Subdural Hematom
Subdural Hematom
SUBDURAL HEMATOM
Oleh :
Yuyun Mawaddatur Rohmah
NIM. 082011101034
Pembimbing:
dr. M. Dwikoryanto, Sp.BS
BAB 1. PENDAHULUAN
2.1 DEFINISI
Perdarahan subdural ialah perdarahan yang terjadi diantara duramater
dan araknoid. Perdarahan subdural dapat berasal dari: Ruptur Bridging vein
yaitu vena yang berjalan dari ruangan subaraknoid atau korteks serebri
melintasi ruangan subdural dan bermuara di dalam sinus venosus dura mater,
Robekan pembuluh darah kortikal, subaraknoid, atau araknoid. 8
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural
(di antara duramater dan arakhnoid). Perdarahan ini sering terjadi akibat
robeknya vena-vena jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan sinus
venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi
pembuluh arteri pada permukaan otak. Perdarahan subdural paling sering
terjadi pada permukaan lateral hemisferium dan sebagian di daerah temporal,
sesuai dengan distribusi bridging veins. Perdarahan subdural juga menutupi
seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya berat. 5
4
subakut dan kronik. Dikatakan akut apabila kurang dari 72 jam, subakut 3-7 hari
setelah trauma, dan kronik bila 21 hari atau 3 minggu lebih setelah trauma.
2.3 ETIOLOGI
Keadaan ini timbul setelah cedera/trauma kepala hebat, seperti perdarahan
kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan
subdural.
Perdarahan sub dural dapat terjadi pada: 8
• Trauma kapitis
• Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau
putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh
terduduk.
• Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah
terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada
orangtua dan juga pada anak - anak.
• Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan
subdura.
• Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan
subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor
intrakranial.
Pascaoperasi (kraniotomi, CSF shunting)
• Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.
trombositopenia
diabetes mellitus
Penyebab akibat Trauma kapitis yang terjadi karena geseran atau putaran otak
terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk, pecahnya
aneurisma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruang subdural (yang
terletak antara duramater dan araknoid), dan gangguan pembekuan darah
Penyeba yang predominan pada umunya ialah kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh dan perkelahian merupakan penyeba terbanyak, sebagian
kecildisebabkan kecelakaan olahraga dan kecelakaan industry. Pada penderita
cedera kepala berat tanpa lesi massa (mass lesion) 89% disebabkan
kecelakaan kendaraan bermotor dan 24% dari kasus perdarahan subdural akut
disebabkan kecelakaan bermotor. Penderita epilepsy memiliki factor resiko
yang meningkat untuk mendapat perdarahan subdural akut dan lesi
intracranial lainnya. 38% dari perdarahan intracranial mendapat kecelakaan
selama serangan epilepsy dan 85% dari perdarahan intracranial ini adalah
perdarahan subdural atau perdarahan epidural. Penderita perdarahan subdural
akut sebanyak 22% dari 366 penderita cedera kepala berat. 10
Gambar . SCALP
9
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan
oksipital. Kalvaria khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi
oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai
bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa
media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak
dan serebelum.
Gambar . Calvaria
(www.corpushumania.ca)
2.4.3 Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan yaitu :
1. Duramater
10
berlanjut dengan sinus rektus. Setiap sinus menempati tepi yang melekat pada
tentorium serebelli, membentuk sulkus pada os occipitalis dan angulus
posterior os parietale. Mereka menerima sinus petrosus superior, vena – vena
serebralis inferior, vena – vena serebellaris dan vena – vena diploika. Mereka
berakhir dengan membelok ke bawah sebagai sinus sigmoideus. Sinus
sigmoideus merupakan lanjutan langsung dari sinus tranversus yang akan
melanjutkan diri ke bulbus superior vena jugularis interna. Sinus occipitalis
merupakan suatu sinus kecil yang menempati tepi falx serebelli yang melekat,
ia berhubungan dengan vena – vena vertebralis dan bermuara kedalam sinus
konfluens. Sinus kavernosus terletak dalam fossa kranialis media pada setiap
sisi corpus os sphenoidalis. Arteri karotis interna, dikelilingi oleh pleksus saraf
simpatis, berjalan kedepan melalui sinus. Nervus abdusen juga melintasi sinus
dan dipisahkan dari darah oleh suatu pembungkus endothelial. Sinus petrosus
superior dan inferior merupakan sinus –sinus kecil pada batas – batas superior
dan inferior pars petrosus os temporale pada setiap sisi kranium. Setiap sinus
kavernosus kedalam sinus transverses dan setiap sinus inferior mendrainase
sinus cavernosus kedalam vena jugularis interna. 11
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.
Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah
luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang
potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid
yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya
disebabkan akibat cedera kepala. 11
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk
kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan
menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak
juga diliputi oleh pia mater. 11
13
Gambar . Meningen
2.4.4 Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa
sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan)
terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan
rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan
serebellum.
2.4.6 Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang
infratentorial (berisi fosa kranii posterior).11
Perdarahan Otak
16
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk
sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam
dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar
dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.
2.5 PATOFISIOLOGI
Otak dan medulla spinalis terbungkus dalam tiga sarung membranosa
yang konsentrik. Membran yang paling luar tebal, kuat dan fibrosa disebut
duramater, membrane tengah tipis dan halus serta diketahui sebagai
arachnoidea mater, dan membrane paling dalam halus dan bersifat vaskuler
serta berhubungan erat dengan permukaan otak dan medulla spinalis serta
dikenal sebagai piamater. .11
Duramater mempunyai lapisan endosteal luar, yang bertindak sebagai
periosteum tulang – tulang kranium dan lapisan bagian dalam yaitu lapisan
meningeal yang berfungsi untuk melindungi jaringan saraf dibawahnya serta
saraf – saraf cranial dengan membentuk sarung yang menutupi setiap saraf
kranial. Sinus venosus terletak dalam duramater yang mengalirkan darah
venosa dari otak dan meningen ke vena jugularis interna dileher.
Pemisah duramater berbentuk sabit yang disebut falx serebri, yang terletak
vertical antara hemispherium serebri dan lembaran horizontal, yaitu tentorium
serebelli, yang berproyeksi kedepan diantara serebrum dan serebellum, yang
berfungsi untuk membatasi gerakan berlebihan otak dalam kranium.11
Arachnoidea mater merupakan membran yang lebih tipis dari
duramater dan membentuk penutup yang longgar bagi otak. Arachnoidea
mater menjembatani sulkus – sulkus dan masuk kedalam yang dalam antara
hemispherium serebri. Ruang antara arachnoidea dengan pia mater diketahui
sebagai ruang subarachnoidea dan terisi dengan cairan serebrospinal. Cairan
serebrospinal merupakan bahan pengapung otak serta melindungi jaringan
saraf dari benturan mekanis yang mengenai kepala. 11
17
Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena
18
jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil
sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan
pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena
yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum
gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi
perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan
terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut.
Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang
peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh
sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural
kronik3
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan
perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh
efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase
ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains
tekanan intra cranial yang cukup tinggi. Meskipun demikian pembesaran
hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui mekanisme
kompensasitersebut.
Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral
berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi
transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat
terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh
meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma subdural kronik,
didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu
dibandingkan dengan daerah otak lainnya. Terdapat 2 teori yang menjelaskan
terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari Gardner yang mengatakan
bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan meningkatkan
kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan
akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural
hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan
19
pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori
Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di
dalam subdural kronik ternyata hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel
darah merah. Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang
yangdapat mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor
angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural
kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan
vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari
koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari
fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya SDH. 10
Perdarahan Subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat
timbulnya gejala- gejala klinis yaitu: 3
1. Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma. Biasanya
terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan
perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran
dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi
melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi
hiperdens.
3. Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan
kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu
20
ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas,
bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural
apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan
darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati hati karena
hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan
sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik,
didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang
lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan
arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada
selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis
dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini
protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari
hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan
baru yang menyebabkan hematom.
Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap
cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan
menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma
subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada
gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens.
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam
tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural
akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan
subdural.
Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala
yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status
neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita
memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat
kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.Dengan
meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita
mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap
rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan
intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan
herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari
kompresi batang otak.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi
pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua
keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya
22
Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan
mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah
tertentu pada korteks serebri biasanya bertanggungjawab atas perilaku tertentu,
lokasi yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis kelainan yangterjadi.
23
dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu mengarahkan
posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya.
Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi
tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya
kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini disebut
apraksia) dan untuk menentukan arah kiri-kanan.
Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali
bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan
akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik (misalnya bentuk kubus atau
jam dinding). Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu
berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya. Lobus temporalis
mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan mengingatnya sebagai
memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami suara dan gambaran,
menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur
emosional.
Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya
ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri
menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari
dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya.
Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan
mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat
kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.
Mekanisme biasa yang menghasilkan hematoma subdural akut adalah
dampak berkecepatan tinggi ke tengkorak. Hal ini menyebabkan jaringan otak
untuk mempercepat atau memperlambat relatif terhadap struktur dural tetap,
merobekpembuluhdarah.
Seringkali, pembuluh darah robek adalah pembuluh darah yang
menghubungkan permukaan kortikal otak ke sinus dural (disebut vena
bridging). Pada orang lanjut usia, pembuluh darah bridging mungkin sudah
meregang karena atrofi otak (penyusutan yang terjadi dengan usia).
Atau, sebuah kapal kortikal, baik vena atau arteri kecil, bisa rusak oleh cedera
25
langsung atau laserasi. Sebuah hematoma subdural akut karena arteri kortikal
pecah dapat berhubungan dengan cedera kepala hanya kecil, mungkin tanpa
lukamemarotakterkait.
Telah menegaskan bahwa cedera otak utama yang terkait dengan hematoma
subdural memainkan peran utama dalam kematian. Namun, hematoma
subdural yang paling diperkirakan akibat dari vena bridging robek,
sebagaimana dinilai oleh operasi atau otopsi. Selain itu, tidak semua
hematoma subdural berhubungan dengan cedera parenkim difus. Seperti
disebutkan sebelumnya, banyak pasien yang menderita lesi ini mampu
berbicara sebelum kondisi mereka memburuk-skenario yang tidak mungkin
pada pasien yang mengalami kerusakan menyebar.
Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau
menghancurkan saraf, pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di
sekeliling otak. Bisa terjadi kerusakan pada jalur saraf, perdarahan atau
pembengkakan hebat. Perdarahan, pembengkakan dan penimbunan cairan
(edema) memiliki efek yang sama yang ditimbulkan oleh pertumbuhan massa
di dalam tengkorak. Karena tengkorak tidak dapat bertambah luas, maka
peningkatan tekanan bisa merusak atau menghancurkan jaringan otak.
Karena posisinya di dalam tengkorak, maka tekanan cenderung mendorong
otak ke bawah, otak sebelah atas bisa terdorong ke dalam lubang yang
menghubungkan otak dengan batang otak, keadaan ini disebut dengan
herniasi. Sejenis herniasi serupa bisa mendorong otak kecil dan batang otak
melalui lubang di dasar tengkorak (foramen magnum) kedalam medulla
spinalis. Herniasi ini bisa berakibat fatal karena batang otak mengendalikan
fungsi fital (denyut jantung dan pernafasan).
Cedera kepala yang tampaknya ringan kadang bisa menyebabkan
kerusakan otak yang hebat. Usia lanjut dan orang yang mengkonsumsi
antikoagulan, sangat peka terhadap terjadinya perdarahan di sekeliling otak.
Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif.
Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata
26
dan di belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran
hidung atau telinga. Pasien seperti ini harus di observasi dengan teliti. 12
Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat
dari cedera kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi
cedera kepala.
Gejala yang sering tampak : 6
Penurunan kesadaran, bisa sampai koma
Bingung
Penglihatan kabur
Susah bicara
Mual
Pusing
Berkeringat
Pucat
Sakit kepala
Mual
Kebingungan
Perubahan kepribadian
Penurunan tingkat kesadaran
Kesulitan berbicara
Perubahan lain dalam status mental
Gangguan penglihatan atau penglihatan ganda
Kelemahan
28
2.7 DIAGNOSIS
Adanya gejala neurologis merupakan langkah pertama untuk
mengetahui tingkat keparahan dari trauma kapitis. Kemampuan pasien dalam
berbicara, membuka mata dan respon otot harus dievaluasi disertai dengan
ada tidaknya disorientasi (apabila pasien sadar) tempat, waktu dan
kemampuan pasien
untuk membuka mata yang biasanya sering ditanyakan. Apabila pasiennya dalam
keadaan tidak sadar, pemeriksaan reflek cahaya pupil sangat penting
dilakukan.7
Anamnesis
berlanjut. Pada penderita sadar perlu ditanyakan ada tidaknya sakit kepala dan
mual, adanya kelemahan anggota gerak sesisi dan muntah-muntah yang tidak bisa
ditahan. Ditanyakan juga penyakit lain yang sedang diderita, obat-obatan yang
sedang dikonsumsi saat ini, dan apakah dalam pengaruh alkohol. 6
Pemeriksaan Fisik
adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya. Adanya trauma
langsung pada mata membuat pemeriksaan menjadi lebih sulit.
(yalescientific.org)
Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
b. Foto tengkorak
c. CT-Scan
31
Pemeriksaan CT scan adalah modalitas pilihan utama bila disangka terdapat suatu
lesi pasca-trauma, karena prosesnya cepat, mampu melihat seluruh jaringan otak
dan secara akurat membedakan sifat dan keberadaan lesi intra-aksial dan ekstra-
aksial. 2
Pada fase kronik lesi subdural menjadi hipodens dan sangat mudah dilihat
pada gambaran CT tanpa kontras. Sekitar 20% subdural hematom kronik bersifat
bilateral dan dapat mencegah terjadi pergeseran garis tengah. Seringkali,
hematoma subdural kronis muncul sebagai lesi heterogen padat yang
mengindikasikan terjadinya perdarahan berulang dengan tingkat cairan antara
komponen akut (hyperdense) dan kronis (hipodense).
(unipa.it)
1. Epidural Hematom
Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang
paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Perdarahan terjadi
diantara durameter dan tulang tengkorak. Perdarahan ini terjadi karena
terjadi akibat robeknya salah satu cabang arteria meningea media,
robeknya sinus venosus durameter atau robeknya arteria diploica.
Robekan ini sering terjadi akibat adanya fraktur tulang tengkorak. Gejala
yang dapat dijumpai adalah adanya suatu lucid interval (masa sadar
setelah pingsan sehingga kesadaran menurun lagi), tensi yang semakin
bertambah tinggi, nadi yang semakin bertambah tinggi, nadi yang semakin
bertambah lambat, hemiparesis, dan terjadi anisokori pupil.
Hematoma Subarachnoid
Perdarahan subarakhnoid terjadi karena robeknya pembuluh-pembuluh darah
di dalamnya.
2.9 PENATALAKSANAAN
Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan untuk pasien SDH,
tentu kita harus memperhatikan antara kondisi klinis dengan radiologinya.
Didalam masa mempersiapkan tindakan operasi, perhatian hendaknya ditujukan
kepada pengobatan dengan medikamentosa untuk menurunkan peningkatan
tekanan intrakrania (PTIK). Seperti pemberian manitol 0,25gr/kgBB, atau
furosemid 10 mg intravena, dihiperventilasikan. 2
Penderita SDH akut yang berada dalam keadaan koma tetapi tidak
menunjukkan peningkatan tekanan intrakranial (PTIK) yang bermakna
kemungkinan menderita suatu diffuse axonal injury. Pada penderita ini, operasi
tidak akan memperbaiki defisit neurologik dan karenanya tidak di indikasikan
untuk tindakan operasi.
Pada penderita SDH akut dengan refleks batang otak yang negatif dan
depresi pusat pernafasan hampir selalu mempunyai prognosa akhir yang buruk
dan bukan calon untuk operasi. 2
Tindakan Operasi
Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala-
gejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan
pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan
tindakan operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing dan
circulation (ABCs). Tindakan operasi ditujukan kepada:
(catalog.nucleusinc.org)
Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist
drill craniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak diterima untuk
perdarahan sub dural kronik adalah burr hole craniotomy. Karena dengan tehnik
ini menunjukan komplikasi yang minimal. Reakumulasi dari perdarahan subdural
kronik pasca kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika
pada pasien yang sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan perbaikan klinis,
38
reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah perlu untuk dilakukan operasi ulang
kembali.
dengan cara ini. Penggunaan teknik ini sebagai penatalaksanaan awal dari
perdarahan subdural kronik sudah mulai berkurang.
Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil
anisokor dengan refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis
merupakan tanda adanya penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana
sebagian besar disebabkan oleh adanya massa extra aksial. Indikasi Operasi, yaitu:
(catalog.nucleusinc.org)
Perawatan Pascabedah
Setelah operasipun kita harus tetap berhati hati, karena pada sebagian
pasien dapat terjadi perdarahan lagi yang berasal dari pembuluh darah yang baru
terbentuk, subdural empiema, irigasi yang kurang baik, pergeseran otak yang tiba-
41
Follow-up
2.10 Komplikasi
2.11 Prognosis
42
Pada penderita dengan perdarahan subdural akut yang sedikit (diameter <
1 cm), prognosanya baik. Sebuah penelitian menemukan bahwa 78% dari
penderita perdarahan subdural kronik yang dioperasi (burr-hole evacuation)
mempunyai prognosa baik dan mendapatkan penyembuhan sempurna. Perdarahan
subdural akut yang sederhana (simple SDH) ini mempunyai angka mortalitas lebih
kurang 20%.
DAFTAR PUSTAKA
Trauma.
2006
12. Tjandra, Joe; Clunie, Gordon. Textbook of Surgery. Blacwell publishing. 2006
13. Wim de jong; Sjamsuhidajat. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta : EGC.
2004