Anda di halaman 1dari 59

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI 1994), keluarga terdiri

dari ayah, ibu dan anak (keluarga inti). Lingkungan keluarga memberikan

pengaruh besar terhadap perkembangan jiwa anak. Keluarga merupakan unit

sosial terkecil yang memberikan pondasi primer bagi perkembangan anak.

Sedang lingkungan sekitar dan sekolah hanya memberikan nuansa pada

perkembangan anak. Karena itu baik buruknya struktur keluarga dan

masyarakat sekitar memberikan pengaruh baik atau buruknya pertumbuhan

kepribadian anak.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional atau BKKBN

(1992) mengemukakan bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat

yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dengan

anaknya, atau ibu dengan anaknya.

Keluarga adalah unit atau satuan masyarakat terkecil yang sekaligus

merupakan suatu kelompok kecil dalam masyarakat. Kelompok ini dalam

hubungannya dengan perkembangan individu sering dikenal dengan sebutan

primary group. Kelompok inilah yang melahirkan individu dengan berbagai

macam bentuk kepribadiannya dalam masyarakat.

1
2

Keluarga mempunyai 4 karakteristik yang memberi kejelasan tentang konsep

keluarga.

1. Keluarga terdiri dari orang-orang yang bersatu karena ikatan perkawinan,

darah atau adopsi. Yang mengikat suami dan istri adalah perkawinan, yang

mempersatukan orang tua dan anak-anak adalah hubungan darah

(umumnya) dan kadang-kadang adopsi.

2. Para anggota suatu keluarga biasanya hidup bersama-sama dalam satu

rumah dan mereka membentuk suatu rumah tangga (household), kadang-

kadang satu rumah tangga itu hanya terdiri dari suami istri tanpa anak-anak,

atau dengan satu atau dua anak saja.

3. Keluarga itu merupakan satu kesatuan orang-orang yang berinteraksi dan

saling berkomunikasi, yang memainkan peran suami dan istri, bapak dan

ibu, anak laki-laki dan anak perempuan.

4. Keluarga itu mempertahankan suatu kebudayaan bersama yang sebagian

besar berasal dari kebudayaan umum yang lebih luas.

Dalam bentuknya yang paling dasar sebuah keluarga terdiri atas seorang

laki-laki dan seorang perempuan, dan ditambah dengan anak-anak mereka yang

belum menikah, biasanya tinggal dalam satu rumah, dalam antropologi disebut

keluarga inti. satu keluarga ini dapat juga terwujud menjadi keluarga luas

dengan adanya tambahan dari sejumlah orang lain, baik yang kerabat maupun

yang tidak sekerabat, yang secara bersama-sama hidup dalam satu rumah

tangga dengan keluarga inti.


3

Koentjaraningrat membedakan 3 macam keluarga luas berdasarkan bentuknya:


1. Keluarga luas utrolokal, berdasarkan adapt utrolokal, terdiri dari keluarga
inti senior dengan keluarga-keluarga batih atau inti anak laki-laki
maupun anak perempuan.
2. Keluarga luas viriolokal, berdasakan adapt viriolokal, terdiri dari satu
keluarga inti senior dengan keluarga-keluarga inti dari anak-anak lelaki.
3. Keluarga luas uxorilokal, berdasarkan adapt uxorilokal, terdiri dari satu
keluarga inti senior dengan keluarga-keluarga batih atau inti anak-anak
perempuan.
Menurut Khairuddin (1997) keluarga sebagai berikut:
a. Keluarga merupakan kelompok sosial kecil yang umumnya terdiri dari
ayah, ibu, dan anak.
b. Hubungan sosial diantara anggota keluarga relatif tetap dan berdasarkan
atas ikatan darah, perkawinan, dan atau adopsi.
c. Hubungan antar anggota keluarga dijiwai oleh suasana kasih sayang dan
rasa tanggung jawab.
d. Fungsi keluarga ialah merawat, memelihara dan melindungi anak dalam
rangka sosialisasinya agar mereka mampu mengendalikan diri dan
berjiwa sosial.
. Menurut Kartono (1977) mengemukakan keluarga merupakan persekutuan

hidup primer dan alami di antara seorang wanita, yang dekat dengan tali

pekawinan dan cinta kasih.

Reisner (1980) mengemukakan keluarga adalah sebuah kelompok yang terdiri

dari dua orang atau lebih yang masing-masing mempunyai hubungan

kekerabatan yang terdiri dari bapak, ibu, adik, kakak, kakek dan nenek.

Logan’s (1979) mengemukakan bahwa keluarga adalah sebuah sistem sosial

dan sebuah kumpulan beberapa komponen yang saling berinteraksi satu sama

lain.
4

Gillis (1983) mengemukakan bahwa keluaraga adalah sebuah kesatuan yang

kompleks dengan atribut yang dimiliki tetapi terdiri dari beberapa komponen

yang masing-masing mempunyai arti sebagaimana unit individu.

Duvall mengemukakan bahwa keluarga merupakan sekumpulan orang yang

dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi, kelahiran yang bertujuan untuk

meningkatkan dan mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan

perkembangan fisik, mental, emosional dan sosial dari tiap anggota.

Bailon dan Maglaya berpendapat bahwa keluarga adalah kumpulan dua orang

atau lebih individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan, atau

adopsi, hidup dalam satu rumah tangga, saling berinteraksi satu sama lainnya

dalam perannya, menciptakan dan mempertahankan suatu budaya.

Johson’s (1992) mengemukakan bahwa keluarga adalah kumpulan dua orang


atau lebih yang mempunyai hubungan darah yang sama atau tidak, yang
terlibat dalam kehidupan yang terus menerus, yang tinggal dalam satu atap,
yang mempunyai ikatan emosional dan mempunyai kewajiban antara satu
orang dengan orang yang lainnya.

Lancester dan Stanhope (1992) mengemukakan bahwa keluarga adalah dua


atau lebih individu yang berasal dari kelompok keluarga yang sama atau yang
berbeda dan saling mengikut sertakan dalam kehidupan yang terus menerus,
biasanya bertempat tinggal dalam satu rumah, mempunyai ikatan emosional
dan adanya pembagian tugas antara satu dengan yang lainnya.
Jonastik dan Green (1992) mengemukakan bahwa keluarga adalah sebuah

sistem yang saling tergantung, yang mempunyai dua sifat (keanggotaan dalam

keluarga dan berinteraksi dengan anggota yang lainnya).


5

Bentler et. Al (1989) mengemukakan bahwa keluarga adalah sebuah kelompok

sosial yang unik yang mempunyai kebersamaan seperti pertalian darah atau

ikatan keluarga, emosional, memberikan perhatian atau asuhan, tujuan orientasi

kepentingan dan memberikan asuhan untuk berkembang.

National Center For Statistic (1990) mengemukakan bahwa keluarga adalah

sebuah kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang berhubungan

dengan kelahiran, perkawinan atau adopsi dan tinggal bersama dalam satu

rumah.

Spradley dan Allender (1996) mengemukakan bahwa keluarga adalah satu atau

lebih individu yang tinggal bersama, sehingga mempunyai ikatan emosional,

dan mengembangkan dalam interelasi sosial, peran dan tugas.

Keluarga menurut Parsons (Herien, 2009) , keluarga diibaratkan sebuah hewan


berdarah panas yang dapat memelihara temperatur tubuhnya agar tetap
konstan walaupun kondisi lingkungan berubah, Parsonian tidak menganggap
keluarga adalah statis atau tidak dapat berubah. Menurutnya, keluarga selalu
beradaptasi secara mulus menghadapi perubahan lingkungan. Kondisi ini
disebut ”keseimbangan dinamis”1.

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas beberapa

orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam

keadaan saling ketergantungan. Keluarga merupakan wadah pembentukan

pribadi anggota keluarga terutama untuk anak-anak yang sedang mengalami

pertumbuhan fisik dan rohani. Dengan demikian kedudukan keluarga sangat

fundamental dan mempunyai peranan yang vital bagi pendidikan seorang

1
Tumanggor, Rusmin dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta : Kencana. 2010
6

anak, secara potensial dapat membentuk pribadi anak atau seseorang untuk

hidup secara lebih bertanggung jawab. Tetapi apabila usaha pendidikan dalam

keluarga itu gagal, akan terbentuk seorang anak yang cenderung melakukan

tindakan kenakalan dalam masyarakat dan sering menjurus kepada tindakan

kejahatan atau kriminal2.

Keluarga merupakan lingkungan sosial utama yang dapat membentengi

anak-anak dari pengaruh negatif diluar rumah, karena keluarga adalah tempat

anak berlindung dari hal negatif yang dapat merusak perkembangannya.

Keluarga menjalankan peranan sebagai suatu sistem sosial yang dapat

membentuk karakter serta morak anak. Keluarga tidak hanya sebuah wadah

tempat berkumpulnya ayah, ibu, dan anak. Berawal dari keluarga segala

sesuatu berkembang. Keluarga merupakan payung kehidupan bagi seorang

anak. Keluarga merupakan tempat ternyaman bagi anak.

Keluarga adalah dua orang atau lebih yang tinggal bersama dan

mempunyai hubungan darah, yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di

bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan

Secara tertulis di Kitab Amsal 4: 1- 3 “Dengarlah, hai anak-anak,


didikan seorang ayah, dan perhatikan supaya engkau beroleh
pengertian, karena aku memberikan ilmu yang baik kepadamu;
janganlah meninggalkan petunjukku. Karena ketika aku tinggal di
rumah ayahku sebagai anak, lemah dan sebagai anak tunggal bagi
ibuku, aku diajari ayahku, katanya kepadaku; Biarlah hatimu
memegang perkataanku; berpeganglah pada petunjuk-petunjukku,
maka engkau akan hidup”.

2
Y. Bambang Mulyono, Pendekatan Analisis Kenakalan Remaja dan Penanggulangannya
(Yogyakarta: Kanisius, 1984), Hal 26
7

Berdasarkan nast Alkitab di atas mengatakan bahwa ayah itu mendidik dan

memberikan ilmu untuk anak-anak, supaya anak-anaknya tetap memelihara

nasehat dari ayah sampai kapanpun.

Faktor yang menjadi penyebab terjadi perceraian adalah pertama adanya

disorientasi tujuan suami istri dalam membangun mahligai rumah tangga,

kedua faktor kedewasaan yang mencakup intelektual, emosionalitas, dan

kemampuan mengelola dan mengatasi berbagai masalah keluarga, ketiga

pengaruh perubahan dan norma yang berkembang di masyarakat. Akibat

perceraian anak mengalami sakit dan kecewa terhadap orang tua dan

bahkan menyalahkan Tuhan mengapa ini terjadi dalam hidupnya. Dari hasil

observasi anak yang Broken Home akibat orang tua yang bercerai. Anak

kehilangan figur seorang ayah ataupun ibu, anak akan minder dan sulit di

atur, karena anak merasa tidak ada lagi yang perlu di percaya dan di hargai,

anak yang mengalami Broken Home akan memberontak terhadap keluarga.

persoalan dapat dipecahkan. Hal utama yanag perlu diperhatikan adalah

adanya pengharapan.

Berdasarkan observasi yang penulis lakukan di GBI Gilgal 5 orang

anak yang Broken Home. Salah seorang dari mereka mengatakan bahwa

orang tuanya sudah bercerai sejak dia masih di Sekolah Dasar. Hal ini

membuat dia kehilangan sosok seorang ayah. Dia cenderung menyalahkan

keadaan keluarga mereka yang berantakan. Terkadang dia juga merasa

malu jika bergaul dengan orang lain dan cenderung diam dan tidak mau

bergaul dengan orang lain dan akibat keluarga yang kurang harmonis.
8

Anak yang pertama mengatakan bahwa dalam keluarga ia mendapat

kasih sayang dari mamah dan keluarganya, tetapi satu hal yang dia tidak

merasakan yaitu sosok ayah dalam dalam keluarganya. Dia sering malu

jika bertemu dengan teman di sekolah, yang sering cerita di bawah ayah

pergi berlibur dan rekreasi. Ini yang membuat dia malu dengan teman

yang lain, bahkan cenderung menyendiri dan tidak mau berteman dengan

yang lain, anak ini sering ikut balapan liar dan minum-minuman keras

sama teman-temannya. Akibat perceraian orang tua anak ini kehilangan

sosoh ayah yang seharus menyanyangi dan mendidik dia dalam keluarga,

apa boleh buat ini kenyataan yang harus dia terima.

Anak yang kedua mengatakan dia benci sama ayah dan dia dendam

sama ayahnya, bahkan dia benci untuk mengatakan sayang kepada ayah,

bahkan dia menyalahkan keadaan kenapa harus seperti ini terjadi dalam

hidupnya, bahkan dia menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi dalam

keluarganya, namun setelah dia mulai aktif dalam ibadah umum dan mulai

melayani di ibadah pemuda membuat dia berubah. Sekarang dia tidak

membenci ayahnya lagi, tetapi dia ihklas dan bisa menerima keadaannya

yang hidup tanpa sosok ayah dalam keluarga, dia tidak punya rasa sakit

hati dan dendam lagi sama ayahnya, tetapi sekarang dia bersyukur dengan

apa yang terjadi dalam kehidupan, mengajarkan apa arti sebuah kehidupan,

dan dorongan dari mamah yang selalu membuat dia mampu menjalani

kehidupan seperi anak lainnya, meskipun tanpa kehadiran sosok ayah

dalam hidupnya. Bahkan dia merasa hidupnya sekarang lebih baik tanpa
9

ada rasa malu dan menyalahkan keluarga. Karena dia mengatakan apa

yang terjadi dalam keluarganya adalah rencana Tuhan untuk keluarganya

untuk lebih dekat dan mempunyai hubungan yang erat sama Tuhan..

Kenyataan yang di alami 5 anak yang Broken Home tidak bisa

dibiarkan begitu saja, tetapi perlu penanganan dan pelayanan yang khusus

dari pihak gereja. Dalam hal ini gembala sebagai orang yang di percaya

untuk mengajar dan mendidik jemaat untuk lebih baik dalam menjalani

kehidupan sehari-hari. Sejauh ini, di GBI Gilgal Palangka Raya gembala

jemaat sudah sudah melaksanakan pelayanan Konseling Pastoral terhadap

anggota jemaat yang ada namun, pelayanan Konseling Pastoral secara

khusus terhadap yang Broken Home masih belum maksimal.

Mengetahui kenyataan seperti yang dipaparkan di atas masih belum

maksimal, berdasarkan latar belakang dan skripsi ini, penulis mengangkat

judul Konseling Pastoral terhadap anak yang Broken Home di jemaat GBI

Gilgal Palangka Raya jalan Bukit Raya No.81 C.

Pelayanan yang di lakukan gembala masih kurang maksimal dalam

melaksanakan pelayanan pastoral konseling secara maksimal khususnya di

jemaat GBI Gilgal Palangka Raya ada beberapa anak muda yang Broken

Home. Oleh sebab itu, perlu bagi gembala dan pekerja di gereja untuk

memperhatikan anak yang mengalami Broken Home. Karena anak yang

mengalami Broken Home butuh kasih sayang, perhatian dan bimbingan

rohani, tampaknya mereka belum mendapatkan pelayanan secara khusus

konseling pastoral. Karena konseling pastoral adalah satu bentuk


10

kepedulian, dengan melaksanakan konseling pastoral kepada anak yang

mengalami Broken Home di GBI Gilgal Palangka Raya dalam mencegah

terjadi pemberontakan anak terhadap keluarga.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan

menjadi pembahasan dalam proposal ini, yaitu:

1. Bagaimanakah pelaksanaan konseling pastoral pada anak yang Broken

Home di GBI Gilgal Palangka Raya?

2. Faktor-faktor apakah yang mendukung dan menghambat pelaksanaan

Konseling Pastoral?

C. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan tentang pelaksanaan Konseling Pastoral terhadap anak

Broken Home di GBI Gilgal Palangka Raya.

2. Menjelaskan tentang faktor-faktor yang menghambat dan faktor

penghambat pelaksanaan Konseling Pastoral.

D. Manfaat Penulisan

1. Teoritis

Secara teoritis, penulisan ini bermanfaat untuk memberikan

sumbangan pemikiran maupun sebagai bahan referensi bagi gembala

sidang, majelis gereja dan para pelayanan Tuhan yang berkecimpung

dalam pelayanan gerejawi dan Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri

(STAKN) Palangka Raya khususnya jurusan Teologi Kristen. Selain itu


11

penelitian ini dapat membuka wawasan pemikiran bagi mahasiswa dan

lembaga para peneliti tentang konseling pastoral terhadap anak yang

Broken Home. Sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa Sekolah Tinggi

Agama Kristen Negeri (STAKN) Palangka Raya untuk pembuatan

Proposal selanjutnya.

2. Praktis

a. Bagi Institusi Pendidikan

Secara praktis, tulisan ini bermanfaat bagi para pelayan Tuhan

(Gembala) dalam menerapkan pelayanan Konseling Pastoral bagi anak,

yang berasal dari keluarga Broken Home.

b. Bagi Gereja

Secara praktis bagi gembala, pekerja dan pelayan Tuhan di GBI Gilgal

dalam melaksanakan konseling pastoral terhadap anak yang Broken

Home.

E. Pembatasan Masalah

Membatasi penelitian ini tidak terlalu luas, maka peneliti membatasi dalam

pembahasan pada penelitian ini yaitu: Konseling Pastoral terhadap anak yang

Broken Home di Jemaat GBI Gilgal Palangka Raya.


12

F. Definisi Istilah

1. Konseling Pastoral
Konseling pastoral dalam bahasa Yunani paramuhteo yang artinya

berbicara akrab. Konseling pastoral adalah percakapan antara konselor

(pendeta) dengan konseli atau kliennya, dimana konselor mencoba

membimbing konselinya ke dalam suasana percakapan konseling yang

ideal yang memungkinkan konseli tersebut dapat mengenal dan mengerti

apa yang sedang terjadi dalam dirinya, persoalan yang sedang ia hadapi,

kondisi hidupnya dan mengapa ia merespons semua itu dengan pola pikir,

perasaan, dan sikap tertentu. Dengan begitu, dengan kesadaran yang

semakin meningkatkan, ia mulai belajar untuk melihat tujuan hidupnya

dalam relasi dan tanggung jawabnya pada Tuhan dan mencoba mencapai

tujuan itu dengan takaran, kekuatan dan kemampuan seperti yang sudah

diberikan kepadanya3.

2. Broken Home
Istilah broken home biasanya digunakan untuk menggambarkan

keluarga yang berantakan dan biasanya anak-anak yang Broken Home

biasanya dikaitkan karena kelalaian orang tua dalam mengurus anaknya

atau keluarganya. Namun, Broken Home bisa juga diartikan dengan

kondisi keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga

yang rukun, damai dan sejahtera karena sering terjadi keributan serta

perselisihan yang menyebabkan pertengkaran dan berakhir dengan

perceraian. Kondisi inilah yang bisa dibilang menjadi pemicu dan

3
Yakub B. Susabda, Konseling Pastoral.(Jakarta: BPK Gunung Muli, 2014), Hal 6
13

membuat anak menjadi murung, sedih yang berkepanjangan serta malu

karena orang tuanya telah bercerai dan yang paling parah bisa membuat

mereka melakukan hal-hal negatif seperti mulai mencoba rokok, narkoba

dan minuman keras. Hal ini yang akhirnya bisa membuat anak kehilangan

pegangan serta panutan dalam masa transisi menuju kedewasaan.

G. Alasan Pemilihan Judul

1. Pelayanan konseling pastoral salah satu bentuk kepedulian terhadap anak

yang Broken Home di GBI Gilgal Palangka Raya.

2. Pelayanan konseling pastoral kurang diterapkan dalam pelayanan gerejawi

karena kurangnya pemahaman tentang pelayanan konseling pastoral yang

memadai.

3. Pelayanan konseling pastoral harus dilakukan Gereja supaya anak yang

Broken Home merasa diperhatikan.

4. Anak yang mengalami Broken Home butuh bimbingan dan perhatian dari

Gereja dan keluarga.

5. Bukti saling mengasihi sesama dan peduli terhadap apa yang mereka

alami, maka perlu bagi gembala melaksanakan konseling pastoral.


14

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan bertujuan supaya bagian-bagian dapat saling

mendukung,sehingga tulisan mudah dipahami garis-garis besar penulisannya.

Adapun sistematika penulisan proposa ini terdiri dari:

Bab I Pendahuluan, berisi Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan

Penelitian, Manfaat Penelitian, Batasan Masalah, Alasan Memilih Judul,

Definisi Istilah dan Sistematika Penulisan.

Bab II Landasan teori, memuat data-data teoritis yang berhubungan dengan

pokok-pokok penelitian. Dalam bagian pertama, pengertian konseling

pastoral, pelaksanaan konseling konseling terhadap anak yang Broken Home,

dampak yang dialami anak yang Broken Home.

Bab III Hasil Penelitian, berisi anak yang Broken Home di GBI Gilgal

Palangka Raya dan penerapan pastoral terhadap anak.

Bab IV Hasil Penelitian, memaparkan tentang hasil penelitian dan

pembahasan.

Bab V Penutup, kesimpulan dan saran.


15

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Konseling Pastoral

1. Pengertian Konseling Pastoral

Konseling pastoral adalah percakapan antara konselor (pendeta)

dengan konseli atau kliennya, dimana konselor mencoba membimbing

konselinya ke dalam suasana percakapan konseling yang ideal yang

memungkinkan konseli tersebut dapat mengenal dan mengerti apa yang

sedang terjadi dalam dirinya, persoalan yang ia sedang hadapi, kondisi

hidupnya dan mengapa ia merespons semua itu dengan pola pikir,

perasaan, dan sikap tertentu. Dengan begitu, dengan kesadaran yang

semakin menigkatkan, ia mulai belajar untuk melihat tujuan hidupnya

dalam relasi dan tanggung jawabnya pada Tuhan dan mencoba mencapai

tujuan itu dengan takaran, kekuatan dan kemampuan seperti yang sudah

diberikan kepadanya. Konseling sebenarnya bukan hanya dilakukan oleh

pendeta atau pastor, melainkan oleh mereka yang terbeban untuk

pelayanan ini4.

Konseling pastorala dalah hubungan timbal-balik antara hamba

Tuhan sebagai konselor dengan konselinya. Konselor membimbing

konseli dalam satu suasana percakapan konseling yang ideal, yang

memungkinkan konseli betul-betul mengerti apa yang sedang terjadi

pada dirinya sehingga ia mampu melihat tujuan hidupnya dan mampu

4
Ibid, Yakub B. Susabda, hal 6

15
16

mencapai tujuan itu dengan kekuatan dan kemampuan dari Tuhan

(Yakub B. Susabda)

Rumusan tersebut sangat luas. Namun dalam penjelasannya Yakub. B.

Susabda menegaskan dan menekankan empat hal penting dari rumusan

itu. Hal itu antara lain: hubungan timbal-balik, hamba Tuhan sebagai

konselor, suasana percakapan yang ideal, dan mencapai tujuan dengan

kekuatan Tuhan. Namun ada rumusan lain yang melihat konseling

pastoral dari sisi yang sedikit berbeda. Rumusan ini mengacu pada

pengertian dan penjelesan tentang pastoral dan konseling. Kedua

pengertian dan pemahaman itu kemudian di gabung dalam satu rumusan

konseling pastoral. Hal yang penting di perhatikan antara lain:

1) Konseling pastoral merupakan tugas yang sangat penting dilaksanakan

oleh gereja. Jemaat yang bermasalah adalah domba-domba milik

Kristus. Sebagai orang yang sudah dipercayakan Kristus, perlu

menggembalakan mereka.

2) Konseli yang bergumul perlu dikunjungi, dicari, dan diperhatikan agar

mereka dapat ditolong. Jika mereka mengalami persoalan, goncangan

dan pergumulan hidup, mereka butuh pertolongan konselor.

3) Pertolongan itu dilakukan melalui proses konseling. Percakapan ini

bukan percakapan biasa, tetapi sangat spesifik. Respons konselor

sangat khas dengan memakai pola-pola respons menyelidiki,

pemahaman, pendukungan, evaluasi dan tindakan yang terarah

menuju solusi.
17

4) Percakapan itu berlangsung timbal-balik, mendalam dan terarah.

Percakapan itu sangat spesifik karena saling memberi, mempengaruhi,

mencari inti persoalan, dan mengarah pada sebuah solusi. Konselor

tidak mengambil alih persoalan dengan memberi nasehat-nasehatnya

kepada konseli.

5) Perubahan terjadi karena iman dan ketaatan pada Firman Tuhan. Hasil

akhir konseling adalah perubahan sikap dan perilaku konseli. Hal itu

dapat terjadi karena imannya bertumbuh lewat membaca,

merenungkan dan mempraktikkan Firman Tuhan. Tujuan konseling

pastoral mencari yang bergumul, tidak seorang pun ingin mengalami

hal-hal yang tidak baik. Semua orang pasti mengharapkan hal-hal

yang baik, menyenangkan dan membahagiakan.

Konseling pastoral adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencari

dan mengunjungi anggota jemaat satu persatu terutama yang sedang

bergumul dengan persoalan-persoalan yang menghimpitnya. Kepada

mereka yang ditemukan itu, gambaran firman pastor mengabarkan

Firman Tuhan sesuai dengan kondisinya masing-masing sehingga

mereka dikuatkan dan mewujudkan imannya itu dalam kehidupan

sehari-hari (M.Born Storm).

Pendapat para tokoh konseling pastoral

Rogers (1942) suatu hubungan yang bebas dan berstruktur yang

membiarkan klien memperoleh pengertian sendiri yang membimbing

untuk menentukan langkah-langkah positif ke arah orientasi baru.


18

Pepinsky (1954) interaksi yang.

a. Terjadi antara dua orang, yang satu disebut sebagai konselor dan

yang lain sebagai klien.

b. Berlangsung dalam kerangka profesional, dan

c. Diarahkan agar memungkinkan terjadinya perubahan perilaku

pada klien.

Smith (1955) suatu proses yang terjadi dalam hubungan pribadi antara

seseorang mengalami kesulitan dengan seorang yang profesional yang

latihan dan pengalamannya mungkin dapat dpergunakan untuk

membantu orang lain mampu memecahkan perilaku klien

Blocher (1966) membantu seserang agar menyadari reaksi-reaksi

pribadi terhadap pengaruh perilaku dari lingkungan dan membantu

seseorang membentuk makna dari perilakunya. Konseli juga

membantu klien membentuk dan memperjelas rangkaian dari tujuan

dan nilai-nilai untuk perilaku selanjutnya.

Lewis (1970) adalah proses di mana seseorang yang mengalami

kesulitan (klien) dibantu untuk merasakan dan selanjutnya bertindak

dengan cara yang lebih memuaskan dirinya, melalui interaksi dengan

seseorang yang tidak terlibat yakni konselor. Konselor memberikan

dan reaksi terlibat untuk mendorong klien mengembangkan perilaku

untuk berhubungan secara lebih efektif dengan diri sendiri dan

lingkungan.
19

Bernard dan Fullmer (1977) usaha untuk mengubah pandangan

seseorang terhadap diri sendiri, orang lain atau lingkungan fisik.

Sebagai akibat sebagai pribadi dan menentukan langkah-langkah

untuk memupuk perasaan berharga, pernah untuk berarti dan

bertanggung jawab.

Ivey dan Simek-Dowming (1980), memberitahukan alternatif-

alternatif, membantu klien dalam melepaskan dan merombak pola-

pola lama, memungkinkan melakukan proses pengambilan keputusan

dan menemukan pemecahan-pemecahan yang tepat terhadap.

Eisenberg (1983); Menambahkan kekuatan pada klien untuk

menghadapi, untuk mengikuti aktivitas yang mengarah ke kemajuan,

dan untuk menentukan sesuatu keputusan. Konseling membantu klien

agar mampu menguasai masalah yang segera dihadapi dan mungkin

terjadi pada waktu yang akan datang5.

Sejak gereja mula-mula, hanya mereka yang terpilih menjadi tua

tua atau diaken (Kisas Para Rasul. 6) dan yang memenuhi kualifikasi

tua-tua diaken (1Tim.3:1–13) yang melakukan pelayanan

pengembalaan, termasuk konseling. Meskipun tidak tertutup

kemungkinan awam pun melakukan pelayanan pemberian nasehat

(Roma. 12:8).

Tahun 1952, Dr. Richard Cabot, guru besar di Harvad Divinity

School, mengharuskan setiap hamba Tuhan mempunyai ilmu

5
Singgih D. Gunarsa, Konseling dan Gunarsa (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hal 19-20
20

mengajar sehingga dapat memahami gejala-gejala psikologis dari

pasien-pasien di rumah sakit dalam pelayanan mereka6.

Pelayanan konseling pastoral adalah bagian integral dari pelayanan

hamba Tuhan. Hamba Tuhan akan kehilangan identitasnya jikalau ia

menolak tugas pelayanan yang satu ini. Meskipun demikian,

pelayanan konseling bukan pelayanan yang secara otomatis dapat

hamba Tuhan lakukan hanya karena bakat alamiahnya dalam

pengembalaan ataupun karena kuliah yang pernah ia dapat di sekolah

teologi. Belajar teologi dan Alkitab tidak bisa sama dengan belajar

konseling7.

2. Fungsi-fungsi Konseling Pastoral

Menurut Aart Martin Van Beek (1987)

1. Fungsi Menyembuhkan

Konseli sering mempunyai perasaan yang belum pernah

diungkapkan secara lengkap. Barangkali dia pernah mengalami suatu

trauma psikis seperti kehilangan seseorang atau pernah menyaksikan

sesuatu yang mengerikan seperti perang atau pembunuhan-

pembunuhan atau mengalami kecelakaan bus. Atau ia merasa bersalah

karena pernah melakukan sesuatu yang tidak etis terhadap teman

6
Bakat/talenta konseling dapat ditemukan juga pada konselor-konselor non-Kristen, karena
bakat/talenta konseling adalah “anugerah umum” yang Tuhan sediakan juga bagi orang-orang di
luar Kristus. Meskipun demikian, untuk anak-anak Tuhan, bakat/talenta konseling masih ditambah
dengan hadiah rohani karena Tuhan memberikan bakat/talenta tersebut untuk membangun tubuh
Kristus.
21

hidupnya, padahal teman hidup itu sudah tidak ada lagi. Atau dia

menyimpan rasa dendam tanpa ada habisnya.

Fungsi menyembuhkan dari konseling pastoral dapat

menolong konseli untuk menyembuhkan hatinya. Tidak jarang tekanan

batin konseli menimbulkan penyakit psikosomatis seperti colitis atau

penyakit jantung, penyakit maag, dan sebagainya. Doa yang singkat

sesudah percakapan selesai biasanya juga ikut menolong.

2. Fungsi Menopang

Konseli yang menghadapi krisis psikis atau penderita yang

diserang oleh rasa sakit yang tajam sekali sulit diajak berbicara melalui

percakapan yang mendalam. Pada umumnya konselor dan konseli

hanya dapat berfokus pada masalah inti. Tanggapan-tanggapan dari

konselor adalah singkat, tepat dan menekankan perasaan konseli.

Kehadiran yang baik dan komunikasi non-lisan dari konselor banyak

menolong sebab biasanya konseli sangat gelisah.

3. Fungsi Membimbing

Para konseli di Indonesia cenderung untuk mengharapkan

fungsi ini dari proses pertolongan. Mereka ingin diberi jalan keluar.

Sayang sekali para konselor terlalu sering sanggup untuk memberikan

nasihat yang setengah matang dan tidak mampu memenuhi harapan

itu. Sepatutnya fungsi membimbing ini muncul dalam usaha menolong

konseli untuk mengambil keputusan-keputusan mengenai hidupnya


22

sendiri : keputusan mengenai profesi yang dipilih, mengenai teman

hidup yang cocok dan seterusnya.

Ternyata kerap kehidupan memaksa kita untuk mengambil

keputusan dalam menghadapi dilema yang kompleks sekali. Untuk

menghindari saran-saran dari konselor yang belum dipertimbangkan

secara mendalam, sebaiknya konselor bersama konseli meneliti semua

alternatif secara lengkap.

4. Memperbaiki Hubungan

Hampir semua persoalan konseli sedikit banyak menyangkut

hubungan dengan orang lain. Jikalau hubungan itu tidak diperhatikan

oleh konselor pelayanannya dapat menjadi tidak relevan. Oleh sebab

itu (khususnya di Indonesia) kita membutuhkan fungsi konseling

pastoral yang menjamin konselor ikut berkecimpung dalam

menyelesaikan ketegangan yang timbul dalam hubungan itu. Kesulitan

komunikasi biasanya merupakan persoalan yang paling mendasar.

Sebaiknya, konselor tidak memihak kepada konseli atau sebaliknya

anggota-anggota keluarganya atau temannya. Dalam menolong proses

komunikasi, semua orang yang terlibat menjadi konseli. Kita menjadi

perantara yang netral, perantara yang berkewajiban untuk secara terus

menerus membuka jalur komunikasi timbal balik.

Hendaknya konselor minta kepada konseli-konseli yang terlibat dalam

permasalahan untuk satu per satu menyampaikan pendapat dan


23

perasaan mereka kepada temannya, BUKAN kepada konselor.

Kemudian konseli yang kedua diminta oleh konselor untuk mengulang

yang dikatakan oleh konseli pertama. Berikutnya konseli pertama

memberitahu apakah maksudnya telah ditangkap dengan baik oleh

konseli kedua (andai kata konseli kedua belum mengerti), prosedur ini

perlu diteruskan sampai konseli pertama sudah puas. Bilamana

pendapat dan perasaan konseli pertama telah dipahami secara

memuaskan oleh konseli kedua, konseli kedua dipersilakan oleh

konselor untuk mengutarakan pendapat dan perasaannya lalu konseli

pertama mengulang. Sebaiknya konselor tidak membiarkan adanya

tanggapan langsung dari salah satu konseli terhadap yang dikatakan

oleh konseli yang lain sebelum tugas mengulang selesai dulu.

Perbaikan komunikasi ini tentu perlu disesuaikan dengan keadaan dan

kebudayaan para konseli. Penting sekali semua konseli menerima

konselor sebagai perantara, apalagi sebagai perantara yang harus tegas,

walaupun tidak keras.

5. Mengasuh/Memelihara

Diharapkan bahwa konseli akan berkembang dan terus menerus

menjadi lebih dewasa di dalam menghadapi masalah-masalah hidup.

Seharusnya konselor tidak hanya punya tujuan meringankan


24

penderitaan konseli untuk sementara saja dengan risiko besok

masalahnya kembali lagi, tetapi konselor perlu memperkuat konseli8.

Menurut Totok S. Wiryasaputra (2014)

1. Fungsi Menyembuhkan.

Fungsi pertama adalah menyembuhkan. Fungsi ini dipakai oleh

konselor ketika melihat adanya keadaan yang dapat dan perlu di

kembangkan ke keadaan semula atau mendekati keadaan semula.

Fungsi ini dipakai untuk membantu konseli menghilangkan gejala-

gejala dan tingkah laku yang disfungsional sehingga dia tidak

menampakkan lagi gejala yang mengganggu, dan dapat berfungsi

kembali secara normal sama sebelum mengalami krisis. Akhirnya,

konseli dapat menciptakan kembali keseimbangan (homeostasis) yang

baru, funsional, dan dinamis. Fungsi ini, miisalnya, melakukan melalui

teknik katarsis, dimana konseling difasilitasi untuk mengeluarkan

masalah yang dibenamkannya dalam hati.

Pengalaman konseling selama ini menunjukkan bahwa orang

suka menyimpan rapar-rapat atau membenamkan dalam-dalam

berbagai sampah kejiwaan dalam batinnya. Tidak jarang orang hidup

dengan “unfinished emotional or psychological business”, masalah

perasaan atau psikologi yang tidak terselesaikan. sebagian orang

berusaha kuat dengan berbagai cara menutupi masalah agar tidak

dirasakan orang lain. Menghadapi hal ini konseling pastoral membantu

8
Aart Martin Van Beek, Konseling Pastoral – Sebuah Buku Pegangan Bagi Para
Penolong Di Indonesia. (Jakarta: Satya Wacana, 1987), hal.10-12,
25

orang untuk membedah – melakukan operasi emosi atau psikologinya,

mengalami kembali apa yang seharusnya dialami pada masa lalu,

membersihkan sampah emosi atau psikologi, kemudian menutup

kembali luka bekas operasi atau bagian yang dibedah, menjahitnya

kembali, dan akhirnya luka batinya sembuh.

2. Fungsi Menopang

Fungsi ke dua adalah menopang. Fungsi ini di lakukan apabila

konseli tidak mungking kembali ke keadaan semula. Fungsi menopang

dipakai untuk membantu konseli menerima keadaan sekarang

sebagaimana adanya, kemudian berdiri atas kaki sendiri dalam keadaan

yang baru, serta bertumbuh secara penuh dan utuh. Menopang dipakai

untuk menolong konseli melewati semua pergumulan batin sampai

akhirnya mencapai titik penerimaan. (acceptance). Konselor

membantu konseli agar dapat bertahan dalam kondisi sekarang.

Misalnya, konselor membantu seorang istri yang berduka karena

kematian suami. Kematian adalah tetap kematian. Dalam hal ini,

konselor dapat memfungsikan diri sebagai penopang untuk menolong

konseli agar dapat menerima kenyataan bahwa suaminya telah

meninggal dunia, kemudian berdiri atas kakinya sendiri dan bertahan

dalam kondisinya yang baru, artinya hidup tanpa suami. Ia dibantu

agar tidak melarikan diri ke dalam halusinasi atau kesedihan

berkepanjangan, melainkan di bantu untuk memasuki kehilangan dan

kedukaannya secara penuh dan utuh sehingga dapat menerima keadaan


26

yang baru sebagaimana adanya. Dia ditolong tidak untuk melupakan

krisis meskipun hanya sekejap, misalkan dengan mengadakan “ibu,

tenang saja. Kan itu sudah menjadi kehendak Tuhan. Siapa bisa

mencegahnya?” sebaliknya, dia dibantu untuk merangkulnya erat-erat

secara penuh dan utuh kehilangan dan kedudukannya dengan

mengatakan “ibu, tolong ceritakan apa saja yang dirasakan selama

ini, kecewa, bingung, sendiridan sebagainya?”

Fungsi menyembuhkan sering diperan untuk membantu konseli

menerima kenyataan yang pahit sekalipun, kemudian berdiri tegak di

atas kondisi penerimaan tersebut untuk melangkah maju mencapai

pertumbuhan secara penuh dan utuh. Misalnya, istri yang mengalami

kedukaan tadi kini mengambil keputusan untuk membuka usaha baru

agar dapat hidup mandiri. Suami sebagai tulang punggung keluarga

kini telah tiada, maka dia harus mengambil keputusan baru yakni

untuk menjadi tulang punggung keluarga dengan sepenuh hati.

3. Fungsi Membimbing

Fungsi ketiga adalah membimbing. Fungsi membimbing ini

dilakukan ketika konseli mengambil keputusan tertentu tentang masa

depannya. Fungsi membimbing dilakukan ketika konseli dalam kondisi

siap secara mental, misalnya telah mampu berpikir jernih dan

berkonsentrasi untuk mengambil keputusan. Fungsi membimbing

dilakukan dengan cara meminta konseli untuk menemukan alternatif

dari keputusan yang akan di ambil dan mendaftar sisi positif dan
27

negatif dari setiap alternatif keputusan. Konselor dapat menambahkan

alternatif yang mungkin akan diambil dari sisi positif atau negatif dari

setiap keputusan. Dalam menjalan fungsi membimbing, konselor dapat

memberikan pertimbangan nilai, etis, ajaran agam, ajaran Alkitab,

hukum, peraturan (sejauh yang ketahui olehnya), dan sebagainya.

Konselor membantu konseli untuk melihat secara objektif segi positif

dan negatif setiap alternatif keputusan. Konselor dapat membantu

konseli untuk melihat kekuatan (Internal), kelemahan (Internal),

kesempatan (eksternal) dan tantangan yang mungkin ada (eksternal).

Sumber atau sarana apa yang mungkin dimanfaatkan. Akhirnya,

konseli sendiri yang mengambil keputusan. Konseli merupakan

instansi terakhir yang memiliki hak dan tanggung jawab untuk

mengambil keputusan. Dalam menjalankan fungsi membimbing,

konselor tidak memiliki hak untuk memaksa kehendaknya pada

konseli dengan alasan apa pun juga, kecuali demi keselatan jiwa

konseli dan pihak-pihak lain yang relevan.

4. Fungsi Memperbaiki Hubungan.

Fungsi keempat adalah memperbaiki hubungan. Fungsi ini

dipakai oleh konselor untuk membantu konseli ketika mengalami

konflik batin dengan pihak lain yang mengakibatkan putusnya atau

rusaknya hubungan. Dalam fungsi ini konselor berperan sebagai

mediator atau penengah. Dia menengahi pihak-pihak yang terlibat

dalam konflik. Dia memfasilitasi pihak-pihak yang terlibat dalam


28

konflik untuk membicarakan konfliknya secara terbuka, adil, dan jujur.

Masing-masing pihak diberikan kesempatan untuk mengemukakan

aspirasinya. Akhirnya, diharapkan mereka dapat jalan keluar yang

saling menumbuhkan dan menjalin hubungan kembali. Konselor

menciptakan ruang bersama bagi keduanya belah untuk saling

menumbuhkan. Misalkan, seorang bawahan mengalami konflik dengan

kepala kantornya. Dalam hal ini, konselor dapat memfungsikan diri

sebagai mediator (penengah) antara konseli dengan atasannya.

Menurut pengalaman, tidak jarang konseli mengalami konflik

batin dengan dirinya sendiri. Konflik itu dapat menyangkut persoalan

nilai, kepercayaan, impian, ideologis, posisi, masa depan,

pertanggungjawaban, dan sebagainya. Konflik demikian dapat

mengarah kepada konflik eksistensial. Seolah-olah semua jalan buntu.

Konseli merasa terjepit di tengahnya. Apabila tidak ditangani dengan

baik, konflik semacam ini dapat menyebabkan konseli berusaha bunuh

diri adalah jalan terbaik. Sebaliknya, orang yang tidak memahami

dinamika psikologinya dengan baik sering berpikir bahwa dia

mengambil jalan pintas atau jalan termudah. Hal itu merupakan

stereotip yang keliru. Sekali lagi baginya bunuh diri adalah jalan yang

terbaik. Dengan demikian, ada perbedaan cara berpikir antara konseli

yang berusahabunuh diri dengan orang sekelilingnya. Menghadapi

kondisi demikian, konselor pertama-tama harus memahami dunia

pengalaman konseli, kemudian konselor berfungsi sebagai mediator


29

konseli dengan dirinya sendiri. Dalam hal-hal ini pun konselor dapat

membantu konseli untuk berdamai lagi dengan Tuhannya.

5. Fungsi Memberdayakan.

Fungsi kelima adalah memberdayakan (empowering) fungsi ini

untuk membantu konseli menjadi penolong bagi dirinya sendiri pada

masa yang akan datang pada waktu menghadapi kesulitan. Konseli

berdaya, mandiri, dan tid ak selalu tergantung pada konselor. Fungsi

ini juga dipakai untuk membantu konseli menjadi penolong bagi orang

lain yang mendapat kesulitan. Secara konkret pada tahap pemutusan

layanan konseling pastoral (terminasi), konselor pastoral dapat

bertanya9.

3. Pendekatan Konseling Pastoral

Secara umum dapat dikatakan bahwa pendekatan konseling ada 4

bagian yaitu: Directive, Non-Directive (Client Oriented), Eductive Guiding

(to Lead Out), dan Rapports. Dalam buku E. P. Gintings, manusia dan

masalahnya, disebut tentang metode pendekatan tersebut sebagai berikut:

1. Directive

Dalam pendekatan “directive” yang ditekankan ialah usaha

konselor, sedangkan konseli pasif. Penderita atau konseli diperlakukan

sebagai obyek tafsiran. Pada konseling sekuler biasanya lebih banyak

menggunakan pendekatan ini.

9
Totok S. Wiryasaputra, Pengantar Konseling Pastoral (Diandra Pustaka Indonesia:
30

Menurut Rogers C. R

1. Pendekatan Direktif

Pendekatan Direktif merupakan layanan bimbingan dan konseling

yang bersifat Counseling-centered dimana yang menjadi pemegang

peranan utama dalam melakukan proses-proses konseling adalah

pembimbing atau konselor. Pembimbing atau konselorlah yang bekerja

secara aktif dari mulai proses awal mengidentifikasi masalah yang

dihadapi klien selanjutnya melakukan diagnosa terhadap berbagai

penyabab masalah sampai mencari alternatif pemecahan masalah dan

akhirnya merekomendasikan beberapa pemecahan masalah dan alternatif

pemecahan masalahnya, sementara klien tinggal mengikuti apa yang di

perintahkan pembimbing atau konselor serta menerima dan menjalankan

apa yang disarankan pembimbing atau konselor. Pembimbing atau

konselor dalam hal ini merupakan pihak yang sangat bertanggung jawab

atas jalannya bimbingan dan konseling, serta sangat mendominasi proses

bimbingan, sementara klien bertindak sebagai pihak yang dibimbing dan

sangat pasif menunggu dan sangat tergantung kepada pembimbing atau

konselor. Pendekatan Direktif sangat banyak dianut terutama oleh para

psikoanalis yang memandang bahwa konselor harus lebih mampu dari

klien oleh karena itu peran konselor sangat menentukan dan sangat aktif

dalam mencari solusi, hal ini disebabkan klien dianggap pihak yang

sedang bermasalah dan karena itu klien datang dan mencari solusi

sementara pribadinya sendiri tidak dapat berfikir secara rasional karena


31

sedang dalam tekanan masalah, maka konselorlah yang harus berfikir aktif

memberi bimbingan dan dan mencari alternatif-alternatif solusi bagi klien.

Dalam pendekatan Direktif ini karena peran konselor sangat dominan,

makakualifikasi konselor harus terus ditingkatkan melalui program-

program diklat sampai konselor bertaraf expert atau ahli.

2. Non-Directive (Client Oriented).

Metode ini adalah kebalikan dari pendekatan “directive”

konselilah yang aktif. Konselor bertindak sedemikian rupa sehingga

diterima konseli. Konselilah yang menentukan segala-galanya,

mengarahkan penafsiran akan dirinya sendiri sehingga ia (konseli)

sendiri pada suatu waktu akan memberikan tafsiran yang tepat

mengenai permasalahannya. Metode ini ditimbulkan oleh Carl Rogers,

dan kemudian hari ia menggantikan istilah “non-directive” dengan

“client oriented” (band. Client oriented and client centered therapy).

Menurut Rogers, organisme manusia pada hekekatnya

mempunyai tujuan tertentu dan berkembang maju ke depan, bersifat

konstruktif pada manusia. Jika hal ini tidak dihalangi, maka akan

berkembang efektif dan optimal sehingga manusia berfungsi sebagai

“fully human being” yang hidup selaras dengan kodrat alam dan hidup

bersama orang lain sebagai manusia yang positif dan normal. Memang

Rogers telah memberikan sumbangan yang besar tentang bagaimana

mengerti manusia itu sendiri lebih baik, khususnya tentang tujuan


32

tertentu yang maju ke depan dan bersifat konstruktif. Namun sebagai

konselor Kristen, kita melihat secara kritis bahwa dalam

pandangannya ini ada sikap kurang realistis karena kurang

memperhatikan faktor dosa yang membuat keterbatasan manusia

menjadi “fully human being”. Namun pada sisi lain, pandangan ini

berguna untuk melihat potensial manusia untuk melakukan aktualitasi

diri.

Menurut Rogers, dalam pendekatan ini manusia dilihat

mempunyai kebutuhan dasar akan kehangatan, penghargaan,

penerimaan, pengangungan, dan cinta dari orang lain. Sehubungan

dengan client centered counseling, ia harapkan konselor bersifat dan

bersikap “acceptance”(menerima),“warmth”(kehangatan),“genui”

(tampil apa adanya), “emphaty” (empati), “uncoditional positive

regard” (penerimaan tanpa syarat), “transfarancy” (transparansi),

“congruence” (kongruensi) (konselor dan konseli dalam hubungan

sejajar).

Bimbingan dan konseling yang menggunakan pendekatan Non-

direktif dikenal dengan bimbingan dan konseling yang bersifat Client-

Centered, dalam arti dalam proses bimbingan dan konseling, pihak

klien diberi peranan yang besar dalam proses pelaksanaan bimbingan

dan konseling, jadi dalam hal ini klien diberi kebebasan untuk berfikir

dan mengungkapkan ekspresinya dan aspirasinya. Konselor hanya

perlu memberi rangsangan dan arahan dengan pertanyaan agar klien


33

bersemangat kembali dalam hal ini konselor hanya bertugas

menciptakan suasana yang memungkinkan klien untuk berupaya

mencari berbagai alternatif terbaik untuk pemecahan masalahnya

sendiri. Carl R. Rogers sebagai peletak dasar faham Humanistic dalam

bimbingan dan pendidikan berupaya mengembangkan pendekatan ini

dan pendekatan ini terus dikembangkan oleh penganut Clint Centered

Therapy.

3. Eductive (to lead out).

Pendekatan eductive ( to lead out) dipelopori Seward Hiltner.

Dalam pendekatan ini kadang-kadang “non-directive” dan kadang-

kadang “directive”. Hal seperti ini tidak apa-apa, boleh saja dilakukan

guna menolong lebih mengerti keadaan konseli.

4. Rapports.

Pendekatan rapports dipelopori C. Wise. Dalam pendekatan ini

yang penting bukan konselor dan konseli, tapi hubungannya. Rapports

( bahasa Prancis = hubungan) asumsi dasar ialah pemahaman bahwa

hubungan manusia dengan manusialah yang menimbulkan penyakit

keruwetan jiwa yang tidak disadari penyebabnya. Oleh karena itu,

hubungan manusia jugalah yang harus menyembuhkannya.

Sehubungan dengan itu pulalah Paul Johnson menganjurkan metode

responsif. Dan menurut penulis, dalam latar belakang budaya kita di

Indonesia yang bersifat masyarakat. Metode ini cocok diterapkan


34

dalam konseling pastoral, namun tertutup kemungkinan memakai

metode atau pendekatan lainnya, sebab dengan ilmu pengetahuan, kita

tidak mungkin mengerti manusia itu secara sempurna, karena manusia

itu unik. Seturut dengan hal tersebut metode kita juga harus terbuka

untuk praktek konseling pastoral10.

Menciptakan Rapport Rapport adalah suatu istilah yang

berkenaan dengan kualitas relasi antara dua orang atau lebih. Kualitas

relasi ini menuntut adanya ketrampilan dari seorang konselor pastoral.

Oleh karena itu dalam tahap ini, seorang konselor membutuhkan

beberapa ketrampilan yang pokok. Menurut Egan, ketrampilan pokok

yang dibutuhkan oleh seorang konselor dalam proses konseling terdiri

dari beberapa macam dan hal-hal tersebut senantiasa ada pada setiap

tahap. Pada tahap pertama ini hal yang sangat penting dari seorang

konselor adalah berusaha untuk dapat menciptakan rapport. Untuk itu

seorang konselor pastoral harus mampu mengembangkan kemauan

yang ikhlas untuk mendengarkan 32 kisah konseli, hadir dengan

konseli dan siap sedia untuk menolong konseli. Mendengarkan adalah

satu hal yang sangat dibutuhkan oleh konseli. Ketidak beranian

konseli untuk berbicara secara terus terang mengenai masalahnya

sering kali disebabkan oleh rasa takut tertolak dan tidak didengarkan

oleh orang konselor. Mendengarkan kisah-kisah masalah mereka,

berarti menanamkan konsep diri yang positif terhadap diri mereka.

10
Dr. E. P. Gintings, Gembala dan Pastoral Klinis (Bina Media Informasi: Bandung, 2007) hal
131
35

Mendengarkan keluhan-keluhan mereka berarti konselor ingin

menyatakan bahwa ada orang lain bersama mereka, dengan demikian,

ditumbuhkan harga diri dan kemampuan mereka, untuk

menyelesaiakn masalahnya secara mandiri.

1. Pendekatan langsung (Directive Approach)

Pendekatan langsung juga disebut sebagai pendekatan

terpusat pada konselor (counselor-centered approach) untuk

menunjukkan bahwa dalam interaksi ini, konselor lebih banyak

berperan untuk menentukan sesuatu.sebagai kegiatan bantuan melalui

proses konseling sedikit banyak bersifat klinis dan melakukan

pendekatan dari sudut dinamika-dinamika perkembangan psikis klien

dengan sendirinya ada kaitannya dengan orientasi faktor bakat atau

ciri kepribadian dasar yang dimiliki seseorang. Pendekatan langsung

bisa diberikan secara langsung dalam berbagai cara setelah konselor

atau terapis yakin ada dasar teorinya yang mantap untuk memberikan

sesuatu seketika, sehingga dalam hal seperti ini menyerupai suatu

kegiatan dengan dasar atau pendekatan untuk segera melakukan

tindakan, sesuatu yang justru menjadi ciri khas pada pendekatan

sistomatis atau Behavioristik pada umumnya. Pendekatan langsung

karena itu bisa diberikan kepada klien yang mungkin membutuhkan

waktu, tetapi biasanya tidak lama atau bisa dilakukan seketika.

Pendekatan langsung atau konseling terpusat pada konselor,

Williamson (1950) dianggap oleh banyak ahli sebagai pendiri dari


36

teknik ini.konseling dirumuskan olehnya tidak jauh berbeda dengan

perumusan-perumusan yang diberikan oleh ahli-ahli lain. Tujuan dari

konseling adalah jelas, yakni membantu orang lain

mengaktualisasikan potensi yang baik yang dimiliki, terutama

membantu klien yang kurang memperoleh pengalaman dari

lingkungan untuk memenuhi tujuan hidup dan keinginannya.

Pendekatan dilakukan dengan cara sederhana dan diarahkan langsung

terhadap masalahnya yaitu dengan cara: mengarahkan, membimbing,

mempengaruhi atau memberikan hal-hal yang diperlukan klien agar

bisa mengikuti apa yang ditentukan secara otoriter oleh terapis.

2. Pendekatan tidak Langsung (Non-Directive Approach)

Pendekatan tidak langsung adalah terpusat pada pribadi jika

digunakan untuk memberi semangat kepada penderita psikosis dalam

perkembangannya, atau orang normal, akan mengubah secara besar

kebiasaan yang telah dilakukan oleh mereka yang berprofesi

membantu orang lain. Pendekatan ini menitik beratkan penerimaan

pada klien pembentukan suasana positif yang netral, percaya kepada

kebijaksanaa klien, sikap memperboleh dan menggunakan penjelasan-

penjelasandan dunia klien sebagai teknik utama dan memantulkan

kembali perasaan-perasaan klien, menyatukan perbedaan antara

dirinya ideal (ideal sefl) hindari situasi yang mengancam klien secara

pribadi. Keterampilan tidak di titik berat lebih banyak diarahkan pada

konselor sebagai pribadi.


37

Carla Rogers dalam bukunya “ Counseling and psychotherapy”,

yang menjelaskan mengenai ciri-ciri dari cliend –centered therapy

sebagai berikut.

a. Perhatian diarahkan kepada pribadi klien dan bukan kepada

masalah. Tujuannya bukan memecahkan sesuatu masalah

tertentu, tetapi membantu seseorang untuk tumbuh, sehingga ia

bisa mengatasi masalah, baik masalah sekarang maupun

masalah yang akan datang dengan cara yang lebih baik, lebih

tepat. Jika seseorang berhasil mengatasi persoalan dalam

suasana yang lebih bebas, lebih bertanggung jawab, berkurang

sikap ragunya, dengan cara yang lebih teratur, maka pada saat

menghadapi masalah baru ia akan bisa mengatasinya dengan

cara yang sama.

b. Hal yang kedua ialah penekanan lebih banyak terhadap faktor

emosi, daripada terhadap faktor intelek. Dalam kenyataannya,

banyak perbuatan dipengaruhi oleh emosi daripada oleh pikiran,

artinya seseorang bisa mengetahui bahwa sesuatu perbuatan

sebenarnya tidak baik, jadi secara rasional, intelektual, ia

mengetahui itu, dan tahu pula bahwa ia tidak boleh melakukan

hal itu, namun kenyataannya lain. pendekatan ini bekerja

langsung terhadap kehidupan emosi dan perasaan yang nyata

daripada berusaha mengorganisasikan faktor emosi melalui

pendekatan intelektual.
38

c. Hal yang ketiga memberi tekanan yang lebih besar terhadap apa

yang sudah lewat. Pola emosi yang diperhatikan seseorang

sekarang ini sama saja dengan pola emosi yang sudah ada dalam

sejarah pribadinya.

d. Hal yang keempat ialah penekanan pada hubungan terepeutik itu

sendiri sebagai tumbuhnya pengalaman. Di sini seseorang

belajar memahami diri sendiri, membuat keputusan yang

penting dengan bebas dan bisa sukses berhubungan dengan

orang lain secara lebih dewasa.

Mengenai arti tereputik dari dari konseling model Rogers ini, oleh

Carkhuff (1973) diberikan pegangan singkat yang meliputi tiga hal

yaitu:

1. Tahap pertama: Eksplorasi diri. Orang akan terdorong lebih

berani memeriksa diri sendiri akan keberadaannya dalam

kehidupan ini.

2. Tahap kedua: Orang mulai memahami hubungan antara

keberadaannya dalam kehidupan dan kemana arah kehidupan

yang diharapkan.

3. Tahap ketiga: Tahap untuk melakukan tindakan-tindakan

yang terarah dan punya tujuan yang jelas.


39

Langkah-langkah konseling tidak langsung (nondirective

counseling) sebagai berikut.

1. Seseorang datang untuk meminta bantuan. Selanjtunya ia

memasuki tahap yang penting, tahap untuk merasakan

kebebasan agar terapi bisa dilanjutkan

2. Perumusan mengenai suasana bantuan. Terhadap klien

disadarkan bahwa konselor tidak hanya jawaban, tetapi

melalui proses konseling klien akan memperoleh sesuatu,

dengan bantuan, untuk bisa melakukan pemecahan

persoalannya sendiri.

3. Konselor meningkatkan keberanian klien untuk

mengungkapkan perasaan-perasaannya sehubungan dengan

masalahnya. Disatu pihak adalah berkat sikap ramah, penuh

perhatian dan menerima dari konselor, dipihak lain melalui

percakapan terepeutik dengan konselor, terjadi kemajuan.

4. Konselor menerima, mengenali dan menjelaskan berbagai

perasaan negatif. Kalau konselor menerima perasaan ini, ia

harus siap untuk memberikan respons, tidak terhadap ini

intelektual seseorang mengenai apa yang dibicarakan, tetapi

tehdapap perasaan yang mendasarinya. Konnselor berusaha

melalui apa yang dibicarakan atau dilakukan, untuk

menciptakan suasana di mana klien bisa mengenali bahwa ia

perasaan-perasaan negatif dan bisa menerimanya sebagai


40

bagian dari dirinya daripada ia memproyeksikan perasaan-

perasaan itu ke orang lain atau menyembunyikannya dibalik

mekanisme pertahanan dirinya. Kadang-kadang konselor

menjelaskan perasaan ini secara verbal, tidak untuk

menilainya, namun semata-mata meyakinkan bahwa hal

tersebut semata-mata meyakinkan bahwa hal tersebut benar-

benar ada dan ia menerimanya.

5. Ketika perasaan-perasaan negatif telah diungkapan

sepenuhnya, pada saat itu akan di ikuti oleh ekspresi dari

dorongan positif untuk berkembang lebih lanjut. Ekspresi

positif adalah tanda yang jelas dan meyakinkan dari

keseluruhan proses yang telah terjadi.

6. Konselor menerima dan mengenali perasaan-perasaan positif

yang diungkapkan, sama dengan ketika menerima dan

mengenali perasaan-perasaan negatif. Perasaan positif tidak

diterima oleh konselor sebagai sesuatu yang harus dipuji atau

seperti layaknya sesuatu permintaan yang harus dipenuhi,

melainkan sebagai sesuatu yang biasa ada pada diri pribadi

seorang. Dengan penerimaan seperti itulah klien belajar dan

menyadari diri sendiri sebagaimana keadaan sebenarnya.

7. Pemahaman, pengenalan dan penerimaan tentang diri sendiri,

adalah langkah berikutnya yang penting dari keseluruhan


41

proses, yang menjadi dasar pada diri seseorang untuk bisa

maju ke tingkatan yang baru dari integritasnya.

8. Bersama-sama dengan proses pemahaman ini adalah ini

proses yang memperjelas kemungkinan keputusan atau

tindakan yang akan dilakukan.

9. Tindakan positif. Suatu keputusan untuk melakukan sesuatu

tindakan yang nyata, yang positif, yang tumbuh sedikit demi

sedikit demi sedikit dari dirinya sendiri.

10. Langkah selanjtunya yang tersisa tidak memakan waktu

lama. Sekali seseorang mencapai tahap pemakaman dan

melakukan tindakan positif, maka aspek yang tersisa

dijadikan elemen untuk perkembangannya.

11. Lambat laun tindakan positif dan terpadu pada klien

meningkat. Ketakutan memutuskan sesuatu berkurang dan

lebih percaya diri dalam melakukan tindakan. Hubungan

konselor dengan klien pada sat ini mencapai puncaknya.

12. Munculnya pikiran dan kesadaran pada klien untuk

mengurangi kebutuhan akan bantuan dan bahwa hubungan

dengan konselor akan berakhir. Konselor menghentikan

hubungan dengan baik sekalipun mungkin masih tersisa

macam-macam perasaan pada klien, jugas sebaliknya dari

pihak konselor, namun harus diterima sebagai keterlibatan


42

emosi yang wajar dan harus bisa dihentikan secara baik dan

sehat.

3. Pendekatan Eklektik

Pendekatan adalah terminologi dalam konseling dan

psikoterapi yang memilih teori yang baik atau berguna dari macam-

macam teori, metode dan pengalaman-pengalaman praktik, untuk

dipergunakan bersama-sama dalam menghadapi klien. Istilah dan

pendekatan ini sebenarnya sudah lama dikenal. Pendekatan elektik

tidak hanya meliputi dua pendekatan yang sering di pakai dalam

konseling, yakni pendekatan langsung dan tidak langsung, namun

lebih luas dari itu, yakni pendekatan-pendekatan lain dalam bidang

psikoterapi, seperti psikoanalisis dengan behavioristik atau terapi-

kognitif dengan pendekatan terpusat pada pribadi.

Muncul pendekatan eklektik karen beberapa alasan, antara

lain karena lemahnya penggunaan model tunggal, yang kenyataan

tidak mudah untuk diterapkan kepada semua orang, padahal

kehidupan dan keberadaan, bahkan persoalan pada orang berbeda.

4. Pendekatan Psikoanalitik

Pendekatan psikoanalisis sebagai teknik psikoterapi, diakui

sebagai penemuan luar biasa, dan karena itu dianggap sebagai

revolusi dalam dunia psikoterapi. Untuk memahami pendekatan ini,

perlu memahami dahulu tokoh pendiri dan penemunya dengan

pemikiran-pemikiran. Psikoanalisis adalah suatu sistem dalam


43

psikologi yang berasal dari penemuan-penemuan Freud dan menjadi

dasar dalam teori psikologi yang berhubungan dengan gangguan

kepribadian dan perilaku neurotik. Psikoanalisis memandang

kejiwaan manusia sebagai ekspresi dar adanya dorongan yang

menimbulkan konflik. Dorongan-dorongan ini sebagaian disadari

dan sebagian lagi, bahkan sebagian besar tidak -disadari. Konflik

timbulkarena ada dorongan-dorongan yang saling bertentangan,

sebagai manifestasi dari kenyataan bahwa manusia adalah mahluk

sosial disamping biologis. Dari proses psikoanalisis yang

berlangsung, hal yang penting ialah masalah transferens. Transferens

dalam arti sebenarnya, adalah suatu bentuk ingatan dari kejadian-

kejadian yang telah dialami dan yang diulang kembali dalam

keadaan sekarang atau yang akan datang. Analisis terhadap

transferens akan membantu pasien untuk mengerti bagaimana

seseorang melakukan salah tanggap, salah nilai yang dihubungkan

dengan keadaan sekarang dan keadaan yang sudah lewat. Setelah

analisis terhadap transferens dilakukan berulang-ulang dan pada

pasien akan mengalami kemajuan, maka masa untuk psikoanalis

bisa dihentikan.

5. Pendekatan Afektif.

Pendekatan afektif adalah pendekatan untuk melakukan

perubahan terhadap cara pasien merasakan diri sendiri. Kehidupan

perasaan menjadi pusat perhatian pada pendekatan ini.


44

6. Pendekatan Behavioristik.

Terapi perilaku (Behavior Therapy) dan perngubahan

perilaku (Behavior modification) atau pendekatan behavioristik

dalam psikoterapi, adalah salah satu dari beberapa “revolusi” dalam

dunia pengetahuan psikologi, khususnya psikoterapi. Sebagaimana

pada bab-bab terdahalu telah disebutkan, bahwa revolusi-revolusi

yang lain adalah: psikoanalisis dan pendekatan terpusat pada klien

(pribadi). Pendekatan behavioristik yang dewasa ini banyak

dipergunakan dalam rangka melakukan kegiatan psikoterapi dalam

arti luas atau konseling dalam arti sempitnya, bersumber pada aliran

Behavioralisme.

7. Pendekatan Kognitif

Terapi kognitif adalah terapi yang mempergunakan

pendekatan terstruktur, aktif, directif dan berjangka waktu singkat

untuk mengahadapi berbagai hambatan dalam kepribadian, misalnya,

ansietas atau depresi. Terapi ini didasarkan pada teori bahwa afek

keadaan emosi, perasaan dan tindakkan seseorang, sebagian besar

ditentukan oleh bagaimana seseorang tersebut membentuk dunianya.

Terapi dengan pendekatan kognitif mengajarkan pasien atau klien

agar berpikir lebih realistisdan sesuai sehingga dengan demikian

akan menghilangkan atau mengurangi gejala yang berkelainan yang


45

ada. Tokoh terapi kognitif adalah Aaron Beck seorang psikiater

dengan latar belakang psikoanalisis11.

B. Keluarga Broken Home.

1. Pengertian Broken Home

Broken berarti ”Kehancuran”, sedangkan Home berarti ”Rumah”.

Broken Home memiliki arti adanya kehancuran di dalam rumah tangga

yang disebabkan kedua suami istri mengalami perbedaan pendapat. Broken

Home disini memiliki banyak arti yang bisa di karenakan adanya

perselisihan atau percekcokan antara suami istri, akan tetapi tetap tinggal

satu rumah. Bisa juga Broken Home diartikan kehancuran Rumah Tangga

sampai terjadi perceraian kedua orang tua. Dari pengertian Broken Home

di atas dan dengan keadaan masih tinggal serumah ataupun yang sudah

bercerai tetap saja memberikan dampak yang buruk pada anak mereka,

dimana sebetulnya anak masih memerlukan bimbingan orang tua sampai ia

lepas masa lajang. Akibat kondisi orang tua yang mengalami broken home,

maka lebih banyak anak belajar banyak hal dari lingkungan, teman sebaya,

dan bukan dari kedua orang tuanya12.

Kondisi ini menimbulkan dampak yang sangat besar terutama bagi

anak-anak. Bisa saja anak jadi murung, sedih yang berkepanjangan, dan

malu. Selain itu, anak juga kehilangan pegangan serta panutan dalam masa

11
Singgih D. Gunarsa “Konseling dan Psikoterapi” (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), Hal 107
12
Vendi prasetyo “ Pengertian Broken Home” di akses tanggal 20 desember 2009
46

transisi menuju kedewasaan. Karena orangtua merupakan contoh (role

model), panutan, dan teladan bagi perkembangan anak-anaknya di masa

remaja, terutama pada perkembangan psikis dan emosi, anak-anak perlu

pengarahan, kontrol, serta perhatian yang cukup dari orang tua. Orang tua

merupakan salah satu faktor sangat penting dalam pembentukan karakter

anak-anak selain faktor lingkungan, sosial, dan pergaulan. Untuk

menyikapi hal semacam ini perlu memberikan perhatian dan pengerahan

yang lebih agar mereka sadar dan mau berprestasi.

2. Faktor-faktor penyebab terjadinya Broken Home:

a. Terjadinya Perceraian

Faktor yang menjadi penyebab perceraian adalah pertama adanya

disorientasi tujuan suami istri dalam membangun mahligai rumah tangga;

kedua, faktor kedewasaan yang mencakup intelektualitas, emosionalitas,

dan k emampuan mengelola dan mengatasi berbagai masalah keluarga;

ketiga, pengaruh perubahan dan norma yang berkembang di masyarakat13.

b. Ketidakdewasaan sikap orang tua.

Ketidakdewasaan sikap orang tua salah satunya dilihat dari sikap

egoisme dan egosentrime. Egoisme adalah suatu sifat buruk manusia yang

mementingkan dirinya sendiri. Sedangkan egosentrisme adalah sikap yang

menjadikan dirinya pusat perhatian yang diusahakan oleh seseorang

dengan segala cara. Pada orang yang seperti ini orang lain tidaklah

penting. Dia mementingkan dirinya sendiri dan bagaimana menarik

13
Willis.S. Sofyan . 2008. Konseling Keluarga (Family Counseling). Bandung : Alfabeta
47

perhatian pihak lain agar mengikutinya minimal memperhatikannya.

Akibatnya orang lain sering tersinggung dan tidak mau mengikutinya.

Misalnya ayah dan ibu bertengkar karena ayah tidak mau membantu

mengurus anaknya yang kecil yang sedang menangis alasannya ayah akan

pergi main badminton. Padahal ibu sedang sibuk di dapur. Ibu menjadi

marah kepada ayah dan ayah pun membalas kemarahan tersebut, terjadilah

pertengkaran hebat di depan anak-anaknya, suatu contoh yang buruk yang

diberikan oleh keduanya. Egoisme orang tua akan berdampak kepada

anaknya, yaitu timbulnya sifat membandel, sulit disuruh dan suka

bertengkar dengan saudaranya. Adapun sikap membandel adalah aplikasi

dari rasa marah terhadap orang tua yang egosentrisme. Seharusnya orang

tua memberi contoh yang baik seperti suka bekerja sama, saling

membantu, bersahabat dan ramah. Sifat-sifat ini adalah lawan dari egoisme

atau egosentrisme.

c. Orang tua yang kurang bertanggung jawab.

Kesibukan orang tua salah satu masalah yang telah melekat pada

masyarakat modern di kota-kota. Kesibukannya terfokus pada pencarian

materi yaitu harta dan uang. Mengapa demikian ? Karena filsafat hidup

mereka mengatakan uang adalah harga diri, dan waktu adalah uang. Jika

telah kaya berarti suatu keberhasilan, suatu kesuksesan. Di samping itu

kesuksesan lain adalah jabatan tinggi.

Kesibukan orang tua dalam urusan ekonomi ini sering membuat

mereka melupakan tanggungjawabnya sebagai orang tua. Dalam masalah


48

ini, anak-anaklah yang mendapat dampak negatifnya. Yaitu anak-anak

sering tidak diperhatikan baik masalah di rumah, sekolah, sampai pada

perkembangan pergaulan anak-anaknya di masyarakat. Contohnya anak

menjadi pemakai narkoba, kemudian akhirnya ditangkap polisi dan orang

tua baru sadar bahwa melepas tanggung jawab terhadap anak adalah

sangat berbahaya.

d. Jauh dari Tuhan

Segala sesuatu keburukan perilaku manusia disebabkan karena dia

jauh dari Tuhan. Sebab Tuhan mengajarkan agar manusia berbuat baik.

Jika keluarga jauh dari Tuhan dan mengutamakan materi dunia semata

maka kehancuran dalam keluarga itu akan terjadi. Karena dari keluarga

tersebut akan lahir anak-anak yang tidak taat kepada Tuhan dan kedua

orang tuanya. Mereka bisa menjadi orang yang berbuat buruk, yang dapat

melawan orang tua bahkan pernah terjadi seorang anak yang sudah dewasa

membunuh ayahnya karena ayahnya tidak mau menyerahkan surat-surat

rumah dan sawah. Tujuannya agar dia dapat menguasai harta tersebut.

Apalagi dia seorang penjudi dan pemabuk. Inilah hasil pendidikan yang

hanya mengutamakan dunia, makan dan minum saja, pendidikan umum

saja, hasilnya sangat mengecewakan orang tua, akhirnya tega membunuh

ayahnya sendiri.

a. Masalah Ekonomi

Dalam suatu keluarga mengalami kesulitan dalam memenuhi

kebutuhan rumah tangga. Istri banyak menuntut hal-hal di luar makan dan
49

minum. Padahal dengan penghasilan suami sebagai buruh lepas, hanya

dapat memberi makan dan rumah petak tempat berlindung yang sewanya

terjangkau. Akan tetapi yang namanya manusia sering bernafsu ingin

memiliki televisi, radio dan sebagainya sebagaimana layaknya sebuah

keluarga yang normal. Karena suami tidak sanggup memenuhi tuntutan

isteri dan anak-anaknya akan kebutuhan-kebutuhan yang disebutkan tadi,

maka timbullah pertengkaran suami istri yang sering menjurus ke arah

perceraian.

Berbeda dengan keluarga miskin maka keluarga kaya

mengembangkan gaya hidup internasional yang serba mewah. Mobil,

rumah mewah, serta segala macam barang yang baru mengikuti model

dunia. Namun tidak semua suami suka hidup sangat glamour atau

sebaliknya. Di sinilah awal pertentangan suami istri yaitu soal gaya hidup.

Jika istri yang mengikuti gaya hidup dunia sedangkan suami ingin biasa

saja, maka pertengkaran dan krisis akan terjadi. Mungkin suami

berselingkuh sebagai balas dendam terhadap istrinya yang sulit diatur. Hal

ini jika ketahuan akan bertambah parah krisis keluarga kaya ini dan dapat

berujung pada perceraian, dan yang menderita adalah anak-anak mereka.

b. Kehilangan kehangatan di dalam keluarga antara orang tua dan anak.

Kurang atau putus komunikasi di antara anggota keluarga

menyebabkan hilangnya kehangatan di dalam keluarga antara orang tua

dan anak. Faktor kesibukan biasanya sering dianggap penyebab utama dari

kurangnya komunikasi. Dimana ayah dan ibu bekerja dari pagi hingga sore
50

hari, mereka tidak punya waktu untuk makan siang bersama. Dan anak-

anak akan mengungkapkan pengalaman perasaan dan pemikiran-

pemikiran tentang kebaikan keluarga termasuk kritik terhadap orang tua

mereka. Yang sering terjadi adalah kedua orang tua pulang hampir malam

karena jalanan macet, badan capek, sampai di rumah mata sudah

mengantuk dan tertidur. Tentu orang tidak mempunyai kesempatan untuk

berdiskusi dengan anak-anaknya.

Akibatnya anak-anak menjadi remaja yang tidak terurus secara

psikologis, mereka mengambil keputusan-keputusan tertentu yang

membahayakan dirinya seperti berteman dengan anak-anak nakal,

merokok, meneguk alkohol, main kebut-kebutan di jalanan sehingga

menyusahkan masyarakat. Dan bahaya jika anak terlibat menjadi pemakai

narkoba.

c. Masalah Pendidikan

Masalah pendidikan sering menjadi penyebab terjadinya broken

home. Jika pendidikan agak lumayan pada suami istri maka wawasan

tentang kehidupan keluarga dapat dipahami oleh mereka. Sebaliknya pada

suami istri yang pendidikannya rendah sering tidak dapat memahami lika-

liku keluarga. Karena itu sering salah menyalahkan bila terjadi persoalan

di keluarga. Akibatnya selalu terjadi pertengkaran yang mungkin

menimbulkan perceraian. Jika pendidikan agama ada atau mungkin sekali

kelemahan dibidang pendidikan akan di atasi. Artinya suami istri akan


51

dapat mengekang nafsu masing-masing sehingga pertengkaran dapat

dihindari.

Maka dari itu mereka berusaha untuk mendapatkan perhatian dari

orang lain. Tetapi sayang, sebagian dari mereka melakukan cara yang

salah misalnya : mencari perhatian guru dengan bertindak brutal di dalam

kelas, bertindak aneh agar mendapat perhatian orang lain.

Kalau sudah brutal otomatis bisa salah pergaulan. Lalu mereka

mulai melirik yang namanya rokok. Awalnya hanya sekali hisap, lama–

lama jadi berkali-kali. Kemudian setelah merokok, mereka mulai mencoba

yang namanya Narkoba, Miras dan lain-lain. Kalau sudah seperti itu, siapa

yang patut disalahkan? Orang tua tidak dapat disalahkan sepenuhnya tapi

anak juga tidak dapat disalahkan 100%. Kesalahan orang tua adalah

mereka terlalu sibuk dengan masalah mereka hingga mereka lupa bahwa

mereka memiliki anak yang wajib diperhatikan. Lalu kadang mereka juga

menganggap bahwa anak tidak perlu tahu masalah mereka. Padahal

setidaknya mereka harus menjelaskan tentang masalah mereka ke anak

agar tidak terjadi kesalah pahaman. Lalu untuk anak, mari kita berpikir

yang logis.
52

3. Dampak Broken Home

Dampak psikis yang dialami oleh remaja yang mengalami Broken Home,

remaja menjadi lebih pendiam, pemalu, bahkan despresi berkepanjangan

Dampak Negatif Terhadap Remaja Broken Home Agar para remaja yang

sedang mencari jati diri tidak semakin terjerumus, tentunya diperlukan

peranan orang tua. Selain itu, dibutuhkan pengawasan ketat dari pihak sekolah

dan itu menjadi kunci keberhasilan pencegahan kenakalan remaja baik sebagai

akibat Broken Home maupun akibat hal lainnya. Dampak yang dialami anak

Broken Home

1. Anak-anak yang memberontak yang menjadi masalah di luar dan anak

yang jadi korban keluarga yang bercerai itu menjadi sangat nakal

sekali

2. Anak korban perceraian jadi gampang marah karena mereka terlalu

sering melihat orangtua bertengkar, namun kemarahan juga bisa

muncul karena :

a. Dia harus hidup dalam ketegangan dan dia tidak suka hidup dalam

ketegangan.

b. Dia harus kehilangan hidup yang tentram, dan dia jadi marah pada

orang tuanya kenapa mereka memberikan hidup yang seperti ini

kepadanya.

c. Waktu orang tua bercerai, anak kebanyakan tinggal dengan sang

ibu, itu berarti ada yang hilang dalam diri anak yakni figur otoritas,

figur seorang ayah.


53

3. Anak-anak yang bawaannya sedih, mengurung diri dan menjadi

depresi . Anak ini juga bisa kehilangan identitas sosialnya.

Dampak Kejiwaan pada Seorang anak yang Broken Home :

1. Broken Heart

Jika seorang anak yang merupakan laki-laki merasakan kepedihan

dan kehancuran hati sehingga memandang hidup ini sia-sia dan

mengecewakan. Kecenderungan ini membentuk anak menjadi orang

yang krisis kasih sayang dan biasanya lari kepada yang bersifat

keanehan seksual. Contohnya adalah seks bebas, homoseksual,

lesbian (jika anak tersebut adalah seorang wanita), menjadi simpanan

orang serta tertarik dengan istri atau suami orang lain dan hal

lainnya.

2. Broken Relation

Anak merasa bahwa tidak ada orang yang perlu di hargai , tidak

ada orang yang dapat dipercaya serta tidak ada orang yang dapat

diteladani. Kecenderungan ini membentuk anak menjadi orang yang

masa bodoh terhadap orang lain, ugal-ugalan, mencari perhatian,

kasar, egois, dan tidak mendengar nasihat orang lain serta cenderung

semaunya sendiri .

3. Broken Values

Pemuda kehilangan ”nilai kehidupan” yang benar .Baginya dalam

hidup ini tidak ada yang baik, benar atau merusak dan yang ada

hanya “yang menyenangkan” dan “yang tidak menyenangkan”. Pada


54

intinya, dia akan melakukan apa yang menyenangkan hatinya dan

dia akan menghindari hal yang tidak menyenangkan bagi dirinya.


55

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif,

yang tidak menekankan jumlah. Penelitian kualitatif merupakan penelitian

yang mencermati keadaan esensial dan simbol non verbal yang

ditunjukkan melalui perilaku manusia. Sedangkan metode yang digunakan

adalah deskriptif naratif. Deskriptif naratif adalah riset yang cederung

menggunakan analisis dengan pendekatan induktif dimana pengolahan

data menjadi sesuatu yang dapat diutarakan secara jelas dan tepat dengan

tujuan agar dapat dimengerti oleh orang yang tidak mengalami secara

langsung. Selanjutnya, pengolahan data tidak menggunakan perhitungan

angka-angka dan rumus-rumus statistik sebagaimana dalam penelitian

kuantitatif.

B. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan peneliti adalah jenis penelitian

kualitatif. Penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan

pada filsafat post positivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi

obyek yang alamiah.14

14
Dr. Siti Zaenab, M.Pd, Metodologi Penelitian Pendidikan Kualitatif Perspektif Kekinian,
(Malang: Selaras, 2015), 2.

55
56

C. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di GBI Gilgal Palangka Raya, jln. Bukit

Raya No. 81 c Palangka Raya. Lokasi ini di pilih Karena di tempat ini

penulis dapat memperoleh data-data berkaitan dengan pelayanan

Konseling Pastoral yang dilaksanakan di tempat ini.

D. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2016.

E. Sumber Data Penelitian

Penelitian ini jenis datanya adalah kualitatif yang berupa pernytaan-

pernyataan dan tindakan-tindakan oleh subyek penelitian sesuai dengan

pertanyaan yang dikemukan peneliti dan pengamatan yang dilakukan oleh

peneliti dengan merujuk kepada fokus pelitian. Selain itu peneliti juga,

mengecek dokumen-dokumen yang berkaitan dengan fokus penelitian.

mengumpulkan data-data yaitu melalui observasi lapangan/ pengamatan,

wawancara secara langsung dengan Pendeta yang melayani Konseling

Pastoral terhadap anak yang mengalami Broken Home di Jemaat GBI

Gilgal Palangka Raya jln. Bukit Raya No. 81 C Kec. Jekan Raya. Kota

Palangka Raya.
57

F. Teknik Pengumpulan Data


a. Observasi/ Pengamatan

Pengamatan yang dilakukan seseorang tentang sesuatu yang

direncanakan ataupun yang tidak direncanakan, baik secara sepintas

atau dalam jangka waktu yang ckukup lama, dapat melahirkan suatu

masalah ( sumber masalah).

b. Wawancara

Wawacaran adalah upaya mendapatkan keterangan, atau pendapat

mengenai suatu hal yang diperlukan untuk tujuan tertentu, dari

seseorang atau pihak lain dengan cara tanya jawab. Tujuan dari

wawancara untuk memperoleh keterangan atau pendapat dimksud

untuk di gunakan sebagai masukan suatu penelitian. Melalui

wawancara kepada masyarakat mengenai sesuatu kondisi aktual di

lapangan dapat menemukan masalah apa yang sekarang dihadapi

masyarakat tersebut.

G. Teknik Analisis Data

Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis

isi. Dari hasil studi kasus, observasi/ pengamatan, dan wawancara, peneliti

menganalisis isi sesuai dengan rumusan masalah di atas.


58

H. Verifikasi Data

penarikan kesimpulan hanyalah sebagian dari suatu kegiatan dan

konfigurasi yang utuh. Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama

peneliti berlangsung makna-makna yang muncul dari data harus selalu di

uji kebenaran dan kesesuaiannya sehingga validitasnya terjamin. Dalam

tahap ini, peneliti membuat rumusan proposisi yang terkait dengan prinsip

logika, mengangkatnya sebagai temuan peneliti, kemudian dilanjutkan

dengan mengkaji secara berulang-ulang terhadap data yang ada,

pengelompokkan data yang telah terbentuk, dan proposisi yang telah

dirumuskan.

Langkah yang selanjutnya yaitu mengelompokan hasil penelitian lengkap,

dengan “temuan baru” yang berbeda dari temuan yang sudah ada. Dengan

temuan yang baru ini semoga bermanfaat untuk kita semua di waktu yang

akan datang dan sebagai bahan bacaan untuk semua.


59

DAFTAR PUSTAKA

Rusmin, Tumanggor dkk, 2010. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana
Mulyono. Y Bambang, 1984. Pendekatan Analisis Kenakalan Remaja dan
Penanggulangannya. Yogyakarta: Kanisius.

Yakub B Susabda. 2014. Konseling Pastoral. Jakarta: BPK Gunung Mulia.


Gunarsa, Singgih D. 2009. Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: BPK Gunung
Mulia.
Beek Van, Martin Aart, 1987. Konseling Pastoral. Jakarta: Satya Wacana.
Wiryasaputra, S. Totok, .Pengantar Konseling Pastoral.
Gintings. E. P, 2007. Gembala dan Pastoral Klinis. Bandung : Bina Media informasi.

Prasetyo, Vendi, 2009. Pengertian Broken Home,di akses tanggal 20 Desember.

Sofyan, S, Willis, 2008. Konseling Keluarga. Bandung: Alfabeta.

Zaenab, Siti, 2015. Metodologi Penelitian Pendidikan Kualitatif Perspektif Kekinian,


Malang: Selaras.

Anda mungkin juga menyukai