persepsi dan tindakan yang rata-rata dilakukan”. Berpikir yang
terikat pada satu persepsi atau aksi tertentu merupakan keterampilan berpikir
tingkat rendah seperti contoh pada tahap sensori motorik atau praoperasional.
Berpikir dengan lebih sedikit terikat pada persepsi dan tindakan merupakan
keterampilan berpikir tingkat tinggi. Hal ini dapat dicontohkan seperti berpikir
konkrit dan operasional formal. Dengan kata lain, keterampilan berpikir tingkat
tinggi yang abstrak dan logis menuntut anak yang dalam hal ini peserta didik
untuk mampu berpikir konkret dan operasional formal (Heong dkk, 2011).

Keterampilan berpikir tingkat tinggi muncul ketika seseorang menerima


informasi baru dan informasi tersebut dimasukkan ke dalam memori dan
informasi tersebut dikaitkan antara satu dengan yang lain untuk mencapai sebuah
tujuan atau menemukan jawaban yang memungkinkan dalam menjawab sebuah
situasi yang membingungkan (Hidayanti, 2019). Selanjutnya Intan & Kurtanto
(2020) menjelaskan bahwa keterampilan berpikir tingkat tinggi meliputi berpikir
kritis, logis, reflektif dan kreatif. Keterampilan berpikir tingkat tinggi diaktivasi
ketika individu mendapatkan masalah. Masalah yang sangat kompleks sering

10
membutuhkan solusi yang kompleks dimana diperoleh dari proses berpikir tingkat
tinggi.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli diatas, dapat ditarik suatu
pemahaman bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi merupakan kemampuan
untuk mengolah informasi secara berpikir kritis, logis, reflektif dan kreatif untuk
memecahkan permasalahan dalam berbagai situasi. Dalam tulisan ini, KBTT
difokuskan pada keterampilan berpikir kritis dan kreatif.

B. Faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi


(KBTT)

Istiyono dan Suparno (2018) mengemukakan bahwa untuk mencapai


keterampilan berpikir tingkat tinggi oleh peserta didik dalam sebuah pembelajaran
dipengaruhi oleh berbagai faktor sebagai berikut diantaranya adalah perbedaan
pengetahuan dan keterampilan guru, serta pengaruh lingkungan.
Guru memegang tugas yang penting sebagai fasilitator dan pembimbing
dalam proses pembelajaran. Oleh karenanya semakin berpendidikan tinggi dan
berpengalaman seorang guru akan memberikan pengaruh dalam mengajarkan
keterampilan berpikir tingkat tinggi kepada peserta didik. Guru yang telah lebih
banyak memahami isu-isu pedagogik serta menjadi ahli dalam bidang tersebut
akan memberikan proses pembelajaran dengan menjadikan keterampilan berpikir
tingkat tinggi sebagai tujuan pengajaran serta akan diajarkan dengan frekuensi
yang lebih banyak dibandingkan dengan guru yang lebih kurang pengetahuan dan
keterampilannya dalam mengajar (Johnson, 2002).

Dalam meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi (HOTS) ada


beberapa hal yang harus guru perhatikan terutama dalam membentuk peserta didik
untuk terampil dalam berpikir kreatif, berpikir kritis, problem solving, dan
mengambil keputusan yang termasuk karakteristik dari keterampilan berpikir
tingkat tinggi (Julianingsih, 2017).

11
Berpikir Kreatif Menurut Downing, “Kreativitas dapat didefinisikan
sebagai proses untuk menghasilkan sesuatu yang baru dari elemen yang ada
dengan menyusun kembali elemen tersebut.”

Keterampilan berpikir kreatif setiap orang berbeda-beda tergantung


bagaimana orang tersebut dalam menyikapi dan menyelesaikan masalah. Jadi
disini dalam melatih peserta didik untuk berpikir kreatif dapat dikembangkan
dengan cara setiap peserta didik diminta untuk memberikan ide-ide kreatif dan
pendapatnya yang berbeda-beda sesuai dengan kekreatifitasan masing-masing
peserta didik (Khoiriah, 2017).
Dalam mempermudah guru dalam mengetahui keterampilan peserta
didik dalam berpikir kreatif dan merencanakan pembelajaran yang sesuai ada
beberapa ciri-ciri peserta didik yang mempunyai keterampilan berpikir kreatif:
1) Mengemukan ide-ide yang berbeda dari pemikiran peserta didik lain.
2) Memiliki keingintahuan yang besar dan suka berpikir panjang.
3) Memiliki sifat terbuka terhadap hal baru
4) Suka menciptakan hal-hal baru atau memperbarui hal-hal yang sudah ada
5) Memiliki cara-cara yang unik dalam mengungkapkan pemahamannya.
6) Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang aneh.
7) Menyukai hal-hal yang menantang
8) Lebih suka berdiskusi ide-ide daripada fakta.
9) Lebih menyukai cara baru dalam menyelesaikan masalah.

Dari beberapa ciri-ciri di atas dapat disimpulkan bahwa pada umumnya


peserta didik yang memiliki keterampilan berpikir kreatif memiliki rasa ingin tahu
yang sangat tinggi terhadap hal-hal yang baru. Dan lebih suka memecahkan
permasalahan dengan menggunakan hal-hal yang baru dan beragam solusi untuk
pemecahan masalah tersebut. Dan akan berupaya melakukan serangkaian
penelitian untuk menciptakan hal-hal yang baru (Yuliati & Lestari, 2018).

Dengan diketahuinya karakteristik peserta didik yang memiliki


keterampilan kreatif, mempermudah guru dalam menyikapi peserta didik, dan
mengetahui potensi yang dimiliki setiap peserta didik. Guru dapat

12
mengembangkan kreativitas setiap peserta didik melalui pembelajaran di kelas,
antara lain:
1) Menerima dan mendorong pemikiran divergen Guru harus memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk mengungkapkan ide-ide yang
berbeda-beda dalam menyelesaikan permasalahan, dengan cara
menyiapkan permasalahan yang jarang ditemukan atau berkategori rumit
untuk melatih peserta didik berpikir kreatif.
2) Memaklumi jika terjadi perbedaan pendapat Guru harus memberikan
pengertian kepada peserta didik untuk menghargai setiap pendapat peserta
didik bahwa setiap peserta didik itu memiliki pemikiran berbeda-beda.
Disini guru juga bisa memberikan apresiasi terhadap setiap peserta didik
supaya peserta merasa dihargai pendapatnya.
3) Mendorong siswa untuk yakin pada keputusan mereka sendiri Guru harus
mendorong peserta didik untuk yakin akan kemampuannya dalam
membuat karya dan menciptakan hal-hak yang kreatif.
4) Menekankan bahwa setiap orang mampu berkreasi Guru juga harus
meyakinkan bahwa setiap orang mempunyai kemampuan berpikir kreatif.
Guru dapat meyakinkan dengan memberikan contoh proses usaha-usaha
kreatif setiap peserta didik dalam menyelesaikan setiap permasalahan.
5) Menyiapkan waktu, ruang dan bahan-bahan untuk mendukung tugas
mereka Disini guru perlu menyediakan bahan-bahan, waktu dan ruang
untuk mendukung tugas mereka. Supaya peserta didik mudah dalam
menyelesaikan tuga-tugas tersebut. Bahan-bahan tidak harus yang mahal
kalau bisa bahan-bahan yang ada disekitar mereka yang sudah tidak
digunakan supaya peserta didik bisa menciptakan hal-hal yang baru dan
bermanfaat.
6) Mendorong siswa berpikir kreatif Guru harus memberikan suatu sesi
dimana semua peserta didik dapat mengungkapkan pendapatnya dan ide-
ide penyelesaian permasalahan yang unik, baru dan tidak biasa pada setiap
peserta didik.

13
Pengaruh yang diberikan oleh lingkungan sangat beragam. Lingkungan
yang dimaksud adalah segala sesuatu yang berada di luar guru dan siswa itu
sendiri. Seperti contoh aturan birokrasi tempat guru mengajar yang bertujuan
terlalu membiasakan pekerjaan yang dilakukan oleh guru akan menurunkan
semangat guru untuk mengajarkan keterampilan berpikir tingkat tinggi sebagai
tujuan pengajaran kepada siswa. Sehingga, dengan kata lain guru hanya dibiarkan
menggunakan model/metode lama dalam mengajar (King & Rohani, 1998).

Selain faktor-faktor di atas, terdapat beberapa prinsip yang harus


dipahami dalam penerapan KBTT menurut Lorin dan David (2010). Prinsip
tersebut adalah sebagai berikut:
1) Keterampilan berpikir tidak otomatis dimiliki siswa.
2) Keterampilan berpikir bukan merupakan hasil langsung dari pembelajaran
suatu bidang studi.
3) Pada kenyataannya siswa jarang melakukan transfer sendiri keterampilan
berpikir ini, sehingga perlu adanya latihan terbimbing.
4) Pembelajaran keterampilan berpikir memerlukan model pembelajaran
yang berpusat kepada siswa (student-centered).

Prinsip-prinsip tersebut menjelaskan bahwa KBTT memerlukan proses


pengolahan informasi yang mendalam dan tidak “muncul” begitu saja. Untuk
memiliki kemampuan pengolahan informasi yang baik, maka diperlukan adanya
latihan untuk melatihkan kompetensi berpikir tingkat tinggi siswa (Mainali,
2012).

Menurut Adang (Suastra & Kariasa, 2001), siswa hendaknya diberi


kesempatan sebagai berikut.
1) Mengajukan pertanyaan yang mengundang berpikir selama proses belajar
mengajar berlangsung.
2) Membaca buku-buku yang mendorong untuk melakukan studi lebih lanjut.
3) Memodifikasi atau menolak usulan yang orisinil dari temannya, guru atau
dari buku pelajaran.

14
4) Merasa bebas dalam mengajukan tugas pengganti yang mempunyai
potensi kreatif dan kritis.
5) Menerima pengakuan yang sama untuk berpikir kreatif dan kritis seperti
juga untuk hasil belajar yang berupa mengingat.
6) Memberikan jawaban yang tidak sama persis dengan yang ada dalam
buku, namun konsep atau prinsipnya benar.

Adanya pengaruh yang positif dari berbagai faktor dan latihan yang
intensif diharapkan dapat membantu siswa dalam mengembangkan KBTT.

C. Berpikir Kritis dalam Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi (KBTT)

Salah satu jenis berpikir tingkat tinggi adalah berpikir kritis (Merta dkk,
2017). Berpikir kritis bersifat masuk akal dan reflektif yang berfokus untuk
memutuskan apa yang harus dipercaya atau dilakukan (Brookhart,
2010). Redeckel (Linda, 2011) mengungkapkan bahwa critical thinking is
reasonable and reflective thinking focused on deciding what to believe or do,
yang artinya berpikir kritis adalah suatu proses berpikir reflektif yang berfokus
pada memutuskan apa yang diyakini atau dilakukan. Keterampilan berpikir kritis
menurut Redecker mencakup kemampuan mengakses, menganalisis, mensintesis
informasi yang dapat dibelajarkan, dilatihkan, dan dikuasai.

Sejalan dengan hal tersebut, Yunistika (2016) menyebutkan


bahwa istilah keterampilan berpikir tingkat tinggi merupakan gambaran mengenai
hubungan antara berpikir kritis dan pemecahan masalah. Dengan kata lain dalam
KBTT, kemampuan berpikir kritis berfokus pada kemampuan seseorang
memecahkan masalah (Problem Solving) yang dihadapi.

Brookhart (2010) merumuskan 5 langkah IDEAL memecahkan masalah


dengan berpikir kritis sebagai berikut.
1) Identify the problem. Identifikasi masalah

15
2) Define and represent the problem. Mendefinisikan dan menetapkan
masalah.
3) Explore possible Strategies. Mengeksplorasi strategi yang mungkin
dilakukan.
4) Act on the strategies. Menerapkan strategi yang dipilih.
5) Look back and evaluate the effects of your activities. Melihat kembali dan
mengevaluasi kegiatan yang dilakukan.
Sama seperti prinsip KBTT, kemampuan berpikir kritis tidak otomatis
dimiliki siswa dan memerlukan latihan. Membaca soal-soal berpikir kritis tidak
akan membuat siswa memiliki kemampuan berpikir kritis begitu saja. Diperlukan
proses berpikir yang mendalam dan latihan berulang-ulang (Murray, 2011).

Musrikah (2018) mengungkapkan 8 langkah yang dapat digunakan


untuk melatih proses berpikir kritis. Delapan langkah ini disusun dalam bentuk
pertanyaan yang sistematis (berurutan) untuk meneliti secara menyeluruh setiap
masalah, isu, proyek, atau keputusan yang dihadapi. Kedelapan pertanyaan
tersebut adalah sebagai berikut.
1. Apa sebenarnya isu, masalah, keputusan, atau kegiatan yang sedang
dipertimbangkan? Ungkapkan dengan jelas.
2. Apa sudut pandangnya? Sudut pandang memaksa seseorang menempatkan
diri pada posisi tertentu sehingga solusi yang diharapkan menjadi terfokus
untuk satu tujuan.
3. Apa alasan yang diajukan? Tugas pemikir kritis adalah mengidentifikasi dan
bertanya alasan dibalik masalah yang ditemukan.
4. Asumsi-asumsi apa saja yang dibuat? Asumsi adalah ide-ide yang dapat
diterima dalam permasalahan dan dapat digunakan untuk menyelesaikan
masalah.
5. Apakah bahasanya jelas? Seorang pemikir harus mampu memahami
permasalah yang dihadapi untuk dapat mengkritisinya. Bahasa yang tidak
jelas dapat menyebabkan miskonsepsi terhadap asumsi.
6. Apakah alasan didasarkan pada bukti-bukti yang menyakinkan?

16
7. Apakah kesimpulan yang dapat diambil? Kesimpulan yang diambil harus
memberikan solusi dari isu, masalah, keputusan, atau kegiatan yang sedang
dipertimbangkan, utamanya dari sudut pandang pemikir.
8. Apakah implikasi dari kesimpulan yang diambil? Pemikir kritis harus
memperkirakan segala kemungkinan yang dapat terjadi dalam menerapkan
suatu pemecahan terhadap isu, masalah, keputusan, atau kegiatan yang
sedang dipertimbangkan
Berikut adalah contoh permasalahan yang membutuhkan proses KBTT
berpikir kritis.
Apakah persamaan hewan-hewan berikut.
(1) Gajah, (1) Jerapah, (3) Tikus, (4) Monyet, (5) Cicak, (6) Ayam?

Proses berpikir kritis dalam pemecahan masalah diawali dengan


identifikasi masalah. Masalah yang ditemukan adalah mencari persamaan
berbagai jenis hewan. Selanjutnya mendefinisikan dan menetapkan masalah.
Diketahui bahwa hewan yang disajikan dalam masalah berasal dari spesies yang
berbeda, setiap spesies yang berbeda memiliki ciri fisik yang berbeda pula, maka
dapat ditetapkan bahwa masalah dapat ditinjau dari ciri-ciri fisik hewan tersebut
(Newmann, 1990).

Setelah pokok permasalahan ditetapkan, selanjutnya mengeksplorasi


strategi yang mungkin dilakukan. Ditetapkan masalah ditinjau berdasarkan ciri
hewan, maka strategi yang harus ditetapkan adalah mengklasifikasi bagian-bagian
tubuh yang dimiliki hewan. Setelah diklasifikasi, dapat diketahui bahwa keenam
hewan tersebut memiliki satu bagian tubuh yang sama, yakni ekor. Langkah
terakhir adalah mengevaluasi apakah seluruh hewan yang terdapat di ambar
benar-benar memiliki ekor. Setelah melakukan evaluasi, dapat dibuktikan bahwa
persamaan keenam hewan tersebut adalah sama-sama memiliki ekor (Paul &
Nosich, 1993).

17
D. Berpikir Kreatif dalam Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi (KBTT)

Berpikir kreatif merupakan salah satu ciri KBTT (Wardana 2010;


Pertiwi 2014). Kreatif berarti meletakkan sesuatu dalam cara yang baru (secara
konseptual maupun artistik), mengamati hal-hal lain yang mungkin terlewatkan,
membangun sesuatu yang baru, menggunakan cara yang tidak biasa namun
bekerja untuk membuat poin yang menarik (Brookhart, 2010). Sejalan dengan
definisi di atas Munandar (2009), juga turut menjelaskan bahwa berpikir kreatif
meliputi tiga tahap yaitu: (fluency), (flexibility), (originality). Fluency adalah
kemampuan peserta didik dalam memunculkan beberapa jawaban. Flexibility
adalah kemampuan peserta didik dalam memberikan jawaban lebih dari satu cara
atau mengemukakan bermacam-macam gagasan atau yang bervariasi. Originality
adalah menghasilkan gagasan-gagasan yang unik atau baru Jenis pemikiran kreatif
dan produk yang dihasilkannya tidak terbatas untuk dilakukan. Apabila berpikir
kritis berfokus pada pemecahan masalah, maka berpikir kreatif berfokus pada
menyajikan sesuatu dengan cara yang baru. Berikut adalah sintaks yang harus
dilakukan untuk dapat menilai proses berpikir kreatif (Pratama & Retnawati ,
2018).

Mewajibkan siswa memproduksi beberapa ide baru atau produk baru,


atau meminta siswa mengatur ide-ide yang telah ada dengan cara yang baru.
Mengajarkan dua konten atau teks yang berbeda adalah salah satu cara untuk
dapat melakukan ini (Retnawati dkk, 2018).

Biarkan siswa memilih jenis penilaian yang mereka inginkan untuk


dinilai, sesuai target pembelajaran. Misalnya untuk memahami materi energi,
siswa dapat memilih jenis penilaian kinerja, produk, atau yag lainnya yang sesuai
untuk materi pembelajaran energy (Wiwin, 2017).

Evaluasi pekerjaan siswa terhadap kriteria yang dibuat siswa sendiri


serta kriteria konvensional. Karena tidak ada batasan untuk berpikir kreatif,
maka tidak menutup kemungkinan siswa dapat membuat karya yang tidak pernah
terpikirkan sebelumnya (Widana, 2017). Tentu penilai tidak menyiapkan kriteria

18
untuk karya yang tak diduga, oleh karenanya penilai dapat membuat kriteria
berdasarkan karya yang dibuat siswa sendiri. Namun penilai tetap harus
membandingkan hasil karya yang dibuat siswa dengan penilaian konvensional
untuk dapat mengukur seberapa tingkat kreativitas yang ditunjukkan siswa.
Berikut adalah beberapa indikator bahwa siswa telah melakukan proses berpikir
kreatif (Sani, 2019).
1. Mengenali pengetahuan dasar yang penting dan terus bekerja untuk
mengetahui hal baru.
2. Terbuka dan aktif mencari ide baru.
3. Mencari sumber informasi untuk ide di media yang luas, orang, dan kegiatan.
4. Mencari cara baru untuk mengorganisasikan ide menjadi kategori dan
kombinasi yang berbeda, kemudian menganalisa apakah hasil yang
ditunjukkan menarik, baru, atau berguna.
5. Melakukan trial and error ketika mereka tidak yakin bagaimana memproses
sesuatu, menggunakan kegagalan menjadi kesempatan untuk belajar.

Satu sudut pandang tentang kreativitas menyatakan bahwa berpikir


kreatif dan berpikir kritis adalah satu hal yang berbeda namun saling
mempengaruhi. Noris dan Ennis (dalam Brookhart, 2010) menyebutkan bahwa
kreativitas merupakan proses kreatif untuk mengumpulkan ide-ide baru, dan
kemudian berpikir kritis mengambil alih untuk mengevaluasi seberapa sukses ide
baru tersebut. Paham tersebut memandang berpikir kreatif memiliki sifat masuk
akal, produktif, dan tidak dapat dievaluasi, sedangkan berpikir kritis memiliki
sifat masuk akal, reflektive, dan dapat dievaluasi (Setiawati, 2019).

Pandangan lain disampaikan oleh Robinson (dalam Brookhart, 2010),


menganggap bahwa berpikir kritis (evaluasi) merupakan bagian dari berpikir
kreatif. Robinson menjelaskan bahwa setiap ilmu pasti sudah memiliki kriteria
yang dapat dievaluasi. Ketika seseorang menggunakan kreaivitas untuk
menciptakan hal yang baru, maka secara otomatis ia telah melakukan evaluasi
(berpikir kritis) terhadap hal yang sudah ada sebelumnya.

19
Sudut pandang lain yang disampaikan oleh The Partnership (dalam
Brookhart, 2010), yang menyatakan bahwa dalam proses berpikir kreatif, evaluasi
sebagai bentuk berpikir kritis dapat disertakan dapat juga tidak. ini bergantung
pada tujuan yang ingin dicapai melalui kedua proses tersebut. Walaupun berpikir
kreatif dan berpikir kritis dipisahkan, pada akhirnya kedua proses tersebut akan
berakhir bersamaan.

Contoh dari permasalahan yang membutuhkan kemampuan berpikir


kreatif disampaikan oleh Brookhart (2010) sebagai berikut.
Sebuah perusahaan baru saja menggunakan lift sebagai sarana bagi pekerjanya
untuk dapat naik-turun gedung dengan mudah tanpa menaiki tangga. Namun
banyak pegawai yang mengeluh karena laju lift yang lamban sehingga waktu
mereka terbuang. Tidak mungkin bagi perusahaan membongkar lift yang baru
saja dipasang. Apa yang harus dilakukan?

Secara sederhana solusi atas permasalahan diatas adalah


menonaktifkan lift atau meminta kesabaran pegawai. Namun tentu ada
penyelesaian yang lebih kreatif atas permasalahan tersebut. Salah satu solusi
kreatif yang dapat dilakukan adalah memasang kaca pada dinding lift tersebut.
Brookhart menjelaskan ketika kaca dipasang, maka pegawai yang berada di
dalam lift dapat teralihkan perhatiannya dengan mengecek penampilan mereka
atau memperbaiki dasi. Ketika perhatian teralih, maka rasa bosan akan menunggu
akan berkurang dan waktu didalam lift akan terasa cepat berlalu (Sofyan, 2019).
Contoh lain dari berpikir kreatif adalah ketika seseorang diminta untuk
menghubungkan 9 titik seperti gambar dibawah menggunakan hanya 4 garis.
Mungkinkan dilakukan?

Orang yang tidak berpikir kreatif tentu akan menjawab kalau itu tidak
mungkin dilakukan. Namun orang yang berpikir kreatif akan selalu menemukan
jalan untuk memecahkan semua permasalahan yang dihadapi.

20
E. Keterampilan berpikir tingkat tinggi sebagai problem solving

Keterampilan berpikir tingkat tinggi sebagai problem solving memiliki


makna bahwa pembelajaran yang dirancang dan berorientasi pada keterampilan
tingkat tinggi merupakan suatu kesatuan dari fungsi keterampilan tingkat tinggi
itu sendiri yaitu menemukan solusi untuk memecahkan masalah. Pemecahan
masalah merupakan keterampilan yang dimiliki oleh ahli yang terus berpikir
bagaimana memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Mourtos, Okamoto dan Rhee (Kemendikbud, 2018), ada enam


aspek yang dapat digunakan untuk mengukur sejauh mana keterampilan
pemecahan masalah peserta didik, yaitu sebagai berikut.
1. Menentukan masalah, dengan mendefinisikan masalah, menjelaskan
permasalahan, menentukan kebutuhan data dan informasi yang harus diketahui
sebelum digunakan untuk mendefinisikan masalah sehingga menjadi lebih
detail, dan mempersiapkan kriteria untuk menentukan hasil pembahasan dari
masalah yang dihadapi.
2. Mengeksplorasi masalah, dengan menentukan objek yang berhubungan dengan
masalah, memeriksa masalah yang terkait dengan asumsi dan menyatakan
hipotesis yang terkait dengan masalah.
3. Merencanakan solusi dimana peserta didik mengembangkan rencana untuk
memecahkan masalah, memetakan sub-materi yang terkait dengan masalah,
memilih teori prinsip dan pendekatan yang sesuai dengan masalah, dan
menentukan informasi untuk menemukan solusi.
4. Melaksanakan rencana, pada tahap ini peserta didik menerapkan rencana yang
telah ditetapkan.
5. Memeriksa solusi, mengevaluasi solusi yang digunakan untuk memecahkan
masalah.
6. Mengevaluasi, dalam langkah ini, solusi diperiksa, asumsi yang terkait dengan
solusi dibuat, memperkirakan hasil yang diperoleh ketika
mengimplementasikan solusi dan mengkomunikasikan solusi yang telah dibuat.

21
F. Model-Model Pembelajaran yang Berbasis KBBT
1. Model Pembelajaran Project-Based Learning

Model pembelajaran Project Based Learning atau PJBL merupakan


model yang dianjurkan penggunaannya dalam kurikulum 2013. Penggunaan
model ini disebabkan karena dalam PJBL terjadi pembelajaran dimana peserta
didik menjadi pusat dari pembelajaran itu sendiri (student centered). Model PJBL
ini menuntut peserta didik untuk menjadi ahli ilmu pengetahuan karena
penggunaan proyek sebagai inti pembelajarannya. Peserta didik diarahkan untuk
melakukan penelitian, eksplorasi, penilaian, interpretasi data, evaluasi, hingga
menciptakan suatu informasi terbarukan. Namun, model pembelajaran ini jarang
diterapkan dalam pembelajaran di sekolah karena pelaksanaannya membutuhkan
waktu yang relatif lebih lama dari waktu yang telah dialokasikan.

Thomas (Sih, 2016) salah satu model pembelajaran dalam Kurikulum


2013 yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan
kemampuan memecahkan masalah adalah model pembelajaran project based
learning (PjBL) atau model pembelajaran berbasis proyek. Kerja proyek memuat
tugas yang kompleks berdasarkan pada permasalahan yang sangat menantang, dan
menuntut siswa untuk merancang, memecahkan masalah dan membuat keputusan.

Model pembelajaran berbasis proyek dapat menjembatani siswa untuk


dapat mengembangkan kreativitas melalui kegiatan pemecahan masalah berbasis
proyek. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Abidin (Sih, 2016) bahwa model
pembelajaran berbasis proyek dinilai sebagai salah satu model pembelajaran yang
sangat baik dalam mengembangkan berbagai keterampilan dasar yang harus
dimiliki siswa seperti keterampilan membuat keputusan, kemampuan
berkreativitas dan kemampuan memecahkan masalah. Hal senada juga
diungkapkan oleh Hwang et al. (Sih, 2016), bahwa kreativitas adalah kemampuan
yang dapat ditumbuhkembangkan melalui proses pemecahan masalah.

PJBL adalah model pembelajaran yang yang menggunakan masalah


sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan

22
baru berdasarkan pengalamannya dan beraktifitas secara nyata. PJBL dirancang
untuk digunakan pada permasalahan yang kompleks yang diperlukan peserta didik
dalam melakukan investigasi dan memahaminya.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas maka dapat disimpulkan


bahwa model pembelajaran Project Based Learning merupakan model
pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dan berasal dari sebuah masalah
yang harus dipecahkan melalui kegiatan proyek yang melibatkan kemampuan
kognitif, afektif, dan psikomotorik peserta didik. Dalam kegiatan proyek tersebut
peserta didik harus mampu melakukan investigasi sehingga memperoleh
pengetahuan dan pengalaman belajar yang kaya. Hasil akhir dari proyek tersebut
adalah produk ilmiah yang dapat dilaporkan maupun dipresentasikan.

2. Model Pembelajaran Problem-based Learning (PBL)

Menurut Hung (Noly, 2018), Problem Based Learning (PBL) adalah


sebuah kurikulum yang merencanakan pembelajaran untuk mencapai suatu tujuan
instuksional. PBL merupakan model pembelajaran yang menginisiasi siswa
dengan menghadirkan sebuah masalah agar diselesaikan oleh siswa. Selama
proses pemecahan masalah, siswa membangun pengetahuan serta
mengembangkan keterampilan pemecahan masalah dan keterampilan self-
regulated learner.

Proses pembelajaran PBL, seluruh kegiatan yang disusun oleh siswa


harus bersifat sistematis. Hal tersebut diperlukan untuk memecahkan masalah
atau menghadapi tantangan yang nanti diperlukan dalam karier dan kehidupan
sehari–hari. Mengacu rumusan dari (Noly, 2018), bahwa “PBL merupakan
Metode instruksional yang menantang peserta didik agar belajar untuk belajar,
bekerja sama dalam kelompok untuk mencari solusi bagi masalah yang nyata”.
Masalah ini digunakan untuk mengaitkan rasa keingintahuan serta kemampuan
analisis peserta didik dan inisiatif atas materi pelajaran. PBL mempersiapkan
peserta didik untuk berfikir kritis dan analistis dan untuk mencari serta
menggunakan sumber pembelajaran yang sesuai

23
Berdasarkan beberapa definisi ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
Problem-based Learning atau PBL adalah model pembelajaran yang
menggunakan masalah di dunia nyata sebagai awal pembelajaran dengan
melibatkan peserta didik untuk memecahkan masalah. Dalam pemecahan
masalah, peserta didik harus melalui tahap-tahap metode ilmiah yang
membutuhkan kemampuan berpikir kritis agar memperoleh pengetahuan dan
konsep esensial dari masalah yang dipecahkan.

3. Model Pembelajaran Discovery Learning

Saifuddin (Kristin, 2016) mengemukakan bahwa discovery learning


merupakan salah satu model pembelajaran yang tidak asing lagi. Discovery
learning merupakan metode memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui
proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan. Discovery
learning adalah strategi pembelajaran yang cenderung meminta siswa untuk
melakukan observasi, eksperimen, atau tindakan ilmiah hingga mendapatkan
kesimpulan dari hasil tindakan ilmiah tersebut.

Melalui model ini siswa diajak untuk menemukan sendiri apa yang
dipelajari kemudian mengkonstruk pengetahuan itu dengan memahami maknanya.
Dalam model ini guru hanya sebagai fasilitator. Ciri utama dari model discovery
learning adalah; 1) mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk menciptakan,
menggabungkan dan menggeneralisasi pengetahuan; 2) berpusat pada siswa; 3)
kegiatan untuk menggabungkan pengetahuan baru dan pengetahuan yang sudah
ada.

Model discovery learning membiarkan siswa-siswa mengikuti minat


mereka sendiri untuk mencapai kompeten dan kepuasan dari keingintahuan
mereka. Guru sebaiknya mendorong siswa untuk menyelesaikan masalah-masalah
mereka sendiri daripada mengajar mereka dengan jawaban-jawaban guru.
Menurut Bruner (Firosalia, 2016) “Discovery learning bermanfaat dalam; 1)

24
peningkatan potensi intelektual siswa; 2) perpindahan dari pemberian reward
ekstrinsik ke intrinsik; 3) pembelajaran menyeluruh melalui proses menemukan;
4) alat untuk melatih memori”.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa


discovery learning adalah model pembelajaran yang melibatkan peserta didik
untuk memahami konsep, arti, dan hubungan sehingga mereka dapat menemukan
sendiri pengetahuan, sikap, maupun keterampilan sesuai dengan pembelajaran
yang diberikan.

4. Model Pembelajaran Inquiry Learning

Inquiry Learning adalah model pembelajaran yang menitikberatkan pada


aktivitas peserta didik dalam belajar. Model pembelajaran ini menekankan guru
untuk memberikan masalah pada peserta didik kemudian peserta didik disuruh
memecahkan masalah tersebut melalui melakukan percobaan, mengumpulkan
data dan menganalisis dan mengambil kesimpulan. Hal ini sejalan dengan
pendapat Roestiyah (Anggoro, 2016) yang menyatakan bahwa metode inquiry
learning adalah proses mental dimana siswa mampu mengasimilasikan suatu
konsep atau prinsip. Proses mental tersebut antara lain mengamati, mencerna,
mengerti, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur,
membuat kesimpulan untuk memecahkan masalah.

Menurut Hosnan (Debby, 2020) pembelajaran dengan model Inquiry


learning menekankan pada proses mencari dan menemukan. Sejalan dengan
pendapat Taufik (Debby, 2020) mengemukakan bahwa pada model pembelajaran
inkuiri, siswa dapat belajar menggunakan cara pikir dan cara kerja seorang
ilmuwan dalam menemukan sesuatu. Menurut Kunandar (Debby, 2020) model
pembelajaran Inquiry Learning ini merupakan suatu rangkaian kegiatan
pembelajaran yang melibatkan seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan
menyelidiki secara sistematis, logis, kritis dan analitis, sehingga siswa dapat
merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh rasa percaya diri.

25
Pembelajaran pada model Inquiry Learning adalah kegiatan
pembelajaran dimana siswa didorong untuk belajar melalui keterlibatan aktif
mereka sendiri dengan berbagai konsep dan prinsip, peran guru di sini adalah
mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang
memungkinkan siswa menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri.
Penerapan model pembelajaran Inquiry dapat membantu guru mengaitkan materi
yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa, guru dapat mendorong siswa
untuk menghubungkan pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya
dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa


model pembelajaran inquiry learning adalah model pembelajaran yang
mengharuskan peserta didik melakukan rangkaian aktivitas ilmiah untuk dapat
memecahkan masalah. Aktivitas ilmiah yang dimaksud yaitu mendefinisikan dan
menyelidiki masalah, merumuskan hipotesis, merancang dan melakukan
eksperimen, mengumpulkan dan mengolah data, dan menarik kesimpulan
terhadap hasil aktivitas yang dilakukan. Jadi dalam pembelajaran inquiry learning
peserta didik terlibat penuh baik secara mental maupun fisik dengan mengerahkan
seluruh kemampuan yang mereka miliki untuk memecahkan masalah.

G. Asesmen Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi (KBTT)

Menurut Suarjana, dkk (2017) bahwa asesmen merupakan instrumen


yang dapat digunakan untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Terkait hal
tersebut, asesmen harus mampu berfungsi sebagai wahana yang dapat
memberikan perbaikan kepada siswa terhadap kesalahan yang dilakukan selama
pembelajaran. Terkait dengan KBTT, asesmen diharapkan dapat menjadi sarana
untuk dapat memahami tingkat kemampuan siswa, utamanya dalam aspek berpikir
kritis dan berpikir kreatif (Wicasari & Ernaningsih, 2016).

Berbagai jenis asesmen dapat digunakan untuk menilai KBTT,


bergantung pada tujuan pembelajaran yang ingin dinilai. Salah satu jenis asesmen

26
yang dapat digunakan adalah asesmen autentik. Autentik sendiri memiliki arti asli,
nyata, riil, atau sebenarnya (KBBI, 2018). Dapat diartikan bahwa asesmen
autentik adalah asesmen yang menilai berbagai aspek kemampuan dengan
sebenar-benarnya. Kemendikbud (2013) menyatakan bahwa asesmen autentik
merupakan asesmen yang dilakukan secara komprehensif (menyeluruh) untuk
menilai mulai dari masukan, proses, dan keluaran pembelajaran, yang meliputi
ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

Sementara itu, bagi siswa asesmen mampu berperan membantu proses


belajar, mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan cara belajar, menilai efektivitas
dari strategi pembelajaran yang telah digunakan, serta menyediakan data untuk
membantu siswa dalam membuat keputusan guna perbaikan perilaku dan
lingkungan belajar (Kusairi, 2012). Lebih lanjut menurut Sunarti dan Rahmawati
(2014) bahwa asesmen berperan memberikan:
1) informasi kemajuan belajar siswa secara individual dalam
mencapai tujuan belajar sesuai dengan kegiatan belajar yang telah
dilakukan,
2) informasi yang dapat digunakan untuk membina kegiatan belajar
lebih lanjut, baik terhadap masing-masing siswa maupun seluruh
siswa di kelas,
3) informasi yang dapat digunakan guru dan siswa untuk mengetahui
tingkat kemampuan siswa, tingkat kesulitan, dan kemudahan guna
melaksanakan kegiatan remidi, pendalaman atau pengayaan,
4) motivasi belajar siswa dengan cara memberikan informasi
mengenai kemajuan dan menstimulasi guna melakukan usaha
pemantapan dan perbaikan serta
5) bimbingan yang tepat untuk memilih sekolah atau jabatan sesuai
dengan keterampilan, minat dan kemampuan siswa.

27
1. Instrumen
Instrumen merupakan alat untuk mengumpulkan data atau informasi,
sedangkan asesmen merupakan proses pengumpulan informasi yang berkaitan
dengan pembelajaran sebagai bahan dalam pengambilan keputusan oleh guru
untuk memperbaiki proses dan hasil belajar siswa (Popham dkk dalam Khoriah,
2017). Supratiknya (2013) mengemukakan bahwa asesmen adalah setiap metode
atau prosedur sistematik untuk mendapatkan informasi sebagai dasar membuat
inferensi atau kesimpulan tentang aneka kerakteristik orang, objek, atau program.
Dalam konteks penilaian kelas, asesmen adalah setiap metode atau prosedur
mendapatkan data sebagai dasar untuk membuat kesimpulan tentang hasil belajar
murid. Berdasarkan dari kedua pengertian tersebut, maka instrumen asesmen
dapat didefinisikan sebagai alat asesmen atau alat penilaian.

Instrumen yang digunakan pada asesmen KBTT dapat berupa


instrumen tes dan non tes. Instrumen tes yang digunakan dapat berupa essay
maupun objektif, bergantung dari aspek yang ingin dinilai. Apabila penilai hanya
ingin menilai KBTT dari segi kognitif, maka objektif dapat digunakan. Apabila
penilai ingin menilai aspek kognitif dan proses KBTT yang dimiliki siswa, maka
disarankan untuk menggunakan tes objektif diperluas atau essay. Instrumen non
tes yang digunakan contohnya adalah asesmen kinerja, proyek, produk, maupun
portofolio (Sulianto, 2018).

Kelayakan produk instrumen asesmen HOTS hasil pengembangan


dijamin melalui validitas teoritis dan validitas empiris. Validitas teoritis instrumen
asesmen HOTS meliputi aspek materi dengan kategori “valid”, aspek konstruksi
dengan kategori “valid” dan aspek bahasa dengan kategori “valid” sedangkan
validitas empiris instrumen asesmen HOTS meliputi validitas butir soal dengan
interpretasi minimal “cukup”, reliabilitas dengan interpretasi “tinggi”, tingkat
kesukaran soal dengan proporsi 15% mudah: 80% sedang: 5% sulit, dan daya
pembeda soal dengan interpretasi minimal “cukup” serta 80% pengecoh atau
distraktor berfungsi “baik” (Nofiana, dkk., 2016).

28
Secara garis besar, instrumen asesmen dalam pembelajaran dikategorikan
dalam dua kelompok, yaitu tes dan non tes (Arikunto, 2011; Jihad dan Haris,
2013; Uno dan Koni, 2014; Sunarti dan Rahmawati, 2014; Yusuf, 2015). Tes
merupakan kumpulan pertanyaan atau soal yang harus dijawab siswa
menggunakan kemampuan pengetahuan dan penalaran (Jihad dan Haris, 2013).
Widoyoko (Emi, 2013), Tes merupakan salah satu alat untuk melakukan
pengukuran, yaitu alat untuk mengumpulkan informasi karakteristik suatu objek.
Objek ini bisa berupa kemampuan peserta didik, sikap, minat, maupun motivasi.

Teknik Nontes menurut Ramly (2019) artinya menilai prestasi belajar


siswa yang dilakukan tidak menggunakan tes, tetapi dengan melakukan
pengamatan secara sistematis, wawancara, angket, dan meneliti dokumen-
dokumen tentang siswa. Teknik non tes ini dilakukan untuk menilai keberhasilan
belajar siswa dari aspek ranah afektif (sikap) dan ranah psikomotorik
(keterampilan).

2. Indikator

Indikator untuk mengukur atau menilai KBTT sesuai dengan domain


Taksonomi Bloom meliputi C4-C6 (Krathwohl dan Anderson, 2010) sebagai
berikut.
Tabel 1. KBTT dalam Taksonomi Bloom Revisi

Kategori Tingkatan Berpikir

Remembering (mengingat)
LOTS-Lower Order
Understanding (memahami) Thingking Skill

Applying (menerapan)

Analyzing (menganalisis)
HOTS-Higher Order
Evaluating (menilai) Thingking Skill

Creating (mencipta)

(Sumber: Krathworl dan Andrerson dalam Julianingsih, 2017).

29
Selain dimensi proses kognitif (mengingat, memahami,
mengaplikasikan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta), dalam taksonomi
bloom yang telah direvisi juga terdapat dimensi kognitif atau pengetahuan
meliputi empat kategori pengetahuan yakni pengetahuan faktual (K1),
pengetahuan konseptual (K2), pengetahuan prosedural (K3) dan pengetahuan
metakognisi (K4) seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.3. Pengkategorian
dimensi pengetahuan ini memiliki peranan penting dalam lingkup pembelajaran
maupun pendidikan. Pengkategorian ini juga menunjukkan suatu hierarki atau
tingkatan, yang berarti siswa mampu berpikir pada tahapan lebih tinggi apabila
tahapan di bawahnya telah dikuasai. Dimensi pengetahuan muncul
sebagai cognitive product atau hasil dari proses kognitif (Tanujaya & Margono,
2017).

3.  Jenis-Jenis Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi, HOTS (High Order


Thinking Skill)

a) Ranah Afektif
1) A3 (Penilaian), merupakan kemampuan memberi penghargaan, serta
menilai baik maupun buruk terhadap gejala atau stimulus tertentu.
2) A4 (Mengelola), kemampuan mengkonseptualisasi, memantapkan,
serta mengintegrasikan nilai-nilai dalam kehidupannya)
3) A5 (Karakterisasi), merupakan kemampuan memadukan segala sistem
nilai yang dimiliki sehingga mampu menghadirkan suatu kebiasaan
atau pola hidup dan tingkah laku berdasarkan nilai yang diyakini.

b) Ranah Kognitif
Keterampilan berpikir HOTS pada ranah kognitif meliputi C4
(menganalisis), C5 (mengevaluasi), dan C6 (mencipta) pada taksonomi
Bloom.
1) C4 (menganalisis), merupakan kemampuan memecah materi ke dalam
bagian-bagian tertentu dan menentukan bagaimana bagian-bagian

30
tersebut dapat terhubung pada suatu struktur atau tujuan secara
keseluruhan. Pada dimensi pengetahuan, kemampuan C4 ini terletak
pada dimensi konseptual, prosedural, hingga metakognitif.
2) C5 (mengevaluasi), merupakan kemampuan menilai atau memberi
pertimbangan berdasarkan kriteria atau standar yang telah ditetapkan.
Pada dimensi pengetahuan, kemampuan C5 ini terletak pada dimensi
konseptual prosedural, hingga metakognitif.
3) C6 (mencipta), merupakan hirarki tertinggi dari taksonomi ranah
kognitif. Pada tahap ini, peserta didik akan mampu menyusun bagian-
bagian secara bersama untuk membentuk suatu keseluruhan yang
fungsional sehingga menghasilkan pola yang baru. Pada dimensi
pengetahuan, kemampuan C6 ini terletak pada dimensi konseptual
prosedural, hingga metakognitif.

c) Ranah Psikomotorik
1) P3 (Presisi) atau tingkat mahir, kemampuan melakukan keterampilan
dengan akurat, proporsi, dan ketetapan.
2) P4 (Artikulasi), yaitu kemampuan memodifikasi keterampilan dengan
menyesuaikan dengan situasi serta mampu menggabungkan beberapa
keterampilan agar tercipta keharmonisan.
3) P5 (Naturalisasi), yaitu kemampuan menentukan langkah yang lebih
efisien dalam menciptakan sesuatu.

31
Tabel 2. Dimensi revisi Taksonomi Bloom dan contoh kata kerja operasional
untuk Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi

Dimensi Dimensi Proses Kognisi (The Cognitive Process Dimension)


Pengetahuan (Knowledge C4 Analisis C5 Penilaian C6 Penciptaan
Dimension) (analyze) (evaluate) (create)
Pengetahuan Faktual (PF) C4 PF C5 PF C6 PF
Mengelompokkan Membandingkan, Menggabungkan
menghubungkan
Pengetahuan Konseptual C4 PK C5 PK C6 PK
(PK) Menjelaskan, Mengkaji, Merencanakan
Menganalisis Menafsirkan
Pengetahuan Prosedural (PP) C4 PP C5 PP C6 PP
Membedakan Menyimpulkan, Mengkombinasikan,
Meringkas Memformulasikan
Pengetahuan Metakognisi C4 PM C5 PM C6 PM
(PM) Mewujudkan, Membuat urutan, Merealisasikan
Menemukan Menilai
(Sumber: Anderson dan Krathwohl dalam Khoiriyah, 2017).
 

32
Menganalisis, melibatkan proses memecah-mecah materi menjadi bagian-bagian kecil dan menentukan bagaimana
hubungan antar bagian-bagian dan antara setiap bagian dan struktur keseluruhannya. Menganalisis meliputi proses kognitif
membedakan, mengorganisasi, dan mendistribusikan. Mengevaluasi, didefinisikan sebagai membuat keputusan berdasarkan kriteria
dan standar. Kriteria-kriteria yang paling sering digunakan adalah kualitas, efektivitas, efisiensi dan konsistensi. Mengkreasi/
mencipta, melibatkan proses menyusun elemen-elemen menjadi sebuah keseluruhan yang koheren atau fungsional.

4. Contoh Instrumen Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi


Tabel 3. Instrumen Penilaian Tingkat Tinggi
No KI KD Materi Indikator Soal Skor
1 3.      Memahami 3.5  Memahami Sifat 1.      Peserta Seorang pembuat 0 Peserta didik tidak
pengetahuan (faktual, karakteristik zat, asam didik mampu jamu memesan 1 menemukan cara
konseptual, dan serta perubahan basa mengelompokkan botol air mineral untuk
procedural) berdasarkan fisika dan kimia larutan larutan untuk membuat jamu membedakan
rasa ingin tahunya pada zat yang dapat berdasarkan sifat kunyit manis, larutan
tentang ilmu dimanfaatkan untuk asam dan basa kencur, dan beras 2 Peserta didik
pengetahuan, teknologi, kehidupan sehari- 2.      Peserta yang dipesan membedakan
seni, budaya terkait hari didik mampu langganannya. dengan menebak
fenomena dan kejadian 4.7     Melakukan membuat produk Ketika kurir tanpa alasan
tampak mata. penyelidikan untuk indikator alami pengantar air datang, 3 Peserta didik

33
4.      Mencoba, menentukan sifat asam basa penjual jamu dan membedakan
mengolah, dan menyaji larutan yang ada di kurir tersebut larutan
dalam ranah konkret lingkungan sekitar kebingungan karena menggunakan
(menggunakan, menggunakan terdapat 3 botol yang indera tanpa
mengurai, merangkai, indikator buatan sama berisi larutan menghasilkan
memodifikasi, dan maupun alami yang tampak sama produk (mencium
membuat) dan ranah dalam kotak yang aroma,
abstrak (menulis, dibawa oleh kurir. menyentuh, atau
membaca, menghitung, Ternyata selain merasakan)
menggambar, dan membawa 1 botol air 4 Peserta didik
mengarang) sesuai mineral, kurir membedakan
dengan yang dipelajari tersebut juga larutan dengan
di sekolah dan sumber membawa 1 botol membuat produk
lain yang sama dalam larutan asam dan 1 indikator alami
sudut pandang/teori botol larutan basa asam basa dari
yang dipesan apotek kunyit
disebelah rumah
penjual jamu.
Karena tidak

34
terdapat pengenal,
bagaimana cara
penjual jamu dan
kurir untuk
membedakan air
mineral, larutan
asam, dan larutan
basa tersebut?

35
36
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan

1. Kemampuan berpikir tingkat tinggi merupakan kemampuan untuk mengolah


informasi secara berpikir kritis, logis, reflektif dan kreatif untuk memecahkan
permasalahan dalam berbagai situasi
2. Terdapat 2 pengaruh yang terdapat dalam KBTT yakni kemampuan guru dan
lingkungan. Selain itu terdapat pula 4 prinsip dan 6 latihan yang harus
dipahami untuk dapat meningkatkan KBTT.
3. Berpikir kritis bersifat masuk akal dan reflektif yang berfokus untuk
memutuskan apa yang harus dipercaya atau dilakukan
4. Berpikir kreatif berarti meletakkan sesuatu dalam cara yang baru (secara
konseptual maupun artistik), mengamati hal-hal lain yang mungkin
terlewatkan, membangun sesuatu yang baru, menggunakan cara yang tidak
biasa namun bekerja untuk membuat poin yang menarik
5. Kemampuan berpikir tingkat tinggi dapat diasesmen menggunakan berbagai
jenis asesmen, salah satunya adalah asesmen autentik. Instrumen yang
digunakan dapat berupa instrumen tes maupun non tes dengan mengacu pada
indikator menganalisis (C4), menilai (C5), dan mencipta (C6)  dalam
Taksonomi Bloom.

3.2 Saran

Keterampilan Berpikir tingkat tinggi mencangkup aspek yang sangat


luas, tidak hanya berpikir kritis dan berpikir kreatif. Penulis menyarankan
pembaca untuk mencari berbagai informasi terkait keterampilan berpikir tingkat
tinggi dalam berbagai aspek sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan diri.

37
DAFTAR PUSTAKA

Alfiatin, A. L., & Oktiningrum, W. (2019). Pengembangan Soal Higher Order


Thinking Skills Berbasis Budaya Jawa Timur Untuk Mengukur
Penalaran Siswa SD. Indiktika : Jurnal Inovasi Pendidikan
Matematika, 2(1), 30–43.
https://doi.org/10.31851/indiktika.v2i1.3395.
Amirono & Daryanto. 2016. Evaluasi dan penilaian pembelajaran kurikulum
2013. Yogyakarta: Gava Media.
Anggraini, N. P., Budiyono, & Pratiwi, H. (2019). Analysis Of Higher Order
Thinking Skills Students at Junior High School in Surakarta. Journal
of Physics: Conference Series, 12(1), 1–9.
https://doi.org/10.1088/1742-6596/1211/1/012077.
Anggoro, Sri Bambang. (2016). Meningkatkan Kemampuan Generalisasi
Matematis Melalui Discovery Learning dan Model Pembelajaran
Peer Led Guided Inquiry. Al-Jabar: Jurnal Pendidikan Matematika
Vol. 7, No. 1, 2016, Hal 11 - 20
Annuuru, T. A., Johan, R. C., & Ali, M. (2017). Peningkatan Kemampuan
Berpikir Tingkat Tinggi dalam Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam
Peserta Didik Sekolah Dasar Melalui Model Pembelajaran
Treffinger. Eduthecnologica, 3(2), 136–144.
Arifin, R. Nugroho. 2018. HOTS Keterampilan berpikir tingkat tinggi. Jakarta:
PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Arthur lewis and David Smith. 1993. Defining High Order Thinking, Theory Into
Practice, Collage of Education: The Ohio State University, 32,  h.
136.
Brookhart, S. M. 2010. How to Asses Highe-Order Thinkung Skill in Your
Classroom. USA: ASCD.
Budiarta, K., Harahap, M. H., Faisal, & Mailani, E. (2018). Potret Implementasi
Pembelajaran Berbasis High Order Thinking Skills (HOTS) di

38
Sekolah Dasar Kota Medan. Jurnal Pembangunan Perkotaan, 6(2),
102–111.
Chinedu, C.C., & Kamin, Y. (2015). Strategies for improving higher order
thinking skill in teaching and learning of design and tecnology
education. Journal of Technical Education and Training (JTET), 35-
43. ISSN 2229-8932.
Debby Yofamella & Taufina Taufik. (2020). Penerapan Model Inquiry Learning
dalam Pembelajaran Tematik Terpadu Di Kelas III Sekolah Dasar
(Studi Literatur). Volume 8, Nomor 8, 2020. Special Edition Hal 159
– 172.
Dinni, H. N. (2018). HOTS ( High Order Thinking Skills ) dan Kaitannya dengan
Kemampuan Literasi Matematika. Prisma, 1, 170–176.
Driana, E., & E. (2019). Teachers’ Understanding and Practices in Assessing
Higher Order Thinking Skills at Primary Schools. Acitya: Journal of
Teaching & Education, 8(5), 620–628.
Emi Rofiah, Nonoh Siti Aminah, Elvin Yusliana Ekawati. (2013). Penyusunan
Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Fisika pada Siswa
SMP. Jurnal Pendidikan Fisika (2013) Vol.1 No.2 halaman 17-22.
Faridah, E. M. I. (2019). Analisis Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Melalui Soal-
Soal HOTS (Higher Order Thinking Skills) Mata Pelajaran Sejarah
Kelas X-IPS SMAN 2 SIDOARJO. AVATARA, e-Journal Pendidikan
Sejarah, 7(3).
Farida, I. (2017). Evaluasi pembelajaran berdasarkan kurikulum nasional.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Febrian, R. (15 Agustus 2018). Soal-soal HOTS itu bikin pusing. Tirto.id. Diakses
pada 16 Oktober 2022, dari https://tirto.id/soal-soal-hots-yang-bikin-
siswapusing-itu-penting-cStV.
Hanifah, N. (2019). Pengembangan instrumen penilaian Higher Order Thinking
Skill (HOTS) di Sekolah Dasar. Conference Series, 1(1), 1–8.
http://ejournal.upi.edu/index.php/crecs/article/view/14286.

39
Heong, Y.M., Othman, W.D., Md Yunos, J., Kiong, T.T., Hassan, R., &
Mohamad, M.M. 2011.     The Level Of Marzano Higher Order
Thinking Skills Among Technical Education        Student. International
Journal Of Social And Humanity, Vol. 1(2).
Hidayanti, D. N. (2019). Analisis Kesalahan Penyelesaian Soal Cerita
Matematika Bertipe HOTS Berdasarkan Teori Newman Pada Siswa
Kelas V SD. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Malang.
http://eprints.umm.ac.id/46121/.
Ichsan dkk. (2019). HOTS-AEP: Higher Order Thinking Skills from Elementary
to Master Students in Environmental Learning. European Journal of
Educational Research Volume 8, Issue 4, 935 - 942.

Intan, F. M., & Kuntarto, E. (2020). Kemampuan Siswa dalam Mengerjakan Soal
HOTS (Higher Order Thinking Skills) pada Pembelajaran
Matematika di Kelas V Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Dasar
Indonesia, 5(1), 6–10.
Istiyono, E., Mardapi, D., dan Suparno. Pengembangan Tes Kemampuan Berpikir
Tingkat Tinggi   Fisika (physTHOTS) Peserta Didik SMA. Jurnal
Penelitian dan Evaluasi Pendidikan.     Universitas Negeri Yogyakarta.
Johnson, W. B. 2002. Contextual Teaching & Learning: Menjadikan Kegiatan
Belajar-Mengajar Mengasyikan dan Bermakna. Bandung: MLC.
Jailani J, S.Sugiman, Ezi Apino. (2017). Implementing the Problem-Based
Learning in Order to Improve the Students’ HOTS and Characters.
Jurnal Riset Pendidikan Matematika 4 (2). hlm 247-259. HOTS and
Characters. Jurnal Riset Pendidikan Matematika 4 (2). hlm 247-259.
Julianingsih, S. 2017. Pengembangan Instrumen Asesmen High Order Thinking
Skill (HOTS) Untuk         Mengukur Dimensi Pengetahuan IPA Siswa
Di SMP. Skripsi. FIKP : Universitas Lampung.
Kemdikbud. (2017). Modul penyusunan soal higher order thinking skill (HOTS).
Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.

40
Kemdikbud. (2018). Buku Pegangan Pembelajaran Berorientasi pada
Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi. Program Peningkatan
Kompetensi Pembelajaran Berbasis Zonasi. Jakarta: Direktorat
Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan.
Kemdikbud. (2019). Buku Penilaian Berorientasi Higher Order Thingking Skills.
Jakarta: Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan.
Khoiriah. (2017). Pengembangan instrumen asesmen higher order thinking skills
untuk menumbuhkan self regulated learning peserta didik SMP. Tesis.
Tidak diterbitkan, Universitas Lampung, Bandar Lampung.
King, F.J., Goodson, L., & Rohani, F. (1998). Higher order thinking Skill:
definitions, strategies, assessment. Diambil dari:
http://www.cala.fsu.edu/files/higher_order_thinking_skills.pdf., pada
16 Oktober 2022.
Kristin, Firosalia. (2016). Analisis Model Pembelajaran Discovery Learning
dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa SD. Jurnal Pendidikan
Dasar PerKhasa Volume 2, Nomor 1, hal. 90-98.

Linda Zakiah & Ika Lestari. (2019). Berpikir Kritis dalam Konteks Pembelajaran.
Bogor: Erzatama Karya Abadi
Mainali, B. P. (2012). Higher order thinking in education. Jurnal A
Multidisciplinary, (2) 1, 5-10.
Merta, D. K., dkk. (2017). The development of higher order thinking skill (hots)
instrument assessment in physics study. Jurnal IOSR-JRME (IOSR
Journal of Research & Method in Education). e-ISSN: 2320–7388, p-
ISSN: 2320- 737X.
Murray, E.C. (2011). Implementing higher order thinking in middle school
mathematics classrooms. Disertation Subbmitted to the Graduate
Faculty of the University of Georgia, Georgia. Diakses pada 16
Oktober 2022 dari
https://getd.libs.uga.edu/pdfs/murray_eileen_c_201105_phd.pdf.

41
Musrikah, M. (2018). Higher Order Thingking Skill (Hots) Untuk Anak Sekolah
Dasar Dalam Pembelajaran Matematika. Martabat: Jurnal Perempuan
Dan Anak, 2(2). https://doi.org/10.21274/martabat.2018.2.2.339-360.
Newmann, F.M. (1990). Higher order thinking in teaching social studies: a
rationale for the assessment of classroom thoughtfulness. Jounal
Curriculum Studies. 22 (1), 41-56. DOI: 10.1080/0022027900220103.
Noly Shofiah & Fitria Eka Wulandari. (2018). Model Problem Based Learning
(Pbl) dalam Melatih Scientific Reasoning Siswa. JPPIPA, Vol. 3 No.
1. Hlm. 33-38.
Paul, R., & Nosich, G. M. (1993). A model for the national assessment of higher
order thinking. Foundation for critical thinking. Diakses pada tanggal
17 Oktober 2022 dari https://www.criticalthinking.org/pages/a-model-
for-the-nationalassessment-of-higher-order-thinking/591.
Pertiwi, R.D. 2014. Penerapan Constructive Controversy dan Modified Free
Inquiry terhadap       HOTS Mahasiswa Pendidikan Biologi. Jurnal
Formatif, Vol. 2, h. 102.
Pratama, G. S., & Retnawati, H. (2018). Urgency of Higher Order Thinking Skills
(HOTS) Content Analysis in Mathematics Textbook. Journal of
Physics: Conference Series, 1097(1), 1–8.
https://doi.org/10.1088/1742-6596/1097/1/012147.
Ritin Uloli, Probowo, & Tjipto Prastowo. (2016). Kajian Konseptual Proses
Berpikir Kreatif dan Pemecahan Masalah. Surabaya. Seminar
Nasional Pendidikan dan Saintek. Hlm. 644-647.
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/7983/94.pdf
?sequence=1
Ramly & Muhammad Idrus. (2019). Evaluasi Pembelajaran: Panduan Para
Pengajar dan Inovator Pendidikan. Bandung: Mujahid Press
Retnawati, H., Djidu, H., Kartianom, Apino, E., & Anazifa, R. D. (2018).
Teachers’ knowledge about higherorder thinking skills and its
learning strategy. Problems of Education in the 21st Century, 76(2),
215– 230.

42
Sani, Ridwan Abdullah, Pembelajaran Berbasis HOTS (Tanggerang: Tira Smart,
2019), v. 7.
Sawaluddin & Muhammad Sidiq. (2020). Langkah-Langkah dan Teknik Evaluasi
Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam. Jurnal PTK & Pendidikan
Vol. 6, No. 1, Januari – Juni 2020 (13-24)
Setiawati, S. (2019). Analisis Higher Order Thinking Skills (HOTS) Siswa
Sekolah Dasar dalam Menyelesaikan Soal Bahasa Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan KALUNI, 2(2010), 552–557.
https://doi.org/10.30998/prokaluni.v2i0.143.
Sih Kusumaningrum & D. Djukri. (2016). Pengembangan Perangkat
Pembelajaran Model Project Based Learning (PjBL) untuk
Meningkatkan Keterampilan Proses Sains dan Kreativitas. Jurnal
Inovasi Pendidikan IPA, 2 (2), 2016, 241 – 251.
Sofyan, Fuaddilah Ali. Implementasi HOTS Pada Kurikulum 2013. Jurnal
Inventa, 1 (Maret 2019), 4-5.
Suarjana, I. M., Nanci Riastini, N. P., & Yudha Pustika, I. G. N. (2017).
Penerapan Pendekatan Kontekstual Berbantuan Media Konkret Untuk
Meningkatkan Aktivitas Dan Hasil Belajar. International Journal of
Elementary Education, 1(2), 103–114.
https://doi.org/10.23887/ijee.v1i2.11601.
Sulianto, Joko., Cintang., A. (2018). Higher Order Thinking Skills (Hots) Siswa
Pada Mata Pelajaran Matematika Di Sekolah Dasar Pilot Project
Kurikulum 2013 Di Kota Semarang. Journal of Chemical Information
and Modeling, 53(9), 1689–1699.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004.
Supratiknya, A. (2012). Penilaian Hasil Belajara dengan Teknik Non Tes.
Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Tanujaya, B., Mumu, J., & Margono, G. (2017). The Relationship between Higher
Order Thinking Skills and Academic Performance of Student in
Mathematics Instruction. International Education Studies, 10(11), 78–
85. https://doi.org/10.5539/ies.v10n11p78.

43
Wicasari, B., & Ernaningsih, Z. (2016). Analisis Kemampuan Berpikir Siswa
dalam Menyelesaikan Permasalahan Matematika yang Berorientasi pada
HOTS. Prosiding Seminar Nasional Reforming Pedagogy, 249–254.
Widana, I. W. (2017). Higher Order Thinking Skills Assessment (HOTS). Jisae:
Journal of Indonesian Student Assesment and Evaluation, 3(1), 32–44.
https://doi.org/10.21009/jisae.031.04.
Wiwin, T. T., Rudhito, M. A., Joseph, and H., & Sriyanto. (2017). Analysis of
students’ higher order thinking skills in solving basic combinatorics
problems. Math Didactic: Jurnal Pendidikan Matematika, 5(2), 133–147.
https://doi.org/10.33654/math.v5i2.611.
Yuliati, S. R., & Lestari, I. (2018). Higher-Order Thinking Skills (Hots) Analysis
of Students in Solving Hots Question in Higher Education. Perspektif
Ilmu Pendidikan, 32(2), 181–188. https://doi.org/10.21009/pip.322.10.

44

Anda mungkin juga menyukai