Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH HUMANIORA

”SHAME CULTURE”

KELOMPOK 4:

1. AWWAL AL-FAUZIA. N
2. PUTRI BELINDA PERMATASARI
3. NABILA FATHIYA
4. PERTIWI AGUSTINI

DOSEN PEMBIMBING :

SERILAILA,SKM, MPH

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN

KESEHATAN BENGKULU PRODI DIV KEBIDANAN

TAHUN AKADEMIK 2017/2018


DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................i

Daftar Isi ........................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang..........................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................1

1.3 Tujuan………….......................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian shame culture..........................................................................2

2.2 Ciri-ciri shame culture..............................................................................3

2.3 Faktor yang mempengaruhi shame culture……………………………..3

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan...............................................................................................6

3.2 Saran.........................................................................................................6

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................7
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang masih memberikan
kita kesehatan, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah ini dengan
judul “Shame Culture”
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah humaniora. Kami
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
kami dalam menyusun makalah ini. Kami juga berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.
Dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran yang sangat kami harapkan dari para
pembaca guna untuk meningkatkan dan memperbaiki pembuatan makalah pada tugas yang
lain dan pada waktu mendatang.

Bengkulu, 17 Oktober 2017


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada tahun 1948 Ruth Benedict seorang antroplog dalam bukunya yang berjudul The
Chrysanthemum and the Sword, memperkenalkan istilah Shame Culture (Budaya Malu).
Suatu bangsa yang menganut shame culture, orang akan terus melakukan
sesuatu perbuatan yang salah dan merasa nyaman saja dan akan merasa malu (shame)
jika diketahui orang lain. Menurut pandangan ini budaya malu (shame culture) adalah
kebudayaan dimana kata kata seperti “hormat”, “reputasi” , “nama baik”, “status”, dan
“gengsi” sangat ditekankan. Bila seseorang melakukan suatu kejahatan, hal ini tidak
dianggap sebagai sesuatu yang buruk begitu saja, tetapi boleh disembunyikan demi
kepentingan yang lebih besar. Malapetaka hanyalah terjadi bilamana kesalahan tersebut
diketahui oleh orang lain sehingga pelaku kehilangan muka.
Harus dihindarkan sekuat tenaga agar si pelaku jangan dicela atau dikutuk oleh orang
lain. Bukan perbuatan jahat itu sendiri yang dianggap penting; yang penting ialah bahwa
perbuatan jahat tidak akan diketahui. Dalam shame culture sanksinya datang dari luar,
yaitu apa yang dipikirkan atau dikatakan oleh orang lain. Kiranya, sudah jelas bahwa
dalam shame culture tidak ada nurani. Shame culture bersifat statis, ketinggalan di bidang
ekonomi, tidak memiliki norma-norma moral yang absolut, dan ditandai oleh “psikolog
massa”.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian shame culture?
2. Bagaimana cirri-ciri shame culture?
3. Apa saja faktor yang mempengaruhi terjadinya shame culture?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa pengertian shame culture
2. Untuk mengetahui ciri-ciri shame culture
3. Untuk mengetahui apa saja faktor yang mempengaruhi terjadinya shame culture
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Shame Culture

Budaya malu (shame culture) adalah kebudayaan dimana pengertian seperti “hormat”,
“reutasi”, “nama baik”, “status”, “prestise”, “pamor”, “pesona”, dan “gengsi” sangat
dijunjung tinggi. Shame culture seluruhnya ditandai oleh rasa malu dan di situ tidak dikenal
rasa bersalah. Dalam pengertian ini hal-hal yang berkaitan dengan formalitas sosial seperti
gengsi, nama baik, reputasi dan hormat menjadi sesuatu yang sangat ditekankan dan dibela
mati-matian. Bila seseorang melakukan suatu kejahatan, hal ini tidak dianggap sesuatu yang
buruk begitu saja, melainkan sesuatu yang harus disembunyikan untuk orang lain. Bahaya
yang paling besar terjadi adalah bilamana suatu kesalahan itu diketahui orang lain, sehingga
si pelaku menjadi kehilangan muka. Disini si pelaku akan berusaha sekuat tenaga agar si
pelaku jangan di cela atau di kutuk oleh orang lain. Bukan perbuatan jahat itu sendiri yang di
anggap penting akan tetapi yang lebih di pentingkan adalah perbuatan jahat itu tidak akan di
ketahui siapapun juga. Bila perbuatan jahat itu akhirnya di ketahui orang lain maka si
pelakunya menjadi ~malu". terbesar bagi masyarakat yang budayanya berada pada
level shame culture adalah jika aib yang menimpa pada diri mereka diketahui orang lain
sehingga harga dirinya jatuh dan kehilangan muka. Artinya, dalam masyrakat shame culture,
yang menjadi persoalan bukanlah kejahatan itu sendiri, melainkan yang penting adalah bahwa
perbuatan jahat itu tidak diketahui oleh orang lain. Dengan demikian, dalam shame
culture ini, sebuah sanksi datangnya dari sisi eksternal. Apa yang menjadi peniliaian dan
perhatian orang lain itulah yang menjadi sanksi.

Kasus shame culture yang terjadi di Indonesia yaitu, laporan KPK di intervensi, kasus
Century masih kabur, KPK dan Polisi saling berkelahi semuanya itu dilakukan demi
menyelamatkan yang namanya hormat”, “reputasi” , “nama baik”, “status”, dan “gengsi.

Suburnya korupsi di Indonesia, dalam kontek budaya Indonesia, adalah karena budaya kita
masih tergolong shame culture. Bahkan budaya malupun sekarang sudah mulai
terkikis.Akibatnya, apabila ada pejabat yang bertindak korup dirinya tidak menjadikan
kejahatan itu sebagai kegelisahan dan penyesalan yang sebenar-benarnya untuk tidak
diulangi. Skandal korupsi itu, dalam praktiknya, justru menjadi bangkai yang harus ditutup-
tutupi. Ketika sebuah skandal korupsi itu berhasil ditutup-tutupi, maka dalam kesadaran para
koruptor itu merasa seolah urusannya beres dan selamat. Karena yang terpenting adalah
sebuah tindakan korup itu tidak diketahui oleh publik, maka para koruptor itu enak saja
melakukan tindakan korupnya tanpa merasa berdosa

2.2 Ciri-ciri Shame Culture

1. Ditandai rasa malu


2. Menjunjung tinggi kehormatan, reputasi, nama baik, status, pesona dan gengsi.
3. Menyembunyikan suatu tindak kejahatan dari orang lain.
4. Sanksi datang dari luar, yaitu dicemooh, dijauhi dan dijudge oleh orang lain
sehingga reputasi dan nama baiknya jatuh atau tercemar
5. Hati nurani tidak berperan

2.3 Faktor yang mempengaruhi terjadinya Shame Culture

1. Ego. Hakikatnya manusia memiliki rasa kejiwaan yang baik, tetapi hal itu bisa
saja menyimpang dikarenakan beberapa faktor dan salah satunya ego, Ego adalah
aspek psikologis dari kepribadian yang timbul karena kebutuhan manusia untuk
berhubungan secara baik dengan dunia kenyataan. Dalam shame culture ego lebih
mementingan kepuasan pribadi dengan segala cara berusaha mempertahankan
posisi, kedudukan, dan kekuasaan.

2. Kurangnya kesadaran dan menunjukkan moral dan etika yang baik. Moral dan
Etika sangat melekat pada diri setiap manusia, hal itu merupakan ajaran yang baik
dan buruk perbuatan dan kelakuan (akhlak). Etika, berarti uraian (pandangan,
ajaran) tentang perbuatan dan kelakuan yang baik.

3. Tidak amanah. Segala sesuatu yang dibebankan kepada manusia harus dipegang
dan dilaksanakan dengan baik.

4. Tidak adanya rasa bersalah di dalam diri karena dibentengi oleh reputasi, hormat,
gengsi, dan harga diri.
5. Tidak menanaman rasa malu sejak usia dini. Penanaman rasa malu di masyarakat
dimulai pada usia yang sangat muda, dan berfungsi sebagai cara untuk
mengendalikan individu sejak masa kanak-kanak untuk selalu berbuat baik.
Semakin tinggi rasa malu seseorang semakin tinggi pula tingkat kontrol psikologis
untuk tidak melakukan kejahatan

6. Ketakutan akan pengasingan/ pengucilan adalah dasar dari budaya malu. Manusia,
pada dasarnya adalah makhluk sosial yang mendambakan perhatian dan interaksi
pada tingkat dasar.

7. Tidak adanya moral malu untuk membatasi tingkah laku agar terhindar dari
situasi-situasi konflik yang dapat membuat tindak kejahatan.
8. Tidak taatnya pada norma-norma hukum.

9. Tidak takutnya kepada Tuhan Yang Maha Mengetahui yang diyakini selalu
mengontrol dirinya dan segala perbuatannya sehingga tidak melanggar hukum
secara sembunyi-sembunyi.

10. Hobi berbohong.

11. Tidak jujur dan bermoral.

12. Lemahnya sanksi moral di tengah masyarakat tehadap koruptor. Lihatlah realitas
di masyarakat para koruptor kakap justru dipuji dan ditokohkan dalam
masyarakat. Bagaimana tidak, karena koruptor biasanya dermawan ditengah
masyarakat, dari donatur terbesar tempat ibadah, donatur utama panti asuhan,
donatur tetap perayaan sosial di lingkungannya dan lain-lain sebagainya. Artinya
di satu sisi masyarakat membenci korupsi, tapi di sisi yang lain mereka amat
menghargai, menghormati bahkan membutuhkan koruptor. Tak kalah pentingnya
para koruptor di tengah masyarakat pada umumnya teramat lihai menarik simpati.
13. Munafik dan penuh pertimbangan moral dalam memberi sanksi social. Seandainya
masyarakat kita adalah masyarakat yang tidak munafik, sudah barang pasti tidak
akan menerima uluran tangan dan bantuan dari para koruptor, bahkan
mengisolirnya dari pergaulan social. Sanksi sosial yang tampak sederhana ini
dipastikan akan mampu meminimalisir perilaku tindak pidana korupsi.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Shame culture adalah kebudayaan dimana pengertian seperti “hormat”, “reutasi”,
“nama baik”, “status”, “prestise”, “pamor”, “pesona”, dan “gengsi” sangat
dijunjung tinggi. Shame culture seluruhnya ditandai oleh rasa malu dan di situ
tidak dikenal rasa bersalah. Dalam pengertian ini hal-hal yang berkaitan dengan
formalitas sosial seperti gengsi, nama baik, reputasi dan hormat menjadi sesuatu
yang sangat ditekankan dan dibela mati-matian. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi shame culture adalah Kurangnya kesadaran dan menunjukkan moral
dan etika yang baik, Tidak adanya rasa bersalah di dalam diri karena dibentengi
oleh reputasi, hormat, gengsi, dan harga diri, Tidak takutnya kepada Tuhan Yang
Maha Mengetahui yang diyakini selalu mengontrol dirinya dan segala
perbuatannya sehingga tidak melanggar hukum secara sembunyi-sembunyi.

3.2 Saran

Budaya malu tidak memiliki hati nurani. Oleh karena itu marilah kita hapuskan
budaya malu demi pribadi yang lebih baik lagi, terutama pada mahasiswa budaya
malu harus dibuang jauh-jauh dan jangan diterapkan dalam diri dan kehidupan sehari-
hari.
DAFTAR PUSTAKA

http://www.kaskus.co.id/thread/5208751bfeca17c26e000006/shame-and-guilt-culture

https://ismirajiani.wordpress.com/2012/10/25/shame-culture-budaya-malu-guilt-culture-
budaya-bersalah-or-no-culture/.

http://hidayatynurul.blogspot.co.id/2015/10/shame-culture-and-guilt-culture.html.

Anda mungkin juga menyukai