Psikologi politik
Dosen Pembimbing
BATUSANGKAR
2021
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan anugrah dari-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah tentang “budaya malu dan krisis
kepemimpinan” ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
junjungan besar kita, Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita
semua jalan yang lurus berupa ajaran agama islam yang sempurna dan menjadi
anugrah terbesar bagi seluruh alam semesta.
Penulis sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah yang menjadi
tugas psikologi politik “budaya malu dan krisis kepemimpinan”. Disamping itu, kami
mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis
selama pembuatan makalan ini berlangsung sehingga dapat menyelesaikan makalah
ini.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca. Penulis mengharapkan kritik dan saran terhadap
makalah ini agar kedepannya dapat penulis perbaiki. Karena kami sadar, makalah
yang kami buat ini masih banyak terdapat kekurangannya.
Penulis
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………………………i
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………ii
DAFTAR ISI……...……………………………………………………………………....iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………………………………………………………..4
B. Rumusan Masalah……………………………………………………….……4
BAB II PEMBAHASAN
A. Budaya Malu (shame culture………….……………………………………...5
B. Krisis Kepemimpinan…………………………………………………………8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………...…………………..13
DAFTAR KEPUSTAKAAN
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
kepatuhan hukum terdegradasi ke level " identification" karena warga masyarakat
mentaati hukum hanya karena ingin menyesuaikan diri dengan kelompok atau otoritas
yang berkuasa, bukan karena tuntutan moral yang mewajibkan ketaatan pada norma-
norma hukum karena dianggap sesuai dengan nilai dan norma yang dianutnya,
idealnya ketaatan warga masyarakat pada nilai dan norma sudah melembaga yang
biasa disebut sebagai instilulionalization
Sedangkan ketaatan pada nilai dan norma yang sudah mendarah daging
disebut sebagai internalization dalam arti malu pada diri sendiri dan kepada Tuhan
Yang Maha Mengetahui yang diyakini selalu mengontrol dirinya dan segala
perbuatannya sehingga tidak melanggar hukum secara sembunyi-sembunyi.
Dalam tingkat kesadaran moral dan kesadaran hukum yang ditentukan oleh
penilaian publik akan sulit upaya pemberantasan korupsi kecuali kalau korupsi
dianggap sesuatu yang memalukan dan bukan membanggakan maka ia akan berhenti
dari perbuatan-perbuatan tersebut Oleh karena itu perlu dipikirkan cara lain dalam
memandang korupsi dalam konteks budaya. yakni perlu sosialisasi dan provokasi
yang menumbuhkan rasa malu untuk korupsi. Hal ini tidak lepas dari nilai-nilai sosial
budaya yang berlaku dalam masyarakat kita.
Pertanyaan kritisnya, mengapa korupsi dibenci tapi tetap saja marak dilakukan
banyak orang di negeri ini? Banyak faktor yang melingkari diantaranya ialah:
Pertama, nihilnya budaya rasa malu korupsi, padahal malu merupakan terapi
psikologis untuk menurunkan derajat korupsi. Semakin tinggi rasa malu seseorang
semakin tinggi pula tingkat kontrel psikologis untuk takut korupsi. Dalam hal ini kita
dapat belajar dari budaya Jepang yang mengunggulkan budaya rasa malu sebagai cara
mengangkat derajat bangsa menjadi bangsa yang unggul di atas bangsa-bangsa yang
lain.
Menurut laporan News Week pada tahun 2002 yang lalu sedikitnya 30.000
orang Jepang mati dengan jalan bunuh diri dan diduga keras penyebab tingginya
angka itu adalah faktor "malu". Kedua, lemahnya sanksi moral di tengah masyarakat
tehadap koruptor.
Untuk menumbuh kembangkan rasa malu korupsi dari segi budaya dapat di
wujudkan dalam bentuk yang sederhana, yakni: periunya mewujudkan "budaya
solidaritas anti korupsi" sebagai bentuk rasa cinta negara Indonesia (nasionalisme)
yaitu perlu menggelorakan slogan-slogan reflektif anti korupsi misalnya: "koruptor
adalah penjajah", "koruptor adalah teroris", "koruptor tidak beriman" dan lain-lain.
6
Sosialisasi gagasan ini penting dilakukan dan diindoktrinasikan kedalam semua level
masyarakat terutama lembaga-Iembaga pendidikan formal maupun informal dari
pendidikan dasar, menengah dan perguruan tinggi sebagai bagian dari mewujudkan
nilai-nilai nasionalisme di era kekinian.
7
B. Krisis Kepemimpinan
Salah satu difinisi kepemimpinan yang jelas dan cukup luas dikemukakan oleh
Henri Peyre, 3 seorang kritikus Perancis: ”Kepemimpinan adalah cita-cita agung yang
dikemukakan oleh budaya suatu bangsa yang diserapkan perlahan-lahan kepada
generasi mudanya lewat keluarga, pendidikan, suasana intelektual, kepustakaan,
sejarah dan pengajaran akhlak, sehingga menimbulkan kekuatan, kepekaan atas
pikiran jernih, kemampuan menjajagi emosi, menangkap dan mewakili aspirasi
masyarakatnya digabung dengan pengendalian emosi tanpa kepura-puraan menjadi
unsur kekuatan pribadi untuk menggerakan bangsanya.”
1. Lembaga ataupun organisasi selalu berubah menurut jalan-jalan yang sukar dilalui
pemimpinnya. Adanya istilah ganti pimpinan ganti masakan, hal itu menunjukkan
tidak adanya konsistensi jalannya organisasi.
2. Para pendidik meragukan tujuan sosial dan kaum intelektual dibatasi peranannya
untuk ikut serta membangun kader-kader pimpinan bangsa melalui kampus secara
nyata. Pembatasan, pengawasan terhadap berbagai kegiatan mahasiswa dari aparat
intelijen justru menimbulkan perasaan curiga pada generasi muda kepada para
pengelola negara.
4. Politik mulai disalah tafsirkan sebagai karier yang menjanjikan. Karenanya sering
dikotori dengan hukum ketenaran dan kebiasaan melakukan money politics yang
membuat kaderisasi kepemimpinan dalam partai-partai politik tidak terarah pada
upaya membangun kualitas diri pemimpin yang bermoral justru akan berorientasi
pada material.
8
5. Calon pemimpin sering dikotori dengan hukum ketenaran. Masa kini setiap orang
dapat menjadi tenar, paling tidak 15 menit. Tetapi over axposure atau pujian-pujian
yang terlalu pagi itu akan mambakar bajat-bakat baru dengan cepat, dan akibatnya
masyarakat cepat bosan, inspirasi kemasyrakatan dari pemimpin dipandang rendah
bahkan disertai syak wasangka dan rasa curiga.
1. Kesadaran agama sangat rendah Agama merupakan pondasi dasar dalam diri setiap
manusia.
Jika manusia pondasinya tidak kokoh dalam arti agamanya rendah maka
dengan mudah dapat terpengaruh oleh hal-hal yang melanggar norma keagamaan. Itu
terjadi pada para pemimpin kita, jika agama mereka kuat maka mereka tidak akan
melanggar norma-norma agama, sehingga penyelewenganpenyelewengan tidak akan
terjadi pada seorang pemimpin. Dan masyarakatpun tidak merasakan kesengsaraan.
Pada dasarnya sangat banyak anakanak bangsa ini yang pandai dan cerdas,
memiliki integritas tinggi, namun karena kurangnya rasa percaya diri tersebut mereka
menjadi terlalu pasif, hanya diam atas semua yang telah terjadi seperti saat ini. Dan
akhirnya yang gila kekuasaanlah yang sekarang berdiri di kursi pemerintahan.
Bisa dibuktikan dari banyaknya kasus KKN, seolah tidaka ada 4 habisnya.
Pemimpin negara saling beradu mulut dalam menyelesaikan masalah. Sungguh betapa
boboroknya moral bangsa Indonesia saat ini.
4. Proses seleksi kurang ketat Kurang transparannya proses seleksi para calon
pemimpin jug menjadi persoalan yang memicu terjadinya krisis kepemimpinan.
9
Peraturan KPU No.5 tahun 2004 menyatakan bahwa seorang calon presiden dan wakil
presiden harus Takwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan tidak boleh berhianat
terhadap negara, tetapi fakta sebenarnya banyak pemimpin yang melanggar.
5. Hukum yang masih rendah Ada beberapa orang mengatakan hukum di Indonesia
dapat dengan mudah dibeli.
2. Dapat memimpin dirinya sendiri Seseorang harus bisa memimpin dirinya sendiri
sebelum memimpin orang orang lain.
10
Penyelesaina dari rendahnya moral para pemimpin ini dengan menggunakan
prinsip al akhlaqul karimah. Prinsip ini meliputi ash shidqu (benar), al wafa bil’ahd
(tepat janji), ta’awun (tolong menolong), al’adalah (keadilan), istiqamah (konsisten).
Hukum di Indonesia harus diperbaiki, agar menimbulkan efek jera bagi para
pelanggarnya. Selain itu peraturan akan syarat-syarat sebagai pemimpin hendaknya
dikaji ulang sehingga muncul seorang pemimpin yang sesuai dengan karakter bangsa
ini dan tentunya mampu menyelesaikan permasalahan yang kompleks ini.
11
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Budaya malu (shame culture) Dalam konsep shame culture seluruhnya ditandai oleh
rasa malu dan disitu tidak dikenal rasa bersalah. Menurut pandangan ini "budaya
malu" ( shame culture) adalah kebudayaan dimana pengertian seperti "hormat",
reputasi" "nama baik", '''status'' dan "gengsi" sangat ditekankan. Perasaan malu
muncul saat seseorang merespon suatu hal danbersifat (konsisten), menyeluruhkepada
dirinya yang menyebabkan munculnya perasaan negatif secara umum, sementara itu
perasaan bersalah muncul merespon sebuah perilaku yang spesifik tertentu sehingga
mengakibatkan munculnya perasaan tidak enak dalam diriterhadap tindakan yang
dilakukan (Cohen et al. 2011: 4).
2. Krisis Kepemimpinan
12
4. Politik mulai disalah tafsirkan sebagai karier yang menjanjikan.
5. Calon pemimpin sering dikotori dengan hukum ketenaran.
DAFTAR PUSTAKA
http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/viewFile/153/91
13